Anda di halaman 1dari 34

Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.

Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

FUNGSIONALISASI ZAKAT DAN PAJAK


DI DALAM PEREKONOMIAN
M Nur Rianto Al Arif
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK:
Pajak dan zakat merupakan instrument fiskal yang dapat dipergunakan oleh
pemerintah. Dalam sistem pemerintahan Islam, zakat menjadi sumber utama
pendapatan negara. Pada tulisan ini akan berupaya memperbandingkan antara
zakat dan pajak serta pengaruhnya di dalam perekonomian. Berdasarkan
pendekatan yang dilakukan menggunakan penelitian kepustakaan
memperlihatkan bahwa penerapan pajak banyak menimbulkan distorsi dalam
perekonomian, hal ini menunjukkan mengapa dalam ekonomi Islam instrument
fiskal yang disarankan adalah zakat. Karena zakat memiliki pengaruh yang lebih
signifikan di dalam perekonomian apabila dibandingkan dengan pajak.
Kata kunci:
Pajak, Zakat, Instrumen fiskal

Some of the fiscal instruments that can be used is zakah and tax. In Islamic
government, zakat had been used as a primary income resources. In this article
we are going to make a comparation the effect of zakah and tax in economy.
According to library research that had been used in this article shown that tax
application had been made a lot of distortion in economy, this is the reason why
in Islamic economics zakah was suggested as a fiscal instruments, because zakah
have more a significant influence in economy rather than tax.

Keywords:
Tax, Zakah, Fiscal Instruments

1
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

A. Pendahuluan
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang disyari’atkan Allah kepada
umat Islam, sebagai salah satu perbuatan ibadah setara dengan shalat, puasa dan
ibadah haji. Akan tetapi, zakat tergolong ibadah ma’liah, yakni ibadah melalui
harta kekayaan dan bukan ibadah badaniah yang pelaksanaannya dengan fisik. Hal
inilah yang membedakan zakat dengan ibadah ritual lainnya, seperti ibadah shalat,
puasa maupun haji, dimana manfaatnya hanya terkena kepada individu tersebut
semata, sedangkan zakat manfaatnya bukan untuk individu tersebut semata namun
bermanfaat pula bagi orang lain. Allah mewajibkan zakat kepada individu yang
mampu dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar cinta hamba kepada
Penciptanya daripada dengan hartanya, sebab secara naluri alamiah manusia
memiliki kecenderungan merasa sangat berat apabila harus berkorban dengan
hartanya. Apakah hamba-Nya lebih mencintai hartanya ataukah Allah SWT yang
telah menciptakannya.
Zakat merupakan salah satu sumber pendapatan pada masa pemerintahan
Islam. Pada masa-masa awal pemerintahan kota Madinah, pendapatan dan
pengeluaran hampir tidak ada. Pada masa Rasulullah hampir seluruh pekerjaan
yang dikerjakan tidak mendapatkan upah, tidak ada tentara formal. Mereka tidak
mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari
rampasan perang, seperti senjata, kuda, unta dan barang-barang bergerak lainnya.
Pada tahun kedua setelah hijrah, sedekah dan fitrah diwajibkan , dimana
dibayarkan setiap bulan Ramadhan. Zakat mulai diwajibkan pembayarannya pada
tahun kesembilan hijrah. Dengan adanya perintah wajib ini mulai ditentukan para
pengelolanya, dimana mereka tidak digaji secara resmi, tetapi mendapatkan
bagian tertentu dari zakat yang dikelola yaitu maksimal 12,5% dari dana zakat
yang ada.
Sumber penerimaan pada masa Rasulullah SAW dapat digolongkan
menjadi tiga golongan besar, yaitu dari kaum muslim, kaum non-muslim, dan
sumber lain. 1
Dari kaum muslim sumber penerimaan negara, terdiri atas :
• Kharaj (pajak tanah)

1
Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 162.

2
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

• Zakat
• Ushr (bea impor)
• Zakat fitrah
• Wakaf
• Infak dan shadaqah
• Amwal fadhla (harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli
waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang
meninggalkan negerinya)
• Nawaib (pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada
kaum muslimin dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama
masa darurat, ini pernah terjadi pada saat perang Tabuk)
• Khumus atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam
Sementara pendapatan kaum non-muslim yakni :
• Jizyah
• Kharraj
• Ushr
Sedangkan dari sumber penerimaan yang lain yakni :
• Ghanimah (harta rampasan perang)
• Fay (harta dari daerah taklukan)
• Uang tebusan untuk para tawanan perang
• Kaffarah atau denda
• Hadiah
• Pinjaman dari kaum muslimin dan non-muslim
Dalam tulisan ini kita akan mencoba membandingkan antara zakat dan
pajak sebagai sumber penerimaan negara. Akan dilihat berbagai pendapat yang
muncul mengenai posisi zakat dan pajak dalam ekonomi Islam dan perekonomian
secara umum. Pertama kita akan mencoba membahas mengenai bagaimana
konsep zakat dan pajak, kemudian apa perbedaannya dengan zakat, serta berbagai
pendapat yang muncul mengenai positioning antara zakat dan pajak. Kemudian
apa pengaruh zakat sebagai pengurang pajak penghasilan di Indonesia.

3
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

B. Konsep Zakat
Ibadah zakat mempunyai dua aspek, yaitu aspek hubungan manusia dengan
Allah SWT (hablum minallah) dan aspek hubungan manusia dengan sesama
(hablum minannas). Aspek hubungan dengan Allah SWT adalah dengan
membayar zakat berarti kita mematuhi dan mentaati apa yang telah diperintahkan-
Nya, ini menandakan wujud kecintaan seorang hamba kepada penciptanya.
Seseorang dapat dikatakan beriman jika ia bersedia mematuhi segala hal yang
diperintahkan oleh Penciptanya, termasuk dalam hal kewajiban menunaikan zakat.
Selain itu dengan membayar zakat menandakan bahwa seorang hamba telah
bersyukur kepada sang pencipta atas semua rezeki, nikmat dan karunia yang telah
diberikan kepadanya. Wujud syukur tidaklah cukup hanya dengan ucapan
“alhamdulillah” semata, melainkan harus dibuktikan pula dengan perbuatan, dan
dengan membayar zakat maka itu menjadi bukti bahwa kita telah bersyukur
dengan melakukan suatu perbuatan dan tidak hanya dengan ucapan saja.
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat 2 mempunyai beberapa arti yaitu al-
barakatu (keberkahan), al-namaa (pertumbuhan dan perkembangan), ath-
thaharatu (kesucian) dan ash-shalahu (keberesan). Makna keberkahan yang
terdapat pada zakat berarti dengan membayar zakat, maka zakat tersebut akan
memberikan berkah kepada harta yang dimiliki dan insya Allah akan membantu
meringankan kita di akhirat kelak, sebab salah satu harta yang tidak akan hilang
meskipun sampai kita di alam barzah adalah amal jariyah selain doa anak yang
saleh dan ilmu yang bermanfaat.
Sedangkan makna terminologi 3 -istilah yang digunakan dalam pembahasan
fiqh Islam- adalah “mengeluarkan sebagian dari harta tertentu yang telah
mencapai nishab (takaran tertentu yang menjadi batas minimal harta tersebut
diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya)”, diberikan kepada mereka yang berhak
menerimanya (berdasarkan pengelompokan yang terdapat dalam Al-Qur’an), dan
harta tersebut merupakan milik sempurna –dalam artian merupakan milik sendiri

2
Doa, M Djamal. Membangun Ekonomi Umat: Melalui Pengelolaan Zakat Harta.
(Jakarta: Nuansa Madani. 2001)
3
Qadir, Abdurrachman. Zakat: Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. (Jakarta: Srigunting.
2001). Lihat pula Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian Modern. (Jakarta: Gema Insani
Press: 2002).

4
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

dan tidak terdapat kepemilikan orang lain di dalamnya- serta telah genap usia
pemilikannya selama setahun, hal ini dikenal dengan istilah haul.
Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 pasal 1 ayat 2 yang
dimaksud dengan “Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim
atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam”.
Yusuf Qardhawi 4 membagi tiga tujuan zakat yaitu: dari pihak muzakki,
pihak mustahik, dan masyarakat. Tujuan zakat dari pihak muzakki antara lain
untuk menyucikan dari sifat bakhil, rakus, egois, dan sejenisnya. Serta
menumbuhkan sifat pemurah, empati dan memiliki solidaritas kepada sesama.
Sedangkan bagi mustahik adalah terpenuhinya kebutuhan hidup dan tersucikannya
hati mereka dari rasa dengki dan kebencian yang sering menyelimuti hati mereka
melihat orang kaya yang bakhil. Adapun tujuan zakat dari pihak masyarakat
adalah zakat bernilai ekonomis, merealisasi fungsi harta sebagai alat perjuangan
menegakkan agama Allah dan mewujudkan keadilan sosial ekonomi masyarakat
pada umumnya.
Dalam menghitung potensi zakat telah ada beberapa ekonom muslim yang
telah melakukannya. Menurut perhitungan Public Interest Research and Advocacy
Center (PIRAC) tahun 2007 potensi zakat di Indonesia dengan melakukan survey
kepada 2000 responden di 11 kota besar adalah sebesar Rp 9,09 triliun.
Sedangkan menurut pakar ekonomi syariah Muhammad Syafii Antonio menyebut
potensi zakat Indonesia dapat mencapai Rp 17 triliun. Kemudian hasil riset
terbaru dari Ivan Syaftian, peneliti dari Universitas Indonesia tahun 2008 potensi
zakat profesi sebesar Rp 4,825 triliun per tahun. Serta adapula yang menghitung
potensi zakat berdasarkan pendapatan domestik bruto suatu negara, penghitungan
potensi zakat dilakukan dari 2,5% dari pendapatan domestik bruto (PDB) negara.
Akan tetapi perhitungan dengan menggunakan PDB masih dirasakan kurang tepat
apabila dipergunakan bukan di negara Islam seperti Indonesia, karena PDB yang
dihasilkan adalah campuran.

4
Yusuf Qardhawi. Hukum Zakat. (Bandung: Pustaka Litera Antar Nusa dan Mizan, 1988),
Lihat pula Yusuf Qardhawi. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995)

5
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun
2005 menyatakan bahwa potensi zakat nasional mencapai angka Rp 19,3 trilliun.
Sedangkan IMZ pada tahun 2007 telah merilis prediksi potensi zakat nasional
pada kisaran Rp 27,2 triliun.
Studi terbaru yang dilakukan oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB menunjukkan angka yang lebih besar.
Menurut studi yang dilakukan pada tahun 2011 lalu, terungkap bahwa potensi
zakat nasional mencapai angka 3,40 persen dari PDB atau tidak kurang dari 217
triliun. Potensi zakat ini dibagi ke dalam 3 kelompok besar yaitu potensi zakat
rumah tangga (individu), potensi zakat industri dan BUMN, serta potensi zakat
tabungan.
Adapun yang menjadi sasaran dari dana zakat ini telah ditentukan oleh
Allah swt dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 60:

          

 
             

“Sesungguhnya harta zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-


orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang sedang dilembutkan hatinya
(untuk Islam), budak (yang akan memerdekan dirinya), orang-orang yang
berhutang, sabilillah, dan Ibnu Sabil. Semua itu merupakan kewajiban dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (QS At Taubah: 60)
Berdasarkan ayat di atas terdapat delapan kelompok (asnaf) kaum yang
berhak untuk menerima zakat, yaitu: kaum fakir, kaum miskin, amilin (pengelola
zakat), mualaf (orang yang mendapatkan hidayah Islam), budak (hamba sahaya),
gharimin (orang yang berhutang), untuk keperluan di jalan Allah (fi sabilillah),
dan Ibnu Sabil (orang yang sedang bepergian untuk keperluan maslahat –seperti
menuntut ilmu- dan bukan perjalanan maksiat).
Delapan golongan diatas dapat dibagi secara garis besar kepada dua tipe
manusia. Tipe pertama, mereka yang mendapatkan jatah dari zakat karena
membutuhkannya. Mereka mendapatkannya sesuai dengan keperluannya baik
banyak maupun sedikit. Seperti fakir, miskin, untuk memerdekakan budak, dan

6
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Ibnu sabil. Tipe kedua, mereka yang mendapatkan bagian karena pertimbangan
jasa dan manfaat, serta mereka yang berjuang di jalan Allah swt. Bila seseorang
tidak membutuhkan dan tidak ada pula manfaat pemberian zakat kepadanya, maka
ia tidak berhak mendapatkan bagian zakat tersebut.
Dari delapan asnaf tersebut bisa kita perluas maknanya, sehingga dalam
penyalurannya kita tidak hanya terpaku pada tekstual ayat semata.
1. Fakir merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak mempunyai sumber
penghasilan sehingga hidupnya sehari-hari sangat kekurangan. Dalam
pembahasan biasanya akan selalu dikaitkan dengan miskin, karena
kemiripan situasi hidup yang dihadapinya.
2. Miskin merupakan kondisi dimana seseorang mempunyai sumber
penghasilan akan tetapi penghasilan yang diperoleh masih sangat kecil
sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahan
yang muncul terkait dengan penentuan kemiskinan adalah bagaimana cara
menetukan standar hidup minimal yang layak. Namun selain itu kemiskinan
di sini dapat pula diartikan dengan kemiskinan intelektual atau kebodohan
yang selama ini melekat pada kaum muslimin serta kemiskinan iman.
3. Amil, yaitu individu, lembaga atau institusi pengelola zakat. Mereka berhak
menerima zakat karena untuk operasional dan biaya hidup mereka. Akan
tetapi besaran jatah untuk amil dibatasi maksimal hanya 12,5%. Diharapkan
dengan memasukkan amil sebagai salah satu asnaf penerima zakat, akan
memacu mereka untuk bekerja lebih baik lagi bagi kemaslahatan dan
kesejahteraan umat.
4. Muallaf yaitu individu yang baru saja masuk ke dalam Islam. Mereka berhak
menerima zakat, karena seringkali karena masuknya mereka ke dalam Islam
membuat mereka dikucilkan dari kehidupan yang seringkali membuat
mereka terkucil dalam hal ekonomi.
5. Riqab atau budak adalah kondisi dimana manusia diperlakukan tidak layak
yang dianggap sebagai benda. Pada masa sekarang budak sudah tidak ada
lagi akan tetapi kondisi yang mendekati hal tersebut masih ada, sebagai
contoh adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) terutama yang wanita seringkali

7
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

menerima perlakuan yang tidak manusiawi dari majikannya. Karena di


beberapa negara, pembantu masih dianggap sebagai budak.
6. Gharimin adalah individu yang terlilit hutang, dimana hutang tersebut
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan bukan untuk keperluan
maksiat seperti judi. Pada konteks kekinian timbul pemikiran apakah asnaf
ini dapat diperluas dengan hutang yang dilakukan oleh negara, agar dana
zakat mampu pula membebaskan pemerintah dari belitan hutang yang
membelit.
7. Sabilillah merupakan kondisi individu yang berjuang untuk menegakkan
agama Allah. Hal ini terjadi pada para mujahid Islam di Palestina atau
Afganisthan yang berjuang untuk menegakkan agama Allah dalam melawan
imperialisme Amerika Serikat dan sekutunya. Para mujahid ini berhak untuk
menerima zakat yang ada. Dana bagi pembangunan masjid, rumah sakit,
pesantren, madrasah maupun sekolah dapat dikategorikan sebagai
perjuangan di jalan Allah (fi sabilillah), serta mampu memberikan kesegaran
spiritual kepada kaum muslimin yang membutuhkan.
8. Ibnu Sabil yaitu individu yang sedang dalam perjalanan dimana perjalanan
yang dilakukan adalah untuk kebajikan dan bukan untuk maksiat. Seseorang
yang sedang dalam perjalanan dakwah berhak untuk mendapatkan zakat.
Asnaf ini dapat pula diperluas menjadi beasiswa bagi para pelajar dan
mahasiswa.

C. Konsep Pajak dalam perspektif ekonomi Islam


Diskursus tentang pajak, terutama di negara-negara Islam telah menjadi
sesuatu yang seringkali diperdebatkan. Hal ini disebabkan karena sejarah
perkembangan hukum Islam pada masa Rasulullah dan para khalifah tidak pernah
membebankan pajak kepada umat Islam. Umat Islam hanya diwajibkan membayar
zakat jika telah sampai kepada nishabnya. Sementara kewajiban terhadap pajak
dibebankan kepada masyarakat non-muslim yang bermukim di wilayah Islam atau
wilayah kekuasaan Islam. Namun demikian, dalam perkembangan konsep negara
modern sekarang ini, baik itu negara Islam maupun bukan negara Islam, telah
mewajibkan pungutan pajak bagi tiap warganya.

8
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Menurut Undang-undang No. 28 tahun 2007, pasal 1, pajak adalah


kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
Fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu fungsi budgetair atau fungsi
penerimaan dan fungsi redistribusi pendapatan. Fungsi yang pertama,
sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga,
perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos
pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak,
sebagian besar kegiatan sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan pajak
meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek
pembangunan. Pembangunan sarana umum dibiayai dengan menggunakan uang
yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak
bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda
pemerintahan dan pembiayaan pembangunan. (Buku Panduan Hak dan Kewajiban
Perpajakan, 2009).
Meskipun para ulama bersepakat bahwa pajak bukanlah sistem pungutan
dalam Islam, namun beberapa ulama membolehkan pajak yang bersifat sukarela
(tanpa paksaan, tidak ada sanksi bagi yang tidak mau membayar). Hal tersebut
diperbolehkan karena termasuk kategori infak/hadiah/hibah kepada pemerintah.
Ketika pajak dalam Islam dikenal sebagai beban (dharibah), ia merupakan
pungutan tambahan yang bersifat sunnah selain zakat yang wajib.
Terdapat dua pendapat ulama tentang pajak. Sejumlah ulama ada yang
mengharamkan pajak, namun jumhur ulama menghalalkan pajak. Kalangan ulama
yang mengharamkan pajak mengacu pada hadis Rasulullah Muhammad SAW dari
Uqbah bin Amir yang menegaskan bahwa: "Tidak akan masuk surga orang yang
memungut muks". (HR. Abu Daud, Al-Hakim, Ibn Khuzaimah dari riwayat
Muhammad bin Ishak). Lalu dari Abu Khair r.a. ia berkata: “Maslamah bin
Mukhallad –gubernur Mesir– menolak untuk menyerahkan usyur (1/10) kepada
Ruwaifi bin Tsabit, sambil berkata: “Saya dengar Rasulullah SAW mengatakan,

9
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

bahwa pemilik muks itu dalam neraka". (HR. Ahmad dari riwayat Ibnu Luhaiah
dan Tabrani).
Ulama-ulama seperti Muhammad Nashiruddin al-Albani, Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, dan Adz-Dzahabi
menyamakan muks ataupun usyur (1/10) sebagai pajak atau cukai sehingga
mereka mengharamkan pajak dan bea cukai, dan menfatwakan bahwa petugas
pajak maupun petugas bea cukai adalah pelaku dosa besar sehingga akan diazab
dan tempat kembalinya adalah neraka jahanam.
Menurut Abu Ubaid, hadis-hadis tersebut adalah mengenai pengumpul
zakat atas harta kaum muslim bukan haknya dan hukum makruh atas
pengumpulan cukai barang impor. Di dalam hadis itu juga telah disebutkan
larangan keras mengenai pengumpulan cukai, sebab itu merupakan kebiasaan
yang senantiasa dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non-Arab tanpa
pengecualian. Sebab kebiasaan mereka adalah memungut cukai barang dagangan
impor atas harta mereka, apabila masuk ke dalam negeri mereka.
Konsep yang membolehkan pajak bagi umat Islam lebih dilandasi pada
prinsip maslahah, yaitu untuk memenuhi kebutuhan negara, seperti
menanggulangi kemiskinan, membiayai pegawai negara, dan lain-lain yang tidak
terpenuhi dari zakat dan sadaqah, maka pajak menjadi alternatif daripada harus
berhutang yang memiliki nilai riba.
Jumhur ulama ahlul sunnah wal jama'ah dari empat madzhab, Syafi'i,
Hanafi, Maliki dan Hanbali, berpendapat muks ataupun usyur tidak dapat
digeneralisasikan sebagai bea cukai apalagi pajak. Secara etimologis, muks artinya
pengurangan dengan penzaliman. Sehingga muks adalah segala pungutan (uang)
yang diambil oleh ma’kis (pemungut muks atau kolektor retribusi) dari para
pedagang yang lewat dengan cara-cara zalim. Mereka sepakat bahwa pajak yang
dipungut/dipotong oleh pemerintah guna mendanai dan memenuhi kebutuhan
masyarakat luas seperti membiayai tersedianya fasilitas-fasilitas jalan, jembatan,
transportasi publik, air minum, listrik, rumah sakit pemerintah, obat-obat generik,
pertahanan, keamanan dan ketertiban oleh TNI dan POLRI, sekolah-sekolah
murah negeri hingga ke pedesaan dan daerah terpencil, dan fasilitas-fasilitas

10
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

layanan publik lainnya adalah bukan muks sehingga halal untuk


dipungut/dipotong sebagai pajak oleh pemerintah.
Bahkan mulai masa kepemerintahan khalifah Umar bin al-Khaththab r.a.,
pemerintah negara Islam saat itu memungut usyur. Latar belakang penerapan
usyur sebagai pajak perdagangan ini terjadi karena pada masa Umar berdasarkan
laporan Abu Musa al-Asy’ari bahwa para pedagang muslim yang berdagang ke
wilayah nonmuslim dipungut pajak perdagangan oleh pemerintah wilayah
setempat. Demi menegakkan keadilan dan kesetaraan dalam perdagangan
internasional serta kemaslahatan masyarakat, Umar pun memutuskan memungut
pajak dari para pedagang nonmuslim yang berdagang ke wilayah Islam.
Imam al-Ghazali sebagai ulama Syafi’iyah, menyatakan bahwa apabila kas
negara itu kosong dan tak ada biaya yang mencukupi untuk pengeluaran biaya
militer sedangkan ditakutkan masuknya musuh ke dalam negara Islam, atau
tumbuhnya pemberontakan dari pihak mereka yang bermaksud jahat, maka
dibolehkan kepala negara memungut biaya dari orang kaya sekedar dapat
mencukupi pembiayaan tentara, karena kita mengetahui apabila timbul dua
bahaya maka hukum syara’ mengharuskan menolak bahaya yang lebih besar
dengan beban yang diberikan kepada orang kaya lebih kecil bahayanya dibanding
dengan bahaya yang mengancam jiwa dan hartanya, jika di negeri itu tidak
terdapat kepala negara yang kuat yang dapat memelihara segala urusan negara dan
menolak segala bahaya.
Dalam konsep pajak yang dikembangan oleh Abu Yusuf, memperlihatkan bahwa
pajak dapat dipungut dengan catatan bahwa hal itu dilakukan dengan landasan keadilan
dan kemurahan, serta tidak memberatkan atau menurut kemampuan rakyat yang dibebani.
Mengenai landasan kemaslahatan dalam pungutan pajak sebagaimana yang dikemukakan
oleh Al-Maliki (2001) dalam Fahmi (2010), yaitu:
”Karena menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana-sarana seperti
keamanan, pendidikan, dan kesehatan adalah wajib, sementara jika kas negara
tidak mencukupi untuk membiayai hal tersebut, maka pajak itu menjadi wajib.
Walaupun demikian, syara’ mengharamkan negara menguasai harta benda
rakyat dengan kekuasaannya. Karena jika negara mengambilnya dengan
menggunakan kekuatan dan cara paksa, berarti itu merampas, sedangkan
merampas hukumnya haram”.

11
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Oleh karena itu pajak dalam konsep syariat tidak boleh dipungut secara paksa dan
dengan kekuasaan (seperti ketentuan sanksi dalam undang-undang perpajakan di
Indonesia). Melainkan menjadi kewajiban bagi umat Islam dalam memelihara
kemaslahatan umat dan mencegah kemudharatan yang lebih besar.
Jika kondisinya demikian, maka negara berkewajiban untuk memenuhi hal-hal
yang merupakan tujuan dari pajak tersebut, yaitu: (1) penerimaan hasil-hasil pajak harus
dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan
tujuan-tujuan pajak; (2) pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di
antara mereka yang wajib membayarnya. (Fahmi, 2010)
Sebagian orang meyakini bahwa zakat dan pajak adalah sama, sehingga ketika
mereka sudah membayar pajak, beranggapan bahwa kewajiban zakatnya telah gugur.
Sementara sebagian lain berpendapat bahwa zakat dan pajak adalah dua hal yang berbeda,
sehingga sekalipun ia telah membayar pajak, kewajiban zakatnya tetap ada dan harus
ditunaikan. Sebab, zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib yang memiliki
karakteristik berbeda. Zakat merupakan kewajiban yang ditetapkan Allah kepada umat
Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Ketentuannya zakat diatur oleh
Allah sendiri dan rasul-Nya. Sedangkan pajak adalah kewajiban yang ditetapkan oleh
negara. Karena itu, pemerintah yang membuat kewenangan untuk mengurangi beban
pajak dalam keadaan atau kasus tertentu, bahkan juga berwenang mencabut suatu
macam pajak apabila dikehendaki.
Departemen Agama di dalam buku panduannya mengeluarkan statemen
bahwa pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah tidak bisa dijadikan
sebagai pembayaran zakat karena perbedaan yang terdapat antara keduanya. Seperti
perbedaan pihak yang mewajibkan, tujuan, jenis harta, volume (kadar; harga zakat)
yang wajib dibayar serta penyalurannya.
Pajak tidak boleh dipotong dari volume zakat yang wajib dibayar, tetapi
dipotong dari total jumlah harta yang terkena kewajiban zakat. Pajak yang harus
dibayar kepada pemerintah selama haul dan belum dibayar sebelum haul atau
datangnya waktu kewajiban membayar zakat, dipotong dari harta yang harus
dizakati tersebut termasuk kewajiban yang harus dilunasi. Peraturan pajak
seharusnya disesuaikan sehingga memungkinkan pengambilan volume zakat yang
wajib dikeluarkan dari volume zakat yang wajib dikeluarkan dari volume pajak
untuk memudahkan mereka yang membayar zakat tanpa batas selama yang
bersangkutan dapat mengajukan bukti yang kuat bahwa ia telah membayar zakat.

12
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Mewajibkan kepada penduduk non-muslim membayar pajak solidaritas sosial di


negara Islam sebesar volume zakat sebagai sumber dana untuk menciptakan
solidaritas sosial secara umum yang mencakup seluruh rakyat yang hidup di
negara Islam
Lalu jumhur ulama Hanafiyah, seperti Muhammad 'Uma'im al-Barkati,
menyamakan pajak dengan na’ibah (jamaknya nawa’ib). Ia berpendapat bahwa
na’ibah (pajak) boleh jika memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau
keperluan perang. Kemudian jumhur ulama Malikiyah, seperti Imam Al-Qurtubi,
mengemukakan bahwa para ulama Malikiyah sependapat bila datang satu
kebutuhan mendesak kepada kaum muslimin –setelah membayar zakat– maka
wajib kepada mereka yang kaya mengeluarkan hartanya untuk menanggulangi
keperluan tersebut. Sementara jumhur ulama Hanabilah, seperti Ibnu Taimiyah,
mengatakan bahwa segala sesuatu yang dipungut oleh sultan dianggap sebagai
jihad dengan harta, yang wajib terhadap orang kaya. Pungutan ini dikenal dengan
sebutan kalf al-sulthaniyah.
Sedangkan ulama-ulama kontemporer seperti Rashid Ridha, Syekh
Syaltaut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardawi berpendapat bahwa pajak dihalalkan
dalam Islam. Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar V/39 menafsirkan Qur'an
Surat An-Nisaa' ayat ke-29 dengan penjelasan sebagai berikut, bahwa : "... adanya
kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk
zakat) untuk kemaslahatan umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk
mereka mengeluarkan uang (di luar zakat) untuk kebaikan". Syekh Syaltaut
menyatakan bahwa pajak diadakan oleh penguasa ketika ada kebutuhan.
Seseorang harus membayar pajak, dan itu dapat disamakan dengan utang akibat
sirkulasi dan aktivitas modal.
Kemudian Yusuf Qardawi menjelaskan bahwa apabila dalam negara Islam
ada yang membutuhkan, sedangkan zakat tidak mencukupi, atau masyarakat
memerlukan biaya untuk menanggulangi masalah keamanan dan ekonomi atau
biaya diperlukan untuk menegakkan agama, baik dakwah maupun pendidikan,
maka untuk menanggulangi keperluan tersebut wajib kepada pemerintah Islam
untuk minta bantuan orang kaya, sebab tuntutan wajib itu tidak akan terselesaikan

13
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

tanpa ada uang, padahal uang tidak ada kecuali dengan mewajibkan pajak. Maka
berlakulah di sini kaidah “sesuatu yang menjadi wajib hukumnya”.
Selanjutnya, mufti Al-Azhar Mesir, Syekh Syaltaut, dalam kitab Al-
Fatawa al-Kubra, menegaskan bahwa hakim boleh memungut pajak dari orang
yang mampu secara ekonomis untuk kemaslahatan asalkan tidak berlebihan
(melampaui batas). Muhammad Abu Zahrah juga membolehkan pajak di samping
zakat. Abu Zahrah menuturkan bahwa pajak tidak ada pada era Rasulullah
Muhammad SAW. Namun itu bukan karena pajak diharamkan dalam Islam, akan
tetapi karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat Islam dan
semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan persaudaraan yang terjalin
antara kaum Anshar dan Muhajirin berhasil mempersempit jarak sosial dan
ekonomi umat pada saat itu, sehingga tidak diperlukan campur tangan negara
dengan menarik pajak.
Para ulama yang mendukung diperbolehkannya memungut pajak,
menekankan bahwa yang mereka maksud adalah sistem perpajakan yang adil,
yang selaras dengan spirit Islam. Menurut mereka, sistem perpajakan yang adil
adalah apabila memenuhi tiga kriteria 5:
1. Pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran yang benar-benar
diperlukan untuk merealisasikan maqashid syariah.
2. Beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kemampuan rakyat
untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap semua
orang yang mampu membayar.
3. Dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang
karenanya pajak diwajibkan.
Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya, menurut
Yusuf Qardawi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Benar-benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain.
2. Pembagian beban pajak yang adil.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan
untuk maksiat dan hawa nafsu.
4. Persetujuan dari para ahli dan cendekiawan.
5
Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi alih bahasa oleh Ikhwan Abidin Basri.
Jakarta: Gema Insani Press, 2002

14
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Sementara menurut Monzer Kahf, hal-hal yang menjadi justifikasi


penerapan pajak adalah sebagai berikut:
1. Keamanan internal dan eksternal, seperti untuk membiayai pasukan atau
tentara yang reguler maupun darurat di masa perang maupun damai untuk
memberikan keamanan dan melindungi agama, tanah/wilayah dan orang-
orang muslim, termasuk membebaskan tawanan muslim di negara lain.
2. Biaya-biaya atas berbagai aktivitas negara Islam, seperti biaya aparat
pemerintahan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta
melindungi dan mempromosikan ideologi dan nilai-nilai Islam.
3. Memelihara taraf penghidupan dari seluruh rakyat di negara Islam.
Menurut Ibn Hazm, taraf penghidupan meliputi makanan pokok, pakaian,
dan tempat tinggal, sedangkan Ali mendeskripsikannya sebagai
pencegahan dari kelaparan, ketiadaan pakaian, dan kesengsaraan hidup.
4. Pengembangan kapasitas produksi dalam masyarakat, apabila taraf
penghidupan minimal tidak dapat dicapai atau disediakan oleh sektor
swasta.
5. Bantuan terhadap tekanan ekonomi, sosial, dan psikologis sebagai akibat
bencana alam, perang, dan keadaan darurat lainnya.
Dengan demikian syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh
pemerintahan Islam sebelum memungut pajak dari umat Islam di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Negara benar-benar sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan
maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga
perbatasan negara yang sedang dirongrong atau mendapat ancaman negara
musuh.
2. Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh negara, baik dari zakat,
jizyah, usyur, kecuali dari pajak.
3. Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendekiawan dan tokoh
masyarakat.
4. Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari orang-orang kaya saja, dan
tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus
adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu.

15
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

5. Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus,
tetapi pada saat-saat tertentu saja ketika negara dalam keadaan genting
atau terdapat kebutuhan yang sangat mendesak saja.
6. Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya
menghambur-hamburkan uang saja.
7. Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu
itu saja.
Terdapat tiga prinsip utama terkait prosedur-prosedur penilaian dan
pengumpulan pajak menurut Monzer Kahf, yaitu:
1. Penilaian atas seluruh pendapatan (zakat, kharaj, jizyah, pajak, dan lain-
lain) harus adil dan mudah. Para pembayar harus dibiarkan dengan
perasaan puas dan nyaman, ralat dan klaim pembebasan pungutan harus
dilakukan demi kebaikan, seperti utang dapat diterima sepanjang terdapat
bukti yang menjelaskan sebaliknya. Yang dipungut dipersilahkan menilai
dan menentukan sendiri jumlah uang/barang/harta yang akan
dibayarkannya dan pemungut tidak boleh mengambil yang terbaik dari
harta mereka tersebut.
2. Beban pajak harus dibagi/didistribusikan secara merata berdasarkan
perlakuan yang sama di antara pembayar pajak. Keadilan dalam distribusi
atas beban pendapatan negara berimplikasi bahwa pengaruh akhir dari
beban pajak adalah apa yang penting dalam analisis akhir. Dengan
demikian, studi yang cermat mengenai pergeseran pengaruh harus
dilakukan untuk menghindari ketidakadilan dalam distribusi atas beban
pendapatan negara.
3. Banyak para fuqaha yang menyatakan bahwa “menghindari atau
melarikan diri dari pungutan pajak yang tidak adil diperbolehkan jika
tindakan tersebut tidak mengakibatkan ketidakadilan yang lebih besar
D. Posisi Zakat dan Pajak dalam Ekonomi Islam
Para ekonom muslim mendefinisikan zakat sebagai harta yang telah
ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang kepada masyarakat umum
atau individual yang bersifat mengikat, final, tanpa mendapat imbalan tertentu
yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, dimana

16
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

zakat hanya dikenakan kepada harta yang telah memenuhi nishab (batas minimal
harta yang terkena kewajiban zakat) dan diperhitungkan dari tingkat kekayaan
bersih seseorang setelah dikurangi kebutuhan pokok hidupnya. Zakat itu hanya
dialokasikan untuk memenuhi dan membantu kebutuhan delapan golongan (asnaf)
yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an serta untuk memenuhi tuntutan politik
bagi suatu sistem keuangan Islam. Pakar ekonomi kontemporer mendefinisikan
pajak sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah
atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.
Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan
dialokasikan untuk mencapai kebutuhan pangan secara umum dan untuk
memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara para ekonom muslim
mengenai posisi zakat dan pajak 6:
a. Pandangan pertama yaitu bahwa zakatlah yang merupakan kewajiban bagi
umat Islam dan sementara pajak hukumnya wajib hanya bagi non-muslim
(atau dalam bahasa instrumen fiskal dalam literatur Islam selama ini adalah
jizyah). Sehingga dalam sistem pemerintahan Islam hanya zakat yang
diperkenankan untuk dipungut untuk kaum muslim, sementara pajak hanya
dikenakan kepada kaum non-muslim yang merupakan kompensasi atas
perlindungan yang diberikan oleh pemerintahan Islam kepada mereka atau
dengan kata lain jizyah merupakan pajak pribadi atas kaum non-muslim.
b. Pandangan kedua yaitu bahwa zakat dan pajak sama-sama kewajiban negara
sehingga keduanya wajib untuk dipenuhi oleh setiap warga negara dalam
suatu pemerintahan. Pendapat ini dikemukakan pertama kali oleh Masdar F
Mas’udi pada awal tahun 1990-an. Menurut beliau zakat dan pajak adalah
suatu kewajiban, jika zakat merupakan aspek spiritual dari perintah Allah
untuk menafkahkan harta secara baik dan benar, maka pajak merupakan upaya
institusional perintah Allah tersebut.
c. Pandangan ketiga mengatakan bahwa zakat itu identik dengan pajak, atau
zakat adalah bagian dari pajak pemerintah. Dengan asumsi berdasarkan dua
hal yaitu kesatuan pemahaman dan kesatuan beban. Bila dihubungkan dengan
6
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Alfabeta, 2010),
hlm. 272-273

17
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

kesatuan pemahaman bahwa zakat itu identik dengan pajak karena kesamaan
unsur-unsurnya, istilahnya dan pengertiannya. Sementara bila dihubungkan
dengan kesatuan beban, terdapat pendapat bahwa zakat itu menyerupai pajak
dari segi beban harta yang harus dibayar oleh individu dan masyarakat yang
mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, demikian juga pajak itu
bagian terpenting beban harta untuk merealisasikan tujuan zakat itu sendiri.
Dan keduanya baik pajak dan zakat merupakan salah satu instrumen fiskal
utama.
d. Sementara pandangan keempat adalah memposisikan zakat sebagai suatu
sumber penerimaan utama dalam sistem perekonomian suatu negara,
sementara pajak hanya berfungsi sebagai penerimaan penunjang atau
penerimaan tambahan. Sehingga zakat merupakan kewajiban yang harus
ditunaikan oleh setiap warga negara, dan sementara penerimaan dari zakat
belum memenuhi maka pemerintah boleh untuk memungut pajak. Akan tetapi
apabila penerimaan dari zakat sudah memenuhi maka penerimaan dari pajak
ditiadakan.
E. Pengaruh Pajak di dalam perekonomian
Pajak secara konsep biaya akan menjadi peningkatan biaya bagi perusahaan,
sehingga akan menurunkan tingkat keuntungan perusahaan. Diasumsikan suatu
produk dikenakan pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai sebesar 10% dari
harga per unit, ini akan meningkatkan biaya total rata-rata (AC). Peningkatan AC
secara langsung akan meningkatkan biaya marjinal (MC). Apabila setelah
dikenakan beban pajak, harga tetap pada tingkat harga semula, maka peningkatan
biaya ini akan menurunkan keuntungan yang didapat per unit produk. Hal ini
terjadi karena penerimaan totalnya tetap sementara biaya total yang harus
ditanggung meningkat. Dalam gambar kondisi sebelum adanya pajak penjualan
laba yang diperoleh adalah sebesar laba1, sedangkan kondisi setelah adanya pajak
penjualan digambarkan dengan laba2. Dalam penjelasan ini diasumsikan struktur
pasar adalah persaingan sempurna. Kondisi sebelum adanya pajak penjualan
ditunjukkan oleh kurva biaya marjinal (MC), dan biaya total rata-rata (AC).
Sementara harga pada tingkat P* (atau P = AR = MR = Demand). Keuntungan
maksimum terjadi pada saat MR = MC, yaitu pada saat produksi Q1. tingkat

18
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

keuntungan maksimal ini digambarkan pada segi empat laba1 ( segi empat
ABCD).
Gambar 1
Rp Pengaruh Pajak Penjualan terhadap Keuntungan

MC2 MC1
AC2

AC1
A E B
P* MR = AR = P = D

G F
D C

Q
0 Q2 Q1
Rp

Laba1

Laba2
Q
0 Q1” Q2” Q2 Q1 Q2’ Q1’

Setelah pajak penjualan dikenakan kepada produsen, maka akan


meningkatkan biaya berubah rata-rata (AVC), hal ini secara langsung akan
meningkatkan kenaikan biaya total rata-rata (AC) dari AC1 menjadi AC2.
Kenaikan biaya total rata-rata akan menaikkan biaya marjinal, sementara harga
tetap berada pada tingkat P*. Karena keuntungan maksimum didapat pada kondisi
MR=MC, maka tingkat produksi optimal adalah sebesar Q2 dan tingkat

19
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

keuntungan maksimal yang didapat setelah dikenakan pajak penjualan adalah segi
empat laba2 (segi empat AEFG). Sehingga terlihat bahwa pada saat dikenakan
pajak penjualan, maka keuntungan yang didapat akan menurun dibandingkan
dengan sebelum adanya pajak penjualan, yaitu dari kondisi laba1 menjadi laba2.
Besaran penurunan keuntungan tergantung kepada besaran pajak penjualan yang
dikenakan kepada perusahaan. Oleh karenanya agar keuntungan produsen tidak
menurun dengan adanya beban berupa pajak penjualan, maka produsen
membebankan pajak penjualan ini kepada konsumen yang berarti kenaikan harga
produk per unit.
Sehingga pengenaan pajak penjualan akan memberikan pengaruh:
1. Turunnya total keuntungan dari laba1 menjadi laba2
2. Turunnya tingkat keuntungan maksimal yang digambarkan oleh puncak
gunung kurva laba pada diagram bawah, secara grafis puncak kurva laba1
lebih tinggi dari puncak kurva laba2
3. Mengecilnya rentang skala produksi yang mampu diproduksi oleh
perusahaan.
Selain itu dengan menggunakan pendekatan permintaan dan penawaran,
menunjukkan bahwa pengenaan pajak akan menyebabkan pergeseran di dalam
kurva penawaran, dimana kurva penawaran akan bergeser ke sebelah kiri. Hal ini
menjadikan harga barang yang ditawarkan oleh produsen menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan kondisi sebelum adanya pajak. Sehingga menyebabkan
terjadinya excess burden, dimana kuantitas keseimbangan barang menjadi lebih
sedikit dibandingkan dengan kondisi sebelum adanya pajak.
Beban pajak ini harus ditanggung baik oleh konsumen maupun oleh
produsen. Beban pajak yang ditanggung oleh konsumen ialah sebesar kenaikan
harga antara harga sebelum pajak dengan harga setelah pajak. Sedangkan beban
pajak yang ditanggung oleh produsen ialah dikarenakan menurunnya jumlah
barang yang diminta oleh konsumen. Kemudian hal lain yang menunjukkan
bahwa telah terjadi distorsi dalam perekonomian adalah adanya surplus yang tidak
dinikmati baik oleh produsen maupun oleh konsumen, hal inilah yang dalam
bahasa ekonomi dikenal dengan bobot mati (deadweight loss). Bobot mati
menunjukkan bahwa pajak telah menimbulkan inefisiensi di dalam perekonomian.

20
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Qs’ (sesudah pajak)

Qs (sebelum pajak)

A
P1
C B
P0

Qd

Q
Q1 Q0

Gambar 2
Kondisi sebelum dan sesudah pajak

Pada gambar 2, terlihat kondisi keseimbangan sebelum pajak ialah berada


di titik B (dengan jumlah keseimbangan barang sebesar Q0 dan tingkat harga P0).
Sedangkan kondisi keseimbangan setelah pajak berada di titik A (dengan jumlah
keseimbangan barang sebesar Q1 dan tingkat harga P1). Hal ini menyebabkan
penurunan surplus konsumen dan penurunan surplus produsen. Beban pajak yang
ditanggung oleh konsumen ialah sebesar selisih AC, dan beban pajak yang
ditanggung oleh produsen ialah sebesar selisih CD. Bobot mati (deadweight loss)
di dalam perekonomian yang tidak dinikmati baik oleh produsen maupun
konsumen ialah sebesar segitiga ABD.
F. Pengaruh Zakat di dalam perekonomian
Pengenaan zakat perniagaan kepada produsen memberikan pengaruh yang
berbeda dibandingkan dengan pengenaan pajak penjualan. Dalam konsep ekonomi
Islam, zakat perniagaan yang besarnya 2,5% hanya diwajibkan kepada harta yang
telah memenuhi syarat, yaitu nisab (batas minimal harta yang menjadi obyek
zakat yaitu setara dengan 96 gram emas), dan haul (batas minimal jangka waktu
kepemilikan harta yaitu satu tahun).
Obyek zakat perniagaan adalah barang atau harta yang diperjualbelikan
(dapat berkembang) dan tidak dikenakan kepada aset yang tidak berkembang.

21
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Namun ulama berbeda pendapat mengenai komponen biaya, sebagian berpendapat


bahwa biaya tetap boleh diperhitungkan, sehingga yag menjadi obyek zakat
adalah economic rent. Sebagian lainnya berpendapat bahwa hanya biaya berubah
saja yang boleh diperhitungkan sehingga yang menjadi obyek zakat adalah quasi
rent atau surplus produsen
Gambar 3
Rp Pengaruh Zakat Perniagaan terhadap Keuntungan

MC1

AC1
A B MR = AR = P = D
P*

D C

Q
0 Q1
Rp

Laba

Zakat
Q
0 Q1” Q1 Q1’

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai obyek zakat, namun hal


ini tidak berpengaruh terhadap biaya total (AC), yang berarti pula tidak
berpengaruh terhadap laba yang dihasilkan. Pengenaan zakat perniagaan juga

22
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

tidak mempengaruhi biaya marjinal, sehingga tidak akan memberikan pengaruh


terhadap kurva penawaran. Upaya memaksimalkan keuntungan berarti pula
memaksimalkan surplus produsen, dan sekaligus berarti memaksimalkan zakat
yang harus dibayar. Jadi dengan adanya pengenaan zakat perniagaan, usaha
memaksimalkan laba sejalan dengan perilaku memaksimalkan zakat.
Keuntungan maksimum didapat pada kondisi MR = MC, yaitu pada saat
produksi Q*. Besarnya tingkat keuntungan yang didapat digambarkan pada kurva
laba di diagram bawah, pengenaan zakat perniagaan tidak akan menaikkan biaya,
karena zakat perniagaan dikenakan pada harta/pendapatan netto, yaitu pendapatan
dalam jangka waktu setahun dikurangi dengan biaya operasional perusahaan. Oleh
karenanya pengenaan zakat perniagaan tidak berpengaruh pada biaya. Pada
diagram bawah puncak keuntungan maksimum berarti puncak zakat maksimal
yang dapat dibayarkan oleh produsen.
Dengan menggunakan analisis permintaan dan penawaran yang sama,
menunjukkan bahwa zakat tidak akan memengaruhi pada keseimbangan
permintaan dan penawaran di pasar. Hal ini berbeda dengan pajak yang
menimbulkan pergeseran pada kurva penawaran. Zakat yang ditanggung oleh
produsen ialah sebesar 2,5% yang dihitung dari pendapatan bersih produsen
bersangkutan. Sedangkan zakat yang ditanggung konsumen ialah melalui zakat
profesi yang turut pula dihitung sebesar 2,5% dari pendapatan bersih konsumen.
Zakat tidak menimbulkan terjadinya deadweight loss di dalam perekonomian.
Selanjutnya mungkin akan timbul pertanyaan apakah 2,5% cukup bagi
suatu Negara dalam mendanai pembangunannya. Nilai 2,5% merupakan besaran
yang tidak akan menimbulkan distorsi di dalam perekonomian. Oleh karenanya
dalam Islam selain zakat disarankan pula seorang muslim untuk membayarkan
infak, shadaqah, hibah, wakaf, dan berbagai pembayaran sukarela lainnya. Tujuan
utamanya adalah agar tidak terjadi distorsi di dalam perekonomian.
G. Zakat sebagai pengurang pajak penghasilan
Berdasarkan UU no. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan pajak 17
ayat (1) huruf a dan b, bahwasanya zakat bisa saja menurunkan pajak penghasilan
secara ganda. Pertama, mengurangi penghasilan kena pajak. Kedua, untuk nilai
tertentu juga menurunkan tarif progresif. Dalam bagian ini akan dilihat

23
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

bagaimanakah pengaruh zakat sebagai pengurang pajak penghasilan terhadap


makroekonomi. Zakat memiliki pengaruh terhadap konsumsi agregat, tabungan
dan investasi.
Asumsi yang digunakan dalam pembahasan ini adalah: pertama, zakat
dikenakan atas semua harta perniagaan dan investasi yang mempunyai potensi
untuk tumbuh yang dimiliki oleh kaum muslim. Kedua, pembayar zakat
perniagaan cukup besar dan menguasai satu bagian tertentu dari pendapatan
nasional. Ketiga, gerakan dakwah dan penyadaran zakat berhasil baik. Keempat,
proporsi zakat yang dibayarkan tersebut tetap, sebesar tertentu dari pendapatan
nasional. Kelima, zakat yang terkumpul dibagikan kembali kepada para mustahik.
Keenam, mustahik yang menerima zakat mempunyai kecenderungan
mengkonsumsi marjinal yang lebih tinggi secara signifikan dibanding muzakki.
Ketujuh, di satu sisi zakat pendapatan dihitung sebagai komponen pengurang
pajak penghasilan dan di sisi lain zakat yang diterima mustahik tidak wajib
dikenai pajak.
Dengan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan akan berpengaruh
positif terhadap tingkat konsumsi agregat. Penerapan UU No 17 tahun ini akan
meningkatkan kecenderungan mengkonsumsi rata-rata dan kecenderungan
mengkonsumsi marjinal akan cenderung lebih besar apabila dibandingkan dengan
kecenderungan mengkonsumsi rata-rata dan kecenderungan mengkonsumsi
marjinal tanpa adanya zakat.
Tabungan adalah selisih langsung antara pendapatan nasional dengan
konsumsi agregat. Zakat harta perniagaan akan berpengaruh negatif terhadap
tabungan. Kecenderungan menabung rata-rata dan kecenderungan menabung
marjinal dengan variabel zakat harta perniagaan lebih kecil dibandingkan
kecenderungan menabung rata-rata dan kecenderungan menabung marjinal tanpa
variabel zakat. Salah satu alasan yang melandasi mengapa zakat berpengaruh
negatif terhadap tabungan ialah apabila seseorang memiliki tabungan dan tidak
disirkulasikan dalam perekonomian maka tabungannya akan habis oleh zakat.
Makna dari alasan ini adalah agar umat Islam tidak menumpuk kekayaan semata,
melainkan harus memutar kekayaan yang dimiliki di dalam perekonomian agar

24
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

lebih bermakna lebih luas bagi perekonomian di suatu negara dibandingkan jika
kekayaan tersebut hanya disimpan saja.
Investasi adalah pengeluaran atau pembelanjaan para investor atau
perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan produksi, dengan
maksud menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang
tersedia dalam perekonomian. Secara umum investasi biasa dibedakan menjadi
investasi terpengaruh (induced investment) dan investasi otonom (autonomous
investment). Zakat akan berpengaruh positif terhadap investasi, sebab dengan
adanya kewajiban zakat akan menstimulus umat Islam untuk tidak menimbun
hartanya melainkan melakukan investasi agar harta tersebut berputar di dalam
perekonomian. Namun investasi yang dimaksud di sini adalah investasi riil bukan
investasi keuangan.
Meskipun secara umum zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak
telah memiliki pengaruh terhadap konsumsi agregat, tabungan dan investasi,
dampaknya sebenarnya lebih kecil apabila zakat diposisikan sebagai komponen
pengurang pajak penghasilan. Hal ini bisa digambarkan dengan ilustrasi sederhana
dengan menggunakan perhitungan berdasarkan Undang-undang No. 36 tahun
2008 tentang pajak penghasilan.
Misalkan seseorang memiliki pendapatan bulanan Rp 5 juta/bulan atau
setara dengan Rp 60 juta/tahun. Dan ia telah berkeluarga dengan 2 orang anak,
maka penghasilan tidak kena pajaknya akan sebesar Rp 15.840.000 + 1.320.000 +
1.320.000 + 1.320.000 = Rp 19.800.000,-. Maka penghasilan kena pajaknya akan
menjadi Rp 40.200.000,-, Apabila individu tersebut telah membayar zakat sebesar
Rp 1 juta, maka penghasilan kena pajaknya akan menjadi Rp 39.200.000,-.
Sehingga pajak penghasilan yang harus dibayar adalah sebesar Rp 39.200.000 x
5% (karena PKP masih sampai dengan Rp 50 juta/tahun) = Rp 1.960.000,-. Maka
total zakat dan pajak yang harus dibayarkan oleh individu tersebut adalah sebesar
Rp 2.960.000,-
Sekarang dengan kondisi yang sama namun saat ini zakat sebagai
pengurang pajak penghasilan dan bukan pengurang penghasilan kena pajak.
Besaran pajak yang harus dibayar adalah Rp 40.200.000 x 5% = Rp 2.010.000.
Apabila zakat yang telah dibayar adalah Rp 1 juta rupiah, maka pajak yang harus

25
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

dibayar adalah Rp 2.010.000 dikurangi dengan Rp 1 juta rupiah menjadi Rp


1.010.000,-. Sehingga total pajak dan zakat yang harus dibayar adalah sebesar Rp
2.010.000,-.
Dengan dua ilustrasi di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup
signifikan antara zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak dengan zakat
sebagai pengurang pajak penghasilan. Tidak heran, banyak masyarakat yang
memandang aturan saat ini dimana zakat sebagai pengurang penghasilan kena
pajak justru menyebabkan beban pajak dan zakat yang harus mereka bayar lebih
besar dibandingkan dengan hanya membayar pajak saja. Oleh karenanya
pemerintah jika memiliki keinginan yang sungguh-sungguh untuk
mengembangkan ekonomi syariah serta memiliki pengaruh yang cukup luas
dalam perekonomian, maka zakat sebaiknya diletakkan sebagai pengurang pajak
penghasilan. Apabila zakat diletakkan sebagai pengurang pajak penghasilan, maka
ia akan memiliki pengaruh yang lebih besar kepada konsumsi agregat, tabungan,
dan investasi dibandingkan dengan zakat hanya diposisikan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak.
H. Kesimpulan
Zakat merupakan salah satu instrument fiskal dalam perekonomian yang
telah dipergunakan oleh pemerintahan Islam semenjak Rasulullah saw, dan
berdasarkan perjalanan sejarah zakat telah memainkan peran cukup penting dalam
mekanisme distribusi pendapatan dalam perekonomian. Pengelolaan zakat yang
tepat, professional dan akuntabel akan memberikan pengaruh cukup signifikan
dalam perekonomian.
Diskursus tentang pajak, terutama di negara-negara Islam telah menjadi
sesuatu yang seringkali diperdebatkan. Hal ini disebabkan karena sejarah
perkembangan hukum Islam pada masa Rasulullah dan para khalifah tidak pernah
membebankan pajak kepada umat Islam. Umat Islam hanya diwajibkan membayar
zakat jika telah sampai kepada nishabnya. Sementara kewajiban terhadap pajak
dibebankan kepada masyarakat non-muslim yang bermukim di wilayah Islam atau
wilayah kekuasaan Islam. Namun demikian, dalam perkembangan konsep negara
modern sekarang ini, baik itu negara Islam maupun bukan negara Islam, telah
mewajibkan pungutan pajak bagi tiap warganya.

26
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Berdasarkan analisis ekonomi pengenaan pajak telah menimbulkan terjadi


inefisiensi di dalam perekonomian. Pertama, pajak akan menaikkan biaya dari
produsen sehingga terjadi penurunan tingkat keuntungan bagi perusahaan. Kedua,
pajak akan menimbulkan deadweight loss di dalam perekonomian yang tidak
dinikmati baik oleh produsen maupun konsumen.
Hal ini berbeda apabila pemerintah mengenakan zakat, zakat tidak akan
menimbulkan distorsi di dalam perekonomian. Selain itu nilai 2,5% merupakan
besaran yang tidak akan menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian. Oleh
karenanya dalam Islam selain zakat dianjurkan pula seorang muslim untuk
membayarkan infak, shadaqah, wakaf, hibah, dan berbagai bentuk pembayaran
sukarela lainnya. Dalam pemerintahan Islam, zakat merupakan sumber utama
penerimaan Negara dan pajak menjadi sumber pendapatan tambahan apabila
sumber penerimaan dari zakat masih belum memenuhi.

Daftar Pustaka
Al Arif, M. Nur Rianto. 2010a. Teori Makroekonomi Islam. Bandung: Alfabeta

-----------------------------. 2010b. Efek Pengganda Zakat Serta Implikasinya


Terhadap Program Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Ekbisi, Vol. 5, No. 1,
Desember 2010

------------------------------. 2011. Dasar-dasar Ekonomi Islam. Surakarta: Era


Intermedia

Al-Qasim, Abu Ubaid. 2006. Kitab al-Amwal (terj). Jakarta: Gema Insani Press

Al-Zuhayly, Wahbah. 1995. Zakat Kajian Berbagai Mazhab (terj).


Jakarta: Remaja Rosdakarya

Amar, Faozan. 2004. Pedoman Zakat Praktis. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah

Buku Panduan Hak dan Kewajiban Perpajakan, diterbitkan dalam bentuk e-book
oleh Ditjen Pajak Kemenkeu RI, http://www.pajakonline.com/engine
/learning/ view.php?id=765 diakses 15 Januari 2013

Chapra, Umer. 2002. Islam dan Tantangan Ekonomi alih bahasa oleh Ikhwan
Abidin Basri. Jakarta: Gema Insani Press

Choudhury, Masudul Alam. 1986. Contribution to Islamic Economic Theory.


London: Mac Millan.

27
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Djumrianti, Desloehal dkk. 2010. Optimalisasi Zakat Untuk Meminimalisasi


Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ekbisi, Vol. 5, No. 1, Desember 2010

Doa, M Djamal. 2001. Membangun Ekonomi Umat: Melalui Pengelolaan Zakat


Harta. Jakarta: Nuansa Madani

Fahmi, Chairul. 2010. Pajak dalam Syariat Islam: Kajian Normatif Terhadap
Kedudukan Wajib Pajak Bagi Muslim. Jurnal Ekbisi, Vol. 5, No. 1,
Desember 2010

Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema


Insani Press

Halim, M Nipan Abdul. 2001. Mengapa Zakat Disyariatkan. Bandung: M2s


Bandung

Huda, Nurul, dkk. 2012. Keuangan Publik Islam. Jakarta: Kencana

IMZ. 2010. Indonesia Zakat dan Development Report 2010. Ciputat: Indonesia
Magnificence of Zakat

------. 2012. Indonesia Zakat dan Development Report 2012. Ciputat: Indonesia
Magnificence of Zakat

Inayah, Gazi. 2003. Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak alih bahasa
oleh Zainudin Adnan dan Nailul Falah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya:

Kahf, Monzer (ed). 1997. Economics of Zakah (a book of Readings).


Jeddah: IRTI-IDB.

------------------------. 1998. Zakah Management In Some Moslem Countries.


Jeddah: IRTI-IDB.

------------------------. 1999. The Principle of Sosioeconomic Justice in The


Contemporary Fiqh of Zakah. Iqtishad Journal of Islamic Economic, Vol
I,
No. 1, Muharram 1420 H.

Khan, Fahim. 1985. The Macro Consumption Function in an Islamic


Framework. Journal of Research in Islamic Economics, Jeddah: King
Abdul Azis University:.

Kholis, Nur. 2010. Perpajakan di Indonesia dalam Perspektif Hukum Ekonomi


Islam. Jurnal Ekbisi, Vol. 5, No. 1, Desember 2010

Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan


Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN

28
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Mannan, M Abdul. 1992. Ekonomi Islam: Teori dan Praktik, alih bahasa: Potan
Arif Harahap. Jakarta: Intermasa

Metwally, M. M. 1993. Essays on Islamic Economics. Calcutta:


Academic Publisher

Muhammad. 2002. Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer.


Jakarta: Salemba Diniyah

Nata, Abudin, et.al. 1999a. Mengenal Hukum Zakat dan Infak / Sedekah.
Jakarta: BAZIS DKI Jakarta

------------------------. 1999b. Pengelolaan Zakat dan Infak / Sedekah di DKI


Jakarta. Jakarta: BAZIS DKI Jakarta

Pujiyono, Arif. 2010. Dampak Zakat Terhadap Pengentasan Kemiskinan Melalui


Program Zakat Produktif dan Berbasis pada Pemberdayaan Kelompok
Swadaya Masyarakat Miskin. Jurnal Ekbisi, Vol. 5, No. 1, Desember 2010

Qadir, Abdurrachman. 2001. Zakat: Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial.


Jakarta: Srigunting

Qardhawi, Yusuf. 1988. Hukum Zakat, alih bahasa Salman Harun, et.al.
Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa dan Mizan

---------------------. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, alih bahasa


Syafril Halim. Jakarta: Gema Insani Press

---------------------. 2005. Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi


Kerakyatan (terj). Jakarta: Zikrul

Rahman, Afzalur. 1993. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 3. Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf

Sadeq, Abu Al-Hasan. 1994. A Survey of The Institution of Zakah. Jeddah:


IRTI-IDB

Sudewo, Erie. 2012. Manajemen ZIS. Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat

Supriyanto, Eko. 2005. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam


dan Konvensional. Yogyakarta: Graha Ilmu

Susamto, Akhmad Akbar. 2002. Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena


Pajak: Sebuah Tinjauan Makroekonomi. Makalah SIMPONAS I, Sistem
Ekonomi Islam P3EI UII: Yogyakarta.

29
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Susanto, Anang A. 2002. “Zakat Sebagai Kebijakan Alternatif


Antikesenjangan dan AntiKemiskinan”. Jurnal Ekonomi Syariah
Muamalah. Vol. 1, No. 1, Agustus 2002

Trapsila, Aji Purba. 2010. Zakat dalam Pemodelan Makroekonomi. Jurnal Ekbisi,
Vol. 5, No. 1, Desember 2010

Wiwoho, B (ed). 1991. Zakat dan Pajak. Bina Rena Pariwara: Jakarta

30
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

BIOGRAFI PENULIS

Nama : Mohammad Nur Rianto Al Arif


Nama Panggilan : Arif
Tempat, tgl lahir : Pekanbaru, 13 Oktober 1981
Alamat rumah : Jl Ori Raya B2/19, Rt 002/011
Pondok Bambu, Jakarta Timur -13430-
Telpon : (021) 8616696 / (021) 8614885
Fax : (021) 8631207
Hp : 0818-118746 / 082123908885
Alamat kantor : Gedung III, Fak. Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan
Telpon kantor : (021) 74711537
E-mail : hakam_alarif@yahoo.com; agif08@gmail.com

Pendidikan:
1. Sedang menempuh S-3 Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta (tahun
2010- sekarang)
2. S-2 Ekonomi & Keuangan Syariah Universitas Indonesia, Jakarta (tamat tahun
2006)
3. S-1 Ekonomi jurusan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro, Semarang
(tamat tahun 2004)
4. SMUN 61 Jakarta (tamat tahun 1999)
5. SMPN 51 Jakarta (tamat tahun 1996)
6. Madrasah Diniyah Asy-syaakiriin Pondok Bambu (tamat tahun 1994)
7. SDN 01 pagi Pondok Bambu (tamat tahun 1993)

Pengalaman Kerja
1. Dosen Tetap Program Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2008 – sekarang
2. Dosen tidak tetap di FAI Uhamka Jakarta, September 2012 – sekarang
3. Dosen tidak tetap di FE Ubhara Jaya, Maret 2012 - sekarang
4. Dosen tidak tetap di STIE Muhammadiyah Jakarta, tahun 2009 – sekarang
5. Dosen tidak tetap di STIE MH Thamrin Jakarta, tahun 2010 – 2011
6. Direktur Baitulmâl Paramadina, Jakarta, 2006 – 2007
7. Direktur Keuangan dan Pemasaran PT Promedika Anugerah Mandiri, Jakarta
tahun 2005 – 2006
8. Dosen tidak tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STEI
Rawamangun), Jakarta, tahun 2004 – 2005

31
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

Organisasi:
1. Sekretaris Biro Penelitian Ekonomi Islam Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Pusat, periode 2011-2014
2. Bendahara 1 Pusat Pengkajian dan Penelitian Ekonomi Islam (P3EI) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pondok Bambu Jakarta Timur,
periode 2010-2015
4. Wakil Sekretaris LAZIS Muhammadiyah Wilayah DKI Jakarta, periode 2010-
2015
5. Ketua Majelis Ekonomi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jakarta Timur,
periode 2010-2015
6. Sekretaris Rukun Tetangga (RT) 002/011 Kelurahan Pondok Bambu,
Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur periode 2008 – 2011
7. Ketua Majelis Ekonomi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pondok Bambu
periode 2005 – 2010
8. Bendahara Lazis Pimpinan Daerah Jakarta Timur periode 2000 – 2005
9. Ketua Ikatan Remaja Islam Al-Ridha (2004 – 2007)
10. Pengurus di Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) FE Undip (semasa
kuliah)
11. Tim Ad-Hoc KNEI Forum silaturahmi Studi Ekonomi Islam (FoSSei) (semasa
kuliah)

Karya Ilmiah (Buku Teks)


 Buku berjudul “Lembaga Keuangan Syariah”. Penerbit Pustaka Setia,
Bandung, tahun 2012
 Buku berjudul “Potret Pendidikan Ekonomi Islam di Indonesia” sebagai
penulis ketiga dari tiga penulis. Penerbit Gramata, Jakarta. Tahun 2012
 Buku berjudul “Dasar-dasar Ekonomi Islam. Penerbit Era Intermedia,
Surakarta, tahun 2011
 Buku berjudul “Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah” CV Alfabeta Bandung
tahun 2010
 Buku berjudul “Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan
Ekonomi Konvensional” sebagai penulis pertama dari dua penulis. Penerbit
Kencana, tahun 2010
 Buku berjudul “Teori Makroekonomi Islam: Konsep, Teori dan Analisis”.
Penerbit Alfabeta Bandung, tahun 2010

Buku Ajar
 Buku Materi Pokok pada mata kuliah “Ekonomi Pendidikan”, Universitas
Terbuka, tahun 2012
 Buku Materi Pokok pada mata kuliah “Ekonomi Islam”, Universitas Terbuka,
tahun 2011

32
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

 Buku Ajar Individu Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berjudul “Teori Makroekonomi Islam”. Tahun 2010
 Buku Ajar Kolektif Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai penulis kedua berjudul “Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah”. Tahun 2010
 Buku Ajar Kolektif Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai penulis kedua yang berjudul “Teori Mikroekonomi Islam”.
Tahun 2009

Jurnal
 Efek Multiplier Wakaf Uang dan Pengaruhnya Terhadap Program
Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Asy-Syir’ah Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Vol. 46, No. 1, Januari 2012
 Tingkat Kepuasan Mahasiswa Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Pada
Program Studi Muamalat FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal Ekobis
STIE Muhammadiyah Jakarta, Vol. I, No. 2, September 2011
 Pengaruh Pelayanan Jasa Kesehatan Terhadap Kepuasan Konsumen Pada
Klinik Promedika Health Center. Sebagai penulis pertama dari dua penulis.
Jurnal Ekobis STIE Muhammadiyah Jakarta, Vol. I, No. I, Maret 2011
 Efek Pengganda Zakat Serta Implikasinya Terhadap Program Pengentasan
Kemiskinan. Jurnal Ekbisi Prodi Keuangan Islam, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Vol. 5, No. 1, Desember 2010
 Efektivitas Biaya Promosi dan Biaya Diklat Terhadap Penghimpunan Dana
Pihak Ketiga di Bank Syariah. Jurnal Ekonomi Bisnis, Universitas
Gunadarma, No. 3, Vol. 15, Desember 2010
 Potensi Wakaf Uang dan Dampaknya Terhadap Perekonomian. Jurnal Dialog
Balitbang Diklat Kemenang, No. 70, Tahun XXXIII, Nopember 2010
 Tingkat Suku Bunga Bank Konvensional dan Pengaruhnya Terhadap
Penetapan Persentase Bagi Hasil di Bank Syariah. Jurnal Dialog Balitbang
Diklat Kemenag, No. 69, Tahun XXXIII, Juli 2010
 Perilaku Konsumen Muslim dalam Memaksimuman Kepuasan. Jurnal Sosio-
Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010
 Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wakaf Uang. Jurnal Asy-Syir’ah Fakultas
Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 44, No. II tahun 2010
 Efek Multiplier Zakat terhadap Pendapatan di Propinsi DKI Jakarta. Jurnal Al-
Iqtishad FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 1, No. 1 tahun 2009

Paper dan Penelitian


 Paper pada Seminar Nasional dengan judul “Variabel Makroekonomi dan
Pengaruhnya Terhadap Penentuan Marjin Bagi Hasil di Bank Syariah”,
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, tahun 2011

33
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62

 Paper pada Seminar Nasional dengan judul “Pemerkuatan Kurikulum


Ekonomi Islam dalam Hubungannya dengan Kebutuhan Sumber Daya
Manusia di Industri Perbankan Syariah”, FEKON Universitas Terbuka, tahun
2011
 Penelitian kompetitif sebagai anggota tim peneliti dengan judul “Preferensi
Perguruan Tinggi di Jakarta Terhadap Perbankan Syariah”, Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011
 Penelitian kolektif sebagai anggota tim peneliti dengan judul “Pengukuran
Kepuasan Mahasiswa Terhadap Prodi Muamalat”, FSH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2011
 Paper pada Forum Riset Perbankan Syariah (FRPS) sebagai penulis kedua
dari dua penulis dengan judul “Peta Potensi SDM Ekonomi Islam di
Indonesia serta keterkaitannya dengan Industri Keuangan Syariah”. Bank
Indonesia, tahun 2010
 Penelitian kompetitif sebagai anggota tim peneliti dengan judul “Peta Potensi
SDM Ekonomi Islam di PTU dan PTAI serta Relevansinya Dengan Industri
Keuangan Syariah di Indonesia”, Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2010
 Paper pada Seminar Internasional dengan judul “Peranan BMT Dalam
Pembiayaan UMKM di Indonesia”. FE Universitas Trisakti, tahun 2010

34

Anda mungkin juga menyukai