Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
ABSTRAK:
Pajak dan zakat merupakan instrument fiskal yang dapat dipergunakan oleh
pemerintah. Dalam sistem pemerintahan Islam, zakat menjadi sumber utama
pendapatan negara. Pada tulisan ini akan berupaya memperbandingkan antara
zakat dan pajak serta pengaruhnya di dalam perekonomian. Berdasarkan
pendekatan yang dilakukan menggunakan penelitian kepustakaan
memperlihatkan bahwa penerapan pajak banyak menimbulkan distorsi dalam
perekonomian, hal ini menunjukkan mengapa dalam ekonomi Islam instrument
fiskal yang disarankan adalah zakat. Karena zakat memiliki pengaruh yang lebih
signifikan di dalam perekonomian apabila dibandingkan dengan pajak.
Kata kunci:
Pajak, Zakat, Instrumen fiskal
Some of the fiscal instruments that can be used is zakah and tax. In Islamic
government, zakat had been used as a primary income resources. In this article
we are going to make a comparation the effect of zakah and tax in economy.
According to library research that had been used in this article shown that tax
application had been made a lot of distortion in economy, this is the reason why
in Islamic economics zakah was suggested as a fiscal instruments, because zakah
have more a significant influence in economy rather than tax.
Keywords:
Tax, Zakah, Fiscal Instruments
1
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
A. Pendahuluan
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang disyari’atkan Allah kepada
umat Islam, sebagai salah satu perbuatan ibadah setara dengan shalat, puasa dan
ibadah haji. Akan tetapi, zakat tergolong ibadah ma’liah, yakni ibadah melalui
harta kekayaan dan bukan ibadah badaniah yang pelaksanaannya dengan fisik. Hal
inilah yang membedakan zakat dengan ibadah ritual lainnya, seperti ibadah shalat,
puasa maupun haji, dimana manfaatnya hanya terkena kepada individu tersebut
semata, sedangkan zakat manfaatnya bukan untuk individu tersebut semata namun
bermanfaat pula bagi orang lain. Allah mewajibkan zakat kepada individu yang
mampu dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar cinta hamba kepada
Penciptanya daripada dengan hartanya, sebab secara naluri alamiah manusia
memiliki kecenderungan merasa sangat berat apabila harus berkorban dengan
hartanya. Apakah hamba-Nya lebih mencintai hartanya ataukah Allah SWT yang
telah menciptakannya.
Zakat merupakan salah satu sumber pendapatan pada masa pemerintahan
Islam. Pada masa-masa awal pemerintahan kota Madinah, pendapatan dan
pengeluaran hampir tidak ada. Pada masa Rasulullah hampir seluruh pekerjaan
yang dikerjakan tidak mendapatkan upah, tidak ada tentara formal. Mereka tidak
mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari
rampasan perang, seperti senjata, kuda, unta dan barang-barang bergerak lainnya.
Pada tahun kedua setelah hijrah, sedekah dan fitrah diwajibkan , dimana
dibayarkan setiap bulan Ramadhan. Zakat mulai diwajibkan pembayarannya pada
tahun kesembilan hijrah. Dengan adanya perintah wajib ini mulai ditentukan para
pengelolanya, dimana mereka tidak digaji secara resmi, tetapi mendapatkan
bagian tertentu dari zakat yang dikelola yaitu maksimal 12,5% dari dana zakat
yang ada.
Sumber penerimaan pada masa Rasulullah SAW dapat digolongkan
menjadi tiga golongan besar, yaitu dari kaum muslim, kaum non-muslim, dan
sumber lain. 1
Dari kaum muslim sumber penerimaan negara, terdiri atas :
• Kharaj (pajak tanah)
1
Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 162.
2
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
• Zakat
• Ushr (bea impor)
• Zakat fitrah
• Wakaf
• Infak dan shadaqah
• Amwal fadhla (harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli
waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang
meninggalkan negerinya)
• Nawaib (pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada
kaum muslimin dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama
masa darurat, ini pernah terjadi pada saat perang Tabuk)
• Khumus atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam
Sementara pendapatan kaum non-muslim yakni :
• Jizyah
• Kharraj
• Ushr
Sedangkan dari sumber penerimaan yang lain yakni :
• Ghanimah (harta rampasan perang)
• Fay (harta dari daerah taklukan)
• Uang tebusan untuk para tawanan perang
• Kaffarah atau denda
• Hadiah
• Pinjaman dari kaum muslimin dan non-muslim
Dalam tulisan ini kita akan mencoba membandingkan antara zakat dan
pajak sebagai sumber penerimaan negara. Akan dilihat berbagai pendapat yang
muncul mengenai posisi zakat dan pajak dalam ekonomi Islam dan perekonomian
secara umum. Pertama kita akan mencoba membahas mengenai bagaimana
konsep zakat dan pajak, kemudian apa perbedaannya dengan zakat, serta berbagai
pendapat yang muncul mengenai positioning antara zakat dan pajak. Kemudian
apa pengaruh zakat sebagai pengurang pajak penghasilan di Indonesia.
3
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
B. Konsep Zakat
Ibadah zakat mempunyai dua aspek, yaitu aspek hubungan manusia dengan
Allah SWT (hablum minallah) dan aspek hubungan manusia dengan sesama
(hablum minannas). Aspek hubungan dengan Allah SWT adalah dengan
membayar zakat berarti kita mematuhi dan mentaati apa yang telah diperintahkan-
Nya, ini menandakan wujud kecintaan seorang hamba kepada penciptanya.
Seseorang dapat dikatakan beriman jika ia bersedia mematuhi segala hal yang
diperintahkan oleh Penciptanya, termasuk dalam hal kewajiban menunaikan zakat.
Selain itu dengan membayar zakat menandakan bahwa seorang hamba telah
bersyukur kepada sang pencipta atas semua rezeki, nikmat dan karunia yang telah
diberikan kepadanya. Wujud syukur tidaklah cukup hanya dengan ucapan
“alhamdulillah” semata, melainkan harus dibuktikan pula dengan perbuatan, dan
dengan membayar zakat maka itu menjadi bukti bahwa kita telah bersyukur
dengan melakukan suatu perbuatan dan tidak hanya dengan ucapan saja.
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat 2 mempunyai beberapa arti yaitu al-
barakatu (keberkahan), al-namaa (pertumbuhan dan perkembangan), ath-
thaharatu (kesucian) dan ash-shalahu (keberesan). Makna keberkahan yang
terdapat pada zakat berarti dengan membayar zakat, maka zakat tersebut akan
memberikan berkah kepada harta yang dimiliki dan insya Allah akan membantu
meringankan kita di akhirat kelak, sebab salah satu harta yang tidak akan hilang
meskipun sampai kita di alam barzah adalah amal jariyah selain doa anak yang
saleh dan ilmu yang bermanfaat.
Sedangkan makna terminologi 3 -istilah yang digunakan dalam pembahasan
fiqh Islam- adalah “mengeluarkan sebagian dari harta tertentu yang telah
mencapai nishab (takaran tertentu yang menjadi batas minimal harta tersebut
diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya)”, diberikan kepada mereka yang berhak
menerimanya (berdasarkan pengelompokan yang terdapat dalam Al-Qur’an), dan
harta tersebut merupakan milik sempurna –dalam artian merupakan milik sendiri
2
Doa, M Djamal. Membangun Ekonomi Umat: Melalui Pengelolaan Zakat Harta.
(Jakarta: Nuansa Madani. 2001)
3
Qadir, Abdurrachman. Zakat: Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. (Jakarta: Srigunting.
2001). Lihat pula Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian Modern. (Jakarta: Gema Insani
Press: 2002).
4
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
dan tidak terdapat kepemilikan orang lain di dalamnya- serta telah genap usia
pemilikannya selama setahun, hal ini dikenal dengan istilah haul.
Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 pasal 1 ayat 2 yang
dimaksud dengan “Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim
atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam”.
Yusuf Qardhawi 4 membagi tiga tujuan zakat yaitu: dari pihak muzakki,
pihak mustahik, dan masyarakat. Tujuan zakat dari pihak muzakki antara lain
untuk menyucikan dari sifat bakhil, rakus, egois, dan sejenisnya. Serta
menumbuhkan sifat pemurah, empati dan memiliki solidaritas kepada sesama.
Sedangkan bagi mustahik adalah terpenuhinya kebutuhan hidup dan tersucikannya
hati mereka dari rasa dengki dan kebencian yang sering menyelimuti hati mereka
melihat orang kaya yang bakhil. Adapun tujuan zakat dari pihak masyarakat
adalah zakat bernilai ekonomis, merealisasi fungsi harta sebagai alat perjuangan
menegakkan agama Allah dan mewujudkan keadilan sosial ekonomi masyarakat
pada umumnya.
Dalam menghitung potensi zakat telah ada beberapa ekonom muslim yang
telah melakukannya. Menurut perhitungan Public Interest Research and Advocacy
Center (PIRAC) tahun 2007 potensi zakat di Indonesia dengan melakukan survey
kepada 2000 responden di 11 kota besar adalah sebesar Rp 9,09 triliun.
Sedangkan menurut pakar ekonomi syariah Muhammad Syafii Antonio menyebut
potensi zakat Indonesia dapat mencapai Rp 17 triliun. Kemudian hasil riset
terbaru dari Ivan Syaftian, peneliti dari Universitas Indonesia tahun 2008 potensi
zakat profesi sebesar Rp 4,825 triliun per tahun. Serta adapula yang menghitung
potensi zakat berdasarkan pendapatan domestik bruto suatu negara, penghitungan
potensi zakat dilakukan dari 2,5% dari pendapatan domestik bruto (PDB) negara.
Akan tetapi perhitungan dengan menggunakan PDB masih dirasakan kurang tepat
apabila dipergunakan bukan di negara Islam seperti Indonesia, karena PDB yang
dihasilkan adalah campuran.
4
Yusuf Qardhawi. Hukum Zakat. (Bandung: Pustaka Litera Antar Nusa dan Mizan, 1988),
Lihat pula Yusuf Qardhawi. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995)
5
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun
2005 menyatakan bahwa potensi zakat nasional mencapai angka Rp 19,3 trilliun.
Sedangkan IMZ pada tahun 2007 telah merilis prediksi potensi zakat nasional
pada kisaran Rp 27,2 triliun.
Studi terbaru yang dilakukan oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB menunjukkan angka yang lebih besar.
Menurut studi yang dilakukan pada tahun 2011 lalu, terungkap bahwa potensi
zakat nasional mencapai angka 3,40 persen dari PDB atau tidak kurang dari 217
triliun. Potensi zakat ini dibagi ke dalam 3 kelompok besar yaitu potensi zakat
rumah tangga (individu), potensi zakat industri dan BUMN, serta potensi zakat
tabungan.
Adapun yang menjadi sasaran dari dana zakat ini telah ditentukan oleh
Allah swt dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 60:
6
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Ibnu sabil. Tipe kedua, mereka yang mendapatkan bagian karena pertimbangan
jasa dan manfaat, serta mereka yang berjuang di jalan Allah swt. Bila seseorang
tidak membutuhkan dan tidak ada pula manfaat pemberian zakat kepadanya, maka
ia tidak berhak mendapatkan bagian zakat tersebut.
Dari delapan asnaf tersebut bisa kita perluas maknanya, sehingga dalam
penyalurannya kita tidak hanya terpaku pada tekstual ayat semata.
1. Fakir merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak mempunyai sumber
penghasilan sehingga hidupnya sehari-hari sangat kekurangan. Dalam
pembahasan biasanya akan selalu dikaitkan dengan miskin, karena
kemiripan situasi hidup yang dihadapinya.
2. Miskin merupakan kondisi dimana seseorang mempunyai sumber
penghasilan akan tetapi penghasilan yang diperoleh masih sangat kecil
sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahan
yang muncul terkait dengan penentuan kemiskinan adalah bagaimana cara
menetukan standar hidup minimal yang layak. Namun selain itu kemiskinan
di sini dapat pula diartikan dengan kemiskinan intelektual atau kebodohan
yang selama ini melekat pada kaum muslimin serta kemiskinan iman.
3. Amil, yaitu individu, lembaga atau institusi pengelola zakat. Mereka berhak
menerima zakat karena untuk operasional dan biaya hidup mereka. Akan
tetapi besaran jatah untuk amil dibatasi maksimal hanya 12,5%. Diharapkan
dengan memasukkan amil sebagai salah satu asnaf penerima zakat, akan
memacu mereka untuk bekerja lebih baik lagi bagi kemaslahatan dan
kesejahteraan umat.
4. Muallaf yaitu individu yang baru saja masuk ke dalam Islam. Mereka berhak
menerima zakat, karena seringkali karena masuknya mereka ke dalam Islam
membuat mereka dikucilkan dari kehidupan yang seringkali membuat
mereka terkucil dalam hal ekonomi.
5. Riqab atau budak adalah kondisi dimana manusia diperlakukan tidak layak
yang dianggap sebagai benda. Pada masa sekarang budak sudah tidak ada
lagi akan tetapi kondisi yang mendekati hal tersebut masih ada, sebagai
contoh adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) terutama yang wanita seringkali
7
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
8
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
9
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
bahwa pemilik muks itu dalam neraka". (HR. Ahmad dari riwayat Ibnu Luhaiah
dan Tabrani).
Ulama-ulama seperti Muhammad Nashiruddin al-Albani, Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, dan Adz-Dzahabi
menyamakan muks ataupun usyur (1/10) sebagai pajak atau cukai sehingga
mereka mengharamkan pajak dan bea cukai, dan menfatwakan bahwa petugas
pajak maupun petugas bea cukai adalah pelaku dosa besar sehingga akan diazab
dan tempat kembalinya adalah neraka jahanam.
Menurut Abu Ubaid, hadis-hadis tersebut adalah mengenai pengumpul
zakat atas harta kaum muslim bukan haknya dan hukum makruh atas
pengumpulan cukai barang impor. Di dalam hadis itu juga telah disebutkan
larangan keras mengenai pengumpulan cukai, sebab itu merupakan kebiasaan
yang senantiasa dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non-Arab tanpa
pengecualian. Sebab kebiasaan mereka adalah memungut cukai barang dagangan
impor atas harta mereka, apabila masuk ke dalam negeri mereka.
Konsep yang membolehkan pajak bagi umat Islam lebih dilandasi pada
prinsip maslahah, yaitu untuk memenuhi kebutuhan negara, seperti
menanggulangi kemiskinan, membiayai pegawai negara, dan lain-lain yang tidak
terpenuhi dari zakat dan sadaqah, maka pajak menjadi alternatif daripada harus
berhutang yang memiliki nilai riba.
Jumhur ulama ahlul sunnah wal jama'ah dari empat madzhab, Syafi'i,
Hanafi, Maliki dan Hanbali, berpendapat muks ataupun usyur tidak dapat
digeneralisasikan sebagai bea cukai apalagi pajak. Secara etimologis, muks artinya
pengurangan dengan penzaliman. Sehingga muks adalah segala pungutan (uang)
yang diambil oleh ma’kis (pemungut muks atau kolektor retribusi) dari para
pedagang yang lewat dengan cara-cara zalim. Mereka sepakat bahwa pajak yang
dipungut/dipotong oleh pemerintah guna mendanai dan memenuhi kebutuhan
masyarakat luas seperti membiayai tersedianya fasilitas-fasilitas jalan, jembatan,
transportasi publik, air minum, listrik, rumah sakit pemerintah, obat-obat generik,
pertahanan, keamanan dan ketertiban oleh TNI dan POLRI, sekolah-sekolah
murah negeri hingga ke pedesaan dan daerah terpencil, dan fasilitas-fasilitas
10
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
11
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Oleh karena itu pajak dalam konsep syariat tidak boleh dipungut secara paksa dan
dengan kekuasaan (seperti ketentuan sanksi dalam undang-undang perpajakan di
Indonesia). Melainkan menjadi kewajiban bagi umat Islam dalam memelihara
kemaslahatan umat dan mencegah kemudharatan yang lebih besar.
Jika kondisinya demikian, maka negara berkewajiban untuk memenuhi hal-hal
yang merupakan tujuan dari pajak tersebut, yaitu: (1) penerimaan hasil-hasil pajak harus
dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan
tujuan-tujuan pajak; (2) pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di
antara mereka yang wajib membayarnya. (Fahmi, 2010)
Sebagian orang meyakini bahwa zakat dan pajak adalah sama, sehingga ketika
mereka sudah membayar pajak, beranggapan bahwa kewajiban zakatnya telah gugur.
Sementara sebagian lain berpendapat bahwa zakat dan pajak adalah dua hal yang berbeda,
sehingga sekalipun ia telah membayar pajak, kewajiban zakatnya tetap ada dan harus
ditunaikan. Sebab, zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib yang memiliki
karakteristik berbeda. Zakat merupakan kewajiban yang ditetapkan Allah kepada umat
Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Ketentuannya zakat diatur oleh
Allah sendiri dan rasul-Nya. Sedangkan pajak adalah kewajiban yang ditetapkan oleh
negara. Karena itu, pemerintah yang membuat kewenangan untuk mengurangi beban
pajak dalam keadaan atau kasus tertentu, bahkan juga berwenang mencabut suatu
macam pajak apabila dikehendaki.
Departemen Agama di dalam buku panduannya mengeluarkan statemen
bahwa pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah tidak bisa dijadikan
sebagai pembayaran zakat karena perbedaan yang terdapat antara keduanya. Seperti
perbedaan pihak yang mewajibkan, tujuan, jenis harta, volume (kadar; harga zakat)
yang wajib dibayar serta penyalurannya.
Pajak tidak boleh dipotong dari volume zakat yang wajib dibayar, tetapi
dipotong dari total jumlah harta yang terkena kewajiban zakat. Pajak yang harus
dibayar kepada pemerintah selama haul dan belum dibayar sebelum haul atau
datangnya waktu kewajiban membayar zakat, dipotong dari harta yang harus
dizakati tersebut termasuk kewajiban yang harus dilunasi. Peraturan pajak
seharusnya disesuaikan sehingga memungkinkan pengambilan volume zakat yang
wajib dikeluarkan dari volume zakat yang wajib dikeluarkan dari volume pajak
untuk memudahkan mereka yang membayar zakat tanpa batas selama yang
bersangkutan dapat mengajukan bukti yang kuat bahwa ia telah membayar zakat.
12
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
13
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
tanpa ada uang, padahal uang tidak ada kecuali dengan mewajibkan pajak. Maka
berlakulah di sini kaidah “sesuatu yang menjadi wajib hukumnya”.
Selanjutnya, mufti Al-Azhar Mesir, Syekh Syaltaut, dalam kitab Al-
Fatawa al-Kubra, menegaskan bahwa hakim boleh memungut pajak dari orang
yang mampu secara ekonomis untuk kemaslahatan asalkan tidak berlebihan
(melampaui batas). Muhammad Abu Zahrah juga membolehkan pajak di samping
zakat. Abu Zahrah menuturkan bahwa pajak tidak ada pada era Rasulullah
Muhammad SAW. Namun itu bukan karena pajak diharamkan dalam Islam, akan
tetapi karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat Islam dan
semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan persaudaraan yang terjalin
antara kaum Anshar dan Muhajirin berhasil mempersempit jarak sosial dan
ekonomi umat pada saat itu, sehingga tidak diperlukan campur tangan negara
dengan menarik pajak.
Para ulama yang mendukung diperbolehkannya memungut pajak,
menekankan bahwa yang mereka maksud adalah sistem perpajakan yang adil,
yang selaras dengan spirit Islam. Menurut mereka, sistem perpajakan yang adil
adalah apabila memenuhi tiga kriteria 5:
1. Pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran yang benar-benar
diperlukan untuk merealisasikan maqashid syariah.
2. Beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kemampuan rakyat
untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap semua
orang yang mampu membayar.
3. Dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang
karenanya pajak diwajibkan.
Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya, menurut
Yusuf Qardawi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Benar-benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain.
2. Pembagian beban pajak yang adil.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan
untuk maksiat dan hawa nafsu.
4. Persetujuan dari para ahli dan cendekiawan.
5
Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi alih bahasa oleh Ikhwan Abidin Basri.
Jakarta: Gema Insani Press, 2002
14
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
15
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
5. Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus,
tetapi pada saat-saat tertentu saja ketika negara dalam keadaan genting
atau terdapat kebutuhan yang sangat mendesak saja.
6. Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya
menghambur-hamburkan uang saja.
7. Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu
itu saja.
Terdapat tiga prinsip utama terkait prosedur-prosedur penilaian dan
pengumpulan pajak menurut Monzer Kahf, yaitu:
1. Penilaian atas seluruh pendapatan (zakat, kharaj, jizyah, pajak, dan lain-
lain) harus adil dan mudah. Para pembayar harus dibiarkan dengan
perasaan puas dan nyaman, ralat dan klaim pembebasan pungutan harus
dilakukan demi kebaikan, seperti utang dapat diterima sepanjang terdapat
bukti yang menjelaskan sebaliknya. Yang dipungut dipersilahkan menilai
dan menentukan sendiri jumlah uang/barang/harta yang akan
dibayarkannya dan pemungut tidak boleh mengambil yang terbaik dari
harta mereka tersebut.
2. Beban pajak harus dibagi/didistribusikan secara merata berdasarkan
perlakuan yang sama di antara pembayar pajak. Keadilan dalam distribusi
atas beban pendapatan negara berimplikasi bahwa pengaruh akhir dari
beban pajak adalah apa yang penting dalam analisis akhir. Dengan
demikian, studi yang cermat mengenai pergeseran pengaruh harus
dilakukan untuk menghindari ketidakadilan dalam distribusi atas beban
pendapatan negara.
3. Banyak para fuqaha yang menyatakan bahwa “menghindari atau
melarikan diri dari pungutan pajak yang tidak adil diperbolehkan jika
tindakan tersebut tidak mengakibatkan ketidakadilan yang lebih besar
D. Posisi Zakat dan Pajak dalam Ekonomi Islam
Para ekonom muslim mendefinisikan zakat sebagai harta yang telah
ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang kepada masyarakat umum
atau individual yang bersifat mengikat, final, tanpa mendapat imbalan tertentu
yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, dimana
16
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
zakat hanya dikenakan kepada harta yang telah memenuhi nishab (batas minimal
harta yang terkena kewajiban zakat) dan diperhitungkan dari tingkat kekayaan
bersih seseorang setelah dikurangi kebutuhan pokok hidupnya. Zakat itu hanya
dialokasikan untuk memenuhi dan membantu kebutuhan delapan golongan (asnaf)
yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an serta untuk memenuhi tuntutan politik
bagi suatu sistem keuangan Islam. Pakar ekonomi kontemporer mendefinisikan
pajak sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah
atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.
Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan
dialokasikan untuk mencapai kebutuhan pangan secara umum dan untuk
memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara para ekonom muslim
mengenai posisi zakat dan pajak 6:
a. Pandangan pertama yaitu bahwa zakatlah yang merupakan kewajiban bagi
umat Islam dan sementara pajak hukumnya wajib hanya bagi non-muslim
(atau dalam bahasa instrumen fiskal dalam literatur Islam selama ini adalah
jizyah). Sehingga dalam sistem pemerintahan Islam hanya zakat yang
diperkenankan untuk dipungut untuk kaum muslim, sementara pajak hanya
dikenakan kepada kaum non-muslim yang merupakan kompensasi atas
perlindungan yang diberikan oleh pemerintahan Islam kepada mereka atau
dengan kata lain jizyah merupakan pajak pribadi atas kaum non-muslim.
b. Pandangan kedua yaitu bahwa zakat dan pajak sama-sama kewajiban negara
sehingga keduanya wajib untuk dipenuhi oleh setiap warga negara dalam
suatu pemerintahan. Pendapat ini dikemukakan pertama kali oleh Masdar F
Mas’udi pada awal tahun 1990-an. Menurut beliau zakat dan pajak adalah
suatu kewajiban, jika zakat merupakan aspek spiritual dari perintah Allah
untuk menafkahkan harta secara baik dan benar, maka pajak merupakan upaya
institusional perintah Allah tersebut.
c. Pandangan ketiga mengatakan bahwa zakat itu identik dengan pajak, atau
zakat adalah bagian dari pajak pemerintah. Dengan asumsi berdasarkan dua
hal yaitu kesatuan pemahaman dan kesatuan beban. Bila dihubungkan dengan
6
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Alfabeta, 2010),
hlm. 272-273
17
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
kesatuan pemahaman bahwa zakat itu identik dengan pajak karena kesamaan
unsur-unsurnya, istilahnya dan pengertiannya. Sementara bila dihubungkan
dengan kesatuan beban, terdapat pendapat bahwa zakat itu menyerupai pajak
dari segi beban harta yang harus dibayar oleh individu dan masyarakat yang
mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, demikian juga pajak itu
bagian terpenting beban harta untuk merealisasikan tujuan zakat itu sendiri.
Dan keduanya baik pajak dan zakat merupakan salah satu instrumen fiskal
utama.
d. Sementara pandangan keempat adalah memposisikan zakat sebagai suatu
sumber penerimaan utama dalam sistem perekonomian suatu negara,
sementara pajak hanya berfungsi sebagai penerimaan penunjang atau
penerimaan tambahan. Sehingga zakat merupakan kewajiban yang harus
ditunaikan oleh setiap warga negara, dan sementara penerimaan dari zakat
belum memenuhi maka pemerintah boleh untuk memungut pajak. Akan tetapi
apabila penerimaan dari zakat sudah memenuhi maka penerimaan dari pajak
ditiadakan.
E. Pengaruh Pajak di dalam perekonomian
Pajak secara konsep biaya akan menjadi peningkatan biaya bagi perusahaan,
sehingga akan menurunkan tingkat keuntungan perusahaan. Diasumsikan suatu
produk dikenakan pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai sebesar 10% dari
harga per unit, ini akan meningkatkan biaya total rata-rata (AC). Peningkatan AC
secara langsung akan meningkatkan biaya marjinal (MC). Apabila setelah
dikenakan beban pajak, harga tetap pada tingkat harga semula, maka peningkatan
biaya ini akan menurunkan keuntungan yang didapat per unit produk. Hal ini
terjadi karena penerimaan totalnya tetap sementara biaya total yang harus
ditanggung meningkat. Dalam gambar kondisi sebelum adanya pajak penjualan
laba yang diperoleh adalah sebesar laba1, sedangkan kondisi setelah adanya pajak
penjualan digambarkan dengan laba2. Dalam penjelasan ini diasumsikan struktur
pasar adalah persaingan sempurna. Kondisi sebelum adanya pajak penjualan
ditunjukkan oleh kurva biaya marjinal (MC), dan biaya total rata-rata (AC).
Sementara harga pada tingkat P* (atau P = AR = MR = Demand). Keuntungan
maksimum terjadi pada saat MR = MC, yaitu pada saat produksi Q1. tingkat
18
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
keuntungan maksimal ini digambarkan pada segi empat laba1 ( segi empat
ABCD).
Gambar 1
Rp Pengaruh Pajak Penjualan terhadap Keuntungan
MC2 MC1
AC2
AC1
A E B
P* MR = AR = P = D
G F
D C
Q
0 Q2 Q1
Rp
Laba1
Laba2
Q
0 Q1” Q2” Q2 Q1 Q2’ Q1’
19
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
keuntungan maksimal yang didapat setelah dikenakan pajak penjualan adalah segi
empat laba2 (segi empat AEFG). Sehingga terlihat bahwa pada saat dikenakan
pajak penjualan, maka keuntungan yang didapat akan menurun dibandingkan
dengan sebelum adanya pajak penjualan, yaitu dari kondisi laba1 menjadi laba2.
Besaran penurunan keuntungan tergantung kepada besaran pajak penjualan yang
dikenakan kepada perusahaan. Oleh karenanya agar keuntungan produsen tidak
menurun dengan adanya beban berupa pajak penjualan, maka produsen
membebankan pajak penjualan ini kepada konsumen yang berarti kenaikan harga
produk per unit.
Sehingga pengenaan pajak penjualan akan memberikan pengaruh:
1. Turunnya total keuntungan dari laba1 menjadi laba2
2. Turunnya tingkat keuntungan maksimal yang digambarkan oleh puncak
gunung kurva laba pada diagram bawah, secara grafis puncak kurva laba1
lebih tinggi dari puncak kurva laba2
3. Mengecilnya rentang skala produksi yang mampu diproduksi oleh
perusahaan.
Selain itu dengan menggunakan pendekatan permintaan dan penawaran,
menunjukkan bahwa pengenaan pajak akan menyebabkan pergeseran di dalam
kurva penawaran, dimana kurva penawaran akan bergeser ke sebelah kiri. Hal ini
menjadikan harga barang yang ditawarkan oleh produsen menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan kondisi sebelum adanya pajak. Sehingga menyebabkan
terjadinya excess burden, dimana kuantitas keseimbangan barang menjadi lebih
sedikit dibandingkan dengan kondisi sebelum adanya pajak.
Beban pajak ini harus ditanggung baik oleh konsumen maupun oleh
produsen. Beban pajak yang ditanggung oleh konsumen ialah sebesar kenaikan
harga antara harga sebelum pajak dengan harga setelah pajak. Sedangkan beban
pajak yang ditanggung oleh produsen ialah dikarenakan menurunnya jumlah
barang yang diminta oleh konsumen. Kemudian hal lain yang menunjukkan
bahwa telah terjadi distorsi dalam perekonomian adalah adanya surplus yang tidak
dinikmati baik oleh produsen maupun oleh konsumen, hal inilah yang dalam
bahasa ekonomi dikenal dengan bobot mati (deadweight loss). Bobot mati
menunjukkan bahwa pajak telah menimbulkan inefisiensi di dalam perekonomian.
20
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Qs (sebelum pajak)
A
P1
C B
P0
Qd
Q
Q1 Q0
Gambar 2
Kondisi sebelum dan sesudah pajak
21
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
MC1
AC1
A B MR = AR = P = D
P*
D C
Q
0 Q1
Rp
Laba
Zakat
Q
0 Q1” Q1 Q1’
22
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
23
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
24
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
lebih bermakna lebih luas bagi perekonomian di suatu negara dibandingkan jika
kekayaan tersebut hanya disimpan saja.
Investasi adalah pengeluaran atau pembelanjaan para investor atau
perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan produksi, dengan
maksud menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang
tersedia dalam perekonomian. Secara umum investasi biasa dibedakan menjadi
investasi terpengaruh (induced investment) dan investasi otonom (autonomous
investment). Zakat akan berpengaruh positif terhadap investasi, sebab dengan
adanya kewajiban zakat akan menstimulus umat Islam untuk tidak menimbun
hartanya melainkan melakukan investasi agar harta tersebut berputar di dalam
perekonomian. Namun investasi yang dimaksud di sini adalah investasi riil bukan
investasi keuangan.
Meskipun secara umum zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak
telah memiliki pengaruh terhadap konsumsi agregat, tabungan dan investasi,
dampaknya sebenarnya lebih kecil apabila zakat diposisikan sebagai komponen
pengurang pajak penghasilan. Hal ini bisa digambarkan dengan ilustrasi sederhana
dengan menggunakan perhitungan berdasarkan Undang-undang No. 36 tahun
2008 tentang pajak penghasilan.
Misalkan seseorang memiliki pendapatan bulanan Rp 5 juta/bulan atau
setara dengan Rp 60 juta/tahun. Dan ia telah berkeluarga dengan 2 orang anak,
maka penghasilan tidak kena pajaknya akan sebesar Rp 15.840.000 + 1.320.000 +
1.320.000 + 1.320.000 = Rp 19.800.000,-. Maka penghasilan kena pajaknya akan
menjadi Rp 40.200.000,-, Apabila individu tersebut telah membayar zakat sebesar
Rp 1 juta, maka penghasilan kena pajaknya akan menjadi Rp 39.200.000,-.
Sehingga pajak penghasilan yang harus dibayar adalah sebesar Rp 39.200.000 x
5% (karena PKP masih sampai dengan Rp 50 juta/tahun) = Rp 1.960.000,-. Maka
total zakat dan pajak yang harus dibayarkan oleh individu tersebut adalah sebesar
Rp 2.960.000,-
Sekarang dengan kondisi yang sama namun saat ini zakat sebagai
pengurang pajak penghasilan dan bukan pengurang penghasilan kena pajak.
Besaran pajak yang harus dibayar adalah Rp 40.200.000 x 5% = Rp 2.010.000.
Apabila zakat yang telah dibayar adalah Rp 1 juta rupiah, maka pajak yang harus
25
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
26
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Daftar Pustaka
Al Arif, M. Nur Rianto. 2010a. Teori Makroekonomi Islam. Bandung: Alfabeta
Al-Qasim, Abu Ubaid. 2006. Kitab al-Amwal (terj). Jakarta: Gema Insani Press
Buku Panduan Hak dan Kewajiban Perpajakan, diterbitkan dalam bentuk e-book
oleh Ditjen Pajak Kemenkeu RI, http://www.pajakonline.com/engine
/learning/ view.php?id=765 diakses 15 Januari 2013
Chapra, Umer. 2002. Islam dan Tantangan Ekonomi alih bahasa oleh Ikhwan
Abidin Basri. Jakarta: Gema Insani Press
27
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Fahmi, Chairul. 2010. Pajak dalam Syariat Islam: Kajian Normatif Terhadap
Kedudukan Wajib Pajak Bagi Muslim. Jurnal Ekbisi, Vol. 5, No. 1,
Desember 2010
IMZ. 2010. Indonesia Zakat dan Development Report 2010. Ciputat: Indonesia
Magnificence of Zakat
------. 2012. Indonesia Zakat dan Development Report 2012. Ciputat: Indonesia
Magnificence of Zakat
Inayah, Gazi. 2003. Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak alih bahasa
oleh Zainudin Adnan dan Nailul Falah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya:
28
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Mannan, M Abdul. 1992. Ekonomi Islam: Teori dan Praktik, alih bahasa: Potan
Arif Harahap. Jakarta: Intermasa
Nata, Abudin, et.al. 1999a. Mengenal Hukum Zakat dan Infak / Sedekah.
Jakarta: BAZIS DKI Jakarta
Qardhawi, Yusuf. 1988. Hukum Zakat, alih bahasa Salman Harun, et.al.
Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa dan Mizan
Rahman, Afzalur. 1993. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 3. Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf
29
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Trapsila, Aji Purba. 2010. Zakat dalam Pemodelan Makroekonomi. Jurnal Ekbisi,
Vol. 5, No. 1, Desember 2010
Wiwoho, B (ed). 1991. Zakat dan Pajak. Bina Rena Pariwara: Jakarta
30
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
BIOGRAFI PENULIS
Pendidikan:
1. Sedang menempuh S-3 Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta (tahun
2010- sekarang)
2. S-2 Ekonomi & Keuangan Syariah Universitas Indonesia, Jakarta (tamat tahun
2006)
3. S-1 Ekonomi jurusan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro, Semarang
(tamat tahun 2004)
4. SMUN 61 Jakarta (tamat tahun 1999)
5. SMPN 51 Jakarta (tamat tahun 1996)
6. Madrasah Diniyah Asy-syaakiriin Pondok Bambu (tamat tahun 1994)
7. SDN 01 pagi Pondok Bambu (tamat tahun 1993)
Pengalaman Kerja
1. Dosen Tetap Program Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2008 – sekarang
2. Dosen tidak tetap di FAI Uhamka Jakarta, September 2012 – sekarang
3. Dosen tidak tetap di FE Ubhara Jaya, Maret 2012 - sekarang
4. Dosen tidak tetap di STIE Muhammadiyah Jakarta, tahun 2009 – sekarang
5. Dosen tidak tetap di STIE MH Thamrin Jakarta, tahun 2010 – 2011
6. Direktur Baitulmâl Paramadina, Jakarta, 2006 – 2007
7. Direktur Keuangan dan Pemasaran PT Promedika Anugerah Mandiri, Jakarta
tahun 2005 – 2006
8. Dosen tidak tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STEI
Rawamangun), Jakarta, tahun 2004 – 2005
31
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Organisasi:
1. Sekretaris Biro Penelitian Ekonomi Islam Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Pusat, periode 2011-2014
2. Bendahara 1 Pusat Pengkajian dan Penelitian Ekonomi Islam (P3EI) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pondok Bambu Jakarta Timur,
periode 2010-2015
4. Wakil Sekretaris LAZIS Muhammadiyah Wilayah DKI Jakarta, periode 2010-
2015
5. Ketua Majelis Ekonomi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jakarta Timur,
periode 2010-2015
6. Sekretaris Rukun Tetangga (RT) 002/011 Kelurahan Pondok Bambu,
Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur periode 2008 – 2011
7. Ketua Majelis Ekonomi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pondok Bambu
periode 2005 – 2010
8. Bendahara Lazis Pimpinan Daerah Jakarta Timur periode 2000 – 2005
9. Ketua Ikatan Remaja Islam Al-Ridha (2004 – 2007)
10. Pengurus di Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) FE Undip (semasa
kuliah)
11. Tim Ad-Hoc KNEI Forum silaturahmi Studi Ekonomi Islam (FoSSei) (semasa
kuliah)
Buku Ajar
Buku Materi Pokok pada mata kuliah “Ekonomi Pendidikan”, Universitas
Terbuka, tahun 2012
Buku Materi Pokok pada mata kuliah “Ekonomi Islam”, Universitas Terbuka,
tahun 2011
32
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
Buku Ajar Individu Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berjudul “Teori Makroekonomi Islam”. Tahun 2010
Buku Ajar Kolektif Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai penulis kedua berjudul “Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah”. Tahun 2010
Buku Ajar Kolektif Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai penulis kedua yang berjudul “Teori Mikroekonomi Islam”.
Tahun 2009
Jurnal
Efek Multiplier Wakaf Uang dan Pengaruhnya Terhadap Program
Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Asy-Syir’ah Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Vol. 46, No. 1, Januari 2012
Tingkat Kepuasan Mahasiswa Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Pada
Program Studi Muamalat FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal Ekobis
STIE Muhammadiyah Jakarta, Vol. I, No. 2, September 2011
Pengaruh Pelayanan Jasa Kesehatan Terhadap Kepuasan Konsumen Pada
Klinik Promedika Health Center. Sebagai penulis pertama dari dua penulis.
Jurnal Ekobis STIE Muhammadiyah Jakarta, Vol. I, No. I, Maret 2011
Efek Pengganda Zakat Serta Implikasinya Terhadap Program Pengentasan
Kemiskinan. Jurnal Ekbisi Prodi Keuangan Islam, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Vol. 5, No. 1, Desember 2010
Efektivitas Biaya Promosi dan Biaya Diklat Terhadap Penghimpunan Dana
Pihak Ketiga di Bank Syariah. Jurnal Ekonomi Bisnis, Universitas
Gunadarma, No. 3, Vol. 15, Desember 2010
Potensi Wakaf Uang dan Dampaknya Terhadap Perekonomian. Jurnal Dialog
Balitbang Diklat Kemenang, No. 70, Tahun XXXIII, Nopember 2010
Tingkat Suku Bunga Bank Konvensional dan Pengaruhnya Terhadap
Penetapan Persentase Bagi Hasil di Bank Syariah. Jurnal Dialog Balitbang
Diklat Kemenag, No. 69, Tahun XXXIII, Juli 2010
Perilaku Konsumen Muslim dalam Memaksimuman Kepuasan. Jurnal Sosio-
Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wakaf Uang. Jurnal Asy-Syir’ah Fakultas
Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 44, No. II tahun 2010
Efek Multiplier Zakat terhadap Pendapatan di Propinsi DKI Jakarta. Jurnal Al-
Iqtishad FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 1, No. 1 tahun 2009
33
Jurnal Ekonomi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Volume 3, Nomor 1, April 2013, hlm. 35 - 62
34