Anda di halaman 1dari 22

REFLEKSI KASUS

ANESTESI SPINAL PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS


Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati
Bantul

Diajukan Kepada :
dr. Dedy Hartono, Sp. An

Disusun oleh :
Salasatul Aisiyah
20174011119

KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS
ANESTESI SPINAL PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati
Bantul

Disusun oleh :
Salasatul Aisiyah
20174011119

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal 9 Maret 2019

Pembimbing

dr. Dedy Hartono, Sp. An


1. Pengalaman

a. Anamnesis

Seorang pasien datang dengan keluhan terdapat luka pada jari tengah
kaki kiri. Luka tersebut pertama kali muncul sejak dua minggu sebelum masuk
rumah sakit dan bertambah parah hingga saat ini. Pasien memiliki riwayat
Diabetes Mellitus sejak tahun 2015, tidak terkontrol dengan pengobatan.
Riwayat Hipertensi (-) Riwayat Asma (-) Alergi (-) Stroke (-) Kejang (-)

b. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Vital sign :

Tekanan darah : 125/80 mmHg

Nadi : 72 kali /menit

Nafas : 19 kali/menit

Suhu : 36,3°C

VAS score: 1

Buka mulut : >3jari

Jarak thyromental : >6.5cm

Gerakan leher : Bebas

Mallampati skor :1

c. Pemeriksaan laboratorium

Darah Lengkap

Hb : 13,6 [14 - 18] g%


AL : 7,21 [4 - 11] ribu/ul
AT: 243 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 40,6 [42 - 52] %
Eosinofil :2 [2 - 4] %
Basofil :1 [0 - 1] %
Batang :0 [2 - 5] %
Segmen : 59 [51 - 67] %
Limfosit : 30 [20 - 35] %
Monosit : 8 [4 - 8] %

Hemostasis
PPT : 12,0 [12,0-16,0] detik
APTT : 28,7 [28,0-38,0] detik
Co PTT : 13,5 [11,0-16,0] detik
Co APTT : 30,9 [28,0-36,5] detik
Fungsi Ginjal
Ureum : 32 [17 - 43] mg/dl
Kreatin : 0,55 [0,6 – 1,1] mg/dl
Diabetes
GDS : 428 [<200] mg/dl
Elektrolit
Natrium : 137,2 [137,0 – 145] mmol/l
Kalium : 4,16 [3,50 – 5,10] mmol/l
Klorida : 101,8 [98,0 – 107,0] mmol/l
HbA1c
HbA1c : 8,70 Non diabetes :
<5,7 : Normal
5,7 – 6,4 : Risiko DM
>6,4 : Indikasi DM
Monitoring DM
<7 : Terkontrol
>7 : Tidak Terkontrol

d. Pemeriksaan Radiologi

Rontgen Thoraks : Cor, Pulmo tak tampak kelainan

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,


didapatkan diagnosis Ulkus Diabetik Pedis Sinistra. Pasien dikategorikan sebagai
status ASA 2 karena memiliki penyulit berupa diabetes mellitus. Pasien kemudian
dijadwalkan operasi pada tanggal 7 Maret 2019 dan dipuasakan 8 jam pre-operasi.
Pasien dilakukan anestesi dengan teknik anestesi spinal dengan Bupivacaine HCl
0,5% 20 mg.

2. Perasaan terhadap Pengalaman

Bagaimana penatalaksanaan anestesi spinal pada pasien dengan diabetes mellitus ?


3. Analisis

Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau
ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4 untuk menghasilkan
onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan
parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan
dalam.yang mengalami blockade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar dan
proprioseptif, blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai
bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu
fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.
Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen,
lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan,
dan penyebaran obat.

 Keuntungan Anestesi Spinal

1. Perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat,

2. Komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat minimal,

3. Relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sementara pasien
dalam keadaan sadar.

4. Obat yang masuk sedikit dan tidak beredar ke seluruh tubuh, sehingga janin
dalam rahim tidak terkena efek samping obat bius.

5. Pasca bedah boleh langsung minum

 Kerugian Anestesi Spinal

Selain keuntungan ada juga kerugian dari cara ini yaitu berupa komplikasi
yang meliputi hipotensi, mual dan muntah, PDPH (Post Dural Puncture
Headache), nyeri pinggang, gatal-gatal, kesemutan, sulit buang air kecil dan
lainnya.

 Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan
khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang
panggul, bedah obstetri, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak
kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.

 Kontraindikasi

Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi


lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati dan peningkatan
tekanan intracranial.

Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, prior spine surgery,nyeri


punggung, penggunaan obat-obatan pre operasi golongan AINS, heparin
subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil.

 Persiapan anestesi spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada


anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau
pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu
perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal;

2. Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung;

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

4. Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial


Thromboplastine Time)

 Obat-obatan anestesi spinal

Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan
daerah teranestesi. Pada anestesi spinal, jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan
ke atas. Bila sama (isobaric), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan.

Dosages and Actions of Commonly Used Spinal Anesthetic Agents

Doses (mg) Duration (min)

Drug Preparation Perineum,


Lower Upper
Lower Plain Epinephrine
Abdomen Abdomen
Limbs

Procaine 10% solution 75 125 200 45 60

0.75% in 8.25%
Bupivacaine 4–10 12–14 12–18 90–120 100–150
dextrose

1% solution in
Tetracaine 4–8 10–12 10–16 90–120 120–240
10%glucose

Lidocaine 5% in
25–50 50–75 75–100 60–75 60–90
7.5%glucose

Ropivacaine
0.2–1% solution 8–12 12–16 16–18 90–120 90–120

Bupivakain

Bupivakain hidroklorida adalah obat anestesi lokal golongan amida dengan rumus
kimianya 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6- dimethilfenil) monoklorida. Mula
kerjanya lebih lambat daripada lidokain namun lama kerja sampai delapan jam. Oleh
karena lama kerja yang panjang, maka sangat mungkin menggunakan obat anestesi
lokal ini dengan teknik satu kali suntikan.

Obat ini terutama digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0,25 – 0,5%)
dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. Obat ini menghasilkan blockade syaraf
sensorik dan motorik. Bupivakain mempunyai efek penurunan tekanan arteri rerata
lebih sedikit dibanding dengan menggunakan lidokain.

Kontraindikasi bupivakain adalah penyakit susunan saraf pusat aktif, septikemia,


anemia pernisiosa dengan degenerasi subakut dari korda spinalis, infeksi piogenik
pada kulit, syok kardiogenik atau hipovolemik, gangguan koagulasi atau sedang
mendapat terapi antikoagulan. Efek sampingnya dapat menimbulkan hipotensi,
bradikardia, sakit kepala. Juga dapat menimbulkan blokade spinal tingkat tinggi atau
total sehingga menyebabkan depresi kardiovaskular dan pernafasan namun jarang
terjadi.
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.

 Penegakan Diagnosa

 Patofisiologi

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya


metabolisme karbohidrat yang tidak seimbang yang disebabkan defisiensi
insulin (absolut dan relatif) atau respon tubuh terhadap insulin (resistensi
insulin) sehingga terjadi hiperglikemia dan glukosuria. Pada keadaan tanpa
DM, pengaturan kadar glukosa darah dalam tubuh dipengaruhi keseimbangan
antara glukagon dan insulin dibawah kontrol susunan saraf pusat. Glukagon
mempunyai efek umpan balik positif terhadap sekresi insulin, sebaliknya
insulin memberikan efek berlawanan terhadap sekresi glukagon.
Glukagon melalui hepar mempunyai fungsi produksi glukosa melalui
berbagai jalur metabolisme (karbohidrat, asam amino, dan asam lemak) dan
insulin merangsang ambilan (transport aktif) glukosa oleh sel (terutama
hepar, otot dan jaringan adiposa). Apabila makanan mengandung karbohidrat
diberikan, insulin akan disekresi dan secara bersamaan akan menekan sekresi
glukagon sehingga tidak menimbulkan hiperglikemia. Sebaliknya pada saat
olahraga, ambilan glukosa meningkat, tubuh memerlukan energi lebih
banyak, lalu terjadi peningkatan sekresi glukagon agar hepar memproduksi
glukosa lebih banyak, secara bersamaan katekolamin akan menekan sekresi
insulin sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Pankreas merupakan organ
yang kaya akan persarafan, dimana peningkatan sekresi insulin dipengaruhi
oleh stimulasi reseptor b adrenergik dan dihambat oleh stimulasi reseptor a
adrenergik.
Secara fisiologik, insulin mempunyai efek anabolik dan anti katabolik
pada semua sel tubuh, sebaliknya penurunan insulin berhubungan dengan
katabolisme dan balans nitrogen negatif .

Respon Metabolik Penderita DM Perioperatif


Pembedahan dan anestesi memicu respon stres neuro-endokrin dan pelepasan
hormon-hormon kontra-regulasi, akibatnya terjadi resistensi insulin jaringan perifer,
peningkatan produksi glukosa hepar, gangguan sekresi insulin dan degradasi lipid dan
protein (Jennifer B. Marks, 2003). Respon pertama terhadap trauma pembedahan
adalah meningkatnya kadar hormon katabolik dalam sirkulasi (katekolamin, glukagon
dan kortisol) dalam sirkulasi, disertai dengan menurunnya kadar hormon anabolik
dalam plasma ( insulin dan testosteron ).
Pelepasan katekolamin sistemik (epinefrin dan norepinefrin) merangsang
glikogenolisis dan glukoneogenesis hepar, juga menghambat ambilan (uptake)
glukosa oleh jaringan insulin-dependent. Efek epinefrin terhadap reseptor adrenergik
 dan  juga mempengaruhi metabolisme glukosa seperti meningkatkan laju
metabolik dan fungsi-fungsi pankreas. Perangsangan reseptor  akan menghambat
pelepasan insulin dan  merangsang sekresi glukagon bersamaan dengan insulin.
Bahkan pada periode intraoperatif dan paska bedah awal, efek reseptor  menjadi
lebih dominan dan menyebabkan penekanan sekresi insulin yang berlebihan.
Penurunan kadar insulin ditambah dengan peningkatan glukoneogenesis dan
peningkatan resistensi insulin menyebabkan hiperglikemia dan intoleransi glukosa.
Efek katabolik katekolamine lainnya meliputi stimulasi lipolisis dan ketogenesis
melalui mekanisme:
a. Peningkatkan kadar cAMP di jaringan adiposa fosforilasi dan aktifasi
hormone-sensitive lipase meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam lemak
bebas (FFA) ke dalam sirkulasi.
b. Peningkatan kadar glukagon hingga 50% dari nilai dasar (baseline value)
sehingga memperkuat efek katabolik dari katekolamin melalui mekanisme :
• Stimulasi produksi glukosa hepar, dan
• Aktifasi growth hormone / GH dan glukokortikoid
Kadar glukagon plasma akan tetap meningkat sesudah pembedahan, akan
meningkat-kan ambilan asam amino hepatik, glukoneogenesis dan glikogenolisis.
Peningkatan ACTH menyebabkan kadar glukokortikoid (kortisol) darah
meningkat dan menghasilkan respon glikemik moderat. yang mempotensiasi efek
katabolik katekolamin dan glukagon. Kortisol meningkatkan produksi glukosa oleh
hepar, menginduksi lipolisis dan stimulasi proteolisis à balans nitrogen negatif.
Produk lipolisis dan proteolisis (seperti asam lemak bebas, gliserol, alanin dan
glutamin) menyediakan substrat glukoneogenesis untuk hepar. Semua ini
meningkatkan katabolisme (hiperkatabolisme).
Efek metabolik dari hormon pertumbuhan (growth hormone / GH) adalah
mening-katkan kecepatan sintesis protein (efek anabolik), meningkatnya mobilisasi
asam lemak bebas / free fatty acid (efek ketogenik), dan penurunun kecepatan
utilisasi glukosa di jaringan (efek diabetogenik). Kondisi stres perioperatif dan
anxietas menyebabkan peningkatan pelepasan GH.
Sekresi insulin yang tidak adekuat ditambah dengan kondisi stres perioperatif
dan puasa prabedah menempatkan penderita diabetes mellitus cenderung
mengalami hiperglikemia, hipovolemia, diuresis osmotik, ketosis dan gangguan
keseimbangan asam basa. Diuresis osmotik terjadi karena tekanan osmotik glukosa
yang tinggi dan melampaui nilai ambang glukosa pada ginjal penderita dengan
hiperglikemia. Dehidrasi, asidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit (deplesi
natrium dan kalium) adalah akibat dari diuresis osmotik

Pertimbangan Anestesi pada Pasien DM


a. Preoperative
Kadar Hemoglobin A1c dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
mempunyai resiko besar terjadi hiperglikemia perioperative dan oleh karena
itu peningkatan komplikasi dan hasil yang buruk. Morbiditas Perioperative
pada pasien DM dihubungkan dengan preoperative kerusakan organ, walaupun
sepertiga sampai setengah pada pasien DM type II mungkin tidak acuh bahwa
mereka memiliki resiko itu. Paru-paru, Kardiovaskular, dan sistem renal
memerlukan penilaian yang ketat. Suatu Rongent thorak preoperative pada
penderita DM lebih mungkin terjadi pembesaran jantung kongesti pembuluh
darah paru, atau efusi pleura. EKG preoperatif pada pasien DM juga dapat
terjadi peningkatan insiden abnormalitas dari segment ST dan segmen
gelombang T. Myocardial ischemia mungkin jelas terihat pada EKG di
samping riwayat yang tidak ada/negatif (silent myocardial ischemia dan
infark).
Pasien DM dengan hipertensi, 50% nya menderita neuropati otonom
diabetik. Refleksi gangguan fungsi sistem saraf otonom meningkat sejalan
dengan peningkatan usia, DM lebih dari 10 tahun, CAD, atau blokade β-
adrenergic. Neuropathy Otonomi pada penderita DM dapat membatasi
kemampuan kerja jantung untuk melakukan kompensasi terhadap perubahan
volume intravaskuler dan dapat mempengaruhi ketidak stabilan kardiovaskuler
(seperti pada hipotensi postinduksi) dan bahkan kematian berhubungan dengan
kematian jantung yang mendadak, insidennya mungkin meningkat dengan
penggunaan angiotensin-converting enzyme inhibitors atau angiotensin
receptor blockers. Lebih lanjut, gangguan fungsi otonomik berperan terhadap
perlambatan pengosongan lambung (gastroparesis). Premedikasi dengan suatu
antacid dan metoclopramide akan sangat bijaksana pada pasien DM yang
gemuk dengan tanda dari disfungsi otonom jantung. Bagaimanapun, disfungsi
otonom dapat mempengaruhi tractus gastrointestinal tanpa tanda tanda-tanda
keterlibatan jantung.
Gangguan ginjal dimanifestasikan dengan proteinuria dan kemudian
peningkatan kreatinin serum. Dengan kriteria ini, pasien DM tipe I paling
sering mengalami gangguan ginjal pada usia 30 tahunan. Karena tingginya
kejadian infeksi yang dihubungkan dengan sistem kekebalan, perhatian yang
tegas pada tehnik aseptic harus dilakukan pada pemasangan semua kateter
intravena dan monitoring invasive.
Hiperglikemi kronik dapat memicu terjadinya glikosilasi / glycosylation
pada protein jaringan dan sindrom keterbatasan pergerakan sendi / limited-
mobility joint syndrome. Pada preoperative, Pasien DM harus selalu dievaluasi
secara rutin terhadap kemampuan pergerakan dari sendi temporomandibular
dan tulang leher untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi,
dimana kejadian ini terjadi sekitar 30% pada penderita DM tipe I.
b. Intraoperatif
Tujuan utama dari management gula darah intraoperatif adalah
menghindari terjadinya hipoglikemi. Walaupun memcoba untuk
mempertahankan kondisi euglikemi adalah hal yang kurang hati-hati, tidak
dapat diterimanya hilangnya gula darah kontrol (>180mg/dL) juga membawa
suatu resiko. Hiperglikemi telah dihubungkan dengan keadaan
hiperosmolaritas, infeksi/peradangan dan luka yang sulit sembuh. Yang lebih
penting, ia dapat memperburuk neurologis setelah suatu episoda iskemik
serebral dan hasil setelah tindakan bedah jantung atau setelah akut miokard
infark. Kecuali hiperglikemi diobati secara agresif pada DM tipe, kontrol hasil
metabolik, terutama yang berhubungan dengan pembedahan besar atau sepsis.
Pengawasan yang ketat bermanfaat pada pasien yang akan menjalani
pembedahan kardiopulmonary bypass dengan memperbaiki kontraktilias dan
pemisahan dang dengan menurunnya infeksi dan komplikasi neurologis.
Kontrol ketat pada pasien hamil dengan DM telah memperlihatkan perbaikan
hasil pada bayi. Meskipun demikian, seperti dicatat sebelumnya, bahwa
ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai sumber energi yang membuat
hal ini menjadi penting, sehingga terjadinya hipoglikemi harus dihindari.
Adanya beberapa regimen pada managemen perioperatif untuk pasien
DM. Yang paling sering, pasien menerima suatu fraksi (biasanya setengah)
dari total dosis insulin dosis pada bentuk insulin kerja intermediate . Untuk
menurunkan resiko terjadinya hipoglikemi, insulin diberikan setelah akses
vena terpasang dan diperiksa kadar gula darah pagi hari. Sebagai contoh,
seorang pasien yang normal mendapatkan Insulin NPH (neutral protamine
Hagedorn; intermediate-acting) dosis 30 U dan 10 U dari regular atau insulin
Lispro (short-acting) atau analog insulin setiap pagi dan setiap yang gula
darahnya kurang dari 150mg/dL mendapatkan 15 U (setengah dari 30,
setengah dari dosis normal pagi hari) dari NPH secara subkutan atau IM
sebelum pembedahan bersama dengan infus dekstrosa 5% (1,5 mL/kg/jam).
Penyerapan insulin subkutan atau IM tergantung dari pada aliran darah
dijaringan, bagaimanapun, dan selama pembedahan dapat tidak diramalkan.
Penggunaan dari jalur intravena dengan jarum infus yang kecil untuk
pemberian cairan dextrose guna mencegah terjadinya pengaruh dengan cairan
intraoperatif dan obat yang lain. Tambahan dekstrosa dapat diberikan jika
pasien menjadi hipoglikemik ( < 100 mg/dL ). Tetapi, hiperglikemi
intraoperatif ( > 150-180 mg/dL ) diterapi dengan cairan insuliln reguler IV
sesuai dengan skala yang ada. Satu unit insulin regular yang diberikan pada
dewasa biasanya kadar glukosa lebih rendah pada 25 – 30 mg/dL. Ini harus
ditekankan bahwa dosis-dosis ini adalah perkiraan dan tidak berlaku bagi
pasien dalam keadaan Katabolic ( misalnya, sepsis, hyperthermia).

Dua teknik yang paling sering pada perioperatif managemen insulin pada penderita DM

Bolus Administration Continuous Infusion

D5W (1.5 mL/kg/h) D5W (1 mL/kg/h)

Preoperative Regular insulin :


NPH1 insulin (half usual AM dose)

Intraoperative Regular insulin (as per sliding scale) Same as preoperative

Postoperative Same as intraoperative Same as preoperative


1
NPH, neutral protamine Hagedorn.

Suatu metode alternative untuk pemberian regular insulin adalah dengan


infuse kontinyu. Kelebihan dari tehnik ini adalah lebih seksama/tepat
mengontrol pemberian insulin daripada dapat dicapai dengan suntukan insulin
NPH secara subkutan atau IM, terutama pada kondisi yang dihubungkan
dengan perfusi dikulit dan otot yang jelek. Dua ratus dan 50 Unit regular
insulin dapat ditambahkan dalam 250ml garam fisiologis dan infuse dimulai
pada dosis 0,1 U/kg/jam. Seperti pada Fluktuasi gula darah, infuse regular
insulin dapat ditambahkan dapat disesuaikan menurut rumusan yang berikut :

Target umum untuk mempertahankan gula darah intraoperatif adalah 120


– 150 mg/dL. Walau beberapa telah diatas target dari 120 mg/dL. Kontrol
yang ketat dengan tehnik intravena kontinous mungkin lebih tepat untuk DM
type I. penambahan 20mEg KCl pada setiap 1 liter cairan harus lebih
diperhatikan, insulin menyebabkan potassium (Kalium) pindah ke intraseluler.
Efek dari penyerapan insulin oleh spuit intravena dapat diminimalkan dengan
flushing jalur sebelum dimulainya infuse. Beberapa anestesi juga menyarankan
penempatan infuse insulin pada botol gelas untuk meminimalkan penyerapan
oleh plastic intravenous bag. Karena kebutuhan insulin setiap individu sangat
bervariasi sekali, banyak formula yang harus diperhatikan hanya sebagai
guidline saja.
Jika pasien pada preoperatif sedang meminum obat hipoglicemik oral
sebagai pengganti insulin, obat dapat dilanjutkan samapi hari akan dioperasi,
tetapi pada sulfonylureas dan metformin harus dihentikan 24 – 48 jam sebelum
operasi karena mereka mempunyai half life / masa paruh yang panjang.
Mereka dapat dimulai lagi postoperatif ketika pasien sudah dapat minum per
oral. Metformin dimulai jika fungsi renal dan hepar tetap adekuat. Karena aksi
kerja yang lama, suatu infus glukosa dimulai dan gula darah terus dimonitor
sebagai insulin dengan kerja yang intermediat telah diberikan. Efek obat oral
hipoglikemi dengan lama kerja yang singkat dapat memanjang pada gangguan
ginjal. Banyak pasien-pasien ini memerlukan insulin dari luar selama masa
intraoperatif dan postoperatif. Hal ini disebabkan oleh stress menghadapi
pembedahan yang menyebabkan peningkatan dalam counterregulatory
hormon (seperti, catecholamines, glucocorticoids, growth hormone) dan
mediator inflasi seperti faktor nekrosis tumor dan interleukin. Setiap
penambahan ini menjadi stress hiperglikemi, dengan peningkatan kebutuhan
insulin. Namun, beberapa DM tipe II akan bertoleransi kecil, prosedur
pembedahan yang ringan tanpa memerlukan insulin dari luar.
Kunci untuk beberapa cara managemen adalah memantau kadar glukosa
plasma secara rutin dan menyadari adanya variasi antara pasien pasien dengan
DM bervariasi dalam kemampuan mereka untuk menghasilkan insulin
endogenous. Pasien dengan DM tipe I yang rapuh mungkin memerlukan
penilaian glukosa setiap jam, sementara pada beberapa pasien DM tipe 2
cukup setiap 2 – 3 jam. Demikian juga, kebutuhan insulin bervariasi sesuai
stress pada prosedur pembedahan tersebut. Pasien yang menerima insulin pada
pagi hari tetapi tidak menjalankan pembedahan sampai sore adalah cenderung
menjadi hipoglikemi walaupun diberikan infus dextrose. Kecuali kalau
terpasang arteri line, pengambilan spesimen darah yang banyak dan
mengirimkanya ke laboratorium memerlukan waktu dan biaya yang mahal,
dan memberikan trauma pada pembuluh darah pasien. Portable
spectrophotometers dapat menilai konsentrasi glukosa dari setetes darah yang
berasal dari ujung jari dalam semenit. Alat ini menilai konversi warna suatu
potongan glucose-oxidase-impregnated yang telah diunjukkan ke darah pasien
itu untuk suatu periode tertentu. Ketelitian mereka tergantung pada luas besar,
kepedulian dengan mana pengukuran dibuat. Pemantauan gula di urin tidak
cukup akurat untuk management Intraoperatif (intraoperative manajement.)
Pasien yang mendapatkan NPH atau protamine zinc, insulin meningkatkan
resiko reaksi alergi terhadap protamine sulfat – termasuk syok anaphylaksis
dan kematian. Sayangnya, operasi yang memerlukan penggunaan heparin dan
yang berikutnya berlawanan dengan protamine (seperti pada Kardiopulmonal
bypass) adalah lebih sering terjadi pada penderita DM. Pada pasien ini
menerima sedikit protamin untuk test dose 1 – 5 mg selama lebih dari 5 – 10
menit sebelum diberikan dosis reversal penuh.
c. Post-operative
Pemantauan yang ketat pada pasien DM terhadap kadar gula darahnya
harus tetap diperiksa postoperatif secara terus-menerus. Satu alasan untuk hal
ini adalah variasi individu pada onset dan lama nya kerja dari preparat insulin.
Untuk contoknya, onset kerja dari insulin reguler mungkin kurang dari 1 jam,
tetapi lama kerjanya lebih dari 6 jam. Insulin NPH mempunyai ciri pada onset
kerja kurang dari 2 jam, tetapi kerjanya dapat lebih lama dari 24 jam. Alasan
lain pemantauan yang ketat adalah progresivitas dari stress hiperglikemi dalam
masa rekoveri. Jika volume laktanya besar –terkandung pada IVFD yang
diberikan intraoperatif, kadar gula cenderung meningkat 24 – 48 jam post
operatif dimana hepar merubah laktat menjadi glukosa. Pasien DM rawat jalan
mungkin diperlukan izin untuk dirawat semalam jika mual dan muntahnya
tetap ada yang berassal dari gastroparesis mencegah intake oral.

Anestesi Spinal pada pasien DM


Anestesi spinal memiliki respon lebih baik untuk menekan respon stres operasi
dengan mengurangi pengeluaran katekolamin sehingga meminimalkan respon stress
neuroendokrin sebelum insisi sampai periode pasca bedah. Trauma pembedahan
menyebabkan timbulnya respon stres pada neuroendokrin melalui respon inflamasi
lokal dan aktivasi jalur aferen saraf somatik dan viseral. Akibat respon tersebut terjadi
peningkatan sekresi hormon kortisol, aldosteron, norepinefrin, dan epinefrin yang
dikenal sebagai hormon neuroendokrin. Kortisol, glukagon, dan epinefrin akan
bekerja secara sinergis dan menyebabkan glukoneogensis, hal ini menyebabkan
terjadinya hiperglikemia.

4. Kesimpulan
- Pada pasien dengan diabetes melitus perlu untuk dipantau kondisi kadar gula darah.
- Pemilihan anestesi pada pasien dengan diabetes melitus dengan menggunakan
anestesi spinal memiliki respon yang lebih baik untuk mengatasi respon stres
operasi.
DAFTAR PUSTAKA

Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for Diabetes
Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc, Virginia, 1991: 147-
50
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD.2018.Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology : Regional anesthesia and pain management (6th ed). United State:
Lange.
Desborough JP. 2000.The stress response to trauma and surgery. Br J Anaesth.
Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang Critical
Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
Karagiannis T, Bekiari E, Manolopoulos K, Paletas K, and Tsapas A. Gestational Diabetes
Mellitus: Why Screen and How To Diagnose. Hippokratia. 2010; 14(3): 151-154.
Singh M.2003.Stress Response and Anaesthesia : altering the peri and post operative
management. Indian JAnaesth.47 (6): 427-34.
Sunatrio, S., 1996, Penatalaksanaan Anestesi Pada Pasien Diabetes Mellitus, Makalah
Kursus Penyegaran dan Penambah Anestediologi, Jakarta, Hal. 1-17.
Stoelting, Robert K., ed. et. al. ; Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice; 4th
ed.;
Lippincott Williams Wilkins; Philadelphia; 2006; pp.813-816.
Komplikasi Diabetes Melitus

Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi
insulin absolut atau relatif yang merupakan komplikasi akut diabetes. Manifestasi klinis
utama KAD berupa hiperglikemia, ketosis dan asidosis metabolik. KAD pada DM terjadi bila
ada faktor pencetus, misalnya infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, steroid, atau
kurangnya dosis insuln. Selain KAD, komplikasi akut diabetes yang juga dapat
membahayakan adalah hyperglicemic hyperosmolar state (HHS).

Patofisiologi

Kriteria Diagnosis

KAD HHS
Ringan Sedang (glukosa Berat (glukosa Glukosa plasma
(glukosa plasma plasma plasma >600mg/dL
>250mg/dL) >250mg/dL) >250mg/dL)
pH darah arteri 7.25-7.30 7.00-<7.24 <7.00 >7.30
Bikarbonat 15-18 10-<15 <10 >18
serum (mEq/l)
Keton urin + + + Sedikit
Keton serum + + + Sedikit
Osmolarias Bervariasi Bervariasi Bervariasi >320 mOsm/kg
serum efektif
Anion gap >10 >12 >12 Bervariasi
Status mental Sadar Sadar/somnolen Sopor/koma Sopor/koma

Tata Laksana Umum


• Rehidrasi
• Regulasi gula darah
• Regulasi gangguan asam basa elektrolit
• Atasi faktor pencetus (tersering infeksi)
• Oksigen bila PO2 <80 mmHg
• Antibiotika yang adekuat
• Pantau tanda vital, kesadaran, balans cairan
• Pemantauan laboratorium

 Glukosa darah setiap jam dengan glukometer

 Elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam pertama, selanjutnya disesuaikan dengan


keadaan klinis pasien.

 Analisis gas darah (AGD) apabila pH <7, sebaiknya diperiksa setiap 6 jam
hingga pH >7.1. Selanjutnya periksa AGD setiap hari sampai pasien stabil.

Protokol

Infus I (NaCl Infus II (insulin) Kalium Natrium


0.9%) bikarbonat
Jam ke 0-1 : 2-4  Setelah 2 jam  Dimulai bersamaan  Drip 100 mEq
kolf (1-2 liter) bila pH<7.0,
rehidrasi cairan, dengan drip RI
Jam ke 1-2 : 2 disertai drip
kolf bolus RI 180  Dosis 50 mEq/6jam KCL 26 mEq
Jam ke 2-3 : 1  Drip 50 mEq bila
mU/KgBB IV,  Syarat: tidak ada gagal
kolf pH 7.0-7.1,
Jam ke 3-4 : 1 dilanjutkan ginjal, tidak ada disertai drip
kolf KCL 13 mEq
dengan drip 90 gelombang T yang
Jam ke 4-5 : 0.5  Juga diberikan
kolf mU/KgBB/jam lancip dan tinggi pada pada asidosis
Jam ke 5-6 : 0.5 laktat dan
dalam NaCl 0.9% EKG, jumlah urin
kolf hiperkalemia
 Bila GD<200 adekuat yang
Selanjutnya: mengancam
Disesuaikan mg/dl kecepatan  Lakukan pemeriksaan
sesuai kebutuhan dikurangi menadi elektrolit kedua,
 Jumlah cairan 45 mU/KgBB/jam kemudian dosis
yang diberikan
 Bila GD stabil disesuaikan dengan hasil
dalam 15 jam
sekilat 5 L 200-300 mg/dl :
 Apabila Kaliu Drip KCL
selama 12 jam,
Na+>155 m
mEq/l, ganti drip RI 1-2 U/jam
<3 75mEq/6jam
cairan dengan IV, disertai sliding 3.0-4.5 50mEq/6jam
NaCl 0.45%
4.5-6.0 25mEq/6jam
 Apabila scale setiap 6
>6.0 Stop drip
GD<200 mg/dl, jam :
ganti cairan
dengan D5% GD RI
(mg/dl) (U,
Catatan 1 SK)
kolf=500cc <200 0
200- 5
250 10
250- 15
300 20
300-
350
>350
 Bila GD <100
md/dl stop drip RI
 Setelah sliding
scale setiap 6 jam,
dapat
diperhitungkan
kebutuhan insulin
per hari, dibagi
dalam 3 dosis
subkutan yang
diberikan sebelum
makan (apabila
pasien sudah bisa
makan)

Referensi :
1. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hypergliemic crises in adult patients
with diabetes. Diabetes Care. 2009;32(7)
2. Perkumpulan endokrinologi Indonesia: Petunjuk praktis pengelolaan diabetes melitus tipe
2. Jakarta: PB PERKENI; 2008

Anda mungkin juga menyukai