Disusun Oleh:
Kelompok 3
Menyetujui,
Kepala Ruangan
Kusniawati, S. ST
NIP.196806041988032005
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul....................................................................................................... i
Lembar Pengesahan .............................................................................................. ii
Daftar Isi................................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakan ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3 Tujuan.................................................................................................. 2
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................... 2
1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
2.1 Definisi ................................................................................................ 4
2.2 Etiologi ................................................................................................ 4
2.3 Manifestasi Klinis ............................................................................... 5
2.4 Klasifikasi............................................................................................ 6
2.5 Komplikasi .......................................................................................... 13
2.6 Penatalaksanaan .................................................................................. 13
2.7 Pemeriksaan Diagnostik ...................................................................... 24
2.8 Web of Caution ................................................................................... 26
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN .................................................................. 27
BAB 4 PEMBAHASAN ....................................................................................... 37
BAB 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 38
5.1 Kesimpulan.......................................................................................... 38
5.2 Saran .................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39
iii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keracunan metanol adalah keracunan akibat mengkonsumsi metanol yang
dapat mengakibatkan gangguan pada papil saraf optik secara simetris, asidosis
metabolik dan bahkan kematian (Kraut & Kurtz, 2008). Metanol merupakan
alkohol yang paling sederhana dengan rumus kimia CH3OH, berat molekul 32,04
g/mol dan titik didih 64,5° C (147° F) (Kraut & Kurtz, 2008). Zat ini bersifat ringan,
mudah menguap, tak berwarna, mudah terbakar, beracun dan berbau khas. Metanol
digunakan secara luas pada industri mobil sebagai larutan pembersih kaca mobil,
bahan anti beku, dan bahan campuran untuk bahan bakar (Epker, 2010).
Kasus keracunan metanol di Amerika sangat jarang ditemukan, yaitu 1% dari
total kasus keracunan (Lin, 1989). Di Inggris dan Norwegia juga merupakan kasus
yang sangat jarang dijumpai (Epker, 2010). Kasus keracunan metanol yang terjadi
selama bulan Juni 2009 sampai bulan Mei 2010 di RSUP Sanglah sebanyak 76
kasus atau 18% dari total kasus keracunan di RSUP Sanglah, sebanyak 39 kasus
diantaranya meninggal.
Keracunan metanol disebabkan karena oksidasi metanol oleh enzim
dehidrogenase alkohol menjadi formaldehid, dan selanjutnya dimetabolisme
menjadi asam format oleh dehidrogenase formaldehid. Asam format merupakan
metabolit toksik yang berperan pada terjadinya gangguan tajam penglihatan,
asidosis metabolik, kebutaan dan kematian pada penderita keracunan metanol.
Gejala awal keracunan metanol adalah gangguan pada tajam penglihatan.
Gangguan tajam penglihatan umumnya terjadi dalam 18 sampai 24 jam setelah
minum/ terpapar metanol. Dampak keracunan metanol pada setiap orang sangat
bervariasi, dengan minimum lethal dose antara 300 sampai 1000 mg/kgbb. Dosis
minimum yang mengakibatkan kebutaan belum diketahui, namun pernah
dilaporkan kebutaan terjadi setelah minum metanol sedikitnya 4 ml (Arora, 2007).
Salah satu penyebab utama kematian terkait alkohol adalah toksisitas alkohol
akut. Alkohol dengan konsentrasi alkohol darah yang tinggi menginduksi depresi
pernapasan dan kematian akibat keracunan alkohol akut adalah bentuk dominan
dari mono toksisitas zat kematian. Blood Alcohol Concentration (BAC) merupakan
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Racun adalah zat yang ketika ditelan, terhisap diabsorpsi, menempel pada
kulit, atau dihasilkan didalam tubuh dalam jumlah relaktif kecil menyebabkan
cedera tubuh dengan adanya reaksi kimia (Smeltzer Suzana dalam Nurarif Kusuma,
2015).
Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan terhisap, diabsorpsi, menempel
pada kulit atau dihasilkan didalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil dapat
mengakibatkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan
zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis toksik
akan menyebakan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian. Racun dapat
diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit atau melalui rute lainnya.
Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat atau secara kumulatif.
Keracuanan adalah penyakit yang tiba – tiba dan mengejutkan yang dapat
terjadi setelah menelan makanan / minuman yang terkontaminasi (Brunner &
Suddarth, 2015).Sedangkan, keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah
kondisi yangmengikuti masuknya zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan
kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perilaku, fungsi dan respon psikofisiologis.
Sumber lain menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan sebagai masuknya
suatu zat kedalam tubuh yang dapat menyebabkan ketidaknormalan mekanisme
dalam tubuh bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.
2.2 Etiologi
Penyebab keracunan menurut Nurarif dan Kusuma (2015) ada beberapa
macam dan akibatnya bisa mulai yang ringan sampai yang berat. Secara umum yang
banyak terjadi di sebabkan oleh:
a. Mikroba, yang menyebabkan keracunan di antaranya :
1) Escherichia coli patogen 4) Bacillus Parahemolyticus
2) Staphilococus aureus 5) Clostridium Botulisme
3) Salmonella 6) Streptokkkus
b. Bahan Kimia
1) Peptisida golongan organofosfat
5
2.4 Klasifikasi
A. Keracunan pada sistem pencernaan
1) Keracunan bahan kimia
a. Bahan kimia organofosfat
Organofsfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila tertelan
meskipun dalam jumlah sedikit dapat menyebabkan kematian pada manusia.
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul
sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkolin persisten atau depresi
yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal seperti
salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare terjadi pada keracunan organofosfat
secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga
kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan oto polos.
Beberapa fek kronis akibat dari keracunan organofsfat adalah berat bdana
menurun, anorexia, anemia, tremor, sakit kepala, pusing, gelisah, gangguan
psokologis, sakit dada dan lekas marah karena organofosfat dapat
mempengaruhi fungs saraf (Prijanto, 2009).
b. Bahan kimia organoklorin
Organoklorin terdiri dari salah satunya adalah DDT (Dichloro-diphenyl-
tricloroethan). Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat
menyebabkan keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam.
Gejala yang terlihat pada intoksikasi DDT adalah nausea, vomitus, parethesis
pada lidah, bibir dan muka, iritabilitas, tremor, convulsi, koma, kegagalan
pernafasan, kematian (Prijanto, 2009).
c. Bahan Kimia Insektisida
Baygon termasuk ke dalam Insektisida golongan karbamat, keracunan
insektisida biasanya terjadi karena kecelakaan dan percobaan bunuh diri.
2) Keracunan alkohol
Alcohol yang dikonsumsi akan diabsorbsi termasuk yang melalui saluran
pernfasan. Penyerapan terjadi setelah alcohol masuk kedalam lambung dan
diserap diusu kecil. Hanya 5 – 15% yang diekskresikan secara langsung mellalui
paru-paru, keringat dan urin.
7
Gejala keracunan alkohol sangat bervariasi mulai dari yang sifatnya ringan
yaitu ataxia (sempoyongan) sampai berat yaiut koma (Darmono, 2000).
3) Keracunan methanol
Keracunan methanol adalah keracunan akibat mengkonsumsi methanol yan g
dapat mengakibatkan gangguan pada papil saraf optic secara simetris, asidosis
metabolik dan bahkan kematian (Triningrat et al, 2010). Methanol adalah cairan
tidak berwarna dan sedikit berbau dengan rumus kimia CH3OH. Methanol juga
disebut methyl alcohol, wood spirit, carbinol, wood alcohol dan wood naptha.
Penggunaan methanol untuk konsumsi tidaklah dibenarkan karena methanol
dalah zat tidak layak konsumsi dan beracun bagi tubuh. Dosis toksik methanol
adalah 100 mg/kgBB. Dosis toksik methanol dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan, serta mual dan muntah, namun tidak secara
cepat mengakibatkan kematian (Hamidah && Yulianti, 2017).
4) Keracunan Makanan
Keracunan makanan adalah masuknya zat toxic (racun) dari bahan yang kita
makan ke dalam tubuh karena ikut tertelan bersama makanan. Ciri-ciri
makanan beracun yaitu sebagai berikut:
a. Warna lebih terang disebabkan penggunaan pewarna.
Zat pewarna pada makanan dibagi menjadi dua yaitu zat pewarna alami
dan zat pewarna sintesis. Zat pewarna alami merupakan zat pewarna yang
bersala dari tanaman atau buah-buahan. Zat pewarna sintesis merupakan
zat pewarna buatan manusia. Zat pewarna yang sering ditambahkan adalah
rhodamin B, yang merupakan zat sintetik yang umum digunakan sebagai
pewarna tekstil. Rhodamin B merupakan zat warna yang dilarang
penggunaanya dalam produk-produk pangan (Merck Index, 2006).
Pada umumnya bahaya akibat mengkonsumsi rhodamin B akan muncul
jika zat warna ini dikonsumsi dalam jangka panjang. Tetapi perlu diketahui
bahwa rhodamin B juga dapat menimbulkan efek akut jika tertelan
sebanyak 500 mg/kgBB, yang merupakan dosis toksiknya. Efek toksik
yang mungkin terjadi adalah iritasi saluran cerna (Badan POM RI, 2015).
8
c. Singkong
Penyebab keracunan singkong ialah asam sianida yang terkandung
didalamnya. Asam sianida (HCN) ialah suatu racun kuat yang menyebabkan
asfiksia. Asam ini akan mengganggu oksidasi (pengankutan O2) ke jaringan
dengan jalan mengikat enzim sitokrom oksidase. Oleh karena adanya ikatan
ini, O2 tidak dapat digunakan oleh jaringan sehingga organ yang sensitif
terhadap kekurangan O2 akan sangat menderita terutama jaringan otak.
Kasus keracunan yang terjadi dimasyarakat sering kali karena
mengkonsumsi jenis singkong dengan kadar HCN yang tinggi dan proses
pengolahan yang tidak benar sehingga kadar HCN pada singkong melebihi
kadar aman yang dapat dikonsumsi manusia.
5) Keracunan Sirkulasi
a. Gigitan ular dan serangga
Beberapa ular berbisadapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna,
kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saatmerasa terancam. Beberapa ciri
ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigitaring kecil, dan pada
luka bekas gigitan terdapat bekas taring.
(1) Gigitan Ular. Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu:
a) Elapidae: memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa
contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis).
b) Hidrophidae: yang termasuk famili ini adalah ular tali (Dendrelaphis
pictus).
c) Viperidae: Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal
dapat dilipat ke bagian rahang atas. Ada dua subfamili pada
Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ
untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di
antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah
ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma),
dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris). Bisa ular mengandung
toksin dan enzim yang berasal dari air liur.
11
mobil, pemanasan tidak sempurna, dan pembakaran yang tidak sempurna dari
produk-produk terbakar, seperti bongkahan arang.
2.5 Komplikasi
a. Sistem pencernaan; muntah, diare, perut kembung, dan kerusakan hati
b. Sistem pernapasan; hipoksia dan depresi pernapasan, edema paru, ventilasi
paru
c. Sistem kardiovaskuler: syok, gagal jantung kongesti, dan jantung berhenti
berfungsi
d. Sistem urogenital; gagal ginjal dan retensi urin
e. Sistem darah dan hemopoitika; methemoglobinemia, agranulositosis, dan
diskrasias darah lain dan reaksi hemolitik
f.Sistem saraf pusat; konvulsi, koma, hipoglikemia, hiperaktivitas, delirium,
maniak
g. Komplikasi yang pernah dilaporkan adalah bronkospasme berat, hipotensi
dan angiodema.
2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan keracunan akut sebaiknya segera dilakukan. Secara umum
tindakan untuk menanggulangi keracunan akut meliputi tindakan umum untuk
menolong jiwa korban, tindakan gawat darurat pertama sesuai jenis keracunannya
dan tindakan pengobatan khusus yang dilakukan di rumah sakit (Sutawijaya,
2009).
2.6.1 Tindakan umum untuk menolong jiwa korban
Sutawijaya (2009), tindakan untuk menolong jiwa korban harus disesuaikan
dengan keadaan korban saat ditemukan untuk menentukan prioritas pertama
dalam menolong korban. Keadaan korban berupa korban sadar, kesadarannya
menurun, atau tidak sadar sama sekali (koma atau syok), delier (ribut), ataupun
kejang-kejang. Saat menemukan korban dalam keadaan koma, tindakan yang
dapat dilakukan adalah:
a. Tidurkan terlentang dengan kepala dimiringkan.
b. Bersihkan jalan napas, meliputi mulut, hidung dan bagian belakang mulut
dari adanya lendir, muntahan, air ludah, atau sisa racun.
14
dan volume air yang digunakan sangat menentukan kerusakan kulit yang
terjadi, terutama jika terkena racun yang bersifat korosif dan bahan-bahan
atau racun yang merusak kulit. Menurut Smeltzer dan Bare (2002)
penatalaksanaan umum kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi) yaitu:
a. Basahi kulit dengan air mengalir dari pancuran, pipa, penyiram, atau
kran
b. Teruskan untuk mengalirkan air ke kulit ketika melepaskan pakaian
kulit dari petugas perawatan kesehatan harus dilindungi dengan tepat
jika daerah yang tebakar luas atau agens tersebut sangat toksik
c. Berikan bilas yang lebih lama dengan sejumlah air hangat
d. Selanjutnya tentukan identitas dan karakteristik agens kimia untuk
tindakan lanjut
e. Berikan tindakan luka bakar standar yang tepat untuk ukuran dan lokasi
luka (tindakan antimikroba dan tetanus profilaksis)
f. Instruksikan pasien untuk memeriksa kembali area yang terkena pada
24 dan 72 jam dan hari ke 7
4. Kontaminasi mata. Mata yang terkontaminasi atau terkena bahan kimia
harus dibilas atau dialiri air selama 15 menit. Dapat juga digunakan gelas
pencuci mata, yang airnya sering diganti. Jangan sesekali diteteskan
antidote senyawa kimia, karena panas yang akan ditimbulkan dapat
mengakibatkan kerusakan mata yang lebih parah. Selanjutnya segera
dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan.
5. Keracunan korosif
1. Berikan air atau susu untuk pengenceran
a. Pencairan tidak diusahakan jika pasien mengalami edema jalan
napas akut atau obstruksi atau jika terdapat bukti klinis perforasi
esophagus, lambung atau usus
b. Jangan rangsang muntah jika pasien telah konsumsi asam, basa kuat,
atau zat korosif lain
2. Pasien biasanya dibawa ke rumah sakit untuk observasi dan rencana
endoskopi untuk evaluasi daerah yang terbakar dan ulserasi dalam
3. Minta evaluasi psikiatrik jika keracunan adalah upaya bunuh diri
20
larutan glukosa 5% atau 10% maksimum 3 liter per hari, maka pemberian IV
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sedangkan jika kadar glukosa
dinaikkan ada kemungkinan terjadi glikosuria. 1 liter larutan glukosa 5%
memberikan energy 200 kkal. Untuk mencegah terjadinya edema paru,
pemberian makanan cairan sebanyak tidak melebihi cairan yang hilang.
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien keracunan secara umum adalah
sebagai berikut (Hidayat, 2008):
1. Lakukan kumbah lambung apabila keracunan kurang dari 6 jam
2. Berikan antidot umum, seperti norit yang dibuat larutan atau berikan
antidot khusus, misalnya jika keracunan singkong maka berikan natrium
thiosulfat 10%, jika keracunan jamur maka berikan sulfas atropine
(pemberian dosis sesuaikan dengan usia anak)
3. Berikan infus cairan elektrolit
4. Apabila terjadi peradangan, berikan antibiotik, seperti tetrasiklin,
kloramfenikol, atau kotrimoksazol.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis pasti keracunan diperoleh melalui analisis laboratorium. Bahan
analisis dapat berasal dari bahan cairan, lambung, atau urin. Pemeriksaan
cepat dan sederhana menggunakan kromatografi lapisan tipis dapat dilakukan
pada 90% keracunan umum yang terjadi (Mansjoer, 2001;
Purwadinata,2000). Pemeriksaan diagnostik keracunan meliputi:
1. Pemeriksaan laboratorium. Uji Laboratoriumn rutin yang bermanfaat
dalam diagnosis toksikologi adalah sebagai berikut:
1) Tes GDA
Hipoventilasi akan menyebabkan peningkatan PCO2 (hiperkapnia).
PO2rendah dengan aspirasi pneumonia atau obat-obat yang
menginduksi edema paru. Oksigenisasi jaringan yang kurang akibat
hipoksia, hipotensi atau keracunan sianida akan menghasilkan asidosis
metabolik.
2) Tes elektrolit
Natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat harus diukur. Anion gap
dihitung dengan mengurangi anion dan kation-kation:
Anion gap = (Na+ + K+ ) - (HCO3- + Cl-)
25
Dalam keadaan normal, anion gap tidak lebih besar dari 12- 16 meq/L.
Perubahan dalam tingkat kadar serum kalium dapat menyebabkan
aritmia jantung. Obat yang dapat menyebabkan hiperkalemia meskipun
dengan fungsi ginjal normal termasuk kalium sendiri, penghambat
adrenoseptor-beta, glikosicia digitalis, fluorida, dan litium. Obat-obat
yang berkaitan dengan hipokalemia termasuk barium, agonis beta-
adrenoseptor. kafein. teofihin, diuretik, dan toluen.
3) Renal function test
Beberapa toksin mempunyai efek nefrotoksik; dalam kasus lain, gagal
ginjal merupakan akibat syok, koagulasi intravaskular yang menyebar
(disseminated irrtravascular coagulation, DTC), atau mioglobinuria.
Tingkat kadar nitrogen urea darah dan kreatinin harus diukur dan
dilakukan urinalisis.
4) Osmolalitas Serum
Perhitungan osmolalitas serum terutama bergantung pada natrium
serum, glukosa serum serta nitrogen urea darah. Nilai normal
perhitungan ini adalah 280-290 mosm/kg.
2. Pemeriksaan khusus seperti: kadar KhA (kholinesterase) plasma sangat
membantu diagnosis keracunan IFO (kadarnya menurun sampai di bawah
50 %. Kadar meth-Hb darah: keracunan nitrit. Kadar barbiturat plasma:
penting untuk penentuan derajat keracunan barbiturate.
3. Pemeriksaan toksikologi. Bahan diambil dari:
1) Muntahan penderita atau bahan kumbah lambung yang pertama (100
ml)
2) Urine sebanyak 100 ml
3) darah tanpa antikoagulan sebanyak 10 ml
4. Pemeriksaan EKG. Terdapat pelebaran lama kompleks QRS yang lebih
besar dari 0,1 detik adalah khas untuk takar lajak antidepresan trisiktik dan
kuinidin.
5. Gambaran sinar-X: fotopolos abdomen
26
KERACUNAN
Makanan
Inhalasi
1) Jamur
1) Sianida (HCn)
2) Bakteri dalam makanan kaleng
2) Oksidanitrat
3) Hewan laut (kerang, kepiting)
3) Belerangoksida
4) Pestisida
4) Amoniak
5) Susu basi
6) Bahan makanan tambahan
Obat-obatan
Bersaing Batuk& sesak Miss use &Miss dose
Iritasi lambung Makanan dg Diare dengan O2 bertambah berat
IFO mengikat Hb
O2 terdesak dan aritmia Distress napas Urtikaria
Dehirasi
HCl meningkat Inaktivasi lepas dengan
enzim Hb
kolinesterase MK: MK.: Pola napas Menghamba Eritema
Mual, muntah Hipovolemia O2 dalam tidak efektif t ventilasi
(KhE)
darah <<
Ikatan IFO-KhE>> MK: Kerusakan
MK: Integritas Kulit
Hipoksia
Defisit Nutrisi
jaringan
Akumulasi AKh
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
IDENTITAS PASIEN
1. Nama Pasien : Tn. R
2. Umur : 46 tahun
3. Suku/ Bangsa : Indonesia
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMP
6. Pekerjaan : Tukang Becak
7. Alamat : Surabaya
8. Sumber Biaya : Mandiri
KELUHAN UTAMA
Keluarga pasien mengatakan pasien mengeluh matanya kabur dan agak
sesak sejak pagi sekitar pukul 05.00 WIB,
P :0
5. Airway dan C Spine Control/ Immobilization
a. Jalan Nafas , bebas √ ya tidak
6. Breathing
a. Normal ya √ tidak
Ronki Wheezing
7. Circulation
a. Nadi Karotis: √ teraba tidak
31
pucat √ dingin
8. Disability
a. Kesadaran Compos Mentis Apatis Somnolen
Sopor √
Koma
b. Gelisah tidak √ ya
c. GCS : 6 ( E: 1, V: 1, M: 4 )
f. Kejang √ tidak ya
10. Eliminasi
URI
a. Normal : √ ya tidak
a. Normal √ ya tidak
√
33
Tidak terkaji
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Pasien mengalami penurunan kesadaran
PENGKAJIAN SPIRITUAL
a. Kebiasaan beribadah: tidak terkaji
(Kelompok 3)
35
ANALISIS DATA
TANGGAL: 02/04/2019
1. Pola Napas Tidak Efektif b.d Gangguan sistem saraf otonom d.d frekuensi
napas 28x/menit (D.0005)
INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
DIAGNOSA
Tanggal KEPERAWATAN JAM INTERVENSI/IMPLEMENTASI Paraf EVALUASI Paraf
(Tujuan, Kriteria Hasil)
2/4/2019 Pola Napas Tidak 08.30 1. Memberikan posisi semifowler S: -
Efektif b.d Gangguan 2. Memonitor TTV tiap 15 menit O:
sistem saraf otonom d.d 3. Memberikan O2 12 Lpm dengan NRM 1. Masih ada
frekuensi napas 4. Memonitor tingkat kesadaran penggunaan otot
28x/menit 5. Memonitor status pernapasan: AGD, bantu pernapsana
oksimetri nadi 2. Pola nafas kussmaul
Tujuan: Setelah 3. RR 26 x/menit
dilakukan tindakan Implementasi A: Pola Napas Tidak
keperawatan < 6 jam Efektif, Masalah
pola nafas kembali 1. Manajemen jalan nafas belum teratasi
efektif a. Memberikan posisi semifowler P: Mempertahankan
b. Memberikan O2 12 lpm dengan NRM intervensi 1- 5
Kriteria Hasil: c. Memonitor pola nafas (frekuensi,
1. Tidak ada kedalaman dan usaha nafas)
penggunaan otot 2. Pemantauan neurologis
bantu pernapasan a. Memonitor tingkat kesadaran
2. Pola nafas normal b. Memonitor TTV tiap 15 menit
3. RR 16-20 x/menit 3. Monitor status pernafasan ; AGD dan
oksimetri nadi
4.
36
37
BAB 4
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn. R dengan
diagnosa medis Intoksikasi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Soetomo
Surabaya, maka dalam bab ini penyusun akan membahas kesenjangan antara teori
dan kenyataan yang diperoleh sebagai hasil pelaksanaan studi kasus serta
implementasi yang dilakukan untuk Tn. R.
Diagnosa Keperawatan yang muncul
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons klien terhadap
gangguan kesehatan/proses kehidupan, atau kerentanan respons dari seorang
individu, keluarga, kelompok, atau komunitas (Herdman & Kamitsuru, 2015).
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan sistem saraf
otonom ditandai dengan frekuensi napas 28x/menit
Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah inspirasai dan/atau
ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat (SDKI, 2016). Diagnosa
tersebut ditegakkan bila ada data mayor yang mendukung yaitu dispnea,
penggunaan otot bantu nafas, pola nafas abnormal (kussmaul). Diagnosa
tersebut diangkat pada asuhan keperawatan ini dikarenakan ketika
dilakukan pengkajian didapatkan data subjektif yaitu keluarga pasien
mengatakan pasien mengeluh sesak sejak pagi serta data objektif berupa
Penggunaan otot bantu nafas, pola napas abnormal: kussmaul, RR: 28
x/menit. Berdasarkan masalah tersebut penyusun memberikan intervensi
keperawatan berupa edukasi memposisikan pasien semifowler.
Penelitian yang dilakukan Safitri dan Andiyani (2011) menunjukkan
bahwa untuk mengurangi sesak nafas yaitu antara lain dengan pengaturan
posisi saat istirahat. Posisi yang paling efektif bagi pasien dengan sesak
nafas adalah posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu
dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru
dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma. Sedangkan posisi
orthopnea dimana klien dengan posisi 90° duduk ditempat tidur membantu
memaksimalkan ekspansi dada dan paru, menurunkan upaya pernapasan,
ventilasi maksimal membuka area atelektasis sehingga dapat meningkatkan
gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan. Pengaturan
posisi yang tepat dan nyaman pada pasien adalah sangat penting terutama
pasien yang mengalami sesak nafas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
posisi semi fowlerlebih nyaman dan lebih mudah dipahami oleh responden
(Zahroh dan susanto, 2017)
38
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pola nafas tidak efektif yang diderita oleh Tn. R disebabkan kegiatan minum
minuman keras etanol. Minuman beralkohol tersebut terabsorpsi dalam pembuluh
darah kemudian mengganggu system saraf otonom. Kemudian mengganggu sistem
pernapasan sehinggan napas Tn. R menjadi cepat dan dalam. Ketika dilakukan
pengkajian Tn. R merasa sesak. Maslah keperawatan yang diangkat adalah pola
nafas tidak efektif. Pola nafas tidak efektif termasuk dalam hal breathing dalam
penanganan pasien gawat darurat. Intervensi yang sudah dilakukan oleh kelompok
yaitu:
a. Manajemen jalan nafas berupa memberikan posisi semifowler, memberikan
O2 12 lpm dengan NRM, memonitor pola nafas (frekuensi, kedalaman dan
usaha nafas)
b. Pemantauan neurologis berupa memonitor tingkat kesadaran, memonitor
TTV tiap 15 menit.
c. Monitor status pernafasan, AGD dan oksimetri nadi
5.2 Saran
1. Untuk Perawat
Tidak ada
2. Untuk Keluarga
Sebaiknya keluarga dalam merawat pasien dengan pola nafas tidak
efektif, selalu memberikan semangat dan dukungan positif kepada
pasien.
3. Untuk Mahasiswa
Sebagai mahasiswa profesi keperawatan gawat darurat sebaiknya
melakukan asuhan keperawatan gawat darurat yang komprehensif
kepada pasien dan keluarga
39
DAFTAR PUSTAKA
Arora V NO, Multani AS, Singh JP, Abrol P, Chopra R, et al. 2007. MRI finding
in methanol intoxication; a report of two cases. The British Journal of
Radiology. 80: 243-6.
Chan JW. 2007. Nutritional and toxic optic neuropathy. Optic nerve disoroder
diagnosis and management. 9 ed. Kentucky: Spinger.
Epker JL, Bakker J. 2010. Case report: Accidental methanol ingestion BMC
Emergency Medicine. 10(3): 24-6.
Hamidah, Masnua’atul && Kunthi Yulianti. 2017. Yemuan Psot Mortem Akibat
Keracunan Metanol. E-Journal Medika Vol 6 No 7, Juli 2017.
Kraut JA, Krautz I. 2008. Toxic alcohol ingestion: Clinical feature, diagnosis, and
management. Clin J Am Soe Nephrol. ed 3: 208-25.
Krisanty, Paula. 2009. Asuhan keperawatan Gawat Darurat Jakarta. Trans Info
Media
Lin ES BT, Lai E, Oh TE. 1989. A case of severe methanol intoxication. Journal of
the Hong Kong Medical Association. 41: 273-4.
Merck Index. 2006. Chemistry Constant Companion, Now with a New Addition. Ed
14th.1410.1411. Merck and Co., Inc, White House Station. NJ
Panowo, Irfan; Dewa Ayu Citra & Sri Sutarni. 2018. Sindorma Vertigo Central
Sebagai Manifestasi Klinis pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol. Berkala
Ilmiah Kedokteran Duta Wacana Volume 03 nomor 02- Oktober 2018.
Prijanto, Teguh Budi; Nurjazuli && Sulistiyani. 2009. Analisis Faktor Keracunan
Pestisida Organofosfat pada Keluarga Petani Hortikultura di Kecamatan
Ngablak Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol.
8 No. 2, Oktober 2009.
Rembet, Lavinny K; Jemmy Abidjulu & Novel S Kojong. 2017. Analisis Kadar
Rhodamin B pada Bumbu Jajanan Tahu yang Beredar di Kota Manado.
Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 6 No. 4, November 2017
Safitri, Refi dan Andiyani, Annisa. 2011. Keefektifan Pemberian Posisi Semi
Fowler Terhadap Penurunan Sesak Nafas Pada Pasien Asma Di Ruang
40
Rawat Inap Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Vol 8. Jurnal Stikes
Aisyiyah.
Sumunar, Siwi Ratna & Teti Estiasih. 2015. Umbi Gadung (Dioscorea hispida
Dennst) Sebagai Bahan Pangan Mengandung Senyawa Bioaktif: Kajian
Pustaka. Jurnal pangan dan Agroindustri Vo. 3 No 1, Januari 2015
Surati. 2015. Bahaya Zat Aditif Rhodamin N pada Makanan. Jurnal Biology Sel
Vol. 4 No.1 Edisi Jan-Jun 2015.
Triningrat, AA Mas; Ni Made Kartika Rahayu & IB Putra Manuaba. 2010. Visual
Aculty of Methanol Intoxicated Patiens Before and After Hemodialysis,
Methylprenidsolone and Prednisoe Therapy. Journla Oftalmologi Indonesia
Vo. 7 No. 4, Desember 2010
Widelia, Putri; Jon Frizal & Mula Nartii. 2018. Identifikasi Kandungan Boraks
pada Mi Basah Di Pasar Tradisional Kota Bengkulu. Journal of Nursing and
Public Health Volume 6 No. 1, April 2018
Zahroh, Roihatul dan Susanto, Rivai Sigit. 2017. Efektifitas Posisi Semo Fowler
dan Posisi Orthopnea Terhadap Penurunan Sesak Nafas Pasien TB. Vol 8.
Journals of Ners Community.