Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA TN. R DENGAN DIAGNOSA


MEDIS INTOKSIKASI ETANOL DENGAN MASALAH KEPERAWATAN
UTAMA POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF
DI RUANG IGD RSUD Dr. SOETOMO
SURABAYA

Disusun Oleh:
Kelompok 3

1. Alif Arditia Yuda, S. Kep.


2. Eva Diana, S. Kep.
3. Eva Dwi Agustin, S. Kep.
4. Elisa Maria Wahyuni, S. Kep.
5. Elsa Yunita Mujarwati, S. Kep.
6. Elvanda Vandina Romanda, S. Kep.
7. Elyta Zuliyanti, S. Kep.

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS (P3N)


STASE KEPERAWATAN KRITIS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan asuhan keperawatan pada Tn. R dengan diagnosa medis intoksikasi
etanol dengan masalah keperawatan utama pola nafas tidak efektif di Ruang IGD
RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang telah dilaksanakan pada tanggal 02 April 2019
dalam rangka pelaksanaan Profesi Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis.
Telah disetujui untuk dilaksanakan Seminar Kasus di RSUD Dr. Soetomo
pada hari Selasa, 16 April 2019.

Disahkan tanggal, 11 April 2019

Menyetujui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Dr. Ninuk Dian K., S. Kep. Ns.,


M.ANP Dessy Era Puspitasari, S. Kep., Ns
NIP.197703162005012001 NIP.197712122008012012

Kepala Ruangan

Kusniawati, S. ST
NIP.196806041988032005

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul....................................................................................................... i
Lembar Pengesahan .............................................................................................. ii
Daftar Isi................................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakan ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3 Tujuan.................................................................................................. 2
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................... 2
1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
2.1 Definisi ................................................................................................ 4
2.2 Etiologi ................................................................................................ 4
2.3 Manifestasi Klinis ............................................................................... 5
2.4 Klasifikasi............................................................................................ 6
2.5 Komplikasi .......................................................................................... 13
2.6 Penatalaksanaan .................................................................................. 13
2.7 Pemeriksaan Diagnostik ...................................................................... 24
2.8 Web of Caution ................................................................................... 26
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN .................................................................. 27
BAB 4 PEMBAHASAN ....................................................................................... 37
BAB 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 38
5.1 Kesimpulan.......................................................................................... 38
5.2 Saran .................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39

iii
1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keracunan metanol adalah keracunan akibat mengkonsumsi metanol yang
dapat mengakibatkan gangguan pada papil saraf optik secara simetris, asidosis
metabolik dan bahkan kematian (Kraut & Kurtz, 2008). Metanol merupakan
alkohol yang paling sederhana dengan rumus kimia CH3OH, berat molekul 32,04
g/mol dan titik didih 64,5° C (147° F) (Kraut & Kurtz, 2008). Zat ini bersifat ringan,
mudah menguap, tak berwarna, mudah terbakar, beracun dan berbau khas. Metanol
digunakan secara luas pada industri mobil sebagai larutan pembersih kaca mobil,
bahan anti beku, dan bahan campuran untuk bahan bakar (Epker, 2010).
Kasus keracunan metanol di Amerika sangat jarang ditemukan, yaitu 1% dari
total kasus keracunan (Lin, 1989). Di Inggris dan Norwegia juga merupakan kasus
yang sangat jarang dijumpai (Epker, 2010). Kasus keracunan metanol yang terjadi
selama bulan Juni 2009 sampai bulan Mei 2010 di RSUP Sanglah sebanyak 76
kasus atau 18% dari total kasus keracunan di RSUP Sanglah, sebanyak 39 kasus
diantaranya meninggal.
Keracunan metanol disebabkan karena oksidasi metanol oleh enzim
dehidrogenase alkohol menjadi formaldehid, dan selanjutnya dimetabolisme
menjadi asam format oleh dehidrogenase formaldehid. Asam format merupakan
metabolit toksik yang berperan pada terjadinya gangguan tajam penglihatan,
asidosis metabolik, kebutaan dan kematian pada penderita keracunan metanol.
Gejala awal keracunan metanol adalah gangguan pada tajam penglihatan.
Gangguan tajam penglihatan umumnya terjadi dalam 18 sampai 24 jam setelah
minum/ terpapar metanol. Dampak keracunan metanol pada setiap orang sangat
bervariasi, dengan minimum lethal dose antara 300 sampai 1000 mg/kgbb. Dosis
minimum yang mengakibatkan kebutaan belum diketahui, namun pernah
dilaporkan kebutaan terjadi setelah minum metanol sedikitnya 4 ml (Arora, 2007).
Salah satu penyebab utama kematian terkait alkohol adalah toksisitas alkohol
akut. Alkohol dengan konsentrasi alkohol darah yang tinggi menginduksi depresi
pernapasan dan kematian akibat keracunan alkohol akut adalah bentuk dominan
dari mono toksisitas zat kematian. Blood Alcohol Concentration (BAC) merupakan
2

panduan untuk mengetahui kadar dari intoksikasi alkohol. Blood Alcohol


Concentration menunjukkan jumlah alkohol diperedaran darah dalam gram alkohol
per 100 ml darah. BAC 0,05 mengandung arti seseorang memiliki kadar 0,05gram
alkohol per 100 ml darah (atau BAC 0,05%= 11 mmol/L) (Kraut & Kurtz, 2008).
Dukungan dari masyarakat dan berbagai pihak diharapkan dapat menciptakan
kehidupan yang sehat tanpa mengonsumsi zat – zat yang berbahaya dan beracun.
Perawat memiliki peranan yang penting dalam memberikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan melakukan edukasi pada masyarakat serta memberikan asuhan
keperawatan pada pasien yang telah mengonsumsi metanol. Berdasarkan fenomena
dan data diatas menjadikan penulis merasa tertarik untuk mempelajari dan
mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada Tn. R dengan masalah pola napas
tidak efektif.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang penulis rumuskan dari laporan seminar kasus ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari intoksikasi?
2. Apa saja penyebab dari intoksikasi?
3. Apa saja tanda dan gejala intoksikasi?
4. Apa saja komplikasi dari intoksikasi?
5. Bagaimana penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada pasien intoksikasi
alkohol?
6. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kasus intoksikasi alkohol?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menggambarkan tentang asuhan keperawatan gawat darurat pada Tn. R
dengan intoksikasi alkohol di IGD Lantai 1 RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pengkajian pada Tn. R dengan intoksikasi metanol
b. Mengidentifikasi diagnosis keperawatan pada Tn. R dengan intoksikasi
metanol
c. Mengidentifikasi intervensi keperawatan pada Tn. R dengan intoksikasi
metanol
3

d. Mengidentifikasi implementasi keperawatan pada Tn. R dengan intoksikasi


metanol
e. Mengidentifikasi evaluasi keperawatan pada Tn. R dengan intoksikasi
metanol
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Racun adalah zat yang ketika ditelan, terhisap diabsorpsi, menempel pada
kulit, atau dihasilkan didalam tubuh dalam jumlah relaktif kecil menyebabkan
cedera tubuh dengan adanya reaksi kimia (Smeltzer Suzana dalam Nurarif Kusuma,
2015).
Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan terhisap, diabsorpsi, menempel
pada kulit atau dihasilkan didalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil dapat
mengakibatkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan
zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis toksik
akan menyebakan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian. Racun dapat
diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit atau melalui rute lainnya.
Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat atau secara kumulatif.
Keracuanan adalah penyakit yang tiba – tiba dan mengejutkan yang dapat
terjadi setelah menelan makanan / minuman yang terkontaminasi (Brunner &
Suddarth, 2015).Sedangkan, keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah
kondisi yangmengikuti masuknya zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan
kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perilaku, fungsi dan respon psikofisiologis.
Sumber lain menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan sebagai masuknya
suatu zat kedalam tubuh yang dapat menyebabkan ketidaknormalan mekanisme
dalam tubuh bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.
2.2 Etiologi
Penyebab keracunan menurut Nurarif dan Kusuma (2015) ada beberapa
macam dan akibatnya bisa mulai yang ringan sampai yang berat. Secara umum yang
banyak terjadi di sebabkan oleh:
a. Mikroba, yang menyebabkan keracunan di antaranya :
1) Escherichia coli patogen 4) Bacillus Parahemolyticus
2) Staphilococus aureus 5) Clostridium Botulisme
3) Salmonella 6) Streptokkkus
b. Bahan Kimia
1) Peptisida golongan organofosfat
5

2) Organo Sulfat dan karbonat


c. Toksin
1) Jamur 4) Bayam beracun
2) Keracunan Singkong 5) Kerang
3) Tempe Bongkrek
2.3 Manifestasi Klinis
Beberapa tanda dan gejala menurut Nurarif dan Kusuma (2015) diantaranya:
a. Gejala yang paling menonjol meliputi:
1) Kelainan visus
2) Hiperaktivitas kelenjar ludah dan keringat
3) Gangguan saluran pencernaan
4) Kesukaran bernafas
b. Keracunan ringan
1) Anoreksia 5) Pupil miosis
2) Nyeri kepala 6) Tremor pada lidah dan
3) Rasa lemah kelopak mata
4) Rasa takut
c. Keracunan sedang
1) Nausea, muntah-muntah 4) Fasikulasi otot
2) Kejang, dan kram perut 5) Bradikardi
3) Hipersalifa
d. Keracunan berat
1) Diare
2) Reaksi cahaya negatif
3) Sesak napas, sianosis, edema
paru
4) Inkontinensia urin
5) Kovulasi
6) Koma, blokade jantung dan
akhirnya meninggal
6

2.4 Klasifikasi
A. Keracunan pada sistem pencernaan
1) Keracunan bahan kimia
a. Bahan kimia organofosfat
Organofsfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila tertelan
meskipun dalam jumlah sedikit dapat menyebabkan kematian pada manusia.
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul
sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkolin persisten atau depresi
yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal seperti
salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare terjadi pada keracunan organofosfat
secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga
kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan oto polos.
Beberapa fek kronis akibat dari keracunan organofsfat adalah berat bdana
menurun, anorexia, anemia, tremor, sakit kepala, pusing, gelisah, gangguan
psokologis, sakit dada dan lekas marah karena organofosfat dapat
mempengaruhi fungs saraf (Prijanto, 2009).
b. Bahan kimia organoklorin
Organoklorin terdiri dari salah satunya adalah DDT (Dichloro-diphenyl-
tricloroethan). Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat
menyebabkan keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam.
Gejala yang terlihat pada intoksikasi DDT adalah nausea, vomitus, parethesis
pada lidah, bibir dan muka, iritabilitas, tremor, convulsi, koma, kegagalan
pernafasan, kematian (Prijanto, 2009).
c. Bahan Kimia Insektisida
Baygon termasuk ke dalam Insektisida golongan karbamat, keracunan
insektisida biasanya terjadi karena kecelakaan dan percobaan bunuh diri.
2) Keracunan alkohol
Alcohol yang dikonsumsi akan diabsorbsi termasuk yang melalui saluran
pernfasan. Penyerapan terjadi setelah alcohol masuk kedalam lambung dan
diserap diusu kecil. Hanya 5 – 15% yang diekskresikan secara langsung mellalui
paru-paru, keringat dan urin.
7

Gejala keracunan alkohol sangat bervariasi mulai dari yang sifatnya ringan
yaitu ataxia (sempoyongan) sampai berat yaiut koma (Darmono, 2000).
3) Keracunan methanol
Keracunan methanol adalah keracunan akibat mengkonsumsi methanol yan g
dapat mengakibatkan gangguan pada papil saraf optic secara simetris, asidosis
metabolik dan bahkan kematian (Triningrat et al, 2010). Methanol adalah cairan
tidak berwarna dan sedikit berbau dengan rumus kimia CH3OH. Methanol juga
disebut methyl alcohol, wood spirit, carbinol, wood alcohol dan wood naptha.
Penggunaan methanol untuk konsumsi tidaklah dibenarkan karena methanol
dalah zat tidak layak konsumsi dan beracun bagi tubuh. Dosis toksik methanol
adalah 100 mg/kgBB. Dosis toksik methanol dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan, serta mual dan muntah, namun tidak secara
cepat mengakibatkan kematian (Hamidah && Yulianti, 2017).
4) Keracunan Makanan
Keracunan makanan adalah masuknya zat toxic (racun) dari bahan yang kita
makan ke dalam tubuh karena ikut tertelan bersama makanan. Ciri-ciri
makanan beracun yaitu sebagai berikut:
a. Warna lebih terang disebabkan penggunaan pewarna.
Zat pewarna pada makanan dibagi menjadi dua yaitu zat pewarna alami
dan zat pewarna sintesis. Zat pewarna alami merupakan zat pewarna yang
bersala dari tanaman atau buah-buahan. Zat pewarna sintesis merupakan
zat pewarna buatan manusia. Zat pewarna yang sering ditambahkan adalah
rhodamin B, yang merupakan zat sintetik yang umum digunakan sebagai
pewarna tekstil. Rhodamin B merupakan zat warna yang dilarang
penggunaanya dalam produk-produk pangan (Merck Index, 2006).
Pada umumnya bahaya akibat mengkonsumsi rhodamin B akan muncul
jika zat warna ini dikonsumsi dalam jangka panjang. Tetapi perlu diketahui
bahwa rhodamin B juga dapat menimbulkan efek akut jika tertelan
sebanyak 500 mg/kgBB, yang merupakan dosis toksiknya. Efek toksik
yang mungkin terjadi adalah iritasi saluran cerna (Badan POM RI, 2015).
8

b. Makanan mengandung boraks


Makanan terlalu lembut bisa saja menggunakan boraks. Konsumsi
boraks berlebih dengan kadar mencapai 2g/kg dapat menyebabkan
keracunan, dapat menimbulkan beberapa gejala yaitu: iritasi kulit dan
saluran pernapasan, gangguan pencernaan seperti mual, muntah persisten,
nyeri perut dan diare. Gejala keracunan yang berat dapat menyebabkan
ruam kulit, penurunan kesadaran, depresi napas bahkan gagal ginjal
(Wedelia et al, 2018).
c. Makanan mengandung formalin
Saat membeli ikan atau daging coba cek apakah menggunakan formalin
atau tidak. Formalin diketahui berbahaya untuk tubuh manusia karena
telah diketahui sebagai zat beracun, karsinogen, mutagen yang
menyebabkan perubahan sel dan jaringan tubuh, korosif dan iritatif.
Formalin juga dapat merusak persarafan tubuh manusia dan dikenal
sebagai zat yang bersifat racun untuk persyarafan (neurotoksik) dan dapat
mengganggu organ reproduksi seperti kerusakan testis dan ovarium,
gangguan menstruasi, infestilitas sekunder (Sajiman et al, 2015).
Manifestasi secara umum pada keracunan makanan, yaitu:
a. Sakit mendadak, bisa berupa kram perut, umumnya terjadi beberapa saat
setelah mengonsumsi makanan yang mengandung racun, atau dalam waktu
12-72 jam. Keadaan ini merupakan salah satu usaha tubuh menolak racun
yang masuk ke perut.
b. Muntah dan diare, Merupakan akibat umum dari keracunan makanan,
dimana tubuh melakukan usaha untuk membersihkan diri dari racun yang
masuk.
c. Gejala berkembang cepat karena dosis besar
d. Anamnese menunjukkan kearah keracunan, terutama kasus percobaan
bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan
e. Keracunan kronis dicurigai bila digunakannya obat dalam waktu lama atau
lingkungan pekerjaan yang berhubungan dengan zat kimia.
9

Beberapa contoh makanan yang dapat menyebabkan keracunan adalah:


a. Jengkol.
Jengkol (Pethelolobium labatum) merupakan bahan makanan seperti yang
mengandung vitamin B1. Menurut berbagai penelitian menunjukkan bahwa
jengkol juga kaya akan karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin B, Vitamin C,
fosfor, kalsium, alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin, dan saponin.
Khusus untuk vitamin C terdapat kandungan 80 mg pada 100 gram biji jengkol,
sedangkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan per hari adalah 75 mg untuk
wanita dewasa dan 90 mg untuk pria dewasa. Keracunan jengkol dapat terjadi
setelah memakan jengkol dalam jumlah yang banyak, baik yang dimasak
maupun mentahnya. Gejala yang ditunjukkan ketika terjadi keracunan jengkol
adalah rasa nyeri (kolik) di daerah pinggang atau daerah pusar dan kadang
disertai kejang, mual dan muntah, output urine sedikit terkadang urine
berwarna merah bercampur putih seperti air pencuci beras (dalam urine
terdapat sel - sel darah merah dan sel darah putih), perut kembung dan susah
BAB, nafas dan urine berbau jengkol.
b. Umbi gadung
Umbi gadung merupakan salah satu jenis tanaman umbi-umbian yang
tumbuh dihutan, pekarangan, maupun perkebunan. Selain memiliki kandungan
karbohidrat yang dpat digunakan sebagai sumber energy, umbi gadun gjuga
mengandung racun sianida yang menyebabkan keracunan dan mematikan
(Sumunar et al, 2015).
Senyawa racun pada gadung berupa senyawa glukosida sianogenik.
Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam sianida apabila terhidrolisis oleh
enzim atau berada pada pH asam. Pada system pencernaan yang bersuasana
asam senyawa ini akan melepas HCN yang bias meracuni tubuh (Sumunar et
al, 2015).
Senyawa dalam umbi gadung memiliki efek hemolisi apabila msuk ke tubuh
manusia. Senyawa ini juga memiliki efek paralisis pada susunan saraf sehingga
dapat menyebabkan kelumpuhan (Pambayun, 2008).
10

c. Singkong
Penyebab keracunan singkong ialah asam sianida yang terkandung
didalamnya. Asam sianida (HCN) ialah suatu racun kuat yang menyebabkan
asfiksia. Asam ini akan mengganggu oksidasi (pengankutan O2) ke jaringan
dengan jalan mengikat enzim sitokrom oksidase. Oleh karena adanya ikatan
ini, O2 tidak dapat digunakan oleh jaringan sehingga organ yang sensitif
terhadap kekurangan O2 akan sangat menderita terutama jaringan otak.
Kasus keracunan yang terjadi dimasyarakat sering kali karena
mengkonsumsi jenis singkong dengan kadar HCN yang tinggi dan proses
pengolahan yang tidak benar sehingga kadar HCN pada singkong melebihi
kadar aman yang dapat dikonsumsi manusia.
5) Keracunan Sirkulasi
a. Gigitan ular dan serangga
Beberapa ular berbisadapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna,
kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saatmerasa terancam. Beberapa ciri
ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigitaring kecil, dan pada
luka bekas gigitan terdapat bekas taring.
(1) Gigitan Ular. Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu:
a) Elapidae: memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa
contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis).
b) Hidrophidae: yang termasuk famili ini adalah ular tali (Dendrelaphis
pictus).
c) Viperidae: Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal
dapat dilipat ke bagian rahang atas. Ada dua subfamili pada
Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ
untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di
antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah
ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma),
dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris). Bisa ular mengandung
toksin dan enzim yang berasal dari air liur.
11

Bisa tersebut bersifat:


a) Eurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal
karena paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot
pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran
menurun sampai dengan koma.
b) Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan
enzim lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan
protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah
merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus
berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis,
hematemesis, gagal ginjal.
c) Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan
dengan mhaemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan
kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d) Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan
kerusakan otot jantung.
e) Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin
lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.
f) Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada
penyebaran bisa.
(2) Gigitan Serangga
Insect bites adalah gigitan atau sengatan serangga. Insect bites adalah
gigitan yang diakibatkan karena serangga yang menyengat atau menggigit
seseorang.Beberapa contoh masalah serius yang diakibatkan oleh gigitan
atau serangan seranggadi antaranya adalah:
a) Reaksi alergi berat (anaphylaxis). Reaksi ini tergolong tidak biasa,
namun dapat mengancam kehidupan dan membutuhkan pertolongan
darurat. Tanda-tanda atau gejalanya adalah:
1. Syok dimana ini bisa terjadi bila sistem peredaran darahtidak
mendapatkan masukan darah yang cukup untuk organ-organ
penting.
12

2. Batuk, desahan, sesak nafas, merasa sakit di dalam mulut atau


kerongkongan/tenggorokan.
3. Bengkak di bibir, lidah, telinga, kelopak mata, telapak tangan, tapak
kaki, dan selaput lendir (angioedema).
4. Pusing dan kacau.
5. Mual, diare, dan nyeri pada perut
6. Rasa gatal dengan bintik-bintik merah dan bengkak
b) Reaksi racun oleh gigitan atau serangan tunggal dari serangga.
Serangga atau laba-laba yang menyebabkan hal tersebut misalnya:
1. Laba-laba janda (widow) yang berwarna hitam
2. Laba-laba pertapa (recluse) yang berwarna coklat
3. Laba-laba gembel (hobo)
4. Kalajengking
c) Reaksi racun dari serangan labah, tawon, atau semut api
Seekor lebah dengan alat penyengatnya dibelakang lalu mati setelah
menyengat. Lebah madu afrika, yang dinamakan lebah-lebah
pembunuh, mereka lebih agresif dari pada lebah madu kebanyakan dan
sering menyerang bersama-sama dengan jumlah yang banyak.
1. Tawon dapat menyengat berkali-kali dan menyebabkan sangat
banyak reaksi alergi
2. Reaksi kulit yang lebar pada bagian gigitan atau serangan.
3. Infeksi kulit pada bagian gigitan atau serangan
6) Keracunan Gas
a. Karbon monoksida
Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon
monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon
dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida
merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasal dan pada suhu udara
normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Tidak seperti senyawa CO
mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena mampu
membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin.Sumber
utama karbon monoksida pada kasus kematian adalah kebakaran, knalpot
13

mobil, pemanasan tidak sempurna, dan pembakaran yang tidak sempurna dari
produk-produk terbakar, seperti bongkahan arang.
2.5 Komplikasi
a. Sistem pencernaan; muntah, diare, perut kembung, dan kerusakan hati
b. Sistem pernapasan; hipoksia dan depresi pernapasan, edema paru, ventilasi
paru
c. Sistem kardiovaskuler: syok, gagal jantung kongesti, dan jantung berhenti
berfungsi
d. Sistem urogenital; gagal ginjal dan retensi urin
e. Sistem darah dan hemopoitika; methemoglobinemia, agranulositosis, dan
diskrasias darah lain dan reaksi hemolitik
f.Sistem saraf pusat; konvulsi, koma, hipoglikemia, hiperaktivitas, delirium,
maniak
g. Komplikasi yang pernah dilaporkan adalah bronkospasme berat, hipotensi
dan angiodema.
2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan keracunan akut sebaiknya segera dilakukan. Secara umum
tindakan untuk menanggulangi keracunan akut meliputi tindakan umum untuk
menolong jiwa korban, tindakan gawat darurat pertama sesuai jenis keracunannya
dan tindakan pengobatan khusus yang dilakukan di rumah sakit (Sutawijaya,
2009).
2.6.1 Tindakan umum untuk menolong jiwa korban
Sutawijaya (2009), tindakan untuk menolong jiwa korban harus disesuaikan
dengan keadaan korban saat ditemukan untuk menentukan prioritas pertama
dalam menolong korban. Keadaan korban berupa korban sadar, kesadarannya
menurun, atau tidak sadar sama sekali (koma atau syok), delier (ribut), ataupun
kejang-kejang. Saat menemukan korban dalam keadaan koma, tindakan yang
dapat dilakukan adalah:
a. Tidurkan terlentang dengan kepala dimiringkan.
b. Bersihkan jalan napas, meliputi mulut, hidung dan bagian belakang mulut
dari adanya lendir, muntahan, air ludah, atau sisa racun.
14

c. Segera antarkan korban ke rumah sakit dengan memperhatikan pernapasan


korban, apabila perlu berikan pernapasan buatan. Saat mengantarkan korban
ke rumah sakit, sebaiknya penolong membawa bahan yang dapat dianalisa
untuk menentukan jenis racunnya, seperti muntahan, sisa racun, tempat
menyimpan racun seperti botol dan lain-lain.
Gejala keracunan yang dapat muncul beserta tindakan yang dapat dilakukan
untuk menolong korban di antaranya sebagai berikut:
a. Hiperaktifitas dan delier (ribut). Gejala ini timbul karena keracunan tertentu
yang menyebabkan penderita menjadi sulit diatur. Tindakan yang dapat
dilakukan adalah:
1) Lindungi penderita dari trauma fisik seperti jatuh, memukul dan merusak
lingkungan sekitarnya.
2) Kirim segera penderita ke rumah sakit.
b. Syok. Keracunan dengan gejala syok primer terjadi tiba-tiba karena
hipoksia, pernapasan terganggu berat, bau tidak enak yang menyengat.
Apabila shock primer berlanjut, maka dapat menjadi shock sekunder dengan
gejala meliputi pucat, dingin, kebiruan, berkeringat, nadi cepat, dan tekanan
darah terus menurun (nadi tak teraba). Tindakan gawat darurat yang dapat
dilakukan adalah:
1) Tidurkan penderita dengan posisi kepala lebih rendah dari badan.
2) Segera kirim penderita ke rumah sakit dengan mempertahankan jalan
pernapasan.
c. Kejang. Obat atau bahan-bahan racun tertentu dapat menyebabkan kejang
misalnya amfetamin, strichnin, metazol dan DDT. Kejang sangat berbahaya
bagi penderita karena dapat mengakibatkan kelumpuhan pernapasan.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah:
1) Lakukan pertolongan dengan meminimalkan manipulasi pada korban,
berikan rangsangan sinar cahaya.
2) Kirim segera korban ke rumah sakit.
15

2.6.2 Tindakan Gawat Darurat Sesuai Keracunan


Racun masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut, hidung (inhalasi), kulit,
suntikan, mata (kontaminasi mata), keracunan korosif dan sengatan atau
gigitan binatang berbisa.
1. Melalui mulut. Jika racun masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut,
maka tindakan dalam menangani racun yang telah masuk ke dalam tubuh
ialah mengurangi absorpsi racun dari saluran cerna, memberikan antidote
dan meningkatkan eliminasi racun dari tubuh.
a. Mengurangi absorpsi. Upaya mengurangi absorpsi racun dari saluran
cerna dilakukan dengan merangsang muntah, menguras lambung,
mengadopsi racun dengan karbon aktif, dan membersihkan usus.
1) Merangsang muntah
Menurut Sutawijaya (2009), pada keracunan per oral, memuntahkan
racun yang sudah terlanjur ditelan dapat dilakukan dengan menyentuh
dinding faring atau memberikan obat emetika. Tindakan ini dilakukan
pada penderita dengan kondisi sadar. Pada penderita koomatusstupor
atau delirium, tindakan ini dapat menyebabkan aspirasi isi lambung ke
paru-paru. Pada bahan-bahan korosif, tindakann ini dapat menyebabkan
perforasi atau nekrosis lambung dan esofagus. Untuk keracunan kerosen,
bensin dan petroleum lainnya, tindakan ini dapat berakibat aspirasi isi
lambung dengan akibat pneumonitis. Umumnya tindakan ini efektif jika
dilakukan sebelum 4 jam. Emetika yang dapat diberikan adalah:
a. Sirup ipecac 1-20 ml. Pemberian dapat diulangi setelah 20-30 menit
jika belum timbul muntah. Sirup ipecac paling efektif sebagai
perangsang muntah tetapi akan tidak efektif jika setelah pemberian
karbon aktif. Sirup epica sangat efektif tetapi bukti klinik
menunjukkan kurang berarti dalam mengurangi absorpsi racun dari
lambung.
b. Apomorfin 1-2 mg untuk anak dan 6 mg untuk dewasa diberikan
secara subkutan. Apomorfin berbahaya jika digunakan secara
sembarangan, diragukan keefektifannya. paling efektif sebagai
perangsang muntah adalah sirup ipeca tetapi akan tidak efektif jika
16

setelah pemberian karbon aktif. Sirup epica sangat efektif tetapi


bukti klinik menunjukkan kurang berarti dalam mengurangi absorpsi
racun dari lambung.
2) Menguras lambung
Tindakan ini harus dilakukan sesegera mungkin sebelum jangka
waktu 4 jam setelah menelan racun, namun juga tergantung dari
kecepatan pengosongan lambung, yang mungkin dapat diperpanjang
oleh obat-obat tertentu sehingga masih efektif untuk dilakukan bilas
lambung sebelum 12 jam dari saat menelan racun. Prosedur ini dilakukan
apabila korban dalam keadaan tenang. Korban ditidurkan miring ke kiri
dengan kepala lebih rendah, kemudian dilakukan aspirasi isi lambung
untuk pemeriksaan toksikologi dengan pipa kateter berdiameter 9-10 mm
untuk dewasa dan 8-12 mm untuk anak-anak. Kemudian melalui kateter
tersebut dimasukkan larutann pencuci dapat berupa larutan fisiologis
atau air dengan temperatur 37o ke dalam lambung sebanyak 200-300 ml.
Harus diingat bahwa pemberian larutan atau cairan penuh lebih banyak
dapat mengakibatkan pendorongan isi lambung ke dalam usus.
Pemberian air sebanyak cairan bilas terutama pada anak dapat
menyebabkan keracunan air dengan gejala konvulsi atau koma. Selain itu
dapat juga digunakan larutan kalium permanganat 1/5000 untuk
keracunan alkaloid. Lakukan prosedur bilas lambung ini sebanyak 10-20
kali (Sutawijaya, 2009).
Menguras lambung efektif, jika dalam waktu 1 jam setelah keracunan
dengan menggunakan pipa nasogastrik. Pengurasan lambung tidak
dilakukan pada penderita keracunan asam atau basa kuat dan harus hati-
hati pada penderita pendarahan diathesis. Setelah pengurasan lambung,
biasanya diikuti dengan pemberian karbonaktif untuk mengabsorpsi sisa
racun, dan obat penguras usus atau laksan untuk mengeluarkan racun
yang telah masuk ke dalam usus, dapat diberikan pada pipa nasogastrik
yang masih terpasang.
17

3) Membersihkan usus; pembersihan usus dilakukan dengan


menggunakan obat laksan dari golongan senyawa garam, yaitu Mg-
sulfat dan Na-sulfat.
b. Antidote. Pemberian antidote dapat meningkatkan eliminasi racun dari
tubuh. Meskipun pemberian antidote kadang-kadang merupakan obat
penyelamat nyawa penderita keracunan, penanggulangan keracunan
tidak dapat diandalkan hanya dengan menggunakan antidote saja.
c. Meningkatkan eliminasi. Racun yang sudah terlanjur ditelan namun
belum diabsorbsi oleh saluran penceranaan dapat dibuat kurang toksis
atau agar sukar diabsobsi secara reaksi kimiawi dengan menggunakan
Kalium permanganat 1/5000 untuk keracunan alkaloid seperti morfin
dan arfin (Sutawijaya, 2009). Meningkatkan eliminasi racun dapat
dilakukan dengan diuresis basa atau asam, dosis multipel karbon aktif,
dialysis dan hemoperfusi. Keracunan makanan menurut Smeltzer dan
Bare (2002):
1) Menentukan sumber dan tipe keracunan makanan
2) Kumpulkan makanan, isi lambung, muntah, serum, dan feses untuk
pemeriksaan
3) Pantau tanda-tanda vital terus menerus
4) Dukungan sistem pernapasan. Kematian karena paralisis pernapasan
dapat terjadi pada botulisme, keracunan ikan dan sebagainya
5) Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Muntah berlebihan
menyebabkan asidosis: sejumlah besar elektrolit dan air hilang
melalui muntah dan diare
6) Koreksi dan control hipoglikemia
7) Kontrol mual:
a. Berikan obat antiemetic secara parenteral jika pasien tidak
menoleransi cairan atau pengobatan per oral
b. Berikan the ringan, minuman karbonat atau air biasa untuk mual
ringan
c. Berikan cairan ringan 12-24 jam setelah mual dan muntah
d. Secara berangsur untuk residu rendah, diet lunak
18

2. Melalui hidung. Menurut Sartono (2004) dalam menangani racun yang


masuk melalui hidung (inhalasi), tindakan yang segera dilakukan ialah:
a. Memindahkan penderita keracunan dari tempat atau ruangan yang
tercemar racun.
b. Trakeotomi dapat dilakukan jika dipandang perlu.
c. Jika menggunakan alat resuscitator dengan tekanan positif, tekanan darah
perlu dikontrol terus-menerus.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) penatalaksanaan umum keracunan melalui
inhalasi yaitu:
a. Bawa pasien ke udara segar dengan segera, buka semua buku dan jendela
b. Longgarkan semua pakaian ketat
c. Mulai resusitasi kardiopulmonal jika diperlukan
d. Cegah menggigil, bungkus pasien dalam selimut
e. Pertahankan pasien setenang mungkin
f. Jangan berikan alcohol dalam bentuk apapun
Keracunan karbon monoksida, tujuan penatalaksanaan adalah untuk
mengembalikan oksigenasi serebral dan hipoksia miokard dan untuk
mempercepat eliminasi karbon monoksida.
a. Berikan oksigen 100% pada atmosfer atau tekanan hiperbarik untuk
menangani hipoksia dan peningkatan eliminasi karbon monoksida
b. Ambil darah untuk kadar karboksihemoglobin; oksigen diberikan sampai
dengan kadar karboksihemoglobin kurang dari 5%
c. Observasi pasien secara konstan. Gangguan psikosis, paralisis spastic,
ataksia, gangguan visual, dan penyimpangan kepribadian mungkin
menetap setelah resusitasi dan dapat menjadi gejala kerusakan sistem
saraf pusat permanen
d. Ketika terjadi keracunan karbon monoksida yang tidak disengaja,
hubungi departemen kesehatan. Saluran atau bangunan juga harus di
inspeksi.
e. Minta konsultasi psikiatrik jika keracunan adalah bunuh diri
3. Kontaminasi kulit. Jika kulit terkontaminasi atau terkena racun, segera
disiram dengan air untuk mengencerkan atau mengusir racun. Kecepatan
19

dan volume air yang digunakan sangat menentukan kerusakan kulit yang
terjadi, terutama jika terkena racun yang bersifat korosif dan bahan-bahan
atau racun yang merusak kulit. Menurut Smeltzer dan Bare (2002)
penatalaksanaan umum kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi) yaitu:
a. Basahi kulit dengan air mengalir dari pancuran, pipa, penyiram, atau
kran
b. Teruskan untuk mengalirkan air ke kulit ketika melepaskan pakaian
kulit dari petugas perawatan kesehatan harus dilindungi dengan tepat
jika daerah yang tebakar luas atau agens tersebut sangat toksik
c. Berikan bilas yang lebih lama dengan sejumlah air hangat
d. Selanjutnya tentukan identitas dan karakteristik agens kimia untuk
tindakan lanjut
e. Berikan tindakan luka bakar standar yang tepat untuk ukuran dan lokasi
luka (tindakan antimikroba dan tetanus profilaksis)
f. Instruksikan pasien untuk memeriksa kembali area yang terkena pada
24 dan 72 jam dan hari ke 7
4. Kontaminasi mata. Mata yang terkontaminasi atau terkena bahan kimia
harus dibilas atau dialiri air selama 15 menit. Dapat juga digunakan gelas
pencuci mata, yang airnya sering diganti. Jangan sesekali diteteskan
antidote senyawa kimia, karena panas yang akan ditimbulkan dapat
mengakibatkan kerusakan mata yang lebih parah. Selanjutnya segera
dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan.
5. Keracunan korosif
1. Berikan air atau susu untuk pengenceran
a. Pencairan tidak diusahakan jika pasien mengalami edema jalan
napas akut atau obstruksi atau jika terdapat bukti klinis perforasi
esophagus, lambung atau usus
b. Jangan rangsang muntah jika pasien telah konsumsi asam, basa kuat,
atau zat korosif lain
2. Pasien biasanya dibawa ke rumah sakit untuk observasi dan rencana
endoskopi untuk evaluasi daerah yang terbakar dan ulserasi dalam
3. Minta evaluasi psikiatrik jika keracunan adalah upaya bunuh diri
20

6. Sengatan dan gigitan binatang berbisa


Jika terkena gigitan ular berbisa, maka tindakan untuk mencegah
penjalaran bisa dilakukan dengan menggunakan torniket di daerah atau
diatas luka gigitan, sampai dapat diberikan antidote yang spesifik terhadap
bisa ular penyebabnya.Selama dalam perjalanan rumah sakit, torniket
dikendorkan setiap 15 menit selama 30 detik.Torniket tidak digunakan pada
jari tangan atau kaki yang terkena gigitan ular berbisa.Sebagai alternative,
dapat dilakukan pembalutan yang kuat atau dengan tekanan yang dapat
dibiarkan beberapa jam. Usaha lain yang dapat dilakukan yaitu dengan
pendinginan local menggunakan es batu, cara ini dapat berbahaya jika
terjadi radang karena kedinginan. Cara lain lagi dengan penghisapan,
dilakukan dalam waktu 10 menit setelah terjadi gigitan dapat mengeluarkan
racun 20%.
7. Penatalaksanaan keracunan obat (Rubenstein, et al, 2005):
a. Pertahankan jalan napas dan ventilasi
Setelah memastikan jalan napas bebas, pasien harus dirawat di rumah
sakit. Pemasangan selang endotrakeal dan pemberian oksigen mungkin
perlu dilakukan. Ventilasi buatan jarang diperlukan tetapi ventilasi
spontan harus dinilai secara berkala dan keputusan untuk memberikan
ventilasi diambil berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah
b. Absorpsi dan keluarkan obat
Manfaat bilas lambung meragukan jika dilakukan lebih dari 1 jam
setelah konsumsi obat. Karbon aktif bisa mengikat racun dalam
lambung sehingga mengurangi absorbsinya.
c. Perawatan umum pada pasien sadar perawatan, fisioterapi,
mempertahankna keseimbangan cairan untuk fungsi ginjal, dan
mengatasi syok
d. Pemeriksaan psikiatrik
Bila pasien telah pulih perlu pemeriksaan teliti dengan tujuan
membantu masalah akut dan mencegah upaya lebih lanjut. Sekitar 10%
pasien yang mengkonsumsi obat berlebihan secara serius ingin
melakukan bunuh diri dan 10-20% mencoba lebih lanjut.
21

e. Pusat terapi racun


Penanganan di rumah sakit
a) Tindakan emergency
Airway :Bebaskan jalan nafas, kalau perlu di lakukan intubasi
Breathing :Berikan nafas buatan, bila penderita tidak bernafa spontan
atau pernafasan tidak adekuat
Circulation: Pasang infus bila keaadaan penderita gawat darurat dan
perbaiki perfusi jaringan.
b) Resusitasi.
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernafasan dan
nadi. Infus dextrose 5% 15- 20 tpm, nafas buatan, oksigen, hisap lendir
dalam saluran pernafasan, hindari obat-obatan depresan saluran nafas. Jika
perlu respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan buatan dari
mulut kemulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mulut
penolong. Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask
atau menggunakan alat bag – valve – mask.
1) Eliminasi
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar
atau dengan pemeberian sirup ipecac 15 - 30 ml. Dapat diulang setelah
20 menit bilatidak berhasil.Katarsis(intestinal lavage ), dengan
pemberian laksan bila diduga racun telah sampai diusus halus dan
besar.Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang
kesadarannya menurun,atau pada penderita yang tidak kooperatif.
Hasil paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah
keracunan. Keramas rambut dan memandikan seluruh tubuh dengan
sabun. Emesis,katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan
bila keracunan terjadi kurang dari 4 – 6 jam pada koma derajat sedang
hingga berat tindakan kumbah lambung sebaiknya dukerjakan dengan
bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon,untuk mencegah aspirasi
pnemonia.
22

2) Antidotum (penawar racun)


Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akhir
pada tempat penumpukan.
a) Mula-mula diberikan bolus IV 1 - 2,5 mg
b) Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 - 10 - 15 menitsampai timbul
gejala-gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi,
midriasis, febris dan psikosis).
c) Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 - 60 menit selanjutnya
setiap 2 – 4 –6 – 8 dan 12 jam.
d) Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 x 24 jam. Penghentian
yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema
paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.
2.6.3 Tindakan suportif
Tindakan lain terhadap efek dan gejala keracunan dapat berupa tindakan
yang bersifat suportif seperti mengatasi rasa sakit, gangguan keseimbangan
cairan tubuh, gangguan keseimbangan air dan elektrolit, gangguan suhu tubuh,
dan nutrisi.
a. Rasa sakit
Rasa sakit yang berat dapat menyebabkan vasomotor menjadi kolaps, dan
juga dapat menyebabkan hambatan refleks normal fungsi fisiologik.
Tindakan penanggulangan:
1) Berikan 5-10 mg morfin sulfat secara oral, SC, IM, atau IV secara
perlahan-lahan.
2) Selain morfin sulfat dapat digunakan 50-100 mg meperidin HCl
secaraoral atau IM yang dapat lebih mengurangi efek samping mual dan
muntah, dibandingkan dengan morfin sulfat.
b. Keseimbangan cairan tubuh
Pada tindakan penanggulangan keracunan, perlu diperhatikan
metabolism air. Pemberian air dan garam yang berlebihan pada penderita
dengan gangguan fungsi ginjal, dapat mengakibatkan terjadi edema
termasuk edema paru. Sebaliknya, pemberian cairan yang tidak tercukupi
akan mengganggu kemampuan ginjal dalam mengeluarkan racun dari
23

tubuh. Kebutuhan cairan tubuh dengan memperhitungkan kehilangan air


melalui kulit dan paru sebesar 10-15 ml/kg/hari, maka air yang harus
diberikan harus mencukupi untuk mengeluarkan elektrolit dan sisa
metabolisme
c. Keseimbangan air dan elektrolit
Karena muntah, diare, kerusakan ginjal, dan proses lain sebagai akibat
keracunan, elektrolit menjadi tidak seimbang. Demikian juga karena
keracunan, air dapat berlebih atau berkurang. Jika fungsi ginjal normal dan
mekanisme rasa haus masih baik, gangguan keseimbangan air dan elektrolit
dapat diatasi dengan memberi yang dibutuhkan secara oral atau IV. Dalam
penatalaksanaannya yang digunakan sebagai pedoman ialah kadar natrium
dan kalium.
d. Suhu tubuh
Suhu tubuh penderita keracunan sangat perlu untuk diperhatikan.
Hyperthermia akan meningkatkan kebutuhan oksigen, makanan, mineral,
air dan juga meningkatkan beban kerja jantung dan ginjal. Sedangkan jika
terjadi hypothermia meskipun mengurangi kebutuhan metabolisme tapi
mengakibatkan detoksifikasi dan pengeluaran racun dari tubuh lambat, serta
peredaran darah terganggu. Penanganan :
1) Hipertermia. Sampai 400C suhu tubuh dapat diatur dengan mengompres
memakai kain basah. Pemberian obat golongan antipiretik tidak berguna
terhadap hipertermia yang diakibatkan oleh keracunan
2) Hipotermia
a. Jika suhu tubuh kurang dari 300C dapat diatasi dengan merendam
badan atau hanya kaki dan tangan penderita, dalam air bersuhu 420C.
b. Untuk meningkatkan suhu tubuh dengan cepat dapat dilakukan
dengan menghirup udara yang lembab dengan suhu 300C
c. Jika diberikan cairan infus, suhu infuse dibuat sama dengan suhu
kamar
e. Nutrisi
Pemberian makanan secara IV atau pipa ke dalam lambung, dilakukan pada
penderita keracunan yang koma atau terluka esofagusnya. Karena pemberian
24

larutan glukosa 5% atau 10% maksimum 3 liter per hari, maka pemberian IV
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sedangkan jika kadar glukosa
dinaikkan ada kemungkinan terjadi glikosuria. 1 liter larutan glukosa 5%
memberikan energy 200 kkal. Untuk mencegah terjadinya edema paru,
pemberian makanan cairan sebanyak tidak melebihi cairan yang hilang.
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien keracunan secara umum adalah
sebagai berikut (Hidayat, 2008):
1. Lakukan kumbah lambung apabila keracunan kurang dari 6 jam
2. Berikan antidot umum, seperti norit yang dibuat larutan atau berikan
antidot khusus, misalnya jika keracunan singkong maka berikan natrium
thiosulfat 10%, jika keracunan jamur maka berikan sulfas atropine
(pemberian dosis sesuaikan dengan usia anak)
3. Berikan infus cairan elektrolit
4. Apabila terjadi peradangan, berikan antibiotik, seperti tetrasiklin,
kloramfenikol, atau kotrimoksazol.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis pasti keracunan diperoleh melalui analisis laboratorium. Bahan
analisis dapat berasal dari bahan cairan, lambung, atau urin. Pemeriksaan
cepat dan sederhana menggunakan kromatografi lapisan tipis dapat dilakukan
pada 90% keracunan umum yang terjadi (Mansjoer, 2001;
Purwadinata,2000). Pemeriksaan diagnostik keracunan meliputi:
1. Pemeriksaan laboratorium. Uji Laboratoriumn rutin yang bermanfaat
dalam diagnosis toksikologi adalah sebagai berikut:
1) Tes GDA
Hipoventilasi akan menyebabkan peningkatan PCO2 (hiperkapnia).
PO2rendah dengan aspirasi pneumonia atau obat-obat yang
menginduksi edema paru. Oksigenisasi jaringan yang kurang akibat
hipoksia, hipotensi atau keracunan sianida akan menghasilkan asidosis
metabolik.
2) Tes elektrolit
Natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat harus diukur. Anion gap
dihitung dengan mengurangi anion dan kation-kation:
Anion gap = (Na+ + K+ ) - (HCO3- + Cl-)
25

Dalam keadaan normal, anion gap tidak lebih besar dari 12- 16 meq/L.
Perubahan dalam tingkat kadar serum kalium dapat menyebabkan
aritmia jantung. Obat yang dapat menyebabkan hiperkalemia meskipun
dengan fungsi ginjal normal termasuk kalium sendiri, penghambat
adrenoseptor-beta, glikosicia digitalis, fluorida, dan litium. Obat-obat
yang berkaitan dengan hipokalemia termasuk barium, agonis beta-
adrenoseptor. kafein. teofihin, diuretik, dan toluen.
3) Renal function test
Beberapa toksin mempunyai efek nefrotoksik; dalam kasus lain, gagal
ginjal merupakan akibat syok, koagulasi intravaskular yang menyebar
(disseminated irrtravascular coagulation, DTC), atau mioglobinuria.
Tingkat kadar nitrogen urea darah dan kreatinin harus diukur dan
dilakukan urinalisis.
4) Osmolalitas Serum
Perhitungan osmolalitas serum terutama bergantung pada natrium
serum, glukosa serum serta nitrogen urea darah. Nilai normal
perhitungan ini adalah 280-290 mosm/kg.
2. Pemeriksaan khusus seperti: kadar KhA (kholinesterase) plasma sangat
membantu diagnosis keracunan IFO (kadarnya menurun sampai di bawah
50 %. Kadar meth-Hb darah: keracunan nitrit. Kadar barbiturat plasma:
penting untuk penentuan derajat keracunan barbiturate.
3. Pemeriksaan toksikologi. Bahan diambil dari:
1) Muntahan penderita atau bahan kumbah lambung yang pertama (100
ml)
2) Urine sebanyak 100 ml
3) darah tanpa antikoagulan sebanyak 10 ml
4. Pemeriksaan EKG. Terdapat pelebaran lama kompleks QRS yang lebih
besar dari 0,1 detik adalah khas untuk takar lajak antidepresan trisiktik dan
kuinidin.
5. Gambaran sinar-X: fotopolos abdomen
26

Karena beberapa tablet, khususnya besi dan kalium, dapat berbentuk


radiopaque. Foto toraks dapat menunjukkan pneumonia aspirasi, pneumonia
hidrokarbon, atau edema paru. Bila dicurigai adanya trauma kapitis,
dianjurkan untuk pemeriksaan CT-scan.
2.8 WOC

KERACUNAN

Makanan
Inhalasi
1) Jamur
1) Sianida (HCn)
2) Bakteri dalam makanan kaleng
2) Oksidanitrat
3) Hewan laut (kerang, kepiting)
3) Belerangoksida
4) Pestisida
4) Amoniak
5) Susu basi
6) Bahan makanan tambahan
Obat-obatan
Bersaing Batuk& sesak Miss use &Miss dose
Iritasi lambung Makanan dg Diare dengan O2 bertambah berat
IFO mengikat Hb
O2 terdesak dan aritmia Distress napas Urtikaria
Dehirasi
HCl meningkat Inaktivasi lepas dengan
enzim Hb
kolinesterase MK: MK.: Pola napas Menghamba Eritema
Mual, muntah Hipovolemia O2 dalam tidak efektif t ventilasi
(KhE)
darah <<
Ikatan IFO-KhE>> MK: Kerusakan
MK: Integritas Kulit
Hipoksia
Defisit Nutrisi
jaringan
Akumulasi AKh

MK: Risiko perfusi MK. Gangguan


Stimulasi SSP jaringan perifer pertukaran gas
tidak efektif
Depresi SSP 27
28

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Tanggal/Jam MRS : 02/04/2019 – 08.25 WIB


Tanggal/JamPengkajian : 02/04/2019 – 08.30 WIB
Diagnosis Medis: Intoksikasi

IDENTITAS PASIEN
1. Nama Pasien : Tn. R
2. Umur : 46 tahun
3. Suku/ Bangsa : Indonesia
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMP
6. Pekerjaan : Tukang Becak
7. Alamat : Surabaya
8. Sumber Biaya : Mandiri

KELUHAN UTAMA
Keluarga pasien mengatakan pasien mengeluh matanya kabur dan agak
sesak sejak pagi sekitar pukul 05.00 WIB,

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG/MECHANISM OF INJURY/EVENT


Berdasarkan keterangan keluarga, pasien terakhir kali minum minuman
keras pada hari senin tanggal 1 April 2019. Keluarga juga mengatakan bahwa
pasien hampir setiap hari mengkonsumsi minuman keras. Pada tanggal 2 April 2019
pagi hari, pasien mengeluh penglihatannya kabur.

OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK


1. Triage : Biru √ Merah Hijau
Kuning
2. Kesadaran: Pain
3. Tanda tanda vital
S: 36,5ºC N : 112x/menit TD : 92/66 mmHg RR : 28x/menit
SpO2: 97%

4. Keluhan Nyeri: ya √ tidak

Pengkajian skala nyeri dengan Wong Baker


29
30

P :0
5. Airway dan C Spine Control/ Immobilization
a. Jalan Nafas , bebas √ ya tidak

b. Obstruksi/ Sumbatan √ tidak sebagian total

c. Benda Asing √ tidak padat cair

d. Mulut, terkatup √ tidak ya

e. Batuk produktif √ tidak produktif Sekret: tidak


ada

f. Jejas yang mendukung kecurigaan fraktur tulang servikal: tidak ada

6. Breathing
a. Normal ya √ tidak

b. Keluhan: sesak tidak √ ya nyeri waktu nafas

Orthopnea waktu istirahat beraktifitas


c. RR: 28x/menit
d. Pergerakan dada: √ simetris asimetris

e. Penggunaan otot bantu nafas: tidak √ ya


Jenis: retraksi otot dada

f. Irama nafas √ teratur tidak teratur

g. Pola nafas Dispnoe √ Kusmaul Cheyne Stokes


Biot

h. Suara nafas √ Vesikuler Bronko vesikuler Crackles

Ronki Wheezing

i. Suara perkusi paru √ sonor hipersonor redup

j. Kelainan tulang dada: Tidak Ada


k. Data tambahan: Tidak Ada

7. Circulation
a. Nadi Karotis: √ teraba tidak
31

Nadi Perifer: kuat √ lemah √ tidak teraba

Perdarahan: Tidak Ada

b. Irama jantung: √ reguler ireguler

c. Suara jantung: √ normal (S1/S2 tunggal) murmur


gallop

d. CRT : > 2 detik

f. Turgor √ normal turun/ lambat kembali

g. Akral/ perfusi: hangat √ kering √ merah


basah

pucat √ dingin

h. ECG & Interpretasinya:


Tidak dilakukan pemeriksaan EKG
i. Data tambahan: -

8. Disability
a. Kesadaran Compos Mentis Apatis Somnolen
Sopor √

Koma

b. Gelisah tidak √ ya

c. GCS : 6 ( E: 1, V: 1, M: 4 )

d. Refleks cahaya: ada/ ada

e. Pupil √ isokor anisokor Diameter: 2/2 Mm

f. Kejang √ tidak ya

g. Tanda PTIK : Tidak Ada


h. Data tambahan: Tidak Ada

9. Exposure Bone dan Integumen


a. Perubahan bentuk : ada tidak

b. Tumor/benjolan: ada √ tidak


32

c. Luka: ada √ tidak

d. Pergerakan sendi: √ bebas terbatas

e. Kekuatan otot: Tidak Terkaji

f. Kelainan ekstremitas: tidak ada


g. Kelainan tulang belakang : tidak
h. Fraktur: tidak
i. Traksi: tidak
j. Penggunaan spalk/gips: tidak
k. Sirkulasi perifer: Dingin, Kering, Merah
l. Kompartemen syndrome : tidak
m. Kulit: kemerahan
Turgor : baik
Ekskoriasis: tidak
Urtikaria: tidak
n. Luka operasi: tidak ada
o. ROM : Bebas
p. Data tambahan:

10. Eliminasi
URI
a. Normal : √ ya tidak

b. Keluhan kencing: Tidak Ada

c. Kemampuan berkemih: √ Spontan Alat bantu, sebutkan: Ukuran

d. Kandung kemih : Membesar ya √ tidak

e. Nyeri tekan ya √ tidak


ALVI

a. Normal √ ya tidak

b. Mulut: √ bersih kotor berbau


33

c. Membran mukosa: lembab kering stomatitis

d. Tenggorokan: Tidak sakit atau kesulitan menelan


e. Abdomen: tidak tegang, tidak kembung dan tidak acites
f. Peristaltik: 6 x/menit
g. BAB: tidak terkaji
h. Keluhan BAB: tidak terkaji
11. Sistem Endokrin
a. Pembesaran tyroid: tidak
b. Pembesaran kelenjar getah bening: tidak
c. Hipoglikemia: tidak
d. Hiperglikemia: ya tidak, Nilai:
e. Data tambahan:

ANAMNESA AMPLE (Allergy, Medication, Past Medical History, Last Meal,


Event/kejadian):

Tidak terkaji

PEMERIKSAAN RISIKO JATUH


Pemeriksaan Risiko Jatuh Morse
Faktor Risiko Skala Skor Kesimpulan/
Poin
Pasien Masalah
Riwayat Jatuh Ya, dalam 3 bulan
25
terakhir
Tidak 0
Diagnosis Sekunder Ya 15
(≥ diagnosis medis) Tidak 0 0
Alat Bantu Perabot
Tongkat/ Alat Penopang
Tidak Ada/ kursi roda/
perawat/ tirah baring
Terpasang Infus/ Ya 20 20
terapi intravena Tidak 0
Gaya Berjalan Terganggu/ kerusakan 20
kelemahan 10
Normal/ tirah baring/
0 0
imobilisasi
Status Mental Sering lupa akan
keterbatasan yang
15
dimiliki/ tidak konsisten
dengan perintah
Orientasi baik terhadap
0
kemampuan diri sendiri
Catatan Total
34

PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Pasien mengalami penurunan kesadaran

PENGKAJIAN SPIRITUAL
a. Kebiasaan beribadah: tidak terkaji

b. Bantuan yang diperlukan klien untuk memenuhi kebutuhan beribadah:


Tidak terkaji

PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium, Radiologi, EKG, USG, dll):


1. pH = 6,81
2. pCO2 = 22,4 mmHg (35-45)
3. pO2 = 62,2 mmHg (80-107)
4. HCO3 = 3,6 mmHg
5. WBC = 7,1 x10^3/µL (3,37-10)
6. RBC = 4,91 x10^6/µL (3,60-5,46)
7. HGB = 15,7 g/dL (13,3-16,6)
TERAPI:

Surabaya, 02 April 2019

(Kelompok 3)
35

ANALISIS DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH


(Subyektif dan Obyektif) (berupa pohon masalah) (sesuai standar
SDKI/NANDA/yang lain)
DS: keluarga mengatakan
pasien mengeluh sesak sejak Pengonsumsian alkohol
pagi ↓
Terabsorbsi dalam pembuluh
DO: darah
1. Penggunaan otot bantu ↓ Pola Napas Tidak Efektif
nafas Gangguan sistem saraf
2. Pola napas abnormal: otonom
kussmaul ↓
3. RR: 28 x/menit Mengganggu pusat
4. Pasien mendapatkan aliran pernapasan
O2 12 Lpm dengan NRM ↓
Napas cepat dan dalam

Pola napas tidak efektif

DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN

TANGGAL: 02/04/2019

1. Pola Napas Tidak Efektif b.d Gangguan sistem saraf otonom d.d frekuensi
napas 28x/menit (D.0005)
INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
DIAGNOSA
Tanggal KEPERAWATAN JAM INTERVENSI/IMPLEMENTASI Paraf EVALUASI Paraf
(Tujuan, Kriteria Hasil)
2/4/2019 Pola Napas Tidak 08.30 1. Memberikan posisi semifowler S: -
Efektif b.d Gangguan 2. Memonitor TTV tiap 15 menit O:
sistem saraf otonom d.d 3. Memberikan O2 12 Lpm dengan NRM 1. Masih ada
frekuensi napas 4. Memonitor tingkat kesadaran penggunaan otot
28x/menit 5. Memonitor status pernapasan: AGD, bantu pernapsana
oksimetri nadi 2. Pola nafas kussmaul
Tujuan: Setelah 3. RR 26 x/menit
dilakukan tindakan Implementasi A: Pola Napas Tidak
keperawatan < 6 jam Efektif, Masalah
pola nafas kembali 1. Manajemen jalan nafas belum teratasi
efektif a. Memberikan posisi semifowler P: Mempertahankan
b. Memberikan O2 12 lpm dengan NRM intervensi 1- 5
Kriteria Hasil: c. Memonitor pola nafas (frekuensi,
1. Tidak ada kedalaman dan usaha nafas)
penggunaan otot 2. Pemantauan neurologis
bantu pernapasan a. Memonitor tingkat kesadaran
2. Pola nafas normal b. Memonitor TTV tiap 15 menit
3. RR 16-20 x/menit 3. Monitor status pernafasan ; AGD dan
oksimetri nadi
4.

36
37

BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn. R dengan
diagnosa medis Intoksikasi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Soetomo
Surabaya, maka dalam bab ini penyusun akan membahas kesenjangan antara teori
dan kenyataan yang diperoleh sebagai hasil pelaksanaan studi kasus serta
implementasi yang dilakukan untuk Tn. R.
Diagnosa Keperawatan yang muncul
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons klien terhadap
gangguan kesehatan/proses kehidupan, atau kerentanan respons dari seorang
individu, keluarga, kelompok, atau komunitas (Herdman & Kamitsuru, 2015).
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan sistem saraf
otonom ditandai dengan frekuensi napas 28x/menit
Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah inspirasai dan/atau
ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat (SDKI, 2016). Diagnosa
tersebut ditegakkan bila ada data mayor yang mendukung yaitu dispnea,
penggunaan otot bantu nafas, pola nafas abnormal (kussmaul). Diagnosa
tersebut diangkat pada asuhan keperawatan ini dikarenakan ketika
dilakukan pengkajian didapatkan data subjektif yaitu keluarga pasien
mengatakan pasien mengeluh sesak sejak pagi serta data objektif berupa
Penggunaan otot bantu nafas, pola napas abnormal: kussmaul, RR: 28
x/menit. Berdasarkan masalah tersebut penyusun memberikan intervensi
keperawatan berupa edukasi memposisikan pasien semifowler.
Penelitian yang dilakukan Safitri dan Andiyani (2011) menunjukkan
bahwa untuk mengurangi sesak nafas yaitu antara lain dengan pengaturan
posisi saat istirahat. Posisi yang paling efektif bagi pasien dengan sesak
nafas adalah posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu
dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru
dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma. Sedangkan posisi
orthopnea dimana klien dengan posisi 90° duduk ditempat tidur membantu
memaksimalkan ekspansi dada dan paru, menurunkan upaya pernapasan,
ventilasi maksimal membuka area atelektasis sehingga dapat meningkatkan
gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan. Pengaturan
posisi yang tepat dan nyaman pada pasien adalah sangat penting terutama
pasien yang mengalami sesak nafas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
posisi semi fowlerlebih nyaman dan lebih mudah dipahami oleh responden
(Zahroh dan susanto, 2017)
38

BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pola nafas tidak efektif yang diderita oleh Tn. R disebabkan kegiatan minum
minuman keras etanol. Minuman beralkohol tersebut terabsorpsi dalam pembuluh
darah kemudian mengganggu system saraf otonom. Kemudian mengganggu sistem
pernapasan sehinggan napas Tn. R menjadi cepat dan dalam. Ketika dilakukan
pengkajian Tn. R merasa sesak. Maslah keperawatan yang diangkat adalah pola
nafas tidak efektif. Pola nafas tidak efektif termasuk dalam hal breathing dalam
penanganan pasien gawat darurat. Intervensi yang sudah dilakukan oleh kelompok
yaitu:
a. Manajemen jalan nafas berupa memberikan posisi semifowler, memberikan
O2 12 lpm dengan NRM, memonitor pola nafas (frekuensi, kedalaman dan
usaha nafas)
b. Pemantauan neurologis berupa memonitor tingkat kesadaran, memonitor
TTV tiap 15 menit.
c. Monitor status pernafasan, AGD dan oksimetri nadi
5.2 Saran
1. Untuk Perawat
Tidak ada
2. Untuk Keluarga
Sebaiknya keluarga dalam merawat pasien dengan pola nafas tidak
efektif, selalu memberikan semangat dan dukungan positif kepada
pasien.
3. Untuk Mahasiswa
Sebagai mahasiswa profesi keperawatan gawat darurat sebaiknya
melakukan asuhan keperawatan gawat darurat yang komprehensif
kepada pasien dan keluarga
39

DAFTAR PUSTAKA

Arora V NO, Multani AS, Singh JP, Abrol P, Chopra R, et al. 2007. MRI finding
in methanol intoxication; a report of two cases. The British Journal of
Radiology. 80: 243-6.

Chan JW. 2007. Nutritional and toxic optic neuropathy. Optic nerve disoroder
diagnosis and management. 9 ed. Kentucky: Spinger.

Epker JL, Bakker J. 2010. Case report: Accidental methanol ingestion BMC
Emergency Medicine. 10(3): 24-6.

Gallo, Hudak. 2010. Keperawatan Kritis pendekatan Holistik Volume 2. Jakarta:


EGC

Hamidah, Masnua’atul && Kunthi Yulianti. 2017. Yemuan Psot Mortem Akibat
Keracunan Metanol. E-Journal Medika Vol 6 No 7, Juli 2017.

Hardisman.2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Padang: Gosyen Publishing

Kraut JA, Krautz I. 2008. Toxic alcohol ingestion: Clinical feature, diagnosis, and
management. Clin J Am Soe Nephrol. ed 3: 208-25.

Krisanty, Paula. 2009. Asuhan keperawatan Gawat Darurat Jakarta. Trans Info
Media

Lin ES BT, Lai E, Oh TE. 1989. A case of severe methanol intoxication. Journal of
the Hong Kong Medical Association. 41: 273-4.

Merck Index. 2006. Chemistry Constant Companion, Now with a New Addition. Ed
14th.1410.1411. Merck and Co., Inc, White House Station. NJ

Panowo, Irfan; Dewa Ayu Citra & Sri Sutarni. 2018. Sindorma Vertigo Central
Sebagai Manifestasi Klinis pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol. Berkala
Ilmiah Kedokteran Duta Wacana Volume 03 nomor 02- Oktober 2018.

Prijanto, Teguh Budi; Nurjazuli && Sulistiyani. 2009. Analisis Faktor Keracunan
Pestisida Organofosfat pada Keluarga Petani Hortikultura di Kecamatan
Ngablak Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol.
8 No. 2, Oktober 2009.

Rembet, Lavinny K; Jemmy Abidjulu & Novel S Kojong. 2017. Analisis Kadar
Rhodamin B pada Bumbu Jajanan Tahu yang Beredar di Kota Manado.
Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 6 No. 4, November 2017

Safitri, Refi dan Andiyani, Annisa. 2011. Keefektifan Pemberian Posisi Semi
Fowler Terhadap Penurunan Sesak Nafas Pada Pasien Asma Di Ruang
40

Rawat Inap Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Vol 8. Jurnal Stikes
Aisyiyah.

Sajiman; Nurhamidi & Mahpolah. 2015. Kajian Bahan Berbahaya Formalin,


Boraks, Rhodamin B dan Methalyn Yellow pada Pangan Jajanan Anak
Sekolah di Banjarbaru. Jurnal Skala Kesehatan Volume 6 No. 1 Tahun 2015.

Sumunar, Siwi Ratna & Teti Estiasih. 2015. Umbi Gadung (Dioscorea hispida
Dennst) Sebagai Bahan Pangan Mengandung Senyawa Bioaktif: Kajian
Pustaka. Jurnal pangan dan Agroindustri Vo. 3 No 1, Januari 2015

Surati. 2015. Bahaya Zat Aditif Rhodamin N pada Makanan. Jurnal Biology Sel
Vol. 4 No.1 Edisi Jan-Jun 2015.

Triningrat, AA Mas; Ni Made Kartika Rahayu & IB Putra Manuaba. 2010. Visual
Aculty of Methanol Intoxicated Patiens Before and After Hemodialysis,
Methylprenidsolone and Prednisoe Therapy. Journla Oftalmologi Indonesia
Vo. 7 No. 4, Desember 2010

Widelia, Putri; Jon Frizal & Mula Nartii. 2018. Identifikasi Kandungan Boraks
pada Mi Basah Di Pasar Tradisional Kota Bengkulu. Journal of Nursing and
Public Health Volume 6 No. 1, April 2018

Zahroh, Roihatul dan Susanto, Rivai Sigit. 2017. Efektifitas Posisi Semo Fowler
dan Posisi Orthopnea Terhadap Penurunan Sesak Nafas Pasien TB. Vol 8.
Journals of Ners Community.

Anda mungkin juga menyukai