Anda di halaman 1dari 4

Nama : Jafar Al Faudzi

NIM : 1607847

Kelas : 5-A

BAB 4 ASAL TRADISI SEJARAH

A. Masyarakat Selalu Berproses

Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di


tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat mezo
terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Di tingkat mikro terjadi
perubahan interaksi dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kesatuan
fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda.

Seperti dinyatakan Edward Shils: Masyarakat adalah fenomena antarwaktu.


Masyarakat terjelma bukan karena keberadaannya di satu saat dalam
perjalanan waktu. Tetapi ia hanya ada melalui waktu. Ia adalah jelmaan
waktu. (1981: 327)

Masyarakat ada setiap saat dari masa lalu ke masa mendatang. Kehadirannya justru
melalui fase antara apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Dalam
masyarakat kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit dan
potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti
bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab-akibat dengan fase kini dan fase kini
merupakan persyaratan sebab-akibat yang menentukan fase berikutnya.

B. Konsep Tradisi

Substansi dan isi semua yang kita warisi dari masa lalu, semua yang disalurkan
kepada kita melalui proses sejarah, merupakan warisan sosial. Di tingkat makro,
semua yang diwarisi masyarakat dari fase-fase proses historis terdahulu merupakan
“warisan historis”; di tingkat mezo, apa saja yang di warisi komunitas atau
kelompok dari fase kehidupannya terdahulu merupakan “warisan kelompok”; di
tingkat mikro, apa saja yang diwarisi individu dari biografinya terdahulu
merupakan “warisan pribadi”.

Bicara mengenai tradisi, hubungan antara masa lalu dan masa kini haruslah lebih
dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa kini ketimbang sekadar
menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu. Keberlangsungan masa
lalu di masa kini mempunyai dua bentuk: materiel dan gagasan, atau objektif dan
subjektif. Menurut arti yang lebih lengkap, tradisi adalah keseluruhan benda
materiel dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada
kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan. Di sini tradisi hanya
berarti waris an, apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu.

Seperti dikatakan Shils: Tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau
diwariskan dari masa lalu ke masa kini. (1981: 12

C. Kemunculan dan Perubahan Tradisi

Tradisi lahir di saat tertentu ketika orang menetap kan fragmen tertentu dari
warisan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi berubah ketika orang memberikan
perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain.
Tradisi berta han dalam jangka waktu tertentu dan mungkin lenyap bila benda
materiel dibuang dan gagasan dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup dan muncul
kembali setelah lama terpendam. Contohnya, munculnya kembali tradisi etnik dan
gagasan nasional di Eropa Timur dan di negara bekas Uni Soviet setelah periode
penindasan oleh rezim komunis. Tradisi mereka membeku selama berada di bawah
cengkeraman rezim komunis yang totaliter itu. Terjadi perubahan dan pergeseran
sikap aktif terhadap masa lalu.

Tradisi lahir melalui dua cara. Pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme
kemunculan secara spontan dan tidak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak.
Karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan warisan historis yang menarik.

Cara kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap
sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh individu
yang berpengaruh atau berkuasa. Raja mungkin memaksakan tradisi dinastinya
kepada rakyatnya. Diktator menarik perhatian rakyatnya kepada kejayaan
bangsanya di masa lalu. Komandan militer menceritakan sejarah pertempuran besar
kepada pasukannya. Perancang mode terkenal menemukan inspirasi dari masa lalu
dan mendiktekan gaya “kuno” kepada konsumen.

Dua jalan kelahiran tradisi itu tidak membedakan kadarnya. Perbedaannya terdapat
antara “tradisi asli”, yakni yang sudah ada di masa lalu, dan “tradisi buatan”, yakni
murni khayalan atau pemikiran masa lalu. Tradisi buatan mungkin lahir ketika
orang memahami impian masa lalu dan mampu menularkan impiannya itu kepada
orang banyak. Lebih sering, tradisi buatan ini dipaksakan dari atas oleh penguasa
untuk mencapai tujuan politik mereka.

D. Fungsi Tradisi

Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun-temurun. Tempatnya


di dalam kesadaran, keyakinan, norma, dan nilai yang kita anut kini serta di dalam
benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi pun menyediakan fragmen warisan
historis yang kita pandang bermanfaat. Tradisi seperti onggokan gagasan dan
materiel yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk membangun
masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu. Tradisi menyediakan “cetak biru”
untuk bertindak (misalnya, tradisi kesenian, kerajinan, pengobatan atau profesi).

Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata, dan aturan


yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan pembenaran agar dapat mengikat
anggotanya. Salah satu sumber legitimasi terdapat dalam tradisi. Biasa dikatakan:
“selalu seperti itu” atau “orang selalu mempunyai keyakinan demikian”, meski
dengan risiko yang paradoksal yakni bahwa tindakan tertentu hanya akan dilakukan
karena orang lain melakukan hal yang sama di masa lalu atau keyakinan tertentu
diterima semata-mata karena mereka telah menerimanya sebelumnya (Shils, 1981:
21).

Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas


primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Tradisi nasional dengan
lagu, bendera, emblem, mitologi, dan ritual umum adalah contoh utama.
Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan
kekecewaan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih
bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggaan bila masyarakat berada dalam
krisis.

E. Tradisionalisme dan Anti-Tradisionalisme

Tradisi sering fungsional tetapi sering pula disfungsional. Ambivalensi tradisi ini
menimbulkan berbagai penilaian. Ideologi yang diartikulasikan atau suasana
pendapat umum yang menyokong tradisi disebut “tradisionalisme”. Sebaliknya,
suasana pendapat umum yang menolak tradisi disebut “antitradisionalisme”.
Berdasarkan proposisi di atas dapat diajukan hipotesis: periode pembangunan sosial
yang dinamis, berkembang dan sukses tidak akan menghasilkan tradisi. Ketika itu,
yang menjadi tema utama adalah perubahan, bukan kelestarian. Keyakinan yang
tersebar luas adalah bahwa setiap orang harus menerima, mengupayakan dan
memprakarsai perubahan (Shils, 1981: 2).

Dalam hal ini anti-tradisionalisme lebih berbentuk pengabaian tradisi ketimbang


menentangnya. Anti-tradisionalisme semata mengacu pada tradisi saja ketimbang
pada substansi khususnya. Anti-tradisionalisme pun dapat berupa kritik aktif
terhadap tradisi tertentu. Kembali ke contoh terdahulu, ada kampanye kuat
menentang tradisi “sosialisme nyata” dan sindrom homo Sovieticus yang
dikemukakan para pakar di negara postkomunis ditujukan untuk menentang
pengaruh yang sangat merusak dari sosialisme nyata itu (Lutynski, 1990;
Sztompka, 1991a). Anti-tradisionalisme ini tidak ditujukan untuk mencegah
menguatnya tradisi lain seperti nasionalisme, Katolikisme, dan demokrasi yang
jelas fungsional bagi trans formasi kini.

Anda mungkin juga menyukai