Anda di halaman 1dari 8

TUGAS 1

PERANCANAAN DAN MANAJEMEN EKSPLORASI

Oleh:

Nama : Landy Pratono

NIM : 122.15.004

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS BANDUNG

2019
1. Bauksit
Bauksit adalah suatu endapan laterite yang terdiri dari aluminium hidroksida murni
yang merupakan bijih utama dari aluminium (Al) (Schellman, 1991). Aluminium sendiri
merupakan logam yang sangat umum digunakan untuk keperluan sehari-hari, di antaranya
digunakan dalam pembuatan kaleng minuman ringan sampai dengan bahan baku pembuatan
pesawat. Bauksit akan terbentuk pada batuan dengan kandungan besi yang rendah atau
kandungan besi telah hilang selama proses pelapukan. Pada umumnya, umur dari endapan
bauksit ini adalah post Mesozoic, sama halnya endapan placer (post-Mesozoic) akibat sifatnya
yang sangat sensitif terhadap erosi. Bauksit yang tererosi akan membentuk endapan yang
disebut dengan transported bauxite atau sendimentary bauxite.
Pada material-material hasil pelapukan, aluminium akan terakumulasi pada mineral-
mineral lempung atau unsur-unsur yang bersifat alumina seperti gibbste, boehmite, dan
diaspore yang merupakan mineral-mineral utama bauksit. Mineralogi dari bauksit sangat
bergantung dari umur, bauksit yang berumur muda cenderung akan bersifat gibbsitik.
Batuan seperti nepheline, syenite, granidorite, dan lain-lain, adalah batuan yang cocok
untuk membentuk mineral aluminium hidrat. Batuan asal tersebut selanjutnya akan
mendapatkan proses lateritisasi karena proses perubahan temperatur secara terus menerus,
sehingga pada kondisi ini batuan akan mudah lapuk dan hancur. Pada musim hujan, air akan
dan membawa elemen yang mudah larut, tetapi untuk elemen yang tidak larut akan tinggal di
batuan yang selanjutnya membentuk residu, jika residu tersebut kaya aluminium maka inilah
yang disebut bauksit laterit. Proses pengendapan bauksit membutuhkan daerah yang stabil,
dimana proses erosi vertikal tidak aktif lagi. Kondisi ini biasanya terjadi di daerah "peneplain",
tetapi tetap harus memerlukan sirkulasi air tanah untuk mengangkut elemen tersebut.
Bauksit (Al2O3.2H2O) bersistem octahedral terdiri dari 35 – 65% Al2O3, 2 – 10% Fe2O3,
1 – 3% TiO2 dan 10 – 30% air. Sebagai bijih alumina, bauksit mengandung sedikitnya 35%
Al2O3, 5% SiO2, 6% Fe2O3, 3% TiO2. Terdapat 3 daerah penghasil bauksit, yaitu : 1. Kijang,
Pulau Bintan, Riau. 2. Singkawang, Kalimantan Barat. 3. Kalimantan Tengah.

2. Timah (Sn)
Sumber timah yang terbesar yaitu sebesar 80% berasal dari endapan timah sekunder
(alluvial) yang terdapat di alur-alur sungai, di darat (termasuk pulau-pulau timah), dan di lepas
pantai. Endapan timah sekunder berasal dari endapan timah primer yang mengalami pelapukan
yangkemudian terangkut oleh aliran air, dan akhirnya terkonsentrasi secara selektif
berdasarkan perbedaan berat jenis dengan bahan lainnya. Endapan alluvial yang berasal dari
batuan granit lapuk dan terangkut oleh air pada umumnya terbentuk lapisan pasir atau kerikil.
Mineral utama yang terkandung pada bijih timah adalah cassiterite (SnO2).
Batuan pembawa mineral ini adalah batuan granit yang berhubungan dengan magma
asam dan menembus lapisansedimen (intrusi granit). Pada tahap akhir kegiatan intrusi, terjadi
peningkatan konsentrasi elemen di bagian atas, baik dalam bentuk gas maupun cair, yang akan
bergerak melalui pori-pori atau retakan. Karena tekanan dan temperatur berubah, maka
ter!adilah proses kristalisasi yang akan membentuk deposit dan batuan samping.. Pembentukan
mineral kasiterit (SnO2) dan mineral berat lainnya, erat hubungannya dengan batuan granitoid.
Secara keseluruhan endapan bijih timah (Sn) yang membentang dari Mynmar Tengah
hingga Paparan Sunda merupakan kelurusan sejumlah intrusi batholit. Batuan induk yang
mengandung bijih timah (Sn) adalah granit, adamelit, dan granodiorit. Batholit
yang mengandung timah (Sn) pada daerah Barat ternyata lebih muda (Akhir Kretasius)
daripada daerah Timur (Trias). Dengan penyebaran membentang dari China, Thailand,
Malaysia, Kepulau Bangka Belitung hingga bagian barat Kalimantan. Jalur ini sering disebut
dengan sabuk timah asia (tin belt zone).
Proses pembentukan bijih timah (Sn) berasal dari magma cair yang mengandung
mineral kasiterit (SnO2). Pada saat intrusi batuan granit naik ke permukaan bumi, maka
akan terjadi fase pneumatolitik, dimana terbentuk mineral-mineral bi!ih diantaranya
bijih timah (Sn). Mineral ini terakumulasi dan terasosiasi pada batuan granit maupun di dalam
batuan yang diterobosnya, yang akhirnya membentuk vein-vein (urat), yaitu : pada batuan
granit dan pada batuan samping yang diterobosnya.

3. Emas (Au)
Secara umum, emas terbentuk berdasarkan 4 konsep yaitu: kristalisasi magma,
sublimasi, metasomatisme kontak, dan proses hidrotermal. Dari ke-4 konsep di atas jelas
terlihat bahwa asal mula pembentukan emas sangat erat hubungannya dengan tingkah laku
magma.

 Kristalisasi Magma
Magma mempunyai sifat selalu bergerak ke segala arah (mobile). Salah satu
pergerakannya adalah intrusi, yaitu penerobosan magma pada lapisan batuan/kulit bumi
menuju ke permukaan bumi dan mengisi retakan-retakan atau celah-celah batuan yang ada di
kulit bumi. Dalam perjalan ini, intrusi magma akan mengalami penurunan suhu dan tekanan
yang mengakibatkan terjadinya kristalisasi mineral-mineral silikat. Proses kristalisasi berakibat
pada terbentuknya mineral-mineral silikat dan mineral-mineral sisa cairan magma, termasuk
terbentuknya emas porfiri (kasar) yang mengkristal akibat pembekuan magma.

 Sublimasi
Sublimasi merupakan proses pengendapan langsung mineral dari uap atau gas.
Pembentukan mineral merupakan proses kecil bila dibandingkan dengan proses-proses lainnya.
Prinsip proses tersebut terletak pada penurunan suhu maupun tekanan. Endapan mineral
biasanya terbentuk akibat dua atau lebih gas yang bereaksi. Cebakan emas sublimasi terbentuk
karena terbawa oleh uap atau gas yang bereaksi.

 Metasomatisme Kontak
Proses intrusi magma menyisakan larutan dan gas bersuhu tinggi dan apabila
bersentuhan dengan dinding batuan bercelah dapat mengakibatkan reaksi yang menghasilkan
mineral-mineral baru. Pembentukan bijih emas pada proses ini diakibatkan oleh magma kaya
bijih bersentuhan dengan batuan samping yang reaktif (metasomatisme kontak), sehingga
terbentuk emas yang biasanya mempunyai tekstur kasar.
 Proses Hidrothermal
Hasil akhir proses pembekuan magma yang mengintrusi adalah cairan sisa magma yang
mengandung konsentrasi logam-logam termasuk emas. Cairan ini disebut larutan hidrotermal
yang membawa logam-logam ke tempat pengendapan baru. Endapan hidrotermal pada
umumnya berkaitan dengan alterasi atau proses ubahan. Dari alterasi inilah dihasilkan
perubahan susunan baik mineral maupun kimia batuan akibat pengaruh cairan hidrotermal.
Perubahan yang terjadi dapat berupa rekristalisasi, pembentukan mineral baru, penyusunan
kembali komponen kimia, atau dapat menghasilkan perubahan sifat fisik seperti permeabilitas
dan porositas batuan.
Mineral pembawa emas biasanya berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue minerals).
Mineral ikutan tersebut umumnya kuarsa, karbonat, turmalin, dan sejumlah kecil mineral non
logam. Mineral pembawa emas juga berasosiasi dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi.
Mineral pembawa emas terdiri dari emaas nativ, elektrum, emas telurida, sejumlah paduan dan
senyawa emas dengan unsur-unsur belerang, antimon, dan selenium.
Potensi endapan emas terdapat di hampir setiap daerah di Indonesia, seperti di Pulau
Sumatera, Kepulauan Riau, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua.

4. Nikel Laterit
Endapan nikel laterit terbentuk dari hasil proses pelapukan yang sangat intensif di
daerah tropis pada batuan yang mengandung nikel seperti, dunit (olivin), peridotit (olivin +
piroksin), dan serpentit. Proses pelapukan pada batuan asal tersebut (laterisasi) menyebabkan
nikel berubah menjadi larutan dan diserap oleh mineral-mineral oksida besi yang membentuk
garnierite pada lapisan saprolit (Golightly, 1981). Selain nikel, koblat juga akan terkonsentrasi
pada lapisan ini pada jumlah terbatas. Adapun grade dari nikel yang dihasilkan berkisar 1,5-
3% Ni.
Mineral primer olivin dan piroksin merupakan penyusun utama dari peridotit dan dunit
yang merupakan sumber dari Ni. Jenis batuan ini merupakan bagian dari kelompok batuan
penyusun kerak samudra yang dikenal dengan istilah batuan ophiolite series (seperti pada New
Caledona dan East Sulawesi Ophiolite di Soroako) atau sebagai layered mafic intrusion seperti
pada Niquelandia, Brasil.
Proses pelapukan dan laterit yang menghasilkan serpentin dan peridotit lapuk. Adanya
proses kimia dan fisika dari udara, air, serta pergantian panas dan dingin yang kontinu, akan
menyebabkan disintegrasi dan dekomposisi pada batuan induk. Batuan asal yang mengandung
unsur–unsur Ca, Mg, Si, Cr, Mn, Ni, dan Co akan mengalami dekomposisi.Air tanah yang
mengandung CO2 dari udara meresap ke bawah sampai ke permukaan air tanah sambil melindi
mineral primer yang tidak stabil seperti olivine, serpentin dan piroksin. Air tanah meresap
secara perlahan dari atas ke bawah sampai ke batas antara zone limonit dan zone saprolit,
kemudian mengalir secara leteral dan selanjutnya lebih banyak didominasi oleh transportasi
larutan secara horizontal (Valeton, 1967). Proses ini menghasilkan Ca dan Mg yang larut
disusul dengan Si yang cenderung membentuk koloid dari partikel–partikel silika yang sangat
halus sehingga memungkinkan terbentuknya mineral baru melalui pengendapan kembali
unsur–unsur tersebut. Semua hasil pelarutan ini terbawa turun ke bagian bawah mengisi celah–
celah dan pori–pori batuan. Ca dan Mg yang terlarut sebagai bikarbonat akan terbawa ke bawah
sampai batas pelapukan dan diendapkan sebagai Dolomit dan Magnesit yang mengisi celah–
celah atau rekahan–rekahan pada bentuk induk.

5. Batubara
Batubara adalah sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan
yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan
kimia yang berlangsung selama jutaan tahun hingga mengakibatkan pengkayaan kandungan C
(Wolf, 1984 dalam Anggayana 2002).
Cook (1999) menerangkan bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan yang
terakumulasi menjadi gambut yang kemudian tertimbun oleh sedimen, setelah pengendapan
terjadi peningkatan temperatur dan tekanan yang nantinya mengontrol kualitas batubara.
Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu tahap
diagenesa gambut (peatilification) dan tahap pembatubaraan (coalification). Tahap diagenesa
gambut disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan kimia dan mikroba,
sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap geokimia atau tahap fisika-kimia
yang melibatkan perubahan kimia dan fisika serta batubara dari lignit sampai antracit (Cook,
1982)
Ditinjau dari cara terbentuknya, batubara dapat dibedakan menjadi batubara ditempat
(insitu) dan batubara yang bersifat apungan (drift). Batubara ditempat terbentuk di tempat
tumbuhan itu terbentuk, mengalami proses dekomposisi dan tertimbun dalam waktu yang
cepat, batubara ini dicirikan dengan adanya bekas –bekas akar pada seat earth serta memiliki
kandungan pengotor yang rendah, sedangkan batubara apingan terbentuk dari timbunan
material tanaman yang telah mengalami perpindahan selanjutnya terdekomposisi dan
tertimbun, pada batubara ini tidak dijumpai bekas-bekas akar pada seat earth dan memiliki
kandungan pengotor yang tinggi.
Diessel (1992, dalam Mendra, 2008) menyatakan enam parameter yang mengendalikan
pembentukan endapan batubara, yaitu : adanya sumber vegetasi, posisi muka air tanah,
penurunan yang terjadi dengan pengendapan, penurununan yang terjadi setelah pengendapan,
kendali lingkungan geoteknik endapan batubara dan lingkungan pengendapan terbentuknya
batubara.
Persebaran endapan batubara di Indonesia, meliputi : Nanggroe Aceh Darusalam,
Sumatera, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa
Tengah, Jawa Timur, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Papua.

6. Tembaga
Tembaga (Cu) mempunyai sistim kristal kubik, secara fisik berwarna kuning dan
apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop bijih akan berwarna pink kecoklatan sampai
keabuan.
Unsur tembaga terdapat pada hampir 250 mineral, tetapi hanya sedikit saja yang
komersial. Pada endapan sulfida primer, kalkopirit (CuFeS2) adalah yang terbesar, diikuti oleh
kalkosit (Cu2S), bornit (Cu5FeS4), kovelit (CuS), dan enargit (Cu3AsS4). Mineral tembaga
utama dalam bentuk deposit oksida adalah krisokola (CuSiO3.2HO), malasit (Cu2(OH)2CO3),
dan azurite (Cu3(OH)2(CO3)2).
Deposit tembaga dapat diklasifikasikan dalam lima tipe, yaitu: deposit porfiri, urat, dan
replacement, deposit stratabound dalam batuan sedimen, deposit masif pada batuan volkanik,
deposit tembaga nikel dalam intrusi/mafik, serta deposit nativ. Umumnya bijih tembaga di
Indonesia terbentuk secara magmatik. Pembentukan endapan magmatik dapat berupa proses
hidrotermal atau metasomatisme.
Tembaga secara garis besar genesanya dapat dibagi 2 (dua) kelompok, yaitu genesa
primer dan genesa sekunder.

 Genesa Primer
Logam tembaga, proses genesanya berada dalam lingkungan magmatik, yaitu suatu
proses yang berhubungan langsung dengan intrusi magma. Bila magma mengkristal maka
terbentuklah batuan beku atau produk-produk lain. Produk lain itu dapat berupa mineral-
mineral yang merupakan hasil suatu konsentrasi dari sejumlah elemen-elemen minor yang
terdapat dalam cairan sisa.
Pada keadaan tertentu magma dapat naik ke permukaan bumi melalui rekahan-rekahan
(bagian lemah dari batuan) membentuk terowongan (intrusi). Ketika mendekati permukaan
bumii, tekanan magma berkurang yang menyebabkan bahan volatile terlepas dan temperatur
yang turun menyebabkan bahan non volatile akan terinjeksi ke permukaan lemah dari batuan
samping (country rock) sehingga akan terbentuk pegmatite dan hidrotermal.
Endapan pegmatite sering dijumpai berhubungan dengan batuan plutonik tapi
umumnya granit yang kaya akan unsur alkali, aluminium, kuarsa dan beberapa muskovit dan
biotit.
Endapan hidrotermal merupakan endapan yang terbentuk dari proses pembentukan
endapan pegmatite lebih lanjut, dimana larutan bertambah dingin dan encer. Cirri khas endapan
hidrotermal adalah urat yang mengandung sulfida yang terbentuk karena adanya pengisian
rekahan (fracture) atau celah pada batuan semula rendah, tersebar relatif merata dengan jumlah
cadangan yang besar. Endapan bahan galian ini erat hubungannya dengan intrusi batuan
Complex Subvolcanic Calcaline yang bertekstur porfitik. Pada umumnya berkomposisi
granodioritik, sebagian terdeferensiasi ke batuan granitik dan monzonit.
Bijih tersebar dalam bentuk urat-urat sangat halus yang membentuk meshed network
sehingga derajat mineralisasinya merupakan fungsi dari derajat retakan yang terdapat pada
batuan induknya (hosted rock). Mineralisasi bijih sulfidanya menunjukkan perkembangan yang
sesuai dengan pola ubahan hidrotermal.
Zona pengayaan pada endapan tembaga porfiri:
a. Zona pelindian.
b. Zona oksidasi.
c. Zona pengayaan sekunder.
d. Zona primer.
Reaksi yang terjadi pada proses pengayaan tersebut adalah :
5FeS2 + 14Cu2+ + 14SO42- + 12H2O 7Cu2S + 5Fe2+ + 2H+ + 17SO42-
Sifat susunan mineral bijih endapan tembaga porfiri adalah:
a. Mineral utama terdiri : pirit, kalkopirit dan bornit.
b. Mineral ikutan terdiri : magnetit, hematite, ilmenit, rutil, enrgit, kubanit, kasiterit, kuebnit
dan emas.
c. Mineral sekunder terdiri : hematite, kovelit, kalkosit, digenit dan tembaga natif.
Akibat dari pembentukannya yang bersal dari intrusi hidrotermal maka mineralisasi
bijih tembaga porfiri berasosiasi dengan batuan metamorf kontak seperti kuarsit, marmer dan
skarn.
 Genesa Sekunder
Dalam pembahasan mineral yang mengalami proses sekunder terutama akan ditinjau
proses ubahan (alteration) yang terjadi pada mineral-mineral urat (vein). Mineral sulfida yang
terdapat di alam mudah sekali mengalami perubahan. Mineral yang mengalami oksidasi dan
berubah menjadi mineral sulfida kebanyakan mempunyai sifat larut dalam air.
Akhirnya didapatkan suatu massa yang berongga terdiri dari kuarsa berkarat yang
disebut Gossan (penudung besi). Sedangkan material logam yang terlarut akan mengendap
kembali pada kedalaman yang lebih besar dan menimbulkan zona pengayaan sekunder.
Pada zona diantara permukaan tanah dan muka air tanah berlangsung sirkulasi udara dan
air yang aktif, akibatnya sulfida-sulfida akan teroksidasi menjadi sulfat-sulfat dan logam-
logam dibawa serta dalam bentuk larutan, kecuali unsur besi. Larutan mengandung logam tidak
berpindah jauh sebelum proses pengendapan berlangsung. Karbon dioksit akan mengendapkan
unsur Cu sebagai malakit dan azurit. Disamping itu akan terbentuk mineral lain seperti kuprit,
gunative, hemimorfit dan angelesit. Sehingga terkonsentrasi kandungan logam dan kandungan
kaya bijih.
Apabila larutan mengandung logam terus bergerak ke bawah sampai zona air tanah maka
akan terjadi suatu proses perubahan dari proses oksidasi menjadi proses reduksi, karena bahan
air tanah pada umumnya kekurangan oksigen. Dengan demikian terbentuklah suatu zona
pengayaan sekunder yang dikontrol oleh afinitas bermacam logam sulfida.
Logam tembaga mempunyai afinitas yang kuat terhadap belerang, dimana larutan
mengandung tembaga (Cu) akan membentuk seperti pirit dan kalkopirit yang kemudian
menghasilkan sulfida-sulfida sekunder yang sangat kaya dengan kandungan mineral kovelit
dan kalkosit. Dengan cara seperti ini terbentuk zona pengayaan sekunder yang mengandung
konsentrasi tembaga berkadar tinggi bila dibanding bijih primer.
Kelompok tiga besar cebakan bijih tembaga dunia dari jenis porfiri dengan kandungan
emas tinggi, yaitu Bingham di Amerika Serikat, OK-Tedi di Papua New-Guinea, dan Grasberg
di Indonesia. Emas Grasberg sebagai unsure logam ikutan dari jenis mineralisasi yang sama
merupakan cadangan terbesar di dunia. Cebakan tembaga tipe porfiri di Indonesia dapat
dijumpai di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Tetapi hanya cebakan porfiri Grasberg dan Batu Hijau yang dapat diusahakan secara ekonomis.
Beberapa cebakan berkadar rendah di antaranya belum layak untuk diusahakan apabila
dikaitkan dengan kondisi harga tembaga pada saat ini. Sementara setelah ditetapkannya batas
kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone; maka cebakan tembaga porfiri di Cabang
Kiri, Cabang Kanan dan Sungai Mak di Bone Bolango, Gorontalo tidak dapat diusahakan
karena menjadi bagian dari kawasan taman nasional tersebut.

Anda mungkin juga menyukai