Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno ethos yang berarti
kebiasaan atau tingkah laku manusia. Dalam bahasa inggris ethical berarti
ahlak ,atau tata susila,nilai moral, sedangkan ethical (inggris) bararti
etis,pantas layak,beradab,susila. (Echols,dan hassan.,2008;Castro,et
al,2002). Dalam bentuk jamak ta etha mempunyai arti adat kebiasaan.
Jadi etika adalah suatu teori mengenai perbuatan manusia
ditimbang atau dinilai baik buruknya itulah sebabnya sering kali orang
yang bertingkah laku tidak sopan atau tidak baik dikatakan tidak etis.
Etika adalah suatu ilmu atau teori yang mempelajari tentang
tingkah laku manusia dinilai dari segi baik buruknya.
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud,2009) etika
mengandung arti:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk tentang hak dan kewajiban
moral.
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Bertens merumuskan arti kata ettika sebagai berikut:
1. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya,arti ini bisa dirumuskan sebagai sistem nilai. Sistem nilai
bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
2. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral.yang dimaksud disini adalah
kode etik.
3. Etika mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik dan apa buruk.
Faktor-faktor yang melandasi etika adalah:
a. Nilai-nilai atau value.

1
b. Norma
c. Sosial budaya,dibangun oleh kontruksi sosial dan dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d. Religius:
1) Agama mempunyai hubungan erat dengan moral
2) Agama merupakan motivasi terkuat perilaku moral atau etik
3) Agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma etis yang paling
penting
4) Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangaan bagi
perilaku para anggotanya.
e. Kebijakan atau policy maker,siapa stake holders nya dan bagaimana
kebijakan yang dibuat sangat berpengaruh atau mewarnai etika maupun
kode etik.
Etika juga diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia yang berkaitan dengan moralitas. Etika
merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral.
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno ethos yang berarti
kebiasaan atau tingkah laku manusia. Dalam bahasa inggris ethical berarti
ahlak ,atau tata susila,nilai moral, sedangkan ethical (inggris) bararti
etis,pantas layak,beradab,susila. Dalam bentuk jamak ta etha mempunyai
arti adat kebiasaan.
Etika merupakan kebiasaan yang benar dalam pergaulan. Kunci
utama penerapan etika adalah memperlihatkan sikap penuh sopan santun,
rasa hormat terhadap keberadaan orang lain dan memenuhi tata krama
yang berlaku pada lingkungan tempat kita berada.

Sebagai makhluk sosial, tidak dapat dipungkiri manusia tidak bisa


terlepas dari manusia yang lain. Artinya ia adalah makhluk membutuhkan
orang lain dalam hidupnya. Disinilah, manusia tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan bertetangga dan bermasyarakat.

2
Dalam melakukan hubungan sosial di masyarakat diperlukan etika
sebagai pedoman hidup dan kebiasaan yang baik untuk dianut dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Fakta tersebut,
menguatkan anggapan bahwa masyarakat Indonesia dikenal sebagai
masyarakat yang berbudaya dan memiliki etika luhur dalam kehidupan
bersosial dan berbudaya. Maka dari itu, pemahaman akan etika dalam
kehidupan dan bermasyarakat sangat penting untuk dalam
mengiplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana etika saat berbicara ?
2. Bagaimana etika saat berkenalan ?
3. Bagaimana etika saat menelpon ?
4. Bagaimana etika saat bertamu ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui etika saat berbicara.
2. Untuk mengetahui etika saat berkenalan
3. Untuk mengetahui etika saat menelpon.
4. Untuk mengetahui etika saat bertamu.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika Berbicara

Berikut merupakan etika berbicara yang baik :

1. Berbicara Harus Menatap Lawan Bicara

Yang harus anda perhatikan ketika berbicara adalah konsentrasikan


diri anda sepenuhnya kepada lawan bicara. jangan melihat ke arah lain
sehingga membuat lawan bicara tersinggung. Menatap lawan bicara
sungguh-sungguh (bukan mendelik/melirik) termasuk etika berbicara yang
baik. Obyek anda adalah lawan bicara bukan yang lain.

Jangan tinggalkan etika ketika anda sedang berkomunikasi dengan


orang lain. Kita sendiri juga pasti tersinggung jika ada orang lain
mengajak bicara tiba-tiba memutar hidungnya ke tempat lain. Mau
menanggapi bicaranya saja sebenarnya sudah harus disyukuri, jangan
malah berpindah hati.

Bicara itu bukan hanya dengan mulut, tetapi juga dengan hati dan
seluruh tubuh kita kecuali kalau kita berbicara melalui telepon. Ketika
berbicara usahakan seluruh gerak tubuh kita mengarah ke lawan bicara
sehingga kita tahu bagaimana reaksi lawan bicara ketika membalas apa
yang kita ucapkan. Kalau pandangan kita beralih ke tempat lain, kita tahu
apakah lawan bicara tulus dengan ucapannya atau tidak. Bisa jadi lawan
bicara bilang setuju tetapi mimik wajahnya dan kita tahu karena
pandangan kita tidak tertuju kepadanya.

Pada saat berbicara semestinya kita seudah mempersiapkan mental


kita sepenuhnya. Karena yang kita hadapi adalah manusia yang
mempunyai perasaan, bisa senang dan susah, bisa tersinggung dan marah-

4
marah. Oleh sebab itu, baik itu mimik maupun mata kita harus
menampakan wajah yang bersahabat dan sungguh-sungguh.

2. Suara Harus Terdengar Jelas


Disamping kita harus menatap lawan bicara, yang tak kalah
pentingnya adalah menata suara kita agar lawan bicara dapat menangkap
dengan jelas apa yang sedang kita bicarakan. Tidak boleh terlalu terburu-
buru dan jangan terlalu pelan. Usahakan suara yang keluar bisa terdengar
jelas agar lawan bicara dapat terdengar apa yang kita ucapkan.

Karena kondisi tertentu seringkali kita tidak dapat mengontrol


suara kita, sehingga menjadi terlalu cepat. Lawan bicara merasa perlu
menegaskan kembali dengan bertanya
balik. Atau karena tidak ingin didengar orang lain, kita berusaha
merendahkan intonasi suara sehingga di telinga lawan bicara terdengar
seperti desis ular. Kedua-duanya bukan cara yang efektif dalam berbicara.

Berbicara dengan pelan tapi jelas terdengar. Tidak perlu terlalu


keras tidak perlu terlalu lemah. Yang perlu kita perhatikan pula adalah
tingkat emosional kita. Bicaralah ketika emosi kita sedang tidak
konsentrasi. misalnya kalau kita sedang marah atau sedih, usahakan agar
kemarahan atau kesedihan tersebut tidak terlihat oleh lawan bicara.

Percuma saja kita berbicara terburu-buru sampai nafas kita


tersengal-sengal, lawan bicara susah mengerti. Atau terlalu lembut seperti
orang yang sedang dirundung derita berkepanjangan, sehingga hanya
terdengar seperti rintihan yang menyayat hati. Oleh karena itu hindarilah
berbicara terburu-buru atau terlalu pelan. Sebab dalam kondisi berbicara
seperti itu, sulit untuk meninta respon yang obyektif dari lawan bicara.

Di samping tidak efektif, pembicaraan yang kurang terdengar jelas


di telinga lawan bicara kadang-kadang menimbulkan kejengkelan bagi
lawan bicara. Maunya ingin cepat-cepat selesai tetapi malah menimbulkan

5
persoalan baru yang tidak selesai-selesai. Tentunya ini akan merugikan
diri kita sendiri.

3. Gunakanlah Tata Bahasa yang Baik dan Benar


Bahasa dapat menunjukan kualitas kepribadian dan latar belakang
seseorang. Bahasa pegawai kantor, jelas berbeda dengan orang berjualan
di pasar. Salah satu unsur pembedanya terdapat dalam pemakaian tata
bahasa yang digunakan. Bahasa pegawai kantor jelas lebih punya etika
dari pada orang pasar. Bahasa anak gaul berbeda dengan bahasa ningrat
keraton.

Sebelum berbicara sebaiknya kata-kata diatur terlebih dahulu.


Jangan sampai di tengah kalimat tiba-tiba putus karena kita tidak tahu apa
yang akan kita bicarakan. Dan tentunya tidak boleh menggunakan kata-
kata yang kasar, apalagi yang meninggung hati lawan bicara.

Kita harus mengetahui mana subyek, mana predikat, obyek dan


keterangan dalam sebuah kalimat. Kita harus tahu pula bagaimana
menempatkan perangkat kalimat pada tempat yang benar. jangan sampai
kita bingung dengan kalimat yang kita ucapkan sendiri. Umpamanya
dengan membolak-balik kedudukan subyek, predikat dan obyek sehingga
menjadi kalimat yang tidak beraturan.

4. Jangan menggunakan Nada Suara yang Tinggi


Citra pegawai kantor adalah citra kesopanan artinya orang lain
melihat pegawai kantor sebagai orang yang tahu etika, punya tata-krama
dan santun dalam segala tindak-tanduknya. Sikap dan perilakunya
mencerminkan orang berpendidikan.

Kesan tersebut akan semakin membekas ketika kita sedang


berbicara. Dari pembicaraan itu orang lain akan dapat menilai, apakah kita
seorang pegawai kantor atau bukan. Gaya bicara, intonasi yang dipakai,
dan tata bahasa, jelas berpengaruh besar di telinga pendengar.

6
Sebagai pegawai kantor, sebaiknya kita berbicara dengan kalimat
yang jelas dan intonasi yang sedang-sedang saja. Tidak terlalu tinggi, juga
tidak terlalu rendah. Tunjukan kesan bahwa kita bisa mengontrol intonasi
dengan baik.

Pakailah nada suara yang datar-datar saja, sehingga setiap orang


dapat mendengarnya dengan baik. Kalau terlalu tinggi dikhawatirkan tidak
semua pendengarnya dapat mendengar dengan baik. Apalagi jika kita
ditunjuk sebagai pembicara, nada suara harus benar-benar dijaga. Sebab,
pendengar dalam sebuah forum baik ceramah maupun diskusi cenderung
beragam.

Jika nada suara terlalu tinggi kita akan cepat letih. Orang tidak
mungkin sanggup berteriak selama satu jam terus-menerus. Apa yang kita
bicarakan sebaiknya dapat kita nikmati jangan malah menjadi beban.

Disamping itu, kurang beretika rasanya kalau kita berbicara dengan


nada suara yang tinggi. Kecuali jika kita sedang membakar semangat para
anak-anak muda untuk terjun ke medan perang. Dalam situasi yang biasa,
aman dan tidak darurat, Sebaiknya nada suara kita tidak terlalu tinggi.

5. Pembicaraan Mudah Dimengerti


Tujuan utama berbicara adalah untuk membuat lawan bicara
mengerti apa yang sedang kita bicarakan. Oleh sebab itu, sebaiknya kita
cukup toleran dengan para pendengar kita. Kita harus pandai-pandai
memilih lawan bicara, sebab hal ini berkaitan dengan bahasa yang kita
pakai. Jangan karena ingin dianggap sebagai pegawai kantor ke mana-
mana kita selalu menggunakan bahasa tingkat tinggi.

Kita harus pandai menyesuaikan diri dengan kondisi dan latar


belakang lawan bicara yang kita hadapi. Jangan terjebak oleh keinginan
untuk menjaga image atau gengsi sehingga mengorbankan lawan bicara.

7
Pakailah bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Tidak
penting anggapan orang lain terhadap diri kita, yang penting adalah orang
lain mengerti terhadap apa yang sedang kita bicarakan. Biarkan orang lain
menganggap diri kita bodoh, dan seolah-olah pitar mereka, itu hak mereka.

Sering kita mendengar ada orang berbicara dengan menggunakan


bahasa yang tinggi. Padahal pendengarnya hanya para pedagang yang
tidak sempat mengikuti perkembangan jaman. Memang ia berhasil
membangun kesan di tengah audiennya bahwa ia pembicara yang pandai,
Tetapi ketika ditanyakan kepada mereka apakah mereka mengerti, mereka
malah bingung.

Kita semua pasti punya pengalaman yang sama ketika mengikuti


khotbah Jum’at. Ada khatib yang selama khotbahnya menggunakan
bahasa Arab di tengah jamaah yang seluruhnya orang Indonesia. yakinkah
anda bahwa jamaah mengerti isi khotbah tersebut?

Tipsnya sebelum mengajak bicara, ketahuilah dulu siapa lawan


bicaranya. Kalau memang lawan bicara lebih mudah mengerti dengan
bahasa daerah, maka kita harus menyesuaikan diri.

Dari bahasa di atas semakin mengertilah kita bahwa ternyata


berbicara itu tidak semudah yang kita bayangkan. Tetapi penulis juga tidak
sedang mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa berbicara itu sukar.
Singkatnya, sebagai pegawai kantor kita harus tetap menjaga dengan baik
etika kita dalam berbicara.

B. Etika Bertamu

Berikut ini adalah 7 Etika Bertamu dalam islam :

1. Memilih Waktu Berkunjung

8
Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu memilih waktu yang
tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa
menimbulkan perasaan yang kurang enak bagi tuan rumah bahkan
terkadang mengganggunya. Dikatakan oleh sahabat Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu,

“Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada


waktu malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi
atau sore.” (HR. al-Bukhari no. 1706 dan Muslim no. 1928)

2. Meminta Izin kepada Tuan Rumah

Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah subhanahu wa


ta’ala di dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki


rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam
kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu
selalu ingat.” (An-Nur: 27)

Di antara hikmah yang terkandung di dalam permintaan izin adalah


untuk menjaga pandangan mata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga


pandangan mata.” (HR. al-Bukhari no.5887 dan Muslim no. 2156 dari
sahabat Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu)

Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di
dalamnya sebagaimana pakaian sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika
seorang tamu meminta izin terlebih dahulu kepada penghuni rumah, maka
ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di
dalam rumahnya. Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak
minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan
menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh

9
sebagai pencuri, perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah
orang lain secara diam-diam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itu,
Allah subhanahu wa ta’ala melarang kaum mukminin untuk memasuki
rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Lihat Taisirul Karimir
Rahman)

Adapun tata cara meminta izin adalah sebagai berikut:

a. Mengucapkan salam

Seseorang yang bertamu diperintahkan untuk mengucapkan salam


terlebih dahulu, sebagaimana ayat 27 dari surah An-Nur di atas. Pernah
salah seorang sahabat dari Bani ‘Amir meminta izin kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang berada di rumahnya.
Orang tersebut mengatakan, “Bolehkah saya masuk?” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan pembantunya dengan
sabdanya, “Keluarlah, ajari orang itu tata cara meminta izin, katakan
kepadanya, “Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya masuk?” Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut didengar oleh orang tadi,
maka dia mengatakan, “Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya masuk?”
Akhirnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempersilakannya untuk
masuk ke rumah beliau. (HR. Abu Dawud no. 5177)

Perkataan “bolehkah saya masuk” atau yang semisalnya saja belum


cukup, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
mengucapkan salam terlebih dulu. Bahkan mengucapkan salam ketika
bertamu juga merupakan adab yang pernah dicontohkan oleh para
malaikat (yang menjelma sebagai tamu) yang datang kepada Nabi Ibrahim
‘alaihis salaam sebagaimana yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala di dalam firman-Nya :

“Ketika mereka (para malaikat) masuk ke tempatnya (Ibrahim) lalu


mengucapkan salam.” (Adz–Dzariyat: 25)

10
b. Meminta izin sebanyak tiga kali

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Meminta izin


itu tiga kali, jika diizinkan maka masuklah, jika tidak, maka pulanglah.”
(HR. al-Bukhari no. 5891 dan Muslim no. 2153 dari sahabat Abu Sa’id al-
Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita bahwa batasan


akhir meminta izin itu tiga kali. Jika penghuni rumah mempersilahkan
masuk maka masuklah, jika tidak ada jawaban atau keberatan untuk
menemui pada waktu itu maka pulanglah. Yang demikian itu bukan suatu
aib bagi penghuni rumah tersebut dan bukan celaan bagi orang yang
hendak bertamu, jika alasan penolakan itu dibenarkan oleh syariat. Bahkan
merupakan penerapan dari firman Allah subhanahu wa ta’ala :

“Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka


janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan
kepadamu, “Kembalilah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih
bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nur:
28)

c. Jangan mengintip ke dalam rumah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barang


siapa mengintip ke dalam rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka
sungguh telah halal bagi mereka untuk mencungkil matanya.” (HR.
Muslim no. 2158 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dalam hadits ini, terdapat ancaman keras dari Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seseorang yang bertamu dengan
mengintip atau melongok ke dalam rumah yang ingin dikunjungi. Maka
bagi tuan rumah berhak untuk mengamalkan hadits ini ketika ada
seseorang yang berbuat demikian tanpa harus memberi peringatan terlebih
dahulu pada seseorang tersebut dan tidak ada baginya keharusan untuk

11
membayar diyat (harta tebusan) ataupun qishash (hukuman balas) terhadap
apa yang dia lakukan terhadap orang tersebut.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang


diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lainnya juga dari sahabat
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

“Barang siapa melongok ke dalam rumah suatu kaum tanpa izin


mereka, maka mereka boleh mencungkil matanya, tanpa harus membayar
diyat dan tanpa qishash.” (Lihat Syarh Shahih Muslim dan Fathul Bari)

3. Mengenalkan diri

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan


tentang kisah Isra` Mi’raj, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kemudian Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk dibukakan
pintu langit. Jibril ditanya, “Siapa anda?” Jibril menjawab, “Jibril.”
Kemudian ditanya lagi, “Siapa yang bersama anda?” Jibril menjawab,
“Muhammad.” Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga, keempat, dan
seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya, “Siapa anda?” Jibril
menjawab, “Jibril.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari kisah ini, al-Imam an Nawawi rahimahullah dalam kitabnya


yang terkenal, Riyadhush Shalihin membuat bab khusus, “Termasuk
sunnah jika seorang yang minta izin (bertamu) ditanya namanya, “Siapa
anda?” maka harus dijawab dengan nama atau kun yah (panggilan dengan
abu fulan/ ummu fulan) yang sudah dikenal, dan makruh jika hanya
menjawab, “Saya” atau yang semisalnya.” Ummu Hani` radhiyallahu
‘anha, salah seorang sahabiyah mengatakan, “Aku mendatangi Nabi ketika
beliau sedang mandi dan Fathimah menutupi beliau. Beliau bersabda,
“Siapa ini?” Aku katakan, “Saya Ummu Hani`.” (Muttafaqun ‘alaihi)

12
Nabi pernah marah kepada salah seorang sahabatnya ketika kurang
memperhatikan adab dan tata cara yang telah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bimbingkan ini. Sebagaimana dikisahkan oleh Jabir radhiyallahu
‘anhu,

“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian


aku mengetuk pintunya, beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku menjawab,
“Saya.” Maka beliau pun bersabda, “Saya, saya.” Seolah-olah beliau tidak
menyukainya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

4. Menyebutkan Keperluannya

Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau


keperluan dia kepada tuan rumah supaya tuan rumah lebih perhatian dan
menyiapkan diri ke arah tujuan kunjungan tersebut, serta dapat
mempertimbangkan dengan waktu dan keperluannya sendiri. Hal ini
sebagaimana kisah para malaikat yang bertamu kepada Nabi Ibrahim
‘alaihis salaam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“Ibrahim bertanya, “Apakah urusanmu wahai para utusan?”


Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang
berdosa.” (Adz-Dzariyat: 32)

5. Memintakan izin untuk tamu yang tidak diundang.

Jika bertamu dalam rangka memenuhi undangan, namun ada orang


lain yang tidak diundang ikut bersamanya, maka hendaknya mengabarkan
kepada tuan rumah dan memintakan izin untuknya. Hal ini pernah dialami
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana kisah sahabat
Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

“Di kalangan kaum Anshar ada seseorang yang dikenal dengan


panggilan Abu Syu’aib. Dia mempunyai seorang budak penjual daging.
Abu Syu’aib berkata kepadanya, “Buatlah makanan untukku, aku akan
mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama empat

13
orang lainnya. Maka dia pun mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersama empat orang lainnya. Ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam datang bersama 4 orang lainnya, ternyata ada seorang
lagi yang mengikuti mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Anda mengundang kami berlima, dan orang ini
telah mengikuti kami, jika Anda berkenan Anda dapat mengizinkannya
dan jika tidak, Anda dapat menolaknya.” Maka Abu Syu’aib berkata, “Ya,
saya mengizinkannya.” (HR. al-Bukhari no. 5118 dan Muslim no. 2036)

6. Tidak Memberatkan Tuan Rumah dan Segera Kembali ketika


Urusannya Selesai.

Bagi seorang tamu hendaknya berusaha tidak membuat repot atau


menyusahkan tuan rumah dan segera kembali ketika urusannya selesai.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

“…tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah


selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan…” (Al-
Ahzab: 53)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Jamuan tamu itu tiga hari dan perjamuannya (yang wajib) satu
hari satu malam. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat
saudaranya hingga menyebabkan saudaranya itu terjatuh dalam perbuatan
dosa. Para sahabat bertanya, “Bagaimana dia bisa menyebabkan
saudaranya terjatuh dalam perbuatan dosa?” Beliau menjawab, “Dia
tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki
sesuatu yang bisa disuguhkan kepadanya.” (HR. Muslim no. 48 dan Abu
Dawud no. 3748 dari sahabat Abu Syuraih al-Khuza’i radhiyallahu ‘anhu)

Disebutkan oleh para ulama bahwa perjamuan yang wajib


dilakukan tuan rumah kepada tamu hanya satu hari satu malam (24 jam).
Jamuan tiga hari berikutnya hukumnya mustahab (sunnah) dan lebih

14
utama. Adapun jika lebih dari itu maka sebagai sedekah. Maka dari itu,
bagi tamu yang menginap kalau sudah lewat dari tiga hari hendaknya
meminta izin kepada tuan rumah. Kalau tuan rumah mengizinkan atau
menahan dirinya maka si tamu tetap tinggal, dan jika sebaliknya maka
wajib bagi si tamu untuk pergi. Karena keberadaan si tamu yang lebih dari
tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam perbuatan
ghibah, atau berniat untuk menyakitinya atau berburuk sangka. (Lihat
Syarh Shahih Muslim)

7. Mendoakan Tuan Rumah

Hendaknya seorang tamu mendoakan tuan rumah atas jamuan yang


dihidangkan kepadanya. Di antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu:

‫ارك اللَّ ُه َّم‬


ِ َ‫ار َحم ُهم َو لَ ُهم َواغ ِفر َرزَ قتَ ُهم َما فِي لَ ُهم ب‬

“Ya Allah berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah
Engkau berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah
mereka.” (HR. Muslim no. 2042 dari sahabat Abdullah bin Busr
radhiyallahu ‘anhu)

C. Etika menelpon
Berikut beberapa etika saat menelpon :
1. Katakan “Halo!”dan apabila kita seorang Muslim hendaknya terlebih
dahulu mengatakan kalimat Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Mengatakan “Halo!” dan salam untuk kaum muslim adalah
sebuah kewajiban dan etika dalam mengawali pembicaraan dalam telepon.
Jangan patahkan etika yang satu ini.

15
2. Jangan menanyakan “Siapa ini?” pada penerima telepon
Anda yang menelepon, maka Anda pula yang harus mengatakan
siapa Anda dan dengan siapa Anda ingin berbicara. Jangan malah
melakukan hal sebaliknya.

3. Sebutkan nama orang yang anda telepon


Jika Anda mengenal suara si penerima telepon, maka Anda dapat
menyapanya dengan menyebutkan namanya. Hal ini membuat
pembicaraan menjadi lebih santai dan tidak kaku.

4. Jangan berbicara keras-keras


Berbicara di telepon tidak perlu dengan nada yang tinggi dan suara
yang keras. Berbicaralah dengan nada dan intonasi yang diperlukan dan
sopan.

5. Pikirkan apa yang akan anda katakan sebelum menelepon


Sebelum menelepon, pastikan Anda mengetahui tujuan Anda
menelepon. Jangan sampai Anda masih bingung apa yang ingin Anda
lakukan setelah menelepon.

6. Jangan memotong saat lawan bicara anda sedang bicara


Saat lawan bicara Anda sedang berbicara, dengarkan sampai ia
selesai dan jangan memotong pembicaraan. Hal ini
merupakan etika menelepon yang baik.

D. Etika berkenalan

1. Ucapkan salam.

2. Bersikap ramah.

3. Menyebutkan nama lengkap.

16
4. Jangan sekali-kali memberikan identitas yang tidak sebenarnya (nama,
alamat & jabatan palsu.

5. Berikan kartu nama (bila perlu).

6. Tidak berkenalan dengan gaya lebay.

7. Tidak berbicara dengan nada tinggi/angkuh/sombong.

8. Bersikap rendah hati.

9. Apabila berkenalan dengan lawan jenis tidak bersifat menggoda.

10. Tidak bersikap salah tingkah.

11. Jangan bersikap acuh tak acuh, cemburut, dan sedih hati saat berkenalan.

12. Menyimak dan mendengarkan dengan seksama.

13. Hindari menggunakan bahasa asing yang berlebihan.

14. Menggunakan tata bahasa yang baik dan benar.

15. Berbicara sesuai fakta dan tidak mengada-ngada.

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno ethos yang berarti
kebiasaan atau tingkah laku manusia. Dalam bahasa inggris ethical berarti
ahlak ,atau tata susila,nilai moral, sedangkan ethical (inggris) bararti
etis,pantas layak,beradab,susila. Dalam bentuk jamak ta etha mempunyai
arti adat kebiasaan.
Etika merupakan kebiasaan yang benar dalam pergaulan. Kunci
utama penerapan etika adalah memperlihatkan sikap penuh sopan santun,
rasa hormat terhadap keberadaan orang lain dan memenuhi tata krama
yang berlaku pada lingkungan tempat kita berada.

Sebagai makhluk sosial, tidak dapat dipungkiri manusia tidak bisa


terlepas dari manusia yang lain. Artinya ia adalah makhluk membutuhkan
orang lain dalam hidupnya. Disinilah, manusia tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan bertetangga dan bermasyarakat.

Dalam melakukan hubungan sosial di masyarakat diperlukan etika


sebagai pedoman hidup dan kebiasaan yang baik untuk dianut dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Fakta tersebut,
menguatkan anggapan bahwa masyarakat Indonesia dikenal sebagai
masyarakat yang berbudaya dan memiliki etika luhur dalam kehidupan
bersosial dan berbudaya. Maka dari itu, pemahaman akan etika dalam
kehidupan dan bermasyarakat sangat penting untuk dalam
mengiplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://visiuniversal.blogspot.co.id/2015/02/etika-berbicara-yang-baik-dan-
benar.html 2

www.academia.edu

https://www.dictio.id/bagaimana-etika-berbicara-yang -baik/107463

https://isfah7.wordpress.com/2015/09/7-etika-bertamu/

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2881006/ternyata-ini-etika-saat-
sedang-menelpon-seseorang

Suryani Soepardan. 2008. etika kebidanan dan hukum kesehatan. EGC.


Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai