Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

EFUSI PLEURA DAN ENSEFALITIS

Disusun oleh :

I Gusti Ngurah Agung Arya Wira Satrya (1261050237)

Stephanie Caroline (1361050171)

Pembimbing :

dr. Ratna Hutapea, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

PERIODE 22 JANUARI 2018 – 24 FEBRUARI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat yang
berjudul Efusi Pleura dan Ensefalitis ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan
klinik di departemen Anestesi Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepada dr. Ratna Hutapea, SpAn
selaku pembimbing Referat ini dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki
banyak keterbatasan. Oleh sebab itu, penulis menerima dengan senang hati segala
kritik dan saran yang membangun demi kepentingan kita bersama. Akhir kata semoga
referat ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca sekalian. Kiranya Tuhan
memberkati kita semua.

Jakarta, Februari 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan pada paru-paru pada umumnya merupakan kelainan yang


diakibatkan karena penyakit paru obstruktif dan penyakit paru restriktif selain dari
akibat infeksi. Penyakit paru obstruktif meliputi asma, emphysema, bronkhitis kronis,
fibro kistik, bronkhiektasis dan bronkhiolitis. Penyakit paru restriktif meliputi
beberapa penyakit kelainan instrinsik paru akut dan kronik dan kelainan ekstrinsik
paru yaitu pada pleura, dinding dada, diafragma, dan fungsi neuromuskuler (Morgan,
2013)

Penyakit paru restriktif ditandai dengan penurunan komplian paru-paru


sehingga terjadi penurunan dari kapasitas total paru-paru. (Morgan, 2013) (Gambar
1). Penyebab penyakit paru restriktif dapat dibedakan oleh karena, penyakit paru
restriktif instrinsik akut (edema pulmo), penyakit paru restriktif instrinsik kronik,
penyakit paru restriktif ekstrinsik kronis dan kelainan pada pleura dan mediastinum
(Stoelting, 2012) (Gambar 2).

Gambar 1. Perbandingan Fungsi paru normal dengan pernyakit paru Restriktif


(Stoelting, 2012)
Gambar 2. Penyebab Penyakit Paru Restriktif (Stoelting, 2012)

Efusi pleura merupakan salah satu kelainan paru restriktif yang disebabkan
oleh kelainan pada pleura dan mediastinum. Efusi pleura adalah akumulasi abnormal
cairan pada kavum pleura (Hanley, 2008, Wilke, 2009) Macam cairan pada efusi
pleura dapat berupa darah (hemothoraks), nanah/pus (empyema), lemak
(chylothoraks) dan cairan serosa (hydrothoraks) (Stoelting, 2012)

Kejadian Efusi pleura cukup banyak dijumpai. Di RSUD dr Soetomo


Surabaya menduduki tempat ketiga pada tahun 1984, dari 10 penyakit terbanyak yang
dirawat. Di Amerika kurang lebih 1,4 juta orang menderita efusi pleura setiap
tahunnya. Di Indonesia penyebab utama adalah karena tuberkulosis disusul oleh
keganasan. Distribusi seks untuk efusi pleura umumnya wanita lebih banyak daripada
pria, sebaliknya yang disebabkan olah TB paru, pria lebih banyak daripada wanita.
Umur terbanyak untuk efusi pleura karena TB adalah 21 – 30 tahun (Alsagaff, 1989).

Ensefalitis adalah infeksi pada jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, fungus dan riketsia.
Peradangan otak merupakan penyakit yang jarang. Angka kejadiannya yaitu ,5 per
100.000 individu. Penyakit ini dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anak-anak
sampai orang dewasa. Paling banyak menyerang anak – anak, orang tua dan pada
orang- orang dengan sistem imun yang lemah, seperti pada penderita HIV/AIDS,
kanker dan anak gizi buruk. Insiden ensefalitis di Inggris pertahunnya mencapai 4
orang per 100.000 penduduk. Di Indonesia sendiri, kasus ensefalitis pada manusia
telah banyak dilaporkan, tetapi pemyebab ensefalitis tersebut masih belum banyak
terungkap karena sulitnya diagnosis dan keterbatasan perangkat diagnostik yang
dapat mendiagnosis antigen dan antibody virus yang menyebabkan ensefalitis pada
manusia. Di Indonesia virus Japanese Echepalitis sudah banyak diisolasi baik dari
vektornya maupun babi dan binatang mamalia yang lain, seperti; sapi, ayam dan
kambing. Prevalensi dari kasus Japanesese encephalitis di Indonesia belum diketahui
dengan pasti. Enam puluh persen penyebab ensefalitis tidak diketahui, dari penyebab
yang diketahui tersebut kira – kira 67 % berhubungan dengan penyakit infeksi pada
anak.

Ensefalitis memiliki komplikasi yang sangat kompleks. Komplikasi jangka


panjang dari ensefalitis berupa gejala sisaneeurologi yang nampak pada 30 % anak
dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan selama
perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan
penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya gejala sisa
secara dini. Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis,
quadriparesis, hipertonia muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik,
gangguan belajar dan hidrosefalus obstruktif. Untuk orang yang menderita ensefalitis
yang berat yang telah mempengaruhi beberapa fungsi otak, komplikasi terberat
adalah kematian. Oleh sebab itu penulis menganggap perlu untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai gejala klinis, diagnosis, dan terapi dari ensefalitis, serta
kemungkinan pengaruhnya terhadap gangguan tumbuh kembang anak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Patofisiologi Pleura.

Pleura merupakan suatu membran serosa yang menyelubungi parenkhim paru-


paru, mediastinum, diafragma dan rongga dinding dada. Pleura terdiri dari pleura
visceralis dan pleura parietalis. Pleura visceralis menyelubungi parenkhim paru-paru
dan pleura parietalis menyelubungi rongga dinding dada. Diantara selaput pleura
tersebut berisi cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas dari gesekan antara paru-
paru dengan dinding dada selama bernapas. Selaput pleura dibentuk oleh sel-sel
meshotelial dan didalamnya terdapat pembuluh-pembuluh darah dan pembuluh-
pembuluh limfa. Pembuluh-pembuluh tersebut berperan sebagai produksi dan
absorbsi cairan pleura (Hanley, 2008. Light, 2007). Pada orang normal, cairan di
rongga pleura sebanyak 1 – 20 ml, atau berkisar antara 0,2- 0,3 mL/kg BB.3,6,7 Laju
produksi cairan pleura berkisar 0,01mL/kg/jam (Hanley, 2008).

Keseimbangan cairan pleura bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatis


pleura parietalis sebesar 9 cm H2O dan tekanan koloid pleura visceralis 10 cm H2O.6
(Gambar 2). Ketebalan rongga pleura berkisar antara 1 – 2 mm. Cairan pleura normal
terdiri dari protein yang rendah berkisar antara 1 g/dL dan kurang lebih mengandung
2000 sel/mm3 darah putih dan 700 sel/mm3 darah merah, dengan makrofag sekitar 75
% dan limfosit sekitar 10-25 % (Hanley, 2008. Light, 2007).

Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila :

1. Tekanan osmotik koloid menurun, misalnya pada hipoalbuminemia.


2. Bertambahnya permeabilitas kapiler (peradangan, neoplasma), tekanan
hidrostatik (gagal jantung) dan tekanan negatif intra pleura (atelektasis).
2.2 Etiologi.
Penyebab efusi pleura dapat digolongkan berdasarkan cairan efusinya yaitu
cairan transudat dan eksudat. Efusi transudatif biasanya disebabkan oleh ketidak
seimbangan gaya Starling pada membran pleura normal, memiliki cairan yang kurang
protein, bersifat bilateral, dan tidak disertai demam, nyeri pleuritik atau nyeri tekan
jika dipalpasi. Penyebab efusi transudatif yang paling sering adalah gagal jantung
kongestif. Penyebab lain meliputi sirosis dengan ascites, sindrom nefrotik, penyakit
perikardial atau dialisis peritoneal. ( Hanley, 2008. Wilke, 2009. Fishman et al, 2008)

Efusi eksudatif menunjukan secara tidak langsung penyakit pleura atau paru
yang berdekatan, yang ditandai dengan peningkatan protein, laktat dehidrogenase
(LDH), kolesterol, atau jumlah sel darah putih. Diagnosis banding efusi eksudatif
sangat luas, termasuk infeksi, keganasan, penyakit autoimun, perforasi esofagus dan
pankreatitis (Hartanto, 2008)

Gambar 4. Penyebab Efusi Pleura (Fishman et al, 2008)


2.3 Tanda dan gejala.

Efusi pleura disebabkan oleh pembentukan cairan berlebihan atau bersihan


cairan yang tidak adekuat. Gejala-gejala akan timbul jika cairan bersifat inflamatoris
atau jika mekanik paru terganggu. Oleh karena itu gejala efusi pleura yang paling
sering adalah nyeri dada pleuritik terutama pada akhir inspirasi bertambah pada
pergerakan napas sehingga penderita menahan napas, nyeri tumpul, rasa penuh dalam
dada atau dispneu, kadang juga disertai batuk non produktif (Hanley, 2008. Hartanto
2008)
Tanda yang dapat kita temukan pada pemeriksaan fisik efusi pleura yaitu
adanya penurunan bunyi napas paru-paru, pekak pada perkusi, penurunan vokal
fremitus atau taktil, dan jika terjadi inflamasi dapat ditemukan adanya friction rub.
Adanya atelektasis kompresif menyebabkan terdengar bunyi napas bronkus (Hanley,
2008. Hartanto 2008. Wilke, 2009

2.4 Diagnosis.

Diagnosis pasti dapat ditegakan dengan pemeriksaan penunjang rontgen


thoraks dan pemeriksaan penunjang yang lainnya. Efusi pleura dapat dideteksi
dengan foto thoraks bila ada cairan lebih dari 300 mL (Hartanto, 2008). Referensi lain
menyebutkan dengan 5 mL cairan efusi pleura masih dapat terdeteksi dengan foto
thoraks dengan posisi lateral dekubitus. Posisi lateral sekitar 50 – 75 mL cairan dapat
terlihat, sedangkan 175 – 200 mL terlihat pada posisi posteroanterior (PA) (Hanley,
2008. Stoelting, 2012.)

Pemeriksaan radologis lainnya dapat dilakukan dengan pemeriksaan


Ultrasonografi, CT scan dan MRI. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menganalisa cairan pleura (transudat atau eksudat), yang diambil dengan cara
melakukan thoracentesis. (Gambar 5)

Gambar 3

Gambar 5. Prosedur Thoracentesis (Fishman et al, 2009)


Evaluasi diagnostik efusi pleura harus meliputi pengukuran jumlah sel aspirat
pleura dengan hitung diferensial, pH, protein LDH, kolesterol dan glukosa.
Pemeriksaan tersebut biasanya membedakan transudat dan eksudat dan akan sering
menunjukan suatu diagnosis yang spesifik, misalnya glukosa yang sangat rendah
bersifat khas untuk empyema, keganasan, tuberkulosa, artritis rematoid, lupus
eritromatosus sistemik (SLE) dan perforasi esofagus. Jika secara klinis diindikasikan,
suatu diagnosis spesifik dapat diperoleh dari pewarnaan mikrobiologis dan kultur,
sitopatologi, amilase, trigliserida, dan pengukuran titer antibodi antinuklear (ANA).
Pasien dengan SLE memiliki ANA positif dalam cairan efusi pleura namun ANA
juga terdapat pada proporsi signifikan (15%) untuk efusi yang lain, hal tersebut
terkait dengan keganasan (Hartanto, 2008)

2.5 Tatalaksana Efusi Pleura

Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa
intubasi melalui selang iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila
empiemanya multiokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat
dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik. Pengobatan
secara sistemik hendaknya segera dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak
diiringi pengeluaran cairan yang adequate. Untuk mencegah terjadinya lagi efusi
pleura setelah aspirasi dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura
viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin, Bleomicin,
Corynecbaterium parvum dll.

2.6. Defenisi Ensefalitis

Ensefalitis adalah proses inflamasi akibat infeksi pada susunan saraf pusat
yang melibatkan parenkim otak yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan
neurofisiologis difus dan / atau fokal. Secara klinis ensefalitis dapat dijumpai muncul
bersamaan dengan meningitis, disebut meningoensefalitis, dengan tanda dan gejala
yang menunjukkan adanya inflamasi pada meninges seperti kaku kuduk, nyeri kepala,
atau fotofobia. Namun, dari sudut pandang epidemiologis dan patofisiologi,
ensefalitis berbeda dari meningitis. Dari sudut pandang terminologi, ensefalitis
berasal dari kata ensefalon + itis yang bermakna inflamasi pada parenkim otak.
Sedangkan meningitis berasal dari kata meninges + itis yang bermakna inflamasi
pada selaput pembungkus jaringan otak (meninges).

2.7 Etiologi

Ensefalitis biasanya timbul sebagai akibat proses inflamasi akut tapi dapat juga
berupa reaksi inflamasi pasca infeksi penyakit lain (postinfeksius
ensefalomyelitis), penyakit kronik degeneratif, atau akibat infeksi virus.
Mikroorganisme yang dapat menimbulkan ensefalitis antara lain :

1. Infeksi oleh virus.


a. Penyebaran dari manusia ke manusia

 Mump
 Morbilli
 Enterovirus
 Rubella
 Herpesvirus
- Herpes simplex hominis tipe 1, 2
- Varicella – zoster virus
- Cytomegalovirus
- EB virus
 Poxvirus
- Vaccinia
- Variola
b.Penyebaran melalui vector arthropoda (nyamuk)
Arbovirus :

 Eastern equine
 Western equine
 Venezuelan equin
 St. Louis
 California
 Japanese encephalitis
c. Ditularkan oleh mamalia berdarah panas
 Rabies : lewat air liur/ gigitan mamalia (anjing gila)
 Herpes virus simiae lewat air liur/gigitan kera
2. Infeksi oleh bukan virus.
a. Rickettia
b. Mycoplasma pneumoni
c. Bakteri : TBC
d. Spirochaeta : sifilis
e. Protozoa : Plasmodium, Tripanosoma
f. Fungi : Histoplasmosis, Cryptococcus, Aspergilosis, Mucormycosis,
Moniliasis, Coccidioidomycosis
3. Parainfeksi (pasca infeksi, allergi)
a. Diasosiasikan dengan penyakit-penyakit yang khas (mikroorganisme ini
bisa juga menimbulkan kerusakan jaringan otak secara langsung)
 Morbilli
 Rubella
 Influenza
 Varicella – Zoster
 Mump
b. Diasosiasikan dengan vaksin
 Rabies
 Pertussis
 Morbilli
 Influenza
 Vaccinia
 Yellow Fever
 Typhoid
4. Penyebab tidak diketahui.

Ensefalitis yang disebabkan oleh virus , dapat melalui 2 jalur yakni secara
hematogen atau secara neuronal ( saraf perifer atau saraf kranialis).4 Pada musim
panas atau musim semi di Amerika Serikat, jenis patogen yang paling sering adalah
arbovirus dan enterovirus.

Ensefalitis yang disebabkan oleh arbovirus disebut juga arthropode-borne


viral encephalitides. Kelompok virus ini menunjukkan gejala neurologis yang berat
dan hampir mirip, disebabkan oleh beberapa jenis arbovirus. Berdasarkan dari
berbagai taxa virusnya, maka ensefalitis arbovirus dibagi menjadi beberapa jenis,
yakni:

1. Kelompok sero-group alphavirus dari family Togaviridae merupakan


agen dari western equine encephalitis (WEE), eastern equine encephalitis
(EEE), dan Venezuelan encephalitis. Alphavirus merupakan virus RNA
strand-positif, dengan envelope, dan berukuran 69- nm.
2. Kelompok sero-group California, family Bunyaviridae merupakan
agen dari California encephalitis (CE) sedangkan dari family Reoviridae
merupakan agen dari Colorado tick fever.
Sero-group Bunyavirus 16, merupakan virus RNA dengan 3 segmen
strand-negatif, memiliki envelope, berukuran 75 – 115-nm. Reovirus
merupakan sero-group virus RNA dengan strand-ganda, berukuran 60 – 80-
nm.

3. Kelompok sero-group flavivirus, yang paling sering menimbulkan


penyakit adalah Japanese B encephalitis virus (menyebabkan Japanese B
encephalitis) dan West Nile virus (menyebabkan West Nile encephalitis /
WNE). Virus Japanese B encephalitis ditransmisikan melalui tick dan nyamuk
sedangkan virus West Nile mempunyai siklus hidup yang melibatkan burung
dan nyamuk. Vektor WNE pada manusia adalah nyamuk dari genus Culex,
Anopheles, dan Aedes. Selain jenis ensefalitis yang telah disebutkan
sebelumnya, sero-group flavivirus juga dapat menyebabkan St. Louis
encephalitis.
Enterovirus termasuk dalam family picornavirus.3 Family picornavirus
antara lain virus coxsackie A dan B, poliovirus, echovirus, enterovirus 68 dan 71,
hepatitis A virus.

Virus herpes simpleks tipe I (VHS tipe I) merupakan penyebab tersering


dari ensefalitis sporadik. Sedangkan VHS tipe II lebih sering dijumpai pada
neonatus dengan ensefalitis. VHS merupakan virus DNA yang dapat
menyebabkan penyakit lokal maupun sistemik. Pada Anak dan bayi, VHS dapat
menyebabkan ensefalitis yang dapat memburuk. Infeksi pada neonatus biasanya
didapat selama atau sesaat sebelum bayi dilahirkan, bersumber dari organ
genitalia eksterna ibu. Infeksi primer VHS tipe II selama proses persalinan
memberikan faktor risiko yang lebih besar terhadap ensefalitis. Infeksi juga dapat
terjadi melalui rekurensi, namun baik infeksi primer maupun rekurens keduanya
dapat terjadi secara asimtomatik Human herpesvirus 6 merupakan jenis VHS
yang menjadi agen pada exanthema subitum, virus ini dihubungkan dengan
terjadinya komplikasi neurologikus yang luas, termasuk pada ensefalitis viral
(fokal).

Virus mumps dan measles (campak Jerman), merupakan sero-group


paramyxovirus yang sering menimbulkan gejala neurologis. Measles biasanya
tidak menyebabkan ensefalitis pada fase akut, tetapi 1 dari 1000 kasus dapat
meningkatkan risiko sindroma autoimun pasca-infeksi measles.3 Virus Nipah
(family Paramyxoviridae) pertama kali dideteksi setelah terjadinya outbreak
ensefalitis pada peternak babi di Malaysia. Virus ini merupakan agen penyakit
zoonosis pada babi dan manusia.
Arenavirus biasanya menginfeksi rodensia. Pada musim dingin biasanya
tikus tinggal di dalam rumah (indoor) sehingga risiko kontak manusia dengan
ekskret tikus meningkat. Oleh karena itu, lymphocytic choriomeningitis paling
sering terjadi selama musim dingin. Meningitis atau meningoensefalitis dapat
terjadi 5 sampai 10 hari setelah terinfeksi (masa inkubasi).

Rabies masih merupakan patogen penting di negara berkembang, dimana


infeksi endemik akibat gigitan hewan masih ada. Agen rabies merupakan virus
RNA yang dikelompokkan dalam rhabdovirus. Di negara – negara Eropa dan U.
S. A. rabies biasanya ditransmisikan dari gigitan hewan liar seperti srigala,
kelelawar, musang. Masa inkubasinya berlangsung selama 20-60 hari setelah
gigitan, atau dapat berlangsung seumur hidup.

Citomegalovirus juga dapat menyebabkan ensefalitis, biasanya bersifat


kongenital.2 Infeksi juga bisa didapat pada masa perinatal melalui kontak dengan
sekret maternal selama proses persalinan atau dari ASI, tapi jenis infeksi yang
didapat pada masa post-natal ini jarang melibatkan susunan saraf pusat.

Varicella-zostervirus (VZV) jarang sebagai agen penyebab ensefalitis.


Jika terjadi ensefalitis oleh VZV maka sering melibatkan serebelum dan biasanya
menghilang secara spontan. Keterlibatan serebral pada infeksi VZV jarang terjadi
dan sering berhubungan dengan defisit neurologis yang signifikan dan angka
mortalitas yang lebih tinggi, tergantung dari respon host.

Malaria serebral merupakan jenis ensefalitis yang dapat terjadi akibat


komplikasi terberat pada malaria oleh Plasmodium falciparum. Dibandingkan
orang dewasa malaria serebral lebih cenderung terjadi pada anak – anak. Biasanya
terjadi pada anak berusia kurang dari 6 tahun di daerah endemik malaria.

Ensefalitis pasca-infeksi merupakan penyebab yang relatif sering pada


kasus ensefalitis yang tidak didapatkan agen penyebabnya dari parenkim otak,
sehingga dipikirkan mungkin sebagai akibat dari respon imunologis terhadap
infeksi sebelumnya. Agen yang dapat menjadi pencetus respon imunologis
tersebut antara lain measles, rubella, mumps, VZV, dan infeksi M pneumoniae.
Juga dapat terjadi setelah imunisasi dengan vaksin dari agen – agen tersebut.

Ensefalitis oleh bukan virus dapat disebabkan oleh ricketsia, Mycoplasma


pneumoni, Mycobacterium tuberculosis, Spirochaeta (sifilis), protozoa
(Plasmodium, Trypanosoma), dan fungi (Histoplasmosis, Cryptococcus,
Aspergillosis, Mucormycosis, Moniliasis, Coccidiomycosis).

Ensefalitis yang diasosiasikan dengan vaksin biasanya oleh rabies,


pertusis, morbili, influensa, vaccinia, yellow fever, dan typhoid.

2.8. Epidemiologi

2.8.1 Frekuensi

Secara internasional, angka insiden dari ensefalitis oleh virus sepertinya lebih
rendah dari yang diperhitungkan, terutama di negara berkembang, disebabkan
hambatan pada deteksi patogen. Japanese B encephalitis stidaknya menyerang 50.000
individu per tahun.

Dari penelitian terakhir di Finlandia, angka insiden ensefalitis viral pada orang
dewasa sebesar 1,4 per 100.000 per tahun. Penyebab utama adalah VHS (16 %), VZV
(5 %), mumps (4 %), virus influenza A (4 %).

Dari penelitian epidemiologi terakhir di U. S. A angka insiden ensefalitis viral


sebesar 3,5-7,4 per 100.000 penduduk per tahun. The Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) memperkirakan angka insiden ensefalitis viral sebesar 20.000
kasus baru ensefalitis di U. S. A dan sebagian besar bersifat ringan. Dua penyebab
utama ensefalitis endemik di U. S. A. adalah VHS dan rabies. ensefalitis akibat
infeksi VHS merupakan yang paling sering terjadi dan mempunyai insiden 2 kasus
per 1 juta populasi per tahun, merupakan 10 % dari seluruh kasus ensefalitis di U. S.
A. Ensefalitis oleh arbovirus berkisar 150-3000 kasus per tahun tergantung pada
kejadian dan intensitas dari transmisi epidemik.

2.8.2 Mortalitas dan morbiditas

Angka mortalitas sebagian besar tergantung dari agen ensefalitis


tersebut.3Ensefalitis oleh VHS menyebabkan mortalitas sebesar 70 % pada pasien
yang tidak mendapat terapi, dengan morbiditas berupa sekuele berat pada individu
yang dapat bertahan. Japanese B encephalitis merupakan penyebab ensefalitis viral
terpenting di seluruh dunia dengan 50.000 kasus baru dan 15.000 kematian per tahun,
telah dilaporkan terjadi di China, Asia Tenggara, Daratan India, Filipina, New
Guinea, Guam, dan Australia. Angka mortalitasnya tergantung pada usia, berkisar
dari 2 hingga 20 % dan sekuele terjadi pada 20 % individu yang dapat bertahan.

2.8.3. Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan predileksi dalam hal jenis kelamin, kecuali pada
subakut sklerosing panensefalitis, prevalensinya 2-4 kali lebih besar pada anak laki-
laki.

2.8.4 Usia

Individu dengan usia yang ekstrim berisiko paling tinggi, terutama pada
ensefalitis oleh VHS (ensefalitis herpes simpleks / EHS). EHS pada neonatus
merupakan manifestasi infeksi yang meluas. Pada bayi, anak, dan orang dewasa lebih
cenderung terjadi infeksi yang terlokalisir (paling sering VHS tipe I).

2.9 Patogenesis

Selain jaringan otak, mikroorganisme dapat pula menyerang meningen, medulla


spinalis atau kombinasi dari struktur di atas, sehingga kelainan yang timbul dapat
berupa aseptic meningitis, mielitis, meningoensefalitis, atau ensefalomielitis. Virus
ini dapat menyerang semua golongan umur.
Masuknya virus ke dalam tubuh melalui :

1. Vektor nyamuk : Arbovirus.


Nyamuk Culex nishnui yang kena infeksi virus, setelah menggigit babi
sebagai reservoir (viremia lama tanpa menderita sakit), kemudian menggigit
manusia. Reservoir adalah babi, kuda, sapi, kerbau dan burung.

2. Makanan dan minuman : Enterovirus


3. Kontak dengan orang yang sakit : Morbilli
4. Melalui gigitan anjing gila : Rabies
Secara umum virus ensefalitis yang berada dalam tubuh manusia mencari
sistem limfe dan disini berkembang biak, selanjutnya lewat aliran darah menuju
organ-organ tubuh seperti jaringan otak yang dapat menyebabkan ensefalitis

2.10 Gejala Klinis

Pada permulaan penyakit : panas, sakit kepala, mual, muntah, pilek dan sakit
tenggorokan. Pada hari-hari berikutnya panas mendadak meningkat, kesadaran
dengan cepat menurun, anak gelisah, disusul dengan stupor atau koma. Kejang-
kejang berlangsung berjam-jam dan mendominasi penyakit. Kelainan syaraf berupa
paresis, paralysis atau ataksia serebral akut.

2.11 Diagnosis

2.11.1 Anamnesis

Gejala klinik sangat bervariasi dari ringan sampai berat, pada permulaan
penyakit hanya menunjukkan gejala ringan, kemudian koma dan bisa meninggal
mendadak. Dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat febris dengan onset akut.
Pasien dengan ensefalitis viral biasanya secara umum mengalami adanya nyeri
kepala, demam, dan kaku kuduk sebagai gejala dari iritasi leptomeningeal. Dari
heteroanamnesis bisa didapatkan adanya tanda defisit neurologikus fokal, kejang, dan
perubahan kesadaran yang dimulai dengan letargia yang progresif menuju
disorientasi, stupor, dan koma. Seringkali didapatkan perubahan tingkah laku dan
bicara. Pergerakan abnormal dapat diperoleh dari cerita orang yang merawatnya.
Selain adanya febris yang dapat mengarah ke hipertermia dapat juga terjadi
poikilotermia akibat keterlibatan aksis hipotalamus-hipofisis.

Petunjuk yang spesifik pada anamnesis/ heteroanamnesis tergantung dari agen


yang menjadi etiologinya. Penderita dapat memiliki riwayat digigit hewan yang
mungkin tidak diterapi dengan antirabies. Masa prodormal virus secara umum
berlangsung selama berhari-hari dan terdiri dari adanya riwayat febris, nyeri kepala,
mual, muntah, letargia, dan myalgia. Riwayat prodormal yang spesifik didapatkan
pada VZV, EBV, CMV, Measles, dan mumps antara lain berupa rash,
lymphadenopati, hepatosplienomegali, dan pembesaran kelenjar parotis.1 Pada SLE
bisa terdapat riwayat dysuria dan pyuria. Pada WNE disa didapatkan riwayat letargia
yang ekstrim.

Bentuk ensefalitis klasik adalah dengan gejala defisit neurologis difus atau
fokal.1 Berdasarkan hal tersebut bisa didapatkan riwayat perubahan tingkah laku dan
kepribadian, penurunan kesadaran, kaku kuduk, fotofobia, letargia, kejang fokal atau
general terdapat pada 60 % anak yang menderita California encephalitis, disorientasi
dengan onset akut, atau keadaan amnesia, kelumpuhan yang bersifat flaksid terjadi
pada 10 % dari kasus WNE.1

2.11.2 Pemeriksaan fisik

Dalam pemeriksaan fisik diamati adanya tanda infeksi virus. Tanda ensefalitis
dapat berupa defisit neurologis fokal maupun difus (80 % pasien EHS datang dengan
tanda defisit neurologis fokal) sebagai berikut:

1. Perubahan status mental dan/ atau kepribadian.


2. Defisit neurologis fokal, seperti hemiparesis, kejang fokal, dan
disfungsi organ yang dipersarafi saraf otonom.
3. Gangguan pergerakan (SLE, EEE, WEE).
4. Ataksia.
5. Defisit nervus kranialis.
6. Disfagia (pada rabies dapat tampak mulut yang berbusa dan
hydrophobia).
7. Meningismus (lebih jarang terjadi dibandingkan pada
meningitis).
8. Disfungsi sensorik-motorik unilateral.
Adapun ensefalitis herpes simpleks pada neonatus dapat menunjukkan gejala
dan tanda sebagai berikut:1

1. Lesi kulit herpetik sejak lahir.


2. Keratokonjungtivitis.
3. keterlibatan orofaring, terutama mukosa bukal dan lidah.
4. gejala ensefalitis, seperti kejang, irritable, perubahan derajat
kesadaran, dan fontanela yang cembung.
5. Tanda tambahan dari VHS yang menyebar berupa syok,
ikterus, dan hepatomegaly.
Ensefalopati akibat toksoplasma yang terjadi pada pasien imunosupresif, 75 %
datang dengan gejala defisit neurologikus fokal, sekitar satu setengah pasien tersebut
mengalami perubahan ensefalopatik.

2.11.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Serebrospinalis
Sering dalam batas normal. Kadang-kadang didapatkan pleositosis ringan
yang didominir oleh limfosit, protein meningkat, glukosa pada
permulaannya bisa normal kemudian meningkat, asam laktat normal atau
meningkat.
b. Darah lengkap, Urine lengkap
Pemeriksaan darah dan urine lengkap dilakukan untuk mengisolasi dan
mengidentifikasikan virus. Enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA),
dapat mengidentifikasi virus yang menyebabkan ensefalitis segera setelah
terinfeksi. Polymerase chain reaction (PCR) dapat mengidentifikasi virus
DNA walaupun dalam jumlah yang kecil.

c. Pemeriksaan virologi
Bahan : likuor serebrospinalis, jaringan otak (hasil nekropsi), dan/atau tinja.
Darah jarang memberikan hasil yang positif oleh karena viremia
berlangsung sangat singkat.

d. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan yang dapat dipakai adalah : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi
hemaglutinasi, uji netralisasi.

Bahan: darah pada fase akut dan fase konvalesen. Positif bila titer antibody
pada fase konvalesen meningkat lebih dari/ atau sama dengan 4 kali.

e. Pemeriksaan patologi anatomi (post mortem)


Gambaran umum : edema otak, bendungan pembuluh darah dan infiltrasi
mononuklear sekitar pembuluh darah. Pada fase permulaan ada reaksi
granulossit pada selaput otakyang kemudian diganti dengan limfosit atau
monosit. Contoh Negri bodies, pada rabies, inclusion bodies pada kelompok
Herpes virus.

2.12 Penatalaksanaan

1. Pemakaian obat-obatan
a. Antibiotika.
Diberikan untuk mencegah infeksi sekunder seperti Ampisillin dosis
50 – 100 mg/kgBB./hari, dibagi 3 dosis secara i.v.

b. Untuk menghilangkan edema otak.


 Dexamethason
- Dosis 0,5 - 1 mg/kgBB./hari, i.v. atau i.m.
- Dilanjutkan dengan dosis maintanance ,5 mg/kgbb/hari i.v atau i.m
dibagi 3 dosis. Dosis diturunkan pelan – pelan setelah beberapa hari
bila ada perbaikan
 Gliserol
Dosis 0,5-1,0 ml/kgBB.,dengan sonde hidung, diencerkan 2 kali dan
dapat diulang tiap 6 jam.

 Glukosa 20 %, 10 ml i.v. beberapa kali sehari, dimasukkan ke dalam


pipa infus.
2. Pengobatan suportif
a. Pemberian cairan i.v. (Glukosa 10 %). Pemberian cairan i.v.
dimaksudkan untuk mempertahankan keseimbangan air-elektrolit,
mencakup kalori dan pemberian obat-obatan.
b. Pemberian vitamin.
c. Pemberian O2 untuk mencegah kerusakan jaringan otak akibat
hipoksia
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit paru pada umumnya diakibatkan oleh kelainan akibat obtruksif dan
kelainan akibat restriktif. Efusi pleura adalah penyakit paru restriktif yang ditandai
adanya cairan pada cavum pleura yang berakibat menurunkan komplian paru.
Penilaian preanestesi diperlukan terhadap penderita efusi pleura untuk mengenali
komplikasi-komplikasi selama anestesi dan pasca operasi, tindakan mengurangi efusi
untuk memaksimalkan fungsi paru-paru dapat dilakukan dengan thoracentesis.
Pilihan utama anestesi dapat dilakukan regional anestesi, pada anestesi umum yang
perlu diperhatikan adalah ventilasi yang terkontrol untuk mengembangkan paru-paru,
akibat komplian yang terganggu pada efusi pleura.

Gambar 8. Strategi untuk menurunkan insidensi komplikasi paru post operatif


(Stoelting, 2012)
DAFTAR PUSTAKA

Amin Zulkifli, Masna Ina Ariani Kirana, Indikasi dan Prosedur Pleurodesis, Majalah
Kedokteran Indonesia, Volume 57, No. 4, April, 2007

Cole DJ, Schlunt M, Adult Perioperative Anesthesia The Requisites in


Anesthesiology,1st ed., Elsevier Mosby, United State, 2004.

Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Robert M, Pack AI, Fishman`s
Pulmonary Diseases an Disorders, 4th ed., Volume 2, Mc Graw Hill Medical,
United State, 2008.

Hanley ME, Wesh CH, Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine,
Lange Medical Books, United State, 2008.

Hartanto H, At a Glance Sistem Respirasi, Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, 2008.

Kaur S, Cortiella J, Vacanti CA, Diffusion of Nitrous Oxide into The Pleural Cavity,
Britsh Journal of Anesthesia 87 (6), 894-6, 2001.

Light RW, Pleural Disease, 5th ed., Lippincort Williams & Wilkins, Philadelpia,
United State, 2007.

Morgan GE, Michail MS, Murray MJ, Clinical Anesthesiology, 5th ed., Mc Graw
Hill, United State, 2013.

Stoelting RK, Dierdof SF, Anesthesia and Co-Existing Disease, 6th ed., Churchill
Livingstone, Unites State, 2012.

Smetana GW, Preoperative Pulmonary Evaluation, N Engl J Med, Vol 340, No 12,
1999.

Wilke Jeanne, Egans`s Fundamental of Respiratory Care, Mosby Elsevier, Missouri,


United State, 2009

Lazoff M. Encephalitis. Emedicine 2011, Oct. 4. Available from:


URL:http://www.emedicine.com/emerg/topic163.htm.
Lau AS, Uba A, Lehman D, Geertsman F, Supattapone S. Rudolph’s fundamentals of
pediatrics. Ed.2nd. Stamford, Connecticute. Appleton & Lange; 1998.p.287-88.
Gondim F de AA. Viral encephalitis. Emedicine 2011, Oct 4. Available from:
URL:http://www.emedicine.com/NEURO/topic393.htm.
Prince A. Nelson essentials of pediatrics. Ed. 4th. Philadelphia, Pennsylvania. W. B.
Saunders Company; 2002.p.386-88.
Halstead SB. Nelson textbook of pediatrics. Ed. 17th. Philadelphia, Pennsylvania. W.
B. Saunders Company; 2002.p.1086-91.
Steele RW. Pediatric infectious disease. Ed. 2nd. New York. Parthenon
Publishing;p.6-8.

Anda mungkin juga menyukai