Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan aneka industri yang menggunakan berbagai macam zat


kimia di Indonesia kini kian pekat. Hal ini sangat berpotensi sebagai factor
penyebab meningkatnya insiden dermatitis kontak di tengah masyarakat.
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan-bahan dari luar
tubuh yang berkontak langsung dari kulit yang bersifat toksik, alergi maupun
imunologis.

Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah epidermodermatitis yang subjektif


memberi keluhan pruritus dan objektif mempunyai efloresensi polimorfik
disebabkan kontak ulang dengan bahan dari luar yang sebelumnya telah
tersensitisasi.

Pengalaman tentang penyebab umum DKA sangat membantu dlam


menegakan diagnosis. Kadang-kadang dapat timbul kesulitan apa bila penderita
DKA sebelumnya perna kontak dengan bermacam-macam bahan, sehingga pada
kondisi seperti ini uji tempel memegang peranan yang sangat penting dalam
membantu mengakan dan mencari etiologi dermatitis kontak alergi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dermatitis Kontak

2.1.1. Definisi
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit.

2.1.2. Jenis
Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis iritan dan dermatitis
kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut/kronis. Dermatitis iritan merupakan
reaksi peradangan kulit non-imunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung
tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya dermatitis kontak alergi terjadi pada
seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadapa suatu alergen.

A. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)

a. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup
banyak, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun
angkanya secara tepat sulit diketahui.Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak
penderita dengan kelainan ringan tidak datan berobat atau bahkan tidak mengeluh.

b. Etiologi

Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsenterasi bahan tersebut, dan vesikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain.
Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau

2
berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeable, demikian gesekan
dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.

Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan


ketebalan kulit diberbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia
(anak dibawah 8th dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam lebih
tahan daripada kulit putih); jenis kelamin (insidens DKI lebih banyak pada
wanita); penyakit kulit yan pernah atau sedang dialami (ambang rangsang
terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.

c. Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat
kulit terhadap air.

Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membrane lemak (lipid


membrane) keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membrane sel dan
merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti.Kerusakan membrane
mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida
(DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3).AA dIubah menjadi
prostaglandin (PG) dan leukotriene (LT).PG dan LT menginduksi vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah tranudasi
komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk
limfosit dan nautrofil, serta mengaktifasis sel mas melepaskan histamine, LT dan
PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler.

DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, misalnya interleukin 1 (IL- 1) dan granulocyte macrophage colony
stimulatunf factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel-T penolong mengeluarkan
IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin
dan proliferasi sel tersebut.

3
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi
intrasel-1 (ICAM-1).Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-
alfa, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifkan sel T, makrofag dan
granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik


ditempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan
kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali
kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang
menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah
kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.

d. Gejala klinis

Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat


iritan.Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis.
Faktor lain yang mempengaruhi yaitu faktor individu (ras, usia, lokasi atopi,
penyakit kulit lain), faktor lingkungan (suhu, dan kelembaban udara, oklusi).

Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut ada yang


mengklasifikasi DKI menjadi sepuluh macam, yaitu: DKI akut, lambat akut (acute
delayed ICD), reaksi iritan, kumulatif, traumateratif, nonerimatosa, dan subyektif.
Ada dua pula yang membaginya menjadi dua kategori yaitu kategori mayor terdiri
atas DKI akut termasuk luka bakar kimiawi, DKI erimatosa, dan DKI subyektif.

1). DKI Akut

Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut.
Penyebabnya DKI akut adalah iritan akut misalnya larutan asam sulfat dan asam
hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya
terjadi karena kecelakaan, dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding
dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada tempat
kontak.Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa

4
eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas,
dan pada umumnya asimetris.

2). DKI Akut lambat

Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8-
24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut
lambat, misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, bezalkonium klorida,
asam hidrofluorat.Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh buku
serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru
merasa pedih esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah
menjadi vesikel atau bahan nekrosis.

3). DKI Kumulatif

Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi; nama lain ialah DKI
kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah. Faktor
fisis, misalnya gesekan, truma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga
bahan misalnya, deterjain, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air. DKI kumulatif
bisa terjadi mungkin karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan
secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu
bila bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-
minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan
rentetetan kontak merupakan faktor penting.

Gejala klasik berupa kulit kering,eritema, skuama, lambat laun kulit tebat
(hiperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus berlangsung akhirnya
kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada tumit tukang cuci yang
mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Keluhan penderita umumnya
rasa gatal atau nyeri karena kulit retak(fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa
kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita.
Setelah dirasakan menngganggu, baru mendapat perhatian.

5
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih
banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan bagian lain tubuh.Contoh
pekerjaan yang beresiko paling tinggi untuk DKI kumulatif yaitu; tukang cuci,
kuli bangunan, montir dibengkel, juru masak, tukang kebun, penata rambut.

4). DKI Iritan

Reaksi iritan merupakan dermatitis subklinis pada seseorang yang tidak


terpajan dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam
dalam beberapa bulan pertama pelatihan.Kelainan kulit monomorf dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustule dan erosi.Umumnya dapat sembuh sendiri,
menimbulkan penebalan kulit (skin hardening), kadang dapat berlanjut menjadi
DKI kumulatif.

4). DKI Traumatik

Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau


laserasi.Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat 6
minggu.Paling sering terjadi di tangan.

5). DKI Nonerimatosa

DKI nonerimatosa merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai perubahan


fungsi sawar stratum komeum tanpa disertai kelainan klinis.

6). DKI Subyektif

Juga disebut DKI sensori; kelainan kulit tdak terlihat, namun penderita
merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan
bahan kimia tertentu misalnya asam laktat.

e. Histopatologik

Gambaran Histopatologik dermatitis kontak iritan tidak khas. Pada DKI


akut (pada iritan primer) dermis bagian atas terdapat vasodilatasi disertai sebukan
sel mononuclear disekitar pembuluh darah. Eksositosis di epidermis diikuti

6
spongiosis dan edema intrasel, serta nekrosis epidermal. Pada dermatitis berat
kerusakan epidermis dapat berbentuk vesikel dan bula. Didalam vesikel atau bula
ditemukan limfosit dan neutrofil.

f. Diagnosis

Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan pengamatan


gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena terjadi lebih cepat
sehingga pasien pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya, DKI kronis terjadi lebih lambat serta mempunyai variasi gambaran
klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak
alergik. Untuk itu diperlukan uji temple dengan bahan yang dicurigai.

g. Pengobatan

Upaya pengobatan yang terpenting pada DKI adalah menghindari pajanan


bahan iritan yang menjadi penyebab, baik yang bersifat mekanik, fisik maupun
kimiawi, serta menyingkirkan factor yang memperberat. Bila hal ini dapat
dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut
akan sembuh tanpa pengobatan topical, mungkin cukup dengan pemberian
pelembab untuk memperbaiki sawar kulit.

Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan


kortikosteroid topical, misalnya hidrokortison atau untuk kelainan yang kronis
dapat diawali dengan kortikosteroid dengan potensi kuat. Pemakaian alat
pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi yang bekerja dengan bahan iritan,
sebagai salah satu upaya pencegahan.

h. Prognosis

Bila bahan iritan yang menjadi penyebab dermatitis tersebut tidak dapat
disingkirkan dengan sempurna, maka prognosis nya kurang baik. Keadaan ini
sering terjadi pada DKI kronis dengan penyebab multi factor dan juga pada pasien
atopic.

7
B. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)

a. Epidemiologi

Bila dibandingkan dengan DKI jumlah penderita DKA lebih sedikit,


karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif).
Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah dengan
seiringnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh
masyarakat. Namun informasi mengenai prevelensi dan insiden terjadinya DKA di
masyarakat masih sangat sedikit, sehingga angkat yang mendekati kebenaran
belum didapat. Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak
80% dan DKA 20%, sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA
bukan akibat kerja tiga kali lebih sering daripada DKA akibat kerja.

b. Etiologi

Penyebab DKA adalah bukan kimia sederhana dengan berat molekul


umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum
sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis
per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar
matahari).

c. Patogenesis

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon


imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi
imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui 2
fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami
sensitisasi dapat menderita DKA.

8
Fase sensitisasi

Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan


ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara
kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-
DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan
istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan
menstimulasi sel T. Teatapi, setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga
mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan
sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel-T. Aktivasi tersebut akan
mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu
(misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC klas I dan
II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh
keratinosit yaitu TNF-alfa, yang dapat mengaktifasi sel-T, makrofag dan
granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga
meningkatkan MHC kelas I dan II.

TNF-alfa menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans


pada epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar
sel Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempar melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans
mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepaa sel-T penolong spesifik,
yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
Langerhans, dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Ada atau tidak adanya sel-T spesifik ini ditentukan secara genetik.

Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk


mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2 dan
mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel
T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunlah sel ini yaitu sel-T memori
(sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke

9
seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi.Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu.

Menurut konsep ‘danger’signal (sinyal ‘bahaya’) bahwa sinyal antigenik


murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritannya
menimbulkan sensitisasi.Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak
bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak
sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respon iritan, dari bahan
kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya.Jadi
tidak berasal dari sinyak antigenik sendiri, melainkan dari iritasi yang
menyertainya. Suatu tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi
sensitisasi.

Fase elistasi

Fase kedua (elistasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada panjanan


ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh
sel Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR
kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR-
anitgen akan dipersentasikan oleh sel-T yang telah tersensitisasi (sel-T memori)
baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi. DI kulit
proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel lain. Sel Langerhans
mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk memproduksi IL-2 dan
mengekspresi IL-2R, yang populasi sel-T di kulit. Sel-T teraktivasi juga
mengeluarkan IFN-gamma yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresikan
molekul FLA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk
berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+, dan juga menungkinkan presentasi
antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga merupakan target sel-T sitotoksik pada
keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6,
TNF-alfa, dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel-T.IL-1 dapat
menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid. Sitokin dan eikosanoid ini
akan mengaktifkan sel mas dan makrofag. Sel mas yang berada di dekat pembuluh

10
darah dermis akan melepaskan antara lain histamine, berbagai jenis faktor
kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotriene B4 (LTB4). Eksinoid baik yang
berasal dari sel mas (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit
menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan permebilitas sehingga molekul
larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan
epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosonoid akan menarik neutrofil,
monosit dan sel darah merah lain dari dalam pembuluh darah masuk ke dalam
dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan respons klinik DKA. Fase
elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.

d. Gejala Klinis

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada


keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak
erimatosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau
bula.Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA

11
akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan
edema lebih dominan daripada vesikel.Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas.Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin
penyebabnya juga campuran.

DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara austosensitisasi.


Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.

e. Berbagai lokasi terjadinya DKA

Tangan

Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di


tangan, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering
digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.Penyakit kulit akibat kerja,
sepertiga atau lebih mengenai tangan.Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada
penderita. Pada pekerjaan yang basah (‘wet work’), misalnya memasak makanan,
mencuci pakaian, pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan
lebih tinggi.

Etiologi dermatitis tangan sangat kompleks karena banyak sekali faktor


yang berperan di samping atopi.Contoh bahan yang dapat menimbulkan dermatitis
tangan, misalnya deterjen, antiseptic, getah sayuran, semen, dan pestisida.

Lengan

Alergen umunya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Diketiak dapat disebabkan
oleh deodorant, anti-perspiran, formaldehid yang ada dipakaian.

Wajah

Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,


spons (karet), obat topical, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca
mata), semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak

12
mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Bila di bibir atau sekitarnya
mugnkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.Dermatitis di
kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, maskara, eye shadow,
obat tetes mata, salap mata.

Telinga

Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topical, tangkai kaca mata, cat rambut,
hearing-aids, gagang telepon.

Leher

Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.

Badan

Dermatitis di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna, kancing


logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi
pakaian.

Genitalia

Penyebabnya dapat antiseptic, obat topical, nilon, kondom, pembalut


wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen.Bila
mengenai daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid.

Paha dan tungkai bawah

Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci


(nikel), kaos kaki nilon, obat topical, semen, sepatu/sandal.Pada kaki dapat
disebabkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai.

Dermatitis kontak sistemik

13
Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara topical oleh suatu
alergen, Selanjutnya terpajan secara sistemik, kemudian timbul reaksi terbatas
pada tempat tersebut.Walaupun jarang terjadi, reaksi dapat meluas bahkan sampai
eritroderma. Penyebabnya, misalnya nikel, formaldehid, balsam peru.

f. Diagnosis

Diagnosisi didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan


klinis yang teliti.

Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit


yang ditemukan.Misalnya, ada kelainan kulit berukuran numular disekitar
umbilikus, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakan
penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari
logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan,
hobi, obat topical yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan
yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat
atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya.

Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelinan kulit sering kali dapat diketahui kemungkinan pernyebabnya.Misalnya,
diketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan ditempat yang cukup terang,
pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-
sebab endogen.

g. Uji Tempel

Tempat untuk melakukan uji temple biasanya di punggung. Untuk


melakukan uji temple diperlukan antigen, biasanya antigen standart buatan pabrik,
misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika
Serikat terdapat juga antigen standard bikinan pabrik di Eropa dan Negara lain.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standard, dapat berupa bahan
kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah,

14
lingkungan kerja atau tempat rekreasi.Mungkin ada sebagian bahan ini yang
bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun jarang dapat memberikan efek
toksik secara sistemik.Oleh karena itu, bila menggunakan bahan tidak standard,
apalagi dengan bahan industry, harus berhati-hati sekali.Jangan melakukan uji
temple dengan bahan yang tidak diketahui.

Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya


kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji temple, dapat langsung digunakan apa
adanya (as is). Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air
untuk membilasnya, misalnya shampoo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih
dahulu.Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin
atau minyak mineral.Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,
hanya boleh diuji bila diduga karena penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu,
atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alegi, maka uji temple dilakukan
dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dengan air garam yang tidak
dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai
Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil
positif dengan alergen bukan standard perlu control (5 sampai 10 orang), untuk
menyingkirkan kemungkinan karena iritasi.

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji temple:

1. Dermatitis harus tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau
berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’ reaksi positif
palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin
memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji temple
dapat dilakukan pada pemakaian prednisone kurang dari 20 mg/hari atau
dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi
negative palsu. Pemberian kortikosteroid topical di punggung dihentikan
sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar
sinar matahari (sun burn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan

15
juga dapat memberi hasil negative palsu. Sedangkan antihistamin sistemik
tidak mempengaruhi hasil tes kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3. Uji temple dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua
dilakukan pada hari ke-3 sampai hari ke-7 setelah aplikasi.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji temple
menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil
negative palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam
48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji
tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.
5. Uji temple dengan bahan standard jangan dilakukan terhadap penderita
yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticarial
type), karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi
anafilasis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur
khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan


pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang
diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut:

+1 = reaksi lemah (nonvesikuler) : eritema, infiltrate, papul (+)


+2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
+3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
± = meragukan: hanya macula eritematosa (?)
IR = iritasi: seperti terbakar, pustule, atau purpura (IR)
- = reaksi negative (-)
NT = tidak dites (NT = not tested)

Reaksi excited skin atau ‘angry back’, merupakan reaksi positif palsu,
suatu fenomena regional disebabkan oleh satu atau beberapa reaksi positif kuat,
yang dipicu oleh hipersensitivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain menjadi
reaktif. Fenomena ini pertama kali dikemukakan oleh Bruno Bloch pada abad ke-
20, kemudian diteliti oleh Mitchell pada tahun 1975.

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi,


biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk

16
membantu membedakan antara respon alergik atau iritasi dan juga
mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen.Hasil postitif dapat
bertambah setelah 96 alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam
aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu
terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi.

Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.Interpretasi


dilakukan setelah pembacaan kedua.Respon alergik biasanya menajdi lebih jelas
antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari dari +/- ke + atau ++ bahkan ++
+ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi tipe
decrescendo).Bila ditemukan respon positif terhadap suatu alergen, perlu
ditentukan relevansinya dengan keadaan klinik, riwayat penyakit, dan sumber
antigen di lingkungan penderita.Mungkin respon positif tersebut berhubungan
dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu yang pernah dialami atau
mungkin tidak ada hubungannya (tidak diketahui).Reaksi positif klasik terdiri atas
eritema, edem dan vesikel-vesikel kecil yang letaknya berdekatan.

Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsenterasi terlalu
tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (oklusi), efek
pinggir uji tempel, umumnya karena iritasi, bagian tepi menunjukkan reaksi lebih
kuat, sedang dibagian tengahnya reaksi ringan atau sama sekali tidak ada. Ini
disebabkan karena efek tekan, terjadi bila menggunakan bahan padat.

Reaksi negative palsu dapat terjadi misalnya konsentrasi terlalu rendah,


vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan baik, atau longgar
akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid
sistemik atau topikal poten yang lama dipakai pada area uji tempel dilakukan.

h. Pengobatan

17
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab dan
menekan kelainan kulit yang muncul.

Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi


peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau
bula, serta eksudatif (madidans), misalnya prednisone 30mg/hari. Umumnya
kelainan kulit akanmereda setelah beberapa hari. Sedangkan kelainan kulitnya
cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisisat 1:1000.

Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau
makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal.

Antihistamin dapat diberikan untuk mengurangi rasa gatal, misalnya


chlorpheniramin maleate, mebhydrolin, loratadin, citirizin.

i. Prognosis

Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat


disingkirkan.Prognosis bisa menjadi kurang bai k dan menjadi kronis bila terjadi
bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopic, dermatitis
numularis atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin
dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat
dilingkungan penderita.

BAB III

18
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. B

Umur : 50 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Tani

Alamat : Koto tuo

B. Anamnesa

Keluhan Utama:

Bercak merah kehitaman dan gatal di kedua kaki sejak 1bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:

- Bercak merah kehitaman dan gatal di kedua kaki sejak 1bulan yang
lalu
- Awalnya muncul bercak ke merahan terasa panas dan gatal setiap
selesai memakai sandal
- Pasien menggunakan sandal jepit yang terbuat dari karet

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Tidak pernah mengalami keluhan yang sama.


- Riwayat alegi makanan tidak ada
- Riwayat alergi obat oles atau minyak tidak ada
- Riwayat alergi gatal di daerah tubuh lain (pingang dan dada ) tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:

- Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan pasien

19
Riwayat Pengobatan :

- Pasien belum pernah mendapat pengobatan.

C. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Status Gizi : Baik

Pemeriksaan Thorax : Diharapkan dalam batas normal

Pemeriksaan Abdomen : Diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus

Lokasi : Pada kedua punggungkaki

Distribusi : Bilateral

Bentuk : Tidak khas

Susunan : Tidak khas

Batas : Tegas

Ukuran : Plakat

Efloresensi : Plak hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya,


erosi, dan krusta

20
Gambar 3.1 Dermatitis kontak alergi et causa sandal jepit tampak plak
hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya, erosi dan krusta.

Status Venerologikus

Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan

Kelainan kuku : Kuku dan jaringan sekitar kuku tidak ditemukan


kelainan

Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan

Kelainan kelenjar limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB

D. Pemeriksaan Anjuran:

--

E. Diagnosis Kerja:

Dermatitis Kontak Alergi et causa sandal jepit

21
F. Diagnosa Banding :

G. Penatalaksanaan

 Umum
- Hindari kontak dengan penyebab atau kurangi kontak dengan
penyebab.
- Minum obat dan control teratur.

 Khusus
o Sistemik

- Loratadine tab 10 mg 1x1 / hari

- Metil prednisolon tab 4 mg 2x1/ hari

o Topikal

- Diflucortolone valerate 0,1% 10g

H. Prognosis

Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad kosmetikum : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

22
RSUD dr. Acmad Mochtar Bukittinggi

Ruangan/Poliklinik: Kulit Dan Kelamin

Dokter: dr. P

SIP No: 3001/SIP/2014

Bukit Tinggi, 20 Juni 2016

R/ Loratadine tab 10 mg No. VII

S1dd tab 1

R/ Metil prednisolon tab 4 mg No. XV

S2dd tab 1

R/ Diflucortolone valerate 0,1% 10g No. I

Sue

Pro : Ny. B

Umur : 50 th

23
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit. Ada dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis
iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut/kronis.
Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-imunologik. Sebaliknya
dermatitis kontak alergi terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terhadap suatu alergen. Gejala klinis DKI bergantung pada sifat iritan. Pada DKA
biasanya pasien mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokalisasinya. Prinsip pengobatan pada DKA dan DKI pada
umumnya sama. Prognosis pada dermatitis kontak baik.

24
DAFTAR PUSTAKA

Menaldi, S. L, dkk. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.

Siregar. 2014. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi Tiga. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

25

Anda mungkin juga menyukai