Anda di halaman 1dari 18

REFERAT NEUROLOGI

CURRENT NON PHARMACOLOGICAL TREATMENT OF TENSION


TYPE HEADACHE

Oleh :

Ni Putu Frida B.P NIM. 170070201011074

Pembimbing :

dr Masruroh Rahayu,M.Kes

LABORATORIUM NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

MALANG

2019
i
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri kepala merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang sering dijumpai
dalam dunia kedokteran. Kurang dari 10% populasi tidak pernah mengalami nyeri kepala, yang berari
lebih dari 90% populasi pernah mengalami nyeri kepala, yang dapat tampil tersendiri maupun sebagai
bagian dari suatu kompleks penyakit. Dalam praktik sehari hari, tension type headache lebih sering
dijumpai. Walaupun mempunyai pola keluhan tertentu, nyeri tipe tension muncul dengan nyeri yang
dapat mengganggu penderita, sehingga penderita memiliki dugaan berlebihan tentang kemungkinan
penyebabnya.

Menurut Thomson Medstat (2006) dalam Ambarsari (2013), penelitian yang dilakukan
pada pekerja di Amerika Serikat melaporkan sebanyak 220,140 pekerja mengalami nyeri kepala
migrain sedangkan sebanyak 1,1 juta pekerja tidak mengalami nyeri kepala. Penelitian
memperkirakan biaya penyakit nasional akibat nyeri kepala migrain sebesar 12,7 miliar US
dollar per tahun untuk biaya kesehatan dan 12 miliar US dollar per tahun untuk biaya
nonkesehatan seperti ketidakhadiran dan kompensasi pekerja.

Prevalensi rata-rata migrain dalam hidup adalah 18%, dan diperkirakan prevalensi rata-
rata tahun lalu adalah 13%. Prevalensi tension-type headache (TTH) adalah sekitar 52% dalam
hidup, sedangkan 3% dari populasi umum mengalami chronic headache (International
Association for the Study of Pain, 2011). Berdasarkan hasil penelitian multicentre berbasis
rumah sakit pada lima rumah sakit di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala
sebagai berikut : migrain tanpa aura 10%, migrain dengan aura 1,8%, episodic tension-type
headache 31%, chronic tension-type headache 24%, cluster headache 0.5%, dan mixed
headache 14%. (Surya, 2012)

Tension-type headache (TTH) yang sering dianggap sebagai nyeri kepala “biasa‟ ,
memengaruhi hingga 80% populasi dari waktu ke waktu. Penderita pada umumnya mengobati
diri sendiri tanpa kunjungan ke dokter dengan menggunakan obat over-the-counter (OTC)
secara efektif. (British Association for the Study of Headache, 2010)

Karena nyeri kepala merupakan kelainan umum yang sering salah didiagnosis sehingga
menyebabkan kesalahan pada penatalaksanaan, diagnosis nyeri kepala yang baik dapat
meningkatkan kualitas perawatan nyeri kepala. Morbiditas akibat nyeri kepala tinggi, sehingga
2
diagnosis dan tatalaksana yang baik akan meningkatkan kesehatan populasi. Dengan adanya
diagnosis yang baik, angka kunjungan klinik, kunjungan departemen gawat darurat, dan rawat
inap akibat nyeri kepala yang tidak terkendalikan dapat diturunkan. Selain itu, tes dan prosedur
diagnostik yang tidak perlu dapat diabaikan sehingga biaya perawatan akan lebih murah. (Beithon,
2013) Adanya perbedaan tatalaksana nyeri kepala menyebabkan kesulitan dalam
mengembangkan pedoman praktis klinis global untuk nyeri kepala. Ini meliputi masalah
availabilitas obat dan tatalaksana modern untuk nyeri kepala. (World Health Organization, 2011)

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. NYERI KEPALA
1.1 Definisi
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada seluruh daerah kepala
dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala ( daerah oksipital dan
sebahagian daerah tengkuk) (Hainer, 2013).

1.2 Epidemiologi
Berdasarkan hasil penelitian multisenter berbasis rumah sakit pada 5 rumah sakit di
Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai berikut : Migren tanpa
aura 10%, Migren dengan aura 1,8%, Episodik Tension type Headache 31%, Chronic
Tension type Headache (CTTH) 24%, Cluster Headache 0.5%, Mixed Headache 14%
(Sjahrir, 2004).
Penelitian berbasis populasi menggunakan kriteria Internasional Headache Society untuk
Migrain dan Tension Type Headache (TTH), juga penelitian Headache in General dimana
Chronic Daily Headache juga disertakan . Secara global, persentase populasi orang
dewasa dengan gangguan nyeri kepala 46% , 11% Migren, 42% Tension Type
Headache dan 3% untuk Chronic daily headache (Stovner dkk 2007).

1.3 Klasifikasi Nyeri Kepala


Dibawah ini adalah klasifikasi nyeri kepala menurut International Headache Society, yaitu
a. Nyeri Kepala Primer
1. Migraine
2. Tension type headache
3. Nyeri kepala cluster dan hemicrania paroksismal kronik
4. Nyeri kepala lain yang tidak berhubungan dengan lesi struktural
b. Nyeri Kepala Sekunder
1. Nyeri kepala karena trauma kepala
2. Nyeri kepala karena kelainan vaskular
3. Nyeri kepala karena kelainan intrakranial non vaskular
4. Nyeri kepala karena pengunaan suatu zat

4
5. Nyeri kepala karena infeksi
6. Nyeri kepala karena kelainan metabolik
7. Nyeri kepala atau nyeri wajah karena kelainan wajah atau struktur kranial
8. Nyeri kepala atau wajah karena kelainan saraf

1.4 Klasifikasi Nyeri Kepala Primer


Klasifikasi nyeri kepala primer sesuai The Intemational Classification of Headache
Disorders, 2nd Edition adalah:
1. Migren
1.1. Migren tanpa aura
1.2. Migren dengan aura
1.3. Sindroma periodik pada anak yang sering menjadi prekursor migren
1.4. Migren Retinal
1.5. Komplikasi migren
1.6. Probable migren
2. Tension-type Headache
2.1. Tension-type headache episodik yang infreguent
2.2 . Tension-type headache episodik yang frequent
2.3 . Tension-type headache kronik
2.4 . Probable tension-type headache
3. Nyeri kepala klaster dan sefalgia trigeminal-otonomik yang lainnya
3.1. Nyeri kepala Klaster
3.2. Hemikrania paroksismal
3.3. Short-lasting unilateral neuralgi form headache with conjunctival injection and
tearing
3.4. Probable sefalgia trigeminalotonomik

2. TENSION TYPE HEADACHE


2.1 Definisi
Nyeri kepala tipe tegang atau tension type headache (TTH) adalah nyeri
kepala yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri kepala bilateral
menekan atau mengikat dengan intensitas ringan sampai sedang. Nyeri tidak
bertambah pada aktifitas fisik rutin, tidak didapatkan mual tapi bisa ada fotofobia
atau fonofobia (Perdossi, 2015). Secara epidemiologi prevalensi TTH pada populasi
5
cukup beragam. Hal ini dikarenakan studi serta desain penelitian yang berbeda dan
disesuaikan dengan demografi tertentu. TTH lebih sering terjadi di Eropa, dengan
tingkat prevalensi mencapai 80%, dibandingkan dengan Asia, yang memiliki tingkat
prevalensi TTH terendah sekitar 20%. Perbedaan jenis kelamin pada TTH memiliki
prevalensi sedikit lebih tinggi pada wanita pada semua umur dibandingkan pria,
dengan rasio wanita : pria berkisar 2 : 1 sampai dengan 3 : 1 ( Chai dkk., 2012).

2.2 Etiologi
Penyebab dari TTH masih belum diketahui secara pasti. Diduga dapat disebabkan
oleh faktor psikis danfisik. Secara psikis, TTH dapat timbul akibat reaksi tubuh terhadap
stres, kecemasan, depresi dan konflik emosional. Sedangkan faktor fisik, seperti posisi
kepala yang menetap dalam jangka waktu lama mengakibatkan kontraksi otot-otot kepala
dan leher, tidur yang kurang, kesalahan dalam posisi tidur dan kelelahan juga dapat
menyebabkan TTH. (Bendtsen dkk, 2010).

2.3 Patofisiologi

Nyeri kepala berkaitan dengan terangsangnya susunan peka nyeri. Nyeri kemudian
timbul setelah melewati proses modulasi sebelum akhirnya dipersepsikan sebagai rasa nyeri
baik melalui mekanisme sensitisasi perifer atau sensitisasi sentral (Fumal dkk, 2008).
Rangsang nyeri kepala bisa disebabkan oleh adanya tekanan, traksi, displacement maupun
proses kimiawi dan inflamasi terhadap nosiseptor-nosiseptor pada struktur peka nyeri di
kepala. Jika struktur peka nyeri tersebut terletak pada ataupun diatas tentorium serebeli,
maka rasa nyeri yang timbul akan terasa menjalar pada daerah didepan batas garis vertikal
yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan melewati puncak kepala (daerah frontotemporal
dan parietal anterior). Rasa nyeri ini ditransmisi oleh saraf trigeminus (Milanov dkk.,2003).
Sedangkan rangsangan terhadap struktur peka nyeri dibawah tentorium (pada fossa kranii
posterior) radik servikalis bagian atas dengan cabang-cabang saraf perifernya akan
menimbulkan nyeri pada daerah dibelakang garis tersebut, yaitu didaerah oksipital,
suboksipital dan servikal bagian atas. Rasa nyeri ini ditransmisi oleh saraf kranial IX, X
dan saraf spinal C1, C-2, dan C-3 (Chen, 2009).

Rangsang nyeri kepala dihantarkan oleh serabut saraf C dan A delta ke kornu
dorsalis dan inti trigeminal di trigemino cervical complex (TCC), kemudian bersinapsis
dengan neuron orde kedua. Pada sinapsis ini terjadi modulasi rangsangan dari nosiseptor
primer dan mekanoreseptor yang berbahaya yang dibawa melalui homosinaptik dan
6
heterosinaptik ke sensitisasi sentral. Pada tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer
menyebabkan pelepasan neuropeptida dan neurotransmiter (substansi P dan glutamat) yang
mengaktifkan reseptor pada membran postsinap, menghasilkan aksi potensial dan mencapai
puncak plastisitasnya sehingga menurunkan ambang nyeri. tetapi pada individu yang rentan,
gangguan ini dapat memicu sinyal nyeri, yang disebabkan oleh sensitisasi sentral. Nyeri
tekan perikranium yang terus menerus yang dibawa oleh serabut saraf C dan A beta yang
bersinapsis di trigemino cervical complex (TCC), menyebabkan terjadinya alodinia dan
hiperalgesia. Intensitas, frekuensi, dan nyeri tekan perikranium yang terus menerus pada
jaringan yang sama dan terjadi perubahan molekul pada pusat yang lebih tinggi di thalamus,
sehingga terjadi sensitisasi sentral pada neuron tersier dan terjadi perubahan pada persepsi
nyeri (Chen, 2009).

Patofisologi TTH secara pasti belum diketahui, namun beberapa penelitian


menyatakan bahwa sensitisasi perifer (nosisepsi dari jaringan miofasial perikranium) dan
sensitisasi sentral (peningkatan rangsangan pada centra lnervus system) memegang peranan
penting pada patofisiologi TTH (Ashina dkk., 2013). Asal nyeri kepala pada TTH sejak dahulu
dikaitkan dengan kontraksi otot yang berlebihan, iskemia, dan radang pada otot-otot kepala
dan leher. Sejumlah studi menunjukkan bahwa jaringan miofasial pada pasien dengan TTH
di katakan lebih nyeri dibandingkan pada kontrol, dan nyeri tekan pada saat palpasi juga
berkaitan dengan intesitas dan frekuensi nyeri pada TTH (Ashina dkk., 2013).

Salah satu teori yang dominan pada patofisiologi TTH adalah adanya inputnosiseptik
dari jaringan miofasial perikranial yang akan meningkatkan eksitabilitas jalur nyeri ke
susunan saraf pusat. Ada dua faktor yang berperan pada proses terjadinya TTH, yaitu: (1)
Faktor perifer, dimana rangsang nyeri diantarkan oleh serabut saraf dengan selubung myelin
tipis (serabut saraf A delta) dan serat tidak bermielin (serabut saraf C). Pada TTH
bermacam stimuli menimbulkan eksitasi dan sensitisasi pada nosiseptor di miofasial yang
akan menyebabkan sensitivitas nyeri. Peregangan gigi, posisi statis saat kerja, mediator
kimia (asam laktat dan piruvat), kontraksi lokal miofasial, tekanan darah yang rendah
(disebut dengan ischemic muscle contraction) dan proses inflamasi bisa menyebabkan
sensitisasi pada nosiseptor nyeri. (2) Faktor sentral, peningkatan sensitisasi miofasial pada
TTH disebabkan oleh faktor sentral yaitu sensitisasi dari neuron orde kedua di kornu
dorsalis medula spinalis atau nukleus trigemini kaudalis (TNC). Sensitisasi supra spinal ini
bersamaan dengan penurunan antinosiseptik dari struktur supra spinal. Dari beberapa studi
memperlihatkan adanya disfungsi sistem modulasi endogen supra spinal pada chronic

7
tension type headache (CTTH), hal ini yang menyebabkan terjadinya sensitisasi sentral
(PERDOSSI, 2015).

Terjadinya TTH juga sering dihubungan dengan kelainan stres psikopatologi, seperti
stres, ansietas dan depresi. Stres mengaktifkan nuclear faktor k-light-chain (NFkB) yang
menyebabkan teraktivasinya inducible nitric oxides ynthase (iNOS) dan cyclooxygenase-2
(COX-2).Seperti diketahui iNOS dan COX-2 berperan dalam proses terjadinya nyeri. Pada
keadaan normal, stres mengaktivasi sistem glucocorticoid adrenal axis, yang diketahui
meningkatkan eksitasi glutaminergik di central nervus system (CNS). Meningkatnya glutamat
ini mengaktifkan reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan melalui jalur second-messenger,
kemudian mengaktifkan NFkB, meningkatkan iNOS dan memproduksi NitricOxide (NO), yang
menyebabkan vasodilatasi dan perubahan oksidatif. Hal ini dapat menyebabkan nyeri kepala
yang disebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial, duramater, dan struktur lainnya, dan
jika terjadi terus menerus dapat menyebabkan TTH dan berpotensi menyebabkan nyeri
pada otot perikranium dengan cara sensitisasi perifer dan sentral. Seperti terlihat pada
gambar 2.1 (Chen, 2009).

8
Gambar 2.1 Patofisologi TTH (Chen, 2009)

2.4 Klasifikasi Tension Type Headache

Berdasarkan Konsensus Nasional Kelompok Studi Nyeri Kepala Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2013, TTH dikelompokkan menjadi:

1. Tension type headache episodic (ETTH) yang infrequent


Nyeri kepala episodik yang infrequent berlangsung beberapa menit sampai beberapa
hari. Nyeri bilateral, rasa menekan atau mengikat dengan intensitas ringan sampai
sedang. Nyeri tidak bertambah pada aktivitas fisik rutin, tidak didapatkan mual tapi bisa
ada fotofobia atau fonofobia.

9
Kriteria Diagnostik
A. Paling tidak terdapat 10 episode serangan dengan rata-rata < 1 hari/bulan (< 12
hari/tahun), dan memenuhikriteria B-D
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari
C. Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral.
2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).
3. Intensitas ringan atau sedang.
4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan atau naik tangga.

D. Tidak didapatkan:

1. Mual atau muntah (bisa anoreksia).

2. Lebih dari satu keluhan: fotofobia atau fonofobia.

E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.

2. Tension type headache episodic (ETTH) yang frequent

Nyeri kepala episodik yang infrequent berlangsung beberapa menit sampai


beberapa hari. Nyeri bilateral, rasa menekan atau mengikat dengan intensitas ringan
sampai sedang. Nyeri tidak bertambah pada aktivitas fisik rutin, tidak didapatkan mual
tapi bisa ada fotofobia atau fonofobia.

Kriteria Diagnostik

A. Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam 1-15 hari/bulan selama paling tidak
3 bulan (12-180 hari/tahun) dan memenuhi kriteria B-D.

B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari.

C. Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:

1. Lokasi bilateral.

2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).

3. Intensitas ringan atau sedang.

4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan atau naik tangga.

10
D. Tidak didapatkan:

1. Mual atau muntah (bisa anoreksia).

2. Lebih dari satu keluhan: fotofobia atau fonofobia.

E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.

3. Tension type headache kronis (CTTH)

Nyeri kepala yang berasal dari ETTH, dengan serangan tiap hari atau serangan
episodik nyeri kepala yang lebih sering yang berlangsung beberapa menit sampai
beberapa hari. Nyeri kepala bersifat bilateral, menekan atau mengikat dalam kualitas
dan intesitas ringan atau sedang, dan nyeri tidak bertambah memberat denga aktivitas
fisik rutin. Kemungkinan terdapat mual, fotofobia atau fonofobia ringan.

Kriteria Diagnostik

A. Nyeri kepala timbul ≥ 15 hari/bulan, berlangsung> 3 bulan (≥180 hari/tahun) dan juga
memenuhi kriteria B-D.

B. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus-menerus.

C. Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:

1. Lokasi bilateral.

2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).

3. Intensitas ringan atau sedang.

4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan atau naik tangga.

D. Tidak didapatkan:

1. Lebih dari satu: fotofobia atau fonofobia atau mual yang ringan.

2. Mual yang sedang atau berat, maupun muntah (bisa anoreksia).

E. Tidak ada kaitan dengan penyakit lain.

11
4. Probable tension type headache

Penderita yang memenuhi satu dari kelompok-kelompok kriteria ini mungkin juga
memenuhi kriteria dari salah satu subform dari probable migren. Dalam hal demikian
semua informasi yang didapat hanya dipakai untuk menentukan kemungkinan mana
yang tepat.

2.5 Penatalaksanaan

Sebagian besar penderita tension-type headache mengobati dirinya sendiri dengan

pengobatan over-the-counter dan tidak memeriksakan diri ke dokter. Saat pengobatan farmakologi

dan non farmakologi berkembang, analgesik yang simpel dan NSAID adalah terapi akut yang

utama.

1. Terapi non farmakologi

Terapi psikofisiologik dan terapi fisik telah dipakai dalam penanganan tension- type

headache. Terapi psikofisiologik dapat terdiri dari penenangan diri dan konseling, penanganan

stres, latihan relaksasi, dan biofeedback. Latihan relaksasi dan latihan biofeedback (sendiri

maupun kombinasi) dapat menghasilkan penurunan aktivitas nyeri sebanyak 50%. Terapi-terapi

fisik yang mendukung, seperti heat atau cold packs, ultrasound, stimulus saraf elektrik,

peregangan, lahraga, pijatan, akupuntur, manipulasi, instruksi ergonomik, dan injeksi triger point

atau blok saraf oksipital.

12
2. Terapi farmakologi

Analgesik simpel (sendiri atau kombinasi dengan kafein) dan NSAID efektif untuk terapi akut

ringan sampai sedang. Asetaminofen, aspirin, ibuprofen, naproxen, ketoprofen, indometasin, dan

ketorolak telah menunjukkan efikasi pada kontrol plasebo dan studi perbandingan. Kegagalan obat-

obatan over-the-counter memerlukan terapi obat yang diresepkan. NSAID dosis tinggi dan

kombinasi aspirin atau asetaminofen dengan butalbital atau kodein merupakan pilihan yang efektif.

Penggunaan kombinasi butalbital dan kodein harus dihindarkan karena kemungkinan dapat

terjadi potensial tinggi dalam penggunaan yang berlebihan dan ketergangtungan. Seperti pada

migrain, medikasi akut harus diberikan untuk tension-type headache episodik tidak lebih dari 2 hari

per minggu untuk mencegah berkembangnya tension-type headache kronis. Tidak terdapat bukti

yang mensupport efikasi dari muscle relaxant (cth. Cyclobenzaprin, baclofen, dan methocarbamal)

pada penanganan tension-type headache episodik. Terapi preventif harus dipertimbangkan jika

frekuensi nyeri (lebih dari 2 minggu), durasi (lebih dari 3-4 jam), atau tingkat beratnya nyeri terjadi

akibat medikasi yang berlebihan dan disabilitas substansial.

Prinsip terapi preventif pada untuk tension-type headache sama dengan prinsip terapi pada

migrain. TCA sering diresepkan sebagai profilaksis, tetapi obat lain juga dapat digunakan setelah

dipertimbangkannya kondisi medis komorbid dan sisi efek sampingnya. Suntikan toxin botulinum

ke dalam otot-otot pericranial telah menunjukkan efikasi sebagai profilaksis tension-type headache

kronis pada dua penelitian kontrol placebo

13
BAB 3

RINGKASAN

Nyeri kepala merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang sering dijumpai
dalam dunia kedokteran. Kurang dari 10% populasi tidak pernah mengalami nyeri kepala, yang berari
lebih dari 90% populasi pernah mengalami nyeri kepala, yang dapat tampil tersendiri maupun sebagai
bagian dari suatu kompleks penyakit. Nyeri kepala tipe tegang atau tension type headache (TTH)
adalah nyeri kepala yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri kepala
bilateral menekan atau mengikat dengan intensitas ringan sampai sedang. TTH di Asia memiliki
tingkat prevalensi terendah sekitar 20%. Perbedaan jenis kelamin pada TTH memiliki prevalensi
sedikit lebih tinggi pada wanita pada semua umur dibandingkan pria, dengan rasio wanita :
pria berkisar 2 : 1 sampai dengan 3 : 1 .

Penyebab dari TTH masih belum diketahui secara pasti. Diduga dapat
disebabkan oleh faktor psikis danfisik. Secara psikis, TTH dapat timbul akibat reaksi tubuh
terhadap stres, kecemasan, depresi dan konflik emosional. Salah satu teori yang dominan
pada patofisiologi TTH adalah adanya inputnosiseptik dari jaringan miofasial perikranial yang
akan meningkatkan eksitabilitas jalur nyeri ke susunan saraf pusat. Dua faktor yang
mempengaruhi patofisiologi TTH adalah (1) Faktor perifer, dimana rangsang nyeri diantarkan oleh
serabut saraf dengan selubung myelin tipis (serabut saraf A delta) dan serat tidak bermielin
(serabut saraf C). (2) Faktor sentral, peningkatan sensitisasi miofasial pada TTH disebabkan
oleh faktor sentral yaitu sensitisasi dari neuron orde kedua di kornu dorsalis medula spinalis
atau nukleus trigemini kaudalis (TNC).

Terapi psikofisiologik dapat terdiri dari penenangan diri dan konseling, penanganan
stres, latihan relaksasi, dan biofeedback. Latihan relaksasi dan latihan biofeedback (sendiri maupun
kombinasi) dapat menghasilkan penurunan aktivitas nyeri sebanyak 50%. Terapi-terapi fisik yang
mendukung, seperti heat atau cold packs, ultrasound, stimulus saraf elektrik, peregangan, lahraga,
pijatan, akupuntur, manipulasi, instruksi ergonomik, dan injeksi triger point atau blok saraf oksipital.
Terapi farmakologi berupa analgesik simpel (sendiri atau kombinasi dengan kafein) dan NSAID
efektif untuk terapi akut ringan sampai sedang

14
DAFTAR PUSTAKA

International Association for the Study of Pain, 2011. Headace Pain. USA

British Association for the Study of Headache, 2010. Guidelines for All Healthcare Professionals
in the Diagnosis and Management of Migraine, Tension Type, Cluster, and Medication
overuse Headache. 3rd publication. United Kingdom

Bendtsen L, Evers S, Linde M et al. EFNS guideline on the treatment of tension-type headache
- report of an EFNS task force. Eur J Neurol 2010; 17:1318-25.

Beithon J, Gallenberg M, Johnson K et al. Diagnosis and treatment of headache. Bloomington,


MN: Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI); 2013.

Chai NC, Rosenberg JD, Lee Peterlin B. The epidemiology and comorbidities of migraine and
tension-type headache. Tech Reg Anesth Pain Manag. 2012;16:4–13.

Chen, Yung. Advances in the pathophysiology of tension-type headache: from stress to central
sensitization. 2009. Curr Pain Headache rep. 2009

Hainer BL, Mathieson EM. Approach to acute headache in adults. Am Fam Physician. 2013; 87:
682-7.

Headache classification Committee of the International Headache Society (IHS). The international
classification of headache disorders, 3rd edition. Cephalalgia 2018; 33: 629-808.

Perdossi. 2013. Konsensus Nasional IV Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala.


Surabaya: Airlangga University Press.

Sjahrir, 2004. Nyeri Kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala. USU Press, p.2. Medan, Indonesia.

Stovner LJ, Hagen K, Jensen R, Katsarava Z, Lipton R, Scher AI, Steiner TJ & Zwart J-A. The
global burden of headache: a documentation of headache prevalence and disability
worldwide. Cephalalgia 2007; 27:193–210. London.

WHO, 2011. Atlas of Headache Disorders and Resources in the World. World Health
Organization. Geneva, Switzerland.

1
Contoh Kasus :

1. Seorang perempuan usia 25 tahun dan merupakan seorang sekertaris dengan tingkat
kesibukan tinggi. Setiap sore hari, dia mengeluhkan nyeri kepala. Kemudian datang ke
tempat praktek anda. Lakukan diagnosis (tulis yang Anda temukan pada saat Aanmnesis,
Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan Neurologis). Menetapkan terapi farmakologis dan non
faramkologis, dan resepnya untuk pemberian 7 hari

Dokter Menanyakan :

Keluhan Utama : Nyeri Kepala


Lokasi Di seluruh kepala dan leher
Sifat Nyeri Nyeri seperti diikat
Lamanya nyeri Nyeri berlangsung sekitar 3
jam – 4 jam
Sejak kapan Setiap sore sejak saya mulai
bekerja sebagai sekertaris

Nyeri memberat saat apa? Nyeri memberat jika merasa


lelah atau pekerjaan
menumpuk
Nyeri membaik saat apa? Membaik setelah tidur
Dipengaruhi oleh aktivitas Tidak dipengaruhi aktivitas
sehari hari seperti berjalan, sehari hari
naik tangga?
Terdapat gangguan Tidak terdapat gangguang
penglihatan atau gangguan penglihatan maupun
pendengaran saat nyeri pendengaran
berlangsung?
Mual dan muntah saat nyeri Tidak ada mual dan muntah
berlangsung?
Konsumsi obat dalam jangka Tidak, hanya kadang
panjang? konsumsi obat untuk maag

2
Keluarga ada yang menderita Ayah saya menderita keluhan
keluhan serupa? serupa.
Sebelumnya pernah sakit? Hanya asam lambung naik
jika telat makan
Dokter memeriksa :
Kesadaran GCS 456
Meningeal sign Kaku kuduk (-), Kernig (-),
Burdzinski 1-4 (-)
Reflek Fisiologis BPR +2 | +2
TPR +2 | +2
KPR +2 | +2
APR +2 | +2
Reflek Patologis Tromner -/-
Hoffman -/-
Babinski -/-
Chaddok -/-
Gonda -/-
Scaeffer -/-
Gordon -/-
Periocipital tenderness (+)
Dokter merencanakan
Pemeriksaan penunjang
Darah Hasil :
Hb : Normal
DL : Normal

Diagnosis Tension Type Headache


Diagnosis Banding Migrain
Nyeri kepala sekunder
Terapi Non Farmakologi Edukasi :
Menghindari pencetus seperti
stress psikis maupun fisik

3
Terapi relaksasi atau
cognitive behavior therapy.
Atau
Biofeedback, terapi stress
management, terapi
konseling
Atau
Fisioterapi
Terapi Farmakologi Analgetik : Ibuprofen 800
mg/hari, acetaminophen 1000
mg/ hari
Cafeine : 65 mg
Kombinasi : Aspirin 325mg +
Cafeine 40 mg
Atau
Acetaminophen 325 mg +
Cafeine 40 mg
Mucsle relaksan :
Diazepam,esperison HCL,
atau baclofen

Anda mungkin juga menyukai