Anda di halaman 1dari 7

Farah Fadhila Nasywa Purnomo

172010101088
RESUME SKEN 1
Fisiologi berkemih
Urin yang telah terbentuk di ginjal melalui serangkaian proses yakni filtrasi,
reabsorbsi, dan sekresi oleh nefron kemudian menuju ke duktus kolektivus kemudian menuju
ke calix minor lalu ke calix mayor dan ke pelvis ginjal lalu disalurkan ke kandung kemih
melalui kontraksi peristaltik otot polos yang terdapat di ureter. Susunan anatomik ureter pars
intramural mencegah aliran balik urine dari kandung kemih ke ginjal ketika tekanan kandung
kemih meningkat. Sewaktu kandung kemih terisi, ujung ureter yang berada di dinding
kandung kemih tertekan hingga menutup, namun urin tetap bisa masuk karena kontraksi dari
ureter menghasilkan cukup tekanan untuk melawan resistensi dan mendorong urin masuk.
Sewaktu pengisian kandung kemih, vesikel-vesikel sitoplasma terbungkus membran
disisipksn melalui proses eksositosis ke permukaan sel, kemudian vesikel-vesikel ini ditarik
ke dalam dengan proses endositosis untuk memperkecil luas permukaan ketika terjadi
pengosongan kandung kemih. Selain itu dinding kandung kemih yang sangat berlipat-lipat
menjadi rata sewaktu pengisian kandung kemih untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan.
Otot polos kandung kemih banyak mengandung serat parasimpatis, yang stimulasinya
menyebabkan refleks berkemih. Namun pintu keluar dari kandung kemih dijaga oleh dua
sfingter, yakni sfingter uretra internum dan sfingter uretra eksternum.
Sfingter adalah otot yang berbentuk cincin yang dapat menutup atau membuka jalan
dari suatu lumen. Sfingter uretra internum merupakan cincin otot polos sehingga tidak berada
di bawah kontrol volunter. Ketika kandung kemih melemas, susunan anatomik regio sfingter
uretra internum akan menutup pintu keluar kandung kemih. Sfingter uretra eksternum
melingkari bagian yang lebih bawah dari uretra dan diperkuat oleh diafrgma pelvis. Dalam
keadaan normal, ketika kandung kemih melemas dan terisi, baik sfingter internum maupun
eksternum menutup untuk menjaga agar urin tidak menetes. Selain itu, karena sfingter urin
eksternum dan diafragma pelvis merupakan otot rangka sehingga berada dibawah kontrol
sadar, orang dapat secara sengaja mengontraksikan keduanya untuk mencegah pengeluaran
urin meskipun kandung kemih berkontraksi dan sfingter uretra internum terbuka.
Miksi atau berkemih merupakan proses pengosongan kandung kemih. Refleks
berkemih dimulai ketika reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang.
Kandung kemih dalam orang dewasa dapat menampung 250 ml hingga 400 ml urine sebelum
tegangan di dindingnya cukup meningkat untuk mengaktifkan reseptor regang. Serat-serat
aferen dari reseptor regang membawa impuls ke korda spinalis dan akhirnya merangsang
saraf parasimpatis untuk kandung kemih dan menghambat neuron motorik ke sfingter
eksternum. Stimulus saraf parasimpatis kandung kemih menyebabkan organ ini berkontraksi.
Perubahan bentuk kandung kemih selama kontraksi secara mekanis akan menarik terbuka
sfingter internum. Secara bersamaan, sfingter eksternum melemas karena neuron-neuron
motoriknya terhambat. Kini kedua sfingter terbuka dan urine terdorong melalui uretra oleh
gaya yang dihasilkan oleh kontraksi kandung kemih.
Persepsi penuhnya kandung kemih muncul sebelum sfingter eksternum secara refleks
melemas, memberi peringatan bahwa miksi akan segera terjadi. Akibatnya kontrol volunter
bekemih yang dipelajari selama toilet training saat anak-anak dapat mengalahkan refleks
berkemih sehingga pengosongan kandung kemih dapat berlangsung sesuai keinginan yang
bersangkutan. Impuls eksitatorik volunter dari korteks serebrum mengalahkan sinyal
inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-neuron motorik yang terlibat sehingga otot-
otot ini tetap berkontraksi dan tidak ada urine yang keluar.
Berkemih tidak dapat ditahan selamanya karena kandung kemih terus terisi, sinyal
refleks dari reseptor regang meningkat seiring waktu. Akhirnya, sinyal inhibitorik refleks ke
neuron motorik sfingter eksternum menjadi sedemikian kuat yg tidak lagi dapat diatasi oleh
sinyal eksitatorik volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak
terkontrol mengosongkan isinya.
Sumber: Sherwood ed 8
Torsio testis
Torsio testis merupakan keadaan gawat darurat berupa rotasi sumbu longitudinal
korda spermatika yang mengakibatkan penyumbatan aliran darah testis. Sebagian besar kasus
akut skrotum pada anak-anak adalah torsio testis, oleh sebab itu seorang anak laki-laki
dengan nyeri skrotum akut harus diasumsikan torsio korda spermatika sampai terbukti tidak.

Gambar torsio testis ekstravaginal (A) dan torsio testis intravaginal (B)
Patofisiologi
Menurut klasifikasinya, torsio testis dibagi menjadi intravaginal dan ekstravaginal.
Baik torsio intravaginal maupun ekstravaginal akan mengakibatkan cedera iskemik testis
yang disebabkan terputarnya testis dalam pedikulus korda spermatika. Studi eksperimen
menunjukkan infark perdarahan testis dimulai 2 jam setelah onset torsio testis, kerusakan
ireversibel terjadi setelah 6 jam, dan infark komplit timbul pada 24 jam.
Penyebab torsio tetis jenis intravaginal adalah kelainan anatomis berupa tunika
vaginalis yang menutupi seluruh testis dan epididimis sehingga penempelan ke skrotum
terganggu. Deformitas ini lebih dikenal dengan istilah “bell clapper” yang ditandai dengan
meningkatnya mobilitas testikular. Torsio testis intravaginal paling sering terjadi saat tidur,
dan akibat trauma.
Torsio testis ekstravaginal paling sering pada kasus torsio fetus dan neonatus. Pada
torsio jenis ini, puntiran korda spermatika terjadi di luar kantung tunika vaginalis pada
skrotum. Fasia spermatika eksterna tidak menempel pada otot dartos, dan baru terbentuk
perlekatan korda spermatika ke skrotum pada 7-10 hari kehidupan.
Diagnosis Banding

1. Epididimitis akut. Penyakit ini secara klinis sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri
skrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh, keluarnya nanah dari
uretra, ada riwayat coitus suspectus (dugaan melakukan senggama dengan bukan
isterinya), atau pernah menjalani kateterisasi uretra sebelumnya. Jika dilakukan
elevasi (pengangkatan) testis, pada epididimitis akut terkadang nyeri akan berkurang
sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada (tanda dari Prehn). Pasien epididimitis
akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada pemeriksaan sedimen urine
didapatkan adanya leukosituria atau bakteriuria.
2. Hernia skrotalis inkarserata, yang biasanya didahului dengan anamnesis didapatkan
benjolan yang dapat keluar dan masuk ke dalam skrotum.
3. Hidrokel terinfeksi, dengan anamnesis sebelumya sudah ada benjolan di dalam
skrotum
4. Tumor testis. Benjolan tidak dirasakan nyeri kecuali terjadi perdarahan di dalam
testis.
5. Edema skrotum yang dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya
pembuntuan saluran limfe inguinal, kelainan jantung, atau kelainan-kelainan yang
tidak diketahui sebabnya (idiopatik)

Diagnosis

1. Anamnesis
Gejala patognomonik torsio testis adalah nyeri unilateral hebat yang mendadak
dirasakan saat istirahat dan sering disertai mual muntah. Mual muntah disebabkan
refleks stimulasi celiac ganglion, merupakan gejala penting penanda efek sistemik
iskemik dalam tubuh. Keluhan nyeri mendadak dan hebat di skrotum, baik saat
istirahat, setelah aktivitas, maupun setelah trauma. Pada anak, seringkali terlambat
mencari pengobatan karena beberapa faktor seperti; anak yang sulit mengeluh, orang
tua yang tidak waspada, dan meremehkan gejala. Keluhan serupa dengan episode
intermiten merupakan tanda torsio testis intermiten.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan, posisi testis abnormal, serta hilangnya
refleks kremaster. Posisi abnormal testis terjadi karena korda spermatika memendek;
puntiran akan menarik testis menjadi lebih tinggi. Pemeriksaan refleks kremaster
dilakukan dengan menggoreskan paha bagian dalam dan ditemukan testis bergerak
naik; hasil positif menandakan aliran darah testis yang baik; jika ada puntiran maka
akan negatif. Edema, indurasi, dan eritema skrotum dapat ditemukan pada derajat
berat. Pemeriksaan tanda Phren dilakukan dengan mengangkat testis, jika nyeri tidak
hilang menandakan keadaan torsio. Pemeriksaan tanda Phren penting untuk
membedakan nyeri disebabkan oleh torsio atau orkitis. Posisi torsio dapat diraba pada
pemeriksaan fisik. Simpul korda terpalpasi dengan mengidentifikasi bagian atas testis
dan kepala epididimis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang paling penting adalah USG Doppler (DUS) dan
Radionuclide Scrotal Imaging (RNSI) untuk menilai perfusi testis dan apakah testis
masih viabel. Colour DUS menunjukkan “spiraling”(whirlpool) atau puntiran
pembuluh pada topografi korda spermatika. DUS torsio testis ditandai dengan
pembesaran sferis, dan hipoekogenik testis yang menandakan adanya gangguan aliran
darah arteri dan vena testikular yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya warna
Doppler. Adanya aliran tidak dapat menyingkirkan torsio testis; durasi torsi, jumlah
torsi pada korda spermatika dan kekuatan belitan akan mempengaruhi pemeriksaan
DUS. Kekurangan pemeriksaan ini selain tergantung operator, adanya aliran darah
perifer pada torsio awal daan torsio-detorsio sering membingungkan.

Tatalaksana
1. Detorsi Manual
Detorsi secara manual dilakukan dengan sedasi intravena atau anestesi korda
spermatika. Detorsi dapat dilakukan dengan rotasi dari arah kadual ke kranial
dilanjutkan medial ke lateral, putaran sebesar 180 derajat atau sebanyak 3 putaran
dilaporkan cukup. Detorsi dilanjutkan jika rasa nyeri tidak meningkat dan tanpa
tahanan. Keberhasilan detorsi ditandai dengan hilangnya keluhan nyeri. Sekalipun
detorsi manual berhasil, tetap dibutuhkan tindakan operatif yaitu orkidopeksi segera,
dan pemeriksaan biopsy.
2. Ekssplorasi Surgikal
Tindakan operasi segera dibutuhkan dalam semua kasus akut skrotum jika
diagnosis sudah ditegakkan dengan DUS atau diagnosis belum jelas, karena viabilitas
testis sangat bergantung durasi torsio. Detorsi dalam 4-8 jam umumnya merupakan
interval yang paling optimal untuk menyelamatkan testis. Operasi setelah interval
waktu tersebut kemungkinan besar adalah orkiektomi dengan komplikasi penurunan
fertilitas dan fungsi hormonal. Pasien yang datang 24 jam setelah onset, tidak
memerlukan operasi segera melainkan operasi elektif. Eksplorasi surgikal tetap
dilakukan dalam semua kasus torsio testis. Pada eksplorasi, dilakukan derotasi
surgikal korda spermatika dan testis, beserta penilaian viabilitas testis setelah detorsi.
Orkidektomi jika testis nekrosis dan non viabel. Orkidektomi dilakukan dengan
orkidopeksi testis kontralateral. Jika testis viabel setelah detorsi, maka dilakukan
orkidopeksi bilateral. Orkidopeksi menjahit tunika albuginea ke otot dartos dengan
benang tidak diserap. Selain itu insisi tunika albuginea juga dilakukan untuk
mencegah terjadinya sindrom kompartemen testis paska operasi. Pada eksplorasi
surgikal, 1/3 kasus torsio testis ditemukan sudah mati dan dilakukan orkiektomi.
Pada testis yang diselamatkan, kerusakan testis tetap ditemukan disertai
penurunan ukuran testis. Pemeriksaan antibodi antrisperma dan inhibin B dapat
digunakan sebagai marker fungsi testis setelah operasi. Setelah eksplorasi atau detorsi,
testis ditutup dengan kasa hangat selama 10-15 menit dan menilai tanda-tanda
reperfusi testis.

Prognosis
Makin cepat diagnosis ditegakkan, Penyebab orkidektomi terbanyak adalah
terlambatnya diagnosis. Angka orkidektomi adalah 9% pada 6 jam. Iskemi testis akan
berujung pada atrofi testis. Setelah torsio, 36-39% laki-laki akan memiliki konsentrasi sperma
di bawah 20 juta/mL. Pada torsio unilateral, testis kontralateral juga dapat terganggu karena
cedera reperfusi-iskemik setelah torsi-detorsi testis atau proses autoimun setelah ruptur barier
hematotestikular yang berujung pada formasi antibodi anti-sperma yang menjadi penyebab
atrofi dan infertilitas. Penurunan aliran darah terjadi juga pada testis kontralateral. Preservasi
testis dikatakan berbahaya bagi testis kontralateral. Antibodi antisperma akan berkembang
setelah torsio. Pada kelompok usia perinatal, testis tidak dapat lagi diselamatkan, sedangkan
pada kelompok usia postnatal eksplorasi surgikal segera sangat diperlukan. Torsio rekuren
dapat terjadi beberapa tahun setelah orkiektomi dan orkidopeksi.
Sumber :
1. Dasar dasar urologi basuki
2. Kusumajaya, C.2018. Diagnosis dan Tatalaksana Torsio Testis. CDK-269 vol 45 (10)
: 736-739

Anda mungkin juga menyukai