PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Letak geografis Negara Republik Indonesia yang dilalui oleh dua lempeng benua yaitu
lempeng Eurasian dan lempeng Indo-Australia, sehingga dapat dikatakan negara Republik
Indonesia berada di wilayah rawan bencana alam. Jika aliran konveksi panas pada mantel bumi
meningkat, maka lempang bumi akan bergerak. Pergerakan dua lempang tersebut dapat saling
bertumbukan atau saling menjauhi. Akibat pergeseran tersebut dapat menyebabkan terjadinya
bencana alam gempabumi yang dapat menimbulkan banyak korban jiwa (BNPB, 2014).
Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
masyarakat baik yang disebabkan oleh faktor alam atau non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda
dan dampak psikologis (Undang-Undang No. 24 Tahun 2007). Salah satu bencana yang
mengancam kehidupan adalah gempa bumi. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang
terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif,
akitivitas gunung api atau runtuhan batuan (Bakornas PB, 2007).
Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), selama Januari hingga
Agustus 2016, rata-rata terjadi 379 gempa bumi dengan rentang 3 skala richter hingga 9,5 skala
richter setiap bulannya.Gempa bumi tektonik yang berpusat di bawah laut merupakan salah
satu penyebab terjadinya tsunami (BMKG, 2012). Tsunami adalah serangkaian gelombang
ombak laut raksasa yang timbul karena adanya pergesaran di dasar laut akibat gempa bumi
(Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007). Selama 2004 hingga 2010 terjadi sebanyak lima
tsunami diantaranya di Aceh (Desember 2004), Nias (2005), Jawa Barat (2006), Bengkulu
(2007), dan Mentawai (2010) (Katalog Tsunami-BMKG, 2010 dalam BMKG, 2012).
Tingginya frekuensi gempa bumi yang terjadi di Indonesia, menyebabkan masyarakat di
Indonesia sangat rentan terdampak gempa bumi dan tsunami. Selain karena faktor geografis,
kondisi demografis, sosial dan ekonomi di Indonesia turut berkontribusi pada tingginya tingkat
kerentanan masyarakat dalam menangani bencana (Ariantoni, Paresti, Hidayati, 2009).
Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia, juga sering mengalami gempa. Selama
Desember 2013 hingga Desember 2016, terjadi 40 gempa bumi dengan rentang kekuatan 3 SR
sampai 4,9 SR, (InaTEWS-BMKG, 2016). Dalam kurun waktu tiga tahun tersebut,Buleleng
mengalami 12kali gempa bumi, disusul Karangasem sebanyak sembilan kali gempa bumi,
Tabanan mengalami lima kali gempa bumi, Jembrana mengalami empat kali gempa bumi,
Denpasar mengalami dua kali gempa bumi sedangkan Gianyar, Bangli dan Badung masing-
masing mengalami satu kali gempa bumi, (InaTEWS-BMKG, 2016). Klungkung sebagai salah
satu kabupaten di Bali, merupakan salah satu daerah yang berpotensi tinggi mengalami
kejadian gempa bumi, (Bappeda Bali dan PPLH UNUD, 2006). Selain itu, Klungkung
merupakan peringkat ke-10 daerah rawan gempa dan tsunami di Indonesia dan peringkat
pertama di Bali pada tahun 2011, (Kurniawan, dkk., 2011). Kabupaten Klungkung mengalami
lima gempa bumi dengan rentang kekuatan 3 SR sampai 3,8 SR selama Desember 2013 hingga
Desember 2016 dan tigagempa bumi tersebut berpusat di tengah laut, (BMKG, 2016). Pesisir
pantai Kabupaten Klungkung khususnya di Kecamatan Dawan merupakan wilayah yang
berpotensi tinggi terkena dampak kejadian tsunami yang melanda daerah tersebut, (GITEWS,
2010; Bappeda Bali dan PPLH UNUD, 2006).Klungkung berpotensi tinggi mengalami gempa
bumi dan tsunami sehingga diperlukan suatu kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
Bencana yang terbaru terjadi yaitu erupsi gunung agung. Adanya peningkatan aktivitas
vulkanik dari kegempaan yang terus meningkat maka status Gunung Agung di Kabupaten
Karangasem Provinsi Bali dinaikkan dari Siaga (Level 3) menjadi Awas (Level 4) oleh
PVMBG Badan Geologi. Level Awas adalah level tertinggi dalam status gunungapi. Ratusan
gempa vukanik baik dangkal maupun dalam terjadi (BNPB, 2017).
Kesiapsiagaan terhadap bencana harus diimplementasikan di setiap sektor yang ada mulai
dari sektor rumah tangga, sektor pariwisata, hingga sektor pendidikan. Sektor pendidikan
merupakan salah satu media yang tepat untuk membangun budaya kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana, (Konsorsium Pendidikan Bencana, 2011). Upaya yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor
24 Tahun 2007 mengenai penanggulanan bencana yang menjadi tonggak sejarah dalam upaya
penanggulangan bencana di Indonesia. Sebagai implementasi terhadap Undang-Undang
tersebut, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB) melalui
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 dan diikuti dengan pembentukan Badan
Penanggulanan Bencana Daerah di setiap provinsi dan kabupaten di Indonesia.Pemerintah juga
melakukan pendidikan dan pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,
kepedulian, kemampuan, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008.
Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia juga memberikan edaran kepada
gubernur, bupati dan walikota se-Indonesia perihal pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana di sekolah yang tertuang dalam surat edaran No. 70a/MPN/SE/2010. Untuk
mendukung pelaksanaan Sekolah/Madrasah Aman Bencana (SMAB), secara khusus telah
diterbitkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pembangunan Sekolah dan
Madrasah Aman Bencana. Hingga November 2016, Bali memiliki empat sekolah siaga
bencana diantaranya SMPN 6 Negara, SMPN 2 Blahbatuh, SMPN 3 Bangli dan SMPN 2
Tabanan, (BPBD Provinsi Bali, 2016).
Penelitian Adiyoso dan Hidehiko (2013) menyebutkan bahwa penerapan kurikulum
berbasis bencana dapat meningkatkan sikap kesiapsiagaan siswa. Chairummi (2013)
menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan siswa SD mempunyai pengaruh terhadap tingkat
kesiapsiagaan dalam menghadapi gempa bumi.
Penelitian Cindrawaty & Purborini (2015) menyatakan bahwa tingkat kesiapsiagaan siswa
terhadap bahaya lahar dingin di daerah Magelang masih sangat kurang meskipun sudah
diadakannya kampanye “1 juta sekolah dan rumah sakit aman” di daerah tersebut. Dalam
penelitian Chairummi. (2013) menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan siswa SD mempunyai
pengaruh terhadap tingkat kesiapsiagaan dalam menghadapi gempa bumi.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: “Bagaimana efektifitas pengembangan kesiapsiagaan bencana dengan bermain
di Desa Pejeng Kangin Kecamatan Tampaksiring, Gianyar?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan pelayanan kesehatan berupa penyuluhan kesiapsiagaan bencana berbasis
keluarga dan simulasi kesiapsiagaan bencana kepada anak sekolah dasar dengan metoda
bermain di Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampak Siring, Gianyar
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pengetahuan kesiapsiagaan bencana kepada keluarga dan anak sekolah
dasar di Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampak Siring, Gianyar
b. Menilai peningkatan pengetahuan kesiapsiagaan bencana kepada keluarga dan anak
sekolah dasar di Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampak Siring, Gianyar
c. Melakukan penyuluhan berbasis keluarga mengenai bencana di Desa Pejeng Kangin,
Kecamatan Tampak Siring, Gianyar
d. Mensimulasikan kesiapsiagaan bencana kepada anak sekolah dasar dengan metoda
bermain di Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampak Siring, Gianyar
D. Manfaat
Hasil kegiatan ini diharapkan dapat membantu masyarakat khususnya keluarga dan
siswa SD dalam menghadapi bencana. Juga diharapkan menjadi sumber atau awal
terbentuknya kesiapsiagaan keluarga dan sekolah dasar dalam menghadapi bencana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kesiapsiagaan Bencana di Keluarga
Kesiapan dan ketrampilan masyarakat, khususnya keluarga adalah kunci utama
keselamatan dalam menghadapi kedaruratan bencana. Gempa bumi tidak membunuh manusia,
namun justru struktur bangunan dan terbatasnya pemahaman karakteristik bencana di
lingkungan masing-masing yang dapat mengancam keselamatan manusia (BNPB, 2018)
Diri kita, keluarga dan komunitas merupakan elemen terdepan dalam menghadapi
bencana. Kesiapsiagaan yang melekat pada elemen tersebut menjadi pondasi ketangguhan
negara terhadap bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai bahwa
kesiapsiagaan diri (individu) dan keluarga menjadi begitu penting. Individu sebagai bagian dari
keluarga diharapkan memiliki rencana kesiapsiagaan bencana. Sehubungan dengan rencana
tersebut, kesepakatan pada saat prabencana perlu dibuat bersama oleh seluruh anggota keluarga
agar mereka lebih siap menghadapi situasi ketika darurat bencana (BNPB, 2018)
Pada situasi darurat diperlukan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat untuk
mengurangi risiko. Seluruh anggota keluarga harus membuat kesepakatan bersama agar lebih
siap menghadapi situasi darurat bencana. Rencana kesiapsiagaan keluarga (family
preparedness plan) harus disusun dan dikomunikasikan dengan anggota keluarga di rumah,
kerabat yang ada dalam daftar kontak darurat, serta mempertimbangkan sistem yang diterapkan
lingkungan sekitar dan pihak berwenang.
b. Persiapan di Lingkungan
1) Menyelaraskan rencana kedaruratan keluarga kita dengan tetangga, lingkungan RT,RW
dan Kelurahan (sistem peringatan dini, jalur evakuasi, titik kumpul, serta bantuan
kedaruratan).
a) Sepakati sarana dan bunyinya sebagai tanda terjadi gempabumi di lingkungan tempat
tinggal kita, contoh kentongan.
b) Sepakati jalur evakuasi dan lengkapi dengan rambu-rambu evakuasi.
c) Sepakati titik kumpul yang aman, yang berada di tempat terbuka yang jauh dari
bangunan tinggi, tiang listrik, tiang telepon, papan reklame, serta relatif mudah diakses
untuk keperluan pertolongan kedaruratan.
2) Mengadakan pelatihan dan simulasi perlindungan diri serta evakuasi menghadapi
gempabumi yang diikuti seluruh anggota keluarga lingkungan tempat tinggal kita
Meningkatkan
pemahaman dan
Simulasi
kesigapan anak dalam
kesiapsiagaan
penyelamatan diri saat
bencana
simulasi bencana
Mendukung sekolah
siapsiaga bencana
Ket :
Gambar 1
C. Metode Pelaksanaan
Pengabdian masyarakat dilakukan dengan metoda memberikan penyuluhan kesiapsiagaan
bencana kepada KK yang diajadikan sampel di Desa Pejeng Kangin. Sedangkan simulasi
dilakukan dengan metoda bermain pada anak SD 3 Pejeng Kangin. Sebelum diberikan
simulasi, siswa diberikan penyuluhan mengenai kesiapsiagaan gempa bumi dan cara bermain
dalam simulasi. Permainan yang pakai yaitu permainan tradisional “meong-meongan”.
Permainan tersebut dimodifikasi tertentu sehingga menciptakan kondisi bencana. Dalam
permainan tersebut ada 1 orang yang menjadi “Meong” yang akan menangkap tikus yang salah
mencari tempat perlindungan saat gempa terjadi. Terpilih juga 8 orang menjadi “bikul” yang
diumpamakan masyarakat yang terkena dampak bencana gempa bumi untuk mencari tempat
berlindung. Sisanya berkeliling mengelilingi “bikul” yang berada ditengah lingkaran pada
punggungnya diberi tulisan “dapur, jendela, kolong meja, lemari kaca, pintu dan lainnya”.
Permainan dimulai dengan menyanyikan lagu “meong-meong”. Saat lagu sampai pada “juk-
meng, juk-kul” pemeran “meong” akan berusaha untuk menangkap “bikul”. “Bikul” pun akan
lari menuju tempat perlindungan sesuai tulisan punggung peserta lainnya. Dan terakhir “bikul”
harus mencapai titik aman berkumpul baru dikatakan selamat. Setelah permainan tersebut
diadakan diskusi. Permainan dilanjutkan dengan mengganti pemeran.
D. Sasaran
Sasaran kegiatan ini adalah keluarga yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan
mengenai kesiapsiagaan bencana dan siswa kelas 4, 5, dan 6 sekolah dasar di Desa Pejeng
Kangin, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Gianyar merupakan salah satu kabupaten yang
berisiko terjadi Gempa Bumi. Sasaran yang direncanakan adalah sekitar 20 KK dan 40 orang
yang berasal dari perwakilan SD di Desa Pejeng Kangin
H. Penilaian Kegiatan
Penilaian kegiatan pengabdian masyarakat dilakukan mulai dari proses dan hasil. Hasil
penilaian kegiatan tersebut dipaparkan dalam tabel berikut:
Tabel 1
Hasil Evaluasi Pengabdian Masyarakat di SD 3 Pejeng Kangin
NO Kegiatan Kriteria Evaluasi Capaian/hasil
1 Identifikasi Kehadiran Sasaran berjumlah 40 orang
kemampuan sasaran hadir dalam identifikasi
kesiapsiagaan tersebut
bencana Jumlah sasaran 100% sasaran teridentifikasi
yang
teridentifikasi
2 Penyuluhan Kehadiran Sasaran berjumlah 40 orang
tentang sasaran hadir dalam penyuluhan
kesiapsiagaan tersebut
bencana Keaktifan 80% sasaran aktif dalam
sasaran proses penyuluhan
3 Simulasi Kehadiran Sasaran berjumlah 40 orang
kesiapsiagaan hadir dalam pelatihan
bencana Keaktifan 80% sasaran aktif dalam proses
sasaran pelatihan