Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit kejiwaan, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa adalah gangguan
yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit mental adalah
gangguan otak yang ditandai ooleh tegangguanya emosi. Proses berfikir,
perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indra), penyakit mental ini
menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita(dan keluarga).
Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi-
manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan
kinerja yang buruk, dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis,
genetik, fisis, atau kimiawi.
Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan tidak beres yang berhakikatkan
penyimpangan dari suatu konsep normatif. Setiap jenis ketidakberesan
kesehatan itu memiliki tanda-tanda dan gejala-gejala yang khas.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apayang dimaksud dengan Komunikasi pada Pasien Dengan Gangguan
Fisik terutama yang Mengalami Masalah Psikososial?
2. Apayang dimaksud dengan Komunikasi pada Pasien Gangguan Jiwa?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk Mengetahui Komunikasi pada Pasien Dengan Gangguan Fisik
terutama yang Mengalami Masalah Psikososial.
2. Untuk Mengetahui Komunikasi pada Pasien Gangguan Jiwa.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KOMUNIKASI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN FISIK


a. Komunikasi pada Klien dengan Gangguan Penglihatan
1. Klien dengan Gangguan Penglihatan
Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan
organ, misalnya kerusakan kornea, lensa mata, kekeruhan humor
viterius, dan kerusakan saraf penghantar impuls menuju otak.
Kerusakan di tingkat persepsi antara lain dialami klien dengan
kerusakan otak. Semua ini mengakibatkan penurunan visus hingga
dapat menyebabkan kebutaan, baik parsial maupun total. Akibat
kerusakan visual, kemampuan menangkap rangsang ketika
berkomunikasi sangat bergantung pada pendengaran dan sentuhan.
Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan harus mengoptimalkan
fungsi pendengaran dan sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat
mungkin harus digantikan oleh informasi yang dapat ditransfer
melalui indra yang lain.
2. Teknik Komunikasi dengan Klien yang Mengalami Gangguan
Penglihatan
Berikut adalah teknik-teknik yang perlu diperhatikan selama
berkomunikasi dengan klien yang mengalami gangguan
penglihatan.
a. Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat klien bila ia
mengalami kebutaan parsial atau sampaikan secara verbal
keberadaan atau kehadiran perawat ketika berada didekatnya.
b. Identifikasi diri perawat dengan menyebutkan nama dan tugas.
c. Berbicara menggunakan nada suara normal karena kondisi klien
tidak memungkinkanya menerima pesan verbal secara visual.
Nada suara memegang peranan besar dan bermakna bagi klien.

2
d. Terangkan alasan ketika akan menyentuh atau mengucapkan
kata-kata sebelum melakukan sentuhan pada klien
e. Informasikan kepada klien ketika akan meninggalkanya atau
memutus komunikasi Orientasikan klien dengan suara-suara
yang terdengar disekitarnya.
f. Orientasikan klien pada lingkunganya bila klien dipindah ke
lingkungan atau ruangan yang baru.
3. Syarat-syarat Komunikasi pada Klien dengan Gangguan
Penglihatan
Ketika melakukan komunikasi terapeutik dengan klien dengan
gangguan sensori penglihatan, perawat dituntut untuk menjadi
komunikator yang baik sehingga terjalin hubungan terapeutik yang
efektif antara perawat dan klien, untuk itu syarat yang harus dimiliki
oleh perawat dalam berkomunikasi dengan klien yang mengalami
gangguan sensori penglihatan adalah sebagai berikut:
a. Adanya kesiapan, maksudnya yaitu pesan atau informasi, cara
penyampaian, dan saluarannya harus dipersiapkan terlebih
dahulu secara matang.
b. Kesungguhan, artinya apapun wujud dari pesan atau informasi
tersebut tetap harus disampaikan secara sungguh-sungguh atau
serius.
c. Ketulusan, artinya sebelum individu memberikan informasi atau
pesan kepada indiviu lain, pemberi informasi harus merasa
yakin bahwa apa yang disampaikan itu merupakan sesuatu yang
baik dan memang perlu serta berguna.
d. Kepercayaan diri, artinya jika perawat mempunyai kepercayaan
diri maka hal ini akan sangat berpengaruh pada cara
penyampaian pesan kepada pasien.
e. Ketenangan, artinya sebaik apapun dan sejelek apapun pesan
yang akan disampaikan, perawat harus bersifat tenang, tidak

3
emosi maupun memancing emosi pasien, karena dengan adanya
ketenangan maka informasi akan lebih jelas, baik dan lancar.
f. Keramahan, artinya bahwa keramahan ini merupakan kunci
sukses dari kegiatan komunikasi, karena dengan keramahan
yang tulus tanpa dibuat-buat akan menimbulkan perasaan
tenang, senang dan aman bagi penerima.
g. Kesederhanaan, artinya di dalam penyampaian informasi,
sebaiknya dibuat sederhana, baik bahasa, pengungkapan dan
penyampaiannya. Meskipun informasi itu panjang dan rumit
akan tetapi kalau diberikan secara sederhana, berurutan dan jelas
maka akan memberikan kejelasan informasi dengan baik.
4. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Komunikasi pada
Klien Gangguan Penglihatan.
Agar komunikasi dengan orang dengan gangguan sensori
penglihatan dapat berjalan lancar dan mencapai sasarannya, maka
perlu juga diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Pertimbangkan isi dan nada suara
b. Periksa lingkungan fisik
c. Perlu adanya ide yang jelas sebelum berkomunikasi
d. Komunikasikan pesan secara singkat
e. Komunikasikan hal-hal yang berharga saja.
f. Dalam merencanakan komunikasi, berkonsultasilah dengan
pihak lain agar memperoleh dukungan.
b. Komunikasi pada Klien dengan Gangguan Pendengaran
1. Klien dengan Gangguan Pendengaran
Pada klien dengan gangguan pendengaran, media komunikasi yang
paling sering digunakan adalah media visual. Klien menangkap pesan
bukan dari suara yang di keluarkan orang lain, tetapi dengan
mempelajari gerak bibir lawan bicaranya. Kondisi visual menjadi
sangat penting bagi klien, sehingga dalam melakukan komunikasi,

4
upayakan supaya sikap dan gerakan anda dapat ditangkap oleh indra
visualnya.
2. Teknik Komunikasi dengan Klien yang Mengalami Gangguan
Pendengaran
Berikut adalah tehnik-tehnik komunikasi yang dapat digunakan klien
dengan pendengaran:
a. Orientasikan kehadiran diri perawat dengan cara menyentuh klien
atau memposisikan diri di depan klien.
b. Usahakan menggunakan bahasa yang sederhana dan bicaralah
dengan perlahan untuk memudahkan klien membaca gerak bibir.
c. Usahakan berbicara dengan posisi tepat di depan klien dan
pertahankan sikap tubuh dan mimik wajah yang lazim.
d. Jangan mengunyah sesuatu misalnya makanan atau permen karet
saat melakukan pembicaraan.
e. Gunakan bahasa pantomim bila memungkinkan dengan gerakan
sederhana dan perlahan.
f. Gunakan bahasa isyarat atau bahasa jari bila perawat bisa dan jika
diperlukan.
g. Apabila ada sesuatu yang sulit untuk dikomunikasikan, cobalah
sampaikan pesan dalam bentuk tulisan atau gambar.
h. Jika klien memakai alat bantu dengar dan masih memiliki
kesulitan mendengar, periksa alat bantu dengar meliputi apakah
alat bantu dengar terpasang, sudahkah dihidupkan, disesuaikan
dan memiliki baterai yang bekerja. Jika hal-hal ini sudah diperiksa
tetapi klien masih memiliki kesulitan mendengarmaka hal yang
perlu dilakukan yaitu cari tahu kapan klien terakhir melakukan
evaluasi pendengaran
i. Jauhkan tangan dari wajah saat berbicara
j. Mengurangi atau menghilangkan kebisingan sebanyak mungkin
ketika melakukan pembicaraan
k. Bicaralah dengan cara yang normal tanpa berteriak.

5
l. Pastikan pencahayaan tidak tepat bersinar di mata orang tuna
rungu
m. Jika klien mengalami kesulitan memahami pesan, temukan cara
yang berbeda untuk mengatakan hal yang sama, bukan
mengulangi kata-kata
n. Gunakan bahasa sederhana, kalimat singkat untuk membuat pesan
lebih mudah dimengerti
o. Menulis pesan jika perlu
p. Jangan terburu-buru
3. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan pada Klien dengan Gangguan
Pendengaran
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum berkomunikasi dengan
klien yang mengalami gangguan pendengaran adalah sebagai berikut:
a. Periksa adanya bantuan pendengaran dan kaca mata
b. Kurangi kebisingan
c. Dapatkan perhatian klien sebelum memulai pembicaraan
d. Berhadapan dengan klien dimana ia dapat melihat mulut anda
e. Jangan mengunyah permen karet
f. Bicara pada volume suara normal, jangan berteriak
g. Susun ulang kalimat jika klien salah mengerti
h. Sediakan penerjemah bahasa isyarat jika diindikasikan
c. Komunikasi pada Klien dengan Gangguan Wicara
1. Klien dengan Gangguan Wicara
Gangguan wicara dapat terjadi akibat kerusakan organ lingual,
kerusakan pita suara, ataupun gangguan persyarafan. Berkomunikasi
dengan klien dengan gangguan wicara memerlukan kesabaran supaya
pesan dapat dikirim dan ditangkap dengan benar. Klien yang
mengalami gangguan wicara umumnya telah belajar berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa isyarat atau menggunakan tulisan dan
gambar.

6
2. Teknik Komunikasi pada Klien dengan Gangguan Wicara
Teknik dalam berkomunikasi dengan klien gangguan wicara adalah
sebagai berikut:
a. Dengarkan dengan penuh perhatian, kesabaran, dan jagan
menginterupsi
b. Ajukan pertanyaan sederhana yang hanya membutuhkan jawaban
“ya” dan “tidak”.
c. Berikan waktu untuk terbentuknya pemahaman dan respon.
d. Gunakan petunjuk visual ( kata-kata, gambar, dan objek ) jika
mungkin.
e. Hanya ijinkan satu orang untuk berbicara pada satu waktu.
f. Jangan berteriak atau berbicara terlalu keras.
g. Beritahu klien jika anda tidak mengerti.
h. Bekerja sama dengan ahli terapi bicara jika dibutuhkan.
3. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan pada Klien dengan Gangguan
Wicara
Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut:
a. Perawat benar-benar dapat memperhatikan mimik dan gerak
bibir klien.
b. Usahakan memperjelas hal yang disampaikan dengan
mengulang kembali kata-kata yang diucapkan klien.
c. Mengendalikan pembicaraan supaya tidak membahas terlalu
banyak topik.
d. Mengendalikan pembicaraan sehingga menjadi lebih rileks dan
pelan.
e. Memperhatikan setiap detail komunikasi sehingga pesan dapat
diterima dengan baik.
f. Apabila perlu, gunakan bahasa tulisan dan simbol.
g. Apabila memungkinkan, hadirkan orang yang terbiasa
berkomunikasi lisan dengan klien untuk menjadi mediator
komunikasi.

7
4. Alat Bantu untuk Berkomunikasi dengan Klien Gangguan
Wicara
Berikut ada;ah alat bantu yang digunakan untuk berkomunikasi
dengan klien gangguan wicara:
a. Papan tulis dan spidol
b. Papan komunikasi dengan kata, huruf, atau gambar yang umum
untuk menunjukkan kebutuhan dasar
c. Alarm pemanggil
d. Bahasa isyarat
e. Penggunaan kedipan mata atau gerakan jari untuk respon
sederhana (“ya” dan “tidak”)
d. Komunikasi pada Klien dengan Gangguan Kesadaran
Menurut Pastakyu (2010), cara berkomunikasi dengan klien dalam
proses keperawatan adalah berkomunikasi terapeutik. Pada klien tidak
sadar, perawat juga perlu menggunakan komunikasi terapeutik walaupun
pada pasien tidak sadar ini kita tidak menggunakan keseluruhan teknik.
Dimana, komunikasi teraputik tersebut merupakan suatu komunikasi
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan
untuk kesembuhan klien (Damaiyanti, 2008).
Komunikasi tersebut tetap dilakukan karena pasien tidak sadar
terganggu pada fungsi utama mempertahankan kesadaran, tetapi klien
masih dapat merasakan rangsangan pada pendengarannya. Selain itu juga,
karena fungsi sensorik dan motorik pasien mengalami penurunan
sehingga seringkali stimulus dari luar tidak dapat diterima klien dan klien
tidak dapat merespons kembali stimulus tersebut. Etika penghargaan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan mengharuskan penerapan komunikasi
pada klien gangguan kesadaran.
1. Fungsi komunikasi dengan pasien tidak sadar
Komunikasi dengan klien dalam proses keperawatan memiliki
beberapa fungsi, yaitu:
a. Mengandalikan prilaku

8
Pada klien yang tidak sadar, karakteristik pasien ini adalah
tidak memiliki respon dan klien tidak ada prilaku, jadi
komunikasi dengan pasien ini tidak berfungsi sebagai
pengendali prilaku. Secara tepatnya pasien hanya memiliki satu
prilaku yaitu pasien hanya berbaring, imobilitas dan tidak
melakukan suatu gerakan yang berarti. Walaupun dengan
berbaring ini pasien tetap memiliki prilaku negatif yaitu tidak
bisa mandiri.
b. Perkembangan Motivasi
Pasien tidak sadar terganggu pada fungsi utama
mempertahankan kesadaran, tetapi klien masih dapat merasakan
rangsangan pada pendengarannya. Perawat dapat menggunakan
kesempatan ini untuk berkomunikasi yang berfungsi untuk
pengembangan motivasi pada klien. Motivasi adalah pendorong
pada setiap klien, kekuatan dari diri klien untuk menjadi lebih
maju dari keadaan yang sedang ia alami. Fungsi ini akan terlihat
pada akhir, karena kemajuan pasien tidak lepas dari motivasi
kita sebagai perawat, perawat yang selalu ada di dekatnya
selama 24 jam. Mengkomunikasikan motivasi tidak lain halnya
dengan pasien yang sadar, karena klien masih dapat mendengar
apa yang dikatakan oleh perawat.
c. Pengungkapan Emosional
Pada pasien tidak sadar, pengungkapan emosional klien
tidak ada, sebaliknya perawat dapat melakukannya terhadap
klien. Perawat dapat berinteraksi dengan klien. Perawat dapat
mengungkapan kegembiraan, kepuasan terhadap peningkatan
yang terjadi dan semua hal positif yang dapat perawat katakan
pada klien. Pada setiap fase kita dituntut untuk tidak bersikap
negatif terhadap klien, karena itu akan berpengaruh secara tidak
langsung/langsung terhadap klien. Sebaliknya perawat tidak
akan mendapatkan pengungkapan positif maupun negatif dari

9
klien. Perawat juga tidak boleh mengungkapkan kekecewaan
atau kesan negatif terhadap klien. Pasien ini berkarakteristik
tidak sadar, perawat tidak dapat menyimpulkan situasi yang
sedang terjadi, apa yang dirasakan pada klien pada saat itu. Kita
dapat menyimpulkan apa yang dirasakan klien terhadap apa
yang selama ini kita komunikasikan pada klien bila klien telah
sadar kembali dan mengingat memori tentang apa yang telah
kita lakukan terhadapnya.
d. Informasi
Fungsi ini sangat lekat dengan asuhan keperawatan pada
proses keperawatan yang akan kita lakukan. Setiap prosedur
tindakan keperawatan harus dikomunikasikan untuk
menginformasikan pada klien karena itu merupakan hak klien.
Klien memiliki hak penuh untuk menerima dan menolak
terhadap tindakan yang akan kita berikan. Pada pasien tidak
sadar ini, kita dapat meminta persetujuan terhadap keluarga, dan
selanjutnya pada klien sendiri. Pasien berhak mengetahui apa
saja yang akan perawat lakukan pada klien. Perawat dapat
memberitahu maksud tujuan dari tindakan tersebut, dan apa
yang akan terjadi jika kita tidak melakukan tindakan tersebut
kepadanya.
Hampir dari semua interaksi komunikasi dalam proses keperawatan
menjalankan satu atau lebih dari ke empat fungsi di atas. Dengan kata
lain, tujuan perawat berkomunikasi dengan klien yaitu untuk menjalankan
fungsi tersebut. Dengan pasien tidak sadar sekalipun, komunikasi penting
adanya. Walau, fungsi yang dijalankan hanya salah satu dari fungsi di
atas. Dibawah ini akan diuraikan fungsi-fungsi berkomunikasi dengan
klien, terhadap klien tidak sadar.
Untuk dipertegas, walau seorang pasien tidak sadar sekali pun, ia
merupakan seorang pasien yang memiliki hak-hak sebagai pasien yang
harus tetap kita penuhi.

10
Perawat itu adalah manusia pilihan Tuhan, yang telah terpilih
untuk membantu sesama, memiliki rasa bahwa kita sesama saudara yang
harus saling membantu. Perawat akan membantu siapapun walaupun ia
seorang yang tidak sadar sekalipun. Dengan tetap memperhatikan hak-
haknya sebagai klien.
2.Dimensi Hubungan yang Membantu
Komunikasi yang dilakukan perawat bertujuan untuk membentuk
hubungan saling percaya, empati, perhatian, autonomi dan mutualitas.
Pada komunikasi dengan pasien tidak sadar kita tetap melakukan
komunikasi untuk meningkatkan dimensi ini sebagai hubungan
membantu dalam komunikasi terapeutik.
1. Rasa Percaya
Rasa percaya dapat didefenisikan sebagai kepercayaan
bahwa orang lain akan memberi bantuan ketika membutuhkan,
selalu ada jika sedang diperlukan. Hubungan yang mempercaya
ini tidak dapat berkembang kecuali jika klien percaya bahwa
perawat ingin merawat demi kebaikan klien sendiri.
Komunikasi perawat dengan klien yang tidak sadar rasa
percaya dapat tumbuh pada klien jika perawat dapat
menunjukan semua tindakan ingin membantu klien serta
dengan komunikasi yang baik pula. Untuk meningkatkan rasa
percaya klien, perawat harus bertindak secara konsisten, dapat
dipercaya dan kompeten. Kejujuran dalam memberikan
informasi kepada klien juga dapat membantu terjadinya rasa
percaya.
2. Empati
Empati telah diterima secara luas sebagai komponen klinis
dalam hubungan membantu. Rasa empati yaitu merasakan,
memahami kondisi klien pada saat itu. Rasa empati ini sangat
membantu hubungan terapeutik perawat dengan klien. Dari
point ini perawat dapat menjadi pemotivasi terhadap klien

11
dengan adanya rasa empati, hubungan yang terjalin akan
menjadi lebih efektif.

3. Perhatian
Perhatian adalah memiliki penghargaan positif terhadap
orang lain, merupakan dasar untuk hubungan yang membantu.
Perawat menunjukkan perhatian dengan menerima klien
sebagaimana mereka adanya dan menghargai mereka sebagai
individu. Perawat menghargai pasien yang tidak sadar
selayaknya pasien yang sadar, bahwa klien tetap mengetahui
apa yang perawat komunikasikan selayaknya ia sadar. Klien
akan merasakan bahwa perawat menunjukan perhatian dengan
menerima klien sebagaimana mereka adanya. Perhatian juga
meningkatkan rasa percaya dan mengurangi kecemasan.
Penghilangan kecemasan dan stress akan meningkatkan daya
tahan tubuh dan membantu penyembuhan.
4. Autonomi
Autonomi adalah kemampuan mengontrol diri. Perawat
dituntut untuk tidak menyepelekan hal ini. Setiap manusia itu
unik dan tiada yang sama. Perawat harus berusaha mengontrol
diri terhadap hal-hal yang sensitif terhadap klien. Pada pasien
yang tidak sadar, perawat harus berhati-hati untuk berbicara hal
yang negatif di dekat klien, karena hal itu sangat berpengaruh
terhadap klien.
5. Mutualitas
Mutualitas meliputi perasaan untuk berbagi dengan sesama.
Perawat dan klien bekerja sebagai tim yang ikut serta dalam
perawatan. Perasaan untuk merasakan bahwa kita saling
membutuhkan dapat menumbuhkan hubungan yang membantu
dalam komunikasi terapeutik. Akan terjalin rasa percaya pada

12
klien terhadap perawat yang dapat membantu penyembuhan
klien.
3. Cara berkomunikasi dengan pasien tak sadar
Cara berkomunikasi dengan klien dalam proses keperawatan
adalah berkomunikasi terapeutik. Pada klien tidak sadar perawat juga
menggunakan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan klien. Dalam
berkomunikasi kita dapat menggunakan teknik-teknik terapeutik,
walaupun pada pasien tidak sadar ini kita tidak menggunakan
keseluruhan teknik. Teknik terapeutik, perawat tetap dapat terapkan.
Adapun teknik yang dapat terapkan, meliputi:
a. Menjelaskan
Dalam berkomunikasi perawat dapat menjelaskan apa yang
akan perawat lakukan terhadap klien. Penjelasan itu dapat
berupa intervensi yang akan dilakukan kepada klien. Dengan
menjelaskan pesan secara spesifik, kemungkinan untuk
dipahami menjadi lebih besar oleh klien.
b. Memfokuskan
Memfokuskan berarti memusatkan informasi pada elemen
atau konsep kunci dari pesan yang dikirimkan. Perawat
memfokuskan informasi yang akan diberikan pada klien untuk
menghilangkan ketidakjelasan dalam komunikasi.
c. Memberikan Informasi
Fungsi berkomunikasi dengan klien salah satunya adalah
memberikan informasi. Dalam interaksi berkomunikasi dengan
klien, perawat dapat memberi informasi kepada klien.
Informasi itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan
maupun kemajuan dari status kesehatannya, karena dengan
keterbukaan yang dilakukan oleh perawat dapat menumbuhkan
kepercayaan klien dan pendorongnya untuk menjadi lebih baik.

13
d. Mempertahankan ketenangan
Mempertahankan ketengan pada pasien tidak sadar, perawat
dapat menujukkan dengan kesabaran dalam merawat klien.
Ketenagan yang perawat berikan dapat membantu atau
mendorong klien menjadi lebih baik. Ketenagan perawat dapat
ditunjukan kepada klien yang tidak sadar dengan komunikasi
non verbal. Komunikasi non verbal dapat berupa sentuhan yang
hangat. Sentuhan adalah transmisi pesan tanpa kata-kata,
merupakan salah satu cara yang terkuat bagi seseorang untuk
mengirimkan pasan kepada orang lain. Sentuhan adalah bagian
yang penting dari hubungan antara perawat dan klien.
4. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi dengan Pasien yang tidak Sadar
Pada saat berkomunikasi dengan klien yang tidak sadar, hal-hal
berikut perlu diperhatikan, yaitu:
a. Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat klien, karena
ada keyakinan bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir
yang mengalami penurunan penerimaan, rangsangan pada klien
yang tidak sadar. Klien yang tidak sadar seringkali dapat
mendengar suara dari lingkungan walaupun klien tidak mampu
meresponnya sama sekali.
b. Ambil asumsi bahwa klien dapat mendengar pembicaraan perawat.
Usahakan mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan
memperhatikan materi ucapan yang perawat sampaikan dekat
klien.
c. Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh klien. Sentuhan diyakini
dapat menjadi salah satu bentuk komunikasi yang sangat efektif
pada klien dengan penurunan kesadaran.
d. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk
membantu klien fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan.

B. KOMUNIKASI PADA PASIEN GANGGUAN JIWA

14
1. Pengertian Gangguan Jiwa
Penyakit kejiwaan, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa adalah
gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit
mental adalah gangguan otak yang ditandai ooleh tegangguanya emosi.
Proses berfikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indra),
penyakit mental ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi
penderita(dan keluarga).
Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan
manifestasi-manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan
penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk, dan disebabkan oleh
gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi.
Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan tidak beres yang
berhakikatkan penyimpangan dari suatu konsep normatif. Setiap jenis
ketidakberesan kesehatan itu memiliki tanda-tanda dan gejala-gejala
yang khas.
Setiap gangguan jiwa dinamai dengan istilah yang tercantum dalam
PPDGJ-IV (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia edisi IV) atau DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, 4th edition with text revision). Kendati
demikian, terdapat pula beberapa istilah yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan gangguan jiwa :
1. Gangguan jiwa psikotik : ditandai hilangnya kemampuan
menilai realitas, ditandai waham (delusi) dan halusinasi,
misalnya schizophrenia.
2. Gangguan jiwa neurotik : tanpa ditandai kehilangan
kemampuan menilai realitas, terutama dilandasi konflik
intrapsikis atau peristiwa kehidupan yang menyebabkan
kecemasan (ansietas), dengan gejala-gejala obsesi, fobia, dan
kompulsif.

15
3. Gangguan jiwa fungsional : tanpa kerusakan struktural atau
kondisi biologis yang diketahui dengan jelas sebagai penyebab
kinerja yang buruk.
4. Gangguan jiwa organik : ketidakberesan kesehatan disebabkan
oleh suatu penyebab spesifik yang membuahkan perubahan
struktural di otak, biasanya terkait dengan kinerja kognitif,
delirium, atau demensia, misalnya pada penyakit Pick. Istilah
ini tidak digunakan dalam DSM-IV-TR karena ia merangkum
pengetian bahwa beberapa gangguan jiwa tidak mengandung
komponen biologis.
5. Gangguan jiwa primer : tanpa penyebab yang diketahui disebut
pula idiopatik atau fungsional.
6. Gangguan jiwa sekunder : diketahui sebagai sutu manifestasi
simtomatik dari suatu gangguan sistemik, medis atau serebral,
misalnya delirium yang disebabkan oleh penyakit infeksi otak.
2. Macam Macam Gangguan Jiwa
Macam-macam gangguan jiwa dibedakan menjadi gangguan
mental organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan
gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik,
gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan
gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan
perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan
psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak
dan remaja a. Skizofrenia
Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia
juga merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai
dimanamana sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita
tentang sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang (Maramis,
1994). Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan
realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan

16
penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi
sekali-kali bias timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan
sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir
dengan personalitas yang rusak “cacat”.
b. Depresi
Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri
(Kaplan, 1998). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk
gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan
kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak
berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 1997). Depresi adalah
suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat
berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah
yang mendalam (Nugroho, 2000). Depresi adalah gangguan patologis
terhadap mood mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam
perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseoranghidup menyendiri,
pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri rendah, bersalah,
harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang. Depresi
menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul
sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang
dicintai.
c. Kecemasan
Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang
pernahdialami oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk
mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya, Maslim (1991).
Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk
reaksi dari ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993). Penyebabnya
maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas
kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat

17
berat. Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang respon
kecemasan kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan,
sedang, berat dan kecemasan panic.
d.Gangguan Kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian
(psikopatia) dan gejala-gejala neurosa berbentuk hampir sama pada
orang-orang dengan inteligensi tinggi ataupun rendah. Jadi boleh
dikatakan bahwa gangguan kepribadian, neurosa dan gangguan
inteligensi sebagian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau
tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: kepribadian
paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid,
kepribadian axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-kompulsif,
kepribadian histerik, kepribadian astenik, kepribadian antisosial,
Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequate
e. Gangguan Mental Organik
Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang
disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,1994).
Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit
badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak.
Bila bagian otak yang terganggu itu luas , maka gangguan dasar
mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit
yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu
saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan
sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi
psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada berat gangguan
otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan
menahun.
f. Gangguan Psikosomatik
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi
badaniah (Maramis, 1994). Sering terjadi perkembangan neurotik yang
memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata karena gangguan

18
fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif.
Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan
dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi faaliah yang
terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.
g. Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang
terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya
hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan social.
Sedangkan menurut Yosep (2007) penggolongan gangguan jiwa
dan dibedakan menjadi :
a. Neurosa
Neurosa ialah kondisi psikis dalam ketakutan dan kecemasan
yang kronis dimana tidak ada rangsangan yang spesifik yang
menyebabkan kecemasan tersebut.
b. Psikosa
Psikosis merupakan gangguan penilaian yang menyebabkan
ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya.
Hasilnya, terdapat realita baru versi orang psikosis tersebut.
Psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala atau
sindrom yang berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi
gejala tersebut bukan merupakan gejala spesifik penyakit tersebut.
3. Gejala Gangguan Jiwa
Gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah sebagai berikut :
1. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas,
perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa
lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.
2. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar
(mempersepsikan) sesuatu bisikan yang menyuruh membunuh,
melempar, naik genting, membakar rumah, padahal orang di

19
sekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak
ada hanya muncul dari dalam diri individu sebagai bentuk
kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal ini sering disebut
halusinasi, klien bias mendengar sesuatu, melihat sesuatu atau
merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada menurut orang lain.
3. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia)
susah membuat keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali
bangun pagi, mandi, merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor,
bau dan acak-acakan.
4. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan
(Waham kebesaran). Klien merasa sebagai orang penting, sebagai
raja, pengusaha, orang kaya, titisan Bung karno tetapi di lain waktu
ia bisa merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi)
sampai ada ide ingin mengakhiri hidupnya.
5. Gangguan psikomotor : Hiperaktivitas, klien melakukan
pergerakan yang berlebihan naik ke atas genting berlari, berjalan
maju mundur, meloncat-loncat, melakukan apa-apa yang tidak
disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam lama tidak
bergerak atau melakukan gerakan aneh. (Yosep, 2007).
4. Penyebab Gangguan Jiwa
Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Jiwa:
1. Faktor Somatogenik (fisik-biologis)
Gangguan jiwa yang diakibatkan karena gangguan fisik serta
ketidaknormalan pada gen dan kromosom pada individu.
˚ Nerokimia, misal: gangguan pada kromosom no 21
menyebabkan munculnya gangguan perkembangan
Down Syndrome yang merupakan bentuk
keterbelakangan mental yang secara genetis paling
umum diturunkan, disebabkan oleh munculnya suatu
kromosom tambahan. Seseorang yang mengalami
Down Syndrome memiliki wajah yang bundar,

20
tengkorak yang rata, lipatan kulit tambahan sepanjang
kelopak mata, lidah yang menonjol keluar, tungkai dan
lengan yang pendek, dan keterbelakangan kemampuan
motorik dan mental.
˚ Nerofisiologi
˚ Neroanatomi
˚ Tingkat kematangan dan perkembangan organic
˚ Faktor-faktor prenatal dan perinatal
2. Faktor Psikogenik (psikologis)
˚ Interaksi ibu-anak
˚ Interaksi ayah-anak : peranan ayah
Jika seorang ayah dan ibu tidak menjalankan
peranan mereka sebagai orangtua dengan baik, seperti
kurangnya memberikan perhatian dengan melakukan
interaksi dengan anak. Sehingga komunikasi antara
orangtua dan anak tidak berjalan dengan baik. Anak
juga tidak akan nyaman berada dirumah dan bisa saja
anak juga tidak nyaman berada disamping orangtua
mereka sendiri.
˚ Sibling rivalry
˚ Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan, dan
masyarakat. Lingkungan keluarga dan lingkungan
sosialnya yang acuh (tidak peduli).
˚ Kehilangan : Lossing of love object. Individu
kehilangan kasih sayang dan cinta dari orangtua, teman
dan pacar.
˚ Konsep dini : pengertian identitas diri VS peranan yang
tidak menentu
˚ Tingkat perkembangan emosi
˚ Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap
bahaya : Mekanisme pertahanan diri yang tidak efektif.

21
Mereprese diri secara terus-menerus sehingga
menimbulkan konflik dalam diri yang tidak dapat
diatasi.
˚ Ketidakmatangan atau terjadinya fiksasi atau regresi
pada tahap perkembangannya. Dimana individu
mengalami.
˚ Traumatic Event
˚ Distorsi Kognitif
˚ POLA ASUH PATOGENIK : sumber gangguan
penyesuaian diri pada anak
3. Pola Asuh Patogenik
˚ Melindungi anak secara berlebihan karena
memanjakannya
˚ Melindungi anak secara berlebihan karena sikap
“berkuasa” dan “harus tunduk saja”
˚ Penolakan (rejected child)
˚ Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu
tinggi
˚ Disiplin yang terlalu keras
˚ Disiplin yang tidak teratur atau yang bertentangan.
˚ Perselisihan antara ayah-ibu.
˚ Perceraian.
˚ Persaingan yang kurang sehat diantara para
saudaranya.
˚ Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)
˚ Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi
bagi si anak).
˚ Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik
atau non-psikotik)
4. Faktor Sosiogenik (sosial-budaya)
˚ Tingkat ekonomi

22
˚ Lingkungan tempat tinggal : perkotaan VS pedesaan
˚ Masalah kelompok minoritas yg meliputi prasangka,
fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang
tidak memadai
˚ Pengaruh rasial dan keagamaan
˚ Nilai-nilai
5. Komunikasi Terhadap Pasien Gangguan Jiwa
Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa
membutuhkan sebuah teknik khusus, ada beberapa hal yang
membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa
dengan gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah :
1. penderita gangguan jiwa cenderung mengalami
gangguan konsep diri, penderita gangguan penyakit
fisik masih memiliki konsep diri yang wajar (kecuali
pasien dengan perubahan fisik, ex : pasien dengan
penyakit kulit, pasien amputasi, pasien pentakit terminal
dll).
2. Penderita gangguan jiwa cenderung asyik dengan
dirinya sendiri sedangkan penderita penyakit fisik
membutuhkan support dari orang lain.
3. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik,
penderita penyakit fisik bisa saja jiwanya sehat tetapi
bisa juga ikut terganggu.
Sebenarnya ada banyak perbedaan, tetapi intinya bukan
pada mengungkap perbedaan antara penyakit jiwa dan penyakit
fisik tetapi pada metode komunikasinya.
Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan
sebuah dasar pengetahuan tentang ilmu komunikasi yang benar,
ide yang mereka lontarkan terkadang melompat, fokus terhadap
topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan dan mengolah
kata – kata bisa saja kacau balau.

23
Ada beberapa trik ketika harus berkomunikasi dengan
penderita gangguan jiwa :
1. pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas
komunikasi, baik meminta klien berkomunikasi dengan
klien lain maupun dengan perawat, pasien halusinasi
terkadang menikmati dunianya dan harus sering harus
dialihkan dengan aktivitas fisik.
2. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan
reinforcement
3. Pada pasien menarik diri sering libatkan dalam aktivitas
atau kegiatan yang bersama – sama, ajari dan
contohkan cara berkenalan dan berbincang dengan
klien lain, beri penjelasan manfaat berhubungan dengan
orang lain dan akibatnya jika dia tidak mau
berhubungan dll.
Komunikasi dalam keperawatan berdasarkan masalah
pasien gangguan jiwa
1. Klien dengan masalah resiko bunuh diri
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar
(2OOO), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
˚ bunuhdiri adalah membunuh diri sandiri secara
internasional
˚ Bunuh diri dilakukan dengan intense
˚ Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri
sendiri
˚ Bunuh diri bisa terjadi secara tidak
langsung(aktif).atau tidak lansung (pasif), misalnya
tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di
rel kereta api'
2. Tindakan keperawatan

24
˚ Klien dapat membina hubungan saling percaya
˚ Perkenalan diri dengan klien
˚ Tanggapi pernbicaraan klien dengan sabar dan
tidak menyangkal.
˚ Bicara dengan tegas'jelas' dan jujur'
˚ Bersifat hangat dan bersahabat
˚ Temani klien saat keinginan mencederai diri
meningkat
˚ Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
˚ Jauhkan klien dari benda benda yang dapat
membahayakan (pisau, silet gunting tali' kaca' dan
lain-lain).
˚ Tempatkan kllen di ruangan yang tenang dan selalu
terlihat oleh perwat
˚ awasi klien secara ketat Setiap saat
˚ Klien dapat mengekspresikan perasaannya
˚ Dengarkan keluhan yang dirasakan'
˚ Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan
keraguan, ketakutan dan keputusasaan'
˚ Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan
bagimana harapannya'
˚ Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan
arti penderitaan, kematian, dan lain-lain
˚ Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien
yang menunjukkan keingnan untuk hidup'
˚ Klien dapat meningkatkan harga diri
˚ Bantu untuk memahami bahwa klien dapat
mengatasi kePutusasaannya.
˚ Kaiidan kelahkan sumber sumber intemal individu'

25
˚ Bantu mengdentifikasi Sumbet sumber harapatl
(misal hubungan atar sesame, keyakinan, hala-hal
untuk diselesaikan).
˚ Klien dapat menggunakan koping yang adaptif.
˚ Ajarkan untuk mengdentifikasi pengalaman-
pengalaman yang menyenangkan setiap trari (mlsal
: berjalan-ialan' membaca buku favorit' menulis
surat dll')'
˚ Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan
ia sayang dan pentingnya terhadap kehidupan
orang lain mengesampingkan tentang kegagalan
dalam kesehatan
˚ Beri dorongan untuk berbagai keprihatinan pada
orang lain yang mempunyai suatu masalah atau
penyakit yang sama dan telah mempunyai
pengalaman positif dalam mengatasi masalah
tersebut dengan koping yang efektif
6. Tujuan Komunikasi Terhadap Pasien Gangguan Jiwa
˚ Perawat dapat memahamiorang lain.
˚ Menggali perilaku pasien
˚ Memahami perlunya memberi pujian
˚ Memproleh informasi klien

26
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi-
manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan
kinerja yang buruk, dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis,
genetik, fisis, atau kimiawi. Tujuan komunikasi pada pasien jiwa yaitu
perawat dapat memahami orang lain, menggali perilaku klien, memahami
perlunya memberi pujian dan memperoleh informasi klien. Komunikasi
dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar pengetahuan
tentang ilmu komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan terkadang
melompat, fokus terhadap topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan
dan mengolah kata – kata bisa saja kacau balau. Terdapat cara berkomunikasi
pada pasien dengan kemarahan,kecemasan,depresi dan dengan penolakan.

B. Saran
Calon perawat harus mengetahui cara berkomunikasi dengan baik pada pasien
terutama pada pasien yang mengalami gangguan kejiwaan

27
DAFTAR PUSTAKA
Damaiyanti, Mukhripah. 2008. Komunikasi Teraupetik dalam Praktik
Keperawatan. Bandung: PT Refika Aditama.
Pastakyu. 2010. Komunikasi dengan Pasien Tidak Sadar. [Serial online]
Sheldon, Lisa Kennedy. 2009. Komunikasi untuk Keperawatan. Jakarta: Erlangga.
Tamsuri A, 2006. Komunikasi Dalam Keperawatan, Jakarta: EGC

28

Anda mungkin juga menyukai