Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil

2.1.1 Anatomi Tonsil

Tonsil merupakan massa bulat yang kecil, khususnya jaringan

limfoid (Dorland, 2010). Tonsil adalah bagian dari faring. Faring

dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan

laringofaring. Tonsil terdapat di bagian nasofaring dan orofaring.

Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle

sedangkan orofaring terletak di belakang cavum oris dan terbentang

dari palatum molle sampai pinggir atas epiglotis (Snell, 2006).

Tonsil dibagi menjadi tiga bagian yaitu tonsila lingualis, tonsila

palatina, dan tonsila faringealis. Pada bagian nasofaring terdapat

tonsila faringealis, sedangkan pada bagian orofaring terdapat tonsila

lingualis dan tonsila palatina (Snell, 2006).

Gambar 1.1: Anatomi Tonsil (Sumber : Viswanatha B, 2015)

6
2.1.1.1 Tonsil Lingualis

Tonsila lingualis adalah kumpulan folikel limfe

pada dasar jalur orofaring, pada akar lidah (Dorland, 2010).

Bagian dasar dari orofaring dibentuk oleh segitiga posterior

lidah (yang hampir vertikal) dan celah antara lidah serta

permukaan anterior epiglotis. Membran mukosa yang

meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irreguler, yang

disebabkan oleh adanya jaringan limfoid dibawahnya,

disebut tonsila lingualis (Snell, 2006).

Gambar 2.2: Tonsil Lingualis (Sumber : Netter, 2011)

2.1.1.2 Tonsil Palatina

Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan

limfoid yang terletak pada dinding lateral orofaring didalam

fosa tonsilaris. Fosa tonsilaris merupakan sebuah celah

7
berbentuk segitiga pada dinding lateral orofaring diantara

arcus palatoglosus di depan dan arcus palatopharyngeus di

belakang (Snell, 2006).

Setiap tonsil diliputi oleh membran mukosa dan

permukaan tengahnya yang bebas menonjol ke dalam

faring. Pada permukaannya terdapat banyak lubang kecil,

yang membentuk kripta tonsilaris. Permukaan lateral

tonsila palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa,

disebut capsula (Snell, 2006).

Tonsila palatina mencapai ukuran terbesarnya pada

masa anak-anak. Sesudah pubertas, bersamaan dengan

jaringan-jaringan limfoid di dalam tubuh lainnya, akan

mengalami atrofi secara perlahan-lahan. Tonsila palatina

merupakan tempat infeksi yang sering dan menimbulkan

sakit leher dan panas (Snell, 2006).

Tonsila palatina mencapai ukuran terbesarnya pada

masa anak-anak. Sesudah pubertas, bersamaan dengan

jaringan-jaringan limfoid di dalam tubuh lainnya, akan

mengalami atrofi secara perlahan-lahan. Tonsila palatina

merupakan tempat infeksi yang sering dan menimbulkan

sakit leher dan panas (Snell, 2006).

8
Gambar 2.3: Tonsil Palatina (Sumber : Viswanatha B, 2015)

Batas-batas tonsila palatina (Snell, 2006):

1. Anterior : Arcus palatoglossus.

2. Posterior : Arcus palatopharyngeus.

3. Superior: Palatum molle. Tonsila palatina akan

dilanjutkan oleh jaringan limfoid di permukaan bawah

palatum molle.

4. Inferior: Sepertiga posterior lidah. Tonsila palatina akan

dilanjutkan oleh tonsila lingualis.

5. Medial: Ruang orofaring.

6. Lateral: Capsula dipisahkan dari musculus constrictor

pharyngis superior oleh jaringan areolar yang jarang.

Vena palatina externa berjalan turun dari palatum molle

di dalam jaringan ikat longgar untuk bergabung dengan

plexus venosus pharyngeus. Lateral terhadap musculus

constrictor pharyngis superior terhadap lengkung arteri

facialis. Arteri carotis interna terletak 1 inci (2,5 cm) di

belakang dan lateral tonsila.

9
Arteri yang mendarahi tonsila adalah arteri

tonsilaris yang merupakan cabang dari arteri facialis.

Vena-vena menembus musculus constrictor pharyngis

superior dan bergabung dengan vena palatina externa,

vena pharyngealis, atau vena facialis (Snell, 2006).

Pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan

nodus lomfoidei profundi. Nodus yang terpenting dari

kelompok ini adalah nodus jugulodigastrikus, yang

terletak di bawah dan di belakang angulus mandibula

(Snell, 2006).

2.1.1.3 Tonsil Faringealis (Adenoid)

Tonsila pharyngealis terletak di bagian atas

nasofaring. Bagian atas nasofaring dibentuk oleh corpus

ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis.

Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila faringealis,

terdapat di dalam submukosa daerah ini (Snell, 2006).

Tonsila pharyngealis disebut juga adenoid tonsil. (Dorland,

2010).

2.1.2 Fisiologi Tonsil

Tonsil merupakan salah satu jaringan limfoid yang merupakan

bagian dari sistem imun selain sumsum tulang, limpa, timus, adenoid,

apendiks, dan agregat jaringan limfoid di lapisan saluran cerna yang

dinamai bercak Peyer. Jaringan limfoid adalah jaringan yang

10
memproduksi, menyimpan, atau memproses limfosit. Jaringan limfoid

berada di tempat-tempat strategis untuk menghambat masuknya

mikroorganisme sebelum mikroorgansime tersebut memiliki

kesempatan untuk menyebar jauh (Sherwood, 2014).

Tonsil terdapat pada daerah permulaan saluran makanan yang

memiliki fungsi melawan kuman yang tertelan atau terhisap. Tonsil

bersama dengan tonsil faring Atau adenoid, tonsil lingual, dan jaringan

limfoid tuba Eustachius atau Gerlach’s tonsil membentuk cincin

Waldeyer. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang

mengelilingi ruang faring. Tonsil dan cincin Waldeyer lain merupakan

bagian dari Mucosa Associated Limphoid Tissue (MALT). MALT

berperan penting sebagai respon imun pada permukaan mukosa

setempat, sehingga tonsil berguna sebagai pelindung pertama dari

mikroorgansime yang masuk melalui hidung atau mulut (Yasrizal,

2012).

Tonsil mempunyai dua fungsi, yaitu pertama untuk menangkap

dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif. Kedua sebagai tempat

produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang berasal dari

diferensiasi limfosit B (Yasrizal, 2012).

Pada tonsil terdapat sel B dan sel T sebagai sistem imun. Sel B

dan sel T tersebut dipersiapan untuk memberikan perlawanan terhadap

antigen yang masuk ke dalam jaringan dan cairan tubuh (Sherwood,

2014).

11
2.2 Tonsilitis Kronik

2.2.1 Definisi

Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan

bagian dari cincin Waldeyer. Tonsillitis dibagi menjadi tiga yaitu

tonsilitis akut, tonsilitis membranosa, tonsilitis kronik (Adam, 2010).

Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang

ditandai nyeri tenggorok, nyeri menelan, panas, dan malaise.

Pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran tonsil, eritema dan

eksudat pada permukaan tonsil, kadang ditemukan adanya

limadenopati servikal. Disebut tonsilitis akut apabila muncul gejala

pertama kali kurang dari 14 hari dan tonsilitis kronis apabila keluhan

telah ada lebih dari 3 bulan (Yasrizal, 2012).

Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap

sebagai akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Faktor

predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang

menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang

buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut

yang tidak adekuat (Adam, 2010).

2.2.2 Epidemiologi

Menurut National Center of Health Statistics pada Januari 1997

di United States seperti dikutip oleh Edayu (2011), prevalensi penyakit

tonsilitis kronis pada anak yang berusia di bawah 18 tahun didapatkan

24,9% dari 1000 orang anak. Pada penelitian Khasanov et al di Rusia

12
mengenai prevalensi tonsilitis kronis pada keluarga, didapatkan 335

anak usia 1-15 tahun dari 321 keluarga mengalami penyakit tonsilitis

kronis (Kishve, 2013).

Menurut penelitian Kishve mengenai penyakit THT pada anak

di salah satu rumah sakit di pedesaan India, penyakit Tonsilitis Kronis

mayoritas terjadi pada anak perempuan (51,72%), kelompok usia 5-14

tahun (66,3%), berasal dari status sosial ekonomi rendah (61,2%), dan

memiliki ibu yang buta huruf (70,8%) (Kishave, 2013).

Di Indonesia, tonsilitis kronis juga menjadi salah satu peyakit

THT yang paling banyak dijumpai terutama pada anak. Tonsilitis

Kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi diantara semua

penyakit tenggorok terutama pada anak. Tonsilitis Kronis menempati

urutan kedua tertinggi penyakit THT di Indonesia. Penelitian Sapitri

tentang karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan

tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher Jambi, dari 30 sampel

didapatkan distribusi terbanyak usia 5-14 tahun (50%), jenis kelamin

perempuan (56,7%) dan memiliki keluhan nyeri pada tenggorok/sakit

menelan (100%) (Ivan, 2013).

2.2.3 Etiologi

Bakteri penyebab tonsilitis dapat berasal dari flora normal di

saluran nafas atas yang berubah menjadi patogen atau adanya invasi

bakteri patogen baik secara inhalan maupun ingestan. Bakteri

penyebab terdiri dari bakteri aerob gram positif maupun gram negatif.

13
Penyebab terbanyak adalah Streptococcus β hemolyticus group A

mencapai 50-80%. Bakteri lain adalah Streptococcus β hemolyticus

group B,C dan G, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus,

Kleibsiella sp, Haemofilus influenzae dan lain-lain (Novialdi, 2010).

Bakteri anaerob merupakan flora normal pada tonsil. Reilly

melaporkan tidak ditemukan perbedaan bakteri anaerob pada tonsil

yang sehat dengan tonsillitis akut. Dari 15 pasien tonsilitis akut bakteri

anaerob diisolasi pada 93,7% tonsil, dan pada tonsil sehat (kontrol)

bakteri anaerob diisolasi sebanyak 92% tonsil. Pada tonsilitis kronis

juga tidak ditemukan perbedaan bermakna antara bakteri anaerob di

permukaan tonsil dengan di inti tonsil, masing-masing 94,6% dan

100%. Namun demikian Brook melaporkan bahwa secara invitro

ditemukan sinergi antara bakteri anaerob dengan pertumbuhan

Streptococcus β hemolyticus group A. Bakteri anaerob mempengaruhi

pertumbuhan bakteri patogen. Peranan bakteri anaerob penghasil β

laktamase seperti Bacteroides fragilis, Fusobacterium spp, dapat

menurunkan penetrasi penisilin terhadap bakteri patogen. Bakteri

anaerob penghasil β laktamase yang resisten terhadap penisilin dapat

melindungi organism patogen dimaksud (Novialdi, 2010).

Obstruksi kripta tonsil mengakibatkan penumpukan bakteri di

dalam kripta tonsil. Hal ini dapat menyebabkan infeksi yang kronis

pada tonsil atau dapat juga sebagai sumber infeksi berikutnya. Kondisi

14
seperti ini memungkinkan terjadi perbedaan bakteri yang terdapat di

permukaan tonsil dengan di inti tonsil (Novialdi, 2010).

Al-Roosan pada penelitian terhadap 100 pasien dengan

tonsilitis rekuren di rumah sakit Princess Haya di Jornia tahun 2008

mendapatkan bakteri patogen, Staphylococcus aureus, Streptococcus

β haemolyticus group A, Staphylococcus pneumonia, haemofilus

influenzae, E. coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus viridans.

Hampir sama dengan penelitian Abdulrahman, pada 27 anak dengan

tonsilitis kronis di Ain Shams University Hospital Mesir tahun 2004

mendapatkan bakteri patogen Staphylococcus aureus 77,7%,

Streptococcus β haemolyticus group A 18,5%, E coli 3,7%, Klebsiella

pneumonia 3,7% (Novialdi, 2010).

Brook mendapatkan hasil kultur yang berasal dari tonsillitis

kronis dan tonsilitis rekuren terbanyak adalah Streptococcus β

hemolyticus 25%, Streptococcus non hemoltycus 30%, Provotella spp

32,5%, Peptostreptococcus sp 40%. Piacentini mendapatkan bakteri

patogen terbanyak pada 30 pasien tonsilitis kronis adalah

Streptococcus β hemolyticus (53,3%), Moraxella catarrhalis dan

Haemofilus influenza (46,7%) (Novialdi, 2010).

Agrawal pada penelitian terhadap 140 pasien dengan rentang

umur 1-30 tahun yang menunjukkan gejala tonsilitis kronis di

Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Darbhanga dari Juli

2007 sampai Juni 2008 ditemukan bakteri terbanyak adalah

15
Streptococcus viridans dan Branhmella catarrhalis sebesar 71,43%

yang merupakan flora normal tenggorokan. Diikuti Staphylococcus

aureus 11,43%, Streptococcus pneumonia 5,00%, Pseudomonas dan E.

coli 2,86%. Streptococcus βhaemolyticus 2.14% dan Proteus vulgaris

0,71% (Agrawal, 2014).

Perbedaan jenis bakteri tersebut dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti pola kebersihan, pola pengobatan atau pemakaian

antibiotik yang digunakan di rumah sakit. Anak-anak cenderung

mempunyai tingkat kolonisasi Staphylococcus aureus yang lebih tinggi

dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan kebiasaan

anak-anak yang lebih sering kontak dengan sekret pernafasan,

misalnya memasukkan benda-benda asing ke dalam mulut atau

hidungnya. Bakteri-bakteri ini juga sering ditemui pada kasus infeksi

nosokomial, terutama pada pasien yang mendapatkan intubasi melalui

jalan pernafasan atau penggunaan NGT (Naso Gastric Tube) pada

tindakan bilas lambung. Perbedaan bakteri dapat juga disebabkan oleh

resistensi bakteri terhadap antibiotik misalnya bakteri yang lebih tahan

terhadap Penicillin yaitu golongan bakteri gram negatif. Sehingga,

perbedaan pola bakteri ini akan berdampak terhadap pemilihan

antibiotik selanjutnya yang dipergunakan pada pasien dan berkaitan

pula dengan prognosa serta komplikasi jangka panjang yang mungkin

diderita anak dengan tonsilitis kronis (Nizar,M.dkk, 2016).

16
2.2.4 Patofisiologi

Terjadinya tonsilitis dimulai saat kuman masuk ke tonsil

melalui kripta-kriptanya, sampai disana kuman tersebut secara airogen

(melalui hidung, droplet yang mengandung kuman terhisap oleh

hidung kemudian ke nasofaring terus ke tonsil), maupun secara

foodborn yaitu melalui mulut bersamaan dengan makanan (Farokah,

2005).

Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan

menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit

polimorfonuklear sehingga terbentuk detrius. Detrius ini merupakan

kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara

klinis detrius ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak

kekuningan (Sembiring, R, dkk, 2013).

Karena proses radang yang berulang timbul maka selain epitel

mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses

penyembuhan jaringan limfoid digantikan oleh jaringan parut yang

akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinis

kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga

menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan

jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan

pembesaran kelenjar limfa submandibula (Adam, 2010).

Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil

mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam

17
kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga

memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk

ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi

tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada

kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang

berlipat ganda. Bakteri yang menetap didalam kripta tonsil menjadi

sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil (Farokah, 2005).

2.2.5 Manifestasi klinis

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ivan tahun 2013 pada

anak-anak usia < 18 tahun menyatakan keluhan utama pasien tonsilitis

kronis pada anak yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini

adalah nyeri menelan berulang sebanyak (64%). Hal ini terjadi karena

peradangan pada tonsil sehingga menyebabkan keluhan tidak nyaman

kepada pasien berupa rasa nyeri saat menelan karena sesuatu yang

ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan (Ivan, 2013).

Beberapa keluhan lain seperti rasa mengganjal di tenggorok,

tidur ngorok, sesak nafas, bengkak pada leher dan nyeri telinga serta

demam dapat saja terjadi. Rasa mengganjal di tenggorok disebabkan

karena peradangan pada tonsil yang akan mengakibatkan tonsil

membesar dan dapat menyebabkan kesulitan menelan atau seperti ada

yang mengganjal di tenggorok. Pada anak jika pembesaran tonsil telah

menyebabkan obstruksi parsial atau total jalan nafas, hal tersebut dapat

menyebabkan gangguan fisiologis berupa kesulitan bernafas saat tidur

18
dan mendengkur, yang dikenal dengan istilah Obstructive Sleep Apnea

Syndrome (OSAS). Infeksi pada tonsil juga dapat menyebabkan

pembengkakan pada bagian leher, karena aliran getah bening dari

daerah tonsil menuju ke rangkaian getah bening servikal profunda

(deep jugular node) bagian superior di bawah M. sterno-

kleidomastoideus. Nyeri telinga dapat menjadi keluhan beberapa

pasien, ini bisa terjadi akibat komplikasi dari infeksi pada tonsil

sehingga mengakibatkan tersumbatnya saluran tuba eustachius yang

akan berakibat terjadinya otitis media akut. Demam dapat terjadi

karena respon tubuh akibat adanya antigen asing yang menyerang

sistem pertahanan tubuh (Ivan, 2013).

2.2.6 Diagnosis

2.2.6.1 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan

permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti

terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal ditenggorok,

dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau (Adams,

2010).

Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis,

tonsil biasanya membesar (hipertrofi) terutama pada anak-anak,

kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran

kelenjar limfe subangulus mandibula (Farokah, 2005).

19
Standar pemeriksaan tonsil, diklasifikasikan

berdasarkan rasio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke

lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri

(Srikandi, 2013).

Gambar 2.4: Ukuran Tonsil ( Sumber: Srikandi, 2013 )

Menurut skema ini:

T0 : Tidak ada pembesaran tonsil atau atropi dan tanpa obstruksi

udara.

T1: Tonsil sedikit keluar dimana ukuran tonsil <25% dari diameter

Orofaring yang di ukur dari plika anterior kiri dan kanan.

T2 : Ukuran tonsil >25% s/d <50% dari diameter orofaring yang di

ukur dari plika anterior kiri dan kanan.

T3: Ukuran tonsil >50% s/d <75% dari diameter orofaring yang di

ukur dari plika anterior kiri dan kanan.

T4: Ukuran tonsil >75% dari diameter orofaring yang di ukur dari

20
plika anterior kiri dan kanan.

2.2.6.2 Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi dari tonsil dapat dilakukan

dengan pemeriksaan sediaan swab secara gram dengan

pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Pemeriksaan ini dapat

diambil dari swab permukaan tonsil maupun jaringan inti

tonsil. Spesimen yang telah diambil dimasukkan ke dalam

media transportasi yang steril. Biakan bakteri aerob dan

anaerob fakultatif dapat dilakukan dengan menggunakan agar

darah, agar coklat, eosin-methilene blue (EMB). Tempat

pembiakan ini di inkubasi pada suhu 370C, 5% CO2 (Novialdi,

2010).

Pemeriksaan laboratorium sangat penting pada

penderita dengan tonsillitis kronik yang bertujuan agar bisa

mengetahui proses perjalanan suatu penyakit dan letak infeksi

penyebab suatu penyakit. Maka dengan proses tersebut tenaga

medis dapat menentukan obat dan terapi yang tepat sehingga

penderita dengan tonsilitis kronis tidak sampai mengalami

tosilektomi dan meninggal (Isnaeni, Dewi, 2012).

Berdasarkan hal tersebut di atas dan mengingat

pentingnya efisiensi waktu dalam pemeriksaan penyakit dengan

tonsilitis sehingga tidak menjadi kronis maka perlu

dikembangkan suatu metode yang cepat dan aman dan menjadi

21
gold standar yaitu metode kultur untuk mendeteksi keberadaan

bakteri Streptococcus pada penderita tonsillitis secara cepat dan

dini, selain itu juga agar dapat mengetahui pola jenis kuman

penyebab tonsillitis kronik sehingga mempermudah pada

pemberian terapi antibiotik (Isnaeni, Dewi, 2012).

2.2.6.3 Uji Sensitivitas

Pada perinsipnya tes kepekaan terhadap antimikroba

adalah penentuan terhadap bakteri penyebab penyakit yang

kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu

antimikroba atau kemampuan suatu antimikroba untuk

menghambat pertumbuhan bakteri yang tumbuh in vitro,

sehingga dapat dipilih sebagai antimikroba yang berpotensi

untuk pengobatan (Soleha, 2015).

Uji kepekaan antimikroba (antimicrobial susceptibility

testing) dilakukan pada isolat mikroba yang didapatkan dari

specimen pasien untuk mendapatkan agen antimikroba yang

tepat untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mikroba tersebut (Soleha, 2015).

Penguji dilakukan dibawah kondisi standar, dimana

kondisi standar berpedoman kepada Clinical and Laboratory

Standards Institute (CLSI) . standar yang harus dipenuhi yaitu

konsentrasi inokulum bakteri, media perbenihan (Muller

Hinton) dengan memperhatikan pH, konsentrasi kation,

22
tambahan darah dan serum, kandungan timidin, suhu inkubasi,

lamanya inkubasi, dan konsentrasi antimikroba (Soleha, 2015).

Terdapat beberapa prinsip dasar pemeriksaan uji

kepekaan terhadap antimikroba, antara lain:

1. Merupakan metode yang langsung mengukur aktivitas satu

atau lebih antimikroba terhadap inokulum bakteri.

2. Merupakan metode yang secara langsung mendeteksi

keberadaan mekanisme resistensi spesifik pada inokulum

bakteri.

3. Merupakan metode khusus untuk mengukur interaksi antara

mikroba dan antimikroba.

Kemampuan antimikroba dalam melawan bakteri dapat

diukur menggunakan metode yang biasa dilakukan, yaitu:

1. Metode Dilusi

Metode dilusi terdiri dari dua teknik pengerjaan,

yaitu teknik dilusi perbenihan cair dan teknik dilusi agar

yang bertujuan untuk penentuan aktivitas antimikroba

secara kuantitatif , antimikroba dilarutkan kedalam media

agar atau kaldu, yang kemudian ditanami bakteri yang akan

ditetes. Setelah diinkubasi semalam, konsentrasi terendah

yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut MIC

(minimal inhibitory concentration). Nilai MIC dapat pula

dibandingkan dengan konsentrasi obat yang didapat di

23
serum dan cairan tubuh lainnya untuk mendapatkan

perkiraan respon klinik (Soleha, 2015).

a. Dilusi perbenihan cair

Dilusi perbenihan cair terdiri dari makrodilusi

dan mikrodilusi. Pada prinsipnya pengerjaannya sama

hanya berbeda dalam volume. Untuk makrodilusi

volume yang digunakan lebih dari 1 ml, sedangkan

mikrodilusi volume yang digunakan 0,05 ml sampai

0,01 ml. Antimikroba yang digunakan disediakan pada

berbagai macam pengenceran biasanya dalam satuan

µg/ml, konsentrasi bervariasi tergantung jenis dan sifat

antibiotik, misalnya sefotaksim untuk uji kepekaan

terhadap streptococcus, pneumonia, pengenceran tidak

melebihi 2 µg/ml, sedangkan untuk escherichia coli

pengenceran dilakukan pada 16 µg/ml atau lebih

(Soleha, 2015).

Secara umum untuk penentuan MIC,

pengenceran antimikroba dilakukan penurunan

konsentrasi setengahnya misalnya mulai dari 16, 8, 4, 2,

1, 0,5, 0,25 µg/ml konsentrasi terendah yang

menunjukan hambatan pertumbuhan dengan jelas baik

dilihat secara visual atau alat semiotomatis dan

otomatis, disebut dengan konsentrasi daya hambat

24
minimum/ MIC (minimal inhibitory concentration)

(Soleha, 2015).

b. Dilusi agar

Pada teknik dilusi agar, antibiotik sesuai dengan

pengenceran akan ditambahkan kedalam agar, sehingga

akan memerlukan perbenihan agar sesuai jumlah

pengenceran ditambah satu perbenihan agar untuk

kontrol tanpa penambahan antibiotik, konsentrasi

terendah antibiotik yang mampu menghambat

pertumbuhan bakteri merupakan MIC antibiotik yang

diuji. Salah satu kelebihan metode agar dilusi untuk

penentuan MIC Neisseria gonorrhoeae yang tidak dapat

tumbuh pada teknik dilusi perbenihan cair (Soleha,

2015).

Dasar penentuan antimikroba in vitro adalah

MIC (minimum inhibitory concentration) dan MBC

(minimum bactericidal concentration). MIC merupakan

konsentrasi terendah bakteri yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri dengan hasil yang dilihat dari

pertumbuhan koloni pada agar atau kekeruhan pada

pembiakan cair. Sedangkan MBC adalah konsentrasi

terendah dari antimikroba yang dapat membunuh 99,9

% pada biakan selama waktu yang ditentukan. Absorbsi

25
obat dan distribusi antimikroba akan mempengaruhi

dosis, rute dan frekuensi pemberian antimikroba untuk

mendapatkan dosis efektif di tempat terjadinya infeksi

(Soleha, 2015).

Penentuan konsentrasi minimum antibiotik yang

dapat membunuh bakteri/ minimum bactericidal

concentration (MBC) dilakukan dengan menanam

bakteri pada perbenihan cair yang digunakan untuk

MCI ke dalam agar kemudian diinkubasi semalam pada

37°C. MBC adalah ketika tidak terjadi pertumbuhan

lagi pada agar (Soleha, 2015).

Penentuan MBC dilakukan penanaman dari

semua perbenihan cair pada penentuan MIC.

Pertumbuhan untuk konsentrasi 0, 1, 2, 4, 8, 16, 32,

dan 64. Pada konsentrasi 32 masih ada pertumbuhan 8

koloni, sedangkan pada 64 sudah tidak ditmbuhi bakteri

MBC 64 µg/ml (Soleha, 2015).

Keuntungan dan kerugian metode dilusi

memungkinkan penentuan kualitatif dan kuantitatif

dilakukan bersama-sama. MIC dapat membantu dalam

penentuan tingkat resistensi dan dapat menjadi petunjuk

penggunaan antimikroba. Kerugian metode ini tidak

26
efisien karena pengerjaannya termasuk persiapan

konsentrasi antimikroba yang bervariasi (Soleha, 2015).

2. Metode difusi

Cakram kertas, yang telah dibubuhkan sejumlah

tertentu antimikroba, ditempatkan pada media yang telah

ditanam organism yang akan diuji secara merata. Tingginya

konsentrasi dari antimikroba ditentukan oleh difusi dari

cakram dan pertumbuhan organsime uji hambat

penyebarannya sepanjang difusi antimikroba (terbentuk

zona jernih disekitar cakram), sehingga bakteri tersebut

merupakan bakteri yang sensitif terhadap antimikroba. Ada

hubungan persamaan yang hamper linier (berbanding lurus)

antara log MIC, seperti yang diukur oleh metode dilusi dan

diameter zona daya hambat pada metode difusi (Soleha,

2015).

Hasil dari tes kepekaan, mikroorgansime

diklasifikasikan kedalam dua atau lebih katagori. Sistem

sederhana menentukan dua katagori, yaitu sensitif dan

resisten. Meskipun klasifikasi tersebut memberikan banyak

keuntungan untuk kepentingan statistik dan epidemiologi,

bagi klinis merupakan ukuran yang terlalu kasar untuk

digunakan dengan demikian hasil dengan tiga klasifikasi

27
yang bias digunakan, (sensitif, intermediet, dan resisten)

seperti pada metode kirby-bauer (Soleha, 2015).

Ukuran zona jernih tergantung kepada kecepatan

difusi antimikroba, derajat sensitifitas mikroorganisme, dan

kecepatan pertumbuhan bakteri. Zona hambat cakram

antimikroba pada metode difusi berbanding terbalik dengan

MIC. Semakin luas zona hambat, maka semakin kecil

konsentrasi daya hambat minimum MIC. Untuk derajat

katagori bakteri dibandingkan terhadap diameter zona

hambat yang berbeda-beda setiap antimikroba, sehingga

dapat ditentukan katagori resisten, intermediate atau sensitif

terhadap antimikroba uji (Soleha, 2015).

2.2.7 Penatalaksanaan

2.2.7.1 Terapi Antibiotik

Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotik

sesuai kultur. Pada kasus tonsilitis yang disebabkan oleh

bakteri dianjurkan untuk pemberian antibiotik, antibiotik yang

digunakan yaitu antibiotik Beta-Laktam, pemberian antibotik

berguna untuk mempersingkat perjalanan penyakit. Selain itu,

pemberian antibiotik beta-laktam dapat mencegah terjadinya

demam rematik dan glomerulonefritis, miokarditis yang

merupakan penyebab kematian ketiga di dunia. Pemberian

antibiotik pada tonsilitis juga dapat mencegah timbulnya

28
komplikasi seperti abses peritonsilar, otitis akut, dan sinusitis

(Stelter, 2014).

Antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid,

dan sebagian besar efektif terhadap organism gram positif dan

negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis dinding

sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam

sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan

stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri. Berbagai golongan

antibiotik yang termasuk jenis dari antibiotik beta laktam salah

satunya seperti antibiotik golongan sefalosparin seperti

cefadroxil. (Katzung, 2014).

A. Cefadroxil

Cefadroxil merupakan antibiotik golongan

sefalosparin generasi pertama, antibiotik ini bekerja pada

membrane atau dinding sel bakteri. Berbeda dengan

golongan β-laktam yang kerjanya dapat dihambat oleh

aktivitas enzim β-laktamase, antibiotik golongan

sefalosporin lebih stabil terhadap banyak bakteri penghasil

β-laktamase, sehingga memiliki spektrum yang lebih luas

(Katzung, 2014).

Cefadroxil menghambat pembentukan mukopeptida

yang diperlukan untuk sintetis dinding sel bakteri. Hampir

semua jenis bakteri memiliki dinding sel yang mengandung

29
peptidoglikan, kecuali bakteri mycoplasma. Dinding sel

bakteri memiliki lapisan fosfolipid bilayer dan protein.

Fungsi lapisan tersebut, sebagai membrane permeable yang

spesifik terhadap berbagai nutrient. Namun, pada

membrane plasma bakteri tidak memiliki kandungan sterils,

sehingga mengizinkan pelekatan bahan kimiawi (Katzung,

2014).

Dinding sel bakteri tersusun dari suatu polimer

polisakarida dan polipeptida yang saling berikatan-silang

dan kompleks, yang disebut sebagai peptidoglikan.

Polisakarida ini mengandung gula amino yang berselang

seling. Peptide ini berakhir di D-alanin-D-alanin. Obat

cefadroxil memotong aliran silang tersebut dengan peptide

didekatnya. Ikatan silang tersebut menyebabkan dinding sel

menjadi kaku. Ikatan ini juga menghambat reaksi

transpeptidase, menghentikan penghasilan peptidoglikan,

dan bakteri mati (Katzung, 2014).

Pemberian cefadroxil yang termasuk dalam

antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama sudah

tepat dalam kasus tonsillitis kronik karena sesuai penelitian

Golongan antibiotik ini sangat efektif pada bakteri gram

positif seperti pneumokokus, streptokokus dan stafilokokus

yang merupakan bakteri penyebab tonsillitis (Yasrizal,

30
Hilman, 2012). Golongan antibiotik sefalosfarin lebih

efektif pada anak dibawah usia 12 tahun yang mengalami

tonsilitis kronik karena antibiotik ini dapat membasmi

strain streptococcus (Stelter, 2014).

B. Cotrimoxazole

Cotrimoxazole adalah kombinasi dua obat antibiotik

sulfametoksazol dan trimetropim, kerja dari antibiotik ini

menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang

berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat

memberikan efek sinergis, rasio kadar sulfametoksazol dan

trimetoprim ialah 5:1 (Gunawan, 2009).

Mikroba yang peka terhadap kombinasi

trimetoprim- sulfametoksazol ialah : S. Pneumoniae, C.

diphtheria, dan N. meningitis, 50-95% strain S.aureus,

Sepidermidis, S. pyogenes, S. viridans, S. faecalis, E.coli, P.

morganii, P.rettgeri, Enterobacter, Aerobacter spesies dan

Klebsiella spesies (Gunawan, 2009).

Dari hasil penelitan yang dilakukan oleh Babaiwa

2013, penggunaan antibiotik golongan penisilin sudah

mengalami resistensi. Ciprofloxacin, gentamisin dan

cotrimoxazole yang cukup efektif untuk terapi tonsillitis

kronik.

31
Tabel 2.1: Standar Ukuran Zona Hambat, Kadar MIC (Minimal
Inhibitory Concentration) Cefadroxil pada Cefadroxil dan
Cotrimoxazol (Ramadhani, 2016, Jamali, 2011 dan Andrews,
2001)
No Antibiotik Parameter S I R
1 Cotrimoxazole Standar Ukuran ≥ 16 11-15 ≤ 10
Zona Hambat mm mm mm
Kadar MIC ≤2 - ≥4
(Minimal Inhibitory μg/ml μg/ml
Concentration)

2 Cefadroxil Standar Ukuran ≥ 18 15-17 ≤ 12


Zona Hambat mm mm mm
Cefadroxil
Kadar MIC ≤ 24 - ≥
(Minimal Inhibitory μg/ml 25μg/ml
Concentration)
Keterangan: S = sensitive, I = Intermediet, R = Resisten

2.2.7.2 Operatif

Indikasi tonsilektomi dahulu dan sekarang tidak

berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relative dalam

menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dahulu

tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsillitis kronik dan

berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi

akibat hipertrofi tonsil. Obtruksi yang mengakibatkan

gangguan menelan maupun gangguan nafas merupakan

indikasi absolut. Namun, indikasi relative tonsilektomi pada

keadaan non emergensi dan perlunya batasan usia pada

keadaan ini masih menjadi perdebatan (Depkes, 2004). The

American Academy of Otolaryngology-Head and Surgery

32
(AAO-HNS) merilis indikasi klinis untuk melakukan

tonsilektomi adalah (Adam, 2010):

1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun

walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat.

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan

menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial.

3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil

dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan

menelan, gangguan berbicara, cor pulmonale.

4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses

peritonsil yang tidak berhasil hilang dengan

pengobatan.

5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A

streptococcus B hemoliticus.

7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

8. Otitis media efusa / otitis media supuratif.

33
2.3 Kerangka Teori

Bakteri

Bakteri Anaerob: Bakteri Aerob:


 Streptococcus β
 Bacteroides hemolyticus
fragilis group B, C dan
 Fusobacterium G
Uji Bakteriologi
Kultur
spp  Streptococcus
pneumonia
 Staphylococcus Uji Sensitivitas
Antibiotik
aureus
 Kleibsiella sp
 H.Influenza

Resisten Sensitif

Meningkatkan Terapi
pelepasan mediator
inflamasi

Infeksi Berulang

Integrasi epitel kripta


tonsil

Fungsi tonsil sebagai


sistem imun menurun

Tonsilitis Kronik

Gambar 2.5. Kerangka Teori

34
2.4 Kerangka Konsep

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN


ANTIBIOTIK
CEFADROXIL
KUMAN AEROB

ANTIBIOTIK
COTRIMOXAZO
LE
Gambar 2.6: Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ha : Terdapat perbedaan sensitivitas cefadroxil dan cotrimoxazole terhadap

kuman aerob penyebab tonsilitis kronik di poli THT RSU Provinsi

Nusa Tenggara Barat Tahun 2017.

35

Anda mungkin juga menyukai