Anda di halaman 1dari 15

Tinjauan Kepustakaan Kepada Yth :

Rencana dibacakan :
Hari / Tanggal :
Jam :
Tempat :

SINDROM BLEFAROFIMOSIS

SANDIYANTO

HENDRIATI

MAKALAH TAHAP III


SUB BAGIAN REKONSTRUKSI DAN OKULOPLASTI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom blefarofimosis merupakan kelainan kongenital yang jarang


ditemukan dan umumnya diturunkan secara autosomal dominan. Kelainan ini
berdampak pada jaringan lunak terutama wajah bagian tengah yang ditandai dengan
fissura palpebra horizontal yang pendek (blefarofimosis), ptosis, lipatan kulit di atas
kantus medial yang berlebihan dan menyatu dengan palpebra inferior (epikantus
inversus), dan atau jarak interkantus yang lebar (telekantus).1,2,3
Sindrom blefarofimosis disebabkan oleh mutasi yang diwariskan dalam
gen forkhead transcriptional factor 2 (FOXL2) pada kromosom 3q23. Gen ini
diekspresikan terutama dalam perkembangan palpebra dan ovarium. Hampir 75%
pasien dengan sindrom blefarofimosis mempunyai hubungan dimana terdapat
mutasi dari gen FOXL2, sisanya sekitar 25% mewakili mutasi baru atau ekspresi
ringan dari generasi sebelumnya.4,5
Menurut Zlotogora, sindrom blefarofimosis terbagi menjadi 2 tipe, tipe
pertama ditemukan kelainan palpebra yang kompleks diikuti dengan kelainan
pada ovarium dan tipe kedua berupa kelainan palpebra tanpa disertai kelainan
pada ovarium. Tipe pertama mengenai wanita yang umumnya disertai dengan
infertilitas sedangkan tipe kedua dapat mengenai pria dan wanita.5,6
Penatalaksanaan sindrom blefarofimosis di bidang oftalmologi okuloplasti
dilakukan dengan pembedahan. Ada 2 pendapat tindakan bedah yang dilakukan
pada sindrom blefarofimosis. Pertama, dilakukan satu tahap yaitu telekantus,
epikantus inversus dan ptosis dilakukan pada satu kali tindakan. Kedua, dilakukan
dalam dua tahap dimana telekantus dan epikantus inversus dipisah tindakannya
dengan ptosis. Penatalaksanaan sindrom blefarofimosis biasanya dilakukan pada
usia 3-4 tahun dalam dua tahap. Operasi pertama dilakukan koreksi epikantus,
kemudian dilanjutkan koreksi ptosis yang dilakukan 3-4 bulan setelahnya. Operasi
dapat dilakukan lebih awal jika terdapat risiko ambliopia.7,8,9
Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sindrom
blefarofimosis dan penatalaksanaannya.

1
BAB II
SINDROM BLEFAROFIMOSIS

Sindrom blefarofimosis adalah kelainan genetik yang mengenai kedua


mata dan diturunkan secara autosomal dominan dengan kumpulan tanda klinis
berupa blefarofimosis, telekantus, epikanthus inversus dan ptosis yang berat
(gambar 1). Insiden Sindrom blefarofimosis adalah sekitar 1 dari 50.000
kelahiran. Jenis kelamin, ras dan etnik tidak mempengaruhi angka kejadian
penyakit.6,10,11

Gambar 1. Ibu dan anak dengan sindrom blefarofimosis.11

2.1 Patogenesis
Sindrom blefarofimosis disebabkan oleh mutasi gen FOXL2. Mutasi ini
dapat mengganggu perkembangan otot-otot palpebra. Selain itu, mutasi gen
FOXL2 mengakibatkan pematangan sel ovarium yang terlalu cepat dan kematian
dini sel telur. Selama masa kehamilan, protein FOXL2 terlibat dalam
pembentukan otot di palpebra. Protein FOXL2 juga mengatur pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel ovarium dan pemecahan molekul-molekulnya.4,12
Sebuah studi terhadap sepuluh individu dengan mutasi gen FOXL2,
menunjukkan adanya perpindahan ke lateral dari pungtum inferior yang
mengakibatkan perubahan struktur temporal dari palpebra inferior. Hal ini
merupakan suatu tanda penting dalam mendiagnosis sindrom blefarofimosis.
Studi lain menyebutkan adanya penyusunan kembali sitogenetik dari kromosom
3q23 dimana terjadi ketidakseimbangan translokasi dan delesi interstisial yang
sering disertai adanya manifestasi klinis tambahan seperti mikrosefalus,

2
ketidakmampuan intelektual, dan keterlambatan pertumbuhan. Namun, bila terjadi
keseimbangan translokasi 3q23, maka akan mengakibatkan sindrom
blefarofimosis tanpa manifestasi klinis tambahan.4,6,13

2.2 Manifestasi klinis


Pada sindrom blefarofimosis ditemukannya empat manifestasi klinis
utama berupa blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus, dan telekantus. Selain itu,
beberapa tanda yang dapat dijumpai adalah ektropion palpebra inferior lateral,
yang terjadi sekunder akibat defisiensi lamella anterior palpebra inferior, nasal
bridge yang tidak berkembang, hipoplasia rima orbita bagian superior, posisi
telinga yang rendah (lop ears), dan jarak tulang orbita yang panjang
(hipertolerisme). Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan pada sindrom
blefarofimosis antara lain kelainan duktus lakrimal, ambliopia, strabismus, dan
kelainan refraksi.14,15
Sindrom blefarofimosis terbagi menjadi dua tipe, tipe pertama terdiri dari
empat manifestasi utama yaitu blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus dan
telekantus dan disertai adanya infertilitas pada perempuan yang disebabkan oleh
kegagalan ovarium prematur. Tipe kedua hanya terdiri dari dari empat manifestasi
utama yaitu blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus dan telekantus tanpa
kelainan ovarium.6,16

2.2.1 Blefarofimosis
Blefarofimosis adalah kondisi dimana terjadi penyempitan fissura palpebra
horizontal. Pada orang dewasa, normalnya, ukuran fissura palpebra horizontal 25-
30 mm. Pada individu dengan sindrom blefarofimosis, ukuran fissura palpebra
horizontalnya hanya 18-22 mm.1,17

2.2.2 Ptosis
Ptosis adalah suatu keadaan dimana posisi palpebra superior turun di
bawah posisi normal, dimana posisi normal palpebra superior adalah 2 mm di
bawah limbus superior atau terletak antara limbus dan pupil. Berdasarkan onset,
secara umum ptosis diklasifikasikan menjadi ptosis kongenital dan didapat. Ptosis

3
kongenital adalah ptosis yang muncul saat lahir atau dalam tahun pertama
kehidupan, sedangkan ptosis didapat adalah ptosis yang muncul di atas usia 1
tahun.18,19
Ptosis dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya menjadi miogenik
(akibat kelainan otot levator palpebra), aponeurosis (akibat defek pada levator
aponeurosis atau pada perlekatan aponeurosis ke tarsus), neurogenik (akibat
kelainan persarafan otot levator palpebra atau otot Muller), mekanik (akibat efek
mekanik dari adhesi massa pada forniks konjungtiva superior atau massa pada
palpebra superior), dan traumatik. Ptosis kongenital biasanya disebabkan oleh
faktor miogenik akibat disgenesis atau kelainan pembentukan otot levator. Serat
otot levator yang normal digantikan oleh jaringan fibrosa atau adiposa sehingga
menggangu fungsi otot levator untuk kontraksi dan relaksasi. Oleh karena itu,
pada pemeriksaan ptosis kongenital akibat kelainan pembentuk otot levator
biasanya ditemukan fungsi levator yang buruk, lid lag, dan kadang dapat disertai
dengan lagoftalmus. Eyelid crease biasanya tidak terbentuk sempurna atau bahkan
tidak terbentuk sama sekali.9,19,20
Pengukuran yang penting untuk evaluasi ptosis adalah fisura palpebra
vertikal (FPV), margin reflex distance (MRD), posisi eyelid crease superior,
fungsi levator, bell’s phenomenon, lid lag dan margin limbal distance (MLD).
Pemeriksaan MRD1 digunakan untuk menilai posisi palpebra superior.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengukur jarak dari margo palpebra superior
ke refleks cahaya kornea pada posisi primer. MRD1 normalnya adalah 4-5 mm.
MRD1 bernilai positif jika palpebra superior berada diatas refleks cahaya kornea
dan negatif jika menutupi refleks cahaya kornea. MRD2 merupakan jarak reflek
cahaya kornea dengan margo palpebra inferior pada posisi primer, normalnya 5
mm. Jumlah MRD1 dan MRD2 sama dengan FPV (gambar 2).18,20

Gambar 2. Ptosis kongenital mata kiri. a. MRD1 OD 5 mm, OS 1 mm, b. Posisi


saat melihat maksimal ke atas, c. Lid lag mata kiri saat melihat ke bawah.18

4
Ptosis dibagi tiga tingkat yaitu, ringan ≤ 2 mm, sedang 3 mm dan berat ≥ 4
mm. Levator aksi juga dibagi atas tiga tingkatan yaitu, baik > 8 mm, sedang 5-7
mm dan berat 0-4 mm. Pemeriksaan fungsi levator palpebra merupakan
pemeriksaan yang sangat penting dalam evaluasi pasien dengan ptosis.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengukur posisi margo palpebra superior dari
saat melihat ke bawah kemudian melihat ke atas secara maksimal. Otot frontalis
dipastikan tidak membantu elevasi palpebra superior, yaitu dengan menekan alis
pasien menggunakan jari jempol pemeriksa.8,18
Tinggi eyelid crease dari margo superior perlu dinilai karena eyelid crease
dibentuk oleh insersi dari serat-serat otot levator palpebra melewati septum orbita
menuju otot orbikularis pretarsal hingga ke kulit. Posisi eyelid crease dinilai
dengan mengukur jarak antara lipatan kulit palpebra superior dengan margo
superior pada saat melihat ke bawah. Nilai normal ras kaukasia adalah 8-9 mm
pada pria dan 9-11 mm pada wanita, sedangkan pada orang Asia tinggi eyelid
crease biasany lebih rendah (4-6 mm pada pria dan 6-8 mm pada wanita). Tidak
adanya eyelid crease mengindikasikan fungsi levator yang buruk, sedangkan
posisi eyelid crease yang tinggi menunjukkan suatu defek aponeurotik.8,9
Pemeriksaan bell’s phenomenon juga penting dilakukan dalam evaluasi
ptosis. Pemeriksaan ini terutama diperlukan dalam mempertimbangkan operasi
ptosis yang akan dilakukan, karena tidak adanya bell’s phenomenon akan
meningkatkan resiko eksposure kornea post operatif. Pemeriksaan dilakukan
dengan menginstruksikan pasien untuk menutup mata dan kemudian pemeriksa
mencoba membuka kelopak mata secara paksa, normalnya bola mata akan
bergulir ke atas.9,18

2.2.3 Epikantus inversus


Epikantus ditandai dengan adanya lipatan kecil pada kulit kantus medial
dari palpebra inferior yang berjalan ke palpebra superior dan terletak lebih lateral
dari kantus medial, biasanya terjadi bilateral. Lipatan kulit tersebut sering cukup
besar hingga menutupi sebagian sklera nasalis dan menimbulkan pseudoesotropia.
Mata tampak juling bila aspek medial sklera tidak terlihat. Penyebab epikantus
adalah karena kurangnya kulit vertikal antara kantus medial dengan hidung.

5
Epikantus dapat dibagi atas empat jenis, epikantus tarsalis yang merupakan jenis
paling banyak terjadi bila lipatan kulit palpebra superior menyatu di medial
dengan lipatan epikantus. Pada epikantus inversus, yang merupakan salah satu
manifestasi dari sindrom blefarofimosis, lipatan kulitnya menyatu dengan
palpebra inferior. Epikantus palpebralis bila lipatan kulit yang terjadi sama di
palpebra superior dan inferior. Epikantus suprasiliaris bila lipatan kulit muncul
dari daerah alis menuju sakus lakrimal (gambar 3).5,10,21

Gambar 3. Jenis-jenis epikantus.5

2.2.4 Telekantus
Telekantus adalah pergeseran lateral dari kantus bagian dalam dengan
jarak antara kedua pupil normal. Jarak normal antara kantus medialis kedua mata
atau jarak interkantus sama dengan panjang fissura palpebra (kira-kira 30 mm
pada orang dewasa). Jarak interkantus yang lebar bisa terjadi akibat disinsersi
traumatik atau disgenesis kraniofasial kongenital. Telekantus ringan (misal pada
sindrom blefarofimosis) dapat dikoreksi dengan operasi kulit dan jaringan lunak.
Namun, diperlukan rekonstruksi kraniofasial besar bila orbita terpisah jauh,
seperti pada penyakit Crouzon.1,21

6
BAB III
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan sindrom blefarofimosis mencakup multidisiplin ilmu.


Kelainan tipe 1 melibatkan oftalmologi okuloplasti, oftalmologi pediatrik dan
strabismus, pediatrik endokrinologi, obstetrik ginekologi, dan konseling genetik.
Kelainan tipe 2 hanya melibatkan oftalmologi okuloplasti dan oftalmologi
pediatrik. Pemeriksaan genetik idealnya dilakukan pada semua kasus sindrom
blefarofimosis untuk diagnosis dan konseling genetik, namun fasilitas dan biaya
menjadi hambatan.2,7
Penatalaksanaan sindrom blefarofimosis di bidang oftalmologi okuloplasti
berupa koreksi bentuk palpebra dengan pembedahan. Waktu yang tepat untuk
tindakan rekonstruksi masih kontroversial. Hal ini mempertimbangkan berbagai
alasan diantaranya rekonstruksi palpebra lebih awal untuk mencegah terjadinya
ambliopia dan rekonstruksi yang terlambat untuk memungkinkan pengukuran
ptosis lebih dapat diandalkan. Tindakan rekonstruksi awal diperlukan untuk ptosis
yang berat dan disertai faktor ambliogenik.11,13
Tindakan rekonstruksi dapat dilakukan satu tahap maupun dua tahap.
Tindakan rekonstruksi 1 tahap adalah pertimbangan untuk menghindari dilakukan
anestesi umum berulang kali, namun beberapa ahli bedah lebih menyukai
dilakukan dalam 2 tahap. Tindakan rekonstruksi biasanya dilakukan pada usia 3-4
tahun. Pada rekonstruksi dua tahap, pertama yang dilakukan umumnya koreksi
epikantus, kemudian dilanjutkan koreksi ptosis (gambar 4). Penelitian yang
dilakukan oleh Sebastia et al dan Wu et al didapatkan tidak ada perbedaan antara
rekonstruksi yang dilakukan dalam satu tahap dan dua tahap. Sebagai tambahan
dapat dilakukan tindakan rekonstruksi lainnya bila terdapat ektropion dan
hipoplastic orbital rim superior. Bila terdapat hipertolerisme dilakukan tindakan
operasi tulang orbita sebelum dilakukan rekonstruksi.5,7,22

7
Gambar 4. Sindrom blefarofimosis. a. Sebelum rekonstruksi palpebra. b. Usia 14
tahun, setelah koreksi telekantus dan epikantus saat usia 4 tahun dan selanjutnya
koreksi ptosis saat usia 5 tahun.5

3.1 Koreksi epikantus dan telekantus


Dasar pertama adalah memperbaiki jaringan kantus medial dengan
memanjangkan medial canthal tendon. Koreksi epikantus dan telekantus dapat
menggunakan teknik double-Z plasty dan Y-V plasty dari Mustarde atau prosedur
dari Roveda. Prosedur dari Mustarde menggunakan insisi double-Z untuk koreksi
epikantusnya. Sedangkan Y-V plasty digunakan untuk mengkoreksi
telekantusnya. Kadang-kadang dikombinasi dengan wiring transnasal pada tendon
kantus medial. Jaringan ikat subkutan yang berjalan di bawah lipatan epikantus
juga diambil. Hal ini akan membuat terbentuknya flap yang datar.7,21

3.1.1 Y-V plasty


Prinsip teknik ini dilakukan insisi Y horizontal dari kantus medial. Y
dibuat horizontal dengan tangkai Y pada tempat yang akan menariknya. Jepit kulit
pada dorsum nasal untuk membantu menentukan berapa yang akan di tarik.
Tangan Y dibuat di supraorbita dan infraorbita. Insisi kulit kemudian jaringan
subkutan dieksisi di atas tendon kantus medial untuk menfiksasikan jaringan
subkutan ke tendon kantus medial, lalu dijahit. Insisi Y kemudian dibuat flap
bentuk V dan dijahit. Teknik Y-V plasty ini bertujuan mengkoreksi telekantus
(gambar 5).5,21,22

8
Gambar 5. Prosedur Y-V plasty.5

3.1.2 Mustarde’s double Z plasty


Teknik ini merupakan kombinasi dari teknik Z plasty dan Y-V plasty,
dimana teknik ini membuat insisi Z ganda untuk mengubah posisi lipatan
epikantus dan melalui teknik Y-V plasty untuk memendekkan tendon kantus
medial (gambar ).5,21

Gambar 6. Mustarde’s double Z plasty.21

3.1.3 Medial canthal tendon shortening


Trans nasal wiring dilakukan pada telekantus berat yang jaraknya 12 mm
atau lebih. Dibuat insisi sampai ke periosteum, 5-6 mm ke medial menuju puncak
lakrimal anterior dan diperluas sampai ke frontonasal dan terus ke bawah duktus
nasolacrimal (gambar 7).5,13

9
Gambar 7. Prosedur Trans nasal wiring.5

3.2 Koreksi ptosis


Prosedur penanganan ptosis bertujuan untuk menatalaksana kondisi yang
melatarbelakanginya. Secara umum, prosedur repair ptosis terdiri dari 3 kategori;
levator advancement eksterna (transkutan), reseksi otot levator/tarsus/Muller
interna (transkojungtiva), dan dengan suspensi frontalis. Derajat, jenis ptosis, dan
fungsi levator palpebra merupakan faktor penting dalam mempertimbangkan jenis
prosedur yang akan dilakukan.8,19
Levator advancement eksterna merupakan prosedur yang dipilih pada
ptosis dengan fungsi levator yang normal dan eyelid crease yang tinggi akibat
kelainan insersi levator aponeurosis. Pendekatan transkonjungtiva biasanya
dilakukan pada otot Muller, tarsus, otot levator, atau levator aponeurosis. Reseksi
otot Muller (Putterman Mullerectomy) dilakukan pada ptosis ringan (2 mm).
Prosedur Fasanella-Servat (Mullerectomy tarsokonjungtiva) juga ditujukan pada
ptosis ringan melalui pengangkatan tarsus superior.19,20
Prosedur frontalis suspension merupakan pilihan utama pada ptosis
kongenital dengan fungsi levator yang buruk. Tujuan dari suspensi frontalis
adalah mentransfer aksi otot frontalis secara langsung untuk elevasi palpebra.
Prosedur ini dapat dilakukan dengan menggunakan material suspensi autogen
(fascia lata) maupun non-autogen (banked fascia lata, polypropylene, silicone
tubing, atau vicryl/polypropylene mesh). Pada sindrom blefarofimosis umumnya
dilakukan suspensi frontalis untuk mengkoreksi ptosisnya karena biasanya
memiliki fungsi levator yang buruk (gambar 8). Tindakan operasi pada anak yang
masih sangat kecil biasanya ditunda namun jika menutupi pupil dan akan
mengancam terjadinya ambliopia maka operasi dapat dilakukan segera.8,18
Suspensi frontalis, dimana palpebra langsung digantung ke otot frontalis
sehingga gerakan alis akan diteruskan ke palpebra. Operasi ini dilakukan

10
transkutaneus atau transkonyungtiva. Bahan-bahan yang digunakan pada suspensi
frontalis adalah autogenous tensor fascia lata. Fascia lata merupakan pilihan
utama untuk frontalis suspension pada ptosis kongenital, karena memiliki efek
jangka panjang yang baik dalam membantu elevasi palpebra dan komplikasi yang
minimal bila dibandingkan dengan material non-autogen (gambar 8). Banked
fascia lata dapat diperoleh dari berbagai sumber dan perlu tempat operasi
tambahan, tapi material jenis ini dapat menimbulkan reaksi imun atau inflamasi.
Bahan sintetik seperti batang silikon dapat meningkatkan elastisitas palpebra dan
lebih mudah penyesuaian atau dibuang jika perlu.8,18,20

Gambar 8. Posisi pengambilan fascia lata.18


Beberapa teknik yang digunakan pada prosedur suspensi frontalis antara
lain single loop/strand, Fox Pentagon, dan Crawford double triangle (gambar 9).
Fox pentagon merupakan teknik yang cukup sederhana dan biasanya lebih dipilih
pada suspensi frontalis dengan material non-autogen. Teknik Crawford double
triangle memiliki kontrol palpebra yang baik dan biasanya digunakan pada
suspensi frontalis dengan fascia lata autogen. Teknik ini merupakan salah satu
teknik yang paling banyak digunakan dan dapat dilakukan pada pasien anak
maupun dewasa.8,18

Gambar 9. Teknik-teknik suspensi frontalis, kiri: single loop/strand, tengah: fox


pentagon, dan kanan: crawford double triangle.8

11
BAB IV
KESIMPULAN

1. Sindrom blefarofimosis merupakan kelainan autosomal dominan akibat


mutasi FOXL2 (kromosom 2q23).
2. Sindrom blefarofimosis terdiri dari tipe I, dijumpai kelainan pada palpebra
dan gangguan ovarium pada wanita, tipe II jika melibatkan kelainan pada
palpebral saja.
3. Rekonstruksi plapebra pada sindrom blefarofimosis berupa koreksi epikantus,
telekantus, dan ptosis yang dilakukan dalam 1 atau 2 tahap.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Revere KE, Foster JA, Katowitz WR, Katowitz JA. Developmental Eyelid
Abnormalities. In: Pediatric Oculoplastic Surgery. Second Edition.
Switzerland. 2018; p 3-16.
2. Chen H. Blepharophimosis, Ptosis, and Epicanthus Inversus Syndrome.
Springer. Los Angeles. 2016; 45: p 1-7.
3. Dollfus H, Verloes A. Developmental Anomalies of the Lids. In: Pediatric
Ophtalmology and strabismus. Fourth edition. San Fransisco. 2013; p 147-64.
4. Li F, Chai P, Fan J, Wang X, Lu W, et al. A Novel FOXL2 Mutation
Implying Blepharophimosis Ptosis Epicanthus Inversus Syndrome Type I. In:
Cellular Physiology and Biochemistry. Shanghai. 2018; 45: p 203-11.
5. Bhoj E, Bedoukian E, Khatib L, Leroy BP. Genetic Considerations in
Oculoplastic Disorders. In: Pediatric Oculoplastic Surgery. Second Edition.
Switzerland. 2018; p 311-58.
6. Gupta AK, Gupta DC, Khan SA, Razi SM. Blepharophimosis Ptosis
Epicanthus Inversus Syndrome (BPES) Type 1 in an Indian Family. In: Asean
Endocrine Journal. India. 2017; 32 (1): p 68-71.
7. Kersten RC, Henderson HW, Collin JR. Lids: Congenital and Acquired
Abnormalities-Practical Management. In: Pediatric Ophtalmology and
strabismus. Fourth edition. San Fransisco. 2013; p 165-77.
8. Katowitz WR, Katowitz JA. Pediatric Ptosis. In: Pediatric Oculoplastic
Surgery. Second Edition. Switzerland. 2018; p 359-410.
9. Ellis FJ. Management of Blepharoptosis in Infancy and Chilhood. In:
Practical Management of Pediatric Ocular Disorders and Strabismus.
Springer. New York. 2016; p 659-66.
10. Skuta GL, Canton LB, Weiss JS. Congenital Eyelid Disorders. In: Pediatric
Ophthalmology and Strabismus. American Academy of Ophthalmology. San
Francisco. 2014-2015. p; 195-201.
11. Duker JS, Macsai MS. Disorders of the Eyelid: Congenital. In: Rapid
Diagnosis in Ophthalmic and Reconstructive Surgery. Elvesier. Philadelphia.
2008. p; 1-19.

13
12. Pao KY, Levin AV. Genetics in Oculoplastics. In: Smith and Nesi’s
Ophthalmic Plastic and Reconstructive Surgery. Third Edition. Springer. New
York. 2012; p 1249-64.
13. Kamal S, Ruchi G, Sushil K, Bhawna T, Pratima D. Blepharophimosis,
ptosis, epicanthus inversus syndrome (BPES). In: Delhi Journal of
Ophthalmology. New Delhi. 2010; 20 (3): p 7-14.
14. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Congenital Anomalies. In: Orbit, Eyelid and
Lacrimal System. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco.
2014-2015. p; 145-51.
15. Gupta R, Murthy R, Desai S, Honavar SG. Congenital Eyelid Anomalies. In:
Oculoplasty and Reconstructive Surgery Made Easy. First Edition. New
Delhi. 2009. p; 2-35.
16. Grover AK, Bageja S. Pediatric Eyelid Abnormalities. In: Oculoplasty and
Reconstructive Surgery Made Easy. First Edition. New Delhi. 2009. p; 36-62.
17. Dufresne CR, Jelks GW. Classification on Craniofacial Malformations. In:
Smith and Nesi’s Ophthalmic Plastic and Reconstructive Surgery. Third
Edition. Springer. New York. 2012; p 1051-72.
18. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Blepharoptosis. In: Orbit, Eyelid and
Lacrimal System. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco.
2014-2015. p; 201-13.
19. Grover AK, Bageja S. Congenital Ptosis: Evaluation and Management. In:
Oculoplasty and Reconstructive Surgery Made Easy. First Edition. New
Delhi. 2009. p; 157-96.
20. Tyers AG, Collin JRO. Ptosis. In: Colour Atlas of Ophthalmic Plastic
Surgery. Fourth Edition. Elvesier. London. 2018; p 175-232.
21. Tyers AG, Collin JRO. Miscellaneous Conditions: Epicantus and/or
Telecanthus. In: Colour Atlas of Ophthalmic Plastic Surgery. Fourth Edition.
Elvesier. London. 2018; p 453-63.,212
22. Bhattacharjee K, Bhattacharjee H, Kuri G, Shah ZT, Deori N. Single stage
surgery for Blepharophimosis syndrome. In: Indian Journal of
Ophthalmology. New Delhi. 2012; 60: p 195-201.

14

Anda mungkin juga menyukai