Rencana dibacakan :
Hari / Tanggal :
Jam :
Tempat :
SINDROM BLEFAROFIMOSIS
SANDIYANTO
HENDRIATI
1
BAB II
SINDROM BLEFAROFIMOSIS
2.1 Patogenesis
Sindrom blefarofimosis disebabkan oleh mutasi gen FOXL2. Mutasi ini
dapat mengganggu perkembangan otot-otot palpebra. Selain itu, mutasi gen
FOXL2 mengakibatkan pematangan sel ovarium yang terlalu cepat dan kematian
dini sel telur. Selama masa kehamilan, protein FOXL2 terlibat dalam
pembentukan otot di palpebra. Protein FOXL2 juga mengatur pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel ovarium dan pemecahan molekul-molekulnya.4,12
Sebuah studi terhadap sepuluh individu dengan mutasi gen FOXL2,
menunjukkan adanya perpindahan ke lateral dari pungtum inferior yang
mengakibatkan perubahan struktur temporal dari palpebra inferior. Hal ini
merupakan suatu tanda penting dalam mendiagnosis sindrom blefarofimosis.
Studi lain menyebutkan adanya penyusunan kembali sitogenetik dari kromosom
3q23 dimana terjadi ketidakseimbangan translokasi dan delesi interstisial yang
sering disertai adanya manifestasi klinis tambahan seperti mikrosefalus,
2
ketidakmampuan intelektual, dan keterlambatan pertumbuhan. Namun, bila terjadi
keseimbangan translokasi 3q23, maka akan mengakibatkan sindrom
blefarofimosis tanpa manifestasi klinis tambahan.4,6,13
2.2.1 Blefarofimosis
Blefarofimosis adalah kondisi dimana terjadi penyempitan fissura palpebra
horizontal. Pada orang dewasa, normalnya, ukuran fissura palpebra horizontal 25-
30 mm. Pada individu dengan sindrom blefarofimosis, ukuran fissura palpebra
horizontalnya hanya 18-22 mm.1,17
2.2.2 Ptosis
Ptosis adalah suatu keadaan dimana posisi palpebra superior turun di
bawah posisi normal, dimana posisi normal palpebra superior adalah 2 mm di
bawah limbus superior atau terletak antara limbus dan pupil. Berdasarkan onset,
secara umum ptosis diklasifikasikan menjadi ptosis kongenital dan didapat. Ptosis
3
kongenital adalah ptosis yang muncul saat lahir atau dalam tahun pertama
kehidupan, sedangkan ptosis didapat adalah ptosis yang muncul di atas usia 1
tahun.18,19
Ptosis dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya menjadi miogenik
(akibat kelainan otot levator palpebra), aponeurosis (akibat defek pada levator
aponeurosis atau pada perlekatan aponeurosis ke tarsus), neurogenik (akibat
kelainan persarafan otot levator palpebra atau otot Muller), mekanik (akibat efek
mekanik dari adhesi massa pada forniks konjungtiva superior atau massa pada
palpebra superior), dan traumatik. Ptosis kongenital biasanya disebabkan oleh
faktor miogenik akibat disgenesis atau kelainan pembentukan otot levator. Serat
otot levator yang normal digantikan oleh jaringan fibrosa atau adiposa sehingga
menggangu fungsi otot levator untuk kontraksi dan relaksasi. Oleh karena itu,
pada pemeriksaan ptosis kongenital akibat kelainan pembentuk otot levator
biasanya ditemukan fungsi levator yang buruk, lid lag, dan kadang dapat disertai
dengan lagoftalmus. Eyelid crease biasanya tidak terbentuk sempurna atau bahkan
tidak terbentuk sama sekali.9,19,20
Pengukuran yang penting untuk evaluasi ptosis adalah fisura palpebra
vertikal (FPV), margin reflex distance (MRD), posisi eyelid crease superior,
fungsi levator, bell’s phenomenon, lid lag dan margin limbal distance (MLD).
Pemeriksaan MRD1 digunakan untuk menilai posisi palpebra superior.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengukur jarak dari margo palpebra superior
ke refleks cahaya kornea pada posisi primer. MRD1 normalnya adalah 4-5 mm.
MRD1 bernilai positif jika palpebra superior berada diatas refleks cahaya kornea
dan negatif jika menutupi refleks cahaya kornea. MRD2 merupakan jarak reflek
cahaya kornea dengan margo palpebra inferior pada posisi primer, normalnya 5
mm. Jumlah MRD1 dan MRD2 sama dengan FPV (gambar 2).18,20
4
Ptosis dibagi tiga tingkat yaitu, ringan ≤ 2 mm, sedang 3 mm dan berat ≥ 4
mm. Levator aksi juga dibagi atas tiga tingkatan yaitu, baik > 8 mm, sedang 5-7
mm dan berat 0-4 mm. Pemeriksaan fungsi levator palpebra merupakan
pemeriksaan yang sangat penting dalam evaluasi pasien dengan ptosis.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengukur posisi margo palpebra superior dari
saat melihat ke bawah kemudian melihat ke atas secara maksimal. Otot frontalis
dipastikan tidak membantu elevasi palpebra superior, yaitu dengan menekan alis
pasien menggunakan jari jempol pemeriksa.8,18
Tinggi eyelid crease dari margo superior perlu dinilai karena eyelid crease
dibentuk oleh insersi dari serat-serat otot levator palpebra melewati septum orbita
menuju otot orbikularis pretarsal hingga ke kulit. Posisi eyelid crease dinilai
dengan mengukur jarak antara lipatan kulit palpebra superior dengan margo
superior pada saat melihat ke bawah. Nilai normal ras kaukasia adalah 8-9 mm
pada pria dan 9-11 mm pada wanita, sedangkan pada orang Asia tinggi eyelid
crease biasany lebih rendah (4-6 mm pada pria dan 6-8 mm pada wanita). Tidak
adanya eyelid crease mengindikasikan fungsi levator yang buruk, sedangkan
posisi eyelid crease yang tinggi menunjukkan suatu defek aponeurotik.8,9
Pemeriksaan bell’s phenomenon juga penting dilakukan dalam evaluasi
ptosis. Pemeriksaan ini terutama diperlukan dalam mempertimbangkan operasi
ptosis yang akan dilakukan, karena tidak adanya bell’s phenomenon akan
meningkatkan resiko eksposure kornea post operatif. Pemeriksaan dilakukan
dengan menginstruksikan pasien untuk menutup mata dan kemudian pemeriksa
mencoba membuka kelopak mata secara paksa, normalnya bola mata akan
bergulir ke atas.9,18
5
Epikantus dapat dibagi atas empat jenis, epikantus tarsalis yang merupakan jenis
paling banyak terjadi bila lipatan kulit palpebra superior menyatu di medial
dengan lipatan epikantus. Pada epikantus inversus, yang merupakan salah satu
manifestasi dari sindrom blefarofimosis, lipatan kulitnya menyatu dengan
palpebra inferior. Epikantus palpebralis bila lipatan kulit yang terjadi sama di
palpebra superior dan inferior. Epikantus suprasiliaris bila lipatan kulit muncul
dari daerah alis menuju sakus lakrimal (gambar 3).5,10,21
2.2.4 Telekantus
Telekantus adalah pergeseran lateral dari kantus bagian dalam dengan
jarak antara kedua pupil normal. Jarak normal antara kantus medialis kedua mata
atau jarak interkantus sama dengan panjang fissura palpebra (kira-kira 30 mm
pada orang dewasa). Jarak interkantus yang lebar bisa terjadi akibat disinsersi
traumatik atau disgenesis kraniofasial kongenital. Telekantus ringan (misal pada
sindrom blefarofimosis) dapat dikoreksi dengan operasi kulit dan jaringan lunak.
Namun, diperlukan rekonstruksi kraniofasial besar bila orbita terpisah jauh,
seperti pada penyakit Crouzon.1,21
6
BAB III
PENATALAKSANAAN
7
Gambar 4. Sindrom blefarofimosis. a. Sebelum rekonstruksi palpebra. b. Usia 14
tahun, setelah koreksi telekantus dan epikantus saat usia 4 tahun dan selanjutnya
koreksi ptosis saat usia 5 tahun.5
8
Gambar 5. Prosedur Y-V plasty.5
9
Gambar 7. Prosedur Trans nasal wiring.5
10
transkutaneus atau transkonyungtiva. Bahan-bahan yang digunakan pada suspensi
frontalis adalah autogenous tensor fascia lata. Fascia lata merupakan pilihan
utama untuk frontalis suspension pada ptosis kongenital, karena memiliki efek
jangka panjang yang baik dalam membantu elevasi palpebra dan komplikasi yang
minimal bila dibandingkan dengan material non-autogen (gambar 8). Banked
fascia lata dapat diperoleh dari berbagai sumber dan perlu tempat operasi
tambahan, tapi material jenis ini dapat menimbulkan reaksi imun atau inflamasi.
Bahan sintetik seperti batang silikon dapat meningkatkan elastisitas palpebra dan
lebih mudah penyesuaian atau dibuang jika perlu.8,18,20
11
BAB IV
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Revere KE, Foster JA, Katowitz WR, Katowitz JA. Developmental Eyelid
Abnormalities. In: Pediatric Oculoplastic Surgery. Second Edition.
Switzerland. 2018; p 3-16.
2. Chen H. Blepharophimosis, Ptosis, and Epicanthus Inversus Syndrome.
Springer. Los Angeles. 2016; 45: p 1-7.
3. Dollfus H, Verloes A. Developmental Anomalies of the Lids. In: Pediatric
Ophtalmology and strabismus. Fourth edition. San Fransisco. 2013; p 147-64.
4. Li F, Chai P, Fan J, Wang X, Lu W, et al. A Novel FOXL2 Mutation
Implying Blepharophimosis Ptosis Epicanthus Inversus Syndrome Type I. In:
Cellular Physiology and Biochemistry. Shanghai. 2018; 45: p 203-11.
5. Bhoj E, Bedoukian E, Khatib L, Leroy BP. Genetic Considerations in
Oculoplastic Disorders. In: Pediatric Oculoplastic Surgery. Second Edition.
Switzerland. 2018; p 311-58.
6. Gupta AK, Gupta DC, Khan SA, Razi SM. Blepharophimosis Ptosis
Epicanthus Inversus Syndrome (BPES) Type 1 in an Indian Family. In: Asean
Endocrine Journal. India. 2017; 32 (1): p 68-71.
7. Kersten RC, Henderson HW, Collin JR. Lids: Congenital and Acquired
Abnormalities-Practical Management. In: Pediatric Ophtalmology and
strabismus. Fourth edition. San Fransisco. 2013; p 165-77.
8. Katowitz WR, Katowitz JA. Pediatric Ptosis. In: Pediatric Oculoplastic
Surgery. Second Edition. Switzerland. 2018; p 359-410.
9. Ellis FJ. Management of Blepharoptosis in Infancy and Chilhood. In:
Practical Management of Pediatric Ocular Disorders and Strabismus.
Springer. New York. 2016; p 659-66.
10. Skuta GL, Canton LB, Weiss JS. Congenital Eyelid Disorders. In: Pediatric
Ophthalmology and Strabismus. American Academy of Ophthalmology. San
Francisco. 2014-2015. p; 195-201.
11. Duker JS, Macsai MS. Disorders of the Eyelid: Congenital. In: Rapid
Diagnosis in Ophthalmic and Reconstructive Surgery. Elvesier. Philadelphia.
2008. p; 1-19.
13
12. Pao KY, Levin AV. Genetics in Oculoplastics. In: Smith and Nesi’s
Ophthalmic Plastic and Reconstructive Surgery. Third Edition. Springer. New
York. 2012; p 1249-64.
13. Kamal S, Ruchi G, Sushil K, Bhawna T, Pratima D. Blepharophimosis,
ptosis, epicanthus inversus syndrome (BPES). In: Delhi Journal of
Ophthalmology. New Delhi. 2010; 20 (3): p 7-14.
14. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Congenital Anomalies. In: Orbit, Eyelid and
Lacrimal System. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco.
2014-2015. p; 145-51.
15. Gupta R, Murthy R, Desai S, Honavar SG. Congenital Eyelid Anomalies. In:
Oculoplasty and Reconstructive Surgery Made Easy. First Edition. New
Delhi. 2009. p; 2-35.
16. Grover AK, Bageja S. Pediatric Eyelid Abnormalities. In: Oculoplasty and
Reconstructive Surgery Made Easy. First Edition. New Delhi. 2009. p; 36-62.
17. Dufresne CR, Jelks GW. Classification on Craniofacial Malformations. In:
Smith and Nesi’s Ophthalmic Plastic and Reconstructive Surgery. Third
Edition. Springer. New York. 2012; p 1051-72.
18. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Blepharoptosis. In: Orbit, Eyelid and
Lacrimal System. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco.
2014-2015. p; 201-13.
19. Grover AK, Bageja S. Congenital Ptosis: Evaluation and Management. In:
Oculoplasty and Reconstructive Surgery Made Easy. First Edition. New
Delhi. 2009. p; 157-96.
20. Tyers AG, Collin JRO. Ptosis. In: Colour Atlas of Ophthalmic Plastic
Surgery. Fourth Edition. Elvesier. London. 2018; p 175-232.
21. Tyers AG, Collin JRO. Miscellaneous Conditions: Epicantus and/or
Telecanthus. In: Colour Atlas of Ophthalmic Plastic Surgery. Fourth Edition.
Elvesier. London. 2018; p 453-63.,212
22. Bhattacharjee K, Bhattacharjee H, Kuri G, Shah ZT, Deori N. Single stage
surgery for Blepharophimosis syndrome. In: Indian Journal of
Ophthalmology. New Delhi. 2012; 60: p 195-201.
14