Anda di halaman 1dari 14

Tinjauan Kepustakaan Makalah dibacakan pada

Hari/Tanggal : Sabtu / 29-12-2018


Tempat : Konfren bangsal mata
Pukul : 11.00 wib

PEMERIKSAAN HESS SCREEN

SANDIYANTO
M. HIDAYAT

TAHAP II
SUB BAGIAN NEUROOFTALMOLOGI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RS DR. M. DJAMIL PADANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Pergerakan bola mata terdiri dari aksi primer, sekunder dan tersier.
Gerakan bola mata terjadi karena kerja dari otot-otot ekstraokuler yang terdiri dari
otot rektus medial, rektus lateral, rektus superior, rektus inferior, oblik superior
dan oblik inferior. Semua otot rektus berorigo dari annulus of zinn, kecuali otot
oblik superior yang berasal dari apeks orbita di atas annulus of zinn, dan oblik
inferior yang berasal dari periosteum tulang maksilaris. Insersi otot rektus pada
sklera berada beberapa milimeter dari limbus. Insersi ini berbeda-beda pada tiap
otot rektus sehingga membentuk garis imajiner yang disebut spiral of tillaux. Jika
terdapat gangguan pada otot-otot ekstraokuler, akan terjadi ketidaksejajaran
okuler dan dapat menyebabkan diplopia.1,2,3
Pemeriksaan Hess screen pertama kali dirancang oleh Walter Rudolf Hess
pada tahun 1908. Pada studinya, Hess mengajukan suatu metode untuk memeriksa
pasien-pasien dengan diplopia. Metode ini kemudian menjadi acuan untuk
mendeskripsikan deviasi mata melalui dua skema dan dapat digambarkan pada
selembar kertas. Pemeriksaan hess screen merupakan pemeriksaan yang tepat
untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pada otot ekstraokuler.4,5
Hess screen merupakan metode pendokumentasian gangguan fungsi
motorik yang baik, yang dibutuhkan untuk membandingkan hasilnya dengan hasil
pemeriksaan di waktu berikutnya dalam kondisi yang sama. Pemeriksaan Hess
screen memanfaatkan disosiasi warna melalui filter merah-hijau. Suatu target
merah diproyeksikan ke layar dengan garis-garis tangensial, sedangkan cahaya
hijau diproyeksikan oleh pasien ke layar yang sama. Hasil kemudian dicatat dan
didokumentasikan pada chart khusus. Pemeriksaan diulangi pada mata sebelahnya
sehingga pada chart akan tampak gambaran area dalam dan luar dari pergerakan
mata.4,5,6,7
Pada makalah ini akan dibahas mengenai anatomi dan fisiologi otot-otot
ekstraokuler, pemeriksaan hess screen dan interpretasinya.

1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI OTOT-OTOT EKSTRAOKULER

2.1 Origo Dan Insersi Otot Ekstraokuler


Otot rektus horizontal terdiri dari otot rektus medial dan otot rektus lateral.
Kedua otot ini berorigo dari annulus of zinn. Otot rektus medial berjalan
disepanjang dinding medial orbita kemudian berinsersi 5.5 mm dari limbus.
Sedangkan otot rektus lateral berjalan di sepanjang dinding lateral orbita dan
berinsersi pada 6.9 mm dari limbus (Gambar 1 dan 2). 1,3,8,9,10

Gambar 1. Otot-otot ekstraokuler dan annulus Zinn dilihat dari sisi kiri. 1

Gambar 2. Posisi otot-otot ekstraokuler dilihat dari depan.1


Otot rektus vertikal terdiri dari otot rektus superior dan otot rektus inferior.
Otot rektus superior berorigo dari annulus of zinn dan berjalan anterior ke arah
atas bola mata dan lateral membentuk sudut 230 dengan aksis visual, otot ini
berinsersi pada 7.7 mm dari limbus. Otot rektus inferior juga berorigo dari
annulus of zinn kemudian berjalan ke anterior ke arah bawah dan lateral
membentuk sudut 230 dengan aksis visual kemudian berinsersi 6,5 mm dari
limbus (Gambar 2 dan 3).1,3

2
Gambar 3. Insersi otot ekstraokuler dan spiral of Tillaux. 1
Otot oblik superior berasal dari apeks orbita diatas annulus of zinn berjalan
ke anterior dan ke atas sepanjang dinding superomedial orbita. Otot ini kemudian
menjadi tendon sebelum berjalan melalui troklea yang merupakan sebuah
kartilago yang melekat ke tulang frontal pada orbita nasal superior. Tendon ini
penetrasi kapsul tenon 2 mm nasal dan 5 mm posterior terhadap insersi nasal dari
otot rektus superior. Otot ini melewati bagian bawah otot rektus superior, tendon
berinsersi posterior terhadap ekuator pada kuadran superotemporal bola mata.
Otot oblik inferior berorigo dari periosteum tulang maksila, posterior terhadap
rima orbita dan lateral terhadap orifisium fosa lakrimal. Otot ini berjalan kelateral,
superoposterior, melewati bagian inferior otot rektus inferior dan berinsersi
dibawah otot rektus lateral pada bagian posterolateral bola mata, pada area
makula. Otot oblik inferior membentuk sudut 510 dengan aksis visual (Gambar 1
dan 3).1,3

2.2 Inervasi Otot Ekstraokuler


Otot ekstraokuler mendapat inervasi dari saraf kranial. Otot rektus lateral
di inervasi oleh nervus abdusen (CN.VI), otot rektus oblik superior di inervasi
oleh nervus troklearis (CN.IV), sedangkan otot rektus superior, otot rektus medial,
otot rektus inferior dan otot oblik inferior di inervasi oleh nervus okulomotorius
(CN.III).1,3,5,11

2.3 Fungsi Otot Ekstraokuler Pada Pergerakan Mata


Gerakan mata dapat dibagi menjadi monokuler dan binokuler. Gerakan
monokuler disebut juga duksi. Pada gerakan ini terdapat istilah agonis yang

3
berarti otot primer yang menggerakkan mata pada suatu arah tertentu, antagonis
yang berarti otot pada mata yang sama dengan agonis bekerja pada arah yang
berlawanan dengan otot agonis. Pada gerakan mata monokuler berlaku hukum
Sherrington yang menyatakan peningkatan inervasi dan kontraksi otot
ekstraokuler di ikuti oleh penurunan inervasi dan kontraksi otot ekstraokuler yang
berlawanan dengan otot tersebut.1,3,9,11
Pergerakan mata binokuler disebut versi, terjadi bila kedua mata bergerak
pada arah yang sama. Vergen terjadi bila kedua mata bergerak ke arah berlawanan
(konvergen dan divergen). Pada gerakan binokuler dikenal hukum Hering yang
menyatakan bahwa ketika mata bergerak ke salah satu arah, inervasi simultan
menyebabkan otot yang berpasangan (yoke muscle) mendapatkan inervasi yang
sama. Otot-otot ekstraokuler memiliki aksi primer, sekunder dan tersier dalam
menggerakkan bola mata (tabel 1).3,6,12,13
Tabel 1. Aksi Otot Ekstraokuler.3
Otot Primer Sekunder Tersier

Rektus medial Adduksi - -

Rektus lateral Abduksi - -

Rektus inferior Depresi Ekstorsi Adduksi

Rektus superior Elevasi Intorsi Adduksi

Oblik inferior Ekstorsi Elevasi Abduksi

Oblik superior Intorsi Depresi Abduksi

4
BAB III
PEMERIKSAAN DAN INTERPRETASI HESS SCREEN

3.1 Pemeriksaan Hess Screen


Prinsip pemeriksaan Hess screen berdasarkan pada proyeksi fovea.
Pembuatan chart berdasarkan pada hukum Hering dan Sherrington, dan disosiasi
dua mata oleh warna atau cermin. Pemeriksaan Hess screen dapat dijelaskan
sebagai pemeriksaan fovea ke fovea karena menggunakan 2 objek dengan warna
yang berbeda. Target fiksasi adalah merah dan cahaya proyeksi adalah hijau.
Penggunaan filter merah-hijau menyebabkan mata tidak dapat melihat objek yang
berlawanan sehingga pemeriksaan ini dapat menilai deviasi langsung.
Pemeriksaan harus dilakukan pada sembilan posisi diagnostik, yaitu: lurus ke
depan (posisi primer), atas, bawah, kiri, kanan, kiri atas, kanan atas, kiri bawah,
dan kanan bawah.6,7,14,15
Pemeriksaan Hess screen menggunakan alat-alat sebagai berikut: 7,8,9,16
1. Layar Hess yang terbuat dari papan atau kain. Pada layar ini terdapat
gambaran kotak-kotak yang terdiri dari sembilan kotak yang membentuk
persegi empat kecil dan enam belas kotak yang membentuk persegi empat
besar. Layar Hess terdiri dari suatu pola tangensial dengan latar berwarna
abu-abu (gambar 4). Saat ini juga sudah terdapat bentuk layar Hess yang
lebih modern, memiliki ketebalan 25 mm dan langsung dilengkapi dengan
sumber cahaya merah yang diiluminasi menggunakan remote control oleh
operator.
2. Pointer berwarna merah untuk pemeriksa dan berwarna hijau untuk pasien.
3. Kacamata (filter) berwarna merah-hijau.
4. Lembar pencatatan (chart) untuk hasil pemeriksaan yang terdiri dari dua
kotak masing-masing untuk mata kanan dan kiri (gambar 4).

5
Gambar 4. Lembar pencatatan hasil pemeriksaan Hess screen.4
Pemeriksaan Hess screen dilakukan di ruang gelap atau redup agar tidak
ada detail dari dinding yang terlihat melalui kacamata merah hijau. Pasien duduk
dengan jarak 50 cm dari layar hess dengan posisi kepala tegak, terfiksasi
menggunakan penopang dagu atau penopang kepala, sehingga tidak bergerak
selama pemeriksaan (gambar 5). Sesuai dengan prinsip pemeriksaan, yaitu
proyeksi langsung ke fovea, maka warna cahaya (pointer) dari pemeriksa yang
diproyeksikan ke layar harus sama dengan warna lensa pada mata yang fiksasi.
Misalnya, mata yang menggunakan kacamata merah merupakan mata fiksasi,
sedangkan filter hijau dipasang pada mata yang tidak berfiksasi. Saat memeriksa
mata kiri, maka mata kanan menggunakan kacamata merah, dan mata kiri
menggunakan kacamata hijau. Hal ini akan menyebabkan mata kanan hanya
melihat marker merah dan mata kiri hanya melihat marker hijau.4,5,7,16

Gambar 5. Cara pemeriksaan hess screen.4

6
Pemeriksa memproyeksikan sinar merah dari pointer ke arah layar,
kemudian pasien diminta untuk menyinari layar hess dengan sinar hijau sehingga
berhimpitan dengan sinar merah yang diarahkan pemeriksa. Jika lensa filter tidak
dapat dilepas, maka pemeriksa dapat menyesuaikan dengan mengganti warna
pointer pemeriksa dengan pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pada sembilan
posisi. Setelah pemeriksaan pada satu mata selesai, kemudian dilakukan pada sisi
mata yang lain.11,12,13,16
Pada jarak 50 cm, setiap kotak menunjukkan 10 PD, jadi pada kotak
bagian dalam menilai 30 PD atau sekitar 15°. Ini merupakan rentang setiap
individu akan menggerakkan mata untuk melihat sebuah target yang jauh dari
posisi primer tanpa menggerakkan kepala. Bagian kotak terluar menilai 2 kali dari
jumlah tersebut, yang biasanya dilihat dengan adanya pergerakan kepala. Defek
yang ditemukan di area dalam biasanya cenderung menunjukkan gejala.4,17
Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan pada lembaran pencatatan hasil
menggunakan pensil berwarna merah dan hijau sesuai dengan mata yang
diperiksa. Lalu hubungkan titik-titik hasil pemeriksaan sehingga terbentuk pola
tertentu. Berdasarkan pola ini pemeriksa menilai kelainan otot-otot ekstraokuler.4,7

3.2 Interpretasi Pemeriksaan Hess Screen


Hasil pemeriksaan Hess diplot ke chart berupa titik-titik dan dihubungkan
sehingga terbentuk suatu pola. Pola dari kedua mata tersebut dibandingkan
sehingga pemeriksa dapat mengidentifikasi gangguan otot ekstraokuler. Beberapa
hal penting dalam interpretasi hasil pemeriksaan Hess screen adalah: 5,11,18
1. Bandingkan kedua gambar
2. Gambar yang lebih kecil menunjukkan mata dengan otot yang parese.
Gambar yang lebih kecil akan menunjukkan restriksi terbesarnya pada
arah utama kerja otot yang paresis.
3. Gambar yang lebih besar mengindikasikan mata dengan mata overaksi.
Gambar yang lebih besar akan menunjukkan ekspansi terbesarnya pada
arah utama kerja otot pasangannya.
4. Parese neurogenik akan menunjukkan underaksi yang besar pada arah otot
parese dan overaksi yang terlihat pada otot sinergis kontralateral.

7
5. Defek mekanik menunjukkan kompresi lapangan tanpa overaksi.
Deviasi primer merupakan deviasi dengan mata normal terfiksasi. Deviasi
sekunder merupakan deviasi dengan mata paresis terfiksasi. Pada bidang lirikan
otot paresis, deviasi akan lebih besar ketika mata paresis terfiksasi karena lebih
sulit digunakan untuk menggerakkan mata oleh otot paresis. Sesuai dengan
hukum Hering, otot-otot yang berhubungan dengan mata normal menerima
inervasi yang sama, oleh karena itu mata normal akan bergerak lebih jauh
sehingga terpisahnya gambar akan lebih besar.13,15,19
Berikut ini contoh-contoh analisis kasus dari paralisis otot-otot
ekstraokuler yaitu: 14,17,20
1. Paralisis nervus tiga kiri menunjukkan kondisi-kondisi sebagai berikut
(gambar 6):
 Kontraksi gambar kiri dan ekspansi gambar kanan.
 Eksotropia kiri: catatan bahwa titik fiksasi pada gambar dalam kedua mata
terdeviasi ke lateral. Deviasi lebih banyak pada gambar kanan (ketika mata
kiri terfiksasi), mengindikasikan bahwa deviasi sekunder melebihi primer
yang tipikal pada strabismus paralisis.
 Gambar kiri menunjukkan underaksi dari seluruh otot kecuali rektus lateral
dan oblik superior.
 Gambar kanan menunjukkan overaksi dari seluruh otot kecuali rektus
medial dan rektus inferior, yoke otot-otot yang masih baik.

Gambar 6. Interpretasi paralisis nervus tiga kiri


2. Paralisis nervus empat kanan menunjukkan kondisi-kondisi sebagai
berikut (gambar 7):2,6
 Tidak ada perbedaan signifikan dalam ukuran gambar.

8
 Hipertropia kanan: catatan bahwa titik fiksasi gambar dalam kanan
terdeviasi ke atas dan kiri terdeviasi ke bawah. Gambar juga
mengilustrasikan bahwa hipertropia ini meningkat pada levoversi dan
hilang pada dektroversi.
 Gambar kanan menunjukkan underaksi oblik superior dan overaksi oblik
inferior.
 Gambar kiri menunjukkan overaksi rektus inferior dan underaksi rektus
superior (paralisis inhibitor).

Gambar 7. Interpretasi paralisis nervus empat kanan


3. Paralisis nervus enam kanan menunjukkan kondisi-kondisi sebagai berikut
(gambar 8):
 Kontraksi gambar kanan dan ekspansi gambar kiri.
 Esotropia kanan: catatan bahwa titik fiksasi gambar dalam kanan
terdeviasi ke nasal.
 Gambar kanan menunjukkan tanda underaksi rektus lateral dan sedikit
overaksi rektus medial.
 Gambar kiri menunjukkan overaksi rektus medial.

Gambar 8. Interpretasi paralisis nervus enam kanan

9
Pemeriksaan Hess screen sangat membantu dalam menentukan diagnosis
banding pada banyak keadaan klinis. Pola karakteristik dapat terlihat pada
kelainan kongenital seperti sindrom Brown atau Duane. Adanya restriksi arah
pandangan ke superonasal (arah kerja m.obliq inferior) pada sindrom Brown tidak
mengakibatkan overaksi otot antagonis pada mata yang sama seperti yang terlihat
pada kelainan paralisis. Grafik Hess pada pasien dengan sindrom Brown tidak
memperlihatkan adanya masalah pada arah pandangan ke inferonasal (gambar 9).4

Gambar 9. Hess chart pada pasien dengan sindrom Brown

10
BAB IV
KESIMPULAN

1. Hess screen merupakan pemeriksaan untuk mendiagnosis gangguan gerakan


bola mata yang berkaitan dengan parese saraf-saraf otot ekstraokuler.
2. Prinsip pemeriksaan Hess screen berdasarkan pada proyeksi fovea, hukum
Hering dan Sherrington serta disosiasi.
3. Tes Hess screen merupakan metode subjektif ganda menggunakan kacamata
merah hijau dan sinar merah hijau yang diproyeksikan pada latar putih.
4. Pemeriksaan Hess screen akibat paralisis akan memperlihatkan gambaran
overaksi dan underaksi otot-otot yang berpasangan.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Orbit And Ocular Adnexa. In: Fundamental
and Principles of Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology.
Basic and Clinical Science Course. Section 2. Singapore: FSC; 2014-
2015.pp. 13-18.
2. Khurana AK. Strabismus And Nistagmus. In Comprehensive Ophthalmology
Fourth Edition. New Delhi: New Age International (P) Limited Publisher.
2007.pp.313-334.
3. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Anatomy Of The Extraocular Muscles. In:
Pediatric Ophthalmology And Strabismus. American Academy of
Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 2. Singapore:
FSC; 2014-2015.pp. 19-32.
4. Hall GR. The Hess Screen Test.American Orthoptic Journal.2006.pp.166-
174.
5. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. China: Elsevier.
2007. pp. 735-780.
6. Roodhooft JM. Screen Test Used To Map Out Ocular Deviations. In Bull Soc
Belge Ophthalmology. 2007. pp. 57-67.
7. Von noorden GK. Campos EC. Examination Of The Patient II. In: Binocular
Vision And Ocular Motility. USA. 2002. pp.192-194.
8. Anson AM, Davis H. Ocular deviation. In Diagnosis And Management Of
Ocular Motility Disorders.India: Replica Press . 2006. pp. 86-87.
9. Miller NR, Newman NJ, Biousse V, Kerrison JB. Principles And Techniques
Of The Examination Of Ocular Motility And Alignment. In: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005. pp.897-898.
10. Rowe FJ. Orthoptic Investigative Procedure. In : Clinical Orthoptic. 3rd ed.
West Sussex: Wiley-Blackwell; 2012. pp. 17 – 27.
11. Anson AM, Davis H. Neurogenic Palsies. In Diagnosis And Management Of
Ocular Motility Disorders.India: Replica Press. 2006. pp. 352.
12. Danchaivijitr C, Kennard C. Diplopia And Eye Movement Disorders. Journal
Of Neural Neurosurgery Psychiatry. 2004.pp.24-30.

12
13. Griffin JR, Grisham JD. Binocular anomalies: diagnosis and vision therapy.
Philadelphia: Butterworth-Heinemann Company; Fifth edition, 2007.pp.122-
126.
14. Wright KW. The ocular motor examination. In: Wright KW, Spiegel PH,
Thompson LS editors. Handbook of pediatric strabismus and amblyopia.
New York: Springer Science; 2006.pp.138-165.
15. Galloway NR, Amoaku WMK, Galloway PH, Browning AC. Common eye
diseases and their management. London: Spinger-Verlag Limited; Third
edition, 2016.pp. 179-188.
16. Jethani J. Hess Charting. E Journal Of Ophthalmology. 2008.
17. Khakshoor H, Moghaddam AA, Vejdani AH, Armstrong BK, Moshirfar M.
Diplopia as the primary presentation of foodborne botulism. Oman J
Ophthalmol. 2012.
18. Koh KM, Kim US. Fresnel Prism On Hess Screen Test. Hindawi Journal Of
Ophthalmology. 2013. pp. 1-3
19. Hanif S, Rowe FJ, Connor AR. A Comparative Review Of Methods To
Record Ocular Rotations. Br Ir Orthopt Journal. 2009. pp. 47-51.
20. Evans BJ. Hess Screen. In: Binocular Vision Anomalies. Butterwoth
Heinneman.2007. pp. 280-299

13

Anda mungkin juga menyukai