Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH

PENGELOLAAN PERAIRAN UMUM DARATAN

PERIKANAN B
Disusun Oleh :

M. Emir Shidqi Saragih 230110160076

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2019
1. Perjanjian RAMSAR dan isi perjanjian?
Konvensi Ramsar adalah perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan
lahan basah secara berkelanjutan. Nama resmi konvensi ini adalah The Convention on
Wetlands of International Importance, especially as Waterfowl Habitat. Konvensi Ramsar
diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1991 melalui Keputusan Presiden RI No. 48 tahun
1991.
Konvensi Ramsar disusun dan disetujui negara-negara peserta sidang di Ramsar, Iran
pada tanggal 2 Februari 1971 dan mulai berlaku 21 Desember 1975.
Isi konvensi lahan basah internasional berkaitan dengan perjanjian antar negara untuk
berkomitmen pada perlindungan lahan basah yang bernilai penting bagi dunia internasional
dan melakukan pemanfaatan secara bijaksana sumber daya alam hayati yang ada di dalamnya.
Urgensi penanganan perjanjian ini terutama pada pengelolaan lahan basah yang secara ekologis
membentang melintasi lebih dari satu negara, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap
burung air migran yang memiliki lintasan terbang antar negara. Di Indonesia sendiri telah
terdapat 6 situs Ramsar, yaitu TN Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara, TN Sembilang,
TN Berbak, Danau Sentarum, TN Wasur dan Pulau Rambut. Berikut ini isi konvensi lahan
basah yang dikenal juga dengan konvensi Ramsar tersebut.
 Konvensi Wetlands, sebagaimana telah diubah pada tahun 1982 dan 1987
 Konvensi Lahan Basah Penting secara Internasional terutama karena Habitat Burung
Air
 Ramsar, Iran, 1971/02/02 sebagaimana telah diubah dengan Protokol 1982/12/03
dan Amandemen dari 1987/05/28
 Paris, 13 Juli 1994 Direktur, Kantor Standar Internasional dan Urusan Hukum
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)

Para Anggota,
a) Mengingat adanya saling ketergantungan antara manusia dan lingkungannya;
b) Menimbang fungsi ekologis lahan basah yang sangat penting sebagai pengendali tata
air dan habitat bagi flora dan fauna yang khas, terutama burung air;
c) Menyadari bahwa lahan basah memiliki nilai ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan
rekreasi yang besar, serta dapat diperbaharui;
d) BERKEINGINAN untuk mencegah alih fungsi lahan dan hilangnya lahan basah baik
saat ini maupun di masa mendatang;
e) MENGAKUI bahwa dalam migrasi musiman burung air mungkin melampaui batas
negara sehingga harus dianggap sebagai sumber daya internasional;
Percaya bahwa konservasi lahan basah beserta flora dan fauna yang hidup di dalamnya
dapat terjaga melalui kebijakan lintas negara yang terkoordinasi secara internasional;
Menyepakati hal-hal berikut ini :
Pasal 1
1. Konvensi lahan basah mencakup wilayah payau, rawa, gambut, atau perairan, baik
alami maupun buatan, permanen atau temporer (sementara), dengan air yang mengalir
atau diam, tawar, payau, atau asin, termasuk pula wilayah dengan air laut yang
kedalamannya di saat pasang rendah (surut) tidak melebihi 6 meter.
2. Konvensi burung air adalah burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah.
Pasal 2
1. Masing-masing Anggota harus menunjuk lahan basah yang cocok dalam wilayahnya
untuk dimasukkan dalam Daftar Lahan Basah Penting Internasional, selanjutnya
disebut “List” yang dikelola oleh biro yang ditetapkan berdasarkan Pasal 8. Batas-batas
lahan basah ditunjukkan oleh peta, termasuk di dalamnya zona riparian (tepian sungai)
dan pesisir yang berdekatan dengan suatu lahan basah tertentu, pulau-pulau, atau bagian
laut yang dalamnya lebih dari 6 meter yang tertutupi air pada saat air surut, apabila
daerah tersebut memiliki nilai penting sebagai habitat burung air.
2. Lahan basah didaftarkan pada “List” apabila memiliki nilai penting secara internasional
dalam hal ekologi, botani, zoologi, limnologi atau hidrologi. Termasuk lahan basah
penting bagi burung air pada setiap musimnya.
3. Negara yang memiliki lahan basah di dalam “List” tidak terganggu hak kedaulatan
eksklusifnya
4. Setiap Anggota wajib menunjuk setidaknya satu lahan basah untuk dimasukkan dalam
“List” saat penandatanganan Konvensi ini atau ketika menyerahkan instrumen ratifikasi
atau aksesi, sebagaimana diatur dalam Pasal 9.
5. Setiap Anggota berhak untuk menambah area lahan basah yang telah ditetapkan pada
“List” yang berada di dalam wilayahnya, memperpanjang batas-batas perlindungan
lahan basah, atau, karena kepentingan nasional yang mendesak, menghapus atau
membatasi areal perlindungan lahan basah, maka diharuskan untuk menginformasikan
dengan sesegera mungkin kepada organisasi atau pemerintah yang bertanggung jawab
untuk diteruskan kepada biro yang telah ditunjuk sesuai Pasal 8.
6. Setiap Anggota harus turut bertanggung jawab secara internasional untuk melakukan
upaya konservasi, manajemen dan pemanfaatan secara bijaksana terhadap spesies
burung air migran, baik ketika menunjuk suatu situs untuk dimasukkan ke dalam “List”
maupun ketika menggunakan haknya untuk melakukan perubahan lahan basah di dalam
“List” wilayahnya.
Pasal 3
1. Para Anggota wajib merumuskan dan melaksanakan perencanaan yang telah dibuat
untuk mengkampanyekan konservasi lahan basah yang telah masuk dalam “List”, dan
sejauh mungkin melakukan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana di wilayah
mereka.
2. Setiap Anggota harus menginformasikan sedini mungkin jika terjadi perubahan
karakter ekologis lahan basah di wilayahnya, termasuk di dalamnya perubahan terhadap
lahan basah yang dimasukkan pada “List”, baik sedang dalam proses perubahan atau
ada tanda-tanda berubah sebagai hasil dari perkembangan teknologi, polusi atau
gangguan manusia lainnya. Informasi tentang perubahan tersebut harus disampaikan
sesegera mungkin pada organisasi atau pemerintah yang bertanggung jawab, lalu
diteruskan kembali pada biro yang telah ditunjuk sesuai Pasal 8.

Pasal 4
1. Setiap Anggota wajib mempromosikan konservasi lahan basah dan burung air dengan
mendirikan cagar alam pada lahan basah, baik mereka termasuk dalam “List” atau
tidak, dan melakukan pengamanan yang memadai.
2. Apabila suatu Anggota dalam kepentingan nasional yang mendesak, menghapus atau
mengurangi luasan lahan basah yang termasuk dalam “List”, harus sejauh mungkin
mengkompensasi hilangnya sumber daya lahan basah, dan membuat cagar alam
tambahan untuk burung air dan perlindungannya, baik di daerah yang sama atau di
tempat lain, di area habitat aslinya.
3. Para Anggota wajib mendorong penelitian dan pertukaran data dan publikasi mengenai
lahan basah beserta flora dan fauna yang bergantung hidup terhadapnya.
4. Para Anggota berusaha untuk meningkatkan populasi burung air yang hidup di lahan
basah bersangkutan.
5. Para Anggota wajib mempromosikan pelatihan personil untuk meningkatkan
kompetensi di bidang penelitian lahan basah, manajemen dan pengamanan.
Pasal 5
1. Para Anggota akan saling berkonsultasi tentang pelaksanaan kewajiban yang timbul
dari Konvensi terutama pada lahan basah yang membentang melalui lebih dari satu
negara anggota atau pada sistem air lintas negara. Negara anggota akan berusaha untuk
mengkoordinasikan dan mendukung kebijakan mengenai konservasi lahan basah, serta
flora dan fauna yang ada di dalamnya, saat ini maupun di masa-masa mendatang.
Pasal 6
1. Harus dilakukan pertemuan Para Anggota untuk meninjau dan mempromosikan
pelaksanaan Konvensi ini. Biro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, ayat 1, wajib
menyelenggarakan sidang biasa Para Anggota pada selang waktu tidak lebih dari tiga
tahun, kecuali Konferensi memutuskan lain, dan dan menyelenggarakan pertemuan luar
biasa apabila ada permintaan tertulis sekurang-kurangnya sepertiga dari Anggota. Pada
pelaksanaan pertemuan biasa anggota, para anggota menentukan waktu dan tempat
pertemuan berikutnya.
2. Konferensi Para Anggota harus membahas :
a) pelaksanaan Konvensi ini;
b) penambahan dan perubahan pada “List”;
c) informasi mengenai perubahan karakter ekologis dari lahan basah yang terdaftar
dalam “List” sesuai dengan ayat 2 dari Pasal 3;
d) pembuatan rekomendasi umum atau khusus mengenai pelaksanaan konservasi,
manajemen dan pemanfaatan bijaksana lahan basah beserta flora dan fauna yang
bergantung hidup terhadapnya;
e) permintaan pada badan-badan internasional yang relevan untuk menyiapkan
laporan dan statistik mengenai hal-hal penting bagi dunia internasional yang
terkait/berdampak pada lahan basah;
f) adopsi rekomendasi atau resolusi lain, untuk mempromosikan fungsi Konvensi
ini.
3. Para Anggota harus memastikan bahwa di setiap tingkatan manajemen lahan basah
harus diinformasikan mengenai hasil rekomendasi Konferensi lahan basah, khususnya
mengenai pelaksanaan konservasi, manajemen dan pemanfaatan bijaksana lahan basah
beserta flora dan fauna yang bergantung hidup terhadapnya.
4. Konferensi Para Anggota harus mengikuti ketentuan pada masing-masing pertemuan
yang diselenggarakan tersebut.
5. Konferensi Para Anggota menetapkan dan meninjau peraturan keuangan Konvensi ini.
Pada setiap pertemuan rutin yang dihadiri setidaknya dua pertiga anggota yang
memberikan suara, dilakukan penetapan anggaran untuk periode keuangan berikutnya.
6. Setiap Anggota wajib memberikan kontribusi anggaran yang nilainya sesuai dengan
kesepakatan pertemuan rutin para anggotanya.
Pasal 7
1. Para wakil anggota yang hadir pada Konferensi tersebut dipersyaratkan memiliki
keahlian tentang lahan basah atau burung air baik pengetahuan dan pengalaman yang
diperoleh melalui penelitian, administratif atau lainnya.
2. Setiap wakil negara dalam konferensi memiliki satu suara, rekomendasi, resolusi dan
keputusan yang diakui Anggota yang hadir dan memberikan suara, kecuali ada
ketentuan lain dalam Konvensi ini.
Pasal 8
1. Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam akan melakukan
tugas biro di bawah Konvensi ini sampai ada organisasi lain atau pemerintah tertentu
ditunjuk oleh setidaknya dua pertiga anggota.
2. Tugas Biro antara lain:
a) untuk membantu penyelenggaraan dan pengorganisasian Konferensi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6;
b) untuk menyimpan “List” Lahan Basah Penting Internasional dan apabila ada
penambahan, ekstensi, penghapusan atau pembatasan dari anggota mengenai
lahan basah yang masuk dalam “List” untuk segera menginformasikan sesuai
dengan ayat 5 Pasal 2;
c) untuk menampung informasi dari para anggota tentang adanya perubahan
karakter ekologis lahan basah dalam “List” sesuai dengan ayat 2 dari Pasal 3;
d) untuk meneruskan informasi adanya perubahan “List” kepada semua anggota,
termasuk di dalamnya perubahan karakter lahan basah, serta menetapkan hal-
hal yang akan dibahas pada Konferensi berikutnya;
e) untuk menginformasikan kepada setiap anggota tentang hasil rekomendasi
Konferensi terkait adanya perubahan “List” termasuk perubahan karakter lahan
basah.
Pasal 9
1. Konvensi ini akan tetap terbuka untuk penandatanganan selanjutnya.
2. Setiap anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau salah satu Badan Khususnya atau
Badan Energi Atom Internasional atau Anggota pada Statuta Mahkamah Internasional
dapat menjadi anggota pada Konvensi ini dengan:
a) menandatangani tanpa reservasi untuk ratifikasi;
b) menandatangani hal tertentu untuk proses ratifikasi, kemudian diikuti
ratifikasi;aksesi
3. Ratifikasi atau aksesi akan berlaku efektif dengan disimpannya instrumen ratifikasi atau
aksesi pada Direktur Jenderal dari Organisasi PBB bidang Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Budaya (selanjutnya disebut sebagai “Penyimpan”).
Pasal 10
1. Konvensi ini akan berlaku empat bulan setelah tujuh negara menjadi Anggota pada
Konvensi ini sesuai ayat 2 dari Pasal 9.
2. Selanjutnya Konvensi ini akan mulai berlaku untuk setiap Anggota empat bulan setelah
hari penandatanganan tanpa reservasi untuk ratifikasi, atau ini disimpan sebagai
instrumen ratifikasi atau aksesi.
Pasal 10 bis
1. Konvensi ini dapat diubah pada pertemuan Para Anggota yang diselenggarakan untuk
tujuan pengubahan sesuai pasal ini.
2. Proposal untuk amandemen dapat dibuat oleh beberapa Anggota.
3. Teks setiap amandemen yang diusulkan beserta alasan perubahannya disampaikan
kepada biro di bawah Konvensi (selanjutnya disebut sebagai “Biro”) dan segera
diteruskan Biro pada semua Anggota. Setiap komentar pada teks harus
dikomunikasikan kepada Biro dalam waktu tiga bulan sejak tanggal biro
menyampaikan informasi pada anggota. Biro lalu menyampaikan kembali semua
komentar yang diterima kepada anggota setelah hari terakhir pengajuan komentar.
4. Pertemuan Para Anggota untuk membahas amandemen dilakukan sesuai dengan ayat
3, diselenggarakan oleh Biro atas permintaan tertulis dari sepertiga Anggota. Biro harus
berkonsultasi dengan Anggota mengenai waktu dan tempat rapat.
5. Amandemen harus diikuti oleh setidaknya dua pertiga dari Para Anggota yang hadir
dan memberikan suara.
6. Suatu amendemen yang diadopsi akan mulai berlaku untuk Para Anggota pada hari
pertama bulan keempat setelah tanggal penerimaan dokumen oleh dua pertiga Anggota.
Anggota yang menerima dokumen setelah tanggal tersebut, memberlakukan
amandemen pada hari pertama bulan keempat setelah tanggal penerimaan dokumen.
Pasal 11
1. Konvensi ini akan tetap berlaku untuk jangka waktu tak terbatas.
2. Setiap Anggota dapat membatalkan Konvensi ini setelah jangka waktu lima tahun sejak
tanggal masuk anggota dengan cara memberikan pemberitahuan tertulis kepada
Depositary. Pembatalan akan berlaku empat bulan setelah tanggal penerimaan oleh
Depositary.
Pasal 12
1. Penyimpan wajib memberitahukan kepada semua Negara yang telah menandatangani
dan mengaksesi Konvensi ini secepat mungkin: penandatangan Konvensi;

a) pemegang bukti ratifikasi Konvensi ini;


b) pemegang bukti aksesi pada Konvensi ini;
c) tanggal berlakunya Konvensi ini;
d) pemberitahuan pemutusan dari Konvensi ini.
2. Ketika Konvensi ini telah mulai berlaku, Depositary harus telah terdaftar di Sekretariat
PBB sesuai dengan Pasal 102 Piagam PBB. SEBAGAI BUKTI, yang bertandatangan di
bawah ini, yang diberi kewenangan untuk bertindak, telah menandatangani Konvensi ini.

2. Potensi dan pemanfaatan danau atau waduk di jawa barat untuk budidaya dan
penangkapan

Teknologi budidaya ikan dalam keramba jaring apung telah lama dikenal masyarakat
Indonesia. Menurut Ismail (1995), teknologi ini sudah diterapkan para petani Indonesia sejak
tahun 1940, yang dilakukan di beberapa sungai besar. Petani ikan di Jawa Barat, terutama
petani sekitar waduk Jatiluhur merupakan pemula yang mengadopsi teknik dasar pemeliharaan
ikan dalam keramba jaring apung, yaitu sekitar tahun 1976. Kemudian tahun 1980-an budidaya
seperti ini juga berkembang di perairan pantai atau laut. Pada perairan umum, biasanya jenis
ikan yang dibudidayakan antara lain ikan Mas (Cyprinus carpio), Nila Merah (Oreochromis
niloticus), sedangkan di perairan pantai dan laut untuk ikan Kerapu (Efinephelus spp.), Kakap
Merah (Lutjanus spp.) dan ikan ekonomis lainnya
Pada saat ini budidaya ikan dalam keramba jaring apung lebih berkembang pesat di perairan
umum terutama waduk, perkembangannyapun lebih pesat di wilayah Jawa Barat. Di daerah ini
dikenal ada tiga buah waduk besar yang dimanfaatkan untuk budidaya yaitu Cirata, Saguling
dan Jatiluhur.
Selain budidaya waduk memiliki potensi yang sangat bermanfaat untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yaitu sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA) unit Jawa – Bali,
pemasok kebutuhan air baku, irigasi, pariwisata dan komunikasi, perikanan budidaya keramba
jaring apung serta perikanan tangkap. Aktivitas perikanan tangkap menghasilkan produksi
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Sumberdaya perikanan ini mempunyai
potensi yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar sumberdaya tetap lestari.
Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Denpasar (2014) menjelaskan bahwa volume
produksi perikanan tangkap adalah jumlah semua ikan yang telah ditangkap dari sumber
perikanan alami oleh perusahaan/rumah tangga perikanan. Keberadaan kelembagaan
menentukan aturan main dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pemanfaatan
potensi perikanan yang ada pada suatu wilayah perairan. Kelembagaan pengelolaan perikanan
umumnya terdiri dari kelembagaan formal dan kelembagaan informal.
Harga ikan dari produksi tangkap berbeda dengan produksi budidaya. Harga ikan hasil
tangkapan jauh lebih murah dibandingkan dengan harga ikan hasil budidaya.

3. EAFM
Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem atau yang dikenal dengan ecosystem
approach to fisheries management (EAFM) merupakan suatu pendekatan yang berusaha
menyeimbangkan tujuan sosial yang beragam, dengan memperhatikan pengetahuan dan
ketidakpastian yang terdapat pada sumber daya biotik, abiotik dan manusia sebagai
komponen ekosistem dan interaksi mereka dan menerapkan pendekatan yang terintegrasi
untuk perikanan di dalam batas – batas ekologis yang berarti.

4. CBF
Culture Based Fisheries (CBF) atau Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya adalah
kegiatan perikanan tangkap dimana ikan hasil tangkapan berasal dari benih ikan hasil
budidaya yang ditebarkan ke dalam badan air, dan benih ikan yang ditebarkan akan
tumbuh dengan memanfaatkan makanan alami yang tersedia. Penebaran benih ikan
umumnya dilakukan secara rutin karena ikan hanya tumbuh dan tidak diharapkan
berkembang biak. Oleh karena itu, ketersediaan benih ikan patin siam dari hasil
pembenihan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pengembangan CBF.
Syarat Teknis:
1. Badan air yang akan digunakan untuk penerapan CBF ikan patin siam harus
memiliki: kualitas air yang baik untuk kehidupan ikan patin; sumber daya makanan
alami yang berupa plankton, benthos, detritus; potensi produksi ikan yang tinggi
(minimal 200 kg/ha/th); volume air tersedia sepanjang tahun, kedalaman air rata-
rata minimal 2 meter.
2. Benih ikan patin siam yang akan ditebarkan harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut: kualitas dan kuantitasnya memadai (karena ada pembenih yang
menghasilkan benih patin dengan pertumbuhan lambat, jumlahnya tersedia untuk
penebaran dengan kepadatan antara 100-200 ekor/ha tergantung pada
sumberdaya makanan alami yang tersedia); dapat memanfaatkan sumber daya
makanan alami yang tersedia; dan tidak bersifat invasif (tidak berdampak negatif)
terhadap jenis ikan asli.
3. Pembenihan ikan patin siam tersedia dengan jarak tempuh yang relatif dekat dengan
badan air yang akan ditebari dan telah berproduksi secara reguler serta
menghasilkan benih dengan kualitas baik bebas dari hama dan penyakit. Jika
pembenihan ikan patin belum tersedia maka perlu dibangun di sekitar lokasi badan
air yang akan ditebari.
4. Hasil tangkapan ikan di badan air yang akan ditebari masih rendah jauh di bawah
potensi produksi ikan lestarinya; alat tangkap yang digunakan (gill net) untuk
menangkap ikan patin ukuran konsumsi (>500 gram) berukuran mata jaring > 3,5
inci.
5. Kelompok nelayan sebagai unsur pengelola perikanan utama sudah ada atau mudah
dibentuk; berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan perikanan.

Tahapan Kerja/SOP:

1. Tahapan yang harus dilakukan dalam penerapan teknologi CBF ikan Patin siam
adalah sebagai berikut:Identifikasi potensi kesesuaian badan air untuk
perkembangan ikan patin yang meliputi: luasan dan volume air serta kedalaman
air; kualitas air; jenis dan kelimpahan sumber daya makanan alami; komposisi
jenis ikan asli; estimasi potensi produksi ikan.
2. Identifikasi Pembenihan Ikan Patin Siam yang meliputi: jumlah dan kualitas benih
yang dihasilkan; waktu produksi; jarak tempuh ke badan air yang akan ditebari; dan
sarana pendukung lainnya, seperti: alat dan cara pengemasan benih serta alat
transportasinya. Jika pembenihan ikan patin siam belum tersedia dan jarak tempuh
ke lokasi badan aiar yang akan ditebari sangat jauh maka perlu dibangun
pembenihan ikan patin di sekitar lokasi badan air tersebut.
3. Identifikasi kegiatan perikanan yang meliputi: jumlah nelayan; jenis dan jumlah alat
tangkap, jenis, komposisi dan jumlah hasil tangkapan ikan.
4. Identifikasi biaya yang diperlukan untuk kegiatan penebaran ikan patin dan peluang
keberhasilannya.
5. Identifikasi kelembagaan di mayarakat sekitar badan air: jumlah atau ketersediaan
kelompok nelayan; kelompok pengawas; kelompok usaha perikanan lainnya. Jika
kelompok belum terbentuk perlu diidentifikasi peluang keberhasilan
pembentukkannya.
6. Perencanaan pengembangan pengelolaan perikanan secara bersama (ko-
manajemen). Pemerintah cq Dinas Perikanan setempat berperan sebagai fasilitator
dan regulator sedangkan kelompok nelayan berperan sebagai pelaksana
pengelolaan perikanan di badan air yang bersangkutan.
7. Monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dilakukan pada perencanaan, selama
dan setelah penerapan teknologi CBF ikan patin, dan dari hasil monitoring
dilakukan evaluasi untuk mengkaji keberhasilan ataupun kegagalan penerapan
teknologinya. Monitoring hasil tangkapan dilakukan oleh kelompok nelayan
sedangkan evaluasinya dilakukan bersama antara pemerintah dengan kelompok
pengelola perikanan, khususnya kelompok nelayan.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Buku Rekomendasi Teknologi
Kelautan dan Perikanan 2013. Nurul Istiqomah, dkk. Tim Penemu Culture Based
Fisheries (CBF) Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus).
Ismail, Amin. 1995. Perkembangan Teknologi Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung
di Indonesia. Makalah yang disajikan dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional
(KIPNAS VI), Serpong, 12-16 September 1996. Makalah No.S .153/D-III.
The Convention on Wetlands text, as amended in 1982 and 1987 pada
situs http://www.ramsar.org

Anda mungkin juga menyukai