Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Studi kebijakan publik berusaha untuk meninjau berbagai teori dan proses yang terjadi

dalam kebijakan publik. Dapat dikatakan bahwa kebijakan publk tidak dapatterlepas dari

proses perumusan dalam pembentukan kebijakan itu sendiri salah asatu tujuan studi kebijakan

publik adalah untuk menganalisis bagaimana tahapan demi tahapan proses perumusan

kebijakan publik tersebut yang menggunakan berbagai model-model sehingga muncullah

kebijakan publik.

Tahapan demi tahapan itu terangkumsebagai suati proses siklus pembuatan kebijakan

publik. Setiap tahapan dalam proses pembentukan kebijakan publik mengandung berbagai

model model dan metode yang lebih rinci lagi. Tahapan yang terdapat dalam pembuatan suatu

kebijakan publik memiliki berbagai manfaat serta konsekuensi dari adanya proses tersebut.

Khususnya bagi para aktor pembuat kebijakan publik.

Makalah ini mencoba menguraikan berbagai model-model dalam perumusan kebijakan

publik. Tujuannya adalah untuk memahami berbagai tahapan pembuatan kebijakan publik

sehingga mempermudah untuk menganalisis masalah-masalah yang kompleks sehingga dapat

dirumuskan kedalam suatu kebijakan publik tertentu.

1.2. Rumusan Masalah

1. bagaimana formulasi kebijakan publik itu?

2. apa saja model-model dalam perumusan kebijakan publik?


3. bagaimana mekanisme dalam perumusan kebijakan publik?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini agar penulis dan pembaca dapat mengetahui

serta memahami tentang bagaimana formulasi, model-model serta mekanisme dalam

pembentukan atau perumusan kebijakan publik.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Formulasi Kebijakan Publik

Menurut Winarno (Winarno, 2011:122) ,Tahap dalam proses perumusan

kebijakan:

a. Perumusan Masalah ( Defining Problem)

Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental

dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka

masalah-masalah publik harus dikenali dan di definisikan dengan baik pula. Kebijakan

publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh

karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam

menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam

evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut

memuaskan atau tidak tergantung pada ketepatan masalah-masalah tersebut dirumuskan.

b. Agenda Kebijakan

Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-

masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah

tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Suatu masalah

untuk masuk untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat

tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi

masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan. Masalah publik yang
telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti

kalangan legislatif(DPR), kalangan eksekutif (Presiden dan para pembantunya), agen-agen

pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatf. Masalah-masalah tersebut dibahas

berdasarkan tingkat urgensinya untuk segera diselesaikan.

c. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Memecahkan Masalah

Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan

sepakat untuk memasukkan masalah tersebut kedalam agenda kebijakan, maka langkah

selanjutnya adalah membuat pemecahan pemecahan masalah. Disini perumus kebijakan

akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk

memecahkan masalah tersebut.

d. Tahap Penetapan Kebijakan

Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara

untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembentukan

kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya

merupakan kompromi dari berbagaikepentingan yang terlibat dalam pembentukan

tersebut. penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang, yurisprudensi,

keputusan presiden, keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya.

2.2 Model-model Formulasi Kebijakan

Memahami proses formulasi kebijakan sebagai proses politik, dibutuhkan suatu

model yang dapat membantu kita untuk mengerti proses formulasi tersebut. Model
adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan

penjelasan terhadap suatu fenomena (Indiahono, 2009:19).Menurut Thomas R. Dye dalam

bukunya Understanding Public Policy (1955), setidaknya terdapat sembilan model

formulasi kebijakan, yaitu model sistem, model elite, model institusional, model

kelompok, model proses, model rasional, model inkremental, model pilihan publik, dan

model teori permainan. (Agustino, 2008 : 131)

a. Model Sistem

Model ini lebih menggunakan teori David Easton, dimana kebijakan publik ada

karena adanya interaksi dengan lingkungan sekitar. Dalam pendekatan ini dikenal lima

instrumen penting untuk memahami proses pengambilan keputusan, yakni input, proses/

transformasi, output , feedback , dan lingkungan itu sendiri. Kelemahan dari sistem ini

adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, dan pada

akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah

(Winarno, 2007:70).

Formulasi kebijakan publik dengan model sistem ini, mengandaikan bahwa kebijakan

merupakan hasil atau output dari sistem politik. Dimana masukan (input) yang terdiri

atas dua hal, yaitu tuntutan dan dukungan.

b. Model Elite

Model kebijakan seperti ini menyatakan bahwa proses perumusan kebijakan

publik merupakan abstraksi dari keinginan elite yang berkuasa. Kebijakan yang

menggunakan model ini, hampir dipastikan akan berwarna kepentingan elite-elite yang
berkuasa dibandingkan dengan kebutuhan dan tuntutan publik. (Agustino,

2008:132)Model ini juga menyatakanadanya kelompok-kelompok, dimana kelompok

pertama adalah kaum elite, atau orang-orang yang memiliki kekuasaan. Kelompok kedua

adalah massa atau orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan. Dengan model elite ini

kebijakan yang akan dikeluarkan adalah hasil dari preferensi dari kaum elite. Perumusan

kebijakan menggunakan model elite ini memiliki sisi positif dan negatif, dimana sisi

negatifnya adalah pemegang kekuasaaan akan

menggunakan kuasanya untuk menjalankan keinginannya, dalam proses formulasi mereka

akan berusaha untuk menekan masyarakat untuk tidak terlibat dalam proses perumusan.

Sedangkan sisi positifnya dapat kita lihat munculnya kepemimpinan, dimana pemimpin

ini akan membawa visi untuk diubah menjadi kenyataan.

c. Model Institusional

Model ini disebut juga model kelembagaan. Model ini menyatakan bahwa tugas

formulasi merupakan tugas sentral lembaga-lembaga pemerintah secara otonom tanpa

perlu melakukan interaksi dengan lingkungannya.Artinya adalah tugas membuat

kebijakan adalah tugaspemerintah dan publik selaku pelaksanaan kebijakan yang dibuat

oleh institusi pemerintahan. Dalam khazanah ilmu politik perilaku ini memang tidak

bertentangan dengan teori kekuasaan dan kewenangan politik. Menurut teori ini dikatakan

bahwa pemerintah memang terlegitimasi untuk membuat kebijakan oleh karena salah

satu tugasnya adalahmembuat keputusan-keputusan politik, yang salah satunya adalah

kebijakan publik. Salah satu yang menjadi kelemahan dari model ini adalah
terabaikannya masalah-masalah lingkungan tempat kebijakan itu diterapkan (Wibawa,

1994, dalam

Nugroho 2009:397).

d. Model Kelompok

Dalam model ini dapat ditemukan adanya interaksi dalam kelompok untuk

menghasilkan keseimbangan. Di sini individu dalam kelompok-kelompok kepentingan

berinteraksi baik secara formal maupun informal, dan secara langsung atau melalui

media massa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan

publik yang diperlukan. Wibawa 1994 dalam (Nugroho, 2009:400) menjelaskan bahwa

model kelompok sesungguhnya merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan

yang di dalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan

bentuk kebijakan secara interaktif.

e. Model Proses

Dalam pendekatan ini, kebijakan publik dinilai sebagai aktivitas yang

menyertakan rangkaian-rangkaian (proses) yang berujung pada evaluasi kebijakan. Secara

singkat model ini menyatakan bahwa dalam memformulasikan kebijakan ada standar-

standar yang harus dilakukan oleh para formulator kebijakan agar kebijakan yang

dihasilkan minimal sesuai dengan apa yang hendak dicapai. (Agustino, 2008:134)

f. Model Rasional

Prinsipnya model ini menuntut bagaimana keputusan yang diambil oleh

pemerintah harus ada perhitungan rasionalitas costs and benefits bagi masyarakat. Untuk itu
ada tahapan cara yang harus dilakukan agar keputusan yang diambil bermanfaat bagi

masyarakat : (1) mengetahui pilihan-pilihan dengan kecenderungan yang diinginkan oleh

masyarakat. (2) menemukan pilihan-pilihan kebijakan yang memungkinkan untuk

diimplementasikan. (3) menilai konsekuensi masing-masing pilihan kebijakan. (4) menilai

perbandingan perhitungan

keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian yang akan diperoleh jika kebijakan

tersebut diimplementasikan. (5) memilih alternatif kebijakan yang paling efisien dan

ekonomis. (Agustino, 2008:135)

g. Model Inkremental

Model ini merupakan kritik terhadap model rasional (Nugroho, 2009:407). Model ini

melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan kebijakan di masa

lalu.Model ini dapat dikatakan sebagai model yang pragmatis/ praktis. Pendekatan ini diambil

ketika pengambilan keputusan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersedian informasi,

dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara

itu, pengambilan kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul di

sekelilingnya.Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan memodifikasi

seperlunya.Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintah yang berada di lingkungan

masyarakat yang pluralistik, yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang

dapat memuaskan seluruh warga.

h. Model Pilihan Publik


Model ini menekankan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah haruslah

kebijakan yang berbasis pada pilihan publik mayoritas. Kebijakan publik yang mayoritas

merupakan konstruksi rancangan bangun teori kontrak sosial, sehingga ketika kebijakan akan

diputuskan akan sangat bergantung pada preferensi publik atas pilihan-pilihan yang ada.

Artinya ketika pemerintah ingin membuat suatu kebijakan, akan ada tawar menawar dengan

publik.

i. Model Teori Permainan

Prinsip dasar dari kebijakan ini adalah bahwa kebijakan publik berada dalam

kondisi kompetisi yang sempurna, sehingga pengaturan strategi agar kebijakan yang

ditawarkan pada pengambilan keputusan lain dapat diterima, khususnya oleh para penentang.

Model teori permainan adalah model yang sangat abstrak dan deduktif dalam formulasi

kebijakan. Sesungguhnya, model ini mendasarkan pada formulasi kebijakan yang rasional

namun dalam kondisi kompetisi di mana tingkat keberhasilan kebijakan tidak lagi hanya

ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan, namun juga aktor-aktor lain. (Nugroho,2009:415).

2.3. Formulasi Kebijakan Model Elite

Model teori elite berkembang dari teori politik elite-massa yang melandaskan diri pada

asumsi bahwa dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang

kekuasaan atau elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa (Nugroho,

2009:400). Teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa se demokratis apa pun,

selalu ada bias dalam formulasi kebijakan karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan
yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elite-tidak lebih. Dari sudut pandang

teori elite, kebijakan publik dapat dianggap sebagai nilai dari pilihan elite pemerintah

semata. Penjelasan pokok dari teori elite adalah bahwa kebijakan publik tidak ditentukan

oleh “massa” melalui permintaan dan tindakan mereka tetapi kebijakan publik diputuskan

oleh suatu elite yang mengatur dan dipengaruhi oleh instansi pejabat publik. Thomas R.

Dye dan Harmon Zeigler dalam bukunya The Irony of Democrasy 1970 dalam

(Agustino, 2008:23) memberikan ringkasan mengenai teori elite sebagai berikut:

a. Masyarakat dapat dibagi menjadi dua, yakni mereka-mereka yang sedikit mempunyai

kekuasaan dan mereka-mereka yang banyak tidak mempunyai kekuasaan. Hanya

beberapa orang yang memberikan nilai untuk masyarakat dan massa tidak memutuskan

kebijakan publik.

b. Sedikit orang yang memerintah tidak sama dengan massa yang diperintah. Elite secara

tidak proporsional diambil dari masyarakat dengan tingkat sosial-ekonomi yang lebih tinggi.

c. Pergerakan dari non-elite ke posisi elite harus kontinyu agar terpelihara stabilitas dan

menghindari perubahan secara besar-besaran. Hanya non-elite yang telah diterima dalam

kesepakatan elite dasar dapat di ijinkan masuk dalam lingkaran pemerintah.

d. Elite membuat kesepakatan berdasarkan sistem-nilai-sosial dan pemeliharaan sistem.

e. Kebijakan publik tidak mencerminkan kebutuhan massa tetapi lebih mencerminkan

nilai-nilai dan kebutuhan elite. Perubahan dalam kebijakan publik lebih merupakan
penambahan daripada perombakan (penambahan memungkinkan respon untuk kejadian

yang mengancam sistem sosial dengan perubahan atau perpindahan sistem yang minimum).

f. Elite yang aktif merupakan subjek pengaruh langsung dari massa yang apatis yang relatif

kecil. Elite lebih banyak mempengaruhi massa daripada massa yang mempengaruhi

elite.Teori elite merupakan teori pembentukan kebijakan yang agak provokatif.

Kebijakan merupakan hasil keluaran elite yang mencerminkan nilai mereka dengan

tujuan melayani mereka, salah satu yang mungkin merupakan keinginan publik adalah

visi kesejahteraan massa secara imaginer. Teori elite memusatkan perhatian pada tugas

elite dalam pembentukan kebijakan dan pada kenyataannya bahwa dalam sistem politik

orang yang memerintah jauh lebih daripada orang yang diperintah. Dalam pelaksanaan

terori elite didapati bahwa yang berkerja adalah kekuasaan, dimana kekuasaan secara

umum didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang

dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai

dengan kehendak pihak yang memperngaruhi. Secara lebih sempit, kekuasaan politik dapat

dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk

mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan

itu menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakatnya. Perumusan kebijakan

berhubungan dengan didapatkannya persetujuan dari kebijakan yang dipilih. Keputusan

kebijakan adalah mekanisme dalam memutuskan/ menyetujui alternative kebijakan terbaik

yang merupakan hasil dari proses yang berlangsung dalam formulasi kebijakan (Agustino,

2008:122).
Keputusan kebijakan termasuk tindakan yang dilakukan oleh beberapa orang pejabat

atau sebuah badan untuk menyetujui/ memutuskan, merubah, atau menolak alternatif

kebijakan yang dipilih, oleh karena itu proses pembuatan keputusan kebijakan dapat

dipelajari sebagai suatu proses individual atau kolektif. Beberapa kriteria yang dapat

mempengaruhi pilihan kebijakan yang bersifat individual manakala kebijakan hendak

diputuskan:

a. Nilai

Nilai akan mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan kebijakan, nilai-

nilai tersebut diantaranya nilai sosial, politik, organisasi, dan lainnya. Nilai politik

terkait dengan keputusan yang akan dibuat oleh para aktor berdasarkan pada

kepentingan partai politiknya beserta kelompoknya. Keputusan yang dibuat didasarkan pada

keuntungan politik dengan dipandang sebagai sarana mencapai tujuan partai/ kelompok

kepentingan. Nilai organisasi terkait kehidupan organisasi kedepannya.

b. Afiliasi pada Partai Politik

Keputusan yang diambil oleh individu dalam tubuh parlemen tetap mengacu pada

ideologi partai.

c. Kepentingan Para Pemilih

Dalam parlemen keputusan yang diambil dalam proses formulasi kebijakan

adalah keputusan yang diharapkan oleh para pengusung yang telah mengantarkannya
duduk di parlemen. Selain itu individu ini juga mengambil keputusan yang juga merupakan

kepentingan partainya.

d. Pendapat Publik

Keputusan yang melibatkan pendapat publik dapat dilihat dari pengaruh pendapat

publik dalam pembuatan kebijakan mengenai arah kebijakan yang diharapkan masyarakat.

Keputusan yang dibuat oleh legislatif diformulasikan dalam keadaan dimana secara ekstrem

sebagian kecil masyarakat umum mempunyai pengetahuan pada masalah tertentu, paling

tidak pengetahuan tentang konsekuensi keputusan. Arah dan batasan kebijakan publik

secara umum dapat dibentuk oleh pendapat publik.

e. Perbedaan

Ketika keputusan yang akan diambil mengalami perbedaan pendapat antara

lembaga yang satu dengan yang lainnya, maka keputusan itu berasal dari hasil voting ataupun

gagasan dari pihak ketiga.

2.4. Model Kebijakan Partisipatif

Partisipasi adalah hak politik yang sebetulnya sudah dijamin dalam berbagai ketentuan

perundang-undangan, namun jaminan itu tidak pernah dirumuskan secara operasional.

Sehubungan dengan hal itu, maka partisipasi justru harus dituntut, dan komunitas yang terlibat

dalam gerakan pembaruan politik di negeri ini menuntutnya dalam bentuk jaminan dalam

format yang lebih operasional (tepat guna).

Konsep partisipasi dalam perkembangannya memiliki pengertian yang beragam

walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. Dalam pembangunan yang demokratis,
terdapat tiga tradisi partisipasi yaitu partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga

(Gaventa dan Valderama, 1999).

Partisipasi dalam proses politik yang demokratis melibatkan interaksi individu atau

organisasi politik dengan negara yang diungkapkan melalui tindakan terorganisir melalui

pemungutan suara, kampaye, protes, dengan tujuan mempengaruhi wakil-wakil pemerintah.

Partisipasi sosial dalam kontek pembangunan diartikan sebagai keterlibatan masyarakat

terutama yang dipandang sebagai pewaris pembangunan dalam kuonsultasi atau pengambilan

keputusan di semua tahapan siklus pembangunan (Stiefel dan Wolfe,1994). Dalam hal ini

partisipasi sosial ditempatkan diluar lembaga formal pemerintahan.

Sedangkan partisipasi warga diartikan sebagai suatu kepedulian dengan perbagai

bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di

berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka (Gaventa dan Valderama,

1999).

Dengan demikian pengertian partisipasi adalah keterlibatan seseorang dalam suatu

kegiatan mulai dari menentukan tujuan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dengan

dilandasi oleh kesadaran akan tujuan itu.

Pengertian partisipasi mana yang akan dipakai, sangat tergantung pada sistem pemerintahan

yang dianut negara yang bersangkutan. Menurut Peters (1996), partisipasi dapat tumbuh subur

pada tata pemerintahan yang lebih menekankan keterlibatan masyarakat dalam proses

pengambilan kebijakan dibanding hirarki dan teknokrasi.


Kebijakan bukan persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara teknokrasi oleh

sekelompok orang yang dipercaya untuk merumuskannya, tetapi kebijakan merupakan ruang

bagi teknokrat dan masyarakat untuk melakukan kerjasama dan menggabungkan pengetahuan.

Oleh karena itu dalam menetapkan kebijakan harus melibatkan pihak yang luas dan menjamin

kepentingan stakeholders.

Berkaitan dengan ini Mahmuddin Muslim (2001) mengutip hasil survey Public Integity Index

menemukan bahwa permasalahan kita bukan pada rendahnya kualitas dan kuantitas tingkat

partisipasi masyarakat, tetapi terletak pada ketertutupan mekanisme politik bagi keterlibatan

warga negara dalam menuntut akuntabilitas dan keterbukaan. Hambatan utama dalam

mengupayakan pemerintah yang terbuka dan akuntabel justru terletak pada institusiinstitusi

(peraturan perundangan) yang cenderung memiliki kepentingan sendiri yang berbeda dengan

kepentingan publik dan praktek pemerintahan yang tidak peka terhadap desakan kepentingan

publik. Kondisi ini dapat mendorong praktek terjadinya korupsi dalam sebuah mekanisme

yang saling melindungi dan sampai saat ini tidak dapat disentuh oleh tuntutan keterbukaan dan

akuntabilitas.

Philipus M. Hadjon ( 1997: 4-5 ) mengemukakan bahwa konsep partisipasi publik

berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak

mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan.


Menurut Philipus M. Hadjon, keterbukaan, baik“openheid” maupun “openbaar-heid” sangat

penting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikian

keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang

secara layak Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan

oleh Philipus M. Hadjon ( 1997: 7-8 ) bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep

demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk

ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan. Dalam konsep

demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum,

sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul “Beginselen van de

democratische rechsstaat” bahwa (Philipus M. Hadjon, 1997 : 2) :

1. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas

dan rahasia;

2. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;

3. setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan berpendapat dan

berkumpul;

4. Badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui sarana

“(mede) beslissing-recht” (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang

pengawas;

5. Asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka;

6. Dihormatinya hak-hak kaum minoritas.


Partisipasi masyarakat itu semakin penting urgensinya dalam proses pengambilan

keputusan setelah dikampanyekannya good governance oleh Bank Dunia maupun

UNDP. Salah satu karakteristik dari good governance atau tata kelola pemerintahan

yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Selanjutnya UNDP

mengartikan partisipasi sebagai karakteristik pelaksanaan good governance adalah

keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun

tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.

Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta

berpartisipasi secara konstruktif (Hetifah Sj Sumarto, 2003: 3). Senada dengan

pengertian tersebut, Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere ( 2001:

8 ) memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa pihakpihak yang dipengaruhi oleh

suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders (pihak yang mempunyai

kepentingan)-memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan,

kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan.

Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik

yang diberikan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, yaitu bahwa partisipasi

politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang

dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah ( Mariam

Budiardjo,1981: 2 ).

Menurut Sad Dian Utomo (2003: 267-272), manfaat partisipasi masyarakat

dalam pembuatan kebijakan publik, adalah :


1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik.

2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan

terlibat dalam pembuatan kebijakan publik.

3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif.

4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan

kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan

dalam sosialisasi kebijakan public dapat dihemat.

2.5 Mekanisme Kebijakan Publik

Pembahasan kebijakan publik tidak bisa lepas dari usaha untuk melaksanakan

kebijakan publik tersebut. Pelaksanaan kebijakan publik merupakan rangkaian kegiatan

setelah suatu kebijakan dirumuskan dan ditetapkan. Pelaksanaan kebijakan mengacu pada

mekanisme, sumberdaya, dan hubungan terkait dengan pelaksanaan program kebijakan

(Mthethwa, 2012).

Tanpa pelaksanaannya, kebijakan yang telah ditetapkan akan sia-sia. Oleh karena itu,

pelaksanaan kebijakan mempunyai kedudukan yang esensial dalam kebijakan publik.

Pelaksanaan kebijakan merupakan kegiatan lanjutan dari proses perumusan dan penetapan

kebijakan. Sehingga pelaksanaan kebijakan dapat dimaknai sebagai tindakan-tindakan yang

dilakukan, baik oleh individu maupun kelompok pemerintah, yang diorientasikan pada

pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Implikasi dari
pelaksanaan kebijakan merupakan konsekuensi yang muncul sebagai akibat dari

dilaksanakannya kebijakan-kebijakan tersebut. Hasil evaluasi pada pelaksanaan kebijakan

dapat menghasilkan dampak yang diharapkan (intended) atau dampak yang tidak diharapkan

(spillover negative effect).

Secara luas, pelaksanaan kebijakan digambarkan sebagai apa yang ditetapkan secara

jelas oleh pembuat kebijakan (pemerintah) yang akan memiliki dampak tertentu. Jann &

Wegrich (2007) menyebutkan bahwa pelaksanaan kebijakan akan mencakup unsur inti sebagai

berikut:

1. Spesifikasi rinian program, yakni bagaimana dan di mana lembaga atau organisasi harus

menjalankan program, dan bagaimana hukum atau program ditafsirkan;

2. Alokasi sumberdaya, yakni bagaimana anggaran didistribusikan, personil yang akan

melaksanakan program dan organisasi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program.

3. Keputusan, yakni bagaimana keputusan akan dilakukan.

Proses pelaksanaan kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan

administratif/ pemerintahan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan

menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan pada

kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial, yang secara langsung maupun tidak langsung

dapat mempengaruhi perilaku dari para pihak yang terlibat (stakeholders).

Kesalahan atau ketidaksempurnaan suatu kebijakan biasanya akan dapat dievaluasi

setelah kebijakan itu dilaksanakan, begitu juga keberhasilan pelaksanaan kebijakan dapat

dianalisa pada akibat yang ditimbulkan sebagai hasil pelaksanaan kebijakan. Penilaian atas
kebijakan dapat mencakup isi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan dampak kebijakan.

Mengenai keberhasilan kebijakan publik, Islamy (2010) menyatakan bahwa suatu kebijakan

negara akan efektif apabila dilaksanakan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat,

dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota-anggota masyarakat

bersesuaian dengan yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Oleh karena itu, pemerintah

perlu memastikan pelaksanaan kebijakan agar efektif dilakukan melalui rancangan program

yang memadai dan strukturasi dari proses pelaksanaannya (Pülzl & Treib, 2007).

Menurut Edwards III, pelaksanaan kebijakan dapat diartikan sebagai bagian dari

tahapan proseskebijaksanaan, yang posisinya berada diantara tahapan penyusunan

kebijaksanaan dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan tersebut

(output, outcome). Lebih lanjut, Edward III mengidentifikasikan aspek-aspek yang diduga

kuat berkontribusi pada pelaksanaan kebijakan, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi atau

sikap pelaksana, dan struktur birokrasi. Keempat aspek mempengaruhi pelaksanaan kebijakan,

baik secara langsung maupun tidak secara langsung, dan masing-masing aspek saling

berpengaruh terhadap aspek lainnya (Wahyudi, 2016).

a. Kewenangan/ Struktur Birokrasi

Kewenangan merupakan otoritas/ legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan

kebijakan yang ditetapkan secara politik (Afandi & Warjio, 2015). Kewenangan ini berkaitan

dengan struktur birokrasi yang melekat pada posisi/ strata kelembagaan atau individu sebagai

pelaksana kebijakan. Karakteristik utama dari birokrasi umumnya tertuang dalam prosedur
kerja atau Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi organisasi.

b. Komunikasi

Komunikasi adalah aktivitas yang mengakibatkan orang lain menginterprestasikan

suatu ide/gagasan, terutama yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis melalui sesuatu

sistem yang biasa (lazim) baik dengan simbol-simbol, signal-signal, maupun perilaku

(Wardhani,Hasiolan, & Minarsih, 2016). Komunikasi mempengaruhi pelaksanaan kebijakan

publik, dimana komunikasi yang tidak baik dapat menimbulkan dampak-dampak buruk bagi

pelaksanaan kebijakan. Dimensi komunikasi yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan

publik diantaranya: transmisi, konsistensi, dan kejelasan (Winarno, 2012). Pencapaian

keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik mensyaratkan pelaksana untuk mengetahui yang

harus dilakukan secara jelas; tujuan dan sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada

kelompok sasaran (target group) sehingga dapat mengurangi kesenjangan antara rencana dan

pelaksanaan kebijakan. Apabila penyampaian informasi tentang tujuan dan sasaran suatu

kebijakan kepada kelompok sasaran tidak jelas, dimungkinkan terjadi resistensi dari kelompok

sasaran (Afandi & Warjio, 2015).

Kemampuan komunikasi diarahkan agar pelaksana kegiatan dapat berunding satu sama

lain dan menemukan titik kesepahaman/ konsensus yang saling menguntungkan. Konsensus

yang terbagun dapat meningkatkan kinerja personal dalam bekerja dengan menemukan

kondisi win-win solution pada setiap permasalahan (Ramdhani & Suryadi, 2005).
c. Sumberdaya

Pelaksanaan kebijakan harus ditunjang oleh ketersediaan sumberdaya (manusia,

materi, dan metoda). Pelaksanaan kebijakan publik perlu dilakukan secara cermat, jelas, dan

konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumberdaya yang diperlukan, maka

pelaksanaaan kebijakan akan cenderung tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Tanpa

dukungan sumberdaya, kebijakan hanya akan menjadi dokumen yang tidak diwujudkan untuk

pada masyarakat. Dengan demikian, sumberdaya merupakan faktor penting dalam

melaksanakan kebijakan publik. Sumberdaya dalam pelaksanaan kebijakan publik

diantaranya: staf yang memadai, informasi, pendanaan, wewenang, dan fasilitas pendukung

lainnya (Afandi & Warjio, 2015).

d. Disposisi atau sikap dari pelaksana

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan,

seperti komitmen, disiplin, kejujuran, kecerdasan, dan sifat demokratis (Wahab, 2010).

Apabila pelaksana kebijakan memiliki disposisi yang baik, maka dia diduga kuat akan

menjalankan kebijakan dengan baik, sebaliknya apabila pelaksana kebijakan memiliki sikap

atau cara pandang yang berbeda dengan maksud dan arah dari kebijakan, maka dimungkinkan

proses pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan efektif dan efisien. Disposisi atau sikap para

pelaksana akan menimbulkan dukungan atau hambatan terhadap pelaksanaan kebijakan

tergantuk dari kesesuaian kompetensi dan sikap dari pelaksanaan.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Formulasi Kebijakan Publik Menurut Winarno (Winarno, 2011:122) ,Tahap dalam

proses perumusan kebijakan: Perumusan Masalah ( Defining Problem), Agenda Kebijakan,

Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Memecahkan Masalah, dan tahap penetapan kebijakan.

Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk

memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena (Indiahono, 2009:19).Menurut Thomas R.

Dye dalam bukunya Understanding Public Policy (1955), setidaknya terdapat sembilan

model formulasi kebijakan, yaitu model sistem, model elite, model institusional, model

kelompok, model proses, model rasional, model inkremental, model pilihan publik, dan

model teori permainan. (Agustino, 2008 : 131)

Anda mungkin juga menyukai