PENDAHULUAN
Studi kebijakan publik berusaha untuk meninjau berbagai teori dan proses yang terjadi
dalam kebijakan publik. Dapat dikatakan bahwa kebijakan publk tidak dapatterlepas dari
proses perumusan dalam pembentukan kebijakan itu sendiri salah asatu tujuan studi kebijakan
publik adalah untuk menganalisis bagaimana tahapan demi tahapan proses perumusan
kebijakan publik.
Tahapan demi tahapan itu terangkumsebagai suati proses siklus pembuatan kebijakan
publik. Setiap tahapan dalam proses pembentukan kebijakan publik mengandung berbagai
model model dan metode yang lebih rinci lagi. Tahapan yang terdapat dalam pembuatan suatu
kebijakan publik memiliki berbagai manfaat serta konsekuensi dari adanya proses tersebut.
publik. Tujuannya adalah untuk memahami berbagai tahapan pembuatan kebijakan publik
Adapun tujuan penulisan makalah ini agar penulis dan pembaca dapat mengetahui
kebijakan:
dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka
masalah-masalah publik harus dikenali dan di definisikan dengan baik pula. Kebijakan
publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh
karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam
b. Agenda Kebijakan
Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-
masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah
tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Suatu masalah
untuk masuk untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi
masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan. Masalah publik yang
telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti
Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan
sepakat untuk memasukkan masalah tersebut kedalam agenda kebijakan, maka langkah
akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk
Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara
untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembentukan
kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya
model yang dapat membantu kita untuk mengerti proses formulasi tersebut. Model
adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan
formulasi kebijakan, yaitu model sistem, model elite, model institusional, model
kelompok, model proses, model rasional, model inkremental, model pilihan publik, dan
a. Model Sistem
Model ini lebih menggunakan teori David Easton, dimana kebijakan publik ada
karena adanya interaksi dengan lingkungan sekitar. Dalam pendekatan ini dikenal lima
instrumen penting untuk memahami proses pengambilan keputusan, yakni input, proses/
transformasi, output , feedback , dan lingkungan itu sendiri. Kelemahan dari sistem ini
adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, dan pada
akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah
(Winarno, 2007:70).
Formulasi kebijakan publik dengan model sistem ini, mengandaikan bahwa kebijakan
merupakan hasil atau output dari sistem politik. Dimana masukan (input) yang terdiri
b. Model Elite
publik merupakan abstraksi dari keinginan elite yang berkuasa. Kebijakan yang
menggunakan model ini, hampir dipastikan akan berwarna kepentingan elite-elite yang
berkuasa dibandingkan dengan kebutuhan dan tuntutan publik. (Agustino,
pertama adalah kaum elite, atau orang-orang yang memiliki kekuasaan. Kelompok kedua
adalah massa atau orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan. Dengan model elite ini
kebijakan yang akan dikeluarkan adalah hasil dari preferensi dari kaum elite. Perumusan
kebijakan menggunakan model elite ini memiliki sisi positif dan negatif, dimana sisi
akan berusaha untuk menekan masyarakat untuk tidak terlibat dalam proses perumusan.
Sedangkan sisi positifnya dapat kita lihat munculnya kepemimpinan, dimana pemimpin
c. Model Institusional
Model ini disebut juga model kelembagaan. Model ini menyatakan bahwa tugas
kebijakan adalah tugaspemerintah dan publik selaku pelaksanaan kebijakan yang dibuat
oleh institusi pemerintahan. Dalam khazanah ilmu politik perilaku ini memang tidak
bertentangan dengan teori kekuasaan dan kewenangan politik. Menurut teori ini dikatakan
bahwa pemerintah memang terlegitimasi untuk membuat kebijakan oleh karena salah
kebijakan publik. Salah satu yang menjadi kelemahan dari model ini adalah
terabaikannya masalah-masalah lingkungan tempat kebijakan itu diterapkan (Wibawa,
1994, dalam
Nugroho 2009:397).
d. Model Kelompok
Dalam model ini dapat ditemukan adanya interaksi dalam kelompok untuk
berinteraksi baik secara formal maupun informal, dan secara langsung atau melalui
publik yang diperlukan. Wibawa 1994 dalam (Nugroho, 2009:400) menjelaskan bahwa
e. Model Proses
singkat model ini menyatakan bahwa dalam memformulasikan kebijakan ada standar-
standar yang harus dilakukan oleh para formulator kebijakan agar kebijakan yang
dihasilkan minimal sesuai dengan apa yang hendak dicapai. (Agustino, 2008:134)
f. Model Rasional
pemerintah harus ada perhitungan rasionalitas costs and benefits bagi masyarakat. Untuk itu
ada tahapan cara yang harus dilakukan agar keputusan yang diambil bermanfaat bagi
perbandingan perhitungan
tersebut diimplementasikan. (5) memilih alternatif kebijakan yang paling efisien dan
g. Model Inkremental
Model ini merupakan kritik terhadap model rasional (Nugroho, 2009:407). Model ini
melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan kebijakan di masa
lalu.Model ini dapat dikatakan sebagai model yang pragmatis/ praktis. Pendekatan ini diambil
dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara
masyarakat yang pluralistik, yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang
kebijakan yang berbasis pada pilihan publik mayoritas. Kebijakan publik yang mayoritas
merupakan konstruksi rancangan bangun teori kontrak sosial, sehingga ketika kebijakan akan
diputuskan akan sangat bergantung pada preferensi publik atas pilihan-pilihan yang ada.
Artinya ketika pemerintah ingin membuat suatu kebijakan, akan ada tawar menawar dengan
publik.
Prinsip dasar dari kebijakan ini adalah bahwa kebijakan publik berada dalam
kondisi kompetisi yang sempurna, sehingga pengaturan strategi agar kebijakan yang
ditawarkan pada pengambilan keputusan lain dapat diterima, khususnya oleh para penentang.
Model teori permainan adalah model yang sangat abstrak dan deduktif dalam formulasi
kebijakan. Sesungguhnya, model ini mendasarkan pada formulasi kebijakan yang rasional
namun dalam kondisi kompetisi di mana tingkat keberhasilan kebijakan tidak lagi hanya
ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan, namun juga aktor-aktor lain. (Nugroho,2009:415).
Model teori elite berkembang dari teori politik elite-massa yang melandaskan diri pada
asumsi bahwa dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang
kekuasaan atau elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa (Nugroho,
2009:400). Teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa se demokratis apa pun,
selalu ada bias dalam formulasi kebijakan karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan
yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elite-tidak lebih. Dari sudut pandang
teori elite, kebijakan publik dapat dianggap sebagai nilai dari pilihan elite pemerintah
semata. Penjelasan pokok dari teori elite adalah bahwa kebijakan publik tidak ditentukan
oleh “massa” melalui permintaan dan tindakan mereka tetapi kebijakan publik diputuskan
oleh suatu elite yang mengatur dan dipengaruhi oleh instansi pejabat publik. Thomas R.
Dye dan Harmon Zeigler dalam bukunya The Irony of Democrasy 1970 dalam
a. Masyarakat dapat dibagi menjadi dua, yakni mereka-mereka yang sedikit mempunyai
beberapa orang yang memberikan nilai untuk masyarakat dan massa tidak memutuskan
kebijakan publik.
b. Sedikit orang yang memerintah tidak sama dengan massa yang diperintah. Elite secara
tidak proporsional diambil dari masyarakat dengan tingkat sosial-ekonomi yang lebih tinggi.
c. Pergerakan dari non-elite ke posisi elite harus kontinyu agar terpelihara stabilitas dan
menghindari perubahan secara besar-besaran. Hanya non-elite yang telah diterima dalam
nilai-nilai dan kebutuhan elite. Perubahan dalam kebijakan publik lebih merupakan
penambahan daripada perombakan (penambahan memungkinkan respon untuk kejadian
yang mengancam sistem sosial dengan perubahan atau perpindahan sistem yang minimum).
f. Elite yang aktif merupakan subjek pengaruh langsung dari massa yang apatis yang relatif
kecil. Elite lebih banyak mempengaruhi massa daripada massa yang mempengaruhi
Kebijakan merupakan hasil keluaran elite yang mencerminkan nilai mereka dengan
tujuan melayani mereka, salah satu yang mungkin merupakan keinginan publik adalah
visi kesejahteraan massa secara imaginer. Teori elite memusatkan perhatian pada tugas
elite dalam pembentukan kebijakan dan pada kenyataannya bahwa dalam sistem politik
orang yang memerintah jauh lebih daripada orang yang diperintah. Dalam pelaksanaan
terori elite didapati bahwa yang berkerja adalah kekuasaan, dimana kekuasaan secara
dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai
dengan kehendak pihak yang memperngaruhi. Secara lebih sempit, kekuasaan politik dapat
yang merupakan hasil dari proses yang berlangsung dalam formulasi kebijakan (Agustino,
2008:122).
Keputusan kebijakan termasuk tindakan yang dilakukan oleh beberapa orang pejabat
atau sebuah badan untuk menyetujui/ memutuskan, merubah, atau menolak alternatif
kebijakan yang dipilih, oleh karena itu proses pembuatan keputusan kebijakan dapat
dipelajari sebagai suatu proses individual atau kolektif. Beberapa kriteria yang dapat
diputuskan:
a. Nilai
nilai tersebut diantaranya nilai sosial, politik, organisasi, dan lainnya. Nilai politik
terkait dengan keputusan yang akan dibuat oleh para aktor berdasarkan pada
kepentingan partai politiknya beserta kelompoknya. Keputusan yang dibuat didasarkan pada
keuntungan politik dengan dipandang sebagai sarana mencapai tujuan partai/ kelompok
Keputusan yang diambil oleh individu dalam tubuh parlemen tetap mengacu pada
ideologi partai.
adalah keputusan yang diharapkan oleh para pengusung yang telah mengantarkannya
duduk di parlemen. Selain itu individu ini juga mengambil keputusan yang juga merupakan
kepentingan partainya.
d. Pendapat Publik
Keputusan yang melibatkan pendapat publik dapat dilihat dari pengaruh pendapat
publik dalam pembuatan kebijakan mengenai arah kebijakan yang diharapkan masyarakat.
Keputusan yang dibuat oleh legislatif diformulasikan dalam keadaan dimana secara ekstrem
sebagian kecil masyarakat umum mempunyai pengetahuan pada masalah tertentu, paling
tidak pengetahuan tentang konsekuensi keputusan. Arah dan batasan kebijakan publik
e. Perbedaan
lembaga yang satu dengan yang lainnya, maka keputusan itu berasal dari hasil voting ataupun
Partisipasi adalah hak politik yang sebetulnya sudah dijamin dalam berbagai ketentuan
Sehubungan dengan hal itu, maka partisipasi justru harus dituntut, dan komunitas yang terlibat
dalam gerakan pembaruan politik di negeri ini menuntutnya dalam bentuk jaminan dalam
walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. Dalam pembangunan yang demokratis,
terdapat tiga tradisi partisipasi yaitu partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga
Partisipasi dalam proses politik yang demokratis melibatkan interaksi individu atau
organisasi politik dengan negara yang diungkapkan melalui tindakan terorganisir melalui
terutama yang dipandang sebagai pewaris pembangunan dalam kuonsultasi atau pengambilan
keputusan di semua tahapan siklus pembangunan (Stiefel dan Wolfe,1994). Dalam hal ini
berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka (Gaventa dan Valderama,
1999).
kegiatan mulai dari menentukan tujuan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dengan
Pengertian partisipasi mana yang akan dipakai, sangat tergantung pada sistem pemerintahan
yang dianut negara yang bersangkutan. Menurut Peters (1996), partisipasi dapat tumbuh subur
pada tata pemerintahan yang lebih menekankan keterlibatan masyarakat dalam proses
sekelompok orang yang dipercaya untuk merumuskannya, tetapi kebijakan merupakan ruang
bagi teknokrat dan masyarakat untuk melakukan kerjasama dan menggabungkan pengetahuan.
Oleh karena itu dalam menetapkan kebijakan harus melibatkan pihak yang luas dan menjamin
kepentingan stakeholders.
Berkaitan dengan ini Mahmuddin Muslim (2001) mengutip hasil survey Public Integity Index
menemukan bahwa permasalahan kita bukan pada rendahnya kualitas dan kuantitas tingkat
partisipasi masyarakat, tetapi terletak pada ketertutupan mekanisme politik bagi keterlibatan
warga negara dalam menuntut akuntabilitas dan keterbukaan. Hambatan utama dalam
mengupayakan pemerintah yang terbuka dan akuntabel justru terletak pada institusiinstitusi
(peraturan perundangan) yang cenderung memiliki kepentingan sendiri yang berbeda dengan
kepentingan publik dan praktek pemerintahan yang tidak peka terhadap desakan kepentingan
publik. Kondisi ini dapat mendorong praktek terjadinya korupsi dalam sebuah mekanisme
yang saling melindungi dan sampai saat ini tidak dapat disentuh oleh tuntutan keterbukaan dan
akuntabilitas.
berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak
penting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikian
secara layak Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan
oleh Philipus M. Hadjon ( 1997: 7-8 ) bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep
demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk
demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum,
sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul “Beginselen van de
1. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas
dan rahasia;
3. setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan berpendapat dan
berkumpul;
“(mede) beslissing-recht” (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang
pengawas;
5. Asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka;
UNDP. Salah satu karakteristik dari good governance atau tata kelola pemerintahan
yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Selanjutnya UNDP
Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta
pengertian tersebut, Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere ( 2001:
Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik
yang diberikan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, yaitu bahwa partisipasi
politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
Budiardjo,1981: 2 ).
2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan
kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan
Pembahasan kebijakan publik tidak bisa lepas dari usaha untuk melaksanakan
setelah suatu kebijakan dirumuskan dan ditetapkan. Pelaksanaan kebijakan mengacu pada
(Mthethwa, 2012).
Tanpa pelaksanaannya, kebijakan yang telah ditetapkan akan sia-sia. Oleh karena itu,
Pelaksanaan kebijakan merupakan kegiatan lanjutan dari proses perumusan dan penetapan
dilakukan, baik oleh individu maupun kelompok pemerintah, yang diorientasikan pada
pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Implikasi dari
pelaksanaan kebijakan merupakan konsekuensi yang muncul sebagai akibat dari
dapat menghasilkan dampak yang diharapkan (intended) atau dampak yang tidak diharapkan
Secara luas, pelaksanaan kebijakan digambarkan sebagai apa yang ditetapkan secara
jelas oleh pembuat kebijakan (pemerintah) yang akan memiliki dampak tertentu. Jann &
Wegrich (2007) menyebutkan bahwa pelaksanaan kebijakan akan mencakup unsur inti sebagai
berikut:
1. Spesifikasi rinian program, yakni bagaimana dan di mana lembaga atau organisasi harus
melaksanakan program dan organisasi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program.
menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan pada
kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial, yang secara langsung maupun tidak langsung
setelah kebijakan itu dilaksanakan, begitu juga keberhasilan pelaksanaan kebijakan dapat
dianalisa pada akibat yang ditimbulkan sebagai hasil pelaksanaan kebijakan. Penilaian atas
kebijakan dapat mencakup isi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan dampak kebijakan.
Mengenai keberhasilan kebijakan publik, Islamy (2010) menyatakan bahwa suatu kebijakan
negara akan efektif apabila dilaksanakan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat,
dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota-anggota masyarakat
bersesuaian dengan yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Oleh karena itu, pemerintah
perlu memastikan pelaksanaan kebijakan agar efektif dilakukan melalui rancangan program
yang memadai dan strukturasi dari proses pelaksanaannya (Pülzl & Treib, 2007).
Menurut Edwards III, pelaksanaan kebijakan dapat diartikan sebagai bagian dari
(output, outcome). Lebih lanjut, Edward III mengidentifikasikan aspek-aspek yang diduga
kuat berkontribusi pada pelaksanaan kebijakan, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi atau
sikap pelaksana, dan struktur birokrasi. Keempat aspek mempengaruhi pelaksanaan kebijakan,
baik secara langsung maupun tidak secara langsung, dan masing-masing aspek saling
kebijakan yang ditetapkan secara politik (Afandi & Warjio, 2015). Kewenangan ini berkaitan
dengan struktur birokrasi yang melekat pada posisi/ strata kelembagaan atau individu sebagai
pelaksana kebijakan. Karakteristik utama dari birokrasi umumnya tertuang dalam prosedur
kerja atau Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi organisasi.
b. Komunikasi
suatu ide/gagasan, terutama yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis melalui sesuatu
sistem yang biasa (lazim) baik dengan simbol-simbol, signal-signal, maupun perilaku
publik, dimana komunikasi yang tidak baik dapat menimbulkan dampak-dampak buruk bagi
harus dilakukan secara jelas; tujuan dan sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada
kelompok sasaran (target group) sehingga dapat mengurangi kesenjangan antara rencana dan
pelaksanaan kebijakan. Apabila penyampaian informasi tentang tujuan dan sasaran suatu
kebijakan kepada kelompok sasaran tidak jelas, dimungkinkan terjadi resistensi dari kelompok
Kemampuan komunikasi diarahkan agar pelaksana kegiatan dapat berunding satu sama
lain dan menemukan titik kesepahaman/ konsensus yang saling menguntungkan. Konsensus
yang terbagun dapat meningkatkan kinerja personal dalam bekerja dengan menemukan
kondisi win-win solution pada setiap permasalahan (Ramdhani & Suryadi, 2005).
c. Sumberdaya
materi, dan metoda). Pelaksanaan kebijakan publik perlu dilakukan secara cermat, jelas, dan
konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumberdaya yang diperlukan, maka
pelaksanaaan kebijakan akan cenderung tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Tanpa
dukungan sumberdaya, kebijakan hanya akan menjadi dokumen yang tidak diwujudkan untuk
diantaranya: staf yang memadai, informasi, pendanaan, wewenang, dan fasilitas pendukung
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan,
seperti komitmen, disiplin, kejujuran, kecerdasan, dan sifat demokratis (Wahab, 2010).
Apabila pelaksana kebijakan memiliki disposisi yang baik, maka dia diduga kuat akan
menjalankan kebijakan dengan baik, sebaliknya apabila pelaksana kebijakan memiliki sikap
atau cara pandang yang berbeda dengan maksud dan arah dari kebijakan, maka dimungkinkan
proses pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan efektif dan efisien. Disposisi atau sikap para
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Memecahkan Masalah, dan tahap penetapan kebijakan.
Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk
Dye dalam bukunya Understanding Public Policy (1955), setidaknya terdapat sembilan
model formulasi kebijakan, yaitu model sistem, model elite, model institusional, model
kelompok, model proses, model rasional, model inkremental, model pilihan publik, dan