Anda di halaman 1dari 26

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Bantuan Hidup Dasar

Menurut Buku Panduan BT & CLS (2009), Bantuan hidup/life support adalah
usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat penderita
mengalami keadaan yang mengancam nyawa. Bila usaha Bantuan Hidup yang
diberikan tanpa memakai cairan intra vena, obat ataupun kejutan listrik maka dikenal
sebagai Bantuan Hidup Dasar ( Basic Life Support ).

Pada 2015, AHA (American Hearth Association) mengumumkan perubahan


prosedur CPR - (Cardio Pulmonary Resusitation) yang sebelumnya menggunakan A-
B-C ( Airways – Breathing – Circulation ) menjadi C-A-B ( Circulation – Airways -
Breathing ), yaitu :

1. C (Circulation) :Mengadakan sirkulasi buatan dengan keompresi


jantung paru.
2. A (Airway) : Menjagajalan nafas tetap terbuka
3. B (Breathing) : Ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat

INDIKASI
Basic life support (BLS) dilakukan pada pasien-pasien dengan keadaan
sebagai

berikut

1. Henti nafas (respiratory arrest)


Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari korban / pasien. Henti napas merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Pada awal henti napas oksigen
masih dapat masuk ke datam darah untuk beberapa menit dan jantung masih
dapat mensirkulasikan darah ke otak dari organ vital lainnya jika pada
keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban
dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.
2. Henti jantung (cardiac arrest)

Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan tefadi henti sirkulasi.
Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital
kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal)
merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.

TUJUAN

Tindakan Basic life support (BLS) memiliki berbagai macam tujuan,


diantaranya yaitu :
1. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi oksigenasi organ - organ
vital (otak, jantung dan paru)
2. Mempertahankan hidup dan mencegah kematian
3. Mencegah komplikasi yang bisa timbul akibat kecelakaan
4. Mencegah tindakan yang dapat membahayakan korban
5. Melindungi orang yang tidak sadar
6. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
7. Memberikan bantuan ekstemal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari
korban yang
8. Mengalami hentijantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung
Paru (RJP).

PERBAHARUAN BLS MENURUT AHA 2015


Pada tanggal 18 Oktober, AHA ( American Hearth Association )
mengumumkan perubahan prosedur CPR ( Cardio Pulmonary Resutitation ) atau
dalam bahasa Indonesia serin disebut dengan RJP ( Resusitasi Jantung Paru ) yeng
berbeda dari sebelumnya, perubahan tersebut ada dalam sistematikanya, yaitu
sebelumnya menggunakan A-B-C ( Airway-Breathing-Circulation ) menjadi CAB (
Circulation-Airway-Breathing ).
Perubahan tersebut menurut AHA adalah mendahulukan pemberian kompresi
dada dari pada membuka jalan nafas dan pemberian nafas buatan pada pasien
dengan henti jantung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa teknik kompresi
dada lebih diperlukan untuk mensirkulasikan sesegera mungkin oksigen keseluruh
tubuh terutama organ-organ vital seperti otak, paru, jantung dan lain-lain.
Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah pasien mengalami henti
jantung masih terdapat oksigen pada paru-paru dan sirkulasi darah. Oleh karena itu
memulai kompresi dada lebih dahulu diharapakan akan memompa darah yang
mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin. Kompresi dada
dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan pembukaan jalan
nafas (airway) dan pemberian nafas buatan (breathing) seperti prosedur yang lama
Fokus utama perubahan RJP 2015 adalah pada kompresi dada, berikut adalah
beberapa perbedaan antara RJP 2010 dan RJP 2015 :
1. Tidak ada lagi ABC, melainkan CAB
2. Tidak ada lagi look, listen, fell
Rasional : kunci utama dalam memberikan pertolongan bukanlah menilai
melainkan bertindak. Telfun ambulan segera ketika menemukan korban tidak sadar
atau tidak bernafas dengan baik.

3. Tidak ada lagi Resque Breath


Rasional : Resque Breath adalah tindakan pemberian nafas sebanyak
dua kali seteleh mengetahui korban henti nafas ( setelah look, listen and feel
). Pada AHA 2010, hal ini sudah dihilangkan karena menyita wakt yang
cukup lama sehingga terjadi penundaan pemberian kompresi dada.
4. Konpresi lebih dalam lagi.
Rasional : pada AHA 2015, AHA merekomendasikan kedalaman RJP
sedalam minimal 5 cm.
5. Kompresi dada lebih cepat lagi.
Rasional : AHA 2015 merekomendasikan kompresi dada minimal
100x/menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi memerlukan waktu 18 detik.
6. hands only CPR.
7. Pengaktifan Emergency Response System (ERS)
Rasional : pada pedoman AHA yang baru, meminta pertolongan orang
sekitar, menelepon ambulance, ataupun meminta orang untuk memanggil
bantuan tetap menjadi prioritas.
8. Jangan berhenti kompresi.
Rasional : setiap penghentian kompresi dada berarti menghentikan
aliran darah ke otak yang mengakibatkan kematian jaringan otak jika darah
berhenti terlalu lama. AHA menghendaki penolong untuk terus melakukan
kompresi selama penolong bisa atau sampai alat defribrator otomatis tiba dan
siap menilai keadaan jantung korban.
9. Pemberian precordial thump
Rasional : pada beberapa kasus dilaporkan bahwa Precordial Thump
dapat mengembalikan irama ventricular tachyarrhytmias ke irama sinus. Akan
tetapi pada sejumlah besar kasus lainnya, Precordial Thump tidak dapat
mengembalikan irama ventricular tachyarrhytmias ke irama sinus atau kondisi
Return Of Spontaneous Circulation ( ROSC).

Alasan untuk perubahan system ABC menjadi CAB

1. Henti jantung terjadi sebagian besar pada orang dewasa. Angka


keberlangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan
adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless
Ventricular Thacycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen yang paling
penting adalah kompresi dada dan defibrilasi otomatis segera.
2. Pada langkah ABC yang terdahulu kompresi dada sering kali tertunda
karena proses pembukaan jalan nafas untuk pemberian ventilasi melalui
mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan lainnya.
Dengan mengganti langkah denga CAB pemberian kompresi dada akan
dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus
kompresi dada.
3. Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP
dari orang yang berada disekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab
hal ini namun salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma ABC ,
pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam airway adalah
prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit untuk orang awam.
Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan
prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa mendapatkan RJP.

KETEPATAN WAKTU PELAKSANAAN BLS


Kemungkinan keberhasilan dalam penyelamatan bila terjadi henti nafas dan
henti jantung ( AHA,2015), sebagai berikut :

Keterlambatan Kemungkinan Berhasil

1 Menit 98 Dari 100

2 Menit 50 Dari 100

10 Menit 1 Dari 100

RESUSITASI JANTUNG PARU

American Heart Association menggunakan 4 akses rantai penyelamatan untuk


menggambarkan bahwa waktu merupakan hal yang sangat penting dalam
penyelamatan penderita khususnya pada penderita dengan Ventrikel Fibrilasi (VF)
atau Syndrome Coronary Acute(SCA)/ Sindrom Koronaria Akut (SKA). Tiga dari 4
rantai ini juga relevan untuk penderita dengan henti nafas henti jantung. Rantai
penyelamatan atau disebut dengan “Chain of Survival” sebagai berikut :

1. Cepat menghubungi SPGDT


2. Cepat melakukan RJP. RJP segera dapat memberikan kesempatan dua atau
tiga kali lipat penderita dengan VF atau SKA dapat diselamatkan.
3. Cepat melakukan Defibrilasi : RJP dan Defibrilasi pada penderita dapat
menngkatkan tingkat penyelamatan 45%-75%.
4. Cepat memberikan Bantuan Hidup Lanjut (BTCLS, 2009)

Henti Jantung dan Rantai Keberhasilan (the chain of survival)

Korban henti jantung akibat oleh timbulnya Fibrilasi Ventrikel (FV).


Ataupun VT tanpa nadi. Beberapa tahap dari fibrilasi ventrikel (VF) dan tachikardi
ventrikel (VT tanpa nadi). Resusitasi jantung berhasil jika defribilasi dapat
dilaukakan pada lima menit pertama setelah kolaps. Pencapaian angka keberhasilan
resusitasi tergantung dari masyarakat yang terlatih RJP dan organisasi masyarakat
mengenai defribilasi.

Melakukan RJP sebelum dan sesudah defribilasi keduanya sangat penting


dilakukan sesegera mungkin setelah henti jantung akibat fibrilasi ventrikel.

Tidak semuanya orang dewasa meninggal akibat henti jantung mendadak dan
fibrilasi ventrikel. Sebagian disebabkan oleh asfiksia, seperti tenggelam atau over
dosis obat.

Asfiksia juga merupakan penyebab henti jantung pada anak-anak, walaupun


5%-15% disebabkan oeh fibrilasi ventrikel.

Resusitasi henti jantung akibat asfiksia dengan memberlakukan kombinasi


kompresi dada dan ventilasi, kompresi dada saja masih lebih baik dibandingkan tidak
melakukan tindakan apapun. (BTCLS, 2009)

RJP untuk korban dan penolong dengan usia yang berbeda

1. Petugas terlatih yang menolong sendirian harus menyesuaikan urutan


pertolongan berdasarkan kemungkinan penyebab masalah pada korban.
Untuk korban yang tidak respon dari segala usia yang disebabkan
henti jantung akibat asfiksia (tenggelam), petugas terlatih yang melakukan
pertolongan sendirian harus melakukan RJP minimal lima siklus (dalam 2
menit) sebelum meninggalkan korban untuk menubungi nomor telepon gawat
darurat. Penolong kemudian harus segera kembali pada korban dan memulai
langkah RJP.
2. Petugas terlatih akan diajarkan memberikan bantuan nafas tanpa kompresi
dada untuk korban dengan henti nafas dengan teraba denyut nadi. Bantuan
nafas tanpa kompresi dada dilakukan 10-12 kali permenit untuk korban
dewasa, dan 12-20 kali permenit untuk bayi dan anak.
3. Petugas kesehatan yang terlatih harus melakukan siklus kompresi dan
ventilasi pada RJP jika tidak ada alat bantu untuk jalan nafas. Jika alat bantu
jalan nafas tersedia untuk bayi, anak maupun dewasa, 2 orang penolong tidak
lagi harus melakukan siklus komprsi bergantian dengan ventilasi, melainkan
penolong yang melakukan kompresi harus memompa 100 kali permenit tanpa
terputus untuk ventilasi. Penolong yang melakukan bantuan ventilasi harus
memberi 8-10 nafas permenit dan harus hati-hati agar tidak melakukan
ventilasi yang berlebihan.
Jika 2 penolong harus bergantian setiap 2 menit untuk menghindari kelelahan
melakukan kompresi yang menyebabkan menurunnya kualitas dan frekuensi
kompresi dada, tetapi jika penolong dalam jumlah banyak, maka harus
bergantian menjadi petugas kompresi setiap 2 menit. Pergantian dilakukan
secepat mungkin (ideal kurang dari 5 detik) untuk memperkecil terputusnya
irama kompresi.
Anda dapat mengetahui penderita membutuhkan tindakan RJP dengan
memastikan penderita tidak sadar, tidak bernafas, dan nadi tidak berdenyut.
Kompresi dada berhasil karena menekan jantung diantara sternum dan tulang
belakang yang memaksa darah keluar. Bukti terbaru mengindikasikan bahwa
mereka menghasilkan perubahan tekanan di dalam rongga dada. Tekanan ini
yang bertanggunjawab untuk meningkatkan peredaran darah keseluruh tubuh.
RJP (CPR) harus dimulai sesegera mungkin dan dilakukan terus-menerus
sampai :
1. Petugas kelelahan
2. Penderita telah diserahkan pada petugas kesehatan lain atau petugas
RS bila yang pertama menolong adalah orang awam.
3. Penderita telah dinyatakan meninggal oleh pihak yang berwenang
(dokter). (BTCLS, 2009)

B. Bantuan Hidup Dasar Penderita Henti Jantung Disertai Dengan Trauma


1. Sirkulasi
Petugas harus menghentika perdarahan yang terlihat menggunakan
tekanan langsung pada luka menggunakan perban. Setelah buka jalan nafas,
memberikan 2 kali nafas bantuan, petugas harus meraba nadi carotis, jika
dalam 10 detik tidak teraba nadi carotis mulailah dengan kompresi dada.
Saat penderita telah terpasang airway definitive saat dilakukan RJP
(CPR) pada 2 penolong, mereka tidak usah melakukan siklus RJP (contoh:
Kompresi dihentikan untuk pemberian ventilasi). Justru petugas yang
melakukan kompresi harus melanjutkan kompresi dengan jumlah rata-rata 100
kali permenit tanpa menghentikannya untuk pemberian ventilasi. Petugas
yang mmberikan vebtilasi harus memberikan ventilasi 10 kali permenit.
(BTCLS, 2009)
2. Airway

Ketika penderita mengalami multiple trauma, penolong harus


menstabilakan tulang belakang selama bantuan dilakukan. Dalam membuka
jalan nafas, lakukan dengan maneuver chin lift atau jaw thrust. Jika semuanya
mungkin penolong kedua menstabilkan kepala dan leher secara manual
sampai peralatan spinel siap. Setelah jalan nafas terbuka, bersihkan mulut dari
darah, muntahan, dan secret lainnya. (BTCLS, 2009)
3. Breathing / Ventilasi

Setelah jalan nafas teratasi, nilai pernafasan. Jika tidak bernafas atau
sangat lambat, berikan ventilasi tambahan dengan bag valve mask, barrier
device dan pocket face mask.

Berikan nafas bantuan dengan perkahan untuk mencegah distensi


lambung. Jika dada tidak mengembang selama diberikan ventilasi walaupun
jalan nafas telah teratasi dan adekuat, pertimbangkan adanya hemato thorax
dan pnemu thorax. (BTCLS, 2009)

4. Disability
Selama semua tindakan dilakukan, nilai respon penderita dan selalu
monitor tanda-tanda adanya penurunan kesadaran pada penderita. (BTCLS,
2009)
5. Exsposure

Untuk mengenali adanya cedera lain, buka semua baju penderita.


Setelah pemeriksaan dilakukan dengan lengkap, selimuti kembali penderita
untuk mencegah hipotermia. (BTCLS, 2009)

LANGKAH - LANGKAH RJP DEWASA 1 ORANG

Langkah I : Evaluasi Respon Korban

Periksa dan tentukan dengan cepat bagaimana respon korban. Memeriksa


keadaan pasien tanpa teknik Look Listen and Feel. Penolong harus menepuk atau
mengguncang korban dengan hati hati pada bahunya dan bertanya dengan keras :
"Halo! Bapak/Ibu/Mbak! Apakah anda baik- baik saja?".

Hindari mengguncang korban dengan kasar karena dapat menyebabkan


cedera. Juga hindari pergerakan yang tidak perlu bila ada cedera kepala dan leher.

Langkah 2 : Mengaktifkan Emergency Medical Services (EMS)


Jika korban tidak berespon, panggil bantuan dan segera hubungi ambulan 118.
Penolong harus segera mengaktifkan EMS setelah dia memastikan korban tidak sadar
dan membutuhkan pertolongan medis. Jika terdapat orang lain di sekitar penolong,
minta dia untuk melakukan panggilan..

Langkah 3 : Memposisikan Korban

Korban harus dibaringkan di atas permukaan yang keras dan datar agar RIP
efektif. Jika korban menelungkup atau menghadap ke samping, posisikan korban
terlentang. Perhatikan agar kepala, leher dan tubuh tersangga, dan balikkan secara
simultan saat merubah posisi korban.

Langkah 4 : Evaluasi Nadi / Tanda - Tanda Sirkulasi

1. Berikan posisi head tilt, tentukan letak jakun atau bagian tengah tenggorokan
korban dengan jari telunjuk dan tengah.
2. Geser jari anda ke cekungan di sisi leher yang terdekat dengan anda (lokasi
nadi karotis)
3. Tekan dan raba dengan hati-hati nadi karotis selama 10 detik dan perhatikan
tanda-tanda sirkulasi (kesadaran, gerakan, pemafasan, atau batuk)
4. Jika ada denyut nadi maka dilanjutkan dengan memberikan bantuan
pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan
melakukan kompresi dada.

Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut
nadi korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.

Langkah 5 : Menentukan Posisi Tangan Pada Kompresi Dada

Teknik kompresi dada terdiri dari tekanan ritmis berseri pada pertengahan bawah

sternum (hrlang dada). Cara menentukan posisi tangan yang tepat untuk kompresi
dada :
1. Pertahankan posisi heat tilt, telusuri batas bawah tulang iga dengan jari tengah
sampai keujung sternum dengan jari tengah sampai ke ujung sternum
2. Letakkan jari telunjuk di sebalah jari tengah
3. Letakkan tumit telapak tangan di sebalah jari teluniuk

Langkah 6 : Kompresi Dada

Teknik kompresi dada terdiri dari tekanan ritmis berseri pada pertengahan bawah
sternum (tulang dada). Untuk posisi, petugas berlutut jika korban terbaring di bawah,
atau berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur.

Cara menentukan posisi tangan yang tepat untuk kompreri dada :

1. Angkat jari telunjuk dan jari tengah


2. Letakkan tumit tangan yang lain di atas tangan yang menempel di stemum.
3. Kaitkan jari tangan yang di atas pada tangan yang menempel sternum, jari
tangan yang menempel stemum tidak boleh menyentuh diniding dada
4. Luruskan dan kunci kedua siku
5. Bahu penolong di atas dada korban
6. Gunakan berat badan untuk menekan dada sedalam 5 cm7) Kompresi dada
dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik)
7. Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit.
8. Rasio kompresi dan ventilasi adalah 30 kornpresi : 2 ventilasi
9. Jangan mengangkat tangan dari stemum untuk mernpertahankan posisi yang
tepat
10. Jangan menghentak selama kompresi karena dapat menimbulkan cedera.

Langkah 7 : Buka Jalan Nafas

Lakukan manuver head tilt-chin Iift untuk membuka jalan nafas. Pada korban tidak
sadar, tonus otot terganggu sehingga lidah jatuh ke belakang dan menutupi jalan
nafas.
Melakukan maneuver head tilt-cin lift

Letakkan satu tangan pada dahi korban dan berikan tekanan ke arah belakang dengan
telapak tangan untuk menengadahkan kepala (head tilt).

Tempatkan jari-jari tangan yang lain di bawah tulang rahang bawah untuk
mengangkat dagu ke atas (chin lift).

Memeriksa jalan nafas (Airway)

1. Buka mulut dengan hati-hati dan periksa bilamana ada sumbatan benda asing.
2. Gunakan jari telunjuk untuk mengambil semua sumbatan'benda asing yang
terlihat, seperti makanan, gigi yang lepas atau cairan.

Langkah 8 : Memeriksa Pernafasan (Breathing)

Dekatkan telinga dan pipi anda ke mulut dan hidung korban untuk
mengevaluasi pernapasan (sampai l0 detik)

1. Melihat pergerakan dada (Look)


2. Mendengarkan suara napas (Listen)
3. Merasakan hembusan napas dengan pipi (Feel)

Langkah 9 : Bantuan Napas dari Mulut ke Mulut / Rescue Breathing

Bila tidak ada pernafasan spontan, lakukan bantuan napas dari mulut ke mulut. Untuk
melakukan bantuan napas dari mulut ke mulut:

1. Pertahankan posisi kepala tengadah dan dagu terangkat.


2. Tutup hidung dengan menekankan ibu jari dan teluqiuk untuk mencegah
kebocoran udara melalui hidung korban.
3. Mulut anda harus melingkupi mulut korbaru berikan 2 tiupan pendek dengan
jeda singkat diantaranya.
4. Lepaskan tekanan pada cuping hidung sehingga memungkinkan terjadinya
ekspirasi

pasif setelah tiap tiupan.


5. Setiap napas bantuan harus dapat mengembangkan dinding dada.
6. Durasi tiap tiupan adalah I detik.
7. Volume ventilasi antara 400-600m1.

Langkah 10: Evaluasi

1. Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan setiap 5 siklus RIP 30:2
2. Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit di tentukan dan tidak dapat, tanda-tanda
sirkulasi, perlakuan sebagai henti jantung),lanjutkan RJP 30:2
3. Jika nadi teraba periksa pernapasan
4. Jika tidak ada napas lakukan napas buatan l2x/menit (l tiupan tiap 6-7 detik)
5. Jika nadi dan napas ada, letakkan korban pada posisi recovery.
6. Evaluasi nadi, 'tanda-tanda sirkulasi' dan pornapasan tiap 2 menit.

C. PERDARAHAN

Perdarahan terjadi akibat rusaknya dinding, pembuluh darah yang


dapat disebabkan oleh ruda paksa (trauma) atau penyakit. Perdarahan yang
besar merupakan pentebab syok yang utama. Tubuh manusia memiliki jumlah
darah tertentu, dan bila sejumlah besar darah hilang, maka perfusi akan gagal.
( PMI, 2004)

Menurut PMI, 2004 perdarahan dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Perdarahan luar ( terbuka )


Jenis perdarahan ini terjadi akibat kerusakan dinding pembuluh darah
disertai dengan kerusakan kulit, yang memungkinkan darah keluar dari
tubuh dan terlihat jelas keluar dari luka tersebut. Bila menemukan
perdarahan terbuka, maka kita harus berhati-hati karena sebagai penolong
kita harus menganggap bahwa darah ini dapat menulari kita. Perlindungan
diri harus benar-benar diperhatikan. Pastikan anda mencuci tangan segera
setelah menangani penderita.
Berdasarkan pembuluh darah yang mengalami gangguan perdarahan luar
dibagi menjadi :
a. Perdarahan Nadi ( arteri )
Darah yang berasal dari pembuluh nadi keluar menyembur sesuai
dengan denyutan nadi dan berwarna merah terang karena masih kaya
dengan oksigen. Bila tekanan sistolik menurun, maka pancarannya
akan berkurang. Tekanan ini menyebabkan perdarahan arteri lebih
sulit dikendalikan. Pemantauan dan pengendalian mungkin harus
dilakukan sepanjang perjalanan menuju fasilitas kesehatan.
b. Perdarahan Balik ( vena )
Darah yang keluar dari pembuluh balik mengalir, berwarna merah
gelap. Walau terlihat luas dan banyak namun umumnya mudah
dikendalikan. Tekanan dalam pembuluh vena mungkin lebih rendah
dari tekanan udara luar sehingga pada vena yang besar ada
kemungkinan kotoran atau udara tersedot ke dalam pembuluh ini
melalui luka terbuka. Keadaan ini dapat mengancam nyawa.

c. Perdarahan rambut ( kapiler )


Berasal dari pembuluh kapiler, darah yang keluar merembes perlahan.
Ini karena mereka sangat kecil dan hamper tidak memiliki tekanan.
Sering perdarahannya membeku sendiri. Warnanya bervariasi antara
merah terang seperti darah arteri dan gelap seperti darah vena.

Salah satu keterampilan yang harus dikuasai adalah


menentukan berat ringannya perdarahan yang dialami penderita.
Secara umum dapat dikatakan bahwa berat ringannya perdarahan yang
terjadi berhubungan dengan ukuran fisik penderita. Contohnya
kehilangan darah sebanyak 1000 cc pada orang dewasa adalah serius,
namun pada anak cukup setengahnya 500 cc sudah dianggap serius.
Pada bayi 150 cc darah yang hilang dapat mengancam nyawa. Reaksi
tubuh yang alami pada perdarahan adalah penyempitan pembuluh
darah dan pembekuan darah. Luka yang besar dapat mencegah
terjadinya pembekuan darah secara alami ini. Perdarah yang tidak
terkendali dapat menyebabkan kematian.

Perawatan penderita selalu dimulai dengan ABC dan


perlindungan terhadap infeksi, pedomannya adalah semua cairan tubuh
dan darah dapat menularkan penyakit :
a. Pakai APD agar tidak terkena darah atau cairan tubuh penderita.
b. Jangan menyentuh mulut, hidung, mata, dan makanan sewaktu
member perawatan
c. Cucilah tangan segera setelah selesai merawat
d. Dekontaminasi atau buang bahan yang sudah ternoda dengan darah
atau cairan tubuh pernderita dengan baik

Perdarahn luar pada dasarnya adalah dikendalikan dengan 4 cara


berikut :

a. Tekanan langsung
Tekan bagian yang berdarah tepat diatas luka. Jangan buang waktu
untuk mencari penutup luka. Umumnya perdarahan akan berhenti
sekitar 5-15 menit kemudian. Beri penutup luka yang tebal pada
tempat perdarahan. Bila belum berhenti dapat ditambah penutup
lain, tanpa melepas penutup pertama. Tindakan ini merupakan cara
yang paling penting dalam upaya menghentikan perdarahan.

b. Elevasi ( dilakukan bersamaan dengan tekanan langsung )


Tindakan ini hanya berlaku untul perdarahan di daerah alat gerak
saja. Biasanya dilakukan bersamaan dengan tekanan langsung.
Tinggikan anggota badan yang berdarah lebih tinggi dari jantung.
Ini akan menyebabkan gaya tarik bumi mengurangi tekanan darah,
sehingga memperlambat perdarahan. Jangan menggunakan ini bila
dicurigai adanya cedera otot rangka dan benda tertancap.

c. Titik tekan
Bila kedua cara tersebut diatas belum berhasil makan perlu
dilakukan cara ketiga yaitu dengan menekan pembuluh nadi diatas
daerah yang mengalami perdarahan. Ada beberapa titik tekan yaitu
:
1) Arteri brakialis ( pembuluh nadi lengan atas )
2) Arteri femoralis ( pembuluh nadi di lipatan paha )

d. Cara lain yang dapat membantu menghentikan perdarahan adalah


sebagai berikut:
1) Imobilisasi dengan atau tanpa pembidaian.
2) Torniket ( hanya sebagai alternatif)
Torniket adalah suatu alan yang menutup seluruh aliran
darah pada alat gerak. Torniket hanya digunakan apabila
penanganan perdarahan dengan cara lain belum dapat
mengatasi perdarahan. Perdarahan pada umumnya hamper
selalu dapat diatasi dengan cara-cara disebut diatas sehingga
ini tidak diperlukan. Kerugian penggunaan torniket adalah
kematian jariangan bagian distal torniket, yang dapat
mengakibatkan bagian tersebut akan mati dan harus dimputasi.
Keadaan yang mungkin memerlukan torniket adalah
amputasi dengan tepi yang tidak teratur. Pada kasus amputasi
dengan tepi yang rata, tindakan yang diperlukan tidak lebih
dari hanya pembalutan penekanan. Pembuluh darah yang
cedera akan menutup diri mereka sendiri akibat spasme otot
dinding pembuluh darah. Sebaliknya pada amputasi yang tidak
teratur tepinya atau pada robekan, spasme pembuluh darah
tidak efektif,sehingga perdarahan akan berlangsung terus. Bila
memutuskan untuk memakai torniket maka pasangkan seujung
mungkin dari alat gerak. Bahan yang dipakai harus lebar
(sekitar 10 cm ) jangan memakai tali, sabuk dan sejenisnya.
Usahakan juga bahannya tebal,contoh sering digunakan adalah
kain segitiga(mitela). Sekali di pasang torniket tidak pernah di
longgarkan.
Pemasangan torniket
1. Satu orang penolong berupaya dengan satu
penekanan langsung, elefasi dan titik tekan
2. Tentukan tempat pemasangan tidak lebih dari 5 cm
di atas luka. Bila yang cidera sendi maka pasang
tepat di atas sendi.
3. Pasang bahan torniket melingkari alat gerak dan
jika sudah kuat ikatakan di atasnya. Masukkan
tongkat kecil, vena atau ikan sejenisnya antara
simpul dengan bahan torniket lalu putar perlahan
untuk mengencangkan torniket. Putar sedemikian
hingga perdarahan terkendali, jangan lebih. Lalu
pastikan tongkat kecil itu tidak bisa berputar
kembali dengan mengikat ujungnya. Sekali
terpasang torniket tidak boleh di kendurkan.
4. Berikan tanda atau catatan bahwa penderita di
pasang torniket. Bagian yang terpasang torniket
harus terbuka dan mudah dilihat oleh siapapun.
Tetaplah memantau bagian tersebut.salah satu
tempat penandaan yang umum dilakukan adalah
dengan member tanda “ + “ atau “X” pada kening
penderita. Catat jm torniket terpasang dengan tepat.
3) Kompres dingin.
2. Perdarahan dalam ( tertutup )
Benturan dengan benda tumpul merupakan penyebab utama cedera
dalam dan perdarahan dalam. Penyebab lain adalah jatuh, kecelakaan
kendaraan bermotor, ledakan dan sebagainya. Luka tusuk sering menjadi
penyebab cedera alat dalam perdarahan dalam. Berat ringannya luka tusuk
bagian dalam ini sulit dinilai walaupun luka luarnya terlihat nyata.
Kehilangan darah pada perdarahan dalam tidak terlihat karena kulitnya
masih utuh adakalanya kita dapat melihat darah yang terkumpul di bawah
kulit seperti pada kasus memar. Perdarahan dalam juga bervariasi mulai
dari yang ringan sampai mengancam nyawa karena :
a. Kerusakan alat dalam tubuh dan pembuluh darah besar dapat
mengakibatkan kehilangan banyak drah dalam waktu yang singkat
b. Kehilangan darah tidak terlihat, sehingga kesannya tersembunya.
Penderita dapat meninggal tanpa mengalami luka luar yang berat.
Perdarahan besar dapat juga terjadi pada cedera alat gerak. Contohnya
patahan tulang paha dapat merusak jaringan dan pembuluh darah
sehingga darah keluar dapat menimbulkkan syok.
Mengingat perdarahan dapatdalam tidak terlihat dan mungkin
tersamar, kecurigaan adanya perdarahan dalam harus dinilai dari
pemeriksaan fisik lengkap termasuk wawancara dan menganalisa
mekanisme kejadiannya. Lebih baik menggangap seseorang mengalami
perdarahan dalam dari pada tidak. Penatalaksanaan perdarahan dalam
tidak akan memperburuk keadaan penderita yang ternyata tidak
mengalaminya.
Beberapa tanda perdarahan dalam dapat dikenali, misalnya :
- Cedera pada bagian luar tubuh, yang mungkin merupakan petunjuk
bagian dalam juga mengalami cedera.
- Adanya memar disertai nyeri pada tubuh, pembengkakan terutama
diatas alat tubuh penting.
- Nyeri, bengkak, perubahan bentuk pada alat gerak.
- Nyeri tekan atau kekakuan pada dinding perut, dinding perut
membesar.
- Muntah darah.
- Buang air besar berdarah, baik darah segar, maupun darah hitam
seperti kopi.
- Luka tusuk, kususnya pada batang tubuh.
- Darah atau cairan mengalir keluar dari hidung atau telinga.
- Batuk darah
- Buang air kecil bercampur darah.
- Gejala dan tanda syok.

Penatalaksanaan penderita dengan perdarahan dalam:

1. Baringkan penderita.
2. Periksa clan pertahankan ABC.
3. Berikan oksigen bila ada.
4. Periksa pernapasan dan nadi secara berkala.
5. Jangan memberikan makan atau minum.
6. Jangan lupa menangani cedera atau gangguan lainnya.
7. Segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat.

Menurut AHA, 2015 pembaruan pedoman AHA dan Palang Merah


Amerika 2015 untuk pertolongan pertama (2015 AHA and American Red
Cross Guildlines Update for First Aid) menegaskan tujuan pertolongan
pertama : untuk mengurangi tingkat morbiditas dan kematian dengan
mengurangi penderitaan, mencegah penyakit lebih jauh atau cidera, dan
mendorong pemulihan. Lingkup pertolongan pertama telah diperluas,
pertolongan pertama dapat dilakukan oleh setiap orang, dakam situasi apapun,
dan termasuk perawatan diri.
Ringkasan Masalah Utama dan Perubahan Besar

 Pemberi pertolongan pertama boleh membiarkan luka pada dada tetap


terbuka dan tidak diutupi. Jika pembalutan luka dan tekanan langsung
diperlukan untuk mengontrol perdarahan maka diperlukan tindakan yang
hati-hati agar pembalutan tersebut tidak berubah menjadi pembalutan
oklusi tanpa disengaja.

 Pendidikan pertolongan pertama diberikan melalui kampanye kesehatan


publik, topik terfokus atau khusus yang memberikan sertifikasi. Semua hal
tersebut dapat meningkatan tingkat keselamatan, mengurangi tingkat
keparahan cidera dan waktu di rumah sakit, serta mengatasi gejala pada
orang yang cidera atau sakit.

 Metode utama untuk mengontrol perdarahan adalah melalui aplikasi


tekanan langsung dan stabil. Bila tekanan langsung tidakefektif untuk
perdarahan parah atau yang mengancam jiwa, peggunaan pembalutan
hemostatik yang dikombinasikan dengan tekanan langsung dapat
dipertimbangkan namun, mememrlukn pelatihan terkait aplikasi dan
indikasi penggunaan yang tepat.

 Peggunaan kolar servikal oleh penyedia layanan pertolongan pertama


tidak disarankan. Untuk pasien terluka yang memenuhi kriteria beresiko
tinggi mengalami cidera tulang belakang, metode ideal bagi penyedia
layanan pertolongan pertama guna membantu mencegah gerakan tulang
belakang pasien memerlukan penelitia lebih lanjut, namun dapat ,encakup
perintah lisan atau stabilisasi manual sambil menunggu kedatangan
penyedia layanan lanjutan.

Pembalutan Hemostatik

2015 (diperbarui) Penyedia pertolongan pertama dapat mempertimbangkan


penggunaan pembalutan hemostatik bila tindakan kontrol pendarahan standar
( dengan tekanan langsung yang disertai maupun tidak disertai balutan kasa
atau kain tips ). Tidak efektif untuk perdarahan parah atau yang mengancam
jiwa.

2010 (lama) Penggunaan ( agen hemostatik) secara rutin dalam pertolongan


pertama tidak dapat dianjurkan pada tahap ini karena adanya variasi yang
signifikan dalam efektifitas berdasarkan agen yang berbeda dan potensi efek
sampingnya, termasuk kemusnahan jaringan dengan induksi dari statis
proembolik dan potensi cidera termal.

Alasannya :

Aplikasi tekanan langsung yang stabil pada luka masih dipertimbangkan


sebagai alat utama untuk mengontrol pendarahan. Bila tekanan langsung gagal
mengontrol pendarahan parah atau yang mengancam jiwa penyedia
pertolongan pertama yang mengikuti pelatihan khusus tentang indikasi dan
penggunaannya dapat mempertimbangkan pembalutan hemostatik,
pembalutan agen hemostatik terimpregnasi generasi.

 Penanganan Fraktur menurut Diklat Yayasan Ambulans Gawat Darurat 188


(2009)
1. Penanganan Secara Umum
Penanganan fraktur dan dislokasi yang baik bertujuan mengurangi
nyeri, kecacatan, dan komplikasi. Penanganana pra hospital ataupun di
unit gawat darurat bertujuan untuk mengimobilisasi ekstremitas yang
mengalami cedera dengan menggunakan splint atau bidai yang sesuai.
Tujuan pemasangan bidai atau splint untuk mencegah adanya gerakan
pada ujung tulang yang patah. Saraf yang menyebabkan rasa nyeri pada
fraktur ekstremitas terletak didalam membrane didekat tulang. Ujung
tuang yang patah akan menyebabakan iritasi saraf dan dapat menimbulkan
rasa nyeri yang sangat hebat. Pemasangan bidai tidak hanya mengurangi
rasa nyeri tetai juga mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut pada otot,
saraf dan pembuluh darah.
Pasien yang mengalami cedera serius disamping dilakukan
pemasangan bidai sebaiknya juga dilakukan immobilisasi pada tulang
belakang dengan menggunakan longspine board (LSB) sebelum dirujuk
kerumah sakit ataupun pasien yang baru datang di unit gawat darurat dan
belum terpasang bidai ataupun longspine board. Pada pasien dengan
cedera serius disetai adanya gangguan airway, breathing dan circulasi
pemsangan bidai tidak boleh dilakukan sebelum masalah ABCnya teratasi.

2. Aturan Pemasangan Bidai menurut Diklat Yayasan Ambulans Gawat


Darurat 188 (2009)
a) Lepaskan pakaian pasien, sehingga bagian ekstremitas yang
mengalami cedera tampak seluruhnya
b) Periksa pulsasi dan sensorik bagian distal dari tempat fraktur sebelum
dan sesudah pemasangan splint atau bidai. Bila memungkinkan
periksa gerakan pada pasien yang tidak sadar.
c) Jika ektremitas tampak sangat membengkok dan nadi tidak teraba,
coba lakukan traksi ringan dan jika ada tahanan jangan teruskan dan
pasang bidai pada posisi tersebut.
d) Luka terbuka harus ditutup dulu dengan kassa steril dan perdarahan di
kontrol dulu baru kemudian dipasang bidai.
e) Pasang bidai dengan melewati 2 sendi dari tulang yang fraktur.
f) Pasang padding atau bantalan secukupnya terutama pada tulang yang
menonjol
g) Pada fraktur terbuka, jangan memasukkan ujung tulang yang patah
kedalam lagi. Tutup bagian tulang yang keluar dengan kassa streril
baru kemudian dipasang bidai.
h) Bila ada cedera lain yang lebih serius dan mengancam nyama, bidai
dipasang setelah pasien distabilkan. Bila cederanya ringan tetapi
pasien harus dirujuk, maka sebelum dirujuk bidai dipasang terlebih
dahulu.
i) Jika ragu-ragu ada tidaknya fraktur, tetap pasang bidai pada daerah
ekstremitas yang dicurigai ada cedera.
3. Penatalaksanaan Cedera Spesifik
a) Cedera tulang belakang, menggunakan alas yang keras dan datar.
b) Cedera pelvis seringkali, terjadi bersamaan dengan cedera ektremitas.
Cedera pada pelvis biasanya diakibatkan oleh kecelakaan sepeda
motor atau trauma yang berat seperti, jatuh dari ketinggian. Diagnose
cedera pelvis dapat dibuat melalui pemeriksaan klinis dengan menekan
krista iliaka, panggul dan pubis. Selalu terdapat kemungkinan adanya
perdarahan serius pada fraktur pelvis, karena itu selalu waspada akan
terjadinya syok dan tangani pasien dengan segera dan konsultasikan
kedokter. Pasien dengan cedera pelvis sebaiknya dilakukan imobilisasi
dengan longspine board demikian juga bila hendak dirujuk harus
terpasang longspine board
c) Fraktur femur biasanya terjadi pada daerah shaft walaupun dapat pula
terjadi fraktur dekat panggul. Fraktur dapat terbuka ataupun tertutup.
Didaerah femur terdapat banyak otot dan pembuluh darah, sehingga
terjadi fraktur femur maka perdarahnya bisa sangat banyak, mencapai
750 cc pada satu femur. Bila terjadi fraktur femur bilateral dapat
mengakibatkan kehilangan setengah dari volume darah yang beredar
dalam tubuh. Ini cukup untuk menyebabkan syok hemoragik.
d) Fraktur panggul umunya terjadi pada leher (collum) femur, dimana
terdapat ligament-ligamen yang kuat yang kuat yang dapat membantu
pasien menyangga berat badan. Ligament ini sangat kuat dan hanya
ada sedikit gerakan ujung-ujung tulang pada sebagian besar patah
tulang didaerah ini. Panggul yang mengalami dislokasi umunya dalam
posisi fleksi dan kakinya tidak dapat diluruskan. Tungkai biasanya
dalam posisi rotasi kedalam (rotasi interna) dislokasi panggul
sebaiknya diimobilisasi dalam posisi yang paling nyaman menurut
pasien dengan menggunakan bantal dan dibidai menjadi satu dengan
tungkai yang sehat.
e) Cedera lutut, fraktur atau dislokasi didaerah lutut cukup serius
mengingat arteri berjalan diatas dan dibawah lutut dan seringkali
mengalami laserasi atau cedera bila sendi lutut dalam posisi abnormal.
Pemeriksaan fungsi neurologis dan sirkulasi dibawah lutut harus
dilakukan dengan cermat. Sekitar 50% dislokasi sendi lutut disertai
dengan cedera pada pembuluh darah dan banyak cedera lutut yang
berakhir dengan amputasi. Resposisi segera dislokasi lutut sangat
penting. Jika terdapat tahanan pada saat diluruskan, jangan dipaksa,
langsung pasang bidai dalam posisi yang nyaman menurut pasien dan
segera dirujuk kerumah sakit dan konsultasikan ke ahli orthopaedi.
f) Cedera tibua atau fibula, bial terjadi fraktur pada tungkai bawah
seringkali merupakan fraktur terbuka karena tipisnya kulit. Di daerah
itu sering ditemukan perdarahan internal atau eksternal. Perdarahan
internal dapat menggangu sirkulasi ke kaki jika terjadi sindroma
kompartemen. Pasien dengan fraktur tibia biasanya tidak bisa berjalan.
Fraktur pada tibia atau fibula distal dapat dibidai dengan bidai kaku
atau rigid, bidai udara atau bidai bantal. Bidai pneumatic dapat
mengimobilisasi fraktur tibia proksimal. Menutup luka dan
memeberikan padding pada tulang yang menonjol harus dilakukan
sebelum pemasangan bidai.
g) Cedera clavicula, merupakan tulang yang sering mengalami fraktur
namun jarang mengakibatkan masalah. Pada fraktur klavikula dapat di
imobilisasi dengan kain mitela atau pasang ransel perban dengan
elastic bandage. Cedera pada vena dan arteri subklvia atau saraf
walaupun jarang dapat pula terjadi. Dada dan tulang iga harus
dievaluasi dengan seksama pada setiap cedera daerah bahu.
h) Cedera bahu, umumnya tidak mengancam nyawa namun demikian
dapat disertai dengan cedera yang serius pada dada atau leher. Cedera
bahu dapat berupa dislokasi atau separasi sendi dan dapat tampak
dengan adanya efek paa bagian atas bahu. Kadang juga dapat terjadi
fraktur humerus proksimal. Nervus radialis berjalan didekat tulang
humerus dan dapat mengalami cedera jika terjadi fraktur humerus.
Cedera pada nervus radialis mengakibatkan pasien tidapt dapat
mengektensikan tangannya ( drop hand ). Dislokasi bahu sangat nyeri
dan seringkali dibutuhkan bantal untuk diletakkan diantara badan dan
lengan agar pasien merasa lebih nyaman. Bahu yang posisinya
abnormal jangan dipaksa untuk kembali ke posisi normal
i) Cedera siku, seringkali sulit untuk menentukan apakah terjadi fraktur
atau dislokasi, keduanya merupakan hal yang serius karena bahaya
kerusakan pembuluh darah dan saraf berada di daerah tersebut. Cedera
siku harus selalu dibidai dalam posisi yang paling nyaman menurut
pasien serta fungsi bagian distal lengan harus dievaluasi dengan
cermat. Jangan mencoba untuk meluruskan siku atau menarik siku
karena struktur di daerah bahu yang rumit dan halus
j) Cedera lengan dan pergelangan tangan, merupakan kasus fraktur yang
sering terjadi, biasanya akibat jatuh dengan tangan sebagai
tumpuannya. Fraktur pada daerah ini dapat diimobilisasi dengan baik
dengan menggunakan bidai rigid atau bidai udara. Jika bidai rigid
yang digunakan, tambahkan gulungan kasa pada bidai sehingga tangan
akan mengimobilisasi lengan pada posisi yang optimal. Lengan bawah
juga dapat mengalami perdarahan internal yang dapat menyebabkan
sindroma kompartemen dan akan mengganggu suplai darah ke jari-jari
dan tangan
k) Cedera tangan dan kaki, banyak kecelakaan kerja yang mengenai
tangan dan kaki merupakan patah tulang terbuka dan avulsi. Cedera ini
mungkin tampak mengerikan namun jarang mengamcam nyawa.
Bantal dapat digunakan untuk membidai cedera ini. Adalah dengan
membungkus seluruh tangan dengan gulungan kasa. Dengan
mengelvasi tangan atau kaki yang cedera level jantung akan
mengurangi perdarahan

Anda mungkin juga menyukai