Anda di halaman 1dari 23

“KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF”

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi

Diasuh Oleh :
Mirnawati, M.Pd.

Oleh :
Jumiati
(1610118220010)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
SEPTEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayah–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca.
Penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Inklusi yang dibimbing oleh Ibu Mirnawati, M.Pd.
Akhirnya, penulis mengucapkan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Allah
SWT, yang telah memberikan nikmat kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah dengan judul “Konsep Pendidikan Inklusi”. Penulis juga menyadari
bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi teknik penyajian maupun dari segi
materi. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran dari para
pembaca dan pemakai sangat penulis harapkan.

Banjarmasin, September 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I ........................................................................................................................................ iii
PENDAHULUAN ................................................................................................................... iii
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................................. iii
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................... v
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... v
BAB II ...................................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 1
2.1 Filosofi Pendidikan Inklusif ......................................................................................... 1
2.2 Pengertian Pendidikan Inklusif ................................................................................... 2
2.3 Konsep Dasar Pendidikan Inklusif .............................................................................. 2
2.4 Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif ............................................................. 3
2.5 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia ............................................................ 5
2.6 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia ...................................................... 7
2.7 Landasan Pendidikan Inklusif ................................................................................... 10
2.7.1 Landasan Filosofis................................................................................................ 10
2.7.2 Landasan Yuridis ................................................................................................. 11
2.7.3 Landasan Empiris ................................................................................................ 12
BAB III................................................................................................................................... 15
PENUTUP.............................................................................................................................. 15
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 15
3.2 Saran ............................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semua manusia dilahirkan ke dunia mempunyai hak yang sama, kita telah
diciptakan sederajat walaupun berbeda – beda apapun jenis kelamin, penampilan,
kesehatan, atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam satu
masyarakat, penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh
keragaman dan keserbaragaman bukan oleh keseragaman akan tetapi pada
kenyataannya anak – anak dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya
dari kebutuhan kebanyakan orang telah dipisahkan dengan alasan yang beragam
untuk waktu yang cukup lama semua alasan tersebut tidak adil. Pendidikan juga
merupakan hak bagi semua warga Negara. (Sunanto (2010:21-22))

Hak pendidikan adalah merupakan bagian dari Hak Ekosob (Ekonomi,


Sosial, Budaya). Negara mempunyai kewajiban (state obligation) untuk memenuhi
(fulfill), menghormati (to respect), dan melindungi (to protect) setiap hak
pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negaranya. Termasuk hak pendidikan
untuk penyandang cacat. Pada pasal 28 C Undang-undang Dasar 1945 pun
dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, sehingga jelas disini kewajiban
generic negara dalam pemenuhan hak pendidikan adalah memfasilitasi (to
facilitate), memajukan (to promote), menyediakan (to provide). (Sunanto
(2010:22))

iii
Jika berbicara tentang hak penting digarisbawahi bahwa orang penyandang
cacat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap orang lain dan
masyarakat seperti layaknya orang lain pada umumnya. Tujuan akhirnya adalah
bahwa setiap orang merasa berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan apa yang dapat diberikannya dan pada saat yang bersamaan
mempunyai hak untuk menerima apa yang dibutuhkannya. Seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal. 32 ayat 1 yang berbunyi
setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat 2 yang
berbunyi setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
khususnya Pasal. 5 ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. UU No. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak, khususnya Pasal. 51 yang berbunyi anak yang menyandang
cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas
untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Kemudian dari hal itu munculnya pemikiran lahirnya pendidikan inklusif


sebagai upaya bahwa mendapatkan pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia
yang paling mendasar (Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi Manusia 1948
dan konvensi internasional tentang Hak Anak, 1989). Dari deklarasi tersebut
banyak negara-negara di dunia yang terdorong untuk melaksanakan pendidikan
bagi seluruh warga negaranya, termasuk di Indonesia. Di Indonesia khususnya
selama beberapa dekade yang lalu telah mengalami banyak perubahan dalam
pendidikan bagi anak penyandang cacat, perubahan-perubahan ini tidak hanya
relevan bagi kepentingan dan pengayaan anak penyandang cacat, tetapi juga bagi
semua yang terlibat didalamnya : anak-anak (dengan atau tanpa kecacatan),
keluarganya, guru-guru, kepala sekolah, komunitas sekolahnya dan mungkin
masyarakat secara keseluruhan.

iv
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana filosofi pendidikan inklusif?
1.2.2 Bagaimana definisi pendidikan inklusif?
1.2.3 Bagaimana konsep dasar pendidikan inklusif?
1.2.4 Bagaimana sejarah pendidikan inklusif?
1.2.5 Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di dunia?
1.2.6 Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia?
1.2.7 Bagaimana landasan pendidikan inklusif?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui filosofi pendidikan inklusif
1.3.2 Untuk mengetahui definisi pendidikan inklusif
1.3.3 Untuk mengetahui konsep dasar pendidikan inklusif
1.3.4 Untuk mengetahui sejarah pendidikan inklusif
1.3.5 Untuk mengetahui perkembangan pendidikan inklusif di dunia
1.3.6 Untuk mengetahui perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia
1.3.7 Untuk mengetahui landasan pendidikan inklusif

v
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Filosofi Pendidikan Inklusif

Paradigma pendidikan inklusif digali dari sebuah kajian tentang kodrat sebagai seorang
manusia. Kodrat sebagai seorang manusia adalah unik dan berbeda. Makna “unik” lebih dalam
daripada makna “berbeda”. Memaknai unik bisa dipahami melalui contoh berikut:

Sesuai hasil tes intelegensi. Susi mendapatkan skor 90. Ani mempunyai IQ 100 dan Yani
juga ber-IQ 100. Apakah kemampuan Ani dan Yani bisa dipersamakan walaupun hasil tes
intelegensinya sama?

Sekelumit contoh tersebut menggambarkan bahwa di dalam persamaan masih terdapat


keunikan, apalagi di dalam perbedaan sudah pasti ada keunikan. Filosofi pendidikan inklusif
adalah “mengakui bahwa setiap manusia mempunyai keunikan/perbedaan dan
keunikan/perbedaan itu harus diakomodir dalam pendidikannya”. Jauh sebelum munculnya
paradigm pendidikan inklusif, sebenarnya Indonesia sudah mempunyai falsafah yang sejalan
dengan filosofi pendidikan inklusif. Indonesia sudah sejak lama mempunyai falsafah Bhinneka
Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu. Falsafah Bhinneka Tunggal Ika
sering kali hanya dikumandangkan untuk mempersatukan seluruh wilayah Indonesia.

Falsafah Bhinneka Tunggal Ika membuat semua perbedaan menjadi kekayaan bangsa.
Semangat Falsafah Bhinneka Tunggal Ika belum semua dipakai dalam kehidupan
sekolah/lembaga pendidikan. Sekolah biasanya belum bisa mengakomodir semua
keunikan/perbedaan pada setiap individu. Perbedaan yang diakomodir masih dalam kategori
perbedaan yang “wajar” seperti suku bangsa, agama, warna kulit, latar belakang ekonomi
orangtua, dan sebagainya. Bisanya perbedaan/keunikan yang bersifat “ekstrim” masih
menemui kendala untuk diakomodir. Seyogyanya, semua perbedaan/keunikan individu tidak
menjadi masalah. Bagaimana lembaga pendidikan menyeting segala sesuatunya seperti sistem,
peraturan, lingkungan sekolah, kebijakan, dan sebagainya yang dapat mempermudah untuk
mengakomodir perbedaan/keunikan setiap individu siswa yang memang kodrati.

1
2.2 Pengertian Pendidikan Inklusif

Inklusif merupakan sebuah kata yang berasal dari terminologi Inggris yakni inclusion
yang berarti: termasuknya atau pemasukan. Sementara Olsen dan Fuller (2003:167), inklusif
merupakan sebuah terminologi yang secara umum digunakan untuk mendidik siswa baik yang
memiliki maupun tidak memiliki ketidakmampuan tertentu di dalam sebuah kelas reguler.
Dewasa ini, terminologi inklusif digunakan untuk mengagas hak anak-anak yang memiliki
ketidakmampuan tertentu untuk dididik dalam sebuah lingkungan pendidikan (sekolah) yang
tidak terpisah dari anak-anak lain yang tidak memiliki ketidakmampuan tertentu.
Florida State University Center for Prevention & Early Intervention Policy (2002)
mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sebuah usaha untuk membuat para siswa yang
memiliki ketidakmampuan tertentu pergi ke sekolah bersama teman-teman dan sesamanya
serta menerima apa pun dari sekolah seperti teman-teman yang lainnya terutama dukungan dan
pengajaran yang didesain secara khusus yang mereka butuhkan untuk mencapai standar yang
tinggi dan sukses sebagai pembelajar.
Dari definisi tentang inklusif di atas, kita dapat mengatakan bahwa sekolah inklusif
adalah lembaga pendidikan formal yang menyediakan layanan belajar bagi anak-anak
berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal dalam komunitas
sekolah reguler di mana setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas, diakomodir, dan
direspon kebutuhannya sehingga setiap anak mendapat peluang dan kesempatan yang sama
untuk mengembangkan potensinya.
Dengan demikian, perlu diingat bahwa pendidikan atau sekolah inklusif bukan sebuah
sekolah bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus melainkan sekolah yang memberikan
layanan efektif bagi semua (education fol all). Dengan kata lain, pendidikan inklusif adalah
pendidikan di mana semua anak dapat memasukinya, kebutuhan setiap anak diakomodir atau
dirangkul dan dipenuhi bukan hanya sekedar ditolerir. (Watterdal, 2002).

2.3 Konsep Dasar Pendidikan Inklusif

Istilah pendidikan inklusif atau pendidikan inklusi merupakan kata atau istilah yang
dikumandangkan oleh UNESCO berasal dari kata Education for All yang artinya pendidikan
yang ramah untuk semua, dengan pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua

2
orang tanpa terkecuali. Mereka semua memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan. Hak dan kesempatan itu tidak dibedakan
oleh keragaman karakteristik individu secara fisik, mental, sosial, emosional, dan bahkan status
sosial ekonomi. Pada titik ini tampak bahwa konsep pendidikan inklusif sejalan dengan filosofi
pendidikan nasional Indonesia yang tidak membatasi akses peserta didik kependidikan hanya
karena perbedaan kondisi awal dan latar belakangnya. Inklusif pun bukan hanya bagi mereka
yang berkelainan atau luar biasa melainkan berlaku untuk semua anak.

Dengan demikian yang dimaksud pendidikan inklusif adalah sistem layanan


pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat
di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon Shevin dalam O’Neil 1994). Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas
yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback, 1980). Berdasarkan
batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di
sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada
semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan
individu peserta didik tanpa diskriminasi.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian


baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Untuk itu proses identifikasi dan
asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan atau profesional di
bidangnya untuk dapat menyusun program pendidikan yang sesuai dan objektif.

2.4 Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif

Sejarah perkembangan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun
1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar biasa ke

3
Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang
ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act.
1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya
pergeseran model pendidikan untuk anak kebutuhan khusus dari segregatif ke intergratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang
pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi Education for All. Implikasi
dari statement ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali
(termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.

Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi
pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive education”. Sejalan dengan
kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada
tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung
dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak
anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di
Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain
menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara
menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang
berkualitas dan layak. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut,
maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program
pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang
sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang
berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti
kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.

Melihat kembali ke dalam sejarah dimana beberapa peristiwa yang dipublikasi berikut ini:

1948: Deklarasi Hak Asasi Manusia – termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di
masyarakat untuk semua orang – PBB

1989: Konvensi Hak Anak (PBB, diumumkan tahun 1991)

4
1990: Pendidikan untuk semua : Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk semua di Jomtien,
Thailand, menghasilakn tujuan utama berikut ini :

 Membawa semua anak masuk sekolah


 Memberikan semua anak pendidikan yang sesuai
Dalam prakteknya sesungguhnya ini tidak mencakup anak-anak yang berkebutuhan
khusus (UNESCO, diumumkan tahun 1991 dan 1992)

1993: Peraturan Standar tentang kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat (PBB,
diumumkan tahun 1994).

1994: Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif (UNESCO diumumkan pertama


tahun 1994, laporan akhir tahun 1995)

2.5 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia

Sebelum munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif, setidaknya


dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak dapat
berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Faktor utama
yang menyebabkan mereka terpinggirkan/tertolak adalah faktor pendidikan (UNESCO, 1990)
sehingga pendidikan menjadi isu utama untuk mengatasi masalah ini. Jika kita mengacu pada
data International Consultative Forum on Education for All (2000) di dunia ini terdapat 113
juta orang anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah. 90% dari jumlah itu berada di
negara yang penghasilannya rendah hingga menengah serta lebih dari 80 juta orang anak-anak
seperti itu tinggal di negara-negara Afrika. Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari
mereka drop out/putus sekolah padahal pendidikannya belum selesai.

Selain data tersebut di atas, ada pula data yang menyebutkan bahwa ada sekelompok
orang karena perbedaan gender menyebabkan orang itu tidak dapat sekolah, misalnya di
Afghanistan, ada budaya yang melarang kaum perempuan untuk bersekolah dan keluar rumah,
kalaupun bisa sekolah dan keluar rumah sangatlah terbatas. Masih banyak data lain yang
menyebutkan persoalan mengapa seseorang atau sejumlah orang tidak dapat menikamti
haknya untuk memperoleh pendidikan, diantaranya karena masalah geografis, kondisi

5
peperangan, bencana alam, dan lain-lain. Kondisi itu tentunya sangat memprihatinkan karena
mereka akan menjadi orang yang termarginalkan dan tertolak oleh masyarakat.

Itu semua ternyata menjadi permasalahan di setiap negara, bahkan di negara yang
dikatakan sebagai negara maju sekalipun, hanya saja di negara maju jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan negara “miskin” dan berkembang. Jadi hampir di seluruh dunia memiliki
persoalan yang sama, bagaimana semua warganya dapat mengakses atau memperoleh
pendidikan, ternyata pendidikan itu adalah hak setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi
sejumlah orang yang terpinggirkan (kaum marginal) dan tertolak dalam kehidupan sosial,
politik, ekonomi, budaya serta pendidikan. Semua negara memprihatinkan itu semua.

Berdasarkan itu maka negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-


Bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya. Mereka, melalui lembaga di bawah naungan PBB,
yaitu UNESCO, mengusulkan untuk mengadakan suatu konferensi internasional. Usulan itu
diterima oleh PBB karena tidak bertentangan dengan Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia
(1948) dan konvensi Hak Anak (1989). Konferensi pun terlaksana pada tahun 1990 di Thailand
dengan nama The Jomitien World Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh
negara anggota PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO, UNICEF, WHO,
dll) serta Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional dan internasional. Di dalam
konferensi itu, mereka berupaya serius mencari solusi. Dalam konferensi ini lah munculnya
konsep pendidikan untuk semua.

Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut dilandasi oleh Deklarasi


tentang Hak Asasi Manusia (PBB 1948) (yang menyatakan tentang hak pendidikan dan
partisipasi penuh bagi semua orang) dan Konvensi Hak Anak (1989), itulah dokumen
internasional pertama yang menjadi rujukan hukum munculnya pemikiran pendidikan inklusif
dikemudian hari. Selanjutnya, UU dan dokumen hasil konferensi tersebut terus digunakan
untuk menjadi landasan dalam memecahkan masalah marginalisasi itu.

Hasil dari konferensi diantaranya menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada
semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak.
Dalam kenyataannya hasil konferensi belum termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan
khusus.

6
Mengingat hasil konferensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari organisasi
penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus serta didukung oleh beberapa negara.
Kemudian mereka membuat suatu konferensi dengan landasan konferensi sebelumnya
ditambah dengan Peraturan Standar tentang Kesamaan untuk Orang-Orang Penyandang Cacat
(PBB, 1993). Konferensi ini dinamai The Salamanca World Conference on Special Needs
Education (UNESCO, 1994). Dari konferensi inilah muncul prinsip-prinsi dan konsep dasar
dari pendidikan inklusif, yang selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang
pendidikan inklusif.

Untuk mengukuhkan pernyataan dan konsep pendidikan inklusif yang dihasilkan di


Salamanca dan diharapkan menjadi konsep milik bersama maka PBB melalui UNESCO
menyelenggarakan konferensi pendidikan untuk semua (PUS) kedua di Dakar tahun 2000.
Dari Konferensi PUS kedua ini lah mulai muncul kerangka aksi pelaksanaan pendidikan
inklusif yang dibagi berdasarkan wilayah/region. Contohnya, pada bulan oktober 2002
kelompok kerja Asia Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai
kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam
pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk sepuluh tahun yang akan datang
(Raharja, 2006:9).

 1960-an: Pendidikan integrasi (terutama bagi tunanetra) mulai dipraktekkan di beberapa


Negara
 1980-an: Istilah “Inclusive Education” diperkenalkan dan dipraktekkan di Canada dan
berkembang di AS dan Negara-negara lain.
 1994: Istilah pendidikan inklusif pertama kali muncul dalam dokumen kebijakan
internasional: The Salamanca Statement, The World Conference on Special Needs
Education.

2.6 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia

Di Indonesia, pendidikan inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun dalam
bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan
disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu, anak

7
penyandang cacat juga ditempatkan disekolah umum namun mereka harus menyesuaikan diri
pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus siap dibuat “siap” untuk diintegrasikan ke
dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka anak dipandang yang
bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh pendidikan inklusi adalah sebaliknya, sekolah
dibuat siap dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada
kegagalan pada anak maka sistem dipandang yang bermasalah.

Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kemendiknas awal tahun 2011
terdapat 624 sekolah inklusi baik SD, SMP, dan SMA. Namun dalam prakteknya sistem
pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan terutama yang berkaitan
dengan masih kurangnya kesadaran dari banyak pihak.

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Pancasila


yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar
lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai
wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang
mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan
perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan
pengendalian diri dan sebagainya.

Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa,
budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi, politik dan sebagainya. Bertolak dari filosofi
Bhinneka Tunggal Ika, kecacatan dan keberbakatan hanya satu bentuk kebhinekaan seperti
halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya atau agama. Kecacatan dan keberbakatan tidak
memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedan suku, bahasa, budaya
atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus
memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragaam, sehingga
mendororng sikap silih asah, silih asih dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya
yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.

Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusi adalah Deklarasi


Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini adalah
penegasan kembali atas deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun
1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu penyandang cacat memperoleh pendidikan

8
sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan
bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Di Indonesia,
penefrapan pendidikan inklusi dijamin oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik penyandang cacat atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara
inklusif atau berupa sekolah khusus.

Landasan pedagogis, seperti yang dijelaskan pada pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003,
disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik penyandang cacat dibentuk
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu
menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika
sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah luar biasa. Betapapun
kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

Landasan Empiris ditunjukkan melalui penelitian tentang inklusi yang telah banyak
dilakukan negara-negara barat sejak tahun 1980-an, namun penelitian yang berskala besar
dipelopori oleh The National Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya, menunjukkan
bahwa klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah, kelas atau tempat khusus
tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman
dan Messick, 1982). Beberapa pakarbahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk
melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik
mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang dan Walberg, 1994 - 1995).

Beberapa peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis lanjut) atas hasil banyak
penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50
buah penelitian, Wang dan Baker (1985 - 1986) terhadap 11 buah penelitian dan Baker (1994)
terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, baik

9
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak penyandang cacat dan teman
sebayanya.

 1960-an: Integrasi siswa tunanetra di sekolahmenengah umum dimulai atas inisiatif


individual.
 1978-1986: Proyek Pendidikan Terpadu bagianak tunanetra dengan bantuan teknis HKI.
 1999: Pemerintah memperkenalkan gagasanpendidikan inklusif dengan bantuan teknis
dariUniversitas Oslo, melalui seminar dan lokakarya.
 2002: Rintisan sekolah inklusif di beberapa kota.
 2004: Di Bandung diselenggarakan deklarasi Indonesia menuju inklusi yang membahas
khusus penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di sekolah-sekolah reguler Indonesia.

2.7 Landasan Pendidikan Inklusif

2.7.1 Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut.


a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung
Garuda yang berarti ‘bhineka tunggal ika.’ Keragaman dalam etnik, adat istiadat,
keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjungjung
tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Pandangan agama khususnya Islam antara lain ditegaskan bahwa: (1) manusia
dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan
karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali
kaum itu sendiri, (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi
(inklusif).
c. Pandangan universal Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa setiap manusia
mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak
pekerjaan.

10
2.7.2 Landasan Yuridis

a. UUD 1945 (Amandemen) Pasal 31 : (1) berbunyi setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
b. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 48 Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Pasal 49
Negara, Pemerintah, Keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
c. UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 ayat (1) setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu.
Ayat (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual
dan /atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) Warga negara di
daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus. Ayat (4) Warga Negara yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal
11 ayat (1) dan (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pasal 12 ayat (1) setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dngan bakat, minat dan kemampuannya (1b) Setiap peserta didik
berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang
setara (1e) Pasal 32 ayat (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan /atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa. Ayat (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik di daerah teerpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan
/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Dalam penjelasan pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa pendidikan khusus
merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau

11
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Pasal 45 ayat (1) Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik.
d. Peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 tentang standar Nasional pendidikan Pasal 2
ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar
proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar
sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian
pendidikan. Dalam PP No 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan
khusus terdiri atas SDLB, SMPLB, SMA LB.
e. Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.C6/MNB/2003 tanggal 20
Januari 2003 perihal pendidikan inklusif.menyelenggarakanb dan mengembangkan
di setiap kabupaten /kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri dari : SD, SMP,
SMA, dan SMK.

2.7.3 Landasan Empiris

a. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948


b. Konvensi Hak Anak, 1989
c. Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk semua, 1990
d. Resolusi PBB nomor 48/49 tahun 1993 tentang persamaan kesempatan bagi orang
berkelainan.
e. Pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusi, 1994
f. Komitment Dakar mengenai Pendidikan untuk semua, 2000
g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan
inklusif,”
h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah
terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai :

12
1) sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh
yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk semua adalah benar-benar
untuk semua
2) sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai
bagian dari program- program untuk perkembanganusia dini anak, pra sekolah
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi
3) sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan
menghormati perbedaan individu semua warga negara. Disamping itu juga
menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem
pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya :
a) inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang
mendasari semua kebijakan nasional
b) konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional,
emosional dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya
c) sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan
prinsip-prinsip non diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas
sebagaimana telah disebutkan di atas
d) orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa
memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta
seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka
e) semua kementrian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi
bersama menuju inklusi
f) Demi menjamin pendidikan untuk semua melalui kerangka sekolah yang
ramah terhadap anak, maka masalah non diskriminasi dan inklusi harus
diatasi dari semua dimensi, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara
lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah, donor, masyarakat,
berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta

13
g) semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non
pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya
mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan
lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.
h) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun
ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam
manajemen sistem informasi sekolah harus mencangkup semua anak usia
sekolah
i) Program pendidikan pra- jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru
seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak
pada tingkat usia pra sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan
pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak
termasuk pada intervensi dini
j) Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun
dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-
nilai sistem pendidikan yang non – diskriminatif dan inklusif

14
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum filosofi inklusi adalah mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak
diskriminatif dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Istilah pendidikan inklusif atau
pendidikan inklusi merupakan kata atau istilah yang dikumandangkan oleh UNESCO berasal
dari kata Education for All yang artinya pendidikan yang ramah untuk semua, dengan
pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa terkecuali. Sejarah
perkembangan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara
Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh
Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk
diterapkan di Amerika Serikat.

Sebelum munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif, setidaknya


dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak dapat
berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Faktor utama
yang menyebabkan mereka terpinggirkan/tertolak adalah faktor pendidikan (UNESCO, 1990)
sehingga pendidikan menjadi isu utama untuk mengatasi masalah ini. Landasan pendidikan
inklusif antara lain, landasan filosofis, yuridis, dan empiris. Perkembangan pendidikan inklusi
di dunia:

 1960-an: Pendidikan integrasi (terutama bagi tunanetra) mulai dipraktekkan di beberapa


Negara
 1980-an: Istilah “Inclusive Education” diperkenalkan dan dipraktekkan di Canada dan
berkembang di AS dan Negara-negara lain.

15
 1994: Istilah pendidikan inklusif pertama kali muncul dalam dokumen kebijakan
internasional: The Salamanca Statement, The World Conference on Special Needs
Education.

Perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia:

 1960-an: Integrasi siswa tunanetra di sekolahmenengah umum dimulai atas inisiatif


individual.
 1978-1986: Proyek Pendidikan Terpadu bagianak tunanetra dengan bantuan teknis HKI.
 1999: Pemerintah memperkenalkan gagasanpendidikan inklusif dengan bantuan teknis
dariUniversitas Oslo, melalui seminar dan lokakarya.
 2002: Rintisan sekolah inklusif di beberapa kota.
 2004: Di Bandung diselenggarakan deklarasi Indonesia menuju inklusi yang membahas
khusus penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di sekolah-sekolah reguler Indonesia.

3.2 Saran
Sebaiknya pemerintah dan stakeholder bekerjasama mengembangkan pendidikan
Inklusif di Indonesia agar semua warga negara mendapat hak yang sama walau dengan suku,
ras, dan latar belakang yang berbeda.

16
DAFTAR PUSTAKA

Imam Yuwono, M. P. (2016). Paradigma Pendidikan Ramah Anak. Banjarmasin: Penerbit


Pustaka Banua.
http://digilib.uinsby.ac.id/8082/5/bab%202.pdf (diakses tanggal 16 September 2018, diakses
13:26)

http://id.scribd.com/doc/101514501/2/B-Sejarah-Perkembangan-Pendidikan-Inklusif (diakses
tanggal 16 September 2018, 13:26)

httPasal://www.academia.edu/17579245/pendidikan_inklusif_di_indonesia (diakses tanggal 16


September 2018, 13:52)

httPasal://www.scribd.com/doc/101514501/pedoman-umum-inklusi (diakses tanggal 16


September 2018, 13:31 WITA)

http://ejournal.upi.edu/index.php/eduhumaniora/article/view/2755/1795 (diakses tanggal 16


September 2018, 13:49 WITA)

17

Anda mungkin juga menyukai