MAKALAH
Diasuh Oleh :
Mirnawati, M.Pd.
Oleh :
Jumiati
(1610118220010)
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayah–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca.
Penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Inklusi yang dibimbing oleh Ibu Mirnawati, M.Pd.
Akhirnya, penulis mengucapkan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Allah
SWT, yang telah memberikan nikmat kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah dengan judul “Konsep Pendidikan Inklusi”. Penulis juga menyadari
bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi teknik penyajian maupun dari segi
materi. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran dari para
pembaca dan pemakai sangat penulis harapkan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I ........................................................................................................................................ iii
PENDAHULUAN ................................................................................................................... iii
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................................. iii
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................... v
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... v
BAB II ...................................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 1
2.1 Filosofi Pendidikan Inklusif ......................................................................................... 1
2.2 Pengertian Pendidikan Inklusif ................................................................................... 2
2.3 Konsep Dasar Pendidikan Inklusif .............................................................................. 2
2.4 Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif ............................................................. 3
2.5 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia ............................................................ 5
2.6 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia ...................................................... 7
2.7 Landasan Pendidikan Inklusif ................................................................................... 10
2.7.1 Landasan Filosofis................................................................................................ 10
2.7.2 Landasan Yuridis ................................................................................................. 11
2.7.3 Landasan Empiris ................................................................................................ 12
BAB III................................................................................................................................... 15
PENUTUP.............................................................................................................................. 15
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 15
3.2 Saran ............................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Semua manusia dilahirkan ke dunia mempunyai hak yang sama, kita telah
diciptakan sederajat walaupun berbeda – beda apapun jenis kelamin, penampilan,
kesehatan, atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam satu
masyarakat, penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh
keragaman dan keserbaragaman bukan oleh keseragaman akan tetapi pada
kenyataannya anak – anak dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya
dari kebutuhan kebanyakan orang telah dipisahkan dengan alasan yang beragam
untuk waktu yang cukup lama semua alasan tersebut tidak adil. Pendidikan juga
merupakan hak bagi semua warga Negara. (Sunanto (2010:21-22))
iii
Jika berbicara tentang hak penting digarisbawahi bahwa orang penyandang
cacat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap orang lain dan
masyarakat seperti layaknya orang lain pada umumnya. Tujuan akhirnya adalah
bahwa setiap orang merasa berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan apa yang dapat diberikannya dan pada saat yang bersamaan
mempunyai hak untuk menerima apa yang dibutuhkannya. Seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal. 32 ayat 1 yang berbunyi
setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat 2 yang
berbunyi setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
khususnya Pasal. 5 ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. UU No. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak, khususnya Pasal. 51 yang berbunyi anak yang menyandang
cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas
untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
iv
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana filosofi pendidikan inklusif?
1.2.2 Bagaimana definisi pendidikan inklusif?
1.2.3 Bagaimana konsep dasar pendidikan inklusif?
1.2.4 Bagaimana sejarah pendidikan inklusif?
1.2.5 Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di dunia?
1.2.6 Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia?
1.2.7 Bagaimana landasan pendidikan inklusif?
v
BAB II
PEMBAHASAN
Paradigma pendidikan inklusif digali dari sebuah kajian tentang kodrat sebagai seorang
manusia. Kodrat sebagai seorang manusia adalah unik dan berbeda. Makna “unik” lebih dalam
daripada makna “berbeda”. Memaknai unik bisa dipahami melalui contoh berikut:
Sesuai hasil tes intelegensi. Susi mendapatkan skor 90. Ani mempunyai IQ 100 dan Yani
juga ber-IQ 100. Apakah kemampuan Ani dan Yani bisa dipersamakan walaupun hasil tes
intelegensinya sama?
Falsafah Bhinneka Tunggal Ika membuat semua perbedaan menjadi kekayaan bangsa.
Semangat Falsafah Bhinneka Tunggal Ika belum semua dipakai dalam kehidupan
sekolah/lembaga pendidikan. Sekolah biasanya belum bisa mengakomodir semua
keunikan/perbedaan pada setiap individu. Perbedaan yang diakomodir masih dalam kategori
perbedaan yang “wajar” seperti suku bangsa, agama, warna kulit, latar belakang ekonomi
orangtua, dan sebagainya. Bisanya perbedaan/keunikan yang bersifat “ekstrim” masih
menemui kendala untuk diakomodir. Seyogyanya, semua perbedaan/keunikan individu tidak
menjadi masalah. Bagaimana lembaga pendidikan menyeting segala sesuatunya seperti sistem,
peraturan, lingkungan sekolah, kebijakan, dan sebagainya yang dapat mempermudah untuk
mengakomodir perbedaan/keunikan setiap individu siswa yang memang kodrati.
1
2.2 Pengertian Pendidikan Inklusif
Inklusif merupakan sebuah kata yang berasal dari terminologi Inggris yakni inclusion
yang berarti: termasuknya atau pemasukan. Sementara Olsen dan Fuller (2003:167), inklusif
merupakan sebuah terminologi yang secara umum digunakan untuk mendidik siswa baik yang
memiliki maupun tidak memiliki ketidakmampuan tertentu di dalam sebuah kelas reguler.
Dewasa ini, terminologi inklusif digunakan untuk mengagas hak anak-anak yang memiliki
ketidakmampuan tertentu untuk dididik dalam sebuah lingkungan pendidikan (sekolah) yang
tidak terpisah dari anak-anak lain yang tidak memiliki ketidakmampuan tertentu.
Florida State University Center for Prevention & Early Intervention Policy (2002)
mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sebuah usaha untuk membuat para siswa yang
memiliki ketidakmampuan tertentu pergi ke sekolah bersama teman-teman dan sesamanya
serta menerima apa pun dari sekolah seperti teman-teman yang lainnya terutama dukungan dan
pengajaran yang didesain secara khusus yang mereka butuhkan untuk mencapai standar yang
tinggi dan sukses sebagai pembelajar.
Dari definisi tentang inklusif di atas, kita dapat mengatakan bahwa sekolah inklusif
adalah lembaga pendidikan formal yang menyediakan layanan belajar bagi anak-anak
berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal dalam komunitas
sekolah reguler di mana setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas, diakomodir, dan
direspon kebutuhannya sehingga setiap anak mendapat peluang dan kesempatan yang sama
untuk mengembangkan potensinya.
Dengan demikian, perlu diingat bahwa pendidikan atau sekolah inklusif bukan sebuah
sekolah bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus melainkan sekolah yang memberikan
layanan efektif bagi semua (education fol all). Dengan kata lain, pendidikan inklusif adalah
pendidikan di mana semua anak dapat memasukinya, kebutuhan setiap anak diakomodir atau
dirangkul dan dipenuhi bukan hanya sekedar ditolerir. (Watterdal, 2002).
Istilah pendidikan inklusif atau pendidikan inklusi merupakan kata atau istilah yang
dikumandangkan oleh UNESCO berasal dari kata Education for All yang artinya pendidikan
yang ramah untuk semua, dengan pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua
2
orang tanpa terkecuali. Mereka semua memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan. Hak dan kesempatan itu tidak dibedakan
oleh keragaman karakteristik individu secara fisik, mental, sosial, emosional, dan bahkan status
sosial ekonomi. Pada titik ini tampak bahwa konsep pendidikan inklusif sejalan dengan filosofi
pendidikan nasional Indonesia yang tidak membatasi akses peserta didik kependidikan hanya
karena perbedaan kondisi awal dan latar belakangnya. Inklusif pun bukan hanya bagi mereka
yang berkelainan atau luar biasa melainkan berlaku untuk semua anak.
Sejarah perkembangan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun
1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar biasa ke
3
Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang
ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act.
1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya
pergeseran model pendidikan untuk anak kebutuhan khusus dari segregatif ke intergratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang
pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi Education for All. Implikasi
dari statement ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali
(termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi
pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive education”. Sejalan dengan
kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada
tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung
dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak
anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di
Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain
menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara
menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang
berkualitas dan layak. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut,
maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program
pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang
sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang
berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti
kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.
Melihat kembali ke dalam sejarah dimana beberapa peristiwa yang dipublikasi berikut ini:
1948: Deklarasi Hak Asasi Manusia – termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di
masyarakat untuk semua orang – PBB
4
1990: Pendidikan untuk semua : Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk semua di Jomtien,
Thailand, menghasilakn tujuan utama berikut ini :
1993: Peraturan Standar tentang kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat (PBB,
diumumkan tahun 1994).
Selain data tersebut di atas, ada pula data yang menyebutkan bahwa ada sekelompok
orang karena perbedaan gender menyebabkan orang itu tidak dapat sekolah, misalnya di
Afghanistan, ada budaya yang melarang kaum perempuan untuk bersekolah dan keluar rumah,
kalaupun bisa sekolah dan keluar rumah sangatlah terbatas. Masih banyak data lain yang
menyebutkan persoalan mengapa seseorang atau sejumlah orang tidak dapat menikamti
haknya untuk memperoleh pendidikan, diantaranya karena masalah geografis, kondisi
5
peperangan, bencana alam, dan lain-lain. Kondisi itu tentunya sangat memprihatinkan karena
mereka akan menjadi orang yang termarginalkan dan tertolak oleh masyarakat.
Itu semua ternyata menjadi permasalahan di setiap negara, bahkan di negara yang
dikatakan sebagai negara maju sekalipun, hanya saja di negara maju jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan negara “miskin” dan berkembang. Jadi hampir di seluruh dunia memiliki
persoalan yang sama, bagaimana semua warganya dapat mengakses atau memperoleh
pendidikan, ternyata pendidikan itu adalah hak setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi
sejumlah orang yang terpinggirkan (kaum marginal) dan tertolak dalam kehidupan sosial,
politik, ekonomi, budaya serta pendidikan. Semua negara memprihatinkan itu semua.
Hasil dari konferensi diantaranya menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada
semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak.
Dalam kenyataannya hasil konferensi belum termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan
khusus.
6
Mengingat hasil konferensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari organisasi
penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus serta didukung oleh beberapa negara.
Kemudian mereka membuat suatu konferensi dengan landasan konferensi sebelumnya
ditambah dengan Peraturan Standar tentang Kesamaan untuk Orang-Orang Penyandang Cacat
(PBB, 1993). Konferensi ini dinamai The Salamanca World Conference on Special Needs
Education (UNESCO, 1994). Dari konferensi inilah muncul prinsip-prinsi dan konsep dasar
dari pendidikan inklusif, yang selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang
pendidikan inklusif.
Di Indonesia, pendidikan inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun dalam
bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan
disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu, anak
7
penyandang cacat juga ditempatkan disekolah umum namun mereka harus menyesuaikan diri
pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus siap dibuat “siap” untuk diintegrasikan ke
dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka anak dipandang yang
bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh pendidikan inklusi adalah sebaliknya, sekolah
dibuat siap dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada
kegagalan pada anak maka sistem dipandang yang bermasalah.
Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kemendiknas awal tahun 2011
terdapat 624 sekolah inklusi baik SD, SMP, dan SMA. Namun dalam prakteknya sistem
pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan terutama yang berkaitan
dengan masih kurangnya kesadaran dari banyak pihak.
Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa,
budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi, politik dan sebagainya. Bertolak dari filosofi
Bhinneka Tunggal Ika, kecacatan dan keberbakatan hanya satu bentuk kebhinekaan seperti
halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya atau agama. Kecacatan dan keberbakatan tidak
memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedan suku, bahasa, budaya
atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus
memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragaam, sehingga
mendororng sikap silih asah, silih asih dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya
yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
8
sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan
bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Di Indonesia,
penefrapan pendidikan inklusi dijamin oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik penyandang cacat atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara
inklusif atau berupa sekolah khusus.
Landasan pedagogis, seperti yang dijelaskan pada pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003,
disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik penyandang cacat dibentuk
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu
menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika
sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah luar biasa. Betapapun
kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
Landasan Empiris ditunjukkan melalui penelitian tentang inklusi yang telah banyak
dilakukan negara-negara barat sejak tahun 1980-an, namun penelitian yang berskala besar
dipelopori oleh The National Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya, menunjukkan
bahwa klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah, kelas atau tempat khusus
tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman
dan Messick, 1982). Beberapa pakarbahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk
melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik
mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang dan Walberg, 1994 - 1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis lanjut) atas hasil banyak
penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50
buah penelitian, Wang dan Baker (1985 - 1986) terhadap 11 buah penelitian dan Baker (1994)
terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, baik
9
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak penyandang cacat dan teman
sebayanya.
10
2.7.2 Landasan Yuridis
a. UUD 1945 (Amandemen) Pasal 31 : (1) berbunyi setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
b. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 48 Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Pasal 49
Negara, Pemerintah, Keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
c. UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 ayat (1) setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu.
Ayat (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual
dan /atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) Warga negara di
daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus. Ayat (4) Warga Negara yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal
11 ayat (1) dan (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pasal 12 ayat (1) setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dngan bakat, minat dan kemampuannya (1b) Setiap peserta didik
berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang
setara (1e) Pasal 32 ayat (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan /atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa. Ayat (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik di daerah teerpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan
/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Dalam penjelasan pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa pendidikan khusus
merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau
11
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Pasal 45 ayat (1) Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik.
d. Peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 tentang standar Nasional pendidikan Pasal 2
ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar
proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar
sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian
pendidikan. Dalam PP No 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan
khusus terdiri atas SDLB, SMPLB, SMA LB.
e. Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.C6/MNB/2003 tanggal 20
Januari 2003 perihal pendidikan inklusif.menyelenggarakanb dan mengembangkan
di setiap kabupaten /kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri dari : SD, SMP,
SMA, dan SMK.
12
1) sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh
yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk semua adalah benar-benar
untuk semua
2) sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai
bagian dari program- program untuk perkembanganusia dini anak, pra sekolah
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi
3) sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan
menghormati perbedaan individu semua warga negara. Disamping itu juga
menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem
pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya :
a) inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang
mendasari semua kebijakan nasional
b) konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional,
emosional dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya
c) sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan
prinsip-prinsip non diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas
sebagaimana telah disebutkan di atas
d) orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa
memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta
seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka
e) semua kementrian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi
bersama menuju inklusi
f) Demi menjamin pendidikan untuk semua melalui kerangka sekolah yang
ramah terhadap anak, maka masalah non diskriminasi dan inklusi harus
diatasi dari semua dimensi, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara
lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah, donor, masyarakat,
berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta
13
g) semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non
pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya
mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan
lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.
h) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun
ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam
manajemen sistem informasi sekolah harus mencangkup semua anak usia
sekolah
i) Program pendidikan pra- jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru
seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak
pada tingkat usia pra sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan
pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak
termasuk pada intervensi dini
j) Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun
dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-
nilai sistem pendidikan yang non – diskriminatif dan inklusif
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum filosofi inklusi adalah mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak
diskriminatif dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Istilah pendidikan inklusif atau
pendidikan inklusi merupakan kata atau istilah yang dikumandangkan oleh UNESCO berasal
dari kata Education for All yang artinya pendidikan yang ramah untuk semua, dengan
pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa terkecuali. Sejarah
perkembangan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara
Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh
Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk
diterapkan di Amerika Serikat.
15
1994: Istilah pendidikan inklusif pertama kali muncul dalam dokumen kebijakan
internasional: The Salamanca Statement, The World Conference on Special Needs
Education.
3.2 Saran
Sebaiknya pemerintah dan stakeholder bekerjasama mengembangkan pendidikan
Inklusif di Indonesia agar semua warga negara mendapat hak yang sama walau dengan suku,
ras, dan latar belakang yang berbeda.
16
DAFTAR PUSTAKA
http://id.scribd.com/doc/101514501/2/B-Sejarah-Perkembangan-Pendidikan-Inklusif (diakses
tanggal 16 September 2018, 13:26)
17