Anda di halaman 1dari 18

HUKUMAN DAN HAPUSNYA HUKUMAN

Diajukan sebagai tugas mata kuliah

Fiqih Jinayah

Dosen pengampu : Ahmad Fauzan, M.S.I

Disusun oleh :

Tsania Rif’atul Munna (1517002)

Anggraeni Triyas Sekarwati (1517021)

Semester / Kelas : IV / B

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PEKALONGAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat,
karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Hukuman dan Hapusnya Hukuman” ini dengan tepat waktu. Kami juga berterima
kasih kepada Bapak Ahmad Fauzan, M.S.I., selaku Dosen mata kuliah Fiqih
Jinayah yang telah membimbing dan mengajarkan serta memberikan tugas ini
kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai penjelasan dan bagian-bagian dalam
“Hukuman dan Hapusnya Hukuman”. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang akan
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari
Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang. Terima kasih.

Pekalongan, 15 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 2

A. Definisi Hukuman .......................................................................... 2


B. Macam-macam Hukuman ............................................................... 3
C. Tujuan Pelaksanaan Hukuman ....................................................... 8
D. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman .................................................. 9

BAB III PENUTUP .................................................................................. 14

A. Kesimpulan ..................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sistem hukum Islam
menyajikan bentuk keadilan hukum yang tidak terdapat dalam sistem hukum
yang lain. Dalam kehidupan manusia, sering kita melihat adanya pelanggaran
atau kejahatan yang terjadi tidak jauh dari lingkungan kita. Oleh karena itu,
guna menanggulangi permasalahan pelanggaran atau kejahatan tersebut,
haruslah ada sanksi atau hukuman yang tegas mengenai pelanggaran atau
kejahatan yang bersangkutan.
Hukuman merupakan suatu bentuk sanksi dan balasan bagi orang yang
melakukan pelanggaran dan kejahatan, dan berfungsi sebagai alat untuk
menjerakan pelaku kejahatan. Aturan hukum baik itu hukum negara maupun
hukum agama (syariat Islam) memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk
menjaga kehormatan dan kehidupan setiap manusia, atau labih detailnya ialah
untuk menciptakan keadilan, sebagaimana tertuang pada sila kedua dari
Pancasila.
Sebagaimana kita tahu, permasalahan tentang pelanggaran maupun
kejahatan beserta sanksi dan hukumannya yang dilakukan oleh manusia itu
dijelaskan dalam fikih jinayah. Oleh karenanya, berkaitan dengan mata kuliah
fikih jinayah yang tengah kita pelajari ini pula, kami sebagai pemakalah akan
menjelaskan mengenai tugas makalah fikih jinayah tentang hukuman,
macam-macam hukuman, tujuan adanya hukuman, serta hapusnya hukuman.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu hukuman ?
2. Apa saja macam-macam dari hukuman itu ?
3. Apa tujuan adanya pelaksanaan suatu hukuman itu ?
4. Apa saja sebab hapusnya hukuman itu ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hukuman
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai
“Siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar
Undang-Undang”, “keputusan yang dijatuhkan oleh hakim” dan “hasil atau
akibat yang mengakibatkan dia dihukum”.1
Dalam bahasa Arab, hukuman itu disebut dengan “Uqubah”. Secara
bahasa, lafaz “Uqubah” berasal dari kata )‫ (عقب‬yang memiliki sinonim
)‫ (خلفه وجاء بعقبه‬yang artinya “mengiringinya dan datang di belakangnya”.
Maksudnya yaitu bahwa sesuatu disebut dengan hukuman karena hukuman
tersebut mengiringi perbuatan, dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu
dilakukan. Pengertian yang hampir mirip dengan arti sinonim tersebut di atas,
yang bisa diambil dari kata )‫ (عقب‬yang sinonimnya )‫ (جزاه سواء بما فعل‬yang
artinya “membalasnya sesuatu dengan apa yang dilakukannya”. Maksudnya
adalah bahwa sesuatu yang disebut sebagai hukuman karena hukuman itu
merupakan balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah
dilakukannya.2
Para fuqoha mendefinisikan hukuman atau ‘Uqubah sebagai balasan
yang dijatuhkan pada orang yang melakukan kejahatan atas dosa yang dia
lakukan sebagai sanksi atas dirinya dan pencegahan atau penghalang untuk
orang yang lain dari tindak kejahatan.3 Selain itu, sebagaimana disampaikan
oleh Al-Mawardi, beliau berpendapat bahwa hukuman adalah ancaman yang
diletakkan oleh Allah SWT., untuk menghalangi melakukan perbuatan yang

1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departmen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta : BALAI PUSTAKA, 1996),
hlm. 360.
2
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam : Fikih Jinayah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004), hlm. 136.
3
Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta :
PRENADAMEDIA GROUP, 2016), hlm.4.

2
dilarang dan meninggalkan yang diperintahkan. Dalam hukum pidana Islam,
Abdul Qodir ‘Audah juga mendefinisikan hukuman sebagai :
‫العقوبة هي الجزاء المرر لمصلحة الجماعة على عصيان أمر الشارع‬
“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara
kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-
ketentuan pembuat syara’ (Allah SWT)”.
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa hukuman adalah
pemberian sanksi dan kesengsaraan atau penderitaan bagi pelaku kejahatan
sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain, atau
balasan yang diterima pelaku akibat melanggar apa yang telah ditentukan
oleh syara’.
B. Macam-macam Hukuman
Dalam hukum pidana Islam, hukuman dibagi dalam beberapa bagian
dengan meninjaunya dari beberapa segi, yaitu :
1. Ditinjau dari segi ada atau tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits :
a. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat dan kafarah.
Misalnya hukuman bagi pezina, pencuri, pembunuh dan sebagainya.
b. Hukuman yang tidak ada nashnya, yaitu yang disebut hukuman ta’zir,
seperti tidak melaksanakan amanah, pencurian yang tidak sampai batas
jumlah yang ditetapkan, dan sebagainya.
2. Ditinjau dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman yang
lain. Dalam hal ini ada empat macam hukuman, yaitu :
a. Hukuman pokok (Al-‘Uqubat Al-Ishliyah)
Hukuman pokok yaitu hukuman asal (asli) yang telah ditetapkan
pada suatu tindak pidana/jarimah sebagai hukum asli, seperti hukuman
qishash bagi tindak pidana pembunuh, dan hukuman jilid seratus kali
bagi pezina ghayru muhshan.
b. Hukuman pengganti (Al-‘Uqubat Al-Badaliyah)
Hukuman pengganti yaitu hukuman yang menggantikan hukuman
pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan dengan alasan
yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman

3
qishash, atau hukuman ta’zir sebagai pengganti hukuman hudud atau
hukuman qishash yang tidak bisa dilaksanakan. Misalnya saja pada
hukuman diyat, hukuman diyat ini merupakan hukuman pokok bagi
tindak pidana pembunuhan semi sengaja, akan tetapi hukuman tersebut
juga dianggap sebagai hukuman pengganti pada tindak pidana qishash
apabila keluarga korban memaafkan perbuatan pelaku.
c. Hukuman tambahan (Al-‘Uqubat Al-Thaba’iyah)
Hukuman tambahan yaitu hukuman yang mengikuti hukuman
pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri, seperti larangan
menerima harta warisan bagi orang yang membunuh orang yang akan
diwarisinya.
d. Hukuman pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyat)
Hukuman pelengkap yaitu hukuman yang mengikuti hukuman
pokok dengan syarat harus ada keputusan tersendiri dari hakim.
Misalnya, mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong ke
lehernya. Hukuman pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah
dikeluarkannya putusan hukuman tersebut.4
3. Hukuman berdasarkan tempat dilakukannya hukuman, yaitu :5
a. Hukuman badan (Uqubah Badaniyyah)
Hukuman badan yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan si
pelaku, seperti hukuman mati, jilid (dera), dan penjara.
b. Hukuman jiwa (Uqubah Nafsiyyah)
Hukuman jiwa yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa si pelaku,
bukan pada badannya, seperti hukuman teguran, ancaman, atau celaan.
c. Hukuman harta (Uqubah Maliyyah)
Hukuman harta yaitu hukuman yang ditempatkan pada harta
pelaku, seperti diyat dan perampasan harta.

4
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung : CV
PUSTAKA SETIA, 2013), hlm. 45-46.
5
Moch Zainal Abidin, Skripsi : “Pidana Bersyarat dalam Kajian Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam”, (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2014), hlm. 29-30.

4
4. Hukuman ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan dengan
hukuman tersebut :
a. Hukuman yang sudah ditentukan (‘Uqubah Muqaddarah), yaitu
hukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan oleh syara’ dan
hakim berkewajiban untuk memutuskannya tanpa mengurangi,
menambah atau menggantinya menggantinya dengan hukuman yang
lain. Hukuman ini disebut dengan hukuman keharusan (‘Uqubah
Lazimah).
b. Hukuman yang belum ditentukan (‘Uqubah Ghairu Muqaddarah), yaitu
hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilih jenisnya dari
sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ dan
menentukan jumlahnya untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku dan
perbuatannya. Hukuman ini disebut juga dengan hukuman pilihan
(‘Uqubah Mukhayyarah).6
5. Hukuman berdasarkan macamnya tindak pidana yang diancamkan :
a. Hukuman had, yaitu hukuman untuk jarimah hudud. Hukuman had
sebagaimana telah dikemukakan oleh abdul Qadir ‘Audah adalah
hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah hudud
itu adalah sebagai berikut :
1) Hukumannya tertentu dan terbatas dalam arti bahwa hukuman
tersebut telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan
maksimal
2) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata atau kalau ada
hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih
dominan.
Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah maka hukuman
tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi
korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh

6
Abdul Aziz, Skripsi : “Penjatuhan Hukuman Pidana Pasca Perdamaian dalam Prespektif
Hukum Pidana Islam”, (Semarang : IAIN Walisongo, 2013), hlm 20-21.

5
negara. Adapun jarimah yang termasuk dalam kelompok hudud ini ada
7 macam, yaitu : jarimah zina, jarimah qadzaf (menuduh orang lain
berzina), jarimah syurb al-khamr (minum-minuman keras), jarimah
pencurian, jarimah hirabah (perampokan), jarimah riddah (murtad) dan
jarimah pemberontakan.7
Pada jarimah ini tidak dikenal adanya pemaafan atas pembuat
jarimah, baik oleh perseorangan yang menjadi korban jarimah maupun
oleh negara. Hukuman dalam jarimah hudud ini diperuntukkan bagi
setiap perbuatan kriminal yang hanya ada satu macam hukuman untuk
setiap jarimah, tidak ada pilihan hukuman bagi jarimah ini. Dalam
pelaksanaan hukuman terhadap pelaku yang terbukti berbuat jarimah
yang termasuk kelompok hudud ini, maka hakim harus
melaksanakannya sesuai dengan ketentuan syara’. Jadi, fungsi hakim
terbatas pada penjatuhan hukuman yang telah ditentukan saja, tidak
melakukan ijtihad dalam memilih, mengurangi atau menambahi
hukuman.
b. Hukuman qishash-diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk tindak
pidana qishash dan diyat, seperti pembunuhan sengaja, pembunuhan
semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan, dan
sebagainya. Hukuman qishash dianggap sebagai hukuman yang paling
baik dan mencerminkan keadilan, karena orang yang melakukan
perbuatan itu diberi balasan yang setimpal dengan perbuatannya.
Hukuman qishash berlaku untuk jarimah pembunuhan disengaja dan
penganiayaan sengaja. Dalam dua jarimah tersebut, korban maupun
walinya diberi wewenang untuk memberikan pengampunan atau
memaafkan pelaku. Apabila akhirnya ada pemaafan atau pengampunan
terhadap pelaku, maka hukuman qishash menjadi gugur dan diganti
dengan hukuman diyat. Hukuman diyat ini merupakan hukuman pokok
untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan menyerupai atau
semi sengaja dan tidak sengaja.

7
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. x.

6
c. Hukuman kafarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian
tindak pidana qishash, diyat dan ta’zir. Hukuman kafarat dijatuhkan
atas pembunuhan tidak sengaja dan pembunuhan semi sengaja. Adapun
jenis hukumannya adalah membebaskan seorang hamba yang mukmin.
Apabila tidak menyanggupinya, maka hukumannya diganti dengan
puasa dua bulan beruturut-turut.8
d. Hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk segala tindak
pidana ta’zir. Menurut Al-Mawardi, ta’zir berarti hukuman pendidikan
atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh
syara’. Jadi dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman
yang belum ditetapkan syara’ dan wewenang untuk menetapkannya
diserahkan kepada Ulil amri (pemimpin). Disamping itu, dari definisi
tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai
berikut :
1) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman
tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan
maksimal
2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa atau pemimpin
(Ulil amri).9
Jenis hukum ta’zir ini misalnya hukuman mati, hukuman penjara,
hukuman salib, hukuman pengucilan, hukuman peringatan dan
ancaman, hukuman denda, dan sebagainya.
Dalam hukum pidana Indonesia, hukuman terdiri atas dua jenis, yaitu
hukuman pokok dan hukuman tambahan. Dalam Pasal 10 KUHP disebutkan
bahwa jenis-jenis hukuman itu antara lain :
1. Pidana pokok
a. Pidana mati
Dalam Pasal 11 KUHP disebutkan bahwa “Pidana mati dijalankan
oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum

8
Zaenal Abidin, Op.Cit., hlm. 33.
9
Ibid., hlm. xii.

7
dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan
dari bawah kakinya”.
b. Pidana penjara
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan
para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai dengan putusan
hakim.
c. Pidana kurungan
Hukuman kurungan sebenarnya hampir sama dengan hukuman
penjara, hanya saja sifat hukuman kurungan itu lebih ringan dan
ancaman hukumannya pun lebih ringan. Dalam Pasal 18 KUHP
dinyatakan bahwa lamanya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan
tidak lebih dari satu tahun empat bulan.
d. Hukuman denda
2. Pidana tambahan, yang meliputi :
 Pencabutan hak-hak tertentu
 Perampasan barang-barang tertentu
 Pengumuman putusan hakim10
C. Tujuan Pelaksanaan Hukuman
Perlu kita ketahui, bahwa tujuan pokok dari hukum pidana Islam ini adalah
untuk menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya kejahatan, sehingga
ketertiban, keamanan, ketentraman, kemashlahatan serta kesejahteraan dalam
bermasyarakat dapat tercipta dengan damai. Sedangkan esensi dari pemberian
hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah sebagai berikut :
1. Pencegahan
Penjegahan ini ditujukan untuk menahan orang yang berbuat jarimah
agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-
menerus melakukan jarimah tersebut. Selain bertujuan untuk pencegahan
terhadap pelaku, tujuan pencegahan ini juga ditujukan kepada orang lain
agar ia tidak ikut-ikutan melakukan suatu jarimah.

10
Abdul Aziz, Op.Cit., hlm. 22-23.

8
2. Perbaikan dan pendidikan
Perbaikan dan pendidikan ini ditujukan untuk mendidik pelaku jarimah
agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Dengan
diberikannya sanksi atau hukuman, diharapkan akan timbul dalam diri
pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut
akan hukum, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap
jarimah, serta dengan mengharapkan ridho dari Allah SWT. Sejatinya
hukuman itu dibuat untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku
jarimah, agar si pelaku bisa menyadari tentang jarimah yang dilakukannya
itu.
D. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman
Sebab hapusnya hukuman atau disebut dengan Asbab Raf’ al Uqubah itu
tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan, melainkan
tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku
tidak memungkinkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari
hukuman. Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan
keadaan diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan
keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah
sebagai berikut :
1. Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang
paksaan.Pertama paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh
seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau
tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang
ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang
dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukannya
perbuatan yang diperintahkan. Ketiga paksaan merupakan ancaman atas
seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya. Ke
empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu
membahayakan dan menyakitinya.

9
2. Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman khamar baik sampai mengakibatkan
mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum
dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.
Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka
menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah
bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya,
jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi
tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan
mabuk.
3. Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam
artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang
mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar).
Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula
pertanggung jawab tersebut. Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan
hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan
kekuatan meilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau gila.
4. Di Bawah Umur
Anak di bawah umur dipandang belum dibebani hukum atau tidak
termasuk mukalaf. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban hukum atasnya
dan tidak ada pertanggung jawaban atas perbuatannya sehingga ia
mencapai dewasa.11

Dalam hapusnya hukuman tersebut dimaksudkan bahwa tidak terdapat


pertanggung jawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses sehingga tidak
ada keputusan hakim. Berbeda dengan hapusnya hukuman, ada pula yang
disebut dengan batalnya hukuman atau gugurnya hukuman. Gugurnya
hukuman ini dimaksudkan tidak dapat dilakukannya suatu putusan pengadilan
yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik sebab itu pada diri

11
Mustofa Hasan dan Saebani, Op.Cit., hlm. 81-82.

10
terhukum maupun usaha-usaha terhukum, atau berkaitan dengan masalah
waktu hukuman. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa pertanggung jawaban
pidana itu ada dan telah diproses di pengadilan sehingga terdapat keputusan
hakim. Namun karena sebab-sebab tertentu keputusan tersebut tidak dapat
dilaksakan kepada terhukum. Adapun sebab-sebab gugurnya hukuman
menurut hukum Islam adalah sebagai berikut :
1. Meninggalnya pelaku
Hukuman berupa hukuman badan atau hukuman yang berhubungan
dengan diri pelaku akan menjadi gugur dengan meninggalnya pelaku.
Alasannya tempat (objek) melaksanakan hukuman tersebut, yaitu si pelaku
sudah meninggal. Adapun jika hukuman tersebut berupa hukuman denda,
diyat dan penyitaan harta, maka hukuman tersebut tidak dapat gugur
karena meninggalnya pelaku. Alasannya karena tempat melaksanakan
hukuman bukanlah pada diri pelaku, melainkan harta pelaku. Hukuman
atas harta pelaku masih dapat dijalankan setelah meninggalnya pelaku.
2. Hilangnya objek (anggota badan) yang akan di qishas
Qishash yang di maksudkan disini adalah qishash yang tidak
menghilangkan nyawa. Dalam keadaan seperti itulah, hilangnya anggota
badan menjadi sebab pembatalan atau gugurnya hukuman. Menurut Imam
Malik, apabila hilangnya anggota badan tempat dilaksanakannya qishash
adalah dengan jalan yang benar (karena sakit), korban tidak mendapat apa-
apa dari pelaku. Dengan kata lain, apabila qishash gugur, hak korban juga
akan gugur. Adapun jika hilangnya anggota badan (si A ) tersebut karena
penganiayaan orang lain (si C) hak kisas bagi korban (B) berpindah
kepada si C.
Menurut Imam Abu Hanifah, harus di bedakan apakah hilangnya
anggota badan kaena penyakit atau penganiayaan (keadaan pertama), atau
karena menjalani hukuman qishash yang lain (keadan kedua). Dalam
keadaan pertama, korban tidak mendapatkan apa-apa sebagai ganti
qishash, sedangkan dalam keadaan kedua, korban mendapatkan diyat

11
sebagai ganti qishash karena pelaku telah menghabiskan hak orang lain
atas anggota badannya yang telah hilang itu.
Sementara itu, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa bagaimanapun sebab hilangnya anggota badan
tersebut, korban tetap dijatuhi hukuman diyat sebagai ganti qishash.
Keduanya beralasan bahwa kewajiban yang diakibatkan oleh
penganiayaan sengaja adalah qishash atau diyat. Karenanya, apabila
anggota badan tempat qishash tersebut hilang, qishash harus diganti
dengan diyat.
3. Tobatnya si pelaku
Sudah di sepakati dalam hukum Islam bahwa tobat pelaku bisa
membatalkan (menghapuskan) hukuman jarimah atau tindak pidana
gangguan keamanan (hirabah), yaitu hukuman yang berhubungan dan
menyentuh hak masyarakat. Dengan demikian, apabila seseorang
pengganggu keamanan telah bertobat sebelum mereka di kuasai
(ditangkap), hukuman yang telah di tetapkan atas tindak pidananya itu
menjadi gugur. Adapun hukuman yang berkaitan dan menyentuh hak
pribadi perseorangan (individu), tobat tidak menghapuskan hukuman
tersebut.
4. Perdamaian (shuluh)
Perdamaian yang di lakukan antara pelaku dan korban atau walinya
merupakan salah satu sebab yang dapat membatalkan (menggugurkan)
hukuman, tetapi pengaruhnya hanya terbatas pada tindakan pidana
qishash-diyat saja, karena perdamaian tidak berpengaruh pada selain kedua
tindak pidana tersebut.
5. Pengampunan
Pengampunan merupakan salah satu sebab penggugguran hukuman,
baik diberikan oleh korban, walinya, maupun penguasa. Pengampunan
bukanlah sebab yang bersifat umum yang dapat membatalkan hukuman,
melainkan hanya merupakan sebab khusus yang membatalkan hukuman
sebagian tindak pidana. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin

12
Hanbal, pengampunan adalah melepaskan hak qishash, baik secara cuma-
cuma maupun dengan membayar diyat. Barang siapa melepaskan hak
qishash dengan cuma-cuma, dia dianggap sebagai pengampunan. Adapun
menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, pengampunan adalah
pengangguran (pembatalan) qishash secara cuma-cuma, sedangkan
pelepasan hak qishash dengan ganti diyat tidak dinamakan pengampunan,
tetapi dinamakan perdamaian, karena pelaku tidak diharuskan membayar
diyat kecuali jika dia telah menyetujuinya.12

12
Abdul Aziz, Skripsi : “Penjatuhan Hukuman Pidana Pasca Perdamaian dalam Prespektif
Hukum Pidana Islam”, (Semarang : IAIN Walisongo, 2013), hlm. 24-27.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Hukum Pidana Islam, hukuman adalah seperti yang didefenisikan
oleh Abdul Qadir ‘Audah yaitu pembalasan yang ditetapkan untuk
memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas
ketentuan syara’. Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan
tindak pidana yang dituangkan dalam syara’. Misalnya, ditinjau dari segi ada
dan tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist, hukuman dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu : Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qisas,
diyat, dan kafarah. Hukuman yang tidak ada nashnya, yang disebut hukuman
ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan
amanah, bersaksi palsu dan lainnya.
Jarimah Hudud adalah jarimah yang paling serius dan berat dalam Hukum
Pidana Islam. Jarimah ini diancam dengan hukuman hadd. Sementara qishash
berada pada posisi di antara hudud dan ta’zir dalam hal beratnya hukuman.
Ta’zir sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara ejnis-jenis
hukuman yang lain. Sejatinya hukuman itu dibuat dan diberlakukan untuk
menimbulkan efek jera bagi para pelaku jarimah, agar si pelaku bisa
menyadari tentang jarimah yang dilakukannya itu. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya, macam-macam hukuman diatas dapat dihapuskan oleh
beberapa sebab yang melatarbelakanginya, yaitu : karena paksaan, karena
mabuk, karena gila, atau karena masih di bawah .umur.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa banyak kekurangan dalam makalah yang kami
buat, maka dari itu kami mohon kritik dan saran demi kesesuaian dan
kebenaran dalam penyusunan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departmen


Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Kedua. Jakarta : BALAI PUSTAKA.
Muslich, Ahmad Wardi Muslich. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam
: Fikih Jinayah. Jakarta : Sinar Grafika.
Lubis, Zulkarnain dan Bakti Ritonga. 2016. Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah.
Jakarta : PRENADAMEDIA GROUP.
Hasan, Mustofa dan Beni Ahmad Saebani. 2013. Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah). Bandung : CV PUSTAKA SETIA.
Abidin, Moch Zainal. 2014. “Pidana Bersyarat dalam Kajian Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam” (SKRIPSI). Surabaya : UIN Sunan
Ampel.
Aziz, Abdul. 2013. “Penjatuhan Hukuman Pidana Pasca Perdamaian dalam
Prespektif Hukum Pidana Islam” (SKRIPSI). Semarang : IAIN
Walisongo.
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika.

15

Anda mungkin juga menyukai