Anda di halaman 1dari 6

RINGKASAN MATERI

KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULURAL

Oleh

NAMA : NIM :
TIRTA SAPUTRA MPA18 102 006
MELKY SETIAWAN MPA18 102 007

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA HINDU
INSTITUT AGAMA HINDU NEGERI
TAMPUNG PENYANG (IAHN-TP)
PALANGKA RAYA
2018
1. TANGGAPAN TERHADAP PROTES UMAT BERAGAMA
Perbincangan toleransi beragama tetap penting. Terlebih dalam konteks

bangsa Indonesia yang majemuk. Kemajemukan dalam agama, bahasa, etnis,

suku, dan adat istiadat memerlukan sebuah sofistifikasi manajemen konflik,

sehingga menimbulkan seuah protes dari sebagian umat beragama sehingga

menimbulkan sebuah konflik. Elemen-elemen kemajemukan tersebut, baik

sendirian maupun bersama-sama, dapat mengancam integrasi bangsa. Perlu diakui

bahwa elemen agama berkontribusi amat besar bagi munculnya disintegrasi sosial

dibanding elemen lain. Sejarah konflik dan ketegangan di masyarakat Indonesia

terlalu sering dipicu oleh masalah-masalah yang terkait atau dikait-kaitkan dengan

agama1 (seperti kerusuhan di Poso, Palu, Ambon untuk menyebut beberapa

diantaranya). Atau, agama sering “megilhami” tindak-tindak kekerasan. Apalagi

pada momen-momen hari besar keagamaan seperti lebaran dan hari natal (seperti

peledakan bom ke tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat umum). Terlepas dari

kompleksitas lain yang menyumbang pada aksi-aksi kerusuhan sosial dan tindak

kekerasan, faktor agama dianggap paling krusial untuk diperhatikan. Mengapa?

Karena, agama memang selalu mengandung imajinasi yang mebuat pelbagai nilai

jadi mutlak; agama dengan itu juga memproyeksikan, apa yang oleh Karren

Amstrong disebut ‘perang kosmis. Dalam masyarakat multikultural, pengikut atau

pemeluk agama memainkan peranan dominan bagi ajaran agama yang dipeluknya

atau bahkan di antara mereka ada sekelompok orang yang acuh terhadap agama

yang mereka peluk. Kenyaataan seperti ini akan meng-ganggu dan juga sekaligus

membantu mema-hami keberadaan suatu agama dengan umatnya.

Ada dua kelompok masyarakat beragama dalam masyarakat

multikultural, yaitu masyarakat beragama educated people dan masyarakat


beragama ordiniary people. Kedua masyarakat beragama ini berbeda dalam

memperlakukan agama yang mereka peluk. Bagi masyarakat beragama educated

people, memahami ajaran agama harus mengikut-sertakan analisis rasional dan

mengesam-pingkan pemahaman intuitif dan simbolik. Mereka mudah diajak

bertoleransi terhadap agama dan pemeluk agama lain. Sebaliknya, masyarakat

beragama ordiniary people memahami ajaran agama penuh dengan simbol-simbol

dan tidak mempergunakan analisis rasional. Mereka mudah tersulut emosi dan

sangat susah bertoleransi dengan agama dan pemeluk agama lain. Kelompok ini

mudah digerakkan oleh sekelompok orang atau komunitas baik yang beraliansi

pada politik maupun pada sosial budaya.

2. LOGIKA WACANA POLITIK DALAM MASYARAKAT


MULTIKULTUR
Politik multikulturalisme ialah suatu sistim pemerintahan di mana semua

identitas khusus yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat

ruang. Semua kelompok dari berbagai kalangan budaya, etnik, agama,

kepercayaan, dan bahasa mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya serta

ikut berpartisipasi dalam pemerintahan dan pembangunan bangsa dan negara.

Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Hak untuk berperan serta

dalam bidang politik dan pemerintahan terbuka lebar bagi semua kelompok etnis.

Liliweri (2005) menegaskan bahwa politik multikulturalisme berkaitan erat

dengan kebijakan pemerintah pusat yang dirancang, agar seluruh masyarakat

dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok yang

tumbuh disebuah negara. Politik multikulturalisme ialah kebijakan politik suatu

negara yang berkeadilan tidak merugikan dan menguntungkan salah satu

kelompak. Tujuan dan sasaran dari politik multikulturalisme ialah pengakuan


akan kesederajatan bagi semua komunitas dan budaya, toleransi, dan solidaritas

guna menciptakan ruang publik agar berbagai ragam komunitas dapat berinteraksi

untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi partisipasi dalam gerak

pembangunan bangsa.

3. FITNAH KOMUNAL ATAU PENGHINAAN KELOMPOK


Penghinaan terhadap suatu kelompok dapat menyebab suatu konflik yang

jerjadi. Seperti yang telah dikemukakan oleh Tumanggor, Aripin dan Soeyoeti

dalam penelitian mereka pada tahun 2011 pada lima wilayah konflik Indonesia

yakni Sambas (Kalimantan Barat), Sampit (Kalimantan Tengah), Poso (Sulawesi

Tengah). Ambon (Maluku Selatan) dan Ternate (Maluku Utara) menunjukkan

identitas etnis/agama sebagai penyebab konflik. Perbuatan atau sikap kelompok

identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan

kelompok etnis/agama (26,4%), penghinaan atas keyakinan/agama (19,4%) dan

suku tertentu (16,5%). Faktor penyebab lain yakni penguasaan lapangan kerja

(15,6%).

Dalam pendidikan multikultural inilah diharapakan memberi pemahaman

kepada masyarakat bahwa setiap individu atau kelompok memikiliki kekhasan

yang berbeda-beda sehingga dari hal itu menyadarkan kita bahwa penghinaan

suatu kelompok tertentu dapat menimbulkan dampak yang tidak baik bahkan

terjadi konflik antar kelompok.

4. KEBEBASAN BERBICARA DALAM MASYARAKAT


MULTIKULTUR
Inti multikulturalisme adalah kesediaan menerima pendapat dan gagasan

atau pandangan orang lain serta kelompok lain secara sama sebagai kesatuan,

tanpa memedulikan perbedaan budaya, etnis, gender, bahasa, ataupun agama.


Sedangkan fokus multikulturalisme terletak pada pemahaman akan hidup penuh

dengan perbedaan sosial budaya, baik secara individual maupun kelompok dan

masyarakat. Dalam hal ini individu dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial

dan budaya. Bagi Indonesia, multikultural merupakan suatu strategi dan integrasi

sosial di mana keanekaragaman budaya benar diakui dan dihormati, sehingga

dapat difungsikan secara efektif dalam mengatasi setiap isu-isu separatisme

(memisahkan diri) dan disintegrasi sosial. Multikulturalisme mengajarkan

semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial

akan melahirkan persatuan kuat, tetapi pengakuan adanya pluralitas (Bhinneka)

budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa.

5. AGAMA DAN KEHIDUPAN POLITIK DALAM KEHIDUPAN


MASYARAKAT PLURAL
Dalam perkembangan politik Indonesia, agama memegang peranan yang

tidak dapat dikesampingkan begitu saja, dimana symbol symbol keagamaan masih

memegang peranan dalam bidang politik. Agama berbondong-bondong meraih

peran dalam dunia perpolitikan dan dunia perpolitikan juga meraih dukungan dari

agama. Hanya saja dalam kondisi masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia

ini, peranan agama tidak selalu memberikan kontribusi positif dalam dunia

perpolitikan ini.

Peran agama dalam kehidupan manusia pasti mengandung nilai positif

dan juga memiliki kuasa untuk tindak tertentu yang mana agama memiliki

kecenderungan orang menjadi memilih. Politik yang memiliki kekuatan mengatur

negara juga memiliki kekuasaan yang bisa menyebabkan adanya tindakan

tertentu. Sebenarnya ke dua hal itu memiliki kekuatan yang bisa mengubah

manusia, tapi agama lebih memiliki power yang transenden ( tidak terbatas ),
untuk itu manusia wajib menggunakan rasionalitas dalam memahami agama.

Politikus perlu dibatasi demi politik yang sehat.

Sudah selayaknya negara dan agama dipisahkan secara tegas, jangan ada

campur tangan agama ke dalam politik. Tempatkan agama sebagaimana layaknya

sebagai inspirator bagi individual dalam mengembangkan kemanusiaan yang

bersifat horisontal. Semua agama memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat

horisontal dan juga kelahiran awalnya adalah adalah kritik sosial atas

ketimpangan sosial yang terjadi masa itu. Agama mengajarkan cinta kasih yang

mewajibkan kita menolong sesama. Sudah saatnya menepiskan kepentingan

golongan demi kemajemukan bangsa yang berasaskan Bhinneka Tunggal Ika.

Untuk tindak kekerasan yang berselubung SARA, sudah selayaknya

KUHP pasal 156 a maupun b diterapkan dengan tegas, tidak perlu berputar-putar.

Negara perlu tegas terhadap pelaku lapangan dan juga menangkap actor-aktor

dibaliknya. Hapuskan budaya “agama politik”, karena era dunia sudah berbeda,

bukan lagi saatnya melakukan homogenisasi di dunia yang heterogen seperti yang

dahulu dilakukan oleh agama-agama manapun yang ada di dunia ini, hidupkan

semangat “agama kemanusiaan”. Berbeda itu indah, melangkah itu tidak selalu

dengan mendongakkan kepala tapi melihat ke depan dan ke samping. Maksudnya

adalah hubungan vertical antara manusia dengan Tuhan adalah urusan pribadi,

jangan ditarik ke mana-mana, tapi hubungan horizontal manusia sebagai insan

Tuhan itu yang harus dilihat, karena semua sama di mataNya, yang berbeda hanya

caranya.

Anda mungkin juga menyukai