Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN ILMU BEDAH LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2019

UNIVERSITAS HALU OLEO

KARSINOMA REKTUM

Oleh :

Nur Rissa Maharany

K1A1 11 072

Pembimbing :

dr. La Ode Rabiul Awal, Sp.B-KBD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Umur : 58 tahun

Pekerjaan : IRT

Alamat : Tipulu

No. RM : 54 66 90

DPJP : dr. La Ode Rabiul Awal, Sp.B-KBD

Tanggal Masuk : 02 Maret 2019

B. Anamnesis

Keluhan Utama : Susah BAB

Anamnesis Terpimpin: Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan susah

BAB sejak 3 bulan SMRS, pasien selalu merasa

ingin BAB namun sudah berjam-jam di WC, BAB

tidak keluar, kadang hanya keluar sedikit bercampur

darah, lendir (+). Keluhan disertai nyeri pada seluruh

perut yang dialami sejak 3 bulan sebelum masuk

rumah sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul namun 1

bulan terakhir dirasakan terus menerus, tidak

dipengaruhi oleh aktivitas, dan terlolaklisir. Pasien

juga mengeluhkan nafsu makan berkurang (+),

2
lemas (+), mual (+), muntah (-), demam (-), batuk (-

), buang air kecil kesan normal.

Riwayat pengobatan sebelumnya (+) pasien berobat

di Dokter Penyakit Dalam sejak 2 bulan yang lalu

dan diberikan antihemoroid namun tidak ada

perubahan setelah 1 bulan berobat, kemudian

dilakukan endoskopi dan ditemukan tumor di usus

sehingga dirujuk ke Poli Digestif.

Riwayat penyakit terdahulu disangkal

Riwayat operasi sebelumnya disangkal

Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

disangkal

Riwayat penyakit keganasan dalam keluarga tidak

ada

Riwayat penyakit yang diderita: DM (-), HT (-),

Hepatitis (-)

Riwayat konsumsi alkohol (-)

Riwayat konsumsi obat (+) antihemorroid

Riwayat transfusi darah (-)

Riwayat trauma (-)

C. Pemeriksaan Fisik

1. Tanda vital

Tekanan Darah : 100/60 mmHg

3
Nadi : 78x/menit

Pernapasan : 20x/menit

Suhu : 36.6°C

2. Status Generalisata

Keadaan umum: Tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, gizi

kurang

Kepala : Bentuk normocephal

Wajah : ikterus (-) udem (-)

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil

isokor (2,5mm / 2,5mm), refleks cahaya langsung (+/+),

refleks cahaya tidak langsung (+/+)

Telinga : Perdarahan (-), sekret (-)

Hidung : Perdarahan (-), sekret (-)

Mulut : Bibir kering (-)

Leher : Pembesaran KGB

Thorax : Inspeksi : Pergerakan dinding dada spontan, reguler,

tipe torakoabdominal, simetris kiri sama dengan kanan

Palpasi: Vokal fremitus dalam batas normal, nyeri tekan

(-), krepitasi (-), massa tumor (-)

Perkusi: Kedua lapangan paru sonor (+), batas paru

hepar ICS VI anterior dextra, batas paru organ berongga

ICS VI anterior sinistra. Jantung pekak (+), batas

jantung atas ICS 2 parasternalis dextra dan ICS 2

4
parasternalis sinistra, batas jantung bawah ICS 5

midaxillaris dextra dan ICS 4 parasternalis sinistra

Auskultasi: Kedua lapangan paru vesikuler (+),

wheezing (-), rhonki (-), Bunyi jantung I-II reguler,

murmur (-)

Abdomen : Status Lokalis

Ekstremitas Superior: Udem (-/-), ikterus (-/-), ekskoriasi (-/-)

Ekstermitas Inferior: Udem (-/-), ikterus (-/-), ekskoriasi (-/-)

3. Status Lokalis

Abdomen

Inspeksi: Cembung, ikut gerak napas. distensi (-), darm steifung (-), darm

contour (-), ikterus (-)

Auskultasi: Peristaltik kesan meningkat

Palpasi: Adanya nyeri tekan pada seluruh regio perut, tidak teraba

benjolan, defans muskular (-)

Perkusi: kesan tympani

Rectal Toucher

Sfingter ani: mencekik

Mukosa recti: licin

Ampula recti: kosong

Teraba massa full circle, konsistensi kenyal, tidak nyeri

Sarung tangan: Feses (-), lendir (+), darah (+)

D. Pemeriksaan Penunjang

5
Darah Rutin (04/03/2019)

Parameter Hasil Normal

WBC 4.83 4 – 10 [103/µl]

HGB 11.1 12 – 16 g/dL

RBC 3.96 4 – 10 [106/µl]

HCT 34.1 37 – 48 [%]

MCV 86.1 80 – 97 [fL]

MCH 28 26.5 – 33 [pg]

MCHC 32.6 31.5 – 35 [g/dL]

PLT 164 150 – 400 [103/µl]

Kimia Darah (08/02/2019)

Parameter Hasil Normal

GDS 86 70 – 180

Ureum 20 P= 15 – 40

Creatinin 0.2 P= 0.5 – 10

SGOT 15 P= <31

SGPT 10 P= 31

6
USG Abdomen (18 Januari 2019)

Kesan:

- Curiga massa intraluminal rectosigmoid DD/ Colitis

- Saat ini hepar, Gall Bladder, Pankreas, Lien, Ginjal kanan kiri, Buli,

Uterus, Adnexa Kanan Kiri tidak tampak kelainan

Endoskospi (14 Februari 2019)

Hasil:

Skor BPPS 3-0-0 = 3

Skope masuk sampai rektum, 5-8cm dari ujung AV

7
Anus: Tampak dilatasi vena hemoroid < 5cm

Rektum: Tampak massa tumor stenotik, permukaan berbenjol-benjol, tertutupi

eksudat, rapuh, mudah berdarah

Kesimpulan:

Tumor Rektum type Stenotik

Hemorroid Interna

E. Resume

Perempuan, 58 tahun, IRT, konstipasi sejak 3 bulan SMRS, kadang

disertai hematokezia, lendir (+). Abdominal pain pada seluruh regio abdomen

sejak 3 bulan lalu dirasakan hilang timbul namun 1 bulan terakhir dirasakan

terus menerus, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, dan terlolaklisir. Anoreksia

(+), malaise (+), nausea (+). Riwayat pengobatan sebelumnya (+) di Dokter

Penyakit Dalam sejak 2 bulan yang lalu dan diberikan antihemoroid,

endoskopi ditemukan tumor di usus sehingga dirujuk ke Poli Digestif.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Pada status lokalisata abdomen, inspeksi: Cembung, ikut gerak napas,

auskultasi: peristaltik kesan meningkat, palpasi: adanya nyeri tekan pada

seluruh regio perut, tidak teraba benjolan. Pemeriksaan Rectal Toucher

didapatkan sfingter ani: mencekik, teraba massa full circle, konsistensi kenyal,

tidak nyeri, sarung tangan: lendir (+), darah (+). Dari pemeriksaan penunjang

laboratorium didapatkan anemia ringan, sedikit penurunan hematokrit. USG

Abdomen didapatkan curiga massa intraluminal rectosigmoid DD/ Colitis,

8
serta endoskopi didapatkan kesan tumor rektum type stenotik dan hemorroid

interna.

F. Diagnosis Kerja

Tumor Recto-Sigmoid Suspek Malignansi

G. Differensial Diagnosis

1. Diverticulitis

2. Colitis ulcerativa

H. Terapi

Non-Farmakologi Farmakologi

Istirahat IVFD RL: D5: Aminofluid = 1 : 1 : 1 24 tpm

Diet Lunak Inj. Antrain 500mg / 8jam/ IV

Inj. Ranitidin 50mg / 8 jam/IV

Drips Neurosanbe / 24 jam

I. Operasi

Tanggal : 05 Maret 2019

Diagnosis Pre-Operasi : Tumor Recto – Sigmoid Suspek Malignansi

Diagnosis Post-Operasi : Tumor Rectum Tengah Suspek Malignansi

Nama/Jenis Operasi : Low Anterior Resection

Anastomosis End to End

Jam Operasi :11.15 – 14.20 WITA

9
J. Follow up

Tanggal Keadaaan Klinis Penatalaksanaan

Sabtu, 2 Keluhan: Nyeri perut, R/

Maret 2019 konstipasi, hematokezia, IVFD RL : D5 : Aminofluid =

lemas (+), mual (-), muntah 1:1:1 24tpm

(-) Inj. Antrain 500mg/8j/IV

TTV: Inj. Ranitidin 50mg/8j/IV

TD: 100/60 P: 18x/mnt Drips Neurosanbe 1A/24j

N: 72x/mnt S: 36,8°C Tidak boleh makanan padat (Diet

Lunak)

A: PH1 Tumor Recto-

Sigmoid Suspek Malignansi

Ahad, 3 Keluhan: Nyeri perut, R/

Maret 2019 konstipasi, hematokezia, IVFD RL : D5 : Aminofluid =

mual (-), muntah (-) 1:1:1 24tpm

TTV: Inj. Antrain 500mg/8j/IV

TD: 110/70 P: 20x/mnt Inj. Ranitidin 50mg/8j/IV

N: 80x/mnt S: 36,9°C Drips Neurosanbe 1A/24j

A: PH2 Tumor Recto- Tidak boleh makanan padat (Diet

Sigmoid Suspek Malignansi Lunak)

Senin, 4 Keluhan: Nyeri perut, IVFD RL 24tpm

Maret 2019 konstipasi, hematokezia, Inj. Antrain 500mg/8j/IV

mual (-), muntah (-) Inj. Ranitidin 50mg/8j/IV

10
TTV: Drips Neurosanbe 1A/24j

TD: 90/60 P: 20x/mnt Puasa pukul 03.00 WITA

N: 78x/mnt S: 36,6°C Rencana operasi 05/03/19

Lab (04/03/2019) Siapkan PRC 2 Bag

WBC : 4.830 HB: 11,3 PLT:

164

A: PH3 Tumor Recto-

Sigmoid Suspek Malignansi

Selasa, 5 Keluhan: Nyeri perut, BAB Instruksi Post-Op:

Maret 2019 (-), mual (-), muntah (-) IVFD RL:D5 = 1:1 28 tpm

TTV: Inj. Ceftriaxon 1gr/12j/IV

TD: 100/60 P: 20x/mnt Inj. Ketorolac 30mg/8j/IV

N: 80x/mnt S: 36,9°C Inj. Ranitidin 50mg/8j/IV

Urin: 600cc Inj. Asam Tranexamat/8j/IV

Drain: 20cc warna merah Drips Metronidazol 500mg/8j/IV

A: PH4 Tumor Rectum Sadar penuh boleh minum

Tengah Suspek Malignansi sedikit-sedikit

+ POH1 Post Laparotomi RT setiap hari

Rabu, 6 Keluhan: Nyeri bekas luka IVFD RL:D5 = 1:1 28 tpm

Maret 2019 op, BAB (+) semi padat Inj. Ceftriaxon 1gr/12j/IV

warna hitam, mual (-), Inj. Ketorolac 30mg/8j/IV

muntah (-) Inj. Ranitidin 50mg/8j/IV

TTV: Inj. Asam Tranexamat/8j/IV

11
TD: 110/80 P: 22x/mnt Drips Metronidazol 500mg/8j/IV

N: 76x/mnt S: 36,5°C Minum 3-5 sdm / jam

Urin: 700cc Drips Tramadol bila perlu

Drain: 10cc warna merah

A: PH5 Tumor Rectum

Tengah Suspek Malignansi

+ POH2 Post Laparotomi

Kamis, 7 Keluhan: Nyeri bekas luka IVFD RL:D5 = 1:1 28 tpm

Maret 2019 op, BAB (+) semi padat Inj. Ceftriaxon 1gr/12j/IV

warna kunng kehijauan, Inj. Ketorolac 30mg/8j/IV

mual (-), muntah (-) Inj. Ranitidin 50mg/8j/IV

TTV: Inj. Asam Tranexamat/8j/IV

TD: 110/80 P: 22x/mnt Drips Metronidazol 500mg/8j/IV

N: 76x/mnt S: 36,5°C Mobilisasi

Urin: 700cc Minum biasa, puasa makan

Drain: 10cc warna merah GV

A: PH5 Tumor Rectum

Tengah Suspek Malignansi

+ POH3 Post Laparotomi

Jumat, 8 Keluhan: Nyeri bekas luka Aff infus

Maret 2019 op, BAB (-), mual (-), Aff kateter

muntah (-) Meloxicam 3x1

TTV: Omeprazole tab 2 x 1

12
TD: 110/80 P: 22x/mnt Ciprofloxacin tab 2 x 1

N: 76x/mnt S: 36,5°C Mobilisasi

Drain: 5cc warna merah Minum biasa, makan bubur

A: PH6 Tumor Rectum

Tengah Suspek Malignansi

+ POH4 Post Laparotomi

Sabtu, 9 Keluhan: Nyeri bekas luka Aff Drain

Maret 2019 op, BAB (+) warna kuning Meloxicam 3x1

kehijauan, mual (-), muntah Omeprazole tab 2 x 1

(-) Ciprofloxacin tab 2 x 1

TTV: Mobilisasi

TD: 120/80 P: 20x/mnt Minum biasa, makan bubur

N: 82x/mnt S: 36,6°C

A: PH7 Tumor Rectum

Tengah Suspek Malignansi

+ POH5 Post Laparotomi

Minggu, 10 Keluhan: Nyeri bekas luka Meloxicam 3x1

April 2019 op, BAB (+) warna kuning Omeprazole tab 2 x 1

kehijauan, mual (-), muntah Ciprofloxacin tab 2 x 1

(-) Mobilisasi

TTV: Minum biasa, makan bubur

TD: 100/70 P: 22x/mnt BPL

N: 72x/mnt S: 36,8°C

13
A: PH8 Tumor Rectum

Tengah Suspek Malignansi

+ POH6 Post Laparotomi

K. Patologi Anatomi

Mikroskopik: 6 keping jaringan menunjukkan sarang-sarang proliferasi sel-sel

maligna asal epitel kelenjar yang tersusun bentuk glandular dengan inti atipik

pleomorfik, kromatin kasar, nukleoli prominent. Sel-sel tumor tumbuh

infiltrating di antara stroma jaringan ikat. Lymphovascular Space Invasion

(LVSI) negatif pada sediaan ini. 1 keping jaringan menunjukkan struktur

mukosa kolon normal di antaranya tampak infiltrat sel radang limfosit.

Kesimpulan: Adenocarcinoma Colon Well Differentiated

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Carsinoma Rekti adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak

di anterior sakrum dan coccygeus panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid

junction terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga

atasnya hampir seluruhnya dibungkus oleh peritoneum. Di setengah bagian

bawah rektum keseluruhannya adalah ektraperitoneal.1,2

Karsinoma merupakan suatu proses pembelahan sel-sel (proliferasi) yang

tidak mengikuti aturan baku proliferasi yang terdapat dalam tubuh (proliferasi

abnormal). Proliferasi ini di bagi atas non-neoplastik dan neoplastik, non-

neoplastik dibagi atas :

a. Hiperplasia adalah proliferasi sel yang berlebihan. Hal ini dapat normal

karena bertujuan untuk perbaikan dalam kondisi fisiologis tertentu

misalnya kehamilan.

b. Hipertrofi adalah peningkatan ukuran sel yang menghasilkan pembesaran

organ tanpa ada pertambahan jumlah sel.

c. Metaplasia adalah perubahan dari satu jenis tipe sel yang membelah

menjadi tipe yang lain, biasanya dalam kelas yang sama tapi kurang

terspesialisasi.

d. Displasia adalah kelainan perkembangan selular, produksi dari sel

abnormal yang mengiringi hiperplasia dan metaplasia.Perubahan yang

15
termasuk dalam hal ini terdiri dari bertambahnya mitosis, produksi dari sel

abnormal pada jumlah besar dan tendensi untuk tidak teratur.

B. Anatomi

Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis

anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian

ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis,

dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian

ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus

levator ani. Panjang rektum berkisar 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada

rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang

dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa,

muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.5,11

Gambar 1 : Anatomi Rektum

16
Gambar 2: Lapisan dinding rektum

Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis

superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan

kelanjutan dari a. mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan.

Arteri hemoroidalis merupakan cabang a. iliaka interna, arteri hemoroidalis

inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena hemoroidalis superior berasal

dari 2 plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v.

Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta. Vena

ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di

dalamnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam

hati. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke v. pudenda interna, v.

iliaka interna dan sistem vena kava.

17
Gambar 3 : Pembuluh darah Arteri dan Vena pada rektum

Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang

mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir

ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat

mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis

anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke

kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta.

Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut

simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2,

3, dan 4, serabut ini mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut

18
parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4, serabut ini mengatur fungsi ereksi

penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan.

C. ANGKA KEJADIAN

Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling

sering terjadi dan nomor dua sebagai penyebab kematian di negara

berkembang. Tahun 2005, diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker

kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus di rektal.

Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus Ca

kolon dan 8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal merupakan 11 % dari kejadian

kematian dari semua jenis kanker. 1,4

Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi

kematian pada hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health

19
Organization, 2003). Menurut data di RS Kanker Dharmais pada tahun 1995-

2002, kanker rektal menempati urutan keenam dari 10 jenis kanker dari pasien

yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat sebagai penyakit yang paling

mematikan di dunia selain jenis kanker lainnya. Namun, perkembangan

teknologi dan juga adanya pendeteksian dini memungkinkan untuk

disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa dicegah.1,3,4

Dari selutruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun.

Hanya 5% pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki – laki

memiliki insidensi terbanyak mengidap kanker rektal dibanding wanita

dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5. 1,2

Gambar 4. Gambaran Klinis Ca rekti

D. ETIOLOGI

Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma rektum

sama seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya. Faktor

predisposisi munculnya karsinoma rektum adalah polyposis familial,

20
defisiensi Imunologi, Kolitis Ulseratifa, dan Granulomatosis. Faktor

predisposisi penting lainnya yang mungkin berkaitan adalah kebiasaan makan.

Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi protein hewani dan

lemak, memiliki insiden yang cukup tinggi.

Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa

diet rendah serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada

flora feces dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil

pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat

karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang

berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu,

masa transisi feses meningkat. Akibatnya kontak zat yang berpotensi

karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.

E. PATOFISIOLOGI KARSINOMA REKTUM

Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami

regenerasi setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma terjadi

perubahan genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi dari sel-

sel tersebut yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli

(APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan

jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan

terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K-ras onkogen dan mutasi gen p53,

hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel.

21
Gambar 5. Patofisiologi Karsinoma Rektum

F. FAKTOR RESIKO

1. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

a. Ulseratif Kolitis

Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker

kolon sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif

kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding

terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan

keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah

2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun.

Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko

tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan

kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi

pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi

yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi

sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif

22
menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat

esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang

berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa

mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan

adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah

tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan

pendapat antara para ahli patologi anatomi.13

b. Penyakit Crohn’s

Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi

untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika

dibandingkan dengan ulseratif kolitis. Keseluruhan insiden dari kanker

yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan striktur

kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat

yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat

strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding intestinal harus

dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga

bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada

fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.14

23
Gambar 6. Crohn’s Disease

2. Faktor Genetik

a. Riwayat Keluarga

Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan

riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan

keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai

kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila

dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker

kolorektal pada keluarganya.13

b. Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari

normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh

karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi.

Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom

kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang

24
terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p

ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q

ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar.2

Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini

menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom

ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki

mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP)

dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).13

c. FAP (Familial Adenomatous Polyposis)

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang

berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor

gen dapat menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker

kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah

berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat

dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal

ini terjadi, direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal

colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya

prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip

yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus

sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip

harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400

mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata

jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada

25
sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma,

hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak.

Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.13,15

Gambar 6. Familial Adenomatous Polyposis & Kolitis Ulseratifa

d. HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I

dan II.2 Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal

26
muncul pada umur yang muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi

kanker pada kolon kanan. Abnormalitas genetik ini terdapat pada

mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi

dari abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai

mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari squences ini

mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan

oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana

predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari

malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki

adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma,

Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter,

lambung dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker

kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan

gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip crohn’s (nodul

lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker

kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.

Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini

adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3

tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal

yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk

menderita kanker kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening

harus dimulai pada umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur

27
anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang

berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang

didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan

dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68

tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien

dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien

dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi

berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini. 13,15

e. Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet

rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal

pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak

menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada

dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan

resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti

epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan

kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang

berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti

dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh

pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk

menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.

Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan

kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari

28
agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara

experimental. Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan

mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan

kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang

tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini

didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan

lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan

mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant

crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat

memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c)

anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang

berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang

berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko

kanker kolorektal.13,16

f. Gaya Hidup

Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai

risiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak

untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan

dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran

besar.

Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di

Amerika dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga

menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.

29
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara

aktifitas, obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada

percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan

perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik

menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang

berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study

telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik

dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan

aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.

g. Usia

Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria

dan wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia

lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita

berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila

dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar

setengah dari kanker yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah

kanker prostat (451 per 100.000), kanker paru-paru (118 per 100.000) dan

kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang terdiagnosa

pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker payudara (248 per

100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118 per

100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000).

Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko

kanker kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker

30
kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan

wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal

muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen

kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000

populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada

orang yang berusia lebih dari 65 tahun.13

Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker

kolorektal sebesar 5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan

risiko kanker kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun. Seseorang

dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki kemungkinan

menderita kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari tahun 2000-2003, rata-

rata usia saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun.

Insidensi berdasarkan usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun

sebesar 0,9%, 35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-

64 tahun sebesar 17,6%, 65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar

28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.17

G. MANIFESTASI KLINIK

1. Histologi

Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi,

penanganan dan prognosis dari kanker. Secara mikroskopis kanker

kolorektal mempunyai derajat differensiasi yang berbeda-beda, tidak

hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari area ke

area pada tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai morfologi

31
yang heterogen. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai

adalah tipe adenocarcinoma (90-95%), adenocarcinoma mucinous (17%),

signet ring cell carcinoma (2-4%), dan sarcoma (0,1-3%).

Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal

dari tahun 1998-2001 di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus

kanker kolorektal. Didapatkan gambaran histopatologis dari kanker

kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya

(termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08%

berupa sarcoma. Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma

dan carcinoid tumor banyak diketemukan pada wanita. Secara

keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe histopatologis,

derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma

sering ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum

bermetastase pada saat terdiagnosa, signet ring cell carcinoma banyak

ditemukan dengan derajat differensiasi buruk dan telah bermetastase jauh

pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang

sering dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada

saat terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat

differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.

Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker

Dharmais (RSKD) didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling

sering dijumpai adalah adenocarcinoma [diferensiasi baik 48 (23,88%),

sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah

32
musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika

dari hasil penelitian di RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak

adalah adenocarcinoma dengan derajat differensiasi sedang (38,80%),

maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Soeripto et al di

Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat differensiasi

kanker kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik.

Perbedaan pola demografik dan klinis yang berhubungan dengan tipe

histopatologis akan sangat membantu untuk studi epidemiologi,

laboratorium dan klinis di masa yang akan datang. 13,16

2. Gejala Klinis

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara

lain ialah : 1,2,5,7,8,12

a. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu

darah segar maupun yang berwarna hitam.

b. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong

saat BAB

c. Feses yang lebih kecil dari biasanya

d. Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa

penuh pada perut atau nyeri

e. Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya

f. Mual dan muntah,

g. Rasa letih dan lesu

33
h. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri

pada daerah gluteus.

3. Metastase

Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus

pada saat direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih

60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru,

diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat

jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava

inferior, maka metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali

di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena

menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali paling

sering di hepar.11

H. DIAGNOSIS DAN STAGING

1. Diagnosis

Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi

kanker rektal, diantaranya ialah : 1,2,5,7,8,9,12

1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik

Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat

perdarahan di jaringan

2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan

skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi

pada pemeriksaan rektal, pemeriksaan digital akan mengenali tumor

34
yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan

menggaung.

Gambar 7. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti

Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi

dan adanya suatu penonjolan tepi, dapat berupa :

a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram

yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas

tegas.

b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi

umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi

c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang

menonjol dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)

d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan

bentuk cincin

35
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:

a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian

terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar

prostat atau ujung os coccygis. Pada penderita perempuan sebaiknya

juga dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah

mukosa vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat digerakkan atau

apakah ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari

lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan

pemeriksaan colok dubur.

b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek

terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat

digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah

mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan

fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti

kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding

anterior uterus.

c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan

karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau

fiksasi lesi.

3) Dapat pula dengan Barium Enema,. yaitu Cairan yang mengandung

barium dimasukkan melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays

pada traktus gastrointestinal bawah.

36
\

Gambar 8. Foto Rontgen dengan Barium Enema

4) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum

dan sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat

sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip

atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.

Gambar 9. Sigmoidoskopi

37
5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum

dan sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat

colonoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau

sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.

6) Biopsi. Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi

harus dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan

jenis yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus

besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors,

adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors.1,2

2. Staging

The American Joint Committee on Cancer (AJCC)

memperkenalkan TNM staging system, yang menempatkan kanker menjadi

satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV). 1,2,5

1. Stadium 0

Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam

rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.

2. Stadium I

Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai

lapisan muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi

tidak menyebar kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari

rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.

38
3. Stadium II

Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan

terdekat namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B

rectal cancer.

4. Stadium III

Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi

tidak menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal

cancer.

5. Stadium IV

Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti

hati, paru, atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer

Gambar 7. Stadium Ca Recti I-IV

39
Stadium Deskripsi

Massa polypoid Intraluminal; tidak ada penebalan pada


T1
dinding rectum

Penebalan dinding rectum >6 mm; tidak ada perluasan ke


T2
perirectal

Penebalan dinding rectum dan invasi ke otot dan organ yang


T3a
berdekatan.

Penebalan dinding rectum dan invasi ke pelvic atau dinding


T3b
abdominal

T4 Metastasis jauh, biasanya ke liver atau adrenal


Tabel 1. CT Staging System for Rectal Cancer ( Modified from Thoeni
(Radiology, 1981)

TNM Modified
Deskripsi
Stadium Dukes Stadium

T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada submucosa

T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propria

T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural

T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric

T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar mesenteric

T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan

Any T, M1 D Metastasis jauh


Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System (Modified from the
American Joint Committee on Cancer (1997) )

40
I. PENATALAKSANAAN

Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah

terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga

terapi standar untuk kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :

1. Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan

terutama untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek

dalam stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena

kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien

kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan

kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai

neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant

chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien

lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar

jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih

membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk

membunuh sel kanker yang tertinggal. 2,7

Tipe pembedahan yang dipakai antara lain : 1,2,9

 Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor

dapat dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen.

Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan

polypectomy.

41
 Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu

dilakukan anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi disekitan

rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga mengandung

sel kanker.

Gambar 8. Reseksi dan Anastomosis

Gambar 9. Reseksi dan Kolostomi

Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi

abdominoperianal, termasuk pengangkatan seluruh rectum, mesorektum

dan bagian dari otot levator ani dan dubur. Prosedur ini merupakan

42
pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi

permanen.

Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah.

Kanker yang berada di lokasi 1/3 atas dan tengah ( 5 s/d 15 cm dari garis

dentate ) dapat dilakukan ” restorative anterior resection” kanker 1/3 distal

rectum merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor dan

garis dentate merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan

jenis operasi.

Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa

kegagalan operasi ”Low anterior resection ” akan terjadi pada kanker

rectum dengan jarak bawah rectum normal 2 cm. Angka 5 cm telah

diterima sebagai jarak keberhasilan terapi. Hasil penelitian yang dilakukan

oleh venara dkk pada 243 kasus menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3

cm dari garis dentate aman untuk dilakukan operasi ” Restorative

resection”. ”Colonal anastomosis” diilhami oleh hasil operasi Ravitch dan

Sabiston yang dilakukan pada kasus kolitis ulseratif. Operasi ini dapat

diterapkan pada kanker rectum letak bawah, dimana teknik stapler tidak

dapat dipergunakan. Local excision dapat diterapkan untuk mengobati

kanker rectum dini yang terbukti belum memperlihatkan tanda-tanda

metastasis ke kelenjar getah bening. Operasi ini dapat dilakukan melalui

beberapa pendekatan yaitu transanal, transpinchteric atau transsacral.

Pendekatan transpinshter dan transacral memungkinkan untuk dapat

mengamati kelenjar mesorectal untuk mendeteksi kemungkinan telah

43
terjadi metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki kekurangan

untuk mengamati keterlibatan kelenjar pararektal.

Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan

mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal

dilakukan amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-

Miles. Pada operasi ini anus turut dikeluarkan.

Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles,

rektum dan sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar

limf pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar limf retroperitoneal.

Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya

dengan rektum melalui abdomen.

Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi

dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal

atau koloanal rendah.

Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma

terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain

dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan

tingkat penyebaran di dalam dinding rektum clan adanya kelenjar ganas

pararektal.

Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum

Indikasi

 Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate

 T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound

44
 Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara

histologi

 Ukuran kurang dari 3-4 cm

Kontraindikasi

 Tumor tidak jelas

 Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound

 Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi

2. Radiasi

Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan

III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan

pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi

tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat

melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu.

Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi

yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan

resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian

sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiesi telah berguna

mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak.

Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang

memiliki tumor lokal yang unresectable. 1,2,9

3. Kemoterapi

Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti

memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),

45
dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam

atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III).

Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan

dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-

FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen

lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi

bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira – kira

15% dan menurunkan angka kematian kira – kira sebesar 10%. 1,2,9

J. PROGNOSIS

Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah

sebagai berikut :

a. Stadium I - 72%

b. Stadium II - 54%

c. Stadium III - 39%

d. Stadium IV - 7%

Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat

berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih

sering terjadi pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahu

pertama setelah operasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya

rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan

kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif tumor. 2

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Hassan, Isaac., 2006. Rectal carcinoma. Available from www.emedicine.com.


(Download : 18 Juni 2009)
2. Cirincione, Elizabeth., 2005. Rectal Cancer. Available from
www.emedicine.com. (Download : 18 Juni 2009).
3. Anonim, 2006. Mengatasi Kanker Rektal. Republika online. Available from
www.republika.co.id. (Download : 18 Juni 2009)
4. American Cancer Society, 2006. Cancer Facts and Figures 2006. American
Cancer Society Inc. Atlanta
5. Anonim, 2006. A Patient’s Guide to Rectal Cancer. MD Anderson Cancer
Center, University of Texas.
6. Azamris, Nawawir Bustani, Misbach Jalins., 1997. Karsinoma Rekti di RSUP
Dr. Jamil Padang, Cermin dunia Kedokteran No.120. Available from
http://www.kalbe.co.id (Download : 18 Juni 2009)
7. Anonim, 2006. Rectal Cancer Facts : What’s You Need To Know. Available
from Available from www.healthABC.info. (Download : 18 Juni 2009)
8. Anonim, 2006. Rectal Cancer - Overview, Screening, Diagnosis & Staging.
Available from www.OncologyChannel.com. (Download : 18 Juni 2009)
9. Anonim, 2005. Rectal Cancer Treatment. Available from
www.nationalcancerinstitute.htm. (Download : 18 Juni 2009)
10. Marijata, 2006. Pengantar Dasar Bedah klinis. Unit Pelayanan Kampus, FK
UGM.
11. De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
12. Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku
Media Aesculapius. Jakarta.
13. Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott
Willi ams & Wilkins: USA.p 201
14. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies.

47
15. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England
Journal of Medicine. Available from www.pubmed.com. p.348:919-932,
(Download : 24 Juni 2009)
16. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of
Cancer Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4, Available from
http://www.apocp.org/ cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf,. (Download
: 24 Juni 2009)
17. National Cancer Institute. 2006. SEER Cancer Statistics Review 1975-2003,
Available from http://seer.cancer.gov/statfacts/html/colorect.html.
(Download : 24 Juni 2009)

48

Anda mungkin juga menyukai