Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan


adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil
tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan merupakan respons terhadap
suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau
konfliktual. Pada tahun 1926, Freud menciptakan suatu teori baru tentang
kecemasan yang menyatakan baik kecemasan eksternal yang nyata dan kecemasan
internal yang neurotik sebagai respons terhadap suatu situasi yang berbahaya.1
Suatu gambaran yang lazim pada semua gangguan ansietas adalah kualitas
gejala yang tidak menyenangkan dan tidak alami (ansietas, fobia, obsesi), yaitu
ego alien dan ego distonik, yang cenderung menjadi relaps kronik. Pada keadaan
ini perlu diwaspadai kemungkinan bunuh diri. Terjadinya ansietas ini diperantarai
oleh suatu sistem kompleks yang melibatkan sistem limbik (amigdala,
hipokampus), thalamus, korteks frontal secara anatomis, dan norepinefrin (lokus
seruleus), serotonin (nucleus rafe dorsal) dan GABA (reseptor GABAA
berpasangan dengan reseptor benzodiazepin) pada sistem neurokimia.2
Ada berbagai gangguan kecemasan menurut DSM IV, antara lain
gangguan panik dengan dan tanpa agorafobia, agorafobia tanpa riwayat gangguan
panik, fobia spesifik dan sosial, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres
pascatraumatik, gangguan stres akut, gangguan kecemasan umum, gangguan
kecemasan karena kondisi medis umum, gangguan kecemasan akibat zat, dan
gangguan kecemasan yang tidak ditentukan, termasuk gangguan kecemasan-
depresif campuran. Salah satu jenis gangguan kecemasan yang akan dibahas
berikut ini adalah gangguan kecemasan menyeluruh, yaitu suatu kekhawatiran
yang berlebihan dan dihayati disertai gejala somatik yang menyebabkan gangguan
bermakna dan fungsi sosial atau pekerjaan atau penderitaan yang jelas bagi
pasien.3,4
Gangguan ansietas atau cemas merupakan suatu keadaan patologik yang
ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf

1
autonom yang hiperaktif. Dibedakan dari rasa takut yang merupakan respon
terhadap suatu penyebab yang jelas. Kecemasan tidak terikat pada suatu benda
atau keadaan tetapi mengembang bebas. Bila kecemasan hebat sekali mungkin
terjadi panik. Orang itu menjadi berbahaya dengan sikap yang agresif dan
mengancam.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anxietas
a. Definisi
Menurut DSM-IV yang dimaksud gangguan cemas menyeluruh
adalah suatu keadaan ketakutan atau kecemasan yang berlebih-lebihan,
dan menetap sekurang kurangnya selama enam bulan mengenai sejumlah
kejadian atau aktivitas disertai oleh berbagai gejala somatik yang
menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial, pekerjaan, dan
fungsi - fungsi lainnya Sedangkan menurut ICD-10 gangguan ini
merupakan bentuk kecemasan yang sifatnya menyeluruh dan menatap
selama beberapa minggu atau bulan yang ditandai oleh adanya kecemasan
tentang masa depan, ketegangan motorik, dan aktivitas otonomik yang
berlebihan. 1
Kecemasan (ansietas) adalah perasaan takut yang tidak jelas dan
tidak didukung oleh situasi. Gangguan kecemasan (ansietas) adalah
sekolompok kondisi yang memberi gambaran kecemasaan berlebihan pada
alamperasaan, keadaan emosional saat menghadapi kenyataan atau
kejadian dalam hidupnya yang disertai respon perilaku, emosional dan
fisiologis individu yang mengalami gangguan ansietas.Kecemasan
berespons terhadap ancaman yang tidak jelas, nonspesifik. 2,4,5
Kecemasan adalah perasaan individu dan pengalaman subjektif
yang tidak diamati secara langsung dan perasaan tanpa objek yang spesifik
dipacu oleh ketidaktahuan dan didahului oleh pengalaman yang baru
Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan
adalah perasaan yang tidak menyenangkan, tidak enak, khawatir dan
gelisah. Keadaan emosi ini tanpa objek yang spesifik, dialami secara
subjektif dipacu oleh ketidaktahuan yang didahului oleh pengalaman baru,
dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.5,6
Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)
merupakan salah satu jenis gangguan kecemasan dengan karakteristik

3
kekhawatiran yang tidak dapat dikuasai dan menetap, biasanya terhadap
hal-hal yang sepele/tidak utama. Individu dengan gangguan cemas
menyeluruh akan terus menerus merasa khawatir tentang hal-ha yang
kecil/sepele. 4,6,7
Anxietas/kecemsan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau
keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan
segera terjadi.14
Durand & Barlow, mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan
suasana hati yang berorientasi pada massa yang akan datang, yang ditandai
oleh adanya kekhawatiran karena kita tidak dapat memprediksi atau
mengontrol kejadian yang akan datang.15

b. Epidemiologi
National Comorbidity Study melaporkan bahwa satu di antara
empat orang memenuhi kriteria untuk sedikit-sedikitnya satu gangguan
ansietas dan terdapat angka prevalensi 12 bulan sebesar 17,7%.
Perempuan (prevalensi seumur hidup 30,5%) lebih cenderung mengalami
gangguan ansietas daripada laki-laki (prevalensi seumur hidup 19,2%).
Prevalensi gangguan ansietas menurun dengan meningkatnya status
ekonomi.16

c. Etiologi
Etiologi dari gangguan ini belum diketahui secara pasti, namun
diduga dua faktor yang berperan terjadi di dalam gangguan ini yaitu, factor
biologic dan psikologik. Faktor biologik yang berperan pada gangguan ini
adalah ‘’neurotransmitter’’.Ada tiga neurotransmitter utama yang berperan
pada gangguan ini yaitu, norepinefrin ,serotonin, dan gamma amino butiric
acid atau GABA . Namun menurut Iskandar neurotransmitter yang
memegang peranan utama pada gangguan cemas menyeluruh adalah
serotonin, sedangkan norepinefrin terutama berperan pada gangguan
panik. 4

4
Dugaan akan peranan norepinefrin pada gangguan cemas
didasarkan percobaan pada hewan primata yang menunjukkan respon
kecemasan pada perangsangan locus sereleus yang ditunjukan pada
pemberian obat-obatan yang meningkatkan kadar norepinefrin dapat
menimbulkan tanda-tanda kecemasan, sedangkan obat-obatan menurunkan
kadar norepinefrin akan menyebabkan depresi. 4
Peranan Gamma Amino Butiric Acid pada gangguan ini berbeda
dengan norepinefrin. Norepinefrin bersifat merangsang timbulnya
anxietas, sedangkan Gamma Amino Butiric Acid atau GABA bersifat
menghambat terjadinya anxietas ini.Pengaruh dari neutronstransmitter ini
pada gangguan anxietas didapatkan dari peranan benzodiazepin pada
gangguan tersebut. Benzodiazepin dan GABA membentuk
“GABABenzodiazepin complex”yang akan menurunkan anxietas atau
kecemasan. Penelitian pada hewan primata yang diberikan suatu agonist
inverse benzodiazepine Beta- Carboline-Carboxylic-Acid (BCCA)
menunjukkan gejala-gejala otonomik gangguan anxietas.1,3
Mengenai peranan serotonin dalam gangguan anxietas ini didapatkan dari
hasil pengamatan efektivitas obat-obatan golongan serotonergik terhadap
anxietas seperti buspiron atau buspar yang merupakan agonist reseptor
serotorgenik tipe 1A (5-HT 1A).Diduga serotonin mempengaruhi reseptor
GABA-Benzodiazepin complex sehingga ia dapat berperan sebagai anti
cemas. Kemungkinan lain adalah interaksi antara serotonin dan
norepinefrin dalam mekanisme anxietas sebagai anti cemas.4
Sehubungan dengan faktor-faktor psikolgik yang berperan dalam
terjadinya anxietas ada tiga teori yang berhubungan dengan hal ini, yaitu
teori psikoanalitik, teori behavorial, dan teori eksistensial.
 Teori psiko-analitik mengungkapkan terjadinya anxietas ini adalah
akibat dari konflik unconscious yang tidak terselesaikan.
 Teori behavior beranggapan bahwa terjadinya anxietas ini adalah
akibat tanggapan yang salah dan tidak teliti terhadap bahaya.
Ketidaktelitian ini sebagai akibat dari perhatian mereka yang
selektif pada detil-detil negative dalam kehidupan, penyimpangan

5
dalam proses informasi, dan pandangan yang negative terhadap
kemampuan pengendalian dirinya.
 Teori eksistensial bependapat bahwa terjadinya anxietas adalah
akibat tidakadanya rangsang yang dapat diidentifikasi secara
spesifik. Ketiadaan ini membuat orang menjadi sadar akan
kehampaannya di dalam kehidupan ini. 4,9

d. Klasifikasi
Menurut PPDGJ-III, anxietas terbagi menjadi:10
 F40 Gangguan anxietas fobik
- F40.0 Agorafobia
 .00 tanpa gangguan panic
 .01 dengan gangguan panik
- F40.1 Fobia social
- F40.2 Fobia Khas (terisolasi)
- F40.8 Gangguan Anxietas fobik lainnya
- F40.9 Gangguan Anxietas fobik YTT
 F41 Gangguan anxietas lainnya
- F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik)
- F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh
- F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif
- F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya
- F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT
- F41.9 Gangguan anxietas YTT

e. Faktor Resiko
Faktor predisposisi adalah faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat digunakan individu untuk mengatasi stres
1. Biologi
Model biologis menjelaskan bahwa ekpresi emosi melibatkan struktur
anatomi di dalam otak. Aspek biologis yang menjelaskan gangguan
ansietas adalah adanya pengaruh neurotransmiter. Tiga

6
neurotransmiter utama yang berhubungan dengan ansietas adalah
norepineprin, serotonin dan gamma-aminobutyric acid (GABA)
2. Psikologis
Aspek psikologis memandang ansietas adalah konflik emosional yang
terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego.
Maturitas individu, tipe kepribadian dan pendidikan juga
mempengaruhi tingkat ansietas seseorang. Ketegangan dalam
kehidupan yang dapat menimbulkan ansietas diantaranya adalah
peristiwa traumatik individu baik krisis perkembangan maupun
situasional seperti peristiwa bencana, konflik emosional individu yang
tidak terselesaikan dengan baik, konsep diri terganggu.
3. Sosial budaya
Riwayat gangguan ansietas dalam keluarga akan mempengaruhi
respon individu dalam berespon terhadap konflik dan cara mengatasi
ansietas. Sosial budaya, potensi stres serta lingkungan merupakan
faktor yang mempengaruhi terjadinya ansietas.

f. Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart & Sudden (1998), tingkat kecemasan dapat terbari
menjadi 4, yaitu :
a. Kecemasan ringan atau Mild anxiety
Adalah suatu kecemasan yang masih ringan. Pada tingkat ini
sebenarnya merupakan hal yang sehat karena merupakan tanda bahwa
antara lain keadaan jiwa dan tubuh manusia agar dapat
mempertahankan diri dan lingkungan yang serba berubah. Kecemasan
dapat sangat bersifat konstruktif bila dilakukan dengan secara sehat dan
normal.
b. Kecemasan sedang atau moderate
Adalah suatu kemampuan yang menyempit, ada gangguan atau
hambatan dalam perbaikan dirinya, terjadi peningkatan respirasi dan
denyut nadi.
c. Kecemasan berat atau Severe

7
Adalah adanya perasaan-perasaan canggung terhadap waktu atau
perhatian, persepsi menurun, tidak konsentrasi, kesulitan komunikasi,
hyperventilasi, tachicardi, mual dan sulit kepala.
d. Panik atau Panic
Individu sangat kacau sehingga berbahaya bagi diri maupun orang lain.
Tidak mampu bertindak, berkomunikasi dan berfungsi secara aktif.

g. Ciri Kecemasan
Ciri-ciri Kecemasan Menurut Jeffery S., (2003:164) beberapa ciri dan
kecemasan adalah
a. Ciri Fisik
1. Kegelisahan, kegugupan
2. Tangan atau anggota tubuh yang bergetar atau gemetar
3. Banyak berkeringat
4. Mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit menelan
5. berdebar keras berdetak kencang
6. Terdapat gangguan sakit perut atau mual
7. Wajah terasa memerah dan merasa sensitif atau mudah marah

b. Ciri-ciri Behavioral
1. Perilaku menghibur
2. Perilaku melekat dan dependent
3. Perilaku terguncang
4. Ciri-ciri Kognitif
5. Khawatir tentang sesuatu
6. Kecemasan akan kehilangan kontrol
7. Berfikir bahwa semuanya tidak lagi bisa dikendalikan
8. Pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan
9. Sulit berkonsentrasi

8
h. Patofisiologi
Upaya untuk menjelaskan penyebab dari munculnya gangguan
kecemasan, Accocella dkk (1976) memaparkan dari beberapa sudut
pandang teori. Menurut para ahli psikofarmaka, Gangguan Kecemasan
Menyeluruh bersumber pada neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman
eksternal tetapi lebih dipengaruhi oleh keadaan internal individu.4,7,10
Neale dkk (2001) mengatakan bahwa kecemasan sebagai perasaan
takut yang tidak menyenangkan dan apprehension, dapat menimbulkan
beberapa keadaan psikopatologis sehingga mengalami apa yang disebut
gangguan kecemasan. Walaupun sebagai orang normal, diakui atau tidak,
kita dapat saja mengalami kecemasan, namun kecemasan pada orang
normal berlangsung dalam intensitas atau durasi yang tidak berkeanjangan
sehingga individu dapat tetap memberikan respon yang adaptif.6,7
Untuk memahami kecemasan yang mempengaruhi beberapa area
dari fungsi-fungsi individu, Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa
kecemasan seharusnya melibatkan atau memiliki 3 komponen dasar,
yaitu2,7:
1. Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai
ketegangan, ketakutan dan tidak adanya harapan untuk
mengatasinya.
2. Respon-respon perilaku (behavioral rensponses), seperti
menghindari situasi yang ditakuti, kerusakan pada fungsi bicara dan
motorik dan kerusakan tampilan untuk tugas-tugas kognitif yang
kompleks.
3. Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk
ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas
yang cepat, mulut yang kering nausea, diare, dan dizziness.
Sebagaimana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari
pendekatan psikodinamika mengatakan bahwa jiwa individu diibaratkan
sebagai gunung es. Bagian yang muncul dipermukaan dari gunung es itu,
bagian terkecil dari kejiwaan yang disebut sebagai bagian kesadaran.
Agak di bawah permukaan air adalah bagian yang disebut pra-kesadaran,

9
dan bagian yang terbesar dari gunung es tersebut ada di bawah sekali dari
permukaan air, dan ini merupakan alam ketidaksadaran
(uncounsciousness). Ketidaksadaran ini berisi ide, yaitu dorongan-
dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-
peraturan yang ada dilingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke
permukaan/ ke kesadaran, sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego,
yang menjadi pusat dari kesadaran, harus mengatur dorongan-dorongan
mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal di ketidaksadaran
karena ketidaksesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi
yang berisi norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di
lingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak cukup kuat menahan
desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan atau
gangguan-gangguan kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan
kejiwaan yang muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan ego menahan
dorongan ide.4
Jadi, individu yang mengalami Gangguan Kecemasan
Menyeluruh, menurut pendekatan psikodinamika berakar dari
ketidakmampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang
muncul dari dalam dirinya secara terus menerus sehingga ia akan
mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri
ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan
bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme
pertahanan diri ini dipergunakan secara kaku, terus-menerus dan
berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak
adaptif dan tidak realistis4
Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa dipergunakan
oleh individu, antara lain4:
1. Represi, yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak
menyenangkan dan dirasakan mengancam ego masuk ke
ketidaksadaran dan disimpan di sana agar tidak menganggu ego lagi.
Tetspi sebenarnya pengalaman yang sudah disimpan itu masih punya
pengaruh tidak langsung terhadap tingkahlaku si individu.

10
2. Rasionalisasi, yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran sedemikian
rupa terhadap dorongan-dorongan dalam diri yang dilarang tampil
oleh superego, sehingga seolah-olah perilakunya dapat dibenarkan.
3. Kompensasi, upaya ego untuk menutupi kelemahan yang ada di salah
satu sisi kehidupan dengan membuat prestasi atau memberikan kesan
sebaliknya pada sisi lain. Dengan demikian, ego terhindar dari ejekan
dan rasa rendah diri.
4. Penempatan yang keliru, yaitu upaya ego untuk melampiaskan suatu
perasaan tertentu ke pihak lain atau sumber lain karena tidak dapat
melampiaskan perasaannya ke sumber masalah.
5. Regresi, yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalan-kegagalan atau
ancaman terhadap ego dengan menampilkan pikiran atau perilaku
yang mundur kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah.

Para ahli dari aliran humanistik-eksternal mengatakan bahwa


konsep kecemasan bukan hanya sekedar masalah, yang bersifat individual
tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat
atau lingkungan sosialnya.4
Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara
pandangannya tentang dirinya sendiri dengan yang diinginkan maka
akan`muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi tantangan di
kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan. Jadi menurut
pandangan humanis eksternalis, pusat kecemasan adalah konsep diri, yang
terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang
sesungguhnya (real self) dan diri yang diinginkan (idea self). Hal ini
muncul sehubungan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk
mengaktualisasikan` dirinya sehingga perkembangannya menjadi
terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam
menjalani hari-hari, di kehidupan selanjutnya, ia akan mengalami
kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif. Setiap kita
sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya untuk menjadi diri sendiri
(authenticity), sedangkan indivisu yang neurotis, atau mengalami

11
gangguan kecemasan adalah individu yang gagal menjadi diri sendiri
(inauthenticity) karena mereka mengembangkan konsep diri yang
keliru/palsu.
Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan
bahwa kecemasan muncul karena terjadi kesalahan dalam belajar, bukan
hasil dari konflik intrapsikis, individu belajar menjadi cemas. Ada 2
tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu yang menghasilkan
kecemasan yaitu:4
1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral tidak
berbahaya atau tidak menimbulkan kecemasan, dihubungkan
dengan stimulus yang menyakitkan (aversive) akan menimbulkan
kecemasan (melalui respondent condotioning)
2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi,
dan sejak penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas
dari rasa cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi
kebiasaan (melalui operant conditioning)
Dari sudut pandang kognitif, gangguan kecemasan terjadi karena
adanya kesalahan dalam mempersepsikan hal-hal yang menakutkan.
Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang terjadi dari individu yang
mengalami gangguan kecemasan adalah terjadinya kesalahan persepsi
atau kesalahan interpretasi terhadap stimulus internal maupun eksternal.
Indivisu yang mengalami gangguan kecemasan akan melihat suatu hal
yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu yang mengancam.
Jika individu mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang tidak
biasa, lalu mengintepretasikannya sebagai sensasi yang bersifat
catastropic, yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal
seperti serangan jantung, maka akan timbul rasa panik.2

i. Gejala Klinis
Gejala utama dari ganguan anxietas adalah rasa cemas, ketegangan
motorik, hiperaktivitas otonomik, dan kewaspadaan kognitif. Kecemasan

12
berlebihan dan mengganggu aspek lain kehidupan pasien.
Gejala klinis Gangguan Cemas Menyeluruh meliputi: 10,11
 Penderita menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan
situasi khusus tertentu saja (free floating atau mengambang)
 Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
o Kecemasan (khawatir akan nasib buruk seperti berada di
ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dll)
o Ketegangan motorik (gelisah, gemetaran, sakit kepala, tidak
dapat santai, dsb)
o Overaktivitas otonomik (terasa ringan, berkeringat,
takikardi, takipnea, jantung berdebar-debar, sesak napas,
epigastrik, pusing kepala, mulutkering, dan gangguan
lainnya)
 Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan serta keluhan somatik berulang yang menonjol
 Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa
hari), khususnya depresi, tidak membetalkan diagnosis utama
Gangguan anxietas menyeluruh, selema hal tersebut tidak
memenuhi kriteria lengkap dari episode depresi, gangguan anxietas
fobik, gangguan panik atau gangguan obsesif kompulsif.

j. Diagnosis Banding1,5
 Permulaan skizofrenia
 Mania
 Psikosis atipis
 Gangguan adaptasi dengan mood cemas
 Permulaan sindroma otak organik
 Hipertiroid
 Penyalahgunaan zat
 Gangguan sistemik lain.

13
k. Penatalaksanaan
Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan kecemasan
menyeluruh adalah pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapi dan
farmakoterapi. Pengobatan mungkin memerlukan cukup banyak waktu
bagi klinisi yang terlibat.4,10,11
Angka-angka keberhasilan terapi yang tinggi dilaporkan pada
kasus-kasus dengan diagnosis dini. Psikoterapi yang sederhana sangat
efektif, khususnya dalam konteks hubungan pasien dengan dokter yang
baik, sehingga dapat membantu mengurangi farmakoterapi yang tidak
perlu.4,11,12
Penanganan dengan psikoterapi juga dapat dijelaskan melalui
pendekatan psikodinamika, humanistik eksistensialis atau pendekatan
behavioristik maupun kognitif.4
Pendekatan psikoterapi untuk gangguan kecemasan menyeluruh
meliputi :4,11
a) Terapi kognitif perilaku, terapi ini memiliki keunggulan jangka
panjang dan jangka pendek. Pendekatan kognitif secara langsung
menjawab distorsikognitif pasien dan pendekatan perilaku
menjawab keluhan somatik secara langsung. Teknik utama yang
digunakan pada pendekatan behavioral : relaksasi dan biofeedback
b) Terapi suportif, terapi yang menawarkan ketentraman dan
kenyamanan bagi pasien, menggali potensi yang ada dan belum
tampak, mendukung egonya, agar pasien lebih bisa beradaptasi
optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaan
c) Terapi berorientasi tilikan, memusatkan untuk mengungkapkan
konflik bawah sadar dan mengenali kekuatan ego
pasien. Mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik
bawah sadar, menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self
pasien. Dari pemahaman akan komponen tersebut, terapis
memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk menjadi
lebih matur. Bila tidak tercapai, setidaknya terapis memfasilitasi

14
pasien agar dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya
Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar
pada keadaan internal individu sehubungan dengan adanya konflik
intrapsikis yang dialami individu sehingga ia mengembangkan suatu
bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya menanganinya juga
terarah pada pemberian kesempatan bagi individu untuk mengeluarkan
seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul di dalam dirinya.
Asumsinya adalah jika individu bisa menghadapi dan memahami konflik
yang dialami, ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di
balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya.4
Teknik dasar yang digunakan disebut free association, individu
diminta untuk menjelaskan secara sederhana tentang hal-hal yang ada di
dalam pikirannya, tanpa melihat apakah itu logis atau tidak, tepat atau
tidak, ataupun pantas atau tidak. Hal-hal dari alam bawah sadar atau tidak
sadar yang diungkapkan akan dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan.
Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan teknik dream
interpretation; individu diminta untuk menceritakan mimpinya secara
detail dan tepat. Kedua teknik ini memiliki kelebihan dan kelemahan
masing-masing. Dalam melaksanakan teknik-teknik tersebut di atas, ada
dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance
(yaitu individu bertahan dan beradu argumen dengan terapis saat terapis
mulai sampai pada bagian sensitif), dan transference (yaitu individu
mengalihkan perasaannya pada terapis dan menjadi bergantung.4,10
Sementara para ahli dari pendekatan humanistik eksistesialis yang
melihat kecemasan sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan
sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka mereka lebih
menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self).
Tehniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang
berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif
yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang
kondusif untuk mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin.4,13

15
Setiap permasalahan yang dihadapi setiap individu sebenarnya
hanya dirinyalah yang paling mengerti tentang apa yang sedang
dihadapinya. Oleh karena itu, individu itu sendirilah yang paling berperan
dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya.4,13
Karena para ahli melihat kecemasan sebagai sebagai hasil dari
belajar (belajar menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu
dilakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru, yaitu
pola perilaku yang tidak cemas.1,8
Teknik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah
systematic desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan
menggunakan konsep hirarki ketakutan, menghilangkan ketakutan secara
perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang
lebih kompleks. Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan
dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian
reward- jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan
ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku atau justru
menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana perubahan
perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi
contoh langsung kepada individu juga efektif dalam upaya melawan
pikiran-pikiran yang mencemaskan.13
Pendekatan kognitif yang melihat gangguan kecemasan sebagai
hasil dari kesalahan dalam mempersepsikan ancaman (misperception of
threat) menawarkan upaya mengatasinya dengan mengajak individu
berpikir dan mendesain suatu pola kognitif baru. David Clark dkk (dalam
Acocella dkk, 1996) mengembangkan desain kognitif yang melibatkan 3
bagian yaitu4 :
1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu
tentang sensasi tubuhnya
2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif intrepretasi,
yang noncatastropic.
3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dan alternatif-
alternatif tersebut.

16
Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini
menyatakan bahwa tujuan dari terapi sebagai upaya menangani gangguan
kecemasan adalah membantu individu melakukan intrepretasi sensasi
tubuh dengan cara yang noncatastropic.4
Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita gangguan
kecemasan tidak selalu hanya berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya
mengikuti pendapat salah satu ahli dari suatu pendekatan saja. Terapi
yang diberikan dapat sekaligus dengan menggunakan lebih dari satu
pendekatan atau lebih dari satu tehnik, asalkan tujuannya jelas dan
tahapan-tahapannya juga terinci.4
Pertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun psikoterapi. Anti
depresan yang baru, venlafaksin XR, tampaknya cukup efektif dan aman
untuk pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Gunakan benzodiazepin
dengan tidak berlebihan(diazepam, 5 mg per oral, 3-4 kali sehari atau 10
mg sebelum tidur) untuk jangka pendek (beberapa minggu hingga
beberapa bulan); biarkan penggunaan obat-obatan untuk mengikuti
perjalanan penyakitnya. Pertimbangkan pemberian buspiron untuk
pengobatan awal atau untuk pengobatan kronis (20-30 mg/hari dalam
dosis terbagi). Pasien tertentu yang telah terbiasa dengan efek cepat
benzodiazepin akan merasakan kurangnya efektivitas buspiron. Anti
depresan trisiklik, SSRI, dan MAOI bermanfaat terhadap pasien-pasien
tertentu (terutama bagi mereka yang disertai dengan depresi). Sedangkan
pasien dengan gejala otonomik akan membaik dengan β-bloker (misal,
propanolol 80-160 mg/hari).13

17
Tabel Sediaan Obat Anti-Anxietas dan Dosis Anjuran (menurut IiMS Vol.
30-2001)12
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
1. Diazepam Diazepin Tab. 2-5 mg 10-30 mg/h
Lovium Tab. 2-5 mg
Stesolid Tab. 2-5 mg
Amp. 10mg/2cc
2. Chlordiazepoxide Cetabrium Drg. 5-10 mg 15-30 mg/h
Arsitran Tab. 5 mg
Tensinyl Cap. 5 mg
3. Lorazepam Ativan Tab. 0,5-1-2 mg 2-3 x 1 mg/h
Renaquil Tab. 1 mg
4. Clobazam Frisium Tab. 10 mg 2-3 x 1m mg/h
5. Alprazolam Xanax Tab. 0,25-0,5 mg 0,75-1,50 mg/h
Alganax Tab. 0,25-0,5 mg
6. Sulpiride Dogmatil Cap. 50 mg 100-200 mg/h
7. Buspirone Buspar Tab. 10 mg 15-30 mg/h
8. Hydroxyzine Iterax Caplet 25 mg 3x25 mg/h

Obat anti-anxietas Benzodiazepine yang bereaksi dengan


reseptornya (benzodiazepine receptors) akan meng-reinforce “the
inhibitory action of GABA-ergic neuron”, sehingga hiperaktivitas tersebut
di atas mereda.12
Dorong rasa percaya diri, rumatan aktivitas produktif, dan kognisi
yang berdasarkan pada realita. Latihlah pasien dengan teknik relaksasi
(misal biofeedback, meditasi, otohipnotis). Lebih dari 50% pasien
menjadi asimtomatik seiring berjalannya waktu, tetapi sisanya memberat
pada derajat hendaya yang bermakna. Bantulah pasien untuk memahami
akan sifat kronis penyakitnya dan mengerti akan adanya kemungkinan
untuk selamanya hidup dengan beberapa gejala yang memang tidak akan
hilang.

18
l. Prognosis
Prognosis Gangguan Kecemasan Menyeluruh sukar untuk untuk
diperkirakan. Namun demikian beberapa data menyatakan peristiwa
kehidupan berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya beberapa
peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan
akan terjadinya gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat ringannya
gangguan tersebut. Prognosis tergantung pada kepribadian sebelumnya
(bila relatif stabil, maka prognosis lebih baik) ; permulaannya (bila akut,
makaprognosis lebih baik) ; bila stres yang menimbulkan gangguan cemas
itu mudah diatasi, maka prognosis juga baik ; bila gejala-gejala
itumenguntungkan si penderita (mendapatkan kasih-sayang,
perhatian,simpatik, uang, pembebesan tanggung jawab) maka
prognosanya jelek.Suatu keadaan kronis yang mungkin berlangsung
seumur hidup. Lebih kurang 25% pasien GAD akan mengalami gangguan
panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor. 1,11

2.2 Gangguan Panik dan Agorafobia


a. Definisi
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik yang
spontan dan tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan
atau ketakutan yang kuat dan relatif singkat (biasanya kurang dari 1
tahun), yang disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan
takipnea. Frekuensi pasien dengan gangguan panik mengalami serangan
panik bervariasi dari serangan multiple dalam satu hari sampai hanya
beberapa serangan selama setahun. Gangguan panik seringkali disertai
dengan agoraphobia yaitu ketakutan berada sendirian di tempat-tempat
publik (sebagai contoh, supermarket). Di Amerika Serikat, sebagian besar
peneliti di bidang gangguan panik percaya bahwa agoraphobia hampir
selalu berkembang sebagai suatu komplikasi pada pasien yang memiliki
gangguan panik.1,11

19
b. Epidemiologi
Penelitian epidemiologis telah melaporkan prevalensi seumur
hidup untuk gangguan panik adalah 1,5 sampai 3 persen dan untuk
serangan panik adalah 3 sampai 4 persen. Wanita adalah 2 sampai 3 kali
lebih sering terkena daripada laki-laki. Faktor social satu-satunya yang
dikenali berperan dalam perkembangan gangguan panik adalah riwayat
perceraian atau perpisahan yang belum lama. Gangguan paling sering
berkembang pada dewasa muda, usia rata-rata timbulnya kira-kira 25
tahun, tetapi baik gangguan panik maupun agarofobia dapat berkembang
pada setiap usia. 1
Prevalensi seumur hidup agarofobia telah dilaporkan sebanyak 0,6 persen
sampai 6 persen. Factor utama yang menyebabkan rentang perkiraan yang
lebar tersebut adalah digunakannya kriteria diagnostik yang bervariasi dan
metoda penilaian. Walaupun penelitian tentang agarofobia pada
lingkungan psikiatrik telah melaporkan bahwa sekurangnya tiga perempat
pasien yang terkena juga menderita gangguan panik, penelitian agarofobia
pada sampel masyarakat telah menemukan bahwa sebanyak separuh pasien
1
menderita agarofobia tanpa gangguan panik.
c. Etiologi
1) Faktor Biologis1
Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panic telah
menghasilkan berbagai temua; satu interpretasi adalah bahwa gejala
gangguan panic dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di
dalam struktur otak dan fungsi otak.
System neurotransmitter utama yang terlibat adalah norepineprin,
serotonin, dan gamma-amino-butyric acid (GABA). Keseluruhan data
biologis telah menyebabkan suatu perhatian kepada batang otak
(khususnya neuron noradrenergic di lokus sereleus dan neuron
serotonergik di nucleus raphe medialis), system limbic (kemungkinan
bertanggung jawab untuk terjadinya kecemasan yang terjadi terlebih
dahulu (anticipatory anxiety) dan korteks prafrontalis (kemungkinan
bertanggung jawab untuk terjadinya penghindaran fobik).

20
Penelitian pencitraan otak structural, sebagai contoh, pencitraan
resonansi magnetik (MRI; magnetic resonance imaging), pada pasien
gangguan panic telah menunjukkan patologi di lobus temporalis,
khususnya di hipokampus. Sebagai contoh, satu penelitian MRI
melaporkan kelainan, khususnya atrofi kortikal, di lobus temporalis
kanan pasien dengan gangguan panik. Penelitian pencitraan otak
fungsional, sebagai contoh tomografi emisi positron (PET; positron
emission tomography) telah menunjukkan suatu disregulasi aliran darah
serebral. Secara spesifik, gangguan kecemasan dan serangan panic
adalah disertai dengan vasokonstriksi serebral, yang dapat
menyebabkan gejala system saraf pusat, seperti rasa pening, dan gejala
system saraf perifer yang mungkin diakibatkan oleh hiperventilasi dan
hipokapnia. Sebagian besar penelitian pencitraan otak fungsional telah
menggunakan zat penyebab panic (sebagai contoh, laktat, kafein atau
yohimbin) di dalam kombinasi PET atau tomografi computer emisi
foton tunggal (SPECT; single photon emission computed tomography)
untuk meilai efek zat penyebab panic dan serangan panic yang
diakibatkannya pada aliran darah serebral.
2) Faktor Genetika1
Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan risiko
gangguan panic sebesar empat samapi delapan kali lipat pada sanak
saudara derajat pertama pasien dengan gangguan panic dibandingkan
dengan sanak saudara derajat pertama dari pasien dengan gangguan
psikiatrik lainnya. Penelitian terhadap anak kembar yang telah
dilakukan sampai sekarang melaporkan bahwa kembar monozigotik
adalah lebih berkemungkinan sesuai untuk gangguan panic
dibandingkan dengan kembar dizigotik.

d. Diagnosis 1
Kriteria diagnosis untuk serangan panic menurut DSM IV adalah :

21
Catatan : Serangan panic bukan merupakan gangguan yang dapat
dituliskan. Tuliskan diagnosis spesisfik dimana serangan panic terjadi
(misalnya, gangguan panic dengan agoraphobia).
Suatu periode tertentu adanya rasa takut atau tidak nyaman, di mana empat
(atau lebih) gejala berikut ini terjadi secara tiba-tiba dan mencapai
puncaknya dalam 10 menit:
1. Palpitasi, jantung berdebar kuat, atau kecepatan jantung bertambah
cepat
2. Berkeringat
3. Gemetar atau bergoncang
4. Rasa napas sesak atau tertahan
5. Perasaan tercekik
6. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman
7. Mual, gangguan perut
8. Perasaan pusing, bergoyang, melayang atau pingsan
9. Derealisasi (perasaan tidak realitas) atau depersonalisasi (bukan
merasa diri sendiri)
10. Ketakutan kehilangan kendali atau menjadi gila
11. Rasa takut mati
12. Parastesia (mati rasa atau sensasi geli)
13. Menggigigl atau perasaan panas
Kriteria Gangguan Panik (F41.0) sesuai PPDGJ III : 10
Pedoman Diagnostik
 Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak
ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F40.-)
 Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan
anxietas berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa
kira0kira satu bulan:
a. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada
bahay;
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat
diduga sebelumnya (unpredictable situations);

22
c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada
periode di antara serangan-serangan panik (meskipun demikian,
umumnya dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik”, yaitu anxietas
yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan
akan terjadi).

Kriteria untuk Agorafobia menurut DSM IV : 1


Catatan : Agorafobia bukan merupakan gangguan yang dapat dituliskan.
Tuliskan diagnosis spesifik dimana agoraphobia panik terjadi (misalnya,
gangguan panik dengan agoraphobia atau agoraphobia tanpa riwayat
gangguan panik).
a. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi dari mana
kemungkinan sulit meloloskan diri (atau merasa malu) atau dimana
mungkin tidak terdapat pertolongan jika mendapatkan serangan panik
atau gejala mirip panik yang tidak diharapkan atau disebabkan oleh
situasi. Rasa takut agorafobik biasanya mengenai kumpulan situasi
karakteristik seperti diluar rumah sendirian; berada di tempat ramai atau
berdiri di sebuah barisan; berada diatas jembatan; atau bepergian
dengan bis, kereta atau mobil.
Catatan : Pertimbangkan diagnosis fobia spesifik jika penghindaran
adalah terbatas pada satu atau hanya beberapa situasi spesifik, atau
fobia sosial jika penghindaran terbatas pada situasi sosial.
b. Situasi dihindari (misalnya, jarang bepergian) atau jika dilakukan
adalah dilakukan dengan penderitaan yang jelas atau dengan kecemasan
akan mendapatkan serangan panik atau gejala mirip panik atau perlu
didampingi teman.
c. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain, seperti fobia social (misalnya, penghindaran
terbatas pada situasi social karena rasa takut terhadap situasi tertentu
seperti di elevator), gangguan obsesif-kompulsif (misalnya,
menghindari kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang
kontaminasi), gangguan stress pasca traumatic (misalnya, menghindari

23
stimuli yang berhubungan dengan stressor yang berat) atau gangguan
cemas perpisahan (misalnya, menghindari meninggalkan rumah atau
sanak saudara).

Kriteria Agarofobia (F40.0) menurut PPDGJ III : 10


Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukam sekunder dari
gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif.
b. Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam
hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: banyak
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan bepergian
sendiri, dan
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang
menonjol (penderita menjadi “housebound”).

e. Gambaran Klinis
Gejala-gejala fobia dapat berupa perasaan takut dan cemas yang
ringan sampai serangan panik. Ketakutan dan kecemasan ini biasanya akan
semakin besar jika situasi atau objek yang menimbulkan fobia semakin
dekat atau terdapat kondisi yang menyebabkan penderita kesulitan untuk
menghindari situasi atau objek tersebut. Penderita menghindari tempat-
tempat keramaian seperti pusat perbelanjaan dan bioskop, atau juga dapat
menghindari mobil, pesawat terbang, kereta bawah tanah, dan bentuk-
bentuk lain dari perjalanan. Dalam kasus yang lebih parah, penderita
agorafobia mungkin hanya merasa aman di rumah. 1
Gejala dan tanda fisik dari fobia dapat berupa: 1
- Jantung berdebar
- Berkeringat
- Gemetar
- Nyeri dada atau sesak
- Merasa pusing

24
- Perut melilit
- Merasa panas atau dingin sekejap
- Sensasi kesemutan
Gejala dan tanda emosional dari fobia dapat berupa:
- Perasaan cemas berlebihan atau panik
- Merasa keinginan yang kuat untuk melarikan diri
- Merasa tidak nyata atau terpisah dari diri sendiri
- Takut kehilangan kontrol atau menjadi gila
- Merasa seperti akan mati atau pingsan
- Merasa tidak berdaya untuk mengontrol rasa takut

f. Gejala Penyerta1
Gejala depresi sering kali ditemukan pada serangan panik dan agorafobia

Diagnosis banding
a. Penyakit kardiovaskular
1. Anemia
2. Angina
3. Gagal jantung kongestif
4. Keadaan adrenergic β-hiperaktif
5. Hipertensi
6. Prolapsus katup mitralis
7. Infark miokardium
8. Takikardia atrium paradoksikal
b. Penyakit pulmonal
1. Asma
2. Hiperventilasi
3. Embolus paru
c. Penyakit neurologis
1. Penyakit serebrovaskular
2. Epilepsy
3. Penyakit Huntington

25
4. Infeksi
5. Penyakit Meniere
6. Sklerosis multiple
7. Serangan iskemik transien
8. Tumor
9. Penyakit Wilson
d. Penyakit endokrin
1. Penyakit Addison
2. Sindrom karsinoid
3. Sindrom Cushing
4. Diabetes
5. Hipertiroidisme
6. Hipoglikemia
7. Hipoparatiroidisme
8. Gangguan menopause
9. Feokromositoma
10. Sindrom pramenstruasi
e. Intoksikasi obat
1. Amfetamin
2. Amyl nitrite
3. Antikolinergik
4. kokain
f. Halusinogen
1. Marijuana
2. Nikotin
3. Theophyline
g. Putus obat
1. Alcohol
2. Antihipertensif
3. Opiate dan opioid
4. Sedative-hipnotik
h. Kondisi lain

26
1. Anafilaksis
2. Defisiensi B12
3. Gangguan elektrolit
4. Keracunan logam berat
5. Infeksi sistemik
6. Lupus eritematosus sistemik
7. Arteritis temporalis
8. Uremia
9.
g. Perjalanan penyakit dan prognosis
Gangguan panik
Gangguan panic biasanya memiliki onsetnya selama masa remaja
akhir atau masa dewasa awal, walaupun onset selama masa anak-anak,
remaja awal dan usia pertengahan dapat terjadi. Beberapa data
mengesankan adanya peningkatan stressor psikososial pada onset
gangguan panic, walaupun tidak ada stressor psikososial dapat
diidentifikasi secara jelas pada sebagian besar kasus. 1
Pada umumnya, gangguan panic adalah suatu gangguan kronis,
walaupun perjalanannya adalah bervariasi diantara pasien-pasien dan pada
seorang pasien individual. Penelitian follow up jangka panjang gangguan
panic yang ada sulit untuk diinterpretasikan karena belum terkontrol untuk
efek pengobatannya. Namun demikian, kira-kira 30 sampai 40 persen
pasien tampaknya bebas dari gejala follow up jangka panjang; kira-kira 50
persen memiliki gejala yang cukup ringan yang tidak mempengaruhi
kehidupannya secara bermakna; dan kira-kira 10 sampai 20 persen terus
memiliki gejala yang bermakna. 1
Setelah satu atau dua serangan panic pertama, pasien mungkin
relative tidak mempermasalahkan keadaannya; tetapi pada serangan
berulang, gejala dapat menjadi permasalahan besar. Pasien mungkin
berusaha untuk merahasiakan serangan panic dengan demikian
menyebabkan keluarga dan teman-temannya prihatin tentang terjadinya
perubahan perilaku yang tidak bisa dijelaskan. 1

27
Depresi dapat mempersulit gambaran gejala pada kira-kira 40
sampai 80 persen dari semua pasien, seperti yang diperkirakan dari
berbagai penelitian. Walaupun pasien tidak cenderung berbicara tentang
gagasan bunuh diri, mereka berada dalam risiko yang meninggi untuk
melakukan bunuh diri. 1
Agorafobia
Sebagian besar kasus agorafobua diperkirakan disebabkan oleh
gangguan panik. Jika gangguan panik diobati, agoraphobia sering kali
membaik dengan berjalannya waktu. Untuk mendapatkan reduksi
agoraphobia yang cepat dan lengkap, terapi perilaku kadang-kadang
diperlukan. Agoraphobia tanpa gangguan panic sering kali menyebabkan
ketidakberdayaan dan kronis. Gangguan depresif dan ketergantungan
alkohol sering kali mengkomplikasi perjalanan agoraphobia. 1
h. Terapi
Sebagian besar kasus agorafobia diperkirakan disebabkan oleh
gangguan panic. Jika gangguan panik diobati, agorafobia seringkali
membaik dengan berjalannya waktu. Terapi yang paling efektif adalah
farmakoterapi dan terapi kognitif perilaku. Sebagian besar pasien
mengalami perbaikan dramatik pada gejala gangguan panik dan agorafobia
setelah diterapi. 1
- Farmakoterapi
Obat Trisiklik dan Tetrasiklik
Di antara obat trisiklik, clomipramine dan imipramine efektif dalam
mengobati gangguan panik yang dimulai dalam dosis rendah 10 mg sehari,
dan dititrasi perlahan-lahan pada awalnya dengan 10 mg sehari tiap dua
sampai tiga hari, selanjutnya lebih cepat dengan 25 mg sehari tiap dua
sampai tiga hari, jika dosis rendah ditoleransi dengan baik. Walaupun
penelitian awal menyatakan bahwa pasien dengan gangguan panic
berespon secara lebih cepat dan pada dosis yang lebih kecil, penelitian
selanjutnya menunjukan bahwa gangguan panik memerlukan dosis penuh
clomipramine dan imipramine dan biasanya memerlukan waktu yang lama

28
untuk menunjukan respon, biasanya 8 sampai 12 minggu, dibandingkan
dengan 6 sampai 8 minggu pada pasien depresi. 1,12
Monoamine Oksidase Inhibitor (MAOIs)
MAOIs juga efektif dalam pengobatan gangguan panik. Sebagian besar
penelitian telah menggunakan phenelzine (Nardil), walaupun beberapa
penelitian telah menggunakan tranylcypromine (Parnate). Pasien yang
tidak berespon terhadap obat trisiklik kemungkinan berespon terhadap
MAOIs. Jika mereka diobati dengan MAOIs, pasien gangguan panik
tampaknya tidak mengalami efek samping awal overstimulasi yang dapat
terjadi pada obat trisiklik. 1, 12
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
SSRI yang sering dipakai adalah fluoxetine (Prozac), sertraline (Zoloft),
dan paroxetine (Paxil). Data penelitian tentang kemanjuran SSRI dalam
gangguan panik terbatas, tetapi kemanjuran clomipramine pada pasien
gangguan panik menunjukan bahwa SSRI seharusnya juga efektif. 1, 12
Benzodiazepine
Pemakaian benzodiazepine dalam pengobatan gangguan panic terbatas
karena permasalahan tentang ketergantungan, gangguan kognitif, dan
penyalahgunaan, tetapi benzodiazepine terbukti efektif dalam pengobatan
gangguan panik dan memiliki onset yang lebih cepat (onset satu sampai
dua minggu, mencapai puncak setelah empat sampai delapan minggu)
dibandingkan farmakoterapi lainnya. Data terbaik yang tersedia adalah
penggunaan alprazolam untuk mengobati gangguan panik, walaupun
laporan kasus menyatakan bahwa clonazepam dan lorazepan juga merupak
terapi yang efektif. Penggunaan alprazolam dimulai dengan 0,5 mg empat
kali sehari, dan dosis efektif yang paling sering biasanya antara 4 sampai 6
mg sehari. 1
- Terapi Kognitif Perilaku
Berbagai laporan telah menyimpulkan bahwa terapi kognitif dan perilaku
lebih unggul dibandingkan farmakoterapi saja, dan kombinasi terapi
kognitif dan perilaku dengan farmakoterapi lebih efektif dibandingkan
pendekatan teraupetik masing-masing.Dua pusat utama terapi kognitif

29
untuk gangguan panic adalah instruksi tentang kepercayaan salah dari
pasien dan informasi tentang serangan panik. Intruksi tentang kepercayaan
yang salah berpusat pada kecenderungan pasien untuk keliru
menginterpretasikan sensasi tubuh yang ringan sebagai tanda untuk
serangan panik. Informasi tentang serangan panik untuk menjelaskan
bahwa serangan panik tidak mengancam kehidupan dan terbatas. Pasien
juga dilatih untuk mengendalikan serangan panik dengan mengendalikan
dorongan untuk melakukan hiperventilasi sehingga kemungkinan dapat
mencegah terjadi gejala lainnya. Pasien juga dipaparkan langsung terhadap
stimulus yang ditakuti baik sensasi eksternal maupun internal, sehingga
dengan berjalannya waktu pasien mengalami desensitasi pengalaman. 1

2.3 Fobia Spesifik dan Fobia spesial


a. Definisi
Fobia berasal dari kata Phobos, nama salah satu Dewa Yunani
yang dapat menimbulkan rasa takut. Sang Dewa digambarkan sebagai satu
lukisan memakai kedok/topeng dan pelindung untuk menakuti lawan
dalam peperangan. Kata “phobia” berasal dari namanya yang diartikan
dengan kekhawatiran, ketakutan, atau kepanikan. 1
Fobia sosial (social phobia) dalam DSM IV-R disebut juga
gangguan ansietas sosial (social anxiety disorder).Fobia sosial adalah
ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan
keberadaan orang lain. Fobia ini dapat sangat merusak, sedemikian parah
sehingga angka bunuh diri pada orang-orang yang menderita fobia ini jauh
lebih tinggi disbanding pada mereka yang menderita gangguan anxietas
lain (Schneier dkk.,1992).
Fobia sosial (atau gangguan kecemasan sosial), dalam DSMIV-TR
dijelaskan mengenai hal itu, yang ditandai dengan menonaktifkan
ketakutan satu atau lebih situasi sosial tertentu (seperti berbicara didepan
publik, buang air kecil di kamar mandi umum, atau makan atau menulis di
depan umum, lihat table DSM - IV - TR). Dalam situasi ini, seseorang
mengalami ketakutan bahwa ia mungkin terkena pengawasan dan evaluasi

30
negatif dari orang lain. Individu yang menderita fobia social biasanya
mencoba menghindari situasi dimana ia mungkin dinilai dan menunjukkan
tanda-tanda kecemasan atau berprilaku secara memalukan. Ketakutan yang
ditunjukan dengan keringat yang berlebihan atau memerahnya wajah.
Berbicara atau melakukan sesuatu didepan public, makan ditempat umum,
menggunakan toilet umum atau hampir semua aktifitas lain yang
dilakukan ditempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan
kecemasan ekstrim, bahkan serangan panic besar-besaran. 1

b. Epidemiologi
Orang-orang yang menderita fobia social sering kali bekerja dalam
pekerjaan atau profesi yang jauh dibawah kemampuan atau kecerdasan
mereka karena sensitivitas social ekstrim yang mereka alami jauh melebihi
apa yang kita pikirkan tentang rasa malu sangat merugikan secara
emosional. Lebih baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah dari pada
setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang lebih baik.
Diagnosis fobia sosial sangat umum dan terjadi bahkan pada artis terkenal
seperti Barbra Streisand dan Carly Simon. 1
Survei-Nasional Komorbiditas Replikasi diperkirakan bahwa
sekitar 12% penduduk akan memenuhi syarat untuk diagnosis fobia sosial
di beberapa titik dalam hidup mereka, (Kessler, Berglund, 2005b;. Tillfors,
2004); gangguan ini lebih banyak pada wanita dibandingkan pria (sekitar
60 persen adalah perempuan). Tidak seperti fobia spesifik, yang sering
terjadi pada masa kanak-kanak, fobia sosial biasanya mulai terjadi, selama
masa remaja atau dewasa awal (Tillfors, 2004; Wells & • Clark, 1997). 1

c. Gejala-gejala1
- Palpitasi jantung
- Banyak mengeluarkan keringat
- Gemetaran
- Panas-dingin
- Pusing

31
- Gangguan perut
- Kerongkonganterasa tersekat
- Diare
- Otot menjadi tegang
- Gelisah

d. Etiologi Fobia
1. Teori Psikososial
Freud adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan secara
sistematis perkembangan perilaku fobik. Menurut freud, fobia merupakan
pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id
yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan
dipindahkan kesuatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik
dengannya. Dengan menghindarnya seseorang dapat menghindar dari
konflik-konflik yang ditekan. Fobia adalah cara ego untuk menghindari
konfrontasi dengan masalah yang sebenarnya, yang itu konflik masa kecil
yang ditekan. 1
Berdasarkan teori fobia lain dari psikoanalisis yang diajukan oleh
Arieti (1979), sesuatu yang ditekan merupakan masalah interpersonal
tertentu dimasa kecil dan bukan suatu impuls id. Arieti berteori bahwa
pada masa kanak-kanak, orang-orang yang menderita fobia pada awalnya
menjalani periode tanpa dosa dimana mereka mempercayai orang lain
disekitar mereka untuk melindungi mereka dari bahaya. Kemudian mereka
menjadi takut bahwa orang dewasa, terutama orang tua, tidak dapat
diandalkan. Mereka tidak dapat hidup dengan ketiadaan rasa percaya
tersebut, atau rasa takut kepada orang lain. Untuk dapat kembali
mempercayai orang lain, secara tidak sadar mereka mengubah rasa takut
pada orang lain tersebut menjadi rasa takut pada objek atau situasi yang
tidak menyenangkan. Fobia muncul kepermukaan ketika, pada masa
dewasa, seseorang mengalami beberapa bentuk stres. Sebagaimana
sebagian besar teori psikoanalisis, bukti-bukti yang mendukung pandangan

32
ini sebagian besar terbatas pada kesimpulan yang ditarik dari laporan-
laporan khusus klinis. 1

2. Teori Behavioral
Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara
berkembangnya fobia. Beberapa tipe pembelajaran mungkin
berperan.Avoidance Conditioning. Penjelasan utama behavioral tentang
fobia adalah reaksi semacam itu merupakan respon avoidance yang
dipelajari. Formulasi avoidance conditioning dilandasi oleh teori dua
faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatakan bahwa fobia
berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan. 1

1. Melalui classical conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada


suatu stimulus netral (cs) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan
kejadian yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan (ucs). 1
2. Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan
tersebut dengan melarikan diri dari atau menghindari cs. Jenis
pembelajaran yang kedua ini diasumsikan sebagai operant conditioning
respon dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi kekuatan yang
menguatkan. 1
Kemungkinan solusi lain untuk memecahkan teka-teki fobia yang
terjadi tanpa keterpaparan dengan UCS yang menakutkan adalah
menggunakan modeling. 1

3.Modeling
Selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat
pengalaman yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat dipelajari
dengan meniru reaksi orang lain. Dengan demikian, beberapa fobia dapat
terjadi melalui modeling.bukan melalui pengalaman yang tidak
menyenangkan terhadap objek atau situasi yang ditakuti. Pembelajaran
terhadap rasa takut dengan mengamati orang lain secara umum disebut
sebagai vicarious learning. Vicarious learning juga dapat terjadi melalui
instruksi verbal, yaitu reaksi fobik dapat dipelajari melalui deskripsi yang

33
diberikan orang lain tentang apa yang mungkin terjadi selain melalui
observasi terhadap ketakutan orang lain. Sebagai contoh, dalam kehidupan
sehari-hari orang tua dapat berulangkali memperingati anaknya agar tidak
melakukan beberapa aktifitas yang membahayakan.1
Secara ringkas, data yang telah kita kaji menunjukan bahwa
beberapa fobia mungkin dipelajari melalui avoidance conditioning. Namun,
avoidance conditioning tidak dapat dianggap sebagai teori yang sepenuhnya
dapat dibenarkan. Sebagai contoh, seperti disebutkan sebelumnya bahwa
orang yang menderita fobia menuturkan bahwa mereka tidak pernah terpapar
langsung dengan kejadian traumatis atau dengan model yang menakutkan
(Merckelbach dkk., 1989). Terlebih lagi model avoidance conditioning
memiliki kesulitan menangani komobiditas diantara berbagai jenis fobia. 1

4.TeoriKognitif
Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan
fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berpikir manusia dapat
berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia
menetap. Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain
dalam gangguan ini, rasa takut yang menetap dan fakta bahwa ketakutan
tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya.
Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui proses-proses
otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses
awal tersebut, stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan
yang dapat menghilangkan rasa takut tesebut (Amir.Foa,&Coles,1998). 1

5.Biologis
Faktor-faktor biologis yang memengaruhi. Beberapa teori yang
telah kita bahas terutama melihat pada lingkungan untuk menemukan
penyebab dan yang membuat fobia menetap. Namun, mengapa beberapa
orang memiliki ketakutan yang tidak realistik, sedangkan yang lain tidak,
padahal mereka mendapat kesempatan pembelajaran yang sama? Mungkin
mereka yang secara negatif sangat terpengaruh oleh stres memiliki malfungsi

34
biologis (suatu diathesis) yang dengan cara satu atau lainnya memicu
terjadinya fobia setelah kejadian yang penuh stres. Penelitian dalam dua area
berikut tampaknya menjadikan : Sistem saraf otonom dan faktor genetik.
Sistem syaraf otonom. Seperti disebutkan sebelumnya, orang-orang yang
mengalami fobia sosial sering kali merasa takut bahwa wajah mereka akan
memerah atau berkeringat secara berlebihan didepan umum. Karena
berkeringat dan memerahnya wajah dikendalikan oleh sistem syaraf otonom,
aktifitas sistem syaraf otonom yang berlebihan kemungkinan merupakan
suatu diathesis. Namun demikian, sebgian besar bukti tidak menunjukan
bahwa orang-orang yang menderita fobia sangat berbeda dalam pengendalian
berbagai bentuk aktifitas otonomik, walaupun saat berada dalam situasi
seperti berbicara didepan umumyang diharapkan akan terjadi perbedaan.
Mungkin ketakutan terhadap memerahnya wajah atau berkeringat sama
pentingnya dengan wajah yang benar-benar memerah atau berkeringat. 1

6.Faktor Genetik
Keluarga tingkat pertama (first degree relatives) penderita fobia
sosial kira-kira tiga kali lebih sering menderita fobia sosial dibandingkan
keluarga tingkat pertama orang tanpa gangguan mental/kontrol.
Penelitian pada 1.427 orang anak kembar (898 monozigot dan 529
dizigot) menemukan kasus gangguan kepribadian menghindar sebanyak 2,7%
dan fobia sosial 5%. 4Meta-analisis ikatan gen pada pasien gangguan fobia
menemukan kelainan pada kromosom 16q (Gelernter et al, 2001-2004). 1

e. Diagnosis
Kriteria untuk Fobia Sosial

1. Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipacu


oleh objek atau situasi
2. Keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens
3. Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya tidak realistik
4. Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan
intens.

35
Diagnosis ditegakkan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders- IV Text Revision (DSM IV-TR, 2000) atau Pedoman
Diagnostik Fobia Sosial Menurut Pedoman Gangguan Jiwa di Indonesia
III (F40.1).
PPDGJ F40.1 Fobia Sosial10
- Semua criteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala
lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu
(outside the family circle); dan
c. menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang
menonjol.
-Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agoraphobia,
hendaknya diutamakn diagnosis agoraphobia (F.40.0)

Perspektif
Faktor biologis
- Predisposisi genetic
- analisispedigree/silsilah keluarga
- Iregularitas fungsi neurotransmitter
- Abnormalitas dalam jalur otak

Faktor sosial-lingkungan
- Pemaparan terhadap peristiwa yang mengancam/traumatis
- Mengamati respon takut pada orang lain
- Kurangnya dukungan social
Prevensi
Fobia social dapat dicegah dengan cara memberikan pola asuh
yang dapt menumbuhkan rasa percaya diri dan keberanian pada anak
sehingga anak mampu beradaptasi dan membina hubungan social yang
baik dengan orang lain.

36
f. Terapi Fobia
Terapi yang paling efektif adalah kombinasi farmakoterapi dan terapi
kognitif perilaku. 1
- Farmakoterapi1,12
Untuk farmakoterapi dapat digunakan obat-obat seperti yang digunakan
untuk mengatasi gangguan panik.
 Benzodiazepin: diazepam (dosis dewasa: 2-40 mg/hari), alprazolam
(0,5-6 mg/hari), dan klonazepam (0,5-4,0 mg/hari);
 Selective serotonin reuptake inhibitors(SSRIs): fl uvoksamin (50-
300 mg/hari), fl uoksetin (10-40 mg/hari), paroksetin (10-30
mg/hari), sertralin (50-100 mg/hari);
 Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs): fenelzin 45-90 mg/hari;
 Reversible inhibitors of monoamine oxidase A(RIMA): moklobemid
300-450 mg/hari;
 β-Adrenergic receptor antagonists
` propranolol 20-40 mg, atenolol 50-100 mg setiap pagi atau satu jam
sebelum tampil.

- Psikoterapi
Pendekatan Psikoanalisis
Seperti halnya psikoanalisis yang memiliki banyak variasi,
demikian juga dengan terapi psikoanalisis. Walaupun demikian, secara
umum semua penanganan psikoanalisis terhadap fobia berupaya
mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari
ketakutan ekstrim dan karakteristik penghindaran dalam gangguan ini.
Karena fobia dianggap sebagai simtom dari konflik-konflik yang ada
dibaliknya, fobia biasanya tidak secara langsung ditangani. Memang,
upaya langsung untuk menghindari orang yang bersangkutan dari
berbagai konflik yang ditekan yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Dalam berbagai kombinasi analisis menggunakan berbagai teknik yang
dikembangkan dalam tradisi psikoanalsis dalam membantu mengangkat
represi. Dalam asosiasi bebas analisis mendengarkan dengan penuh

37
perhatian apa yang disebutkan pasien terkait dengan setiap rujukan
mengenai fobia. Analisis juga berupaya untuk menemukan berbagai
petunjuk terhadap penyebab fobia yag ditekan dalam isi mimpi yang
tampak jelas.9,12

Pendekatan Behavioral
Disensitisasi sistematik merupakan terapi behavioral utama yang
pertama kali digunakan secara luas untuk menangani fobia. (Wolpe,
1958). Individu yang menderita fobia membayangkan serangkaian
situasi yang semakin menakutkan sementara berada dalam kondisi
relaksasi mendalam. Bukti-bukti klinis dan ekperimental mengindikasi
bahwa teknik ini efektif untuk menghapuskan atau minimal mengurangi
fobia.1,7
Flooding adalah teknik terapeutik dimana klien dipaparkan dengan
sumber fobia dalam intensitas penuh. Rasa tidak nyaman ekstrim
menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini sehingga belum
lama ini cenderung menahan trapis untuk menggunakan teknik ini,
kecuali mungkin sebagai jalan terakhir bila pemaparan secara bertingkat
tidak membuahkan hasil.1

Pendekatan biologis

Obat-obatan yang mengurangi kecemasan disebut sebagai sedatif,


tranquilizer, atau anxiolytic (akhiran lytic berasal dari bahasa yunani
yang berarti ” melonggarkan atau melelahkan”). Barbiturate adalah
kategori obat-obatan utama yang pertama kali digunakan untuk
menangani gangguan anxietis, namun karena kategori obat-obatan
tersebut menyebabkan ketergantungan yang tinggi dan beresiko
mematikan bila overdosis. Pada tahun 1950 obat-obatan tersebut diganti
dengan dua kelompok obat-obatan lain, propanediol (a,l., Miltown) dan
benzodiazepline (a,l., Valium dan Xanax). Jenis yang kedua dewasa ini
digunakan secar luas dan sebagaiman akan kita lihat nanti memberikan
manfaat bagi beberapa gangguan axieties. Namun demikian, jenis

38
tersebut tidak banyak digunakan bagi fobia spesifik. Terlebih tinggi,
walupun resiko mematikan dalam kondisi overdosis tidak sebesar
barbiturate, benzodiazepine, menyebabkan ketergantungan fisisk dan
sindrom putus zat diri yang parah. 1, 12

Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Suatu episode depresi seringkali memperburuk keadaan ansietas


fobik yang sudah ada sebelumnya. Agorafobia tanpa riwayat gangguan
panik seringkali membaik dengan berjalannya waktu. Gangguan depresi
dan ketergantungan alkohol seringkali mempersulit. 1,7

2.4 Gangguan Obsesif Kompulsif

a. Definisi
Adalah gejala obsesi atau kompulsi berulang yang cukup berat
hingga menimbulkan penderitaan yang jelas pada orang yang
mengalaminya. Obsesi atau kompulsi memakan waktu dan cukup
mengganggu fungsi rutin normal, pekerjaan, aktivitas sosial biasa, atau
hubungan seseorang. Pasien dengan OCD dapat memiliki obsesi atau
kompulsi atau keduanya. 1
Obsesi adalah pikiran, perasaan, gagasan, atau sensasi yang berulang dan
mengganggu. Berlawanan dengan obsesi yang merupakan peristiwa mentl,
kompulsi adalah seuatu perilaku. Secara rinci, kompulsi adalah perilaku
yang disadari, standar, dan berulang, seperti menghitung, memeriksa, atau
menghindar. Pasien dengan OCD meyadari ketidakrasionalan obsesi dan
merasakan obsesi serta kompulsi sebagai ego distonik. 1
Walaupun tindakan kompulsif dapat dilakukan dalam upaya mengurangi
ansietas terkait obsesi, tindakan ini tidak selalu berhasil. Dilakukannya
tindakan kompulsif dapat tidak mempengaruhi ansietas dan bahkan dapat
meningkatkannya. 1

39
b. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup OCD pada populasi umum diperkirakan 2
sampai 3 persen. OCD ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat
jalan di klinik psikiatri, OCD menempati urutan keempat terbanyak setelah
fobia, ganguan terkait zat, dn gangguan depresif berat. Diantara orang-
orang dewasa, laki-lakid an perempuan sama-sama cenderung terkena,
tetapi di antara remaja, laki-laki lebih lazim terkena daripada perempuan. 1
Usia rerata awitan sekitar 20 tahun, walaupun laki-laki memiliki
usia awitan sedikit lebih awal (lakilaki sekitar 19 tahun) daripada
perempuan (rerata sekitar 22 tahun). Orang lajang lebih sering mengalami
OCD dibandingkan orang yang menikah walaupun temuan ini mungkin
mencerminkan kesulitan yang dimiliki orang dengan gangguan
mempertahankan suatu hubungan. OCD lebih jarang terjadi pada orang
kulit itam daripada kulit putih walaupun akses ke perawatan kesehatan
bukannya perbedaan prevalensi mungkin dapat menjelaskan variasi ini. 1

c. Etiologi
1. Faktor biologi1
- Neurotransmitter
Sistem serotonergik
Data menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih efektif daripada
obat yang mempengaruhi sistem neurotransmitter lain tetapi tidak
jelas apakah serotonij telibat sebagai penyebab OCD.
Sistem Noradrenergik
Tidak terdapat banyak bukti yang menjelaskan mengenai
keterlibatan disfungsi sistem noradrenergik pada OCD. Laporan
yang tdiak resmi menunjukkan sejumlah perbaikan gejala OCD
dengan klonidin oral.

40
Neuroimunologi1
Terdapat hubungan yang positif antara infeksi streptokokus dengan
OCD, Infeksi streptococcus grup A B-Hemolitik dapat menyebabkan
demam reumatik dan sekitar 10 hinggan 30 persen pasien mengalami
choreabSydenham dan menunjukkan gejala obsesif kompulsif.
- Studi pencitraan otak
Studi pencitraan otak PET (Positron Emission Tomography)
menunjukkan peningkatan aktivitas (contohnya metabolisme dan
aliran darah) di lobus frontalis, ganglia basalis (terutama kaudatus).
Dan cingulum pada pasien dengan OCD. Studi CT scan dan MRI
menemukan berkurangnya ukuran kaudatus bilateral pada pasien
dengan OCD. 1,13
2. Genetik
Studi kembar untuk gangguan ini secara konsisten menemukan
angka kejadian bersama yang lebih tinggi bermakna untuk kembar
monozigot daripada dizigot. 1
3. Faktor perilaku
Obsesi adalah stimulus yang dipelajari. Stimulus yang relatif netral
menjadi dikaitkan dengan rasa takut atau ansietas melalui suatu proses
pembelajaran responden yaitu mesangkan stimulus netral dengan
peristiwa yang berbahaya sifatnya atau menimbulkan ansietas. Dengan
demikian, objek dan pikiran yang tadinya netral menjadi stimulus
dipelajari yang mampu mencetuskan ansietas atau ketidaknyamanan.
Kompulsi dibentuk dengan cara yang berbeda. Ketika seseorang
menemukan bahwa suatu tindakan tertentu mengurangi ansietas yang
melekat dengan pikiran obsesional, ia akan mengembangkan strategi
penghindaran aktif dalam bentuk kompulsi atau perilaku ritualistik
untuk mengendalikan ansietasnya. Secara bertahap, karena
efisiensinyadalam mengurangi dorongan sekunder yang menyakitkan
(ansietas), strategi penghindaran menjadi terfiksasi seperti pola perilaku
kompulsif yang dipelajari, teori pembelajaran memberikan konsep yang
berguna untuk menjelaskan aspek tertentufenomena obsesif-kompulsif-

41
contohnya, gagasan yang mampu mencetuskan ansietas tidak harus
menakutkan dengan sendirinya dan pembentukan pola perilaku
kompulsif. 1,14
4. Faktor Psikososial
- Faktor kepribadian
OCD berbeda dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif.
Sebagian besar orang dengan OCD tidak memiliki gelaja kompulsif
pramorbid dan ciri kepribadian seperti itu tidak perlu atau tidak
cukup untuk menimbulkan OCD. Hanya sekitar 15 sampai 35 persen
pasien OCD memiliki ciri obsesional pramorbid. 1
- Faktor psikodinamik
Sigmund freud menganggap terdapat kemunduran defensif dalam
menghadapi dorongan oedipus yang mencetuskan ansietas. Ia
mendalilakn bahwa pasien dengan neurosis obsesif-kompulsif
mengalami regresi perkembangan psikoseksual ke fase anal. 1,
- Faktor psikodinamik lain
Ambivalensi
Pasien dengan OCD sering secara sadar mengalami cinta dan benci
pda satu objek. Konflik emosi yang ebrlawanan ini terlihat pada pola
perilaku melakukan dan tidak melakukan pola perilaku dan di dalam
keraguan yang melumpuhkan dalam menghadapi pilihan. 1
Pikiran Magis
Banyak pasien dengan OCD yakin bahwa hanya dengan memikirkan
suatu peristiwa di dunia eksternal, emerka dapat menyebabkan suatu
peristiwa terjadi tanpa fisik perantara. Perasaan ini emmebuat
mereka takut memiliki pikiran agresif. 1

d. Faktor Resiko
Individu yang beresiko mengalami gangguan obsesif-kompulsif adalah;
- Individu yang mengalami permasalahan dalam keluarga dari broken
home, kesalahan atau kehilangan masa kanak-kanaknya. (teori ini
masih dianggap lemah namun masih dapat diperhitungkan). 1

42
- Faktor neurobilogi dapat berupa kerusakan pada lobus frontalis, ganglia
basalis dan singulum.
- Individu yang memilki intensitas stress yang tinggi
- Riwayat gangguan kecemasan
- Depresi
- Individu yang mengalami gangguan seksual

e. Patofisiologis13,14
Dari faktor psikososial, faktor kepribadian, Bulan memiliki gangguan
kepribadian yaitu gangguan kepribadian anankastik dengan ciri utama
perfeksionisme dan keteraturan (ketertiban, kerapian)”Dari buku ilmu
kedokteran jiwa edisi 2, Willy F. Maramis, airlangga university press
surabaya 2009”. Gangguan ini sangat dipengaruhi oleh pola asuh atau
pola didik orang tua Bulan yang sangat menekankan ketelitian, kerapian,
serta disiplin yang kaku. Sehingga dengan gangguan kepribadian
anankastik Bulan memiliki faktor risiko terjadinya gangguan obsesif-
kompulsif. Dalam perkembangannya, Bulan yang memiliki gangguan
obsesif-kompulsif mampu mengatasi masalah/stres dengan mekanisme
pertahanan isolasi, meruntuhkan (undoing), dan pembentukan reaksi”dari
buku sinopnis psikiatri kapplan”. Ketika Bulan tidak bisa menghadapi
stres dengan mekanisme pertahanan isolasi dan undoing, maka mekanisme
selanjutnya pembentukan reaksi. Pada pembentukan reaksi akan terbentuk
sifat karakter Bulan dalam menghadapi masalah. Sifat karakter yang
terbentuk adalah pikiran obsesif yang membuat Bulan menjadi cemas dan
mendorong untuk terus menelpon orang tuanya sebagai tindakan
kompulsif. Akan tetapi tindakan kompulsifnya tidak bisa sepenuhnya
menghilangkan kecemasannya. Karena pikiran obsesif tetap timbul secara
berulang-ulang. Menurut hipotesis, kecemasan pada gangguan obsesif-
kompulsif terjadi akibat adanya disregulasi serotonin. Secara fisiologi,
orang normal yang sedang stres akan mengalami kecemasan. Kecemasan
adalah sinyal yang menyadarkan; memperingatkan adanya bahaya yang
mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk

43
mengatasi ancaman. Kecemasan mempengaruhi sistem saraf simpatik yang
menimbulkan gejala otonomik : hipertensi, palpitasi, ketegangan,
takikardi, hiperrefleksi. Gejala ini pada dasarnya mempersiapkan tubuh
melakukan tindakan untuk mengatasi ancaman. Mekanisme inilah yang
mempengaruhi tindakan Bulan mencarter mobil rental untuk langsung
mudik dan memastikan keadaan ayahnya.

Diagnosis Banding

f. Diagnosis Banding
- Gangguan Tourette
Gejala khas gangguan tourette adalah tik motorik dan vokal yang sering
terjadi bahkan setiap hari. Gangguan tourette dan OCD memiliki awitan
dan gejala yang serupa. Sekitar 90 persen orang dengan gangguan
tourette memiliki gejala kompulsif dan sebnayak dua pertiga memenuhi
kriteria diagnostik OCD.
- Keadaan psikiatri lain
Perimbangan psikiatri utama di dalam diagnosis bandig OCD adalah
skizofrenia, agnguan kepribadian obsesif kompulsif, fobia, dan
gangguan depresif.
OCD biasanya dibedakan dengan skizofrenia yaitu tidak adanya gejala
skizofrenik lain, sifat gejala yang kurang bizar, dan tilikan pasien
terhadap gangguannya. Gangguan obsesif kompulsif tidak memiliki
derajat hendaya fungsional yang terkait OCD. Fobia dibedakan yaitu
tidak adanya hubungan antara pikiran obsesifdan kompulsi. Gangguan
depresif berat kadang-kadang dapat disertai gagasan obsesif tetapi
pasien yang hanya dengan OCD gagal emmenuhi kriteria dagnostik
gangguan depresif berat.
g. Diagnosis
Diagnosis Obsesif Kompulsif berdasarkan PPDGJ III ditegakan
berdasarkan: 10

44
- Untuk emnegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan
kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama
sedikitnya dua minggu berturut-turut.
- Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu
aktivitas penderita.
- Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
a) harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
b) sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil
dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh
penderita
c) pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan
hal yang memebri kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega
dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai esenangan
seperti dimaksud diatas)
d) gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive)
- Ada kaitan erat antara gelaja obsesif, terutama pikiran obsesif dengan
depresi. Penderita gangguan obsesif-kompulsif seringkali juga
menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan
depresi berulang (F33.-) dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif
selama episode depresifnya.
- Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau
menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara pararel dengan
perubahan gejala obsesif.
- Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis
diutamakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
- Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada
gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.
- Bila dar keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik
menganggap depresi sebagai diagnosis yang primer. Pada gangguan
menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan
saat gejala-gejala lain menghilang.

45
- Gejala obsesif “sekunder”yang terjadi pada gangguan skizofrenia,
sindrom tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap
sebagai bagian dari kondisi tersebut.

h. Gambaran Klinis
Obsesi dan kompulsi emiliki ciri tertentu yang sama: suatu gagasan
atau impuls masuk kedalam kesadaran seseorang secara menetap dan
paksa. Perasaan takut dan cemas menyertai manifestasi utama dan sering
menyebabkan orang mengambil tindakan balasan terhadap gagasan atau
impuls awal. Obsesi atau kompulsi merupakan ego alien; yaitu dirasakan
sebagai sesuatu yang asing bagi pengalaman diri sebagai makhluk
psikologis. Tidak peduli sedemikian kuat dan memaksanya obsesi atau
kompulsi, orang tersebut biasanya mengenalinya sebagai sesuatu yang
aneh dan tidak rasional. Orang yang menderita karena obsesi dan kompulsi
biasanya meraksakan keinginan yang kua untuk menahannya. 1
i. Pola Gejala
Tampilan obsesi dan kompulsi heterogen pada orang dewasa dan
anak serta remaja. Gejala seorang pasien dapat tumpang tindih dan
berubah seiring waktu tetapi OCD memiliki empat pola gejala utama. 1,12,13
1. Kontaminasi
Pola yang paling lazim ditemukan adalah obsesi terhadap kontaminasi,
diikuti kegiatan mencuci atau disertai penghindaran kompulsif objek
yang disuga terkontaminasi. Objek yang ditakuti sering sulit dihindari
(contohnya feses, urin, debu atau kuman). Pasien mungkin mengelupas
kulit tangan dengan mencuci tangan secara berlebihan atau mungkin
tidak mampu meninggalkan rumah karena takut kuman. Walaupun
ansietas adalah respon utama yang lazim terhaap objek yang ditakuti,
rasa malu dan jijik obsesif juga lazim. Pasien dengan obsesi
kontaminasi biasanya yakin bahwa kontaminasi disebarkan dari objek
ke objek atau dari orang ke orang bahkan melalui kontak terkecil.
2. Keraguan Patologis

46
Pola gejala yang paling lazim kedua adalah suatu obsesi keraguan,
diikuti kompulsi memeriksa. Obsesi ini sering melibatkan suatu bahaya
kekerasan (seperti lupa mematikan kompor atau tidak megunci pintu).
Sebagai contoh, pemeriksaan ini dapat berupa bolak-balik ke rumah
untuk memeriksa kompor. Pasien memiliki obsesi keraguan akan diri
sendiri dan selalu merasa bersalah kerana lupa melakukan sesuatu.
3. Pikiran yang mengganggu
Pola gejala yang paling lazim ketiga adanya pikiran obsesif yang
mengganggu tanpa suatu kompulsi. Obsesi seperti itu biasanya
merupakan pikiran berulang mengenai tindakan seksual atau agresif
yang tercela bagi pasien. Pasien yang terobsesi dengan pikiran tindakan
agresif atau seksual dapat melaporkan dirinya sendiri ke polisi atau
mengaku kepada pendeta.
4. Simetri
Pola gejala yang paling lazim keempat adalah kebutuhan akan simetri
atau ketepatan yang dapat menyebabkan kompulsi mengenai
kelambatan. Pasien dapat memakan waktu berjam-jam untuk makan
atau mencukur wajahnya.
5. Pola gejala lain
Obsesi religius dan kompulsi menumpuk sesuatu lazim ditemukan pada
pasien dengan OCD. Trikotilomania (kompulsi menarik-narik rambut)
dan menggigit-gigit kuku dapat merupakan kompulsi yang terkait
dengan OCD.

j. Tatalakasana
1. Farmakoterapi
a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
SSRI seperti fluoxetine (Prozac), sitalopram (Celexa), escitalopram
(Lexapro), fluvoxamin (Luvox), paroksetin (Paxil), sertralin (Zoloft),
telah disetujui U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk
terapi OCD. Dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk memberikan
efek yang menguntungkan, seperti fluoxetine 80 mg per hari.

47
Walaupun SSRI dapat menyebabkan gangguan tidur, mual dan diare,
sakit kepala, ansietas, dan kegelisahan, efek samping ini sering
sementara dan umumnya tidak terlalu menyulitkan daripada efek
samping obat trisiklik, seperti clomipramine (Anafranil). Hasil klinis
terbaik didapatkan ketika SSRI dikombinasikan dengan terapi
perilaku. 1,12
b. Clomipramine
Clomipramine adalah obat pertama yang disetujui U.S. FDA untuk
terapi OCD. Penggunaan dosisnya harus dititrasi meningkat selama 2
hingga 3 minggu untuk menghindari efek samping gastrointestinal
dan hipotensi ortostatik serta, seperti obat trisiklik lainnya, obat ini
menimbulkan sedasi dan efek antikolinergik yang bermakna,
termasuk mulut kering dan konstipasi. Seperti SSRI, hasil terbaik
berasal dari kombinasi obat dengan terapi perilaku. 1
c. Obat Lain
Jika terapi dengan clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak
terapis memperkuat obat pertama dengan penambahan valproat
(Depakene), litium (Eskalith), atau karbamazepin (Tegretol). Obat
lain yang dapat dicoba di dalam terapi OCD adalah venlafaksin
(Effexor), pindolol (Visken), dan MAOI, khususnya fenelzin
(Nardil). Agen farmakologis lain untuk terapi pasien yang tidak
responsif mencakup buspiron (BusPar), 5-hidroksitriptamin (5-HT),
L-triptofan, dan klonazepam (Klonopin). 1

2. Terapi perilaku
Terapi tingkah laku untuk gangguan obsesif – kompulsif meliputi
paparan dan pencegahan ritual. Pada terapi ini pasien dipaparkan
dengan stimuli yang memprovokasi obsesinya misalnya dengan
menyentuh objek yang terkontaminasi dan juga pasien ditahan untuk
tidak kompulsi misalnya menunda mencuci tangan. 1
Terapi tingkah laku ini dimulai dengan pasien membuat daftar
tentang obsesinya kemudian diatur sesuai hierarki mulai dari yang

48
kurang membuat cemas sampai yang paling membuat cemas. Dengan
melakukan paparan berulang terhadap stimulus diharapkan akan
menghasilkan kecemasan yang minimal karena adanya habituasi. 12
a. Intervensi kognisi dengan pemikiran yang positif dan penerimaan
diri apa adanya secara terus menerus12
b. Konfrontir pikiran dengan kenyataan sesungguhnya secara terus
menerus hingga munculnya kemampuan adaptasi yang lebih baik
dan penerimaan diri sepenuhnya. Dukungan orang terdekat dan
keluarga dibutuhkan dalam masa terapi. 12
3. Psikoterapi
Psikoterapi suportif secara pasti memiliki tempat, terutama pada
pasien OCD yang walaupun gejalanya memiliki keparahan yang
beragam, mampu bekerja dan melakukan penyesuaian sosial. Dengan
kontak regular dan terus-menerus dengan orang yang profesional,
tertarik, simpatik, dan memberi semangat, pasien mungkin mampu
berfungsi dengan bantuan ini, yang tanpanya, gejala tersebut dapat
menjadikan mereka lemah. Setiap upaya psikoterapi harus mencakup
perhatian keluarga melalui pemberian dukungan meosional,
penenangan, penjelasan, dan saran untuk mengatur dan berespons
kepada pasien. 12
4. Terapi lain
Terapi keluarga sering berguna dalam mendukung keluarga,
membantu mengurangi perpecahan perkawinan akibat gangguan ini,
dan membangun hubungan kerjasama terapi dengan anggota keluarga
untuk kebaikan pasien. Terapi kelompok berguna sebagai sistem
dukungan untuk sejumlah pasien.
Untuk kasus yang ekstrem pada pasien yang sangat resisten
terhadap terapi, dapat dipertimbangkan terapi elektrokonvulsif dan
psychosurgery. 1,12

49
k. Prognosis
Sekitar 20 – 30% pasien menunjukkan perubahan gejala yang
signifikan. 40 – 50% menunjukkan perubahan sedang, sedangkan
sekitar 20 – 40% tetap terganggu bahkan bertambah parah.
Beberapa kondisi yang dapat memperburuk prognosis gangguan obsesif
– kompulsif adalah apabila pasien tidak mampu menahan dorongan
kompulsi, onset pada masa kecil, kompulsi yang aneh atau kacau,
pasien rawat inap disertai gangguan depresi berat, keyakinan delusional
atau gangguan skizotipal, tidak respon atau menolak terapi yang
dianjurkan. Prognosis pasien dinyatakan baik apabila kehidupan sosial
dan pekerjaan baik, adanya stressor dan gejala yang bersifat
periodik.1,13

l. Komplikasi
Kira-kira 20 sampai 30 persen pasien dengan gangguan obsesif-
kompulsif memiliki gangguan depresif berat, dan bunuh diri adalah
risiko bagi semua pasien dengan gangguan obsesif kompulsif.4,7

2.5 Gangguan Stres Pascatrauma dan gangguan Streas Akut


a. Definisi
Pasien yang diklasifikasikan sebagai menderita gangguan stres
pascatraumatik, adalah mereka yang mengalami suatu setres emosional
yang besar yang dapat memberikan rasa traumatik bagi hampir setiap
orang. Trauma tersebut termasuk trauma peperangan, bencana alam,
pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh, kecelakaan
mobil, dan kebakaran gedung). 1,14
Gangguan stres pascatraumatik terdiri dari:

1. Pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang


membangunkan (waking thought)
2. Penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan
penumpulan responsivitas pada penderita tersebut

50
3. Kesadaran berlebihan (hyperaeousal) yang persisten
Gejala pernyerta yang sering dari gangguan stres pascatraumatik
adalah depresi, kecemasan, dan kesulitan kognitif (contoh, pemusatan
perhatian yang buruk). Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder edisi keempat (DSM-IV), lama gejala minimal untuk
gangguan stres pascatraumatik adalah satu bulan. Diagnosis gangguan
stres akut dapat ditegakkan bagi pasien dengan gejala yang terjadi dalam
empat minggu peristiwa traumatik dan pada mereka yang gejalanya
berlangsung selama dua hari sampai empat minggu. 1,13,14
b. Epidemiologi
Prevelensi gangguan stres pascatraumatik diperkirakan dari 1-3%
populasi umum, walaupun ada yang mengatakan bahwa 5-15% mungkin
mengalami bentuk gangguan yang subklinis. Di antara kelompok resiko
tinggi yang merupakan anggota mengalami peristiwa traumatik angka
pravelensi seumur hidup terentang dari 5-75%. Kira-kira 30% veteran
Vietnam mengalami gangguan stres pascatraumatik, dan tambahan 25%
mengalami bentuk gangguan subklinis.1
Walaupun gangguan stres pascatraumatik dapat tampak pada setiap
usia, gangguan ini paling menonjo pada dewasa muda, karena sifat situasi
yang mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stres
pascatraumatik. Trauma untuk laki-laki biasanya mengalaman peperangan,
dan trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau
pemerkosaan. Gangguan ini beresiko terjadi pada mereka yang sendirian,
bercerai, janda, mengalami gangguan ekonomi, atau menarik diri secara
sosial. 1

c. Etiologi
1. Stresor
Stresor adalah faktor penyebab utama dalam gangguan stres
pascatraumatik. Tetapi tidak setiap orang mengalami gangguan stres
pascatraumatik setelah suatu peristiwa traumatik; walaupun stresor
adalah diperlakukan, stresor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan.

51
Klinisi harus mempertimbangkan juga faktor biologis individu yang
telah ada sebelumnya. Faktor psikososial sebelumnya, dan peristiwa
yang terjadi setelah trauma. Penelitian terakhir pada gangguan
stres pascatraumatik telah sangat menekankan pada respons subjektif
seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri.
Walaupun gejala gangguan stres pascatraumatik pernah dianggap secara
langsung sebanding dengan beratnya stresor, penelitian empiris telah
membuktikan sebaliknya. Sebagai akibatnya konsensus yang tumbuh
adalah bahwa gangguan memiliki pengaruh pada arti subjektif stresor
bagi pasien. 1
Bahkan jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian besar
orang tidak mengalami gejala gangguan stres pascatraumatik. Demikian
juga, peristiwa yang mungkin tampaknya biasa atau kurang berbahaya
bagi kebanyakan orang mungkin menyebabkan gangguan stres
pascatraumatik pada beberapa orang karena arti subjektif dari peristiwa
tersebut. 1
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi yang tampaknya
memainkan peranan penting dakan nenentukan apakah gangguan
berkembang adalah:
1. Adanya trauma masa anak-anak
2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependenm atau
antisosial
3. Sistem pendukung yang tidak adekuat
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi
6. Persepsi lokus kontrol eksternal,bukannya internal
7. Penggunaan alkohol yang baru
Orang yang selamat dari trauma biasanya tidak dapat
menggunakan keadaan emosioanal internal sebagai tanda dan mungkin
mengalami gejala psikosomatik. Mereka juga tidak mampu
menenangkan dirinya jika di dalam stres. Penelitian psikodinamika
menemukan aleksitimia (ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau

52
mengungkapkan keadaan perasaan) pada orang yang dapat bertahan
hidup dari suatu trauma psikis yang parah. 1

2. Faktor psikodinamika
Model kiognitif dari gangguan stres pascatraumatik menyatakan bahwa
orang yang terkena adalah tidak mampu untuk memproses atau
merasionalisasikaan trauma yang mencetuskan gangguan. Mereka terus
mengalami stres dan berusaha untuk tidak mengalami kembali stres
dengan teknik menghindari. Model perilaku dari gangguan memiliki
dua fase dalam perkembangannya: 1
 Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah
dipasangkan, melalui pembiasaan klasik, dengan stimulus yang di
biasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma).
 Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengembangkan
pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun
stimulus yang tidak dibiasakan.
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa
trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam
dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-anak
menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan repsi,
penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan
dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan.
Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan
perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan.
Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu
pandangan kognitif tentang gangguan stres pascatraumatik adalah
bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang
dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat
peristiwa secara berganti-ganti. 1

3. Faktor Biologis

53
Teori biologis tentang gangguan stres pascatraumatik telah
dikembangkan dari penelirian praklinik dari model stres pada binatang
dan dari pengukuran variabel biologis dari populasi klinis dengan
gangguan stres pascatraumatik. Banyak sistem neurotransmiter telah
dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada
binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkit, dan tentang
norepinefrin, dopamin, opiat endogen, dan reseptor benzodiazepine dan
sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal.
Temuan biologis utama lainya adalah peningkatan aktivitas dan
responssivitas sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, dan tidur yang
abnormal. 1

d. Diagnosis
Penegakan diagnosis gangguan stres pascatraumatik menurut
DSM-IV adalah sebagai berikut : 1
Kriteria Diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut
ini terdapat:
1) Orang yang mengalami, menyaksikan, dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya
atau cedera yang serius, atau ancaman pada integritas fisik diri sendiri atau
orang lain.
2) Respons orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau
horor. Catatan : pada anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang
kacau atau teragitasi.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara
berikut:
1) Rekoleksi yang berupa derita, rekuren, dan mengganggu tentang bayangan,
kejadian, pikiran dan persepsi. Catatan pada anak kecil, dapat dilihat dari
permainan berulang dengan tema atau aspek trauma.
2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan : pada anak
mungkin terdapat mimpi menakutkan yang tanpa isi yang dapat dikenali.

54
3) Berkelakuan seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.
4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian
traumatik.
5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku
karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang
ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma.
2) Usaha untung menghindari tempat, aktivitas, atau orang yang menyadarkan
rekoleksi dengan trauma.
3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna
5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain
6) Rentang afek yang terbatas (misalnya tidak mampu memiliki rasa cinta)
7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misal tidka berharap memiliki
karir, menikah, atau panjang jehidupan yang normal)
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
trauma), seperti yang ditujukan oleh dua (atau lebih) berikut:
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3) Sulit berkonsentrasi
4) Kewaspadaan berlebihan
5) Respons kejut yang berlebihan
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria B, C, dan D) adalah lebih dari satu bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
Sebutkan akut jika lama gejala kurang dari 3 bulan dan kronis jika 3 bulan atau lebih.
Sebutkan juga bila dengan onset lambat yaitu onset gejalanya sekurangnya enam
bulan setelah stresor.

Penegakan diagnosis gangguan stres pascatraumatik menurut PPDGJ III


adalah sebagai berikut : 10

55
F 43.1 Gangguan Stres Pasca-trauma
 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa
minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi
klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kambali
(flashback).
 Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
 Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori
F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami
katastrofa).

Penegakan diagnosis gangguan stres akut menurut DSM-IV adalah sebagai


berikut : 1
Kriteria Diagnosis Gangguan Stres Akut
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini ditemukan:
1) Orang yang mengalami, menyaksikan, dihadapkan dengan suatu kejadian
atau kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman pada integritas fisik
diri sendiri atau orang lain.
2) Respons orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya,
atau horor.
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang
menakutkan, individu memiliki 3 (atau lebih) gejala disosiatif berikut:
1) Perasaan subjektif, kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi
2) Penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya

56
3) Derealisasi
4) Amnesia disosiatif (ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting
dari trauma
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam sekurangnya satu
cara berikut : bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang
rekuren, atau perasaan hidupnya kembali pengalaman, atau penderitaan saat
terpapar dengan pengingat kejadian traumatik.
D. Penghindaran jelas terhadap stimulasi yang menyadarkan rekoleksi trauma
(pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
E. Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran (sulit tidur,
iritabilitas, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, dan kegelisahan
motorik)
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain,
mengganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang
diperlukan, seperti meminta bantuan atau menggerakkan kemampuan pribadi
dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman
traumatik.
G. Gangguan berlangsung minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi
dalam 4 minggu setelah kejadian traumatik.
H. Tidak karena eferk fisiologis langsung dari suatu zat (obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan psikotik singkat, dan tidak semata-mata
eksaserbasi gangguan aksis I atau aksis II yang telah ada sebelumnya.

Penegakan diagnosis gangguan stres akut menurut PPDGJ III adalah sebagai
berikut : 10
F 43.0 Reaksi Stres Akut
 Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman
stresor luar biasa (fisik atau mental) dengan onsel dari gejala, biasanya setelah
beberapa menit atau segera setelah kejadian.
 Selain itu ditemukan gejala-gejala :
a) Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah, selain
gejala permulaan berupa keadaan “terpaku” (daze), semua hal berikut dapat

57
terlihat: depresi, anxietas, kemarahan, kecewa, overaktif, dan penarikan
diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran
klinisnya untuk waktu yang lama.
b) Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkungan stressornya, gejala-
gejala dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal
dimana stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-
gejala biasanya baru mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hampir
menghilang setelah 3 hari.
 Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuh mendadak dari
gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukan gangguan psikiatri
lainnya.
 Kerentanan individual dan kemamouan menyesuaikan diri memegang peranan
dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.

e. Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stres
pascatraumatik adalah kemungkinan pasien mengalami cedera kepala.
Pertimbangan organik lain seperti epilepsi, gangguan penggunaan alkohol,
dan gangguan yang berhubungan dengan zat lainya. 1
Pada umumnya gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan
dengan gangguan mental lain dengan mewawancarai pasien. Gangguan
kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan, dan berpura-
pura juga harus dipertimbangkan. 6

f. Terapi
Terapi pada pasien gangguan stres pascatraumatik terbagi menjadi
farmakoterapi dan psikoterapi. 1,12
a. Farmakoterapi
Pada beberapa penelitian, Imipramine (tofranil) dan amitriptyline
(elavil) dinyatakan efektif diberikan pada pasien dengan gangguan stres
pascatrauma. Dosis yang digunakan sama dengan dosis yang diberikan

58
pada pasien depresi dan lama minimal uji coba adequat adalah 8
minggu. Pasien yang berespon baik kemungkinan harus meneruskan
farmakoterapi selama sekurang-kurangnya 1 tahun sebelum akhirnya
pemakaian obat dihentikan. 1,12
Obat lain yang bisa digunakan adalah SSRI, MAOI, dan
antikonvulsan. Clonidine dan propanolol dianjurkan apabila merujuk
pada teori hipereaktivitas noradenergik pada gangguan ini. 1,12
b. Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa
pasien ketakutan akan pengalaman ulang trauma. Intervensi
psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah terapi
perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis.sifat jangkapendek dari psikotrapi
menekan risiko ketergantungan dan kronisitas.1,7
Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti suatu
model intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan, dan
perkembangan mekanisme mengatasi dan m\penerimaan peristiwa. Jika
gangguan stres pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan
psikotraumatik utama dapat diambil :
1. Pemaparan dengan peristiwa traumatik melalui teknik
pembayangan atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat,
seperti pada desensitisasi sistematik.
2. Mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan stres, termasuk teknik
relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi stres.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi
keluarga telah dilaporkan efektif. Keuntunganya yaitu berbagai
pengalaman traumatik mendapatkan dukungan dari anggota kelompok
lain. 1,13

2.6 Gangguan Anxietas Menyeluruh

a. Definisi
Adalah ansietas dan kekhawatiran yang berlebihan mengenai beberapa
peristiwa atau aktivitas hampir sepanjang hari selama sedikitnya 6 bulan.

59
Kekhawatiran ini sulit dikendalikan dan berkaitan dengan gejala somatik
seperti otot tegang, iritabilitas, sulit tidur dan gelisah. Ansietas ini sulit
dikendalikan, secara subjektif menimbulkan penderitaan, dan
mengakibatkan hendaya pada area penting kehiidupan seseorang. 1,5
b. Epidemiologi
Gangguan cemas menyeluruh merupakan gangguan anxietas yang
paling sering dijumpai, diklinik, diperkirakan 12 % dari seluruh gangguan
anxietas. Prevalensinya di masyarakat diperkirakan 3 %, dan prevelansi
seumur hidup (life time) rata-rata 5 %. Di Indonesia prevalensinya secara
pasti belum diketahui, namun diperkirakan 2% -5%. Gangguan ini lebih
sering dijumpai pada wanita dengan ratio 2 : 1, namun yang datang
meminta pengobatan rationya kurang lebih sama atau 1 :1 antara laki-laki
dan wanita.8

c. Etiologi
1. Faktor biologis
Efektivitas terapeutik benzodiazepine dan azaspirin-contohnya
buspiron- telah memfokuskan upaya riset biologis yang mana diketahui
mengurangi ansietas sedangkan flumazenile (antagonist reseptor
benzodiazepine)diketahui mencetuskan ansietas. 4
2. Faktor psikososial
Menurut kelompok perilaku –kognitif, pasien dengan gangguan
ansietas menyeluruh memberikan respon pada hal-hal yang secara tidak
benar dan tidak akurat dianggap sebagai bahaya. Ketidakakuratan ini
ditimbulkan melalui perhatian selektif terhadap hal kecil negatif di
lingkungan dengan distorsi pemprosesan informasi dan pandangan yang
sangat negatif terhadap kemampuan beradaptasi diri sendiri. Kelompok
psikoanalitik mengemukakakan bahwa ansietas adalah gejala konflik
yang tidak disadari dan tidak terselesaikan. 4,6
d. Diagnosis
Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (DSM-IV halaman 435,
300.02) ditegakkan bila terdapat kecemasan kronis yang lebih berat

60
(berlangsung lebih dari 6 bulan; biasanya tahunan dengan gejala
bertambah dan kondisi melemah) dan termasuk gejala seperti respons
otonom (palpitasi, diare, ekstremitas lembab, berkeringat, sering buang air
kecil), insomnia, sulit berkonsentrasi, rasa lelah, sering menarik nafas,
gemetaran, waspada berlebihan, atau takut akan sesuatu yang akan terjadi.
Ada kecenderungan diturunkan dalam keluarga, memiliki komponen
genetik yang sedang dan dihubungkan dengan fobia sosial dan sederhana
serta depresi mayor (terdapat pada 40% atau lebih pasien; meningkatkan
resiko bunuh diri. Biasanya pada kondisi ini tidak`ditemukan etiologi stres
yang jelas, tetapi harus dicari penyebabnya.4,7
Diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III
ditegakkan berdasarkan : 10
 Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai
beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada
keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau
“mengambang”).
 Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
o Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di
ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dsb)
o Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran,
tidak dapat santai); dan
o Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat,
jantung berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung,
pusing kepala, mulut kering, dsb)
 Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk
beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis
utama Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak
memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F.32.-),
gangguan anxietas fobik (F.40.-), gangguan panik (F42.0), atau
gangguan obsesif-kompulsif (F.42.-).7

61
e. Gambaran klinis
Gejala utama gangguan ansietas menyeluruh adalah ketegangan motorik,
hiperaktivitas otonom, dan kesiagaan kognitif. Ansietasnya berlebihan dan
mengganggu aspek kehidupan lain, ketegangan motorik paling sering
tampak sebagai gemetar, gelisah, dan sakit kepala. 1,6

f. Diagnosis Banding
Diagnosis banding gangguan ansietas menyeluruh mencakup semua
gangguan medis yang dapat menyebabkan ansietas. Pemeriksaan medis
harus mencakup uji kimia darah standar, elektrokardiogram, dan uji fungsi
tiroid. Klinisi harus menyingkirkan adanya intoksikasi kafein,
penyalahgunaan stimulan. 1,7,4

g. Tatalaksana1,12
1. Psikoterapi
Pendekatan psikoterapeutik utama gangguan ansietas
menyeluruh adalah terapi perilaku- kognitif, suportif, dan psikoterapi
berorientasi tilikan.
2. Farmakoterapi
- Benzodiazepine
Benzodiazepine merupakan obat pilihan untuk ansietas
menyeluruh. Obat ini diresepkan bila perlu sehingga pasien
mengonsumsi benzodiazepine kerja cepat saat mereka terutama
merasa cemas.
- Buspiron
Buspiron lebih efektif mengurangi gejala kognitif pada gangguan
ansietas menyeluruh dibandingkan mengurangi gejala somatik.
Buspiron bukanlah terapi efektif untuk putus benzodiazepine.
- Venlafaksin
Efektif untuk mengurangi insomnia, konsentrasi yang buruk,
iritabilitas, dan ketegangan otot yang berlebihan.
- SSRI

62
Efekif terutama untuk pasien dengan komorbid depresi.
- Obat lain
Jika terapi konvensional tdak efektif atau tidak seluruhnya efektif,
kemudian diindikasikan pengkajian ulang klinis untuk
menyingkirkan adanya keadaan komorbid seperti depresi atau
untuk memahami lebih jauh stres lingkungan pasien. Obat lain
yang telah terbukti berguna untuk gangguan ansietas menyeluruh
adalah golongan trisiklik dan tetrasiklik.

2.7 Gangguan Anxietas Akibat Keadaan Medis Umum


a. Definisi
Banyak gangguan medis dikaitkan dengan ansietas. Gejala dapat
mencakup serangan panik, ansietas menyeluruh, obsesi dan kompulsif,
serta tanda distres lain. Pada semua kasus, tanda dan gejala disebabkan
efek fisiologis langsung keadaan medis. 1
b. Epidemiologi
Keberadaan gejala ansietas yang ebrkaitan dengan keadaan medis
umum lazim ditemukan walaupun insiden gangguan ini bervariasi untuk
setiap keadaan medis umum yang spesifik. 1
c. Etiologi
Suatu kisaran luas keadaan medis dapat menyebabkan gejala yang
serpa dengan gangguan ansietas. Hipertiroidisme, hipotiroidisme,
hipoparatiroidisme, dan defisiensi vitamin B12 sering dikaitkan dnegan
gejala ansietas. Feokromositoma menghasilkan epinefrin, yang dapat
menyebabkan episode paroksimal geala ansietas. Lesi tertentu pada otak
dan kondisi pascaensefalitis dilaporkan menghasilkan gejala yang identik
dengan gejala yang terlihat pda gangguan obsesif kompulsif. Keadaan
medis lain, seperti aritmia jantung, dapat menghasilkan gejala fisiologis
gangguan panik. Hipoglikemia juga dapat meneyrupai gejala gangguan
ansietas. Keadaan medis yang beragam dan dapat menimbulkan gejala
gangguan ansietas dapat menimbulkannya melalui mekanisme yang

63
umum, yaitu sistem noradrenergik, walaupun efek terhadap sistem
serotonergik juga masih dipelajari. 1

d. Diagnosis 1
Kriteria diagnosis DSM-IV TR gangguan ansietas akibatan keadaan medis
umum
a. Ansietas, serangan panik, atau obsesi maupun kompulsi menonjol dan
mendominasi gambaran klinis
b. Terdapat bukti dari anamnesis, epemriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa gangguan ini merupakan akibat fisiologis langsung
suatu keadaan medis umum.
c. Gangguan ini tidak lebih mungkin disebabkan gangguan jiwa lain
(contoh: ganguan penyesuaian dengan ansietas yang stresornya adalah
keadaan medis umum yang serius)
d. Gangguan ini tidak hanya terjadi saat delirium
e. Ganggan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna
atau hendaya dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi
penting lain.

e. Gambaran Klinis
Gangguan ansietas akibatan ganggua keadaan medis umum dapat
identik dengan gejala gangguan anisietas primer. Suatu sindrom yang
surupa dnegan gangguan panik adalah gambaran klinis yag paling lazim.
Pasien yang memiliki kardiomiopati dapat memiliki insiden paling tinggi
untuk gangguan panik akibat keadaan medis umum. Gangguan medis
lain yang dikaitkan dengan gangguan panik mencakup nyeri kronisw,
sirosis bilier primer, dan epilepsi, terutama jika fokusnya berada pada
girus parahipokampus kanan. 1

f. Diagnosis Banding
Ansietas sebagai suatu gejala dapat disebabkan oleh banyak
gangguan psikiatri disamping gangguan ansietas itu sendiri. Untuk

64
memastikan suatu keadaan medis umum sebagai penyebab ansietas,
klinisi harus tahu apakah keadaan medis dan gejala ansietas berkaitan
erat didalam literatur, awitan usia (gangguan ansietas primer biasanya
memiliki awitan sebelum usia 35 tahun), dan riwayat keluarga pasien
dengan gangguan ansietas dan keadaan medis umum yang relevan
(contohnya hipertiroidisme). Diagnosis gangguan penyesuaian dengan
ansietas juga ahrs dipertimbangkan di dalam diagnosis banding.
g. Tatalaksana
Terapi utama gangguan ansietas akibat keadaan medis umuma
adalah terapi untuk keadaan medis yang mendasari. Jika pasien juga
memiliki gangguan pengguanaan alkohol atau zat lain, gangguan ini juga
harus diterapi untuk memperoleh kendali gejala gangguan ansietas, terapi
gejala tersebut harus mengikuti pedoman terapi untuk gangguan jiwa
spesifik. Umumnya, teknik modiikasi perilaku, agen ansiolitik, dan anti
depresan serotonergik merupakan modalitas terapi yang paling efektif. 1

2.8 Gangguan Ansietas yang Dicetuskan Zat


a. Definisi
DSM-IV-TR mencakup gangguan jiwa yang dicetuskan zat di
dalam kategori sindrom gangguan jia yang relevan. Dengan demikian,
gangguan ansietas yang dicetuskan zat terkandung didalam kategori
gangguan ansietas. 1
b. Epidemiologi
Gangguan ansietas yang dicetuskan zat lazim ditemukan, baik
akibat konsumsi zat yang disebut sebagai obat rekreasionalmaupun akibat
pengguan obat yang diresepkan. 1
c. Etiologi
Walaupun simpatomimetik (seperti amfetamin, kokain, dan kafein)
merupakan zat yan paling sering dikaitkan dnegan produksi gejala
gangguan ansietas, banyak obat serotonergik (contohnya lysergic acid
diethylamide (LSD) dan methylenedioxymethamphetamine pun kronis
pada pengguna obat ini. Suatu kisaran luas obat yang dieresepkan juga

65
dikaitkan dengan munculnya gejala gangguan ansietas pada orang yang
rentan.

d. Diagnosis1
a. Ansietas, serangan panik, atau obsesi maupun kompulsi menonjol dan
mendominasi gambaran klinis
b. Terdapat bukti dari anamnesis, epemriksaan fisik, atau temuan
laboratorium baik (1) atau (2)
1) Gejala pada kriteria (a) timbul selama, atau dalam 1 bulan sejak
intoksikasi atau putus zat
2) Gangguan obat secara etiologis terkait dengan gangguan ini
c. Gangguan ini tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan ansietas
yang bukan dicetuskan zat.bukti bahwa gejala disebabkan oleh
gangguan ansietas yang bukan dicetuskan zat dapat mencakup hal
berikut: gejala mendahului awitan penggunaan zat (atau penggunaan
obat); gejala bertahan untuk suatu periode waktu tertentu(contoh,
sekitar satu bulan) setelah penghentian zat akut atau intoksikasi berat
atau gejala sangat melebihi yang diharapkan pada jenis maupun jumlah
zat yang digunakan dan durasi penggunaannya; atau terdapat bukti lain
yang mengesankan terdapat ganngguan ansietas yang tidak dicetuskan
zat (contoh , riwayat episode berulang yang tidak dicetuskan zat).
d. Gangguan ini tidak hanya terjadi saat delirium
e. Ganggan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna
atau hendaya dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi
penting lain.

e. Gambaran Klinis
Gambaran klinis terkait pada gangguan ansietas yang dicetuskan
zat bervariasi seusai zqat yang terlibat. Bahkan penggunaan psikostimulan
yang tidak sering dapat menimbulkan gejala gangguan ansietas pada
sejumlah orang. Hal yang juga berkaitan dengan gejala gangguan ansietas

66
adalah hendaya kognitif pemahaman, perhitungan, dan daya ingat. Defisit
kognitif ini biasanya reversibel ketika penggunaan zat dihentikan. 1,7

f. Diagnosis Banding
Diagnosis banding gangguan ansietasbyang dicetuskan zat
mencakup gangguan ansietas primer, gangguan ansietas akibat keadaan
medis umum (untuk keadaan ini mungkin pasien mendapatkan obat yang
terkait), dan gangguan kepribadian dan malingering harus
dipertimbangkan di dalam diagnosis banding. 1

g. Perjalanan Gangguan dan Prognosis


Perjalanan gangguan dan prognosis umunya bergantung pada
penyingkiran zat penyebab yang terlibat serta kemampuan jangka panjang
orang etrsebut untuk membatasi penggunaan obat tersebut. Efek ansiogeni
sebagian besar obat bersifat reversibel. Ketika ansietas tidak membaik
dengan penghentian obat, klinisi harus mempertimbangkan kemungkinan
zat tersebut menyebabkan kerusakan otak irreversibel. 1

h. Terapi
Terapi primer gangguan ansietas yang dicetuskan zat adalah
menyingkirkan zat penyebab yang terlibat. Kemudian klinisi harus
berfokus untuk menemukan terapi alternatif jika zat tersebut merupakan
bat yang diindikasikan secara medis, juga untuk membatsi pajanan pasien
jika zat tersebut didapatkan melalui pajanan lingkungan, atau
menatalaksana gangguan terkait zat yang mendasari jika gejala gangguan
anisetas berlanjut walaupun pengunaan zat telah dihentikan, terapi gejala
gangguan ansietas dengan modalitas psikoterapeutik aatau
farmakoteraupetik mungkin sesuai dengan keadaan ini. 1, 12

2.9 Gangguan Ansietas yang Tidak Tergolongkan


a. Definisi

67
Sejumlah pasien memiliki gejala gangguan ansietas, tetapi tidak
memenuhi kriteria gangguan ansietas DSM –IV-TR yang spesifik atau
gangguan penyesuaian dengan ansietas atau gangguan campuran ansietas
dan mood depresi. Pasien seperti ini paling sesuai jika dikasifikasikan
memiliki gangguan ansietas yang tidak tergolongkan. 1
b. Diagnosis1
Kriteria diagnostik DSM IV-TR Gangguan Ansietas yang Tidak
Tergolongkan
1. Gangguan campuran ansietas depresif, gejala ansieta dan depresif yang
secara klinis bermakna, tetapi tidak mmenuhi kriteria gangguan mood
spesifik atau gangguan ansietas spesifik
2. Gejala fobia sosial yang secara klinis bermakna yang terkait dengan
dampak sosial karena mamiliki keadaan medis umum atau gangguan
jiwa (contoh: penyakit parkinson, penyakit kulit, gagap, anoreksia
nervosa, gangguan dismorfik tubuh)
3. Situasi dengan gangguan yang cukup berat sehingga diperlukan
diagnosis gangguan ansietas, tetapiorang tersebut gagal emlaporkan
cukup gejala guna memenuhi kriteria lengkap gangguan ansietas
spesifik apapun, contohnya orang yang melaporkan smeua gambaran
gangguan panik tanpa agorafobia kecuali bahwa serangan panik
semuanya merupakan serangan yang etrbatas gejala. 1
4. Situasi saat klinisi telah menyimpulkan bahwa terdapat gangguan
ansietas tetapi tida mampu membedakan apakah gangguan tersebut
primer, akibat keadaan medis umum, atau dicetuskan zat. 1
2.10 Gangguan Campuran Ansietas Depresif
a. Definisi
Gangguan ini menggambarkan pasien dengan keadaan gejala
ansietas dan depresif yang tidak memenuhi kriteria diagnostik gangguan
ansietas atau gangguan mood. Kombinasi gejala depresif dan ansietas
menimbulkan hendaya fungsional yang bermakna pada orang yang
mengalami gangguan ini. Keadaan ini terutama dapat banyak ditemukan
di pelayanan primer dan klinik kesehatan jiwa rawat jalan. 1

68
b. Epidemiologi
Dua pertiga pasien dengan gejala depresif meiliki gejala ansietas
yang menonjol dan sepertiganya dapat memenuhi kriteria diagnosis
gangguan panik. Peneliti telah melaporkan bahwa 20 dari 90 persen
pasien dengan gangguan panik memiliki episode gangguan depresif
berat. 1

c. Etiologi 1,7
1. sejumlah peneliti melaporkan temuan neuroendokrin yang serupa pada
gangguan depresif dan gangguan ansietas, terutama gangguan panik,
termasuk menumpulnya respon kortisol terhadap hormon andrenokort,
kotropik, respon hormon pertumbuhan yang tumpul terhadap klonidin
(catapres), dan respin TSH serta prolaktin yang tumpul terhadap TRH.
2. sejumlah peneliti melaporkan sejumalh data menunjukkan bahwa
hiperaktivitas sistem noradrenergik sebagai penyebab relevan pada
sejumlah pasien dengan gangguan depresif dangangguan panik.
3. banyak studi menemukan bahwa obat serotonergik berguna dalam
terapi gangguan depresif dan ansietas.
4. sejumlah studi meghubungkan antara gejala ansietas dan depresi
secara genetik sedikitnya beberapa keluarga.
d. Diagnosis 1,10
a. mood disforik yang berulang atau menetap dan bertahan sedikitnya
satu bulan
b. mood disforik disertai empat (atau lebih) gejala berikut selama
sedikitnya satu bulan:
1) Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran kosong
2) Gangguan tidur (sulit untuk jatuh tidur atau tetap tidur atau
gelisah, tidur tidak cukup)
3) Lelah atau energi rendah
4) Iritabilitas
5) Khawatir

69
6) Mudah menangis
7) Hipervigillance
8) Antisipasi hal terburuk
9) Tidak ada harapan (psimis yang menetap akan masa depan)
10) Harga diri yang rendah atau rasa tidak berharga
c. gejala menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya dalam area fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting
lain.
d. Gejala tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (contoh :
peyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum.
e. Semua hal berikut ini:
1) Kriteria tidak pernah memenuhi gangguan depresif berat, gangguan
distimik, gangguan panik, atau gangguan ansietas menyeluruh
2) Kriteria saat ini tiak memenuhi gangguan mood atau ansietas lain
(termasuk gangguan ansietas atau gangguan mood, dalam remisi
parsial)
3) Gejala tidak lebih mungkin disebabkan gangguan lain.

e. Gambaran Klinis
Gambaran klinis gangguan campuran ansietas depresif
menggabungkan gejala gangguan ansietas dan sejumlah gejala gangguan
depresif. Disamping itu, gejala hiperaktivitas sistem otonom, seperti
keluhan gastrointestinal. 1,7
f. Diagnosis Banding
Diantara ganggua ansietas, gangguan ansietas menyeluruh
merupakan gangguan yang lebih besar kemungkinannya untuk
bertumpsng tindih dengan gangguan cmpuran ansietas-depresif. Diantara
gangguan mood, gangguan distimik dan gangguan depresif ringan adalah
gangguan yang lebih besar kemungkinannya untuk bertumpang tindih
dengan gangguan campuran ansietas depresif. 4,6
g. Tatalaksana

70
Farmakoterapi untuk ganggua campuran ansietas dan depresif
dapat mencakup obat antiansietas, obat antidepresif, atau keduanya.
Diantara antiansiolitik, sejumlah data menunjukkan bahwa penggunaan
triazolobenzodiazepine dapat diindikasikan karena efektivitasnya dalam
mengobati depresi yang disertia dengan ansietas. 1,9

71
BAB III
PENUTUP

Gangguan kecemasan menyeluruh didefinisikan dalam DSM-IV sebagai


kekhawatiran yang berlebihan dan meresap, disertai oleh berbagai gejala somatik,
yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial ataupun pekerjaan
atau penderitaan yang jelas bagi pasien. Gangguan kecemasan menyeluruh
kemungkinan merupakan gangguan yang paling sering ditemukan dengan
gangguan mental penyerta. Gangguan ini lebih sering dijumpai pada wanita
dengan ratio 2 : 1, namun yang datang meminta pengobatan rationya kurang lebih
sama atau 1 :1 antara laki-laki dan wanita.
Etiologi dari gangguan ini belum diketahui secara pasti, namun diduga dua
faktor yang berperan terjadi di dalam gangguan ini yaitu, factor biologic dan
psikologik. Faktor biologis dan psikologis kemungkinan bekerjasama. Gambaran
klinis bervariasi dapat dijumpai keluhan cemas, khawatir, was-was, ragu untuk
bertindak, perasaan takut yang berlebihan, gelisah pada hal-hal yang sepele dan
tidak utama yang mana perasaan tersebut mempengaruhi seluruh aspek
kehidupannya, sehingga pertimbangan akal sehat, perasaan dan perilaku
terpengaruh. Selain itu spesifik untuk Gangguan Kecemasan Menyeluruh adalah
kecemasanya terjadi kronis secara terus-menerus mencakup situasi hidup (cemas
akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial), cemas akan terjadinya bahaya, cemas
kehilangan kontrol, cemas akan`mendapatkan serangan jantung. Sering penderita
tidak sabar, mudah marah, sulit tidur.
Diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III ditegakkan
jika penderita menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung
hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak
terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja
(“mengambang”).Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur
berikut:Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk,
sulit berkonsentrasi), ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak
dapat santai); danoveraktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat,

72
jantung berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut
kering, dsb).
Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan kecemasan
menyeluruh adalah pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapi dan
farmakoterapi. Obat yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan gangguan
kecemasan menyeluruh adalah buspiron dan benzodiazepin. Obat lain yang
mungkin berguna adalah obat trisiklik (imipramine), anti histamin dan antagonis
adrenergik beta (propanolol).
Prognosis Gangguan Kecemasan Menyeluruh sukar untuk untuk
diperkirakan. Namun demikian beberapa data menyatakan peristiwa kehidupan
berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya beberapa peristiwa
kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya
gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat ringannya gangguan tersebut.Suatu
keadaan kronis yang mungkin berlangsung seumur hidup. Lebih kurang 25%
pasien GAD akan mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan
depresi mayor.

73
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 2004. Gangguan Ansietas dalam Buku Ajar
Psikiatri Klinis Edisi ke-2. Jakarta: EGC. Hal. 230-267.
2. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC.
3. Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 1997. Gangguan Kecemasan dalam Sinopsis
Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi ke-7 Jilid
2.Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal. 1-15.
4. Redayani P. 2010. Gangguan Cemas Menyeluruh dalam Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Maria, Josetta. Cemas Normal atau Tidak Normal. Program Studi Psikologi.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
6. Kaplan, Harold. I. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya
Medika. Hal. 145-54
7. http://nanank-syamsa.blogspot.com/2008/04/gangguan-anxietas-menyeluruh-
f411.html
8. V, Mark Durand dan David H. Barlow, Intsari Psikologi Abnormal edisi
keempat, terj., Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm: 159
9. Maramis W.F. Nerosa. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press; 2004. p.250-62
10. Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
PPDGJIII. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika
Atmajaya. Hal. 72-75
11. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI; 2001.
12. Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya. Hal. 12
13. Yates, W. R. 2008. Anxiety Disorders. Update August 13, 2008.
www.emedicine.com
14. Jefferey S, Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, terj., Tim Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm:163

74
75

Anda mungkin juga menyukai