Disusun oleh :
20120310071
Pembimbing :
2018
HALAMAN PENGESAHAN
REFLEKSI KASUS
Disusun Oleh:
20120310071
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
1. Rangkuman kasus
Seorang wanita, 52 tahun datang ke poli bedah RSPS dengan keluhan
adanya benjolan pada payudara sebelah kanan + 3 tahun yang lalu, benjolan
awalnya kecil namun lama-lama semakin besar, benjolan tidak terasa nyeri namun
terkadang cekot-cekot bila ditekan. Pasien didiagnosis dengan Mastopaty dan
direncanakan tindakan Lumpektomi. Pasien menderita DM sejak + 5 tahun
dengan pengobatan rutin Metformin. Riw peny. Jantung (-), Hipertensi (-), Asma
(-), Alergi (-) Kejang (-). Riw mondok di rumah sakit (-), Riw operasi sebelumnya
(-). Tidak ada hilang gigi (-), Gigi Palsu (-), Masalah mobilisasi leher (-), Batuk (-
), Sesak napas (-), Nyeri dada (-), Obesitas (-).
a. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Vital sign
Tekanan darah :120/70 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Nafas : 18 kali/menit
Suhu : 36,4°C
VAS score :1
Kepala : Normocephal.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, Visus dbn
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris
Paru : SDV +/+; Rh -/-; Wh -/-
Jantung : BJ regular
Abdomen
Supel, Peritaltik (+), NT (-)
Status Lokals
benjolan ±3 cm tidak dapat dimasukkan kembali
Ekstremitas
akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-/-/-)
b. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 13,2 [12 - 16] g%
AL : 12,01 [4 - 10] ribu/ul
AE : 4,22 [4 - 5] ribu/ul
AT : 199 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 39,5 [36 - 46] %
Eosinofil :1 [2 - 4] %
Basofil :1 [0 - 1] %
Batang :2 [2 - 5] %
Segmen : 76 [51 - 67] %
Limfosit : 14 [20 - 35] %
Monosit :6 [4 - 8] %
Kimia Darah
GDS : 169 [<200] mg/dl
Ureum : 31 [17 - 43] mg/dl
Kreatin : 0,87 [0,6 – 1,1] mg/dl
Natrium : 143,6 [137,0 – 145] mmol/l
Kalium : 4,22 [3,50 – 5,10] mmol/l
Klorida : 109,7 [98,0 – 107,0] mmol/l
Hemostasis
PPT : 13,6 [12,0-16,0] detik
APTT : 28,5 [28,0-38,0] detik
c. Pemeriksaan Penunjang
Ro Thorax:
Cor dan Pulmo dalam batas normal
EKG:
Normal Sinus Rhythm
3. Analisis
A. Definisi
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi
insulin ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.89
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan
kriteria diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai
ambang kadar glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan
etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika
kadar glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200
mg/dl). Jika kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu
asimtomatik, pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat
jika nilainya tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma
diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma
puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus
dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu> 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah vena
> 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes
toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7
B. Klasifikasi 15789
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan
biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah
insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada
anak-anak dan dewasa muda.Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang
rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin melalui
mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu memerlukan insulin
sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami ketoasidosis jika
insulindihentikan pemberiannya.
Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung
mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita
ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti
diabetes oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres
atau infeksi berat.
C. Patofisiologi
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas
tersebar di seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total
pankreas. Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah
50m. sedangkan yang terbesar 300 m. Terbanyak adalah yang besarnya antara 100
dan 225 m. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000
dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel: sel-
sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel d yang
mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin. Pertama insulin
disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik
dan kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar
insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus
berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur
utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam
amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin,
cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin
dan.norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a
adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor b adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam
lemak bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam
otot.Hiperglikemia terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk
menandingi meningkatnya kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis,
akan mengubah asam amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda
keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam timbulnya gejala ketoasidosis.
Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk mengubah
asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan
dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan
dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor
pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus.
Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus
encephalamiokardias, mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa,
varicella dan virus hepatftis.4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada
hubungannya dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif,
hal ini kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena
kegemukan.
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan
toleransi glukosa ini (ominous octet) adalah sebagai berikut:
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui
jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA
juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh
usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam sintesis glukagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan disbanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi
glucagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-
4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine.
Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah
salah satu contoh obatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin
dan bromokriptin.
Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan
alkohol dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis.4,9
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark
serebrovaskular dan iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri
koronaria, ateromia arterial dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas
dijumpai pada semua penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita
tipe I men punyai risiko komplikasi pasca operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia
pada pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik
pada keadaan defisiensi insulin relatif.Defisiensi ini berkembang dari kombinasi
antara menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi
insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth
hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan
selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.6,7,9
D. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
KriteriaDiagnosis DM
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan
HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi
darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan
gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
maupun evaluasi. Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi
standard NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil
pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat
transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi umur eritrosit
dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
maupun evaluasi.
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom
dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis;
berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan
hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi
tegak berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah
pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode
hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus
dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung
dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun
setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan
lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami
variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan
bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks
kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes
dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak.Kemungkinan ini terjadi
karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun
belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung
risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal.Kondisi tersebut
dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan
pada klirens kreatinin.Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat
melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan
timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau
hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit
berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik.Aktifitas plasma renin adalah
normal atau berkurang.Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia
dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa
pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam
meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut
dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan
kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi
leukosit akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang
disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita .Pada awalnya
sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke
persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar
lainnya.Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas
atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi.Akan tetapi dari suatu penelitian
retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi
ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak
seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang
sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat
kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita
diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal
periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif.Kelainan kolagen
dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein.'Banyak pasien ini
mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu ketidakmampuan mendekatkan permukaan
kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat mencapai
30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8
G. Penilaian Prabedah
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal,
dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik
pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah
puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit
arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena
berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus. Pasien
dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %,
sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya
disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai
dalam 2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis,
dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama
2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan
pemberian insulin subkutan.Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan
1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian
cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan
jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal
untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal
untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah,
atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi
peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan
mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang
paling sering :tdigunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari
dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:
Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat
Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien
diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula
darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK)
dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-
sama.Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin,
kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2
cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc
Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose -
kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan
berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
Kadar gula Infus insulin