Anda di halaman 1dari 25

REFLEKSI KASUS

ASA II DM pada Mastopaty Dextra

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :

Rizky Imannur Rahman

20120310071

Pembimbing :

dr. Dedy Hartono, Sp. An

SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2018
HALAMAN PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS

ASA II DM pada Mastopaty Dextra

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:

Rizky Imannur Rahman

20120310071

Telah dipresentasikan pada: 3 januari 2018

Mengetahui,

Dokter Pembimbing

dr. Dedy Hartono, Sp. An


REFLEKSI KASUS

1. Rangkuman kasus
Seorang wanita, 52 tahun datang ke poli bedah RSPS dengan keluhan
adanya benjolan pada payudara sebelah kanan + 3 tahun yang lalu, benjolan
awalnya kecil namun lama-lama semakin besar, benjolan tidak terasa nyeri namun
terkadang cekot-cekot bila ditekan. Pasien didiagnosis dengan Mastopaty dan
direncanakan tindakan Lumpektomi. Pasien menderita DM sejak + 5 tahun
dengan pengobatan rutin Metformin. Riw peny. Jantung (-), Hipertensi (-), Asma
(-), Alergi (-) Kejang (-). Riw mondok di rumah sakit (-), Riw operasi sebelumnya
(-). Tidak ada hilang gigi (-), Gigi Palsu (-), Masalah mobilisasi leher (-), Batuk (-
), Sesak napas (-), Nyeri dada (-), Obesitas (-).
a. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Vital sign
Tekanan darah :120/70 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Nafas : 18 kali/menit
Suhu : 36,4°C
VAS score :1

Buka Mulut : 3 jari


Jarak Thyromental : > 6,5 cm
Mallampati : II

Kepala : Normocephal.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, Visus dbn
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris
Paru : SDV +/+; Rh -/-; Wh -/-
Jantung : BJ regular
Abdomen
Supel, Peritaltik (+), NT (-)
Status Lokals
benjolan ±3 cm tidak dapat dimasukkan kembali
Ekstremitas
akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-/-/-)
b. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 13,2 [12 - 16] g%
AL : 12,01 [4 - 10] ribu/ul
AE : 4,22 [4 - 5] ribu/ul
AT : 199 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 39,5 [36 - 46] %
Eosinofil :1 [2 - 4] %
Basofil :1 [0 - 1] %
Batang :2 [2 - 5] %
Segmen : 76 [51 - 67] %
Limfosit : 14 [20 - 35] %
Monosit :6 [4 - 8] %
Kimia Darah
GDS : 169 [<200] mg/dl
Ureum : 31 [17 - 43] mg/dl
Kreatin : 0,87 [0,6 – 1,1] mg/dl
Natrium : 143,6 [137,0 – 145] mmol/l
Kalium : 4,22 [3,50 – 5,10] mmol/l
Klorida : 109,7 [98,0 – 107,0] mmol/l
Hemostasis
PPT : 13,6 [12,0-16,0] detik
APTT : 28,5 [28,0-38,0] detik

c. Pemeriksaan Penunjang
Ro Thorax:
Cor dan Pulmo dalam batas normal
EKG:
Normal Sinus Rhythm

Hasil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis


mastopaty dextra.
Pasien direncanakan operasi tanggal 28 desember 2017 kemudian
dipuasakan 8 jam pre operasi dan dipasang IV line. Pasien dianestesi dengan
teknik general anestesi dengan LMA.

2. Perasaan terhadap pengalaman


Bagaimana manajemen peri operative pada pasien dengan diabetes meilitus?

3. Analisis
A. Definisi
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi
insulin ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.89
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan
kriteria diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai
ambang kadar glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan
etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika
kadar glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200
mg/dl). Jika kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu
asimtomatik, pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat
jika nilainya tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma
diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma
puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus
dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu> 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah vena
> 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes
toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7
B. Klasifikasi 15789
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
 Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan
biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah
insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada
anak-anak dan dewasa muda.Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang
rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin melalui
mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu memerlukan insulin
sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami ketoasidosis jika
insulindihentikan pemberiannya.
 Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung
mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita
ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti
diabetes oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres
atau infeksi berat.
C. Patofisiologi
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas
tersebar di seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total
pankreas. Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah
50m. sedangkan yang terbesar 300 m. Terbanyak adalah yang besarnya antara 100
dan 225 m. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000
dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel: sel-
sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel d yang
mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin. Pertama insulin
disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik
dan kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar
insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus
berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur
utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam
amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin,
cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin
dan.norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a
adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor b adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam
lemak bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam
otot.Hiperglikemia terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk
menandingi meningkatnya kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis,
akan mengubah asam amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda
keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam timbulnya gejala ketoasidosis.
Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk mengubah
asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan
dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan
dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor
pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus.
Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus
encephalamiokardias, mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa,
varicella dan virus hepatftis.4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada
hubungannya dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif,
hal ini kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena
kegemukan.
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan
toleransi glukosa ini (ominous octet) adalah sebagai berikut:
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui
jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA
juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh
usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam sintesis glukagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan disbanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi
glucagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-
4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine.
Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah
salah satu contoh obatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin
dan bromokriptin.
Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan
alkohol dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis.4,9
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark
serebrovaskular dan iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri
koronaria, ateromia arterial dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas
dijumpai pada semua penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita
tipe I men punyai risiko komplikasi pasca operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia
pada pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik
pada keadaan defisiensi insulin relatif.Defisiensi ini berkembang dari kombinasi
antara menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi
insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth
hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan
selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.6,7,9
D. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

KriteriaDiagnosis DM
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan
HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi
darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan
gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
maupun evaluasi. Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi
standard NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil
pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat
transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi umur eritrosit
dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
E. Efek Pembedahan dan Pembiusan Pada Metabolisme
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula
darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut
atau karena resistensi insulin.Kadar gula darah tergantung dari produksi dan
penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon
katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi
di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan
hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis,
katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh
sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon
dan prolaktin.Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia
epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan
cara blokade aferen dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50
m/kg) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai
efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi
(2,1 MAC halotan)1,6,11

F. Faktor Resiko Untuk Pasien Bedah Diabetes


Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai
mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal.
Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari
arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami
komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi
jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama
pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan
bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10
kali, yang disebabkan oleh:
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit
pembuluh darah perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7

Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom
dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis;
berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan
hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi
tegak berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah
pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode
hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus
dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung
dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun
setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan
lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami
variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan
bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks
kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes
dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak.Kemungkinan ini terjadi
karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun
belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung
risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal.Kondisi tersebut
dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan
pada klirens kreatinin.Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat
melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan
timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau
hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit
berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik.Aktifitas plasma renin adalah
normal atau berkurang.Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia
dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa
pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam
meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut
dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan
kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi
leukosit akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang
disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita .Pada awalnya
sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke
persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar
lainnya.Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas
atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi.Akan tetapi dari suatu penelitian
retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi
ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak
seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang
sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat
kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita
diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal
periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif.Kelainan kolagen
dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein.'Banyak pasien ini
mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu ketidakmampuan mendekatkan permukaan
kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat mencapai
30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8

G. Penilaian Prabedah
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal,
dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik
pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah
puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit
arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena
berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus. Pasien
dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %,
sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya
disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.

H. Pengaruh Obat Anestesi Pada Pasien Diabetes


Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula
darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi
dan pengawasan status diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan
di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum
jelas.Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif.
Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya
pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan akibatnya akan
menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter
pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi
kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan
ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone
dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini
minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat
diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan
keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan
metabolik.Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan
sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus
dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap
pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan
mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk
transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui
peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut
Greene penggunaan halotan pada pasien cukup
memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian
invitro halotan dapat menghambat
pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama pengaruhnya
terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata
pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui.Pasien-pasien diabetik
menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.
Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan
untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi.Keadaan ini dapat terlihat pada
pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-
obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti
terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar
gula akibat efek simpatomimetiknya.7
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau
subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat.Untuk prosedur
pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas
bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih
memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif
dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula,
growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7

I. Teknik Anestesi Pada Pasien Diabetes


Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik
dan blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi
insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan
kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres
pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus
phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik,
menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan
penekanan sekresi insulin secara parstal.7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan
anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang
dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor.Anestesia
regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan
neuropati autonomik.Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan
pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan
retinovaskular.Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan
penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes.Abses epidural lebih sering terjadi
pada anestesia spinal dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang
timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan
blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko
yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita
diabetes mellitus.5,6,7

J. Kontrol Metabolik Perioperatif


Tujuan pokok adalah :
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.
2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme k
atabolik dan ketoasidosis.
3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.

Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga


hanya membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya.Apakah
terapi insulin perlu diberikan pada perioperatif?Untuk bedah yang relatif kecil,
jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat
kerja lama 2 hari sebelum pembedahan.Untuk bedah besar, dosis kecil insulin
mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan
kondisi seperti di bawah :
1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
3. Lama pembedahan lebih 2 jam

Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai
dalam 2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis,
dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama
2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan
pemberian insulin subkutan.Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan
1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian
cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan
jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal
untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal
untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah,
atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi
peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan
mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang
paling sering :tdigunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari
dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

 Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin


perioperatif pada pasien DM
Pemberian secara bolus Infus kontinyu

Preoperatif D5W (1,5 ml/kg/jam) D5W (1


NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari) ml/kg/jam)
(NPH=neutral protamine Hagedorn) Regular insulin
Unit/jam =
Glukosa plasma :
150

Intraoperattf Regular insulin (berdasarkan sliding Sama dengan


scale) preoperatif

Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif Sama dengan


preoperatif

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses


intravena dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien
yang normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan
kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum
pembedahan bersama-sama dengan infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam).
Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien mengalami hipoglikemia (<100
mg/dl).Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl) diobati dengan RI
intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang
dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus
diingat bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien
dalam keadaan katabolik (sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus
secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih
tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15
unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5
ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan
insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah
akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan
berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):
Gukosa plasma (mg/dl)
Unit perjam = ————————————
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam = ————————————
100
Pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan
infeksi. Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin
menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8

Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang


seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan
intra vena.Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
1. Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin
seperti di bawah ini :
Kadar gula mmol (mg/dl) Kebutuhan insulin
darah

4,4 ( 80 ) Matikan pompa, beri glukosa IV


4,4 - 6,6 ( 80 - 120 ) Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7
u/jam
6,6-9,9 (120 - 180) teruskan insulin 0,5 - 1 m/jam
9,9 - 13,2 (180 - 240) . Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5
m/jam
> 13,75 (>250) Laju insulin 1,5 m/jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat
Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien
diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula
darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK)
dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-
sama.Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin,
kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2
cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc
Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose -
kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan
berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
Kadar gula Infus insulin

< 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)

K. Perawatan Pasca Bedah


Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien
stabil dan pasien sudah boleh makan.Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya
setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek.Setelah pembedahan besar, infus
glukosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat.
Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek
sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48
jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen
insulin pasien dilanjutkan.15
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien
pasca bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran.
Harus dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial
dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan
penyakit jantung Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai
mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat
dijelaskar., atau disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya infark
miokard.2,1
L. Penatalaksanaan Pada Kasus Bedah Darurat
Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu
pembedahan yang harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus dengan
ketoasidosis. Dalam keadaan seperti ini bila memungkinkan maka pembedahan
ditunda beberapa jam.Waktu yang sangat terbatas ini digunakan untuk memeriksa,
mengoreksi keseimbangan cairan, asam basa dan etektrofit yang merupakan keadaan
yang mengancam jiwasebelum pembedahan diJakukan. Bila waktu penundaan cukup
maka dapat dilakukan koreksi ketoasklosis secara tuntas, namun koreksi defisit
cairan dan ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai dalam beberapa jam.
Penderita harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan gula darah, aseton, elektrolit dan analisa gas darah. Kemudian
dilakukan koreksi dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan kecepatan 250 - 1000 cc/jam,
apabila kadar gula darah mencapai 250 mg/dl cairan diganti dengan yang
mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10 unit kemudian dilanjutkan dengan infus
50 unit dalam 500 cc Nacl dimulai dengan 2-8 unit/jam atau 20 - 80 cc/jam, sebagai
patokan mengatur kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah terakhir dibagi
150 atau 100 bila penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi. Dilakukan
pengukuran kadar gula darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah
analisa gas darah dan elektrolit. Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar
gula darah antara 120 - 250 mg/dl.1,2,3,9
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang
kontroversial. Meskipun pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi miokard,
koreksi cepat asidosis dengan bikarbonat dapat menimbulkan peningkatan C02,
karena itu koreksi asidosis yang terlalu cepat tidak dianjurkan.1,2,3
4. Daftar Pustaka
1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine
Disease in A Practice of Anesthesia, 6thed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma
Anesthesia ang Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku
Naskah Lengkap Konas III IDSAI, 1992: 209-218.
4. William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and
Common Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed.
Anesthesia, 4thed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed.
Perioperative Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
7. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of
Patients with Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London,
2000: 80-90.
8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-
655.
9. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan
Angkasa Offset, Bandung, 1991: 36-106.
10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical Anesthesia Practice, WB
Saunders, 1994: 185-209.
12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in
Anesthesia, JB Lippincott, 1988: 111-125.
13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan
Diabetes, IARS Review Course Lecture, 19%: 104-113.
14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli,
Kelen, Stapezynski ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998:
1355.
15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for
Diabetes Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc,
Virginia, 1991: 147- 50

Anda mungkin juga menyukai