Anda di halaman 1dari 9

HIKMAH DALAM BERDAKWAH

Oleh

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari

DAKWAH ISLAM PADA ASALANYA HARUS DISAMPAIKAN DENGAN LEMAH LEMBUT.

Ini merupakan asas dalam berdakwah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ْ َ
‫يل ِإ ىل ادع‬ َ َ ِّ َ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ْ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َ َ َْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َْ َ
ِْ ‫ه ِبال ِ ِت وج ِادلهم ۖ الحسن ِة والمو ِعظ ِة ِبال ِحكم ِة ربك س ِب‬
ِ ِ ‫أعلم وهو ۖ س ِبي ِل ِه عن ضل ِبمن أعلم هو ربك ِإن ۚ أحسن‬
َ ‫بالم ْه َتد‬
‫ين‬ ِ ِ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [An-
Nahl/16:125]

Ibnu Katsîr berkata dalam tafsirnya: “Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya,
Muhammad n agar menyeru manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla dengan cara hikmah.”

Firman Allah Azza wa Jalla , “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” yakni, apabila perlu
dilakukan dialog dan tukar pikiran, hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut dan
dengan tutur kata yang baik. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam ayat yang lain:

َ ُ ْ َ َ ْ َّ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ ْ
‫اب أه َل ت َج ِادلوا َول‬
ِ ‫ه ِبال ِ ِت ِإل ال ِكت‬
ِ ِ ‫ِمنهم ظلموا ال ِذين ِإل أحسن‬

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali
dengan orang-orang zhalim di antara mereka.” [al-Ankabût/29:46]
Ini merupakan landasan penting yang wajib dipegang oleh setiap juru dakwah pada zaman sekarang ini
dalam mengajak manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla . Sebab, lemah lembut dalam berdakwah
disertai pengajaran yang baik, jauh dari sikap congkak dan tidak mengklaim secara serampangan orang
yang berseberangan dengan vonis fasik atau kafir.

Al-Khalâl telah meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang
masalah dakwah ini. Beliau menjawab: “Sahabat-sahabat Abdullâh berkata : “berdakwahlah dengan
berlemah lembut, semoga Allah Azza wa Jalla merahmati kamu, berlemah lembutlah!” [1]

ANTARA DAKWAH DAN JURU DAKWAH

Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ َ ْ َ َ َّ ‫ْ ْْ َ َ َ َ َ َ َّ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ى‬
‫يل ه َٰى َِٰذ ِه ق ْل‬
ِ ِ ‫اّلل ِإل أدعو س ِب‬
ِ ۚ ‫اّلل وسبحان ۖ اتبع ِ ِت ومن أنا ب ِص رية عل‬
ِ ‫شك ري ِمن أنا وما‬
ِ ‫الم‬

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.
[Yûsuf/12:108]

Dakwah adalah tugas yang berat dan pekerjaan yang serius yang hanya bisa dipikul oleh orang-orang
yang mulia. Juru dakwah yang mengajak kepada agama Allah Azza wa Jalla pasti menghadapi gangguan
dalam dakwah sebagaimana yang dihadapi oleh siapa saja yang mengemban tugas dakwah ini, dari
dahulu sampai sekarang. Itu sudah menjadi sunnatullâh pada orang-orang terdahulu dan sekarang. Para
nabi juga telah menghadapi gangguan serupa berupa penentangan, penolakan, keengganan dan
kesombongan dari berbagai pihak dan tingkatan manusia.

Maka dalam mengemban tugas dakwah yang berat dan penuh resiko ini seorang juru dakwah harus
menghiasi dirinya dengan sikap santun dan sabar, bijaksana dan arif.

HIKMAH SEORANG JURU DAKWAH

Allah Azza wa Jalla berfirman:


ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ ْ ْ ْ َ َ َ ُ ً ْ َ ً َ َ َ َّ َ ُ ُ َ َْ ْ
‫وت فقد ال ِحك َمة يؤت َو َم ْن ۚ َيشاء َم ْن ال ِحك َمة يؤ ِ ِت‬
ِ ِ ‫اب أولو ِإل يذكر وما ۗ ك ِث ريا خ ريا أ‬
ِ ‫اْللب‬

Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah,
sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-
orang yang berakal. [al-Baqarah/2:269]

Hikmah adalah sebuah ungkapan tentang bagaimana menyelesaikan setiap masalah dengan ilmu yang
benar. Hikmah identik dengan fiqh dan pemahaman. Hikmah digunakan juga untuk berbagai makna,
seperti as-Sunnah, akal, kebijaksanaan dan lain-lainnya. Hikmah juga bisa berarti meletakkan sesuatu
pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada momentum yang tepat. Hikmah juga berarti
menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Menyelesaikan masalah dengan
menimbulkan masalah lain atau masalah yang lebih besar lagi merupakan bukti ketiadaan hikmah.

Di antara perkara yang memperkeruh dakwah kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dakwah
yang dilakukan dengan keras, kasar dan arogan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ْ ِّ َ ُ ْ َْ ‫شء ِم ْن ي ْ َيع َو َل َز َانه إل‬


ْ َْ ‫َش َانه إل‬
‫الرف َق ِإن‬ ‫شء ِ ِف َيكون ل‬ِ ِ ِ ِ

“Sesungguhnya kelembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya lebih bagus,
dan tidak akan tercabut sesuatu darinya kecuali akan membuatnya jelek.” [HR. Muslim]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ ِّ َ ْ َ ْ َ ْ
‫الرف َق ي ْح َ ِرم َم ْن‬ ‫الخ ري يح ِرم‬

“Barangsiapa yang diharamkan baginya, maka ia diharamkan dari kebaikan”.[HR. Muslim]

Hendaklah seorang da’i (juru dakwah) meniru akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
dakwahnya, di antara akhlak yang paling agung itu adalah kelembutan.
Syaikh Bin Bâz berkata, “Kewajiban kita adalah berdakwah kepada agama Allah Azza wa Jalla . Memberi
nasihat dan pengarahan kepada perkara yang baik tanpa kekerasan. Sebab kekerasan hanya akan
membuka pintu keburukan terhadap kaum Muslimin dan akan mempersulit dakwah.” [2]

Syaikh al-Albâni berkata, “Tidak ragu lagi, ini merupakan perkara pertama yang dituntut dari seorang
da’i, yaitu bersikap lemah lembut dan santun. Ia tidak boleh bersikap kasar terhadap orang-orang yang
berseberangan. Apalagi bila orang itu masih berada dalam satu ushûl dakwah dengannya, yaitu dakwah
kepada al-Qur’an dan Sunnah.” [3]

Sikap lemah lembut dan hikmah ini tidaklah meniadakan ketegasan dalam memegang prinsip dan
menyatakan sikap yang syar’i, misalnya ketika melihat kehormatan Islam dilecehkan. Ada momen-
momen tertentu yang mana kita harus memperlihatkan ketegasan dalam bersikap. Maka dari itu kita
harus membedakan antara mudârât dan mudâhanah.

APA ITU MUDARAT DAN MUDHAHAH?

Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara mudârât dan mudâhanah. Mudârât adalah salah satu
sikap bijaksana dalam mu’amalah yang menyampaikan kepada tujuan, dengan tetap menjaga
kehormatan dan martabat. Adapun mudâhanah adalah perilaku tercela yang dibungkus dengan
kebohongan dan memungkiri janji.

Ibnu Baththâl berkata: “Mudârât adalah akhlak mukmin, yaitu merendahkan diri kepada orang lain,
melunakkan perkataan dan meninggalkan sifat kasar. Mudârât adalah sebab paling kuat terciptanya
persatuan. Sebagian orang mengira bahwa mudârât sama dengan mudâhanah. Itu sangat keliru! Karena
mudârât adalah sifat yang dianjurkan sementara mudâhanah adalah sifat yang diharamkan. Bedanya,
mudâhahah diambil dari kata ad-dahân, yaitu menampakkan sesuatu secara lahiriyah tapi
menyembunyikan batinnya. Para ulama mengidentikkannya dengan pergaulan dengan orang fasiq,
menunjukkan persetujuan terhadap kefasikannya tanpa mengingkarinya sedikitpun.

Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, beliau berkata: “Bab: Mudârât dalam bermu’amalah
dengan orang lain. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa seorang
lelaki meminta izin bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau berkata: “Berilah izin
kepadanya, seburuk-buruk putera kabilah atau saudara kabilah.” Ketika ia masuk Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berbicara dengan lunak kepadanya. ‘Aisyah bertanya-tanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, engkau tadi mengatakan begini dan begitu, kemudian engkau berbicara lemah lembut
kepadanya?”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hai ‘Aisyah, seburuk-buruk manusia di sisi Allah Azza wa Jalla
adalah yang ditinggalkan atau dijauhi orang lain karena menghindari kekejiannya.” [Muttafaqun ‘alaihi].

Mudârât adalah berlaku lembut terhadap orang jahil dalam memberikan pengajaran dan terhadap
orang fasik ketika melarang perbuatan fasiknya, tidak bersikap kasar terhadapnya. Yang mana ia tidak
menunjukkan kemarahannya. Mengingkarinya dengan perkataan dan memperlakukannya dengan
lembut. [4]

DI ANTARA CONTOH HIKMAH DALAM DAKWAH

Berikut ini beberapa contoh hikmah dalam dakwah yang apabila diabaikan bisa memicu timbulnya
konflik di tengah masyarakat.

1. Memperhatikan Kondisi Orang Yang Didakwahi.

Seorang da’i harus memperhatikan kondisi orang yang didakwahinya. Jangan main pukul rata saja. Ia
harus memperhatikan cara yang paling bermanfaat dalam mendakwahi mereka. Cara yang bermanfaat
untuk masyarakat umum belum tentu cocok untuk mendakwahi raja atau penguasa atau orang yang
terpandang, seperti tokoh masyarakat misalnya. Allah Azza wa Jalla telah berkata kepada Musa dan
Harun ketika mengutus mereka kepada Fir’aun:

َ َ َ ً َ ً َ َّ َ َّ َ َ َ َْ ْ َ
‫ش أ ْو َيتذكر ل َعله ل ِّينا ق ْول له فقول‬
‫يخ ى‬

Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia
ingat atau takut”. [Thaha/20:44]

Cara dakwah yang bermanfaat bagi kaum pedagang keliling, belum tentu bermanfaat jika digunakan
untuk mendakwahi kaum intelektual dan terpelajar. Salah satu bentuk hikmah adalah memperhatikan
cara yang paling bermanfaat yang dapat memperbaiki bermacam-macam jenis manusia yang berasal
dari berbagai tingkatan dan golongan.
2. Memperhatikan Waktu Dan Kondisi Dalam Berdakwah.

Tidak arif bila mendatangi seorang yang sedang tidur, lalu membangunkannya untuk didakwahi. Dan
tidak bijaksana bila mendatangi seseorang yang sedang emosi untuk berceramah di hadapannya.
Andaikata dalam kondisi normal tentulah orang itu akan mau mendengar kata-kata kita. Pilihlah waktu
dan kondisi yang tepat untuk berdakwah. Ketika suasana atau kondisi sedang tegang atau keruh
hindarilah perdebatan maupun dialog hingga ketegangan mereda. Sebab bila dipaksakan bisa
menimbulkan hasil yang kontra produktif (tidak menguntungkan). Dan kalau seandainya kebenaran itu
baru bisa diterima melalui lisan orang lain mengapa harus memaksakannya melalui lisan kita?

3. Meletakkan Skala Prioritas Yang Tepat.

Seorang da’i harus bisa menempatkan skala prioritas yang benar dalam dakwah. Hendaklah ia
mendahulukan perkara yang paling penting, tidak sepantasnya ia mendahulukan perkara-perkara yang
kecil lalu ia meninggalkan perkara yang lebih besar dan lebih berbahaya. Salah dalam meletakkan skala
prioritas bisa mengakibatkan penyimpangan dalam dakwah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan kepada kita contoh dari skala prioritas tersebut. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus Muadz Radhiyallahu anhu ke negeri Yaman, beliau berkata kepadanya:

َ َ َْ َ َ ْ َ َ ُ َْ َ َْ َ َ
‫اّلل ِع َبادة ِإل ْي ِه تدعوه ْم َما أو َل فل َيك ْن ِكتاب أه ِل ق ْوم َعل تقدم ِإنك‬
َّ َ َ َ َ َ َ َّ ‫اّلل َأن َف َأ ْخ ْيه ْم‬
‫اّلل َع َرفوا ف ِإذا وجل عز‬ َ ‫س َع َل ْيه ْم َف َر‬
َ َّ ‫ض‬ َ ‫َخ ْم‬
ِ ِ ِ
َ َ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َ َ َّ ْ َ َ َ َ ْ ْ َ َ ً َ َ َ ْ ْ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ ََ
‫اّلل أن فأخ ِ ْيه ْم ف َعلوا ف ِإذا َول ْيل ِت ِه ْم َي ْو ِم ِه ْم ِ ِف َصل َوات‬ ‫ِب َها أطاعوا ف ِإذا فقر ِائ ِهم عل فيد أغ ِني ِائ ِهم ِمن تؤخذ زكاة علي ِهم فرض قد‬
ْ َ ْ َ َ َ
‫أ ْم َو ِال ِه ْم ك َر ِائ َم َوت َوق ِمنه ْم فخذ‬

“ Engkau bakal mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka jadikanlah awal dakwahmu
kepada mereka adalah peribadatan kepada Allah semata. Jika mereka telah mengenali Allah,
sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam.
Jika mereka melakukannya maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat
yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada fakir miskin diantara mereka. Jika
mereka mentaatinya maka ambillah harta-harta itu dari mereka, dan hindarilah harta-harta kesayangan
mereka.” [5]

4. Tidak Memandang Rendah Orang Yang Didakwahi.

Sikap meremehkan ini dapat membuat orang yang didakwahi tidak mau mendengar dakwah kita.
Janganlah sekali-kali mengesankan dirimu lebih baik daripadanya. Atau memandang dirimu lebih
istimewa darinya. Atau membuatnya marah pada kesan pertama. Mu’tamir bin Sulaiman meriwayatkan
bahwa ia mendengar ayahnya berkata, “Jangan harap orang yang telah engkau buat marah mau
mendengarkan kata-katamu.” [6] Namun beri kesan bahwa engkau adalah saudara baginya. Hindarilah
cepat-cepat menjatuhkan vonis secara membabi buta dan serampangan karena cara itu sama sekali
tidak hikmah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana sikap seorang muslim
kepada orang yang lebih tua dan yang lebih muda darinya. Yaitu menghormati yang lebih tua dan
menyayangi yang lebih muda. Sikap menghargai orang lain terutama dalam konteks dakwah dapat
mempermudah diterimanya dakwah kita.

5. Meninggalkan Perkara Mustahab (Sunat) Untuk Kekhawatiran Akan Menimbulkan Kemudharatan


Yang Lebih Besar.

Al-Bukhâri telah membuat sebuah bab yang berjudul: “Meninggalkan perkara mustahab karena khawatir
orang-orang salah memahami sehingga jatuh kepada kerusakan yang lebih parah lagi”. Kemudian beliau
membawakan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

َ َ َ َ َ ‫ون َو َباب الناس َي ْدخل َباب َب َاب ْي َل َها َف َج َع ْلت ْال َك ْع َب َة َل َن َق ْضت ب ُك ْفر الز َب ْي ْابن َق‬
‫ال َع ْهده ْم َح ِديث ق ْوم ِك ل ْول َع ِائشة َيا‬
َ ْ
‫يخرج‬.َ
‫ر‬ ِ ‫ر‬

“Wahai ‘Aisyah, jika bukan karena menimbang kaummu yang baru – Ibnu Az-Zubair berkata, “Yakni baru
meninggalkan kekufuran,”- niscaya aku sudah merombak Ka’bah, aku akan buat dua pintu, pintu masuk
dan pintu keluar.”

Ibnu Hajar menyebutkan beberapa faedah dari hadits tersebut, di antaranya: Dibolehkan meninggalkan
sebuah maslahat demi mengindari mudharat dan tidak mengingkari kemungkaran jika khawatir akan
menimbulkan kemungkaran yang lebih parah.

6. Berbicara Kepada Manusia Sesuai Dengan Daya Nalar Mereka Dalam Memahaminya.

Ini sangat penting diperhatikan untuk menghindari kesalahpahaman yang berpotensi memicu konflik.
Demikian pula dalam menyampaikan ilmu agama kepada manusia, harus diperhatikan tingkat
pemahaman mereka dalam mencerna apa yang akan disampaikan, jangan sampai kata-kata kita
menimbulkan fitnah bagi masyarakat awam. Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, bab
mengkhususkan sebuah ilmu kepada suatu kaum yang tidak disampaikan kepada kaum yang lain karena
khawatir mereka tidak dapat memahaminya. Kemudian beliau membawakan perkataan Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu anhu , “Berbicaralah kepada orang banyak dengan apa yang dapat mereka fahami,
sukakah kalian bila mereka nanti mendustai Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ?” Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri mengatakan, “Hadits ini menunjukkan, sesuatu
perkara yang masih samar tidak layak disebarkan ke tengah masyarakat awam. Perkataan Ali ini mirip
seperti perkataan Ibnu Mas’ûd, “Tidaklah kamu menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh
akal suatu kaum, melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebahagian mereka.” Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Muslim. Diantara pembicaraan yang menurut imam Ahmad makruh disampaikan
kepada suatu kaum tetapi boleh disampaikan kepada kaum yang lain adalah pembicaraan tentang hadits
yang makna tekstualnya membolehkan pemberontakan terhadap penguasa. Menurut Imam Mâlik,
hadits-hadits yang bercerita tentang sifat Allah Azza wa Jalla . Menurut Abu Yusuf, hadits-hadits gharîb.
Sebelumnya Abu Hurairah juga berpendapat demikian, seperti yang disebutkan sebelumnya tentang dua
kantung hadits, satu kantung tidak disampaikan oleh beliau karena khawatir akan membahayakan
keselamatan beliau. Demikian juga dari Hudzaifah dan dari al-Hasan bahwa mereka berdua mengingkari
tindakan Anas yang menceritakan kisah ‘Uraniyîn kepada semua jama’ah haji, karena hal akan dijadikan
dalih untuk berlebihan dalam menumpahkan darah seseorang. Secara tekstual hadits tersebut terlihat
seperti menguatkan kebid’ahan, padahal maksud hadits tersebut tidak sebagaimana yang difahami
secara tekstual. Oleh sebab itu, jangan menyampaikan hal-hal seperti ini kepada orang-orang awam
yang hanya bisa memahaminya secara tekstual saja. Wallâhu a’lam.”

Pedoman ini sangat penting diperhatikan oleh setiap juru dakwah, khususnya di Indonesia, agar bisa
menekan potensi timbulnya fitnah di tengah masyarakat yang mayoritas belum memahami agama
dengan benar.

7. Menyebarkan Sunnah Tanpa Menimbulkan Konflik.

Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi telah membuat sebuah bab dalam kitabnya, al-Adab asy-Syar’iyyah, “Pasal,
menyebarkan sunnah dengan perkataan dan perbuatan, tanpa menimbulkan pertengkaran dan tanpa
kekerasan”. Dalam pasal ini beliau membawakan beberapa riwayat dari para ulama di antaranya,
“Seorang lelaki pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ia berkata, “Aku berada dalam sebuah forum
yang disinggung perkara sunnah di dalamnya, tak ada yang tahu mengenai sunnah itu selain diriku,
bolehkah aku membicarakannya?” Beliau menjawab, “Sampaikanlah sunnah dan jangan bertengkar
karenanya.”

Demikian pula Imam Mâlik, beliau menganjurkan agar menyampaikan sunnah, namun bila tidak diterima
lebih baik diam. [7]

Kesimpulan:

1. Pada asalnya dakwah harus disampaikan dengan hikmah dan lemah lembut.
2. Lemah lembut ini tidaklah menafikan sikap tegas dalam memegang prinsip, maka dari itu harus
dibedakan antara mudaaraah dan mudaahanah.

3. Gangguan dan penentangan dari orang-orang jahil bisa saja muncul karena itu sudah menjadi
sunnatullah.

4. Seorang da’i harus sabar dan berlapang dada menerima cobaan yang diterimanya dalam mengemban
tugas dakwah.

5. Hikmah adalah meletakkan sesuatu sesuai pada tempatnya, menyelesaikan masalah tanpa
menimbulkan masalah baru dan berbicara sesuai situasi dan kondisi.

6. Konflik dan kontroversi bisa ditekan dan dihindari bila setiap juru dakwah memperhatikan hikmah
dalam berdakwah.

7. Sabar dan santun adalah bekal yang paling berharga dalam mengemban tugas dakwah. Kesabaran
akan melahirkan ketenangan dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu.
Ketenangan itu berasal dari Allah Azza wa Jalla dan ketergesa-gesaan berasal dari setan. Dakwah yang
dibangun atas sikap sembrono dan tergesa-gesa tidak akan membuahkan hasil yang positif. Bahkan
sebaliknya, menimbulkan bencana demi bencana.

8. Hindari melontarkan komentar-komentar yang provokatif yang bisa memicu pertengkaran dan
kerusuhan. Dan apabila muncul kesalahpahaman masyarakat tentang suatu isu yang menyangkut
dakwah hendaklah segera dilakukan klarifikasi supaya fitnah tidak terlanjur menyebar dan membesar
sehingga sulit terkendali

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/3353-hikmah-dalam-berdakwah.html

Anda mungkin juga menyukai