BAB IV Fixxx

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

PEMECAHAN MASALAH

4.1. MASALAH TERPILIH

Berdasarkan hasil analisis status kesehatan masyarakat, cakupan


pencapaian program dan ketersediaan sumber daya, maka masalah yang
terpilih untuk dipecahkan adalah:

1. Kesehatan Jiwa

4.2 TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara
klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan
menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia.
(Keliat, 2011 )

Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan


yang sangat signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah
penderita gangguan jiwa bertambah. Berdasarkan data dari World
HealthOrganisasi (WHO) dalam Yosep (2013) , ada sekitar 450 juta
orang didunia yang mengalami gangguan jiwa. WHO menyatakan
setidaknya ada satu dari empat orang didunia mengalami masalah mental,
dan masalah gangguan kesehatan jiwa yang ada di seluruh dunia sudah
menjadi masalah yang sangat serius.
Berdasarkan hasil penelitian dari Rudi Maslim dalam Mubarta
(2011) prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 6,55%.
Angka tersebut tergolong sedang dibandingkan dengan negara lainnya.
Data dari 33 Rumah Sakit Jiwa ( RSJ ) yang ada di seluruh Indonesia
menyebutkan hingga kini jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai
2,5 juta orang.
Penderita gangguan jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di
Indonesia mencapai 0,46%. Hal ini berarti terdapat lebih dari 1 juta jiwa
di Indonesia yang menderita gangguan jiwa berat. Berdasarkan data
tersebut diketahui bahwa 11,6% penduduk Indonesia mengalami masalah
gangguan mental emosional ( Riset kesehatan dasar, 2007 ). Sedangkan
pada tahun 2013 jumlah penderita gangguan jiwa mencapai 1,7 juta
(Riskesdas, 2013 ).
Prevalensi gangguan jiwa berat atau dalam istilah medis disebut
psikosis/skizofrenia di daerah pedesaan ternyata lebih tinggi dibanding
daerah perkotaan. Di daerah pedesaan, proporsi rumah tangga dengan
minimal salah satu anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat
dan pernah dipasung mencapai 18,2 persen. Sementara di daerah
perkotaan, proporsinya hanya mencapai 10,7 persen. Nampaknya, hal ini
memberikan konfirmasi bahwa tekanan hidup yang dialami penduduk
pedesaan lebih berat dibanding penduduk perkotaan. Dan mudah diduga,
salah satu bentuk tekanan hidup itu, meski tidak selalu adalah kesulitan
ekonomi ( Riskesdas, 2013 ).
Prevalensi gangguan jiwa di Bandar Lampung berdasarkan data
dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung tahun 2011 jumlah penderita
gangguan jiwa sebesar 15.720 orang dan 7.422 orang (47,2%) mengalami
skizofrenia dan penderita gangguan jiwa meningkat di tahun 2012
menjadi 17.528 orang dan sebesar 8890 orang (50,7%) mengalami
skizofrenia (Rekam Medik RSJ Provinsi Lampung, 2012).
Berdasarkan data yang didapat dari Humas RSJ Provinsi
Lampung mayoritas pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di
RSJD Provinsi Lampung tahun 2012 adalah pasien yang mengalami
kekambuhan (relapse) hingga 58%, hal ini berkaitan dengan rendahnya
dukungan keluarga dalam membawa pasien skizofrenia untuk melakukan
kontrol ulang.
Di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton tercatat jumlah
keseluruhan penderita gangguan jiwa yaitu 76 orang dan 76orang (100%)
mengalami skizofrenia dan gangguan psikotik kronik. Dan untuk data
kunjungan terdapat jumlah rata-rata kunjungan per bulan yaitu 17 orang
(22,4%).
Kejadian gangguan jiwa yang terjadi ini dapat ditimbulkan akibat
adanya suatu pemicu dari fungsi afektif dalam keluarga yang tidak
berjalan dengan baik. Apabila fungsi afektif ini tidak dapat berjalan
semestinya, maka akan terjadi gangguan psikologis yang berdampak pada
kejiwaan dari seluruh unit keluarga tersebut ( Nasir & Muhith, 2011).
Fenomena yang terjadi saat ini, jika ada seorang anggota keluarga
yang dinyatakan sakti jiwa, maka anggota keluarga lain dan masyarakat
pasti akan menyarankan untuk dibawa ke RS Jiwa atau psikolog dan lebih
parahnya lagi orang sakit jiwa tersebut diasingkan atau dipasung supaya
tidak menjadi aib bagi keluarga. Tindakan memasung ini akan berdampak
buruk pada pasien, selain itu nantinya akan sulit untuk sembuh dan dapat
mengalami kekambuhan yang sangat sering. Hal ini perlu adanya
dukungan dari keluarga dalam proses penyembuhan.
Peran dan keterlibatan keluarga dalam proses penyembuhan dan
perawatan pasien gangguan jiwa sangat penting, karena peran keluarga
sangat mendukung dalam proses pemulihan penderita gangguan jiwa.
Keluarga dapat mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku
anggota keluarga. Disamping itu, keluarga mempunyai fungsi dasar
seperti memberi kasih sayang, rasa aman, rasa memiliki, dan menyiapkan
peran dewasa individu di masyarakat. Keluarga merupakan suatu sistem,
maka jika terdapat gangguan jiwa pada salah satu anggota keluarga maka
dapat menyebabkan gangguan jiwa pada anggota keluarga ( Nasir &
Muhith, 2011).
4.2.1 Pengertian Kesehatan Jiwa

Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang


menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang
menceerminkan kedewasaan kepribadiannya. (WHO)
Kesehatan jiwa adalah kondisi seseorang yang terus tumbuh
berkembang dan mempertahankan keselarasan dalam pengendalian diri,
serta terbebas dari stress yang serius. (Rosdahi, 1999)
Kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan
fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang, dan
perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain. (UU Kesehatan Jiwa
No. 3 Tahun 1966)
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan bahagia serta mampu
mengatasi tantanganhidup, dapat menerima orang lainsebagaimana adanya
serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


220/MENKES/SK/III/1992 tentang pedoman umum Tim Pembina,
Pengarah, Pelaksana kesehatan Jiwa Masyarakat. Kesehatan jiwa
masyarakat (Community Mental Health) merupakan suatu orientasi
kesehatan jiwa yang dilaksanakan di masyarakat. Kesehatan jiwa
masyarakat ini dititik beratkan pada upaya promotif dan preventif tanpa
melupakan upaya kuratif dan rehabilitatif.

4.2.2 Tujuan program kesehatan jiwa masyarakat

Tujuan dari diadakannya KESWAMAS adalah untuk meningkatkan


kerjasama lintas sektoral dan kemitraan swasta, Lembaga Swadaya
Masyarakat, kelompok profesi dan organisasi masyarakat secara terpadu
dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesadaran kemauan
dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi masalah kesehatan jiwa
sehingga akan terbentu perilaku sehat sebagai individu, keluarga dan
masyarakat yang memungkinkan setiap individu hidup lebih produktif
secara sosial dan ekonomi.

4.2.3 Prinsip-Prinsip Keperawatan Jiwa Masyarakat


1. Pelayanan Keperawatan yang komprehensif yaitu pelayanan yang
difokuskan pada:
a. Pencegahan primer pada anggota masyarakat yang sehat.
b. Pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami
masalah psikososial & gangguan jiwa.
c. Pencegahan tersier pada klien gangguan jiwa dengan proses
pemulihan
2. Pelayanan keperawatan yang holistic yaitu pelayanan yang difokuskan
pada aspek bio-psiko-sosio-kultural & spiritual. Perawatan mandiri
Individu dan keluarga :
a. Masyarakat baik individu maupun keluarga diharapkan dapat secara
mandiri memelihara kesehatan jiwanya.
b. Pada saat ini sangat penting pemberdayaan keluarga
c. Perawat dan petugas kesehatan lain dapat mengelompokkan
masyarakat dalam masyarakat sehat jiwa, masyarakat yang
mempunyai masalah psikososial, masyarakat yang mengalami
gangguan jiwa
3. Pelayanan Formal & Informal di luar Sektor kesehatan :
a. Tokoh masyarakat, kelompok formal dan informal di luar tatanan
pelayanan kesehatan merupakan target pelayanan kesehatan jiwa
b. Kelompok yang dimaksud adalah TOMA (tokoh agama, kepala
dusun), pengobatan tradisional (orang pintar)
c. Mereka dapat menjadi target pelayanan ataupun mitra tim kesehatan
yang diinterasikan dengan perannya di masyarakat
4. Pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan dasar :
a. Semua pemberi pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat yaitu
praktik pribadi dokter, bidan, perawat psikolok dan semua sarana
pelayanan kesehatan (puskesmas dan balai pengobatan)
b. Untuk itu diperlukan penyegaran dan penambahan pengetahuan
tentang pelayanan kesehatan jiwa komunitas bersama dengan
pelayanan kesehatan yang dilakukan
c. Pelatihan yang perlu dilakukan adalah : konseling, deteksi dini dan
pengobatan segera, keperawatan jiwa dasar.
5. Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat :
a. Tim kesehatan terdiri atas : psikiater, psikolok klinik dan perawat
jiwa
b. Tim berkedudukan di tingkat Dinas Kesehatan kabupaten / kota
c. Tim bertanggung jawab terhadap program pelayanan kesehatan
jiwa di daerah pelayanan kesehatan kabupaten / kota
d. Tim bergerak secara periodik ke tiap puskesmas untuk konsultasi,
surveisi, monitoring dan evaluasi
e. Pada saat tim mengunjungi puskesmas, maka penanggung jawab
pelayanan kesehatan jiwa & komunitas di puskesmas akan :
mengkonsultasikan kasus-kasus yang tidak berhasil atau melaporkan
hasil dan kemajuan pelayanan yang telah dilakukan

Unit pelayanan Kesehatan Jiwa di RSU :


a. Rumah sakit Umum daerah pada tingkat kabupaten / kota diharapkan
mampu menyediakan pelayanan rawat inap bagi klien gangguan jiwa
dengan jumlah tempat tidur terbatas sesuai dengan kemampuan
b. Sistem rujukan dari puskesmas / tim kesehatan jiwa masyarakat
kabupaten / kota ke rumah sakit umum harus jelas
Rumah Sakit Jiwa :
a. Rumah sakit jiwa merupakan pelayanan spesialistik kesehatan jiwa
yang difokuskan pada klien gangguan jiwa yang tidak berhasil di rawat
di keluarga/puskesmas/ RSU
b. Pasien yang telah selesai di rawat di RSJ dirujuk lagi ke puskesmas.
Penanggung jawab pelayanan kesehatan jiwa masyarakat di puskesmas
bertanggung jawab terhadap lanjutan asuhan di keluarga

4.2.4 Peran dan Fungsi Perawat Kesehatan Jiwa dan Komunitas


Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya
meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada
fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa induvidu,
keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. ANA mendefinisikan
keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi praktik
keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan
penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya. Praktik kontemporer
keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan lingkungan.
Peran keperawatan jiwa profesional berkembang secara kompleks
dari elemen historis aslinya. Peran tersebut kini mencakup dimensi
kompentensi klinis, advokasi pasien keluarga, tanggung jawab fiskal,
olaborasi antardisiplin, akuntabilitas sosial, dan parameter legal-etik.
Adapun peran perawat kesehatan jiwa masyarakat ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi, mengklasifikasi dan memetakan permasalahan
kesehatan jiwa. Perawat membantu pasien mengembangkan
kemampuan menyelesaikan masalah & meningkatkan fungsi
kehidupannya.
2. Pendidikan kesehatan dalam upaya preventif danj promotif penemuan
kasus dini, skiring dan tindakan yang cepat. Perawat memberikan
pendidikan kesehatan jiwa individu dan keluarga untuk
mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah. Perawat
mengembangkan kemampuan keluarga dalam melakukan 5 tugas
kesehatan keluarga
3. Pemberi asuhan keperawatan pada intervensi kondisi “krisis”.
Memberikan asuhan secara langsun, peran ini dilakukan dengan
menggunakan konsep proses keperawatan jiwa. Kegiatan yang
dilakukan adalah pengelolaan kasus, tindakan keperawatan individu
keluarga, kolaborasi dengan tim kesehatan. Melakukan pemeriksaan
langsung dari keluarga ke keluarga, dapat berkoordinasi dengan
masyarakat serta TOMA tokoh masyarakat.

4.2.5 Masalah Kesehatan Jiwa Masyarakat


Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf
kesehatan jiwa masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan karakteristik
kehidupan di perkotaan (urban mental health) meliputi: kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), kasus perceraian, anak remaja putus sekolah, kasus
kriminalitas anak remaja, masalah anak jalanan, promiskuitas,
penyalahgunaan Napza dan dampak nya (hepatitis C,HIV/AIDS dll),
gelandangan psikotik serta kasus bunuh diri.
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumah tangga adalah tiap perbuatan terhadap
seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga
(definisi dalam UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT).
Lingkup rumah tangga adalah suami, istri dan anak, termasuk juga
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan
darah, perkawinan, pengasuhan, perwalian dengan suami maupun istri
yang menetap bersama dalam rumah tangga.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga meliputi gangguan
kesehatan fisik non-reproduksi (luka fisik, kecacatan), gangguan
kesehatan reproduksi (penularan penyakit menular seksual, kehamilan
yang tidak dikehendaki), gangguan kesehatan jiwa (trauma mental),
kematian atau bunuh diri. Kekerasan rumah tangga juga dapat menjadi
salah satu atau kontributor meningkatnya kasus perceraian, kasus
penelantaran anak, kasus kriminalitas anak remaja serta juga
penyalahgunaan Napza.
2. Anak Putus Sekolah
Berdasarkan data direktorat pendidikan kesetaraan depdiknas tahun
2005 lalu di Indonesia tercatat jumlah pelajar SLTP yang putus sekolah
adalah sebanyak 1.000.746 siswa/siswi, sedangkan pelajar SLTA yang
putus sekolah adalah sebanyak 151.976. jumlah lulusan SLTA yang
tidak melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi pada tahun tersebut
tercatat sebanyak 691.361 siswa/ siswi. Laporan Organisai Buruh
Internasional (ILO) tahun 2005 menyatakan bahwa sebanyak 4,18 juta
anak usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah dan sebagainya menjadi
“pekerja anak” perwakilan ILO di Indonesia menyatakan bahwa
banyaknya anak putus sekolah dan menjadi pekerja anak disebabkan
karena biaya pendidikan di Indonesia masih dianggap terlalu mahal dan
tak terjangkau oleh sebagian kalangan masyarakat. Angka partisipasi
kasar (APK) program wajib belajar 9 tahun yang dirilis Depdiknas
menunjukan baru mencapai 88,68% dari target 95% partisipasi anak
usia sekolah yang diharapkan.
3. Masalah Anak Jalanan
Masalah anak jalan di Indonesia seperti kekerasan pada anak,
masalah anak jalanan, penelantaran anak dan sebagainya masih cukup
tinggi. Berdasarkan data dari Departemen Sosial tahun 2005, jumlah
anak jalanan di Indonesia adalah sekitar 30.000 anak dan sebagian
besarnya berada di jalan-jalan di DKI Jakarta. Selain itu baru terdapat
12 daerah di Indonesia yang memiliki perda tentang anak jalanan.
Padahal para anak-anak jalanan tersebut jelas rentan terhadap berbagai
tindak kekerasan, penyimpangan perlakuan, pelecehan seksual bahkan
dilibatkan dalam berbagai tindak kriminal oleh orang dewasa yang
menguasainya.

4. Kasus Kriminalitas Anak Remaja


Data Direktorat Jenderal Kemasyarakatan Dephukham dan komnas
pelindungan anak (PA) menujukan bahwa pada tahun 2005 di Indonesia
terdapat 2.179 tahanan anak dan 802 narapidana anak, 7 diantaranya
anak perempuan. Tahun 2006 angkanya menjadi 4.130 tahanan anak
serta 1.325 narapidana anak, dimana 34 diantaranya adalah anak
perempuan. Menurut survey Komnas PA penyebab anak masuk LP
Anak adalah 40% karena terlibat kasus Narkoba (Napza), 20% karena
perjudian sedangkan sisanya karena kasus lain-lain. Kira-kira 20%
tindak kekerasan seksual pada tahun 2006 pelakunya adalah anak
remaja, 72% anak remaja pelaku kekerasan seksual mengaku
terinspirasi Tayangan TV, setelah membaca media cetak porno dan
nonton film porno. Laporan Komnas PA menyatakan bahwa 50-70%
anak terlibat dalam tindak pidana kriminalitas lalu di vonis penjara dan
masuk LP Anak justru perilakunya menjadi lebih jelek dan menjadi
residivis dikemudian hari.
5. Masalah Narkoba, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza)
serta dampaknya (Hepatitis C, HIV/AIDS, dll)
Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza)
tergolong dalam zat psikoaktif yang bekerja mempengaruhi kerja sistem
penghantar sinyal saraf (neuro-transmiter) sel-sel susunan saraf pusat
(otak) sehingga meyebabkan terganggunya fungsi kognitif (pikiran),
persepsi, daya nilai (judgment) dan perilaku serta dapat menyebabakan
efek ketergantungan, baik fisik maupun psikis. Penyalahgunaan Napza
di Indonesia sekarang sudah merupakan ancaman yang serius bagi
kehidupan bangsa dan negara. Pengungkapan kasusnya di Indonesia
meningkat rata-rata 28,9 % per tahun. Tahun 2005 pabrik extasi terbesar
ke 3 di dunia terbongkar di Tangerang, Banten. Di Indonesia diprediksi
terdapat sekitar 1.365.000 penyalahgunaan Napza aktif dan data
perkiraan estimasi terakhir menyebutkan bahwa pengguna Napza di
Indonesia mencapai 5.000.000 jiwa. Mengikuti laju perkembangan
kasus tersebut dijumpai pula peningkatan epidemi penyakit hati lever
hepatitis tipe-c dan kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) AIDS
(Acquired Immune-Deficiency Syndrome) yang modus penularan
melalui penggunaan jarum yang tidak steril secara bergantian pada
“pengguna Napza suntik (Penasus/injecting drug user/ IDU).
Pola epidemik HIV/AIDS di Indonesia tak jauh berbeda dengan
negara-negara lain, pada fase awal penyebarannya melalui kelompok
homoseksual, kemudian tersebar melalui perilaku seksual berisiko
tinggi seperti pada pekerja seks komersial, namun beberapa tahun
belakangan ini dijumpai kecenderungan peningkatan secara cepat
penyebaran penyakit ini diantara para pengguna Napza suntik. Berbagai
sember memperkirakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia
telah mencapai kurang lebih 120.000 orang dan sekitar 80% dari jumlah
tersebut terinfeksi karena pengunaan jarum yang tidak steril secara
bergantian pada para pengguna Napza suntik, jumlah penderita
HIV/AIDS dari tahun 2000 sampai 2005 meningkat dengan cepat
menjadi 4 kali lipat atau 40%. Data pada akhir tahun 2005 menyatakan
bahwa prevalensi penularan HIV AIDS pada “penasun” adalah 80- 90%
artinya , mencapai 90% dari total penasun dipastikan terinfeksi
HIV/AIDS.

6. Gangguan Psikotik Dan Gangguan Jiwa Skizofrenia


Ganguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan dalam fungsi
alam pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang
ditandai antara lain oleh gejala gangguan pemahaman (delusi waham)
gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi serta dijumpai daya nilai
realitas yan terganggu yang ditunjukan dengan perilaku-perilaku aneh
(bizzare). Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari jumlah seluruh
penduduk di suatu wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai
timbul (onset) nya pada usia 15-35 tahun. Bila angkanya 1 dari 1.000
penduduk saja yang menderita gangguan tersebut, di Indonesia bisa
mencapai 200-250 ribu orang penderita dari jumlah tersebut bila 10%
nya memerlukan rawat inap di rumah sakit jiwa berarti dibutuhkan
setidaknya 20-25 ribu tempat tidur (hospital bed) Rumah sakit jiwa
yang ada saat ini hanya cukup merawat penderita gangguan jiwa tidak
lebih dari 8.000 orang. Jadi perlu dilakukan upaya diantaranya porgram
intervensi dan terapi yang implentasinya bukan di rumah sakit tetapi
dilingkungan masyarakat (community based psyciatric services)
penambahan jumlah rumah sakit jwa bukan lagi merupakan prioritas
utama karena paradigma saat ini adalah pengembangan program
kesehatan jiwa masyarakat (deinstitutionalization). Terlebih saat ini
telah banyak ditemukan obat-obatan psikofarmaka yang efektif yang
mampu mengendalikan gejala ganggun penderitanya. Artinya dengan
pemberian obat yang tepat dan memadai penderita gangguan jiwa berat
cukup berobat jalan.
Sebenarnya kondisi di banyak negara berkembang termasuk
Indonesia lebih menguntungkan dibandingkan negara maju, karena
dukungan keluarga (primary support groups) yang diperlukan dalam
penggobatan gangguan jiwa berat ini lebih baik dibandingkan di negara
maju. Stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak hanya
menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi bagi
juga anggota keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan,
disisihkan, dan diisolasi. Penderita gangguan jiwa mempunyai risiko
tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

7. Kasus Bunuh Diri


Data WHO menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 800.000 orang di
seluruh dunia melakukan tindakan bunuh diri setiap tahunnya. Laporan
di India dan Sri Langka menunjukkan angka sebesar 11-37 per 100 ribu
orang, mungkin di Indonesia angkanya tidak jauh dari itu. Menurut Dr.
Benedetto Saraceno dari departemen kesehatan jiwa WHO, lebih dari
90% kasus bunuh diri berhubungan dengan masalah gangguan jiwa
seperti depresi, psikotik dan akibat ketergantungan zat (Napza).
Yang mengkhawatirkan adalah dijumpainya pergeseran usia orang
yang melakukan tindak bunuh diri. Kalau dahulu sangat jarang anak
yang usianya kurang dari 12 tahun melakukan tindak bunuh diri, tetapi
sekarang bunuh diri pada anak usia kurang dari 12 tahun semakin sering
ditemukan. Ini menunjukkan kegagalan orang tua di rumah, guru di
sekolah dan tokoh panutan di asyarakat membekali keterampilan hidup
(life skill) untuk mengatasi tantangan maupun kesulitan hidupnya.
Kasus bunuh diri sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
serius terutama bila dikaitkan dengan dampak kehidupan moderen.
Oleh karena itu WHO memandang bunuh diri sebagai peyebab utama
kematian dini yang dapat dicegah.
Kondisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah altruistic
suicide atau bunuh diri karena loyalitas berlebihan yang antara lain
bentuk “bom bunuh diri”. Banyak ahli mengaitkan hal tersebut sebagi
manifestasi dari akumulasi kekecewaan, perlakuan tidak adil atau
tersisihkan. Mengatasi altruistic suicide tidak mudah dan memerlukan
pendekatan multi disiplin antara berbagai pihak terkait seperti aspek
kesehatan jiwa, pendekatan agama, penegakan hukum dan sosial.

4.2.6 Diagnosa keperawatan jiwa masyarakat


Ada beberapa masalah keperawatan yang sering muncul dari
pengkajian yang dilakukan kepada masyarakat. Beberapa masalah tersebut
akan dijelaskan satu persatu.
1. Ansietas
Rencana asuhan keperawatan
Kriteria hasil: pasein akan menunjukkan cara koping adaptif terhadap
stress.

Tujuan jangka pendek:


a. Pasien akan mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan
tentang ansietas.
Intevensi:
1) Bantu pasien mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan
yang mendasari.
2) Kaitkan perilaku pasien dengan perasaan tersebut.
3) Validasi semua perasaan dan asumsi kepada pasien
4) Gunakan pertanyaan terbuka untuk beralih dari topik yang tidak
mengancam ke isu-isu konflik
5) Variasikan besarnya ansietas untuk meningkatkan motivasi
pasien
6) Sementara itu gunakan konfrontasi suportif dengan bijaksana
Rasional: untuk mengadopsi respon koping yang baru, pasien
pertama kali harus menyadari perasaan dan mengatasi
penyangkalan dan resistens yang disadari atau yang tidak
disadari.
b. Pasien akan mengidentifikasi penyebab ansietas
Intervensi:
1) Bantu pasien menggambarkan situasi dan interaksi yang
mendahului ansietas
2) Tinjauan penilaian pasien terhadap stressor, nilai-nilai yang
terancam, dan cara konflik yang berkembang
3) Hubungkan pengalaman pasien saat ini dengan pengalaman
yang relevan pada masa lalu
Rasional: setelah perasaan ansietas dikenali, pasien harus mengerti
perkembangannya termasuk stressor pencetus, penilaian stressor
dan sumber yang tersedia.
c. Pasien akan menguraikan respons koping adaptif dan maladaptif
Intervensi:
1) Kaji bagaimana pasien menurunkan ansietasnya dimasa lalu dan
tindakan yang dilakukan untuk menurunkannya.
2) Tunjukkan efek maladaptif dan destruktif dari respon koping
saat ini
3) Dorong pasien untuk menggunakan respon koping adaptif yang
efektif dimasa lalu
4) Fokuskan pada tanggung jawab untuk berubah pada pasien
5) Bantu pasien secara aktif untuk mengaitkan hubungan sebab dan
akibat sambil mempertahankan ansietas yang sesuai
6) Bantu pasien dalam menilai kembali nilai, sifat dan arti stressor
pada saat yang tepat
Rasional: respon koping adaptif yang baru dapat dipelajari melalui
analisi mekanisme koping yagn digunakan dimasa lalu, penilaian
ulang stressor menggunakan sumber-sumber yang tersedia, dan
menerima tanggung jawab untuk berubah
d. Pasien akan mengimplementasikan dua respon adaptif untuk
mengatasi ansietas.
Intervensi:
1) Bantu pasien mengidentifikasi cara untuk membangun kembali
pikiran, memodifikasi perilaku, menggunakan sumber-sumber
dan menguji respon koping yang baru
2) Dorong pasien melakukan aktivitas fisik untuk mengeluarkan
energi
3) Libatkan orang terdekat sebagai sumber dan dukungan sosial
dalam membantu pasien dalam mempelajari respon koping yang
baru
4) Ajarkan pasien tentang teknik relaksasi untuk meningkatkan
kendali dan percaya diri serta mengurangi stress.
Rasional: seseorang juga dapat mengatasi stress dengan mengatur
disstress emosional yang menyertainya melalui penggunaan teknik
penatalaksanaan stress
2. Harga diri rendah situasional pada remaja berhubungan dengan
Gangguan gambaran diri yang dimanifestasikan dengan Akibat
dimarahi dan diperlakukan kasar sama orang tua.
a. Tujuan Jangka Panjang
Koping komunitas di kelurahan Patimuan menjadi efektif dalam
menjalani masalah.

b. Tujuan Jangka Pendek


1) Orangtua dapat mengatasi Stres.
2) Tidak terjadi Kekerasan pada remaja.
3) Remaja tidak lagi takut dengan orangtuanya.
4) Percaya Diri pada remaja meningkat.
5) Kedekatan orang tua dan remaja menjadi lebih baik.

4.3 PENYEBAB MASALAH

Untuk dapat memecahkan masalah yang ada, maka dicari penyebab


masalah menggunakan metode fish bone. Adapun hasilnya adalah sebagai
berikut:

4.4 ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH


Dalam pemaparan di atas dapat dibuat alternative pemecahan
masalah sebagai berikut
1. Kesehatan Jiwa

Penyebab Alternatif
Alternatif Rencana
No Masalah Pemecahan
Terpilih Kegiatan
Prioritas Masalah
1 2 3 4 5
1. Kesadaran dan - Memaksimalkan - Memaksimalkan - Dilakukan
sikap penyuluhan penyuluhan penyuluhan 2
masyarakat - Melatih petugas - Melatih petugas kali sebulan
pada ODGJ kesehatan di kesehatan di - Melatih petugas
masih poskeskel poskeskel kesehatan di
kurang - Melatih kader poskeskel
- Melakukan
kerjasama dengan
pihak RSJ
2. Tenaga kerja - Memaksimalkan - Memaksimalkan - Dilakukan
kerumah ODGJ home visit home visit home visit 2 kali
masih kurang - Melatih petugas - Melatih petugas sebulan
keseahtan yang kesehatan yang - Melatih petugas
sudah ada sudah ada kesehatan yang
- Menambah tenaga sudah ada
kerja
3 Ketersediaan obat - Peng - Pe - P
ajuan pengadaan ngajuan engajuan
obat ke Dinas pengadaan obat pengadaan obat
Kesehatan ke Dinas ke Dinas
Kesehatan Kesehatan
setiap awal
tahun

Anda mungkin juga menyukai