Anda di halaman 1dari 10

KONTRA 1

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas


HAM) Roichatul Aswidah mengatakan, penerapan hukuman mati merupakan bentuk
pemidanaan yang inkonstitusional. UUD 1945, jelas dia, menyatakan hak hidup merupakan
salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pasal 28 huruf A UUD 1945 menyatakan setiap warga negara memiliki hak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sementara, pasal 28 huruf G ayat (2)
menetapkan setiap orang memilki hak untuk bebas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia. "Hukuman mati itu inkonstitusional. Menurut
konstitusi, hak hidup merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun," ujar Roichatul dalam seminar 'Hukuman Mati di Negara Demokrasi', di Kampus
Unika Atma Jaya, Jakarta, Selasa (17/5/2016).
Lebih jauh, Roichatul menjelaskan, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang
keji dan tidak manusiawi. Hal tersebut tercantum dengan jelas dalam Konvenan Internasional
Anti Penyiksaan dan Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Komite Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pun, kata Roichatul, menyatakan bahwa hak hidup
adalah supreme human rights di mana bila tidak dipenuhi, maka hak asasi lain tidak akan
terpenuhi. Resolusi Komisi HAM PBB telah meminta penghapusan hukuman mati dan
negara yang masih mnerapkan harus melakukan moratorium hukuman mati.
"Seharusnya Indonesia menghapus hukuman mati secara total," kata Roichatul. Ia
menambahkan, jika negara tetap menerapkan hukuman mati seharusnya disertai beberapa
pembatasan. Menurut Roichatul, hukuman mati tidak bisa diterapkan kecuali pada kejahatan
paling serius, yakni pembunuhan yang terencana, sistematis dan meluas. Kedua, adanya
jaminan pemeriksaan dan proses hukum yang adil.
KONTRA 2

Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), mendukung hukuman mati
bagi koruptor. "Saya setuju hukuman mati terhadap para koruptor. Seorang megakoruptor lebih
jahat dari tentara yang membunuh demonstran," cetus Teten kepada hukumonline.
Di mata Teten, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan
hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang
sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Pelanggaran HAM di berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis.
Begitu pula, para koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menghancur
perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati malah ikut menanggung
derita.

Teten berpendapat, para koruptor yang harus dihukum mati adalah para koruptor yang
'merampok' uang negara miliaran rupiah, seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan kelas teri,
seperti karyawan yang mencuri di kantornya. "Saya sudah muak. Jadi, sebaiknya para koruptor
itu dihukum mati," tegas Teten.
Kegeraman Teten cukup beralasan. Banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan
miliar rupiah akhirnya divonis bebas. Contohnya, para terdakwa kasus Bank Bali (Djoko S.
Tjandra, Pande Lubis, Syahril Sabirin), BLBI bank Modern (Samadikun Hartono), Dana BPUI
(Sudjiono Timan). Para koruptor itu tetap bisa bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum.

Bertentangan dengan HAM


Namun, para aktivis di bidang penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadap
para koruptor kakap sekalipun. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan
dengan HAM, UUD 1945, dan Pancasila.
Asmara Nababan, Direktur Eksekutif Demos, misalnya, mengusulkan agar hukuman mati
dicabut. Alasannya, penghapusan hukuman mati sudah menjadi gerakan internasional.
Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada 1966 yang berlaku sejak 1976, antara
lain menyebutkan larangan hukuman mati dan memberikan hak untuk hidup.

Hingga 9 Desember 2002, tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi terhadap kovenan ini.
Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula melakukan ratifikasi/aksesi
terhadap Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death
Penalty.
Selain itu, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua, "Kemanusian yang
adil dan beradab." Selain itu, hukuman mati juga tidak taat dengan Pasal 28A dan 28 I UUD
1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun.
Menurut Asmara, ancaman hukuman mati lebih banyak kepada alasan pembalasan dendam
kepada penjahat yang telah membunuh dengan sadis. Namun, hukuman mati tidak akan
memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana lainnya. "Tidak ada korelasi langsung
antara hukuman mati dengan efek jera di masyarakat," ujar mantan Sekjen Komnas HAM ini
kepada hukumonline.
Tidak ada korelasi
Asmara juga tidak setuju jika para koruptor dihukum mati. "Belum terbukti, negara yang
menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Tidak ada itu korelasinya. Korelasinya
adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban," katanya.
Bhatara Ibnu Reza, peneliti Imparsial, sependapat dengan Asmara bahwa tidak ada korelasi
langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Ia mencontohkan, Negeri
China. "Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati di China. Tapi buktinya, China tetap
masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar paling korupsi di dunia," katanya.
Sejak 1999, Cina memang mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak pidana
korupsi. Pada akhir 2000, Cina telah membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang
melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di
antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.
Pada 9 Maret 2001 nasib buruk menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati hanya 24 jam
setelah permohonan kasasinya ditolak oleh MA. Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum
mati setelah terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti senilai
AS$200.000.
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock
therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina. "Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati
partai," demikian semboyan yang terus didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin Cina,
terutama PM Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai salah satu "Mr Clean".

Sulit dilaksanakan
Tampaknya, Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Selain
komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum juga
masih setengah hati dalam menindak para koruptor.
Belum lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati. Munarman
dari YLBHI atau Munir dari Imparsial termasuk yang menolak hukuman mati. Bahkan,
mengusulkan lebih baik Pemerintah mengefektifkan lembaga grasi sebagai alat untuk menolak
penerapan pidana mati.
Ada ungkapan menarik dari Ketua Mahkamah Agung (MA) terhadap mereka yang menyatakan
bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan UUD 1945. "Bagus juga teman-teman kita ini
berpikir seperti itu. Tapi kalau saya tidak salah, orang-orang yang sama beberapa waktu lalu
menyatakan koruptor harus diberi hukuman mati. Tapi sekarang, mereka mengatakan
hukuman mati bertentangan dengan UUD. Tapi tidak apa-apa, orang Indonesia kan dinamis
berpikir," ungkap Bagir.
Sayang, Bagir tidak menyebutkan orang-orang yang berubah pikiran. Bagir juga menyebutkan
bahwa pengertian hak untuk hidup dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang untuk tidak
boleh dibunuh secara semena-mena.
Lalu, bagaimana dengan para koruptor yang telah melakukan kejahatan ekonomi. Pantaskah
hukuman mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan menyengsarakan
masyarakat? Bagaimana pendapat Anda?
PRO 1

KPK sepakat dengan usulan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang merekomendasikan
bahwa koruptor bisa dihukum mati. Menurut Plt Pimpinan KPK, Johan Budi, kejahatan
korupsi masuk dalam kategori kejahatan yang luar biasa, sehingga sudah waktunya adanya
peraturan yang mengakomodir hukuman mati untuk koruptor.

"Saya pribadi setuju, kejahatan korupsi itu masuk dalam kejahatan luar biasa, bahkan sama
dengan kejahatan terorisme dan HAM," kata Johan, Rabu (5/8/2015).

Menurut Johan, memang sudah saatnya diatur mengenai peluang penjatuhan hukuman mati
bagi para koruptor. Namun, tentu saja hal itu harus dilihat dari tingkat kesalahannya.
"Jadi wajar jika ada hukuman mati, tentu dilihat dari tingkat pidananya atau perbuatan
pidananya," jelas Johan.

Sebelumnya, usulan koruptor tak boleh disalatkan datang dari Ketua Pengurus Pusat Pemuda
Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak dalam pidatonya di Sidang Pleno III Dinamika
Wilayah dan Ortonom di Kampus Univ. Muhammadiyah Makassar, Selasa malam (4/8).

Rekomendasi soal koruptor juga sudah pernah dibahas oleh ulama Nahdlatul Ulama.
Rencananya, hari ini akan dibacakan di arena Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur.

Pada saat acara ulama Nusantara di Yogyakarta muncul gerakan pesantren anti korupsi.
Sejumlah rekomendasi lahir dari pertemuan itu, salah satunya adalah penerapan hukuman
mati bagi koruptor.

"Sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang meliputi Sanksi
sosial dan moral, pemiskinan harta, ta'zir, adzab di akhirat, dan hukum maksimal berupa
hukuman mati," ujar Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin.

Ishomuddin menyampaikan bahwa hukuman mati terhadap koruptor dapat ditetapkan apabila
tindak pidana korupsi dan pencucian uang dilakukan ketika negara dalam keadaan bahaya,
krisis ekonomi, krisis sosial, atau bahkan secara berulang-ulang.
(kha/mad)
PRO 2

Jakarta, Kompas - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar di Jakarta, Senin
(5/4), menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dan penyuapan. Hakim
harus berani menerapkan hukuman itu karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999.

UU No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain
pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan
tertentu. Yang kini belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman
mati.

Patrialis di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, menyatakan, ”Undang-Undang Korupsi sudah


mengatur soal itu dan membolehkan. Saya setuju penerapannya itu. Masa kita harus berdebat
terus mengenai itu. Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim menafsirkan dan berani
memutuskannya.”

Perlunya sanksi yang keras pada pelaku korupsi muncul kembali karena meski sudah banyak
pejabat dihukum terkait kasus korupsi, sanksi tidak membuat pejabat atau orang lain jera
untuk korupsi. Korupsi, khususnya suap, bahkan kini dinilai sebagai budaya (Kompas, 5/4).

Menurut Patrialis, untuk mengikis korupsi dan penyuapan, pemerintah sebenarnya


menerapkan aturan yang keras agar membuat kapok pelakunya. ”Jika sekarang masih terjadi,
mungkin harus lebih keras lagi cara penerapan sanksinya,” ujarnya.

Patrialis mengatakan, selain hukuman berat, kesejahteraan pegawai juga harus lebih baik dan
memadai lagi. ”Kalau ada orang yang seperti Gayus HP Tambunan lagi, tentu harus dihajar
dengan hukuman yang lebih berat dan keras lagi,” paparnya.

PRO 3

Latvia dan China

Di Surabaya, Jawa Timur, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui,


korupsi di negeri ini sudah parah dan merajalela. Karena itu, Indonesia perlu belajar dari
Latvia dan China yang berani melakukan perombakan besar untuk menumpas korupsi di
negaranya.
Menurut Mahfud, sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang korup. Untuk memberantas
korupsi yang parah, negara itu menerapkan UU lustrasi nasional atau UU pemotongan
generasi. Melalui UU itu, semua pejabat eselon II diberhentikan dan semua pejabat dan tokoh
politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi
negara yang benar-benar bersih dari korupsi.

Di China dilakukan pemutihan semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun 1998.
Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi begitu ada korupsi sehari sesudah
pemutihan, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman mati.

”Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China dijatuhi hukuman mati. Sekarang
China menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini,” tambahnya.

Saat menjabat Menteri Kehakiman pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
Mahfud pernah mengusulkan rancangan UU lustrasi dan UU pemutihan. Namun, usulan itu
kandas karena Gus Dur lengser.

Mahfud menilai korupsi di Indonesia sedemikian merajalela dan menjadi penyakit kronis,
bahkan negara ini sudah rusak. ”Korupsi terjadi di mana-mana, mulai polisi, jaksa, hakim,
hingga kantor sepak bola. Ironisnya, korupsi justru merajalela dan menjadi penyakit setelah
kita mengamandemen UUD 1945 selama empat kali sejak tahun 1999 hingga 2002,” ujarnya.

Menurut Mahfud, sistem pemberantasan korupsi di Indonesia sudah bagus. Namun,


mentalitas dan moralitas masyarakat Indonesia telah rusak.

Pro 4
Medan (ANTARA News) - Pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Dr
Pedastaren Tarigan,SH, mengatakan para koruptor yang telah merugikan keuangan negara,
sudah sepantasnya dijatuhi hukuman mati, sehingga dapat membuat efek jera.
"Ganjaran hukuman mati itu, merupakan langkah yang dinilai paling tepat diterapkan bagi
koruptor yang ada di negeri ini," katanya di Medan, Jumat.
Sebab, menurut dia, tanpa diterapkannya hukuman mati terhadap koruptor di negeri tercinta
ini, pelaku kejahatan atau "pencoleng" harta dan kekayaan negara itu akan terus berkembang
semakin subur dan tidak akan pernah berhenti.
"Jadi, perlu adanya ketegasan dalam menerapkan hukuman mati terhadap koruptor yang telah
menghancurkan sendi-sendi kehidupan perekonomian negara," kata Kepala Laboratorium
Fakultas Hukum USU itu.
Dia mengatakan, penerapan hukuman mati itu juga diatur dalam ketentuan hukum di
Indonesia, namun sampai saat ini tidak pernah dilaksanakan terhadap koruptor yang nyata-
nyata telah merugikan keuangan negara.
Oleh karena itu, katanya, pemerintah juga perlu mengkaji ulang Undang-Undang yang
menerapkan hukuman mati tersebut.
"Selama ini, pelaku yang terbukti korupsi itu, hanya dijatuhi hukuman lima tahun penjara.Ini
dinilai terlalu ringan, dan tidak membuat efek jera terhadap mereka yang telah memperkaya
diri sendiri atau dengan sengaja menyalahgunakan keuangan negara," kata staf pengajar di
Fakultas Hukum USU itu.
Selanjutnya Pedastaren mengatakan, dengan penerapan hukuman mati terhadap koruptor itu,
diyakini dapat membuat rasa takut atau kehilangan nyali korup, serta mereka tidak akan
mengulangi lagi kejahatan tersebut.
Penerapan hukuman mati itu, juga salah satu solusi untuk menyelamatkan keuangan negara
dari koruptor yang juga sebagai musuh negara.
"Perlunya penerapan hukuman mati bagi koruptor itu, untuk terciptanya penegakan hukum
tegas dan benar, sehingga minat untuk melakukan penyimpangan keuangan negara semakin
berkurang," ujarnya.
Ketika ditanya mengenai wacana hukuman minimal lima tahun penjara bagi koruptor,
Pedastaren mengatakan, dirinya kurang sependapat, hal ini terlalu ringan dan tidak akan
membuat efek jera terhadap koruptor itu.
Hukuman lima tahun terhadap pelaku koruptor tersebut, jelas membuat senang bagi mereka
yang melanggar hukum tersebut.
Karena, menurut Pedastaren, koruptor yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) itu, juga akan memperoleh remisi atau pengurangan hukuman. Koruptor tersebut juga
tidak akan penuh menjalani hukuman di Lapas.
"Pemerintah juga perlu ketegasan mengenai penerapan hukuman terhadap koruptor itu, yakni
apakah hukuman 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup atau hukuman mati," kata
Pedastaren. (ANT)
Tata cara pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati sebagaimana diatur dalam UU No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain setingkat undang-
undang diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (“UU
2/PNPS/1964”). Pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.

Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil (Brimob) yang
dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan pengadilan yang menjatuhkan
pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah
pimpinan seorang Perwira. Dalam UU 2/PNPS/1964 itu juga diatur bahwa jika terpidana hamil,
maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.

Pengaturan yang lebih teknis mengenai eksekusi pidana mati diatur dalam Peraturan Kapolri
No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Dalam Pasal 1 angka 3
Perkapolri 12/2010 disebutkan bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman
pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Adapun tata cara pelaksanaan pidana mati terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Persiapan;
2. Pengorganisasian;
3. Pelaksanaan; dan
4. Pengakhiran

3. Proses Pelaksanaan Hukuman Mati

Proses pelaksanaan pidana mati secara lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri 12/2010
sebagai berikut:

1. Terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum
dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati;
2. Pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat
didampingi oleh seorang rohaniawan;
3. Regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu
pelaksanaan pidana mati;
4. Regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam sebelum
pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan;
5. Regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api laras
panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter sampai
dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan;
6. Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor dengan
ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;
7. Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan
persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati;
8. setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan
memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN”
kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan ”LAKSANAKAN”;
9. Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi
amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang
dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir peluru hampa yang masing-
masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor;
10. Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk
membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua
tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi
berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa;
11. Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 (tiga)
menit dengan didampingi seorang rohaniawan;
12. Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana
menolak;
13. Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung
sebagai sasaran penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari
terpidana;
14. Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap
untuk dilaksanakan pidana mati;
15. Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera
dilaksanakan penembakan terhadap terpidana;
16. Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu penembak
untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan
posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana;
17. Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak
dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat
di tempat;
18. Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil
sikap salvo ke atas;
19. Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk
membidik sasaran ke arah jantung terpidana;
20. Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat
kepada Regu penembak untuk membuka kunci senjata;
21. Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang
sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak;
22. Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai
isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata;
23. Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter memeriksa kondisi terpidana dan
apabila menurut Dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan,
Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Pelaksana melakukan penembakan
pengakhir;
24. Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan
penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis
terpidana tepat di atas telinga;
25. Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih
ada tanda-tanda kehidupan;
26. Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa
tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana;
27. Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu penembak memerintahkan
anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan
28. Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan
ucapan ”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”.

Dalam hal pelaksanaan pidana mati ini dijatuhkan kepada beberapa orang terpidana dalam satu
putusan, pidana mati dilaksanakan serempak pada waktu dan tempat yang sama namun
dilaksanakan oleh regu penembak yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai