OLEH :
KELAS 6E
AKUNTANSI PROGRAM S1
FAKULTAS EKONOMI
a Periode 1983-1997
Memasuki awal periode 1982/1983 perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang cukup
berat terutama disebabkan oleh menurunnya harga minyak di pasaran dunia dan berlanjutnya
resesi ekonomi dunia yang berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian dalam negeri. Daya
saing produk Indonesia menurun karena nilai rupiah over valued akibat tingginya laju inflasi
dibandingkan dengan negara pesaing atau negara rekanan dagang utama Indonesia, maka
pertumbuhan ekonomi semakin menurun tajam dan defisit neraca pembayaran cukup besar.
Untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia, maka ditempuh beberapa kebijakan
pengendalian moneter yang menuju ke arah mekanisme pasar. Kebijakan tersebut diawali
dengan mendevaluasi nilai tukar rupiah pada 30 Maret 1983 dari Rp 702,50 menjadi Rp 970
per USD guna mengembalikan daya saing Indonesia. Selanjutnya, diambil langkah deregulasi
di bidang keuangan dan moneter berupa Paket Kebijakan 1 Juni 1983 dengan maksud utama
untuk mendorong kemandirian dunia perbankan.
Kebijakan 1 Juni 1983 atau lebih dikenal dengan PAKJUN 83 merupakan awal
deregulasi sektor moneter yang dimaksudkan untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi
perkembangan perbankan yang lebih sehat di masa mendatang. Deregulasi perbankan ini
berkaitan dengan sektor perkreditan dan pengerahan dana. Dari sisi moneter, inti dari
kebijakan tersebut adalah: (1) Kebebasan pada bank pemerintah untuk menetapkan suku
bunga deposito. Sebelumnya, suku bunga deposito ini masih diatur oleh Bank Indonesia; (2)
Ketentuan pagu kredit, yang sebelumnya digunakan sebagai salah satu instrumen intervensi
langsung, dihapuskan. Sebagai gantinya, pemerintah menggunakan instrumen tidak langsung
yaitu penentuan cadangan wajib, operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas diskonto, dan moral
suasion.
Dari segi pengendalian uang beredar, kebijakan deregulasi 1 Juni 1983 ini telah
mengubah mekanisme dan piranti pengendalian moneter. Pemerintah tidak lagi melakukan
intervensi langsung dalam mengendalikan kebijakan moneter. Untuk keperluan operasi pasar
terbuka (open market operation), sejak bulan Februari 1984 Bank Indonesia menerbitkan
instrumen moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan menyediakan fasilitas
diskonto. SBI merupakan instrumen moneter tidak langsung yang diadakan untuk menyedot
kelebihan uang beredar di masyarakat jika kondisi moneter terlalu ekspansif.
Tumbuhnya jumlah bank secara pesat telah mendorong peningkatan kompetisi antar
bank dalam mengumpulkan dana tabungan dan deposito dari masyarakat. Namun karena
kurangnya pengawasan dan supervisi yang kuat, aliran modal tidak terdistribusi secara baik
melainkan mengalir pada grup-grup atau sektor usaha yang memiliki kedekatan khusus
dengan pihak bank. Praktek-praktek inilah yang pada akhirnya telah meningkatkan resiko
kredit yang pada akhirnya mendorong tingginya tingkat NPL dalam industri perbankan tanah
air.
c Periode Pasca 1997
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena
tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank
Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan
nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih
menerapkan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang
beredar. Di dalam kerangka tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer
sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.
Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya
memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah mendorong kenaikan suku bunga
domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau memegang
rupiah dan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta tidak
menggunakannya untuk membeli valuta asing. Suku bunga SBI bulan yang selama ini
menjadi patokan (benchmark) bagi bank-bank terus menurun dari level tertinggi 35,52% pada
tahun 1998 menjadi 7,43% pada akhir April 2004.
Penurunan suku bunga SBI yang cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar uang
antarbank (PUAB) dan simpanan perbankan dengan laju penurunan yang hampir sama Suku
bunga kredit (kredit modal kerja) pun mengalami penurunan meskipun tidak secepat dan
sebesar penurunan suku bunga simpanan perbankan. Penurunan laju inflasi, penguatan nilai
tukar rupiah, dan penurunan suku bunga membentuk suatu lingkaran yang saling memperkuat
sehingga membuka peluang bagi pemulihan ekonomi.
Dari sisi pengelolaan moneter, krisis ekonomi sesungguhnya telah melahirkan suatu
pemikiran ulang bagi peran Bank Indonesia yang seharusnya dalam perekonomian, dan
sekaligus perannya dalam institusi kenegaraan di Republik ini. Pengalaman tersebut telah
memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bahwa bank sentral dengan segala
keterbatasan yang dimilikinya harus kembali kepada fungsi utamanya sebagai lembaga yang
bertanggung jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang dikeluarkannya. Dari
pengalaman itu pula yang kemudian melahirkan persetujuan DPR atas Undang Undang No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan suatu perubahan yang sangat
mendasar dalam hal pengelolaan moneter. Dalam UU tersebut, pemikiran ulang ini
diformulasikan dalam suatu tujuan kebijakan moneter yang jauh lebih fokus dibandingkan
dengan UU sebelumnya, yaitu “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”.
a Fenomena Inflasi
Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai dihampir semua
Negara di dunia adalah inflasi. Defenisi singkat mengenai inflasi adalah kecendrungan dari
harga-harga untuk menaikkan harga secara umum dan terus-menerus. Kecendrugan kenaikan
harga terjadi karena adanya musiman dan adanya hari-hari besar atau yang terjadi sekali saja.
Kenaikan semacam ini dianggap sebagai masalah atau penyakit ekonomi. Perkataan
“kecendrungan” dalam defenisi inflasi perlu digaris bawahi. Kalau seandainya harga-harga
dari dari sebagian besar barang diatur atau ditentukan oleh pemerintah, maka harga yang
dicatat oleh biro statistic mungkin tidak menunjukkan kenaikan kenaikan apa pun (karena
yang dicatat adalah harga “resmi” pemerintah).
Inflasi setahunan (year on year) di Indonesia Pada Tahun 2016 hingga bulan Juli
hanya sebesar 3,21 persen. Jika tingkat inflasi ini dapat dipertahankan hingga akhir tahun,
maka ini akan jadi inflasi terendah sejak 2009, saat inflasi hanya 2,78 persen. Tak hanya itu,
inilah untuk kali pertama dalam sejarah republik, selama dua tahun berturut-turut inflasi
dapat dijaga di level 3 persen. Tahun 2015, inflasi hanya 3,33 persen, sementara per bulan
Juli 2016, inflasi hanya sebesar 3,21% .
Sejak puluhan tahun lalu, pemerintah dan bank sentral berupaya menurunkan inflasi
di kisaran 3 persen, tetapi tak pernah berhasil. Inflasi Indonesia selalu di atas 5 persen dengan
rata-rata sekitar 6 persen. Inflasi rendah di bawah 4 persen hanya terjadi tatkala ada krisis
yang merontokkan daya beli masyarakat. Inflasi rendah yang stabil akan memberi topangan
yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Percuma saja pertumbuhan tinggi
jika inflasinya juga tinggi. Itu namanya pertumbuhan yang tidak berkualitas. Jika inflasi tidak
dikelola dengan baik, maka perekonomian akan semakin memburuk dan melemah. Hal ini
akan mengakibatkan pertumbuhan melambat, pengangguran meningkat, serta menimbulkan
krisis sosial dan politik.
Fenomena inflasi ini dapat diatasi dengan berbagai cara baik dengan kebijakan
moneter, kebijakan fiskal, maupun yang kebijakan lainnya, yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah segala bentuk kebijakan yang diambil pemerintah di bidang
moneter (keuangan) yang tujuannya untuk menjaga kestabilan moneter agar dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan moneter meliputi.
Bank sentral dapat mengambil kebijakan untuk mengurangi uang yang beredar
dengan jalan menetapkan persediaan uang yang beredar dan menetapkan persediaan uang kas
pada bank-bank. Dengan mengurangi jumlah uang beredar, inflasi dapat ditekan.
b. Kebijakan Diskonto
Untuk mengatasi inflasi, bank sentral dapat menerapkan kebijakan diskonto dengan
cara meningkatkan nilai suku bunga. Tujuannya adalah agar masyarakat terdorong untuk
menabung. Dengan demikian, diharapkan jumlah uang yang beredar dapat berkurang
sehingga tingkat inflasi dapat ditekan.
Melalui kebijakan ini, bank sentral dapat mengurangi jumlah uang yang beredar
dengan cara menjual surat-surat berharga, misalnya Surat Utang Negara (SUN). Semakin
banyak jumlah surat-surat berharga yang terjual, jumlah uang beredar akan berkurang
sehingga dapat mengurangi tingkat inflasi.
2. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah langkah untuk memengaruhi penerimaan dan pengeluaran
pemerintah. Kebijakan itu dapat memengaruhi tingkat inflasi. Kebijakan fiskal antara lain
sebagai berikut.
Untuk menekan inflasi, pemerintah dapat menaikkan tarif pajak. Naiknya tarif pajak
untuk rumah tangga dan perusahaan akan mengurangi tingkat konsumsi. Pengurangan tingkat
konsumsi dapat mengurangi permintaan barang dan jasa, sehingga harga dapat turun.
3. Kebijakan Lainnya
Sasaran akhir jangka pendek dari baik dari kebijaksanaan moneter maupun fiscal
adalah menjaga keseimbangan dari perekonomian, yaitu agar tercapai inflasi yang rendah,
tingkat kegiatan ekonomi produksi yang tinggi serta neraca pembayaran yang seimbang. Ini
merupakan tujuan yang “ideal” dari kebijaksanaan ekonomi secara keseluruhan. Tentu tidak
semua aspek dari sasaran ini akan dicapai secara penuh dan sekaligus dalam kenyataan.
Dalam usaha pencapaian sasran akhir tersebut, kebijaksanaan moneter dengan pengaruhnya
pada ketiga aspek sasaran akhir tersebut adalah panjang, sehingga akan sangat terlambat
seandainya terjadi kesalahan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan hanya bisa diubah setelah
hasil akhir telah diamati.
Tingkat suku bunga yang stabil menunjukan bahwa situasi pasar uang adalah tenang
dan bahwa ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Oleh sebab itu memelihara
kestabilan tingkat bunga bukanlah berarti bunga pada tingkat tertentu.
Suku bunga bank di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Di saat
suku bunga deposito bank di Malaysia hanya 3 persen per tahun dan Singapura sebesar 2
persen per tahun, suku bunga deposito di Indonesia mencapai 7 persen. Akibatnya, selama
puluhan tahun, suku bunga kredit perbankan Indonesia selalu berada di angka belasan persen,
sementara bank-bank di negara lain sudah di level satu digit atau single digit. Kondisi ini
membuat perusahaan-perusahaan Indonesia tidak memiliki daya saing di pasar global.
Barang-barang ekspor Indonesia kurang kompetitif, apalagi dalam hal produk-produk industri
yang bernilai tambah. Tak heran, akhirnya Indonesia hanya bisa mengekspor komoditas-
komoditas mentah atau setengah mentah yang memang tidak dimiliki negara lain.
Namun pada tahun 2016, untuk kali pertama, suku bunga kredit perbankan bisa
menginjak level satu digit. BRI, misalnya, sudah mematok suku bunga ritel di level 9,75
persen per tahun. Sementara itu, BNI menetapkan suku bunga ritelnya di posisi 9,95 persen.
BPD Jateng bahkan berani memasang suku bunga ritel hanya 8,18 persen. Dan pada tahun
2019 diperkirakan tingkat suku bunga Indonesia akan mencapai angka 7%.
Untuk mengatasi permasalahan ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan tingkat
suku bunga yang dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut :
1. Menjaga laju inflasi pada kisaran empat persen.cara ini dipertimbangkan karena,
apabila inflasi lebih tinggi dari perkiraan, maka hal itu bisa berpengaruh terhadap
peningkatan bunga tabungan masyarakat.
3. Menjaga inflasi dan BUMN supaya tidak menggunakan special rate untuk
depositonya. Dengan demikian, Bank Indonesia (BI) bisa melakukan kajian maupun
menimbang agar kebijakan tingkat bunga bisa mendekati kisaran empat persen atau
lima persen.
4. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengambil langkah agar biaya operasional sektor
perbankan, di luar SDM, lebih efisien. Selain itu juga menahan peningkatan special
rate supaya tidak melebihi 100 basis poin dari tingkat bunga rata-rata.