Anda di halaman 1dari 22

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 VITAMIN A
Vitamin A merujuk pada semua senyawa isoprenoid dari produk-
produk hewani yang mempunyai aktivitas all trans-retinol ( Rohman dan Ibnu,
2007). Menurut Almatsier (2009), vitamin A merupakan terminologi nama
generik yang menyatakan semua senyawa retinoid dan karotenoid (prekursor/
pro vitamin A) yang mempunyai aktivitas biologis seperti retinol. Bentuk
kimiawi senyawa retinoid berupa retinol (vitamin A bentuk alkohol), retinal
(aldehida), ester retinil dan asam retinoat. Menurut CE (2007) struktur kimia,
rumus empiris dan bobot molekul dari: retinol, retinil asetat, retinil propionat
dan retinil palmitat dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1. Menurut
Eitenmiller dkk, (2008) sifat-sifat kimia-fisika dari retinol dan retinil palmitat
dapat dilihat pada Tabel 2.

CH3 CH3
H3C CH3

R
O

CH3

Gambar 1. Struktur molekul vitamin A alkohol (retinol) dan ester vitamin A


(ester retinil)

Tabel 1. Rumus empiris dan bobot molekul dari vitamin A alkohol (retinol)
dan ester vitamin A (ester retinil)
Nama zat R Rumus empiris Bobot Molekul
Retinol H C20H30O 286,5
Retinil asetat CO-CH3 C22H32O2 328,5
Retinil propionat CO-C2H5 C23H34O2 342,5
Retinil palmitat CO-C15H31 C30H40O2 524,9
Sumber: CE (2007)
6

Tabel
T abe 2. Sifat-sifat Kimia Fisika Retinol dan Retinil Palmitat
Sifat Kimia Fisika
Sifa Retinol Retinil Palmitat
Bentuk
Ben Kristal kuning Kristal, amorf atau cairan
kental berwarna kuning
Rumus Kimia
Rum C20H30O C36H60O2
Bobot Molekul
Bob 286,46 524,88
Kelarutan
Kel
Ke Larut dalam: metanol, Larut dalam: metanol,
etanol, propanol, etanol, propanol, kloroform,
kloroform, eter, eter, hidrokarbon, minyak.
hidrokarbon, minyak
Absorbsi
Ab
A bs UV:
Ȝ maks.
m (etanol) 325 nm 325 nm
E (1%,
( 1cm) 1845 940
Flourosensi:
Fllou
Ȝ eksitasi
e
ek 325 nm 325 nm
Ȝ emisi
e
em 470 nm 470 nm
Sumber: Eitenmiller dkk (2008)
S

Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali,


namun
mu mempunyai sifat yang mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak
nam
bila
la dipanaskan
bila d pada suhu tinggi bersama udara, sinar, dan lemak yang sudah
tengik
teennggi (Winarno, 2008). Menurut Favaro dkk, (1991) di dalam Hariyadi
(2011)
(201 vitamin A yang difortifikasikan ke dalam minyak goreng stabil selama
6-9
6-9 bulan
b jika disimpan dalam wadah tertutup dan terlindung dari cahaya,
vitamin
vitam A relatif stabil setelah proses penggorengan.
Menurut
M CE (2007), aktifitas vitamin A dinyatakan dalam Retinol
Ekivalen
Ekiv (R.E.), 1 mg R.E. sebanding dengan aktifitas 1 mg All-trans retinol.
Aktifitas
Aktif ester retinol lain dihitung secara stoikiometris, sehingga didapat 1
mg
mg R.E.
R vitamin A sebanding dengan: 1,147 mg all-trans-retinyl acetate,
195 mg all-trans-retinyl propionate dan 1,832 mg all-trans palmitate. Unit
1,195
1,19
1,
Internasional
Innte
tern atau International Units (IU) juga digunakan untuk menyatakan
aktiiffi vitamin A. 1 IU Vitamin A ekivalen dengan aktivitas 0,300 ȝg All-
aktifitas
ak
trans
trraanns retinol. Aktifitas retinol ester lain dihitung secara stoikiometris,
sehingga
sehhiin didapat 1 IU vitamin A sebanding dengan aktifitas: 0,334 ȝg all-
trans-retinyl
trraanns acetate, 0,359 ȝg all-trans-retinyl propionate, dan 0,550 ȝg all-
trans
trraanns palmitate.1 mg R.E. sebanding dengan 3333 IU.
7

Aktifitas vitamin A ditentukan dengan tujuan untuk menghitung jumlah


yang dibutuhkan pada pembuatan konsentrat. Menurut BP Commision (2009),
aktivitas vitamin A palmitat ditetapkan dengan cara menimbang 25-100 mg
vitamin A dengan akurasi 0,1 %, dilarutkan dengan menggunakan 5 mL
pentana dan diencerkan dengan 2-propanol hingga diperolah konsentrasi 10 -
15 IU/mL. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang yang
menghasilkan serapan maksimum pada 326 nm. Aktivitas vitamin A dihitung
dalam satuan internasional unit (IU) per gram dengan persamaan:

A326 = Absorbansi pada panjang gelombang 326 nm


V = total volume pengenceran untuk mendapatkan kadar 10 – 15 IU/mL
1900 = faktor untuk mengkonversi absorbansi spesifik ester retinol menjadi
IU per gram
m = bobot substansi yang di uji (dalam gram).

Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (esensial) bagi manusia,


karena zat gizi ini tidak dapat disintesa oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi
dari luar. Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan
dan yang lebih penting lagi vitamin A meningkatkan daya tahan tubuh. Anak-
anak yang cukup mendapatkan vitamin A, bila terkena diare, campak atau
penyakit infeksi lainnya maka penyakit-penyakit tersebut tidak mudah men-
jadi parah, sehingga tidak membahayakan jiwa anak. Dengan adanya bukti-
bukti yang menunjukkan peranan vitamin A dalam menurunkan angka
kematian, maka selain untuk mencegah kebutaan, pentingnya vitamin A saat
ini lebih dikaitkan dengan kelangsungan hidup, kesehatan dan pertumbuhan
anak (Depkes, 2009a). Fungsi vitamin A didalam tubuh adalah untuk diferen-
siasi sel penglihatan, spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas,
mempengaruhi indra perasa, pendengaran, nafsu makan, serta pertumbuhan
(Bagriansky dan Ranum, 1998). Fungsi lain dari vitamin A adalah membantu
memelihara penglihatan di dalam gelap dan mencegah rabun senja serta
xeropthalmia, untuk pertumbuhan, dibutuhkan dalam pertumbuhan tulang dan
8

pperkembangan
erke gigi, sebagai koenzim dalam sintesis glikoprotein, memiliki
fungsi
ffu
fungs
u seperti hormon steroid, diperlukan untuk pembentukan tiroksin dan
ppencegahan
enc goiter, sintesis protein dan sintesis kortikosteron dari kolesterol,
sserta
erta sintesis normal dari glikogen (Berdarnier dkk, 2002).
Angka kecukupan gizi untuk vitamin A biasanya dinyatakan dalam satuan
A
rretinol
etino ekivalen (RE). Satu RE setara dengan 1 mikrogram retinol atau 6
mikrogram
mikr
m
miikkrr beta karoten atau 12 mikrogram beta karoten campuran. Status
vitamin
ittaam A dikatakan baik jika konsentrasi vitamin A dalam hati sebesar 20
vvita
mikrogram/gram.
mi
m ikr
kr Penggunaan setiap harinya adalah sekitar 0,5% dari
persediaan
ppe
errsse
s tersebut. Konsumsi vitamin A yang baik adalah jika setengahnya
bbisa
ssaa disimpan didalam tubuh (Muhilal, Jalal dan Hardiansyah, 1998). Angka
isa
kecukupan
kke
eccu
uk gizi vitamin A rata-rata yang dianjurkan perhari dapat dilihat pada
Tabel
T be 3.
ab

Tabel 3. Angka Kecukupan Gizi Vitamin A


Kelompok Usia (tahun) Angka Kecukupan (RE)
Bayi
0-0,5 375
0,5-1 400
Anak-anak
1-2 400
2-6 450
6-10 500
Pria
10-12 500
12-70 600
Wanita 10-70 500
Wanita Hamil 800
Wanita Menyusui
0-6 bulan 850
> 6 bulan 850
Sumber: FAO/WHO (2001) dalam Muhilal dan Sulae-
man (2004)

2.2 MINYAK
MIIN
N GORENG SAWIT
Menurut Badan POM (2006), minyak goreng (frying oil atau frying fat)
adalah:
daalla minyak dan lemak yang digunakan untuk menggoreng yang diperoleh
aad
dari
dda ri proses rafinasi/pemurnian (refining/purifying) minyak nabati dalam
a ri
bentuk
bbe ntu tunggal atau campuran. Karakteristik dasar minyak goreng meliputi:
entu
nt
9

kadar air tidak lebih dari 0,15 %, kadar asam lemak bebas tidak lebih dari 0,3
%, kadar asam lemak linoleat tidak lebih dari 2 % dan bilangan peroksida
tidak lebih dari 10 mek O2/kg.
Minyak kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Oil/RBDPO)
adalah: minyak yang diperoleh dari hasil proses rafinasi/pemurniaan minyak
kelapa sawit mentah. Karakteristik dasar minyak kelapa sawit meliputi:
bilangan penyabunan 190 mg KOH/g, bilangan iod 50 Wijs hingga 55 Wijs,
titik leleh 33 oC hingga 39 oC dan bilangan peroksida tidak lebih dari 10 mek
O2/kg (Badan POM, 2006).
Minyak olein kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Oilein)
adalah fraksi cair minyak kelapa sawit berwarna kekuningan yang diperoleh
dari hasil proses rafinasi/pemurniaan minyak olein kelapa sawit mentah
(Crude Palm Oil/CPO) atau fraksinasi minyak kelapa sawit yang sudah dirafi-
nasi (RBD palm oil). Karakteristik dasar minyak olein kelapa sawit meliputi
titik leleh/lebur tidak lebih dari 30oC, bilangan iod tidak kurang dari 56 Wijs,
bilangan penyabunan 194 mg KOH/g hingga 202 mg KOH/g dan bilangan
peroksida tidak lebih dari 10 mek O2/kg (Badan POM, 2006).
Minyak stearin kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm
Stearin) adalah fraksi padat minyak kelapa sawit yang berwarna kekuningan
yang diperoleh dari hasil proses rafinasi/pemurnian stearin kelapa sawit
mentah (Crude Palm Stearin) atau fraksinasi minyak kelapa sawit yang sudah
dirafinasi (RBD palm oil). Karakteristik dasar minyak olein kelapa sawit
meliputi: titik leleh/lebur tidak kurang dari 44oC dan bilangan iod tidak lebih
dari 48 Wijs (Badan POM, 2006).\
Minyak sawit (palm oil) berbeda dengan minyak inti sawit (palm kernel
oil). Minyak sawit diperoleh dari daging buah kelapa sawit bagian mesokarp,
sedangkan minyak inti sawit diperoleh dari biji buah kelapa sawit. Minyak
kelapa sawit diperoleh melalui proses ekstraksi secara rendering atau penge-
presan dan proses pemurnian yang terdiri atas pengendapan dan pemisahan
gum, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi. Secara umum minyak kelapa
sawit mempunyai karakteristik warna kuning pucat sampai jingga tua,
10

memiliki
mem aroma yang sedap dan stabil atau tahan terhadap ketengikan
(Winarno,
(W
Win 2008).
Melalui proses rafinasi, pemucatan dan penghilangan bau atau disingkat
BD (Refined, Bleached, Deodorized), minyak kelapa sawit dapat diubah
RBD
R
menjadi
menj
n produk yang bernilai tinggi. Proses rafinasi dan fraksinasi
menghasilkan
meng minyak yang tidak berwarna, jernih dan bersih dari kotoran
yang
yya ng dikenal dengan RBD oil. Kehilangan beta karoten yang terkandung
ang
dalam
dda llaam minyak kelapa sawit banyak terjadi selama proses-proses tersebut
alam
berlangsung
bbe
errlla (Muchtadi, 1996).
Menurut Olson (1990), minyak kelapa sawit yang tidak mengalami
roosse penjernihan dan bleaching memiliki warna merah karena banyak
proses
ppr
mengandung
me
meng
n karoten (Į dan ȕ karoten) dalam jumlah yang banyak.
Kandungan
Ka
Kanndd karotenoid sebanyak 0,5 mg/mL minyak kelapa sawit. Kebutuhan
vitamin
tam A pada anak usia pra-sekolah dapat dicukupi dari konsumsi 7 mL
vvita
ita
minyak
mi
m innyy kelapa sawit merah per hari. Menurut Martianto, Marliyati dan
Komari
Ko
Kom (2007), walaupun memiliki kandungan karotenoid yang tinggi,
minyak
mi
m innyy kelapa sawit merah tidak dapat diterima dalam banyak penggunaan
karena
kka e warna merah yang kuat dan rasanya yang sangat khas.
are
ren
Menurut Kemperin (2010), minyak goreng sawit adalah: bahan pangan
ddengan
eng komposisi utama trigliserida berasal dari minyak sawit, dengan atau
tanpa
anpa pengubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah
ta
melalui
mela proses pemurnian dengan penambahan vitamin A. Komposisi minyak
ggoreng
oren sawit terdiri atas bahan baku minyak sawit dan bahan tambahan
ppangan
ang (BTP) yang penggunaannya disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku
errlla untuk diizinkan penggunaannya pada minyak goreng sawit. Adapun
bbe
ppersyaratan
peers
rs y mutu minyak goreng sawit sesuai dengan RSNI 3 Minyak goreng
ssawit
wiit 2010 dapat dilihat pada Tabel 4
aw
11

Tabel 4 RSNI 3 Persyaratan Mutu Minyak Goreng Sawit


No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna (merah/kuning) (Lovibond 5,25 maks. 5,0/50
cell)
2 Kadar air dan bahan menguap % (b/b) maks. 0,1
3 Asam lemak bebas (dihitung % maks. 0,3
sebagai asam palmitat)
4 Bilangan peroksida mek O2/kg maks. 10*
5 Vitamin A IU/g min. 45*
6 Minyak pelikan - negatif
7 Cemaran logam
7.1 Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2
7.2 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,1
7.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0/250,0**
7.4 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,05
8 Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 0,1
Catatan:
* pengambilan contoh di pabrik
** dalam kemasan kaleng

22.3
2.
.3 FORTIFIKASI PANGAN
Menurut Soekirman (2003), kekurangan zat gizi mikro dapat diatasi
dengan berbagai pendekatan seperti diversifikasi pangan, suplementasi dan
fortifikasi pangan. Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi
mikro tertentu ke dalam bahan pangan dengan tujuan utama adalah mening-
katkan mutu gizi makanan. Fortifikasi dapat bersifat sukarela maupun wajib.
Fortifikasi yang dilakukan secara sukarela adalah fortifikasi yang dilakukan
oleh produsen untuk meningkatkan nilai tambah produknya, sedangkan
fortifikasi wajib merupakan fortifikasi yang diharuskan dan terdapat dalam
undang-undang maupun peraturan pemerintah dengan tujuan melindungi
rakyat dari kurang gizi. Target utama dari fortifikasi wajib ini adalah
masyarakat miskin yang umumnya menderita kekurangan gizi mikro seperti
kekurangan yodium, zat besi, dan vitamin A. Bahan pangan yang dapat
dilakukan fortifikasi harus memenuhi beberapa kriteria yaitu:
1. Bahan pangan harus dikonsumsi oleh semua atau sebagian besar populasi
sasaran.
2. Bahan pangan harus dikonsumsi secara rutin dalam jumlah yang tetap.
12

33.. R
Rasa, penampakan dan bau bahan pangan yang difortifikasi tidak boleh
bberubah.
44.. Zat
Z yang digunakan untuk fortifikasi harus stabil pada kondisi yang
eekstrim seperti pemasakan, pemrosesan, pengangkutan dan penyimpanan
55.. H
Harga bahan pangan hasil fortifikasi tidak naik secara berarti.
Menurut Soekirman (2003) syarat-syarat bahan pangan yang akan
dilakukan
ddi
ila
lak fortifikasi adalah produsen yang memproduksi dan mengolah bahan
pangan
anngg tersebut terbatas jumlahnya, tersedianya teknologi fortifikasi untuk
ppa
bahan
ahhaan pangan yang dipilih dan bahan pangan tersebut tetap aman untuk
bba
dikonsumsi
ddiko
iko
ko n dan dan tidak membahayakan kesehatan.
Menurut Martianto (2011), minyak goreng merupakan bahan pangan
yang
anngg diproduksi secara terpusat dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat,
yya
ssehingga
ehhiin dapat dipakai sebagai alternatif bahan pangan untuk difortifikasi.
Fortifikasi
Fo
Fort
rt
rti vitamin A ke dalam minyak goreng sawit perlu dilakukan dengan
aalasan:
aassa (1) Produk makanan Indonesia sebagian besar menggunakan minyak
las
asa
goreng;
o rreen (2) Untuk mengurangi penyakit akibat KVA, maka perlu adanya
ggo
kebijakan
kke
ebbiij yang tepat untuk menanggulangi masalah KVA; (3) Salah satu
kebijakan
kke
ebbiij yang ditempuh adalah fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng,
ddan
an (4) Pemerintah akan menetapkan standar yang mewajibkan kepada
sseluruh
elur produsen minyak goreng sawit untuk melakukan fortifikasi vitamin A
kkee da
dalam produknya.
Menurut Hariyadi (2011), fortifikasi vitamin A pada minyak goreng
ddapat
apat dilakukan dengan alasan: (1) Vitamin A dan pro-vitamin A sangat
mudah
muda larut dalam minyak goreng; (2) Vitamin A umumnya lebih stabil
dalam
allaam minyak goreng dari pada dalam bahan pangan lainnya; (3) Minyak
dda
ggoreng
go re (lipida) membantu proses absorbsi dan pemanfaatan vitamin A; (4)
oren
re
Minyak
Mi
M iny
n goreng digunakan oleh masyarakat luas; (5) Teknologinya tersedia
dan
an ssederhana, dan (6) Biaya fortifikasi terjangkau.
dda
13

2.4 METODE ANALISIS PENETAPAN KADAR VITAMIN A


Secara umum pengujian vitamin A dalam bahan pangan terdiri atas 3
tahap yaitu: tahap saponifikasi, tahap ektraksi, tahap pemekatan atau
penguapan pelarut organik dan tahap pengukuran menggunakan instrumen.
Saponifikasi dilakukan dengan menggunakan kalium hidroksida dengan
pelarut campuran etanol dan air, penambahan zat anti oksidan (asam askorbat,
pirogalol, butil hidroksi toluena) dan pemanasan pada suhu 60–80oC
(Eitenmiller, 2008). Tahap ekstraksi dilakukan menggunakan pelarut organik
seperti petroleum eter (Eitenmiller, 2008); eter, campuran etanol dengan tetra
hidrofuran (USP Convention 2008). Selanjutnya dilakukan pemekatan atau
penguapan terhadap pelarut organik yang digunakan, lalu dilarutkan kembali
dengan pelarut lainnya seperti metanol atau etanol dan selanjutnya siap untuk
ditetapkan kadarnya menggunakan instrumen seperti: spektrofotometri atau
kromatografi cair kinerja tinggi. Metode penetapan kadar vitamin A
menggunakan instrumen akan dijelaskan sebagai berikut:

2.4.1 Metode Spektrofotometri


2.4.1.1 Pengukuran secara langsung.
Spektrum absorbsi ultraviolet vitamin A dan vitamin A asetat
mempunyai absorbsi maksimal pada panjang gelombang antara 325
sampai 328 nm dalam berbagai pelarut. Larutan vitamin A dalam
isopropanol absorbansinya diukur pada panjang gelombang maksimal
(Omaks) dan pada dua titik, yaitu satu disebelah kanan Omaks dan satunya
pada sebelah kiri Omaks. Absorbansi pada Omaks dikoreksi terhadap
senyawa pengganggu dengan menggunakan formula koreksi karena
senyawa-senyawa ini akan ikut menyerap pada daerah UV. Beberapa
pengganggu terutama pada minyak ikan adalah vitamin A2, kitol,
anhidro vitamin A dan asam polien. Pada vitamin A sintetik senyawa
pengganggunya adalah senyawa-senyawa antara (Rohman dan
Sumantri, 2007).
14

2.4.1.2 Pengubahan retinol atau akseroftol menjadi anhidroakseroftol


Akseroftol mudah diubah menjadi anhidroakseroftol dengan
bantuan sejumlah kecil asam mineral atau asam organik kuat. Metode
Budowski dan Bondi, akseroftol diubah menjadi anhidroakseroftol
dalam pelarut benzen dengan katalisator asam toluen-p-sulfonat pada
temperatur kamar. Kenaikan absorbansi pada 399 nm merupakan hasil
dehidrasi yang berbanding langsung dengan jumlah akseroftol yang
terkandung. Reaksi ini dapat dihentikan dengan penambahan alkali.
Pengukuran absorbansi pada 358 nm, 377 nm dan 399 nm dalam
benzen merupakan cara yang baik untuk mengetahui kemurnian
akseroftol yakni dengan melihat bahwa A399 nm/A377 nm sebesar 0,868
dan A358 nm/A377 nm sebesar 0,692 (Rohman dan Sumantri, 2007).
2.4.1.3 Metode Maleat anhidrat untuk isomer vitamin A
Maleat anhidrat bereaksi dengan all-trans dan 9-cis isomer
vitamin A menghasilkan senyawa yang tidak memberikan warna biru
ketika diuji dengan menggunakan antimon (III) klorida. Potensi
kehilangan terhadap all-trans dan 9-cis isomer dapat terjadi, sehingga
perlu dilakukan dua kali pengukuran nilai antimon (III) klorida,
pertama untuk isomer campuran dan setelah penghilangan kedua
isomer tersebut. Dari perbedaan nilai pengukuran ini, maka komposisi
isomer dalam campuran dan potensi biologisnya dapat ditentukan.

2.4.1.4 Penentuan secara simultan retinol (vitamin A1) dan dehidro-


retinol (vitamin A2)
Prinsip dari metode ini adalah perbedaan panjang gelombang
maksimum dan nilai ekstinsi dari masing-masing vitamin A1 dan A2.
Vitamin A1 mempunyai panjang gelombang maksimum pada 326 nm
sedangkan vitamin A2 mempunyai panjang gelombang maksimum
pada 351 nm.
15

2.4.2 Metode kolorimetri


2.4.2.1 Metode Carr-Price
Metode Carr-Pierce mencakup perlakuan vitamin A dengan
antimon (III) klorida; warna biru yang timbul memberikan serapan
maksimum pada panjang gelombang 620 nm dan mematuhi hukum
Lambert-Beer. Antimon (III) klorida yang digunakan sebagai reagen
penghasil warna bersifat korosif, dan membutuhkan penanganan secara
khusus dan kadang-kadang menyebabkan kerusakan terhadap peralatan
spektrofotometer. Dilihat dari formasi antimon (III) klorida, zat ini
sulit untuk untuk dibersihkan dari kuvet dan juga peralatan preparasi.
Warna biru yang timbul sangat tidak stabil dan pengukuran absorbansi
harus dilakukan antara 5-10 detik dari penambahan reagen (Rohman
dan Sumantri, 2007).

2.4.2.2 Pengukuran secara spektrofotometri dengan menggunakan


Asam trifluoro asetat
Asam trifluoro asetat bereaksi dengan vitamin A dan turunannya
sehingga mengasilkan warna biru yang memberikan serapan maksi-
mum pada panjang gelombang 616 nm. Reaksi warna yang terjadi
mematuhi hukum Lambert-Beer pada kisaran konsentrasi vitamin A
sebesar 10 -6 dan 10-5 M (Libman, 1966).

2.4.2.3 Pengukuran secara spektrofotometri dengan menggunakan


gliserol diklorohidrin aktif
Gliserol diklorohidrin aktif bereaksi dengan vitamin A dalam
kloroform untuk menghasilkan warna ungu yang stabil dan mem-
punyai serapan maksimum pada panjang gelombang 555 nm. Reaksi
warna yang terjadi mematuhi hukum Lambert-Beer pada kisaran yang
lebar. Intensitas warna yang timbul 1/3 jika dibandingkan dengan
intensitas warna biru dari metode Carr-Pierce yang menggunakan
antimon (III) klorida. Reaksi bergantung pada suhu pengujian dan
disarankan pembuatan kurva kalibrasi dan analisis sampel dilakukan
pada suhu yang sama (Libman, 1966).
16

2.4.2.4 Pengukuran dengan menggunakan Asam fosfotungstat


Vitamin A dalam kloroform bereaksi dengan asam fosfotungstat
dalam etil asetat dengan adanya asetat anhidrat maka menghasilkan
warna biru dan memberikan serapan maksimum pada panjang gelom-
bang 620 nm. Reaksinya mematuhi hukum Lambert-Beer. Pada pema-
nasan dengan suhu 50°C menggunakan penangas air, warna biru yang
ada akan berubah menjadi biru keunguan, ungu, dan akhirnya menjadi
merah dan mempunyai serapan maksimum pada 530 nm. Warna merah
yang timbul juga mematuhi hukum Lambert-Beer dan cocok untuk
pengujian vitamin A, akan tetapi metode ini kurang sensitif untuk
bahan dengan kadar vitamin A rendah (Libman, 1966).

2.4.2.5 Pengukuran secara kolorimetri dengan aluminium klorida


Metode ini mencakup reaksi larutan jenuh aluminium klorida
dalam kloroform anhidrat dengan vitamin A. Warna yang timbul
mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 618 nm dan
mematuhi hukum Lambert-Beer (Libman, 1966).

2.4.2.6 Pengukuran menggunakan asam fosfomolibdat


Metode ini melibatkan reaksi vitamin A dengan asam fosfo-
molibdat; warna biru yang timbul memberikan serapan maksimum
pada panjang gelombang 700 serta mematuhi hukum Lambert-Beer
(Libman, 1966).

22.4.3
.4.3 Metode Spektrofluorometri
Berdasarkan sifat vitamin A yang dapat memberikan flourosensi,
maka vitamin A dalam bahan pangan yang telah diekstrasi dapat diu-
kur menggunakan spektrofluorometer pada panjang gelombang eksi-
tasi 330 nm dan emisi 480 nm. Pengukuran dengan metode spektro-
fluorometri lebih spesifik dibandingkan cara spektrofotometri, karena
banyak senyawa yang memberikan serapan pada daerah UV, namun
tidak memberikan sifat flourosensi (Angustin dkk 1985).
17

2.4.4 Metode Kromatografi


2.4.4.1 Pengukuran dengan kromatografi lapis tipis
Vitamin A dapat dipisahkan dengan komponen lainnya secara
kromatografi lapis tipis menggunakan fase diam silika gel F254 dan fase
gerak campuran siklo heksana dan eter dengan perbandingan 4:1, noda
yang telah terpisah dideteksi menggunakan asam fosfomolibdat dan
bercak biru hijau yang terjadi menunjukkan adanya vitamin A.
Perkiraan harga Rf vitamin A dalam bentuk alkohol, asetat dan
palmitat berturut-turut adalah 0,1; 0,45 dan 0,7 (Depkes 1995). Untuk
mendeteksi noda vitamin A dapat juga digunakan larutan antimon (III)
klorida yang akan memberikan warna biru (Depkes 1979) atau
menggunakan UV pada pada panjang gelombang 254 nm (CE 2007).
Sebagai fase gerak selain menggunakan campuran siklo heksana dan
eter, juga dapat digunakan campuran siklo heksana dan etil asetat
dengan perbandingan 9:1 (Libman 1966).

2.4.4.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi


Vitamin A dapat ditetapkan kadarnya menggunakan KCKT
menggunakan kolom fase normal atau kolom fase terbalik. Dengan
menggunakan kolom fase normal, vitamin A ditetapkan kadarnya
menggunakan fase diam kolom silika, fase gerak n-heksana dan
dideteksi menggunakan UV 325-nm (USP Convention 2008). Sebagai
fase gerak dapat juga digunakan campuran heptana dan diisopropil
eter, 95:5; heksana dan dietil eter 98:2; 1-5 % 2-propanol dalam
heptana; heksana dan metil etil keton, 90:10 (Nollet 2000). Dengan
kolom fase terbalk, vitamin A ditetapkan kadarnya menggunakan fase
diam kolom C18, fase gerak campuran metanol dan air dengan
perbandingan 860:140 dan dideteksi menggunakan UV 328-nm atau
313-nm (AOAC International, 2005). Sebagai fase gerak dapat juga
digunakan campuran asetonitril dengan air 90:10 (Eitenmiller, 2008);
campuran asetonitril dengan air, 90:10 atau campuran metanol dengan
air, 80:20 (Augustin dkk 1985). Persiapan sampelnya terdiri atas
18

proses saponifikasi, ekstraksi, pemekatan dan melarutkan kembali


menggunakan pelarut yang sesuai.

2.5 INTRUMENTASI
INTR KCKT
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut
eng HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan teknik
ddengan
pemisahan
ppe
em
mii yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa
tertentu
errtten dalam suatu sampel. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan
te
ssenyawa
eny
nya organik, anorganik, maupun senyawa biologis. KCKT merupakan
metode
ettoo yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kuali-
me
m
tatif
ta
ati maupun kuantitatif (Rohman 2007).
tif m
Kromatografi adalah suatu prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu
proses
ppr ose migrasi difrensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau
ros
lebih,
le
ebiih salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah
bih
tertentu
terten dan di dalam zat tersebut menunjukkan perbedaan morbilitas disebab-
ert
kan
an aadanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran
kka
molekul
mo
mo llee atau kerapatan muatan ion (Depkes 2009b)
Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas komponen pokok yaitu
wadah
wada fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan
ssampel
amp kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung peng-
hhubung
ubu dan suatu komputer atau integrator atau perekam (Johnson, 1991).
Diagram
D iagr blok untuk sistem kromatografi cair kinerja tinggi ditunjukkan pada
Gambar
Gam 2.
19

Gambar 2. Diagram Blok Sistem KCKT

2.5.1 Wadah Fase Gerak pada KCKT


Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah ini
biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut.
Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing (penghilang
gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul
dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan
mengacaukan analisis.

2.5.2 Fase Gerak Pada KCKT


Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut
yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya
elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas
keseluruhan pelarut, polaritas fase diam dan sifat komponen-kompo-
nen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase
20

gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas


pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar dari-
pada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya
polaritas pelarut.
Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan
dengan fase terbalik adalah campuran larutan buffer dengan metanol
atau campuran air dengan asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase
normal, fase gerak yang paling sering digunakan adalah campuran
pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau
menggunakan pelarut-pelarut jenis alkohol.
22.5.3
55..3 Pompa pada KCKT
.5.
Pompa yang digunakan untuk KCKT adalah pompa yang
mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni pompa
harus inert terhadap fase gerak. Pompa yang digunakan sebaiknya
mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan
fase gerak dengan kecepatan alir 1-3 mL/menit. Untuk tujuan prepa-
ratif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak
dengan kecepatan 20 mL/menit.
Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak
adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung
secara tepat, reproduksibel, konstan dan bebas dari gangguan.

22.5.4
.5.4 Injektor/Penyuntikan Sampel Pada KCKT
Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke
dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom
menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan
katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sampel loop)
internal atau eksternal.
Pada saat pengisian sampel digelontor melewati keluk sampel
dan kelebihannya dikeluarkan ke pembuang. Pada saat penyuntikan,
katup diputar sehingga fase gerak mengalir melewati keluk sampel dan
21

menggelontor sampel ke kolom. Presisi penyuntikan dengan keluk


sampel ini dapat mencapai nilai RSD 0,1%.

2.5.5 Kolom Pada KCKT


Kolom KCKT pada umumnya terbuat dari pipa baja tahan karat.
Panjang kolom antara 10-30 cm dengan diameter dalam 4,5-5,0 mm.
Kolom diisi dengan yang sesuai untuk pemisahan sampel tertentu.
Kolom untuk pemisahan analitik umumnya mempunyai diameter
dalam 2-4 mm. Kolom dapat dipanaskan sampai 60oC agar dihasilkan
pemisahan yang lebih efisien. Jika tidak dinyatakan lain, kolom
dipertahankan pada suhu kamar.
Fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara
kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren
dan divinil benzene. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam
karena adanya residu gugus silanol (Si-OH), Oktadesil silan (ODS atau
C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena
mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah,
sedang, maupun tinggi. Fase diam eksklusi dan penukar ion dapat
menggunakan silika atau polimer.

2.5.6 Detektor KCKT


Detektor pada KCKT ada 2 yaitu (1) Detektor universal (yang
mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik dan tidak
bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri
massa, dan (2) Detektor yang spesifik yang hanya akan mendeteksi
analit secara spesifik dan selektif, seperti detector UV-VIS, detektor
fluoresensi dan elektro kimia.

2.5.7 Komputer, Integrator atau Rekorder.


Alat pengumpul data seperti komputer, integrator atau rekorder,
dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektro-
nik yang dihasilkan oleh detektor lalu memplotkannya sebagai suatu
kromatogram.
22

2.6 VALIDASI
VAL METODE ANALISIS
Suatu metode analisis terdiri atas serangkaian langkah yang harus
diikuti untuk tujuan analisis kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan
diik
teknik tertentu. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan
tek
pemilihan
ppe m metode analisis adalah: tujuan analisis, biaya yang dibutuhkan,
serta
er waktu yang diperlukan; level analit yang diharapkan dan batas deteksi
sse
yang
an diperlukan; macam sampel yang akan dianalisis serta pra-perlakuan
yya
sampel
ssa
aam yang dibutuhkan; jumlah sampel yang dianalisis; ketepatan dan
ketelitian
kke
et yang diinginkan untuk analisis kuantitatif; ketersediaan bahan
rujukan,
rru
uj senyawa baku, bahan-bahan kimia, dan pelarut yang dibutuhkan;
peralatan
ppe
er yang tersedia; kemungkinan adanya gangguan pada saat deteksi
aatau
atta pada saat pengukuran sampel. Menurut Rohman dan Ibnu (2007),
kkriteria
r
ri yang harus dipenuhi suatu metode analisis yang baik adalah:
11.. Peka (sensitive) artinya metode harus dapat digunakan untuk mene-
tapkan kadar senyawa dalam konsentrasi yang kecil.
22.. Selektif, artinya untuk penetapan kadar senyawa tertentu, metode
tersebut tidak banyak terpengaruh oleh adanya senyawa lain.
3. Tepat (precise) artinya metode tersebut menghasilkan suatu hasil
analisis yang sama atau hampir sama dalam satu seri pengukuran
(penetapan).
4. Teliti (accurate) artinya metode dapat menghasilkan nilai rata-rata
(mean) yang sangat dekat dengan nilai sebenarnya (true value).
5. Kasar (rugged) artinya ada perubahan komposisi pelarut atau variasi
lingkungan tidak menyebabkan perubahan hasil analisis.
66.. Praktis artinya metode tersebut mudah dikerjakan serta tidak banyak
memerlukan waktu dan biaya.
Pengembangan metode analisis biasanya didasarkan pada metode yang
ssudah
suud ada menggunakan instrumen yang sama atau hampir sama. Pengem-
bangan
bba
an metode analisis biasanya membutuhkan syarat-syarat metode
ttertentu
teer dan memutuskan jenis alat yang akan digunakan. Pada tahap
ppengembangan
peen metode, keputusan yang terkait dengan pemilihan kolom,
23

fase gerak, detektor dan metode kuantisasi harus diperhatikan. Ada beberapa
alasan tertentu untuk pengembangan metode analisis yang baru, yaitu:
1. Belum ada metode yang sesuai untuk analit tertentu dalam suatu matriks
sampel tertentu.
2. Metode yang sudah ada terlalu rumit, terlalu banyak tahap perlakuan
yang dapat menimbulkan kesalahan atau metode yang sudah ada tidak
reliabel (presisi dan akurasinya rendah).
3. Metode yang sudah ada terlalu mahal, membutuhkan waktu dan energi
yang besar atau tidak dapat diotomatisasikan.
4. Metode yang sudah ada tidak memberikan sensitivitas atau spesifisitas
yang mencukupi pada sampel yang dituju.
5. Adanya kebutuhan untuk pengembangan metode alternatif, baik untuk
alasan legal atau alasan saintifik.
Suatu metode perlu divalidasi terlebih dahulu sebelum metode
tersebut digunakan untuk penggunaan lebih lanjut, sehingga metode tersebut
dapat menjamin bahwa analisis yang dilakukan dapat dipercaya dan sesuai
dengan tujuan penggunaanya serta dapat diandalkan untuk mengambil
keputusan. Metode analisis yang akan digunakan harus disesuaikan dengan
kondisi laboratorium, peralatan dan pereaksi yang tersedia. Walaupun
metode analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit masih sulit didapat,
namun metode analisis vitamin A dalam produk pangan dengan meng-
gunakan peralatan moderen, diantaranya dengan menggunakan KCKT sudah
banyak yang dikembangkan oleh peneliti terdahulu. Namun kelemahanya
dari metode yang ada adalah kerumitan dalam penyiapan sampel (saponi-
fikasi, ekstraksi dan pemekatan atau penguapan pelarut organik yang
digunakan). Metode analisis yang dikembangkan oleh peneliti ini dipilih
karena memiliki banyak kelebihan, yaitu metodenya tanpa proses saponi-
fikasi, ekstraksi dan penguapan pelarut organik yang digunakan sehingga
waktu analisinya relatif lebih cepat.
Menurut Gunzler (1996), validasi metode adalah menetapkan dengan
percobaan laboratorium yang sistimatik, pemenuhan karakteristik unjuk
kerja metode terhadap spesifikasi yang dikaitkan dengan penggunaan hasil
24

pengujian yang dimaksudkan. Karakreristik unjuk kerja (parameter) yang


pen
ditetapkan mencakup: presisi, akurasi, selektivitas dan spesifisitas, batas
dite
deteksi, batas kuantisasi, rentang, linieritas, sensitivitas dan kekasaran
det
(ruggedness). Menurut Harmita (2004), beberapa parameter analisis yang
(ru
harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis yaitu kecermatan
har
((akurasi),
ak keseksamaan (presisi), selektivitas (spesifisitas), linearitas dan
rrentang,
reen batas deteksi dan batas kuantitasi, ketangguhan metode
(ruggedness)
((r
ru dan kekuatan metode (robustness).
Validasi metode adalah konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan
bukti
uk yang objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu tujuan khusus
bbu
dipenuhi.
ddi
ip Proses validasi suatu metode biasanya sangat dekat dengan proses
pengembangan
ppe
en suatu metode. Sebuah metode harus divalidasi bila kinerja
parameter
ppa
ar metode uji tersebut belum valid atau belum dibuktikan valid
untuk
nt penggunaan analisis khusus (BSN 2005).
uun
Tujuan memvalidasi metode adalah untuk mengetahui sejauh mana
penyimpangan
ppe
en suatu metode tidak dapat dihindari pada kondisi normal,
dimana
ddi
im seluruh elemen terkait telah dilaksanakan dengan baik dan benar.
Dengan
De
De memvalidasi metode, tingkat kepercayaan yang dihasilkan oleh
suatu metode pengujian dapat diperkirakan dengan pasti ( Hadi, 2007)
sua
Menurut USP Convention (2009), presisi adalah derajat kesesuaian
diantara hasil uji individu (berdiri sendiri) jika metode uji dilakukan
dia
berulang-ulang terhadap multi sampling dari suatu sampel yang homogen.
ber
Presisi biasanya dinyatakan sebagai simpangan baku atau simpangan baku
Pre
relatif (koefisien variasi) dari serangkaian pengukuran. Presisi hendaknya
rela
dilakukan
ddi
illaa pada tiga tingkat berbeda yaitu: ripitabilitas, presisi intermediat
ddan
daan reprodusibilitas. Ripitabilitas adalah penggunaan metode pengujian di
ddalam
daal satu laboratorium dalam satu periode waktu yang singkat menggu-
nakan
ak personel penguji yang sama, dengan peralatan yang sama di bawah
nna
kondisi
ko
on sekonstan mungkin. Presisi intermediat dilakukan dengan berbagai
variasi
vva
ar di dalam laboratorium, seperti pada hari yang berbeda atau personil
penguji
ppe
en yang berbeda atau alat yang berbeda dalam laboratorium yang sama.
Reprodusibilitas
Re
Rep atau disebut juga ruggedness adalah penggunaan metode
25

pengujian dalam berbagai laboratorium yang berbeda seperti dalam uji


kolaborasi.
Akurasi adalah ukuran ketepatan dari suatu metode pengujian, atau
kedekatan antara nilai hasil uji yang diukur dengan nilai benar, atau nilai
nilai konvensional atau nilai acuan yang dapat diterima (USP Convention
2009). Akurasi dari suatu metode dapat dilakukan dengan cara: mengguna-
kan bahan acuan bersertifikat, membandingkan hasil yang benar-benar telah
dikarakterisasi dan akurasinya telah ditetapkan atau dengan cara menghitung
persen perolehan kembali terhadap sampel yang sudah dispike (Wood R
1998). Kriteria kecermatan dalam persen perolehan kembali sangat tergan-
tung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel dan pada keseksamaan
metode (RSD) (Oktavia, 2006). Persen rekoveri rata-rata untuk tiap level
konsentrasi dinilai terhadap rentang % rekoveri pada Tabel 5.
Selektivitas menunjukkan kemampuan suatu metode membedakan
antara analit yang dituju dan komponen lain / bentuk-bentuk analit lain yang
mungkin ada dalam matrik untuk mengukur secara akurat dan spesifik analit
dalam matriks sampel dengan adanya zat pengganggu. Selektivitas sering-
kali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode
yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan
berupa cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan
dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan
lain yang ditambahkan (Oktavia, 2006).
Tabel 5. Keberterimaan akurasi berdasarkan % rekoveri
Rentang
No % Analit Rasio Analit Satuan keberterimaan
(% Rekoveri)
1 100 1 100 % 98 – 102
2 10 10 -1 10 % 98 – 102
3 1 10 -2 1% 97 – 103
4 0,1 10 -3 1000 ppm 95 – 105
5 0,01 10 -4 100 ppm 90 – 107
6 0,001 10 -5 10 ppm 80 – 110
7 0,0001 10 -6 1 ppm 80 – 110
8 0,00001 10 -7 100 ppb 80 – 110
9 0,000001 10 -8 10 ppb 60 – 115
10 0,0000001 10 -9 1 ppb 40 – 120
26

Linieritas adalah kemampuan untuk menghasilkan hasil uji yang


sebanding/berbanding lurus terhadap konsentrasi analit dalam sampel pada
seb
kisaran konsentrasi tertentu. Menentukan kemampuan suatu metode untuk
kis
mendapatkan respon yang proporsional terhadap konsentrasi analit (Oktavia,
me
2006).
200
Rentang yaitu kemampuan untuk memperoleh hasil uji yang kadar
analitnya
aan
na
na masih linier dengan presisi dan akurasi yang masih dapat diterima.
Ditetapkan
D
Dii
it bersamaan dengan penetapan linieritas dengan melakukan peng-
uujian
ujjia terhadap sampel yang kadarnya dibawah dan diatas normal. Rentang
metoda
me
me menjelaskan rentang konsentrasi dimana metode uji diaplikasikan
yang
an dinyatakan dalam presisi, akurasi (trueness) dan linieritas (Oktavia,
yya
2006).
220
0
00
Batas Deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat
ddideteksi
diid yang masih memberikan respon signifikan dibandingan dengan
bblanko.
blla Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi
merupakan
me
me parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas
tterkecil
teerk
r analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan
seksama.
sse
eekk Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung
pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis
pad
yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan
yan
mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis
me
instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko
inst
beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko. Batas deteksi
beb
dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari
kkurva
kuur kalibrasi (Oktavia, 2006).

Anda mungkin juga menyukai