Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO JATUH

Disusun oleh:
Efilian Aprialiska
20184030086

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
A. Definisi
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan
di dalamnya, baik faktor intrinsic dalam diri lansia tersebut seperti gangguan
gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope dan
dizzines, serta faktor ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata,
tersandung benda – benda, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang, dan
sebagainya.
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata,
yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk
di lantai / tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau
luka ( Reuben, 1996 ).

B. Faktor Resiko
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa
stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh:
1. Sistem sensori
Yang berperan di dalamnya adalah: visus ( penglihatan ), pendengaran,
fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada
mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan
menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada
lansia yang diduga karpena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses
manua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan mengganggu
fungsi proprioseptif ( Tinetti, 1992 ). Gangguan sensorik tersebut
menyebabkan hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi abnormal
pada saat dilakukan uji klinik.
2. Sistem saraf pusat ( SSP )
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input
sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan
normal, sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP
sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik ( Tinetti, 1992 ).
3. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatkan
risiko jatuh.
4. Muskuloskeletal ( Reuben, 1996; Tinetti, 1992; Kane, 1994; Campbell,
1987; Brocklehurs, 1987 ).

Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang


benar – benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya
jatuh. Gangguan muskuloskeletal. Menyebabkan gangguan gaya berjalan
(gait) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan
gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh:
1) Kekakuan jaringan penghubung
2) Berkurangnya massa otot
3) Perlambatan konduksi saraf
4) Penurunan visus / lapang pandang
5) Kerusakan proprioseptif

Yang kesemuanya menyebabkan:


1) Penurunan range of motion ( ROM ) sendi
2) Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas
bawah
3) Perpanjangan waktu reaksi
4) Kerusakan persepsi dalam
5) Peningkatan postural sway ( goyangan badan )

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang


pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan
reaksi mengakibatkan seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila
terjadi gangguan seperti terpleset, tersandung, kejadian tiba – tiba, sehingga
memudahkan jatuh.
C. Penyebab – Penyebab Jatuh Pada Lansia
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor,
antara lain: (Kane, 1994; Reuben , 1996; Tinetti, 1992; campbell, 1987;
Brocklehurs, 1987 ).
a. Kecelakaan : merupakan penyebab jatuh yang utama ( 30 – 50% kasus jatuh
lansia ), Murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung. Gabungan antara
lingkungan yang jelek dengan kelainan – kelainan akibat proses menua
misalnya karena mata kurang awas, benda – benda yang ada di rumah
tertabrak, lalu jatuh, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi orthostatic,
hipovilemia / curah jantung rendah, disfungsi otonom, penurunan
kembalinya darah vena ke jantung, terlalu lama berbaring, pengaruh obat-
obat hipotensi, hipotensi sesudah makan.
b. Obat – obatan
1) Diuretik / antihipertensi
2) Antidepresen trisiklik
3) Sedativa
4) Antipsikotik
5) Obat – obat hipoglikemia
6) Alkohol
c. Proses penyakit yang spesifik
Penyakit – penyakit akut seperti :
1) Kardiovaskuler : aritmia
2) stenosis aorta
3) sinkope sinus carotis
4) Neurologi : TIA
5) Stroke
6) Serangan kejang
7) Parkinson
8) Kompresi saraf spinal karena spondilosis
9) Penyakit serebelum
d. Idiopatik ( tak jelas sebabnya)
e. Sinkope : kehilangan kesadaransecara tiba-tiba
1) Drop attack ( serangan roboh )
2) Penurunan darah ke otak secara tiba – tiba
3) Terbakar matahari
D. Faktor – Faktor Lingkungan Yang Sering Dihubungkan Dengan
Kecelakaan Pada Lansia
1. Alat – alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau
tergeletak di bawah
2. tempat tidur atau WC yang rendah / jongkok
3. tempat berpegangan yang tidak kuat / tidak mudah dipegang
4. Lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun
5. Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal / menekuk
pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser
6. Lantai yang licin atau basah
7. Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan)
8. Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara
penggunaannya.
E. Faktor – Faktor Situasional Yang Mungkin Mempresipitasi Jatuh Antara
Lain : ( Reuben, 1996; Campbell, 1987 )
1. Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa
seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit
sekali ( 5% ), jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas berbahaya
seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada
lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh
kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi
pada lansia yang imobil ( jarang bergerak ) ketika tiba – tiba dia ingin pindah
tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.
2. Lingkungan
Sekitar 70% jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di tangga,
dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik,
yang lainnya terjadi karena tersandung / menabrak benda perlengkapan
rumah tangga, lantai yang licin atau tak rata, penerangan ruang yang kurang
3. Penyakit Akut
Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut dari
penyakit kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh,
misalnya sesak nafas akut pada penderita penyakit paru obstruktif menahun,
nyeri dada tiba – tiba pada penderita penyakit jantung iskenmik, dan lain –
lain.
F. Komplikasi
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi – komplikasi seperti : ( Kane, 1994;
Van – der – Cammen, 1991 )
1. Perlukaan ( injury )
a. Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri / vena
b. Patah tulang ( fraktur ) : Pelvis, Femur ( terutama kollum ), humerus,
lengan bawah, tungkai bawah, kista
c. Hematom subdural
2. Perawatan rumah sakit
a. Komplikasi akibat tidak dapat bergerak ( imobilisasi )
b. Risiko penyakit – penyakit iatrogenik
3. Disabilitas
a. Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
b. Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan
pembatasan gerak
4. Resiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan ( nursing home )
5. Mati
G. Pencegahan
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila
sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan.
Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan, antara lain : ( Tinetti, 1992; Van – der –
Cammen, 1991; Reuben, 1996 )
1. Identifikasi faktor resiko
Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya
faktor intrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assesmen keadaan sensorik,
neurologik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering mendasari /
menyebabkan jatuh.
Keadaan leingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan
jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak
menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda – benda kecil
yang susah dilihat. Peralatan rumah tangga yangsudah tidak aman ( lapuk,
dapat bergeser sendiri ) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya
diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan / tempat
aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat tidak licin, sebaiknya diberi pegangan
pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset
duduk dan diberi pegangan di dinding.
Obat – obatan yang menyebabkanhipotensi postural, hipoglikemik atau
penurunan kewaspadaan harus diberikan sangat selektif dan dengan
penjelasan yang komprehensif pada lansia dan keluargannya tentang risiko
terjadinya jatuh akibat minum obat tertentu.
Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripod, kruk
atau walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman tidak
mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia.
2. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)
Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam
melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Penilaian postural sway
sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia. Bila
goyangan badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan
bantuan latihan oleh rehabilitasi medik. Penilaian gaya berjalan ( gait ) juga
harus dilakukan dengan cermat apakah penderita mengangkat kaki dengan
benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita
cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila
terdapat kelainan / penurunan.
3. Mengatur / mengatasi fraktur situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut / eksaserbasi akut,
penyakit yang dideriata lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin
kesehatan lansia secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat
dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut diatas.
Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan
kondisi kesehatan penderita. Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas
fisik seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak boleh
melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan
kondisi fisik. Bila lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka
dianjurkan lansia tidak melakukan aktifitas fisik sangat melelahkan atau
beresiko tinggi untuk terjadinya jatuh.
H. Patway
I. Pendekatan Diagnostik

Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesment seperti dibawah


ini : ( Kane, 1994; Fischer, 1982 )
1. Riwayat Penyakit ( Jatuh )
Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau
keluarganya. Anamnesis ini meliputi :
a. Seputar jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset,
tersandung, berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari
jongkok, sedang makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang
batuk atau bersin, sedang menoleh tiba – tiba atau aktivitas lain
b. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar – debar, nyeri kepala
tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas.
c. Kondisi komorbid yang relevan : pernah stroke, Parkinsonism,
osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi,
defisit sensorik.
d. Review obat – obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik,
autonomik bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik,
psikotropik.
e. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat –
tempat kegiatannya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital : nadi, tensi, respirasi, suhu badan ( panas / hipotermi )
b. Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus,
gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan, bising
c. Jantung : aritmia, kelainan katup
d. Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer,
kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor.
e. Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem
kaki ( podiatrik ), deformitas.
3. Assesmen Fungsional
Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :
a. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika dari bangku
langsung duduk dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar
badan, ketika mau duduk dibawah.
b. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat
bantu, memakai kursi roda atau dibantu
c. Aktifitas kehidupan sehari – hari : mandi, berpakaian, bepergian,
kontinens.

J. Pengkajian
a. Status fungsional
Untuk mengukur kemampuan lansia untuk melakukan aktivitas sehari-hari
secara mandiri diukur dengan:
KATZ INDEKS
No Aktivitas Mandiri Tergantung
1 Mandi
Mandiri :
Bantuan hanya pada satu bagian mandi (
seperti punggung atau ekstremitas yang tidak
mampu ) atau mandi sendiri sepenuhnya
Tergantung :
Bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh,
bantuan masuk dan keluar dari bak mandi,
serta tidak mandi sendiri
2 Berpakaian
Mandiri :
Mengambil baju dari lemari, memakai
pakaian,
melepaskan pakaian, mengancingi/mengikat
pakaian.
Tergantung :
Tidak dapat memakai baju sendiri atau hanya
Sebagian
3 Ke Kamar Kecil
Mandiri :
Masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian
membersihkan genetalia sendiri
Tergantung :
Menerima bantuan untuk masuk ke kamar
kecil dan menggunakan pispot
4 Berpindah
Mandiri :
Berpindah ke dan dari tempat tidur untuk
duduk, bangkit dari kursi sendiri
Bergantung :
Bantuan dalam naik atau turun dari tempat
tidur atau kursi, tidak melakukan satu, atau
lebih perpindahan
5 Kontinen
Mandiri :
BAK dan BAB seluruhnya dikontrol sendiri
Tergantung :
Inkontinensia parsial atau total; penggunaan
kateter,pispot, enema dan pembalut (
pampers)
6 Makan
Mandiri :
Mengambil makanan dari piring dan
menyuapinya sendiri
Bergantung :
Bantuan dalam hal mengambil makanan dari
piring dan menyuapinya, tidak makan sama
sekali, dan makan parenteral ( NGT )

Keterangan :
Beri tanda ( v ) pada point yang sesuai kondisi klien

Analisis Hasil :
Nilai A : Kemandirian dalam hal makan, kontinen ( BAK/BAB ),
berpindah, kekamar kecil, mandi dan berpakaian.
Nilai B :Kemandirian dalam semua hal kecuali satu dari fungsi tersebut
Nilai C : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu fungsi
tambahan
Nilai D : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, dan satu
fungsi tambahan
Nilai E : Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke kamar
kecil, dan satu fungsi tambahan.
Nilai F : Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke kamar
kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan
Nilai G : Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut

b. TINETTI BALANCE AND GATE


INSTTRUMEN PENILAIAN RESIKO JATUH PADA LANSIA
TINETTI BALANCE AND GATE
No. INSTRUKSI PENILAIAN (TINETTI BALANCE) Skor
1. Posisi Duduk
a. Belajar atau slide di kursi 0
b. Stabil dan aman 1
2. Berdiri dari kursi
a. Tidak mampu, bila tanpa bantuan 0
b. Mampu, tapi menggunakan kekuatan lengan 1
c. Mampu berdiri spontan, tanpa menggunakan lengan 2
3. Usaha untuk berdiri
a. Tidak mampu, bila tanpa bantuan 0
b. Mampu, tapi lebih dari 1 upaya 1
c. Mampu dalam satu kali upaya 2
4. Berdiri dari kursi (segera dalam 5 detik pertama)
a. Tidak kokoh (Goyah, terhuyun-huyun, tidak stabil) 0
b. Kokoh, tapi dengan alat bantu (walker atau tongkat, pegangan sesuatu) 1
c. Berdiri tegak, kaki rapat tanpa alat bantu/pegangan 2

5. Keseimbangan berdiri
a. Tidak kokoh (Goyah, tidak stabil) 0
b. Berdiri dengan kaki melebar (jarak antara kedua kaki > 4 inci) atau 1
menggunakan alat bantu (walker atau tongkat, pegangan sesuatu)
c. Berdiri tegak, jarak kaki berdekatan, tanpa alat bantu/pegangan 2
6. Subyek dalam posisi maksimum dengan kaki sedekat mungkin, kemudian
pemeriksa mendorong perlahan tulang dada subyek 3x dengan telapak tangan
a. Mulai terjatuh
b. Goyah/Sempoyongan, tapi dapat mengendalikan diri 0
c. Kokoh berdiri (stabil) 1
2
7. Berdiri dengan mata tertutup (dengan posisi seperti no. 6)
a. Tidak kokoh (goyah, sempoyongan) 0
b. Berdiri kokoh (stabil) 1
8. 8.1 Berbalik 360°
a. Tidak mampu melanjutkan langkah (berputar) 0
b. Dapat melanjutkan langkah (berputar) 1
8.2 Berbalik 360°
c. Tidak kokoh (goyah, sempoyongan) 0
d. Berdiri kokoh (stabil) 1
9. Duduk ke kursi
a. Tidak aman (kesalahan mempersepsikan jarak, langsung menjatuhkan diri ke 0
kursi)
b. Menggunakan kekuatan lengan atas, tidak secara perlahan 1
c. Aman, gerakan perlahan-lahan 2
TOTAL 16

No. INSTRUKSI PENILAIAN (TINETTI GAIT) SKOR


10. Melakukan perintah untuk berjalan
a. Ragu-ragu, mencari objek untuk dukungan 0
b. Tidak ragu-ragu, mantap, aman 1
11. 11.1 Ketinggian kaki saat melangkah
a. Kaki kanan:
4) Kenaikan tidak konstan, menyeret, atau mengangkat kaki terlalu 0
tinggi > 5 cm
5) Konstan dan tinggi langkah normal 1
b. Kaki kiri:
6) Kenaikan tidak konstan, menyeret, atau mengangkat kaki terlalu 0
tinggi > 5 cm
7) Konstan dan tinggi langkah normal 1
11.2 Panjang langkah kaki:
a. Kaki kanan
8) Langkah pendek tidak melewati kaki kiri 0
9) Melewati kaki kiri 1
b. Kaki kiri
10) Langkah pendek tidak melewati kaki kanan 0
11) Melewati kaki kanan 1
12. Kesimetrisan langkah
a. Panjang langkah kaki kanan dan kaki kiri tidak sama 0
b. Panjang langkah kaki kanan dan kaki kiri sama 1
13. Kontinuitas langkah kaki
a. Menghentikan langkah kaki diantara langkah (langkah-behenti-langkah) 0
b. Langkah terus-menerus/berkesinambungan 1
14. Berjalan pada jalur yang ditentukan atau koridor
a. Penyimpangan jalur yang terlalu jauh 0
b. Penyimpangan jalur ringan/sedang/butuh alat bantu 1
c. Berjalan lurus sesuai jalur tanpa alat bantu 2
15. Sikap tubuh saat berdiri:
a. Terhuyun-huyun, butuh alat bantu 0
b. Tidak terhuyun-huyun, tapi lutut fleksi/kedua tangan dilebarkan 1
c. Tubuh stabil, tanpa lutut fleksi dan meregangkan tangan 2
16. Sikap berjalan
0
a. Tumit tidak menempel lantai sepenuhnya 1
b. Tumit menyentuh lantai
TOTAL SKOR 12

Tinetti Balance + Tenetti Gait 28

Interpretasi
18 = resiko jatuh tinggi
19-23 = resiko jatuh sedang
≥24 = resiko jatuh rendah
K. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang
dan menerapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik,
mengembalikan kepercayaan diri penderita.
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau meneliminasi
faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini
harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik,
neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik, dll), sosiomedik,
arsitek dan keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus
karena perbedaan factor – factor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila
penyebab merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah,
sederhanma, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh serta efektif.
Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga
diperlukan terapi gabungan antara obat rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan
perbaikan kebiasaan lansia itu. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk
mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian / aktifitas
fisik, penggunaan alat bantu gerak.
Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan
penurunan fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot sehingga memperbaiki nfungsionalnya. Sayangnya sering terjadi
kesalahan, terapi rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu penderita
mengalami jatuh, padahal terapi ini diperlukan terus – menerus sampai terjadi
peningkatan kekuatan otot dan status fumgsional. Penelitian yang dilakukan
dalam waktu satu tahun di Amerika Serikat terhadap pasien jatuh umur lebih
dari 75 tahun, didapatkanpeningkatan kekuatan otot dan ketahanannya baru
terlihat nyata setelah menjalani terapi rehabilitasi 3 bulan, semakin lama lansia
melakukan latihan semakin baik kekuatannya.
Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan
difokuskan untuk mengatasi / mengeliminasi penyebabnya/faktor yang
mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam program gait training, latihan
strengthening dan pemberian alat bantu jalan. Biasanya program rehabilitasi ini
dipimpin oleh fisioterapis. Program ini sangatmembantu penderita dengan
stroke, fraktur kolum femoris, arthritis, Parkinsonisme.
Penderita dengan dissines sindrom, terapi ditujukan pada penyakit
kardiovaskuler yang mendasari, menghentikan obat – obat yang menyebabkan
hipotensi postural seperti beta bloker, diuretik, anti depresan, dll.
Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan
rumah/ tempat kegiatan lansia seperti di pencegahan jatuh.
L. Asuhan Keperawatan
No. Dx. Kep. Tujuan Intervensi Rasional

1. 1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan  Kaji karakteristik nyeri  Nyeri merupakan respon
keperawatan selama 2x24 jam  Bantu klien dalam subjektif yang dapat dikaji
diharapkan nyeri hilang atau mengidentifikasi faktor dengan menggunakan skala
terkontrol dengan kriteria hasil: pencetus nyeri.
 Ajarkan relaksasi: teknik terkait  Nyeri mungkin dipengaruhi oleh
 Klien tidak mengungkapkan
ketegangan otot rangka yang kecemasan atau peradangan
perasaan nyeri
dapat mengurangi intensitas pada sendi
 Gerak tidak terbatas
nyeri  Akan melancarkan peredaran
 Aktivitas bisa sedikit meningkat
 Tingkatkan pengetahuan darah sehingga kebutuhan
 Skala nyeri 0 (dari 0-10)
tentang penyebab nyeri dan oksigen pada jaringan terpenuhi
 Menunjukkan ekspresi rileks
hubungan dengan berapa lama dan mengurangi nyeri
nyeri akan berlangsung  Pengetahuan tersebut
 Anjurkan klien untuk tidak membantu mengurangi nyeri
meminum minuman seperti dan dapat membantu
alkohol, kafein atau meningkatkan kepatuhan klien
mengonsumsi obat-obatan terhadap rencana terapeutik
diuretik, tapi perbanyak minum  Pemakaian alkohol, kafein, dan
air putih oba-obatan diuretik akan
menambah peningkatan kadar
asam urat dalam serum.

2. 2. Resiko jatuh Setelah dilakukan tindakan  Kaji adanya faktor-faktor resiko  Mengidentifikasi adanya faktor-
perawatan selama 2x24 jam injuri pada klien. faktor resiko yang mungkin akan
diharapkan cidera tidak terjadi  Lakukan modifikasi lingkungan timbul
dengan kriteria hasil: agar lebih aman sesuai hasil  Mengurangi risiko injuri akibat
pengkajian terhadap resiko injuri lingkungan yang tidak aman
 Mengidentifikasi bahaya apa saja  Monitor klien secara berkala  Mencegah kecelakaan akibat
yang dapat meningkatkan terutama 2 hari pertama faktor-faktor resiko yang
kemungkinan cidera terutama kunjungan rumah mungkin terjadi dan dialami oleh
bahaya lingkungan  Ajarkan klien dan keluarga klien
 Mengidentifikasi tindakan tentang upaya pencegahan  Mencegah komplikasi akibat
preventif atas bahaya tertentu cidera injuri dan mempertahankan
 Melaporkan penggunaan cara keamanan
yang tepat dalam melindungi diri
dari cidera.
DAFTAR PUSTAKA
Gallo, Joseph. 1998. Buku Saku Gerontologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Nugroho, Wahjudi. 1995. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Tarwoto, Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika

http://www.stikeskabmalang.wordpress.com/2009/09/19/pengkajian-dan-pencegahan-jatuh-
pada-lansia/

http://www.cita09060144.student.umm.ac.id/2010/02/05/peran-perawat-dalam-pemenuhan-
kebutuhan-keamanan-dan-keselamatan/

Anda mungkin juga menyukai