Anda di halaman 1dari 29

CEDERA KEPALA

A. Pengertian
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cidera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.Cidera kepala pada dasarnya dikenal dua
macam mekanisme trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi
yaitu cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat
sedang, bila GCS : 9 – 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama
dengan 8. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh
karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua
mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka
reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan
traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.

1
B. Patofisiologi
Cidera Kepala TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi Hypoxemia

Kelainan Metabolisme
Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder

Kontusio
Laserasi Kerusakan Sel Otak 

Gangguan Autoregulasi  Rangsangan Simpatis Stress

Aliran Darah Keotak   Tahanan Vaskuler  Katekolamin


Sistemik & TD   Sekresi Asam Lambung

O2   Ggan Metabolisme  Tek. Pemb.Darah Mual, Muntah


Pulmonal

Asam Laktat   Tek. Hidrostatik Asupan Nutrisi Kurang

Oedem Otak Kebocoran Cairan Kapiler

Ggan Perfusi Jaringan Oedema Paru  Cardiac Out Put 


Cerebral
Difusi O2 Terhambat Ggan Perfusi Jaringan

Gangguan Pola Napas  Hipoksemia,


Hiperkapnea

2
Hubungan Cedera Kepala Terhadap Munculnya Masalah Keperawatan

Cedera Kepala Primer Cedera Kepala Sekunder


-Komotio, Kontutio, -Hipotensi, Infeksi General,
Laserasi Cerebral Syok, Hipertermi, Hipotermi,
Hipoglikemi

Gangguan vaskuler serebral dan produksi


prostaglanding dan peningkatan TIK

Nyeri
Intracerebral Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung

Kerusakan / Penurunan ADO2, VO2,


Penekanan Sel Otak Komotio Cerebri CO2,
Local / Difus Kontutio Cerebri Peningkatan Katekolamin,
Lateratio Cerebri Peningkatan Asam Laktat

Gangguan
kesadaran / Edema Cerebri
Penurunan GCS

Gangguan Seluruh Gangguan Sel Glia / Kejang


Kebutuhan Dasar Gangguan Polarisasi
(Oksigenasi, Makan,
Minum, Kebersihan
Diri, Rasa Aman, Resiko Trauma
Gerak, Aktivitas Dll

3
4
C. Manifestasi Klinis
1. Komosio Serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya
kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan
secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama
kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya
amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT scan
tidak didapatkan adanya kelainan.
2. Kontusio Serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak
akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita
pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan
adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti
hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mual-muntah, pusing sakit kepala,
amnesia retrograde/antegrade, pada pemerikasaan CT Scan didaptkan
daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri
menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah
yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut
“Pulp brain” (Bajamal A.H & Kasan H.U , 1993 ).
3. Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom)
Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara durameter dan
tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica
media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria),
Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan
adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan
antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa
Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek patologis satu sisi. Adanya
lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil
anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi
EDH sedangkan hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi
EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti
adanya EDH karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain,
tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin
panjang lucid interval makin baik prognose penderita EDH (karena otak
mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Pada pemeriksaan

5
radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk
bikonvek diantara 2 sutura. Terjadinya penurunan kesadaran, Adanya
lateralisasi, Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan
pemberian anlgesia. Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari
20 CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan pergeseran garis tengah
(midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi
hematom, menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala
dapat dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanya edema
serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat operasi didapatkan
duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea. Pada penderita yang
dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnose
radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu
“Burr hole explorations” yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH
biasanya dilakukan pada titik- titik tertentu yaitu Pada tempat
jejas/hematom, pada garis fratur, pada daerah temporal, pada daerah
frontal (2 CM didepan sutura coronaria), pada daerah parietal, pada daerah
occipital. Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang
kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun (Bajamal
A.H , 1999).
4. Subdural hematom (SDH)
Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah
lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging
vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis. Berdasarkan
waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3
meliputiSubdural hematom akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian,
Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari – 3 minggu, Subdural
hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu. Secara klinis
subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai
adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Sedangkan
pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens
yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi menurut EBIC
(Europebraininjuy commition) pada perdarahan subdural adalah Jika
perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM, Jika terdapat pergeseran garis tengah
lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom,
menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebri biasanya tulang

6
tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea. Prognose dari
penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita
datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta di jaringan otak serta usia
penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %,
makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin
jelek prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara duramater dan
jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara
duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam
48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
5. Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-
kadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya
daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter
lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah, Secara klinis
hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi.
Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai
dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan
prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan
prognose perdarahan subdural.
6. Edema serebri
Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel – sel otak, pada kasus
cidera kepala terdapat 2 macam edema serebri Edema serebri vasogenik,
Edema serebri sitoststik (Sumarmo Markam et.al ,1999).

7
7. Edema serebri vasogenik
Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan dari “ blood brain
barrier” (sawar darah otak ) sehingga solut intravaskuler (plasma darah)
ikut masuk dalam jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari
plasma darah ini lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra seluler.
Akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana cairan intraseluler, yang tekanan
osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari
sel melewati membran sel sehingga terjadi edema ekstra seluler sedangkan
sel-sel otak mengalami pengosongan (“shringkage”)
8. Edema serebri sitostatik
Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak
berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak
(pada keadaan aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah
menjadi 38 ATP dan H2O). Sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1
molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP dan H2O karena kekurangan
ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan untuk menjalankan
proses pompa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan anion antara
intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut memerlukan
ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipompa keluar dari sel
menjadi masuk kedalam sel bersama masuknya natrium. Maka air (H2O)
ikut masuk kedalam sel sehingga terjadi edema intra seluler (Sumarmo
Markam et.al :1999). Gambaran CT Scan dari edema serebri Ventrikel
menyempit, Cysterna basalis menghilang, Sulcus menyempit sedangkan
girus melebar.
9. Tekanan Intra Kranial
Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang
yang terisi 3 komponen yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan
liquor serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah seberat
150 gram. Menurut doktrin Monroe – kellie, jumlah massa yang ada dalam
rongga kepala adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal
hematom, edema, tumor, abses) maka sebagian dari komponen tersebut
mengalami kompensasi/bergeser, yang mula – mula ataupun canalis
centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada klinis penderita
mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat. Jika
kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan

8
penambahan massa masih terus berlangsung maka terjadi kompensasi
kedua yaitu kompensasi dari pembuluh darah dan isinya yang bertujuan
untuk mengurangi isi rongga intrakranial dengan cara ialahVaso konstriksi
yang berakibat tekanan darah meningkat, Denyut nadi menurun
(bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan
intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan ganguan pola napas
disebut “trias cushing”. Jika kompensasi kedua komponen isi rongga
intrakranial sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus
berlangsung maka jaringan otak akan melakukan kompensasi yaitu
berpindah ketempat yang kosong (“locus minoris”) perpindahan jaringan
otak tersebut disebut herniasi cerebri. Tanda - tanda klinis herniasi cerebri
tergantung dari macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan tekanan
intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung (Sumarmo
Markam et.al ,1999).

D. Penanganan pertama kasus cidera kepala


Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti
standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life
Support) yang meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara
seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing,
Circulasi, Disability (ATLS ,1997). Pada pemeriksaan airway usahakan
jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka mulut, bersihkan
muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher,
Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, Hiperfleksi ataupun rotasi,
Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai
cidera vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai cedera cervical,
maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi
oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak usahakan untuk
dilakukan intubasi dan support pernafasan. Setelah jalan nafas bebas
sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal antara
16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas
lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan
pertahankan PCO 2 antara 28 – 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm
Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri.
Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstruksi

9
yang berakibat terjadinya iskemia, Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mm
Hg jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit. Pada pemeriksaan
sistem sirkulasi Periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan
resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit
dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena
cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan
shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka kematian
2x. Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran pemeriksaan
kesadaran memakai glasgow coma scale, Periksa kedua pupil bentuk dan
besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak
langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek
patologis kanan kiri, Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan
sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia. Setelah fungsi vital stabil
(ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan
sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax,
foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara
stimultan dan seksama) (ATLS , 1997).

Glasgow Coma Scale (GCS)


Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara
kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis,
somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara
satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan
skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi
membuka mata, Reaksi verbal, Reaksi motorik.
1). Reaksi membuka mata

Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

2). Reaksi Verbal


Reaksi Verbal Nilai

10
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

3). Reaksi Motorik


Reaksi Motorik Nilai
Mengikuti perintah 6
Melokalisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu
cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila
GCS : 9 – 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada
penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka
reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga
tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai
“X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi
maka reaksi verbal diberi nilai “T”.

Indikasi foto polos kepala


Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi
indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus
alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap,
Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran (Bajamal A.H ,1999). Sebagai indikasi
foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut
tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto
polos posisi AP/lateral dan oblique.

Indikasi CT Scan
Indikasi CT Scan adalah :

11
(1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat – obatan analgesia/anti muntah.
(2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
(3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
(4) Adanya lateralisasi.
(5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
(6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
(7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
(8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS)


Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS) meliputi :
(1) Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15).
(2) Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri).
(3) Adanya gangguan fokal neorologis (Hemiparese/plegi, kejang - kejang, pupil
anisokor).
(4) Nyeri kepala, muntah - mual yang menetap yang telah dilakukan observasi di
UGD dan telah diberikan obat analgesia dan anti muntah selama 2 jam tidak ada
perbaikan.
(5) Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemerisaan foto kepala.
(6) Klinis adanya tanda – tanda patah tulang dasar tengkorak.
(7) Luka tusuk atau luka tembak
(8) Adanya benda asing (corpus alienum).
(9) Penderita disertai mabuk.
(10) Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus, gangguan
faal pembekuan.
Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit
tidak ada yang mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat tinggal jauh dengan
rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan menyulitkan penderita. Pada saat
penderita di pulangkan harus di beri advice (lembaran penjelasan) apabila terdapat
gejala seperti ini harus segera ke rumah sakit misalnya : mual – muntah, sakit kepala

12
yang menetap, terjadi penurunan kesadaran, Penderita mengalami kejang – kejang,
Gelisah. Pengawasan dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih 2 x
24 jam dengan cara membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999).

1 Perawatan dirumah sakit


Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 – 15 meliputi :
1). Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat
dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri)
Di RS Dr Soetomo surabaya digunakan D5% ½ salin kira – kira 1500 – 2000
cc/24 jam untuk orang dewasa.
2). Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah dicoba
minum sedikit – sedikit (pada penderita yang tetap sadar).
3). Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal
selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk penuh
dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15).
4). Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti : Citicholine,
dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.
5). Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera
kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur – angsur
berkurang sampai 48 jam pertama.

2 Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13


Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
1). Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15° –
30°) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial
turun.
2). Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit.
3). Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak ada
perbaikan dapat diberikan vasopressor.
4). Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30
CC/KgBB/24jam.
5). Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan
yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr)
untuk memberikan makanan yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500
cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari

13
atrophi villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat
tinggi (stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak
terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini
akan ditingkatkan secara perlahan – lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24
jam dengan kalori 2000 Kkal. Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral
lebih cepat pada penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman
di dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk
kedalam system portal.
6). Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya
statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri dan
kanan setiap 2 jam.
7). Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung
diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking
efek terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita
gelisah dapat terjadi karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh,
Tempat tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock,
Febris.

Transpor Oksigen
1. Sistim pernafasan yang membawa O2 udara alveoli, kemudian difusi masuk
kedalam darah.
Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen berkaitan dengan
hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma. Gangguan oksigenansi
menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah (hipoksemia) yang selanjutnya
akan menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya,
dibedakan 4 jenis hipoksia sesuai dengan proses penyebabnya :
1). Hipoksia – hipoksik : gangguan ventilasi-difusi
2). Hipoksia – stagnan : gangguan perfusi/sirkulasi
3). Hipoksia – anemik : anemia
4). Hipoksia – histotoksik : gangguan pengguanaan oksigen dalam sel (racun
HCN, sepsis).
Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik.
Kandungan oksigen dalam darah arterial (Ca O2) menurut rumus Nunn-Freeman
(MacLean, 1971, Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah :
Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003)

14
Hb = kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi O 2 = saturasi oksigen dalam
hemoglobin (%)
1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut 1,36 atau 1,39
pO2 = tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg
0,003 = koefisien kelarutan oksigen dalam plasma.

2. Sistim sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan


Perubahan-perubahan hemodinamik sebagai kompensasi yaitu: nadi
meningkat (takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat, vasokonstriksi di
daerah arterial reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh puluh lima persen volume
sirkulasi berada di daerah vena. Vasokonstriksi memeras darah dari cadangan vena
kembali ke sirkulasi efektif. Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran
untuk organ prioritas (otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal,
hati, usus. Vasokonstriksi yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion
pressure) untuk otak dan jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih berat
mengatasi SVR, pada saat yang sama oksigenasi koroner sedang menurun.
Vasokonstriksi yang berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik
(iscemic injury), translokasi kuman menembus usus dan masuknya endotoksin ke
sirkulasi sistemik (Kreimeier 1990 dan 1992; Hartmann, 1991). Takikardia dan
vasokonstriksi sudah berjalan dengan cepat melalui respons baroreseptor dan
katekolamin. Takikardia yang berlebihan justru merugikan, karena menyebabkan
EDV menurun sehingga CO juga turun. Cardiac output atau curah jantung adalah
volume aliran darah yang membawa oksigen ke jaringan. Hubungan antara curah
jantung (CO), frekwensi denyut jantung (f) dan Stroke Volume (SV) adalah sebagai
berikut:
CO = f x SV
SV : dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR
EDV : volume ventrikel pada akhir diastole
C : contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)
SVR : Systemic Vascular Resistance
VR : Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan
normal VR = CO
Available O2 = CO x Ca O2
Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan)
Ca O2 : kandungan oksigen darah arterial.

15
3. Sistim O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke sel jaringan
Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika
oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi oksigen-hemoglobin
(Lentner, 19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada organ
vital (otak, jantung) diisyaratkan bhwa kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila
kadar Hb kurang dari 9 gr % masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan
peningkatan curah jantung dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico,
1993; Rotondo, 1993).

A. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah,
pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB,
alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien,
pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea,
sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise,
akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan
telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai
data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi
prognosa klien.
d. Pengkajian persistem
1) Keadaan umum
2) Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3) TTV
4) Sistem Pernapasan : Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman
maupun frekuensi, nafas bunyi ronchi.
5) Sistem Kardiovaskuler

16
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut
nadi bradikardi kemudian takikardi.
6) Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
7) Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami
perubahan selera
8) Sistem Muskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9) Sistem Persarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan,
gangguan pengecapan .
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang,
kehilangan sensasi sebagian tubuh.
a) Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya
menurun, perubahan ukuran pupil, bola mta
tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya
rasa pada 2/3 anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan
tubuh
N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan

b) Skala Koma glasgow (GCS)


NO KOMPONEN NILAI HASIL
1 VERBAL 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak tepat/tidak
nyambung dengan pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak
tepat

17
5 Orientasi baik
2 MOTORIK 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi membuka1 Tidak berespon
mata (EYE) 2 Rangsang nyeri
3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
4 Spontan

a) Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut
yang digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

2. KEMUNGKINAN DIAGNOSA KEPERAWATAN


a) Nyeri akut berhubungan dengan Terputusnya kontinuitas jaringan
tulang
b) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi
cairan
c) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hiposksia
d) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan defisit neorologis.
e) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilitas.
f) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontinuitas yang rusak
g) Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual-
muntah.

3. INTERVENSI

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Keperawatan Hasil
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Tentukan 1. Informasi akan
berhubungan asuhan keperawatan manajemen nyeri memberikan data
dengan selama 3X24 jam, dengan dasar untuk
Terputusnya diharapkan nyeri akut menggunakan membantu dalam

18
kontinuitas berkurang atau tekhnik P,Q,R,S,T menentukan
jaringan tulang terkendali dengan pilihan/keefektifan
kriteria hasil: 2. Monitor TTV. intervensi.
a.Pelaporan nyeri 2. Perubahan TTV
terkontrol. merupakan
3. Buat posisi kepala
b.Pasien tenang, tidak
indikator nyeri.
lebih tinggi (15-
gelisah. 3. Meningkatkan dan
c.Pasien dapat cukup 45o).
melancarkan aliran
istirahat.
balik darah vena
dari kepala sehingga
4. Ajarkan latihan
dapat mengurangi
teknik relaksasi
edema dan TIK.
seperti latihan
4. Latihan nafas dalam
nafas dalam.
dapat membantu
pemasukan O2 lebih
5. Kurangi stimulus
banyak , terutama
yang tidak
untuk oksigenasi
menyenangkan
otot.
dari luas dan 5. Respon yang tidak
berikan tindakan menyenangkan
yang menambah
menyenangkan ketegangan saraf
seperti masase. dan mamase akan
mengalihkan
rangsang terhadap
nyeri.

19
Ketidakefektifa Setelah dilakukan 1. Kaji kepatenan 1. Ronchi, mengi
n bersihan jalan asuhan keperawatan jalan napas menunjukan
nafas selama 3X24 jam, aktivitas sekret yang
berhubungan diharapkan klien dapat menimbulkan
dengan dapat penggunaan otot-
akumulasi mempertahanakan otot asesoris dan
2. Beri posisi
cairan patensi napas dengan meningkatkan kerja
semifowler.
kriteria hasil : pernapasan.
a.Bunyi napas 2. Membantu
3. Lakukan
vesikuler memaksimalkan
penghisapan lendir
b.Tidak ada spuntum
ekspansi paru
c. Masukan cairan dengan hati-hati
3. Pengisapan dan
adekuat. selama 10-15
membersihkan jalan
menit. Catat sifat-
napas dan akumulasi
sifat, warna dan
dari sekret.
bau sekret.
Dilakukan dengan
Lakukan bila tidak
hati-hati untuk
ada retak pada
menghindari
tulang basal dan
terjadinya iritasi
robekan dural.
saluran dan reflek
4. Berikan posisi
vagal.
semi
pronelateral/mirin 4. Posisi semi prone
g atau terlentang dapat membantu
setiap dua jam. keluarnya sekret dan
mencegah aspirasi.
Mengubah posisi
5. Berikan
untuk merangsang
bronkodilator IV
mobilisi sekret dari
dan aerosol sesuai
saluran pernapasan.
indikasi. 5. Meningkatkan
ventilasi dan
membuang sekret
serta relaksasi otot
halus/spsponsne
bronkus.
Perubahan Setelah dilakukan 1. Kaji status 1. Hasil dari

20
perfusi jaringan asuhan keperawatan neurologis yang pengkajian dapat
serebral selama 3X24 jam, berhubungan diketahui secara dini
berhubungan diharapkan klien dengan tanda- adanya tanda-tanda
dengan mempunyai perfusi tanda peningkatan peningkatan TIK
hiposksia jaringan adekuat TIK, terutama sehingga dapat
dengan kriteria hasil: CGS. menentukan arah
a.Tingkat kesadaran 2. Monitor TTV; TD,
tindakan selanjutnya
normal denyut nadi, suhu,
serta manfaat untuk
(composmetis). minimal setiap jam
menentukan lokasi,
b.TTV Normal.
sampai klien
(TD:120/80mmHg, perluasan dan
stabil.
suhu:36,5-37,50C, perkembangan
3. Tingggikan posisi
Nadi:80-100x/menit, kerusakan SSP.
kepala dengan
2. Dapat mendeteksi
RR: 16-24 x/m)
sudut 15-45o tanpa
secara dini tanda-
bantal dan posisi
anda peningkatan
netral.
TIK, misalnya
4. Monitor suhu dan
hilangnya
atur suhu
autoregulasidapat
lingkungan sesuai
mengikuti
indikasi. Batasi
kerusakan
pemakaian selimut
vaskularisasi
dan kompres bila
selenral lokal.
demam.
5. Monitor asupan Napas yang tidak
dan keluaran teratur dapat
setiap delapan jam menunjukkan lokasi
sekali. adanya gangguan
6. Berikan O2
serebral.
tambahan sesuai 3. Posisi kepala
indikasi. dengan sudut 15-45o
Berikan obat-
dari kaki akan
obatan antiedema
meningkatkan dan
seperti manito,
memperlancar aliran
gliserol dan losix
balik vena kepala
sesuai indikas
sehingga
mengurangi
kongesti cerebrum,

21
dan mencegah
penekanan pada
saraf medula
spinalis yang
menambah TIK.
4. Deman menandakan
adanya gangguan
hipotalamus:
peningkatan
kebutuhan
metabolik akan
meningkatkan TIK.
5. Mencegah kelibahan
cairan yang dapat
menambah edema
serebri sehingga
terjadi peningkatan
TIK.
6. Mengurangi
hipokremia yang
dapat meningkatkan
vasoditoksi cerebri,
volume darah dan
TIK.
7. Manitol/gliserol
merupakan cairan
hipertonis yang
berguna untuk
menarik cairan dari
intreseluler dan
ekstraseluler. Losix
untuk meningkatkan
ekskresi natrium dan
air yang berguna
untuk mengurangi
edema otak.
Perubahan Setelah dilakukan 1. Kaji respon 1. Informasi yang

22
persepsi sensori asuhan keperawatan sensori terhadap penting untuk
berhubungan selama 3X24 jam, panas atau dingin, keamanan kllien ,
dengan defisit diharapkan klien raba atau semua sistem
neorologis mengalami perubahan sentuhan.Catat sensori dapat
persepsi sensori perubahan- terpengaruh dengan
dengan kriteria hasil: perubahan yang adanya perubahan
a.Tingkat kesadaran
terjadi. yang melibatkan
normal. E4 M6 V5. 2. Kaji persepsi
kemampuan untuk
b.Fungsi alat-alat
klien, baik respon
menerima dan
indera baik.
balik dan koneksi
c.Klien kooperatif berespon sesuai
kemampuan klien
kembali dan dapat stimulus.
beroerientasi 2. Hasil pengkajian
berorientasi pada
terhadap orang, dapat
orang, waktu dan
tempat dan waktu. menginformasikan
tempat.
3. Berikan stimulus
susunan fungsi otak
yang berarti saat
yang terkena dan
penurunan
membantu
kesadaran.
intervensi sempurna.
4. Berikan keamanan
3. Merangsang
klien dengan
kembali
pengamanan sisi
kemampuan
tempat tidur, bantu
persepsi-sensori.
latihan jalan dan 4. Gangguan persepsi
lindungi dari sensori dan
cedera. buruknya
5. Rujuk pada ahli
keseimbangan dapat
fisioterapi , terapi
meningkatkan
deuposi, wicara,
resiko terjadinya
terapi kognitif.
injury.
5. Pendekatan antar
disiplin dapat
menciptakan
rencana
penatalaksanaan
terintregasi yang
berfokus pada
peningkatan

23
evaluasi, dan fungsi
fisik, kognitif dan
ketrampilan
perseptual.

Hambatan Setelah dilakukan 1. Periksa kembali 1. Mengidentifikasi


mobilitas fisik asuhan keperawatan kemampuan dan kemungkinan
berhubungan selama 3X24 jam, keadaan secara kerusakan yang
dengan diharapkan klien fungsional pada terjadi secara
imobilitas. mampu melakukan kerusakan yang fungsional dan
aktifitas fisik dan ADL terjadi mempengaruhi
2. Kaji tingkat
dengan kriteria hasil: pilihan intervensi
a.Klien mampu pulih kemampuan
yang akan dilakukan
kembali pasca akut mobilitas dengan 2. Seseorang dalam
dalam skala 0-4 setiap kategori
0:Klien tidak
mempertahankan mempunyai resiko
bergantung
fungsi gerak. kecelakaan, namun
b.Tidak terjadi orang lain.
dengan kategori
1:Klien butuh
komplikasi , seperti
nilai 2-4 menpunyai
sedikit bantuan.
dekubitus,
2:Klien butuh resiko yang terbesar
bronkopnemonia
bantuan untuk terjadinya
tromboplebitis dan
sederhana. bahaya.
kontraktur sendi. 3:Klien butuh 3. Dapat meningkatkan
c.Mampu
bantuan atau sirkulasi seluruh
mempertahankan
peralatan yang tubuh dan mencegah
keseimbangan fungsi
banyak. adanya tekanan pada
tubuh. 4:Klien butuh
organ yang
sangat
menonjol.
bergantung pada 4. Mempertahankan
orang lain. fungsi sendi dan
3. Atur posisi klien
mencegah resiko
dan ubah posisi
tromboplebitis.
secara teratur tiap 5. Meningkatkan
dua jam sekali bila sirkulasi dan
tidak ada kejang meningkatkan
atau setelah empat elastisitas kulit dan
jam pertama. menurunkan resiko
4. Bantu klien

24
melakukan terjadinya ekskariasi
gerakan sendi kulit
6. Mempertahankan
secara teratur.
5. Pertahankan linen mobilisasi dan
tetap bersih dan fungsi sendi/posisi
bebas kerutan normal ekstremitas
6. Bantu untuk
dan menurunkan
melalukan latihan
terjadinya vena
rentang gerak
statis.
aktif/pasif. 7. Meningkatkan
7. Anjurkan klien
kesembuhan dan
untuk tetap ikut
membentuk
serta dalam
kekuatan otot
pemenuhan
kebutuhan ADL
sesuai kemampuan

Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Pertahankan teknik 1. Menurunkan resiko


infeksi asuhan keperawatan aseptik dan teknik terjadinya infeksi
berhubungan selama 3X24 jam, cuci tangan yang dan kontaminasi
dengan diharapkan klien tidak tepat bagi pasien, silang.
2. Peningkatan suhu
kontinuitas mengalami infeksi pengunjung
merupakan salah
yang rusak dengan kriteria hasil: maupun staf.
a.Tidak ada tanda- 2. Pantau suhu secara satu indikator
tanda infeksi, rubor, teratur. terjadinya infeksi.
3. Ubah posisi klien 3. Mencegah
kalor, dolor.
b.Suhu tubuh 36,5- sesering mungkin. kerusakan kulit.
4. Menurunkan resiko
37,5 oC Pertahankan linen
c.Mencapai kontaminasi.
tetap kering dan
penyembuhan tepat
bebas dari kerutan.
waktu 4. Batasi/hindari
d.Berpartisipasi dalam
prosedur invansif.
intervensi dalam
pencegahan infeksi

Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Ukur haluaran dan 1. Penurunan haluaran


kekurangan asuhan keperawatan BJ urin. Catat urin dan BJ akan
volume cairan selama 3X24 jam, ketidakseimbanga menyebabkan
berhubungan diharapkan klien tidak n input dan output. hipovolemia.

25
dengan mual- mengalami 2. Dorong masukan 2. Memperbaiki
muntah. kekurangan volume cairan peroral kebutuhan cairan.
3. Pengurangan dalam
cairan dengan kriteria sesuai toleransi.
3. Pantau tekanan sirkulasi volume
hasil:
a. Haluaran urin darah dan denyut cairan dapat
adekuat jantung. mengurangi tekanan
b.TTV dalam batas 4. Palpasi denyut
darah, mekanisme
normal perifer.
kompensasi awal
c.Nadi perifer teraba 5. Kaji membran
takikardi untuk
kuat mukosa, turgor
meningkatkan curah
kulit, dan rasa
jantung dan tekanan
haus.
6. Berikan tambahan darah sistemik.
4. Denyut yang lemah,
cairan parenteral
mudah hilang dapat
sesuai indikasi.
menyebabkan
hipovolemi.
5. Merupakan
indikator dari
kekurangan volume
cairan dan sebagai
pedoman untuk
penatalaksaan
dehidrasi.
6. Memperbaiki
kebutuhan cairan

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Implementasi berpatokan pada intervensi keperawatan nantinya
kalimat perintah pada intervensi pada implementasi berupa kata kerja.

5. Evaluasi

26
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi menyediakan
nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan
merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah
dibuat pada tahap perencanaan dengan menggunakan SOAP.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafid, M. Sajid Darmadiputra, Umar Kasan, (1989), Strategy Dasar


Penanganan Cidera Otak, Warta IKABI Cab. Surabaya.
American College of Surgeons, (1995), Advanced Trauma Life Support Course for
Physicians, ACS Chicago
Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya.
Becker DP, Gardner S, (1985), Intensive Management of Head Injury. In : Wilkins
RH, Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc. Grow Hill
Company, 1953.
Bouma GJ, Muizelaar JP, Choi Sc et.al, (1991), Cerebral Circulation and
Metabolism After Severe Traumatic Barin Injury : the elusive role of
ischemia. J. Neurosurg.
Bambang Wahyu Prajitno, (1990), Terapi Oksigen, Lab Anestesiologi F.K Unair
Surabaya.
Barzo MK, rau AM, Donaldson D et.al, (1997), Protective Effect of Ifenprodil on
Ishemic Injury Size, Blood Breakdown, and Edema Formation in Focal
Cerebral Ischemia.
Combs DJ, Dempsey RJ, Maley M et.al (1990), Relationship between plasma
glocose, brain lactate and intra cellular PH during cerebraal ischemia
in gebrils stroke.
Gennerelli TA and Meany DF ( 1996 ), Mechanism of Primary Head Injury, Wilkins
RH and Renfgachery SS ( eds ) Neurosurgery, New York
Ishige N, Pitts LH et.al (1987), Effect of Hypoxia on Traumatic brain Injury in rats
Neurosurgery
Jenkins N, Pitts LH et.al (1987), Increased vulnerability of the traumatized brain to
early ischemia in Baethment A, Go CK and Unterberg A ( eds )
Mecahnism of Secondary brain demage.PC Worksho, Italy
Klatzo I. Chui E, Fujiware K (1980), Resulation of Vasogenic brain edema, Adv.
Neurol.
Klauber MF, Marshall LF et.al (1989), Determinants of Head Injury Mortality,
Importance of the Row Risk Patients.
Kraus JF (1993), Epidemiology of Head Injury in Cooper P ( ed ) Head Injury.
Baltimore, William and Wilkins.

28
Narayan RK (1989), Emergency Room Management of the Head Injury Patient. In :
Becker D.P, Gudeman S.K, eds Text Book of Head Injury Philadelphia :
WB Saunders
R. Zander, F. Mertzlufft (1990), The Oxygen Status of Arterial Blood, Saarstrabe
Germany.
Sumarmo Makam et.,al (1999), Cidera Kepala, Balai Penerbit FK UI Jakarta.
Umar kasan (1998), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala
Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press.
Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes
Vincent J. Collins, (1996), Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxia Germany
Zainuddin M, (1988), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga Surabaya.

29

Anda mungkin juga menyukai