Nama Wahana :
Topik : Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Tanggal (kasus) : 16 September 2018
Nama Pasien : Ny. A(Perempuan) No. RM : 05.01.65
Tanggal Presentasi : 26 September 2018 Nama Pendamping :
Tempat Presentasi :
Objektif Presentasi :
Tujuan :
Untuk menegakkan diagnosis
Manajemen penatalaksanaan
Bahan bahasan Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi & diskusi Email Pos
6. Pemeriksaan Penunjang :
Hasil
Hematologi Satuan Nilai Rujukan
16 - 09 -2018
Hemoglobin 7,5 g/dL 13,5 - 17,5
Hematokrit 26,0 % 39,0 - 49,0
RBC 3,80 10^6/uL 2,50 - 5,50
MCH 19,7 pg 26,0 - 34,0
MCV 68,4 fL 80,0 - 100,0
MCHC 28,8 g/dL 33,0- 37,0
Leukosit 14,93 10^3/uL 4,50 - 11,00
Trombosit 307 10^3/uL 150 - 450
PDW 11,4 fL 9,0 - 17,0
MPV 9,8 fL 9,0 - 13,0
7. Penatalaksanaan
Infus RL 20 TPM
Injeksi Cefotaxime 1gr tiap 12 jam
Injeksi Tramadol 1 amp tiap 12 jam
Kaltrofen Supp tiap 8 jam
Injeksi Farbion tiap 24 jam
ARV 1 x 1
2. Obyektif
- Keadaan umum : sakit sedang
- Kesadaran : composmentis
- Tanda vital:
• Tekanan darah : 110/80 mmHg
• Nadi : 96 x/menit
• Respirasi : 20x/menit
• Suhu : 36,50C
a. Status Generalis : dalam batas normal
b. Status Obstetrik :
i. Kontraksi Uterus : His (+), 3 x/10 menit, 35 detik
ii. TFU : 30 cm
iii. DJJ : 138 x/menit
iv. Pemeriksaan dalam :
1. Pembukaan : 3 cm
2. Ketuban : (+)
3. Presentasi : kepala H1
3. Assessment
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih
di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang
yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum membutuhkan
pengobatan. Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila
melakukan hubungan seks beresiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain (KPAN,2012).
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan sindrom dengan gejala
penyakit infeksi opotunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Daili et al,2009).
Cara penularan virus HIV, yaitu :
1. Penularan parenteral
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk
pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan alat
medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat terjadi pada semua
pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat
penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ
dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan.
(Kemenkes,2013)
2. Penularan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua
cara penularan.Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama sanggama laki-
laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama berarti kontak seksual
dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu. Risiko tertinggi adalah
penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak
seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori
risiko rendah tertular HIV.Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan
masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan
gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.1
3. Penularan perinatal
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat ditularkan
dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat persalinan dan menyusui.
Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua.1
a. Penularan in utero atau intra uterin
HIV melalui plasenta masuk kedalam tubuh bayi. Penularan in utero ini diketahui
karena didapatkannya HIV pada jaringan thymus,lien , paru dan otak dari janin 20
minggu yang digugurkan dari ibu pengidap HIV.6,8
b. Penularan saat persalinan.
Terjadi karena bayi terkontaminasi darah ibu saat persalinan.8
c. Penularan pasca persalinan.
Terjadi penularan melalui ASI pada masa menyusui karena adanya HIV pada kelenjar
payudara dan ASI pengidap HIV. Meskipun masih ada perbedaan pendapat mengenai
hal ini karena hasil penelitian yang berbeda, tetapi karena belum adanya vaksin untuk
HIV dan kemungkinan penularan ini tetap ada, maka disepakati pemberian ASI pada
bayi tetap masih di larang.6,8
Pada kasus ini, pasien mendapatkan virus HIV melalui kontak seksual dengan suami
pertama yang didiagnosis HIV. Karena saat ini pasien dalam kondisi hamil, maka ada
kemungkinan bayi yang dikandungnya tertular virus HIV.
Sampai saat ini belum didapatkan adanya pengaruh dari infeksi HIV terhadap
kehamilan. Tetapi jika sudah terjadi AIDS didapatkan pengaruh yang besar dengan terjadinya
prematuritas, kematian janin dalam kandungan. Diduga kondisi bayi dalam kandungan
dipengaruhi oleh makin memberatnya infeksi HIV. Dilaporkan tidak ada hubungan antara
infeksi HIV dengan makin meningkatnya cacat bayi. Meskipun kehamilan dikatakan
menambah beban terhadap sistim tubuh yang sudah berat menghadapi HIV, tetapi sampai
sekarang belum ada bukti yang menunjukkan bahwa HIV makin menjadi progresif setelah
adanya kehamilan.6
Manifestasi Klinik Diagnosis Klinik Diagnosis pasti
Stadium I
Asimptomatik - -
Stadium II
BB turun <10% BB sebelumnya BB turun tanpa sebab yang jelas, atau BB turun < 10% terdokumentasi
BB tidak bertambah pada kehamilan
Stadium III
BB turun > 10 % BB BB turun tanpa sebab yang jelas. BB turun > 10% terdokumentasi
sebelumnya Tampak kurus, BMI < 18,5 kg/m2atau
BB turun pada kehamilan
Diare kronik lebih dari 1 bulan Diare kronik lebih dari 1 bulan yang Pem feses
tidak dapat dijelaskan penyebabnya
Demam persisten Demam persisten lebih dari 1 bulan Suhu > 37.50, dengan kultur darah
negative, ziehl-nelsen negative, apusan
darah malaria negative, foto thorax
normal, dan tidak ada focus infeksi
Acute necrotizing ulcerative Papilla gingival ulserasi, sangat nyeri, Diagnosis klinik
gingivitis atau necrotizing gigi tanggal, perdarahan, bau mulut
ulcerative periodontitis. tidak sedap, dll.
Stadium IV
HIV wasting sindrom BB turun > 10% , wasting, BMI < 18.5 kg/m2
Disertai salah satu :
Diare kronik > 1 bulan tanpa sebab yang jelas
Atau
Demam > 1 bulan tanpa sebab yang jelas
Pneumocystis pneumonia Dispnoe on exertion atau batuk tidak Cytology, imunofloresent mikroskopi.
produktif, takipneu, dan demam. Dan
CXR : infiltrate difus bilateral Dan
Tidak ada bukti infeksi pneumonia
bacterial, krepitasi bilateral, dan
auskultasi dengan atau tanpa obs jalan
nafas
Oesofagial candidiasis Nyeri retrosternal, disfagi, disertai oral Endoskopi, bronkoskopi, mikroskopi,
candidiasis histology.
Criptococcosis ekstrapulmonal Demam, sakit kepala, meningism, Isolasi criptococus neoformans atau
(termasuk meningitis) bingung, perubahan tingkah laku, antigen test
respon terhadap criptococcal terapi
untuk memprediksi onset terjadinya infeksi oportunistik. Pemeriksaan kadar CD4 ini harus diulang setiap 3 bulan untuk menilai perkembangan penyakit dan
dasar pertimbangan untuk tindakan profilaksis dan pengobatan. Berikut ini adalah tabel hubungan antara jumlah limfosit T, kadar CD4 dan tingkat gejala klinis
penyakit.
6,11
Stadium klinis Jumlah Limfosit T (/mm3) Jumlah CD4 (/mm3)
Tanpa Gejala >2500 501-600
Gejala Minor 1001-2500 351-500
Gejala Mayor dan infeksi 501-1000 200-300
oportunistik
AIDS <500 <200
Tabel 2. Hubungan Stadium Klinis, Jumlah Limfosit T dan CD4.10
Penularan HIV dari ibu ke bayi memiliki resiko sebesar 15-35%. Terendah dilaporkan
di Eropa dan tertinggi di Afrika. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, antara lain :
A. Faktor Ibu
1. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah
virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan
HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
2. Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin
besar.
3. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama
hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang
dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
4. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi
saluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
5. Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis,
abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan
HIV melalui ASI.1
B. Faktor Bayi
1. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular
HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
2. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
3. Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
Respon imun neonatus.1
C. Faktor Obstetrik
Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan
rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi HIV vertikal.
Rekomendasi yang dianjurkan adalah: 1
1. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada
kehamilan di atas 36 minggu, belum mendapat antiretrovirus, dan
sedang menunggu hasil pemeriksaan kadar HIV dan CD4 yang
diperkirakan ada sebelum persalinan.
Rekomendasi : Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat terapi
antiretrovirus seperti regimen PACTG 076. Wanita hamil yang
terinfeksi HIV-AIDS dilakukan konseling tentang seksio sesarea
untuk mengurangi resiko transmisi dan resiko komplikasi
pascaoperasi, anestesi, dan resiko operasi lain padanya. Jika
diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38
kehamilan,. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-
AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai 3 jam
sebelumnya, dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah melahirkan atau
tidak tergantung pada hasil pemeriksaan kadar virus dan CD4.
2. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada
kehamilan awal, sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan
kadar HIV tetap di atas 1000 kopi/mL pada minggu ke 36
kehamilan.
Rekomendasi : Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan. Wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat konseling bahwa
kadar HIV-nya mungkin tidak turun sampai kurang dari 1000
kopi/mL sebelum persalinan, sehingga dianjurkan untuk melakukan
seksio sesarea. Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio
yang meningkat, seperti infeksi pascaoperasi, anestesi, dan operasi.
Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu
ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-
AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3 jam
sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan sebelum dan
sesudah persalinan. Bayi mendapat zidovudin sirup selama 6
minggu.
3. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang mendapat
kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tidak terdeteksi pada
minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan konseling
bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak terdeteksi
mungkin kurang dari 2 %, bahkan pada persalinan pervaginam.
Pemilihan cara persalinan harus mempertimbangkan keuntungan
dan resiko komplikasi seksio.
4. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sudah direncanakan
seksio sesarea elektif, namun datang pada awal persalinan atau
setelah ketuban pecah.
Rekomendasi : Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan persalinan
cepat, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS ditawarkan untuk
menjalani persalinan pervaginam. Jika dilatasi serviks minimal dan
diduga persalinan akan berlangsung lama, dapat dipilih antara
zidovudine intravena dan melakukan seksio sesarea atau
memberikan pitosin untuk mempercepat persalinan. Jika
diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam, elektrode
kepala, monitor invasife dan alat bantu lain sebaiknya dihindari.
Bayi sebaiknya mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik
yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah:
1. Jenis Persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar dari pada persalinan melalui
bedah sesar (sectio caesaria).
2. Lama Persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
3. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga
dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
4. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu atau bayi.1
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin
dari infeksi HIV. Tetapi jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari
ibu ke anak.Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak
Waktu Risiko
Selama hamil 5 – 10 %
Bersalin 10 – 20 %
Menyusui 5 – 20 %
Tabel 6. Dosis Pemberian ARV dan NVP untuk Bayi yang menyusui.13
Tabel 7. Maternal dan Infant ART Profilaksis pada skenario klinik berbeda13
Dilihat dari umur, maka usia pasien masuk dalam rentang kelompok usia produktif
yang sering ditemukan HIV/AIDS. Pasien dalam kasus ini merupakan ibu rumah tangga
lulusan SD yang tertular melalui suaminya yang semasa hidupnya bekerja sebagai pekerja di
kantor pelabuhan dan tukang gunting rambut kelilingan. Ada kemungkinan suami pasien
terpapar saat sudah menikah atau sebelum menikah dimana pasien tidak mengetahui
bagaimana perilaku suami saat sebelum menikah. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang
sangat minimal membuat pasien lambat menyadari kondisi suami, sehingga ketika suami
datang ke tenaga kesehatan sudah dalam stadium akhir seperti diare dan batuk kronik,
penurunan berat badan, tumbuhnya jamur di dalam mulut. Saat ini pasien telah menikah
kembali dan dalam kondisi hamil, namun hingga saat ini pasien belum memberitahukan
penyakitnya kepada suami kedua sehingga ini menjadi kendala pasien dalam mengkonsumsi
obat dan melakukan tindakan pencegahan berupa pemakaian kondom saat melakukan
hubungan seksual.
Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap
pengidap HIV-AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan
pengasingan, penolakan, diskriminasi dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi
HIV. Kekerasan atau ketakutan atas hukuman sosial ini telah mencegah banyak orang untuk
melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka atau berusaha untuk memperoleh
perawatan sehingga mungkin mengubah suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi
“hukuman mati” dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV AIDS.
Stigma AIDS sering dikaitkan dengan homoseksualitas, biseksualitas, seks bebas, dan
penggunaan narkoba melalui suntikan. Seseorang yang terjangkit HIV AIDS dapat
berdampak sangat luas dalam hubungan sosial dengan keluarga, hubungan dengan teman-
teman, relasi dan jaringan kerja akan berubah baik kuantitas maupun kualitas. Upaya kuratif
pada aspek sosial difokuskan dalam upaya mendorong pengidap HIV/AIDS agar menjadi
produktif dan punya kontribusi terhadap masyarakat, maka secara tidak langsung akan
mengurangi stigma buruk di masyarakat.
Nursalam (2005) menjelaskan bahwa seseorang penderita HIV/AIDS setidaknya
membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi
tiga hal, yaitu :
a. Emotional support, meliputi perasaan nyaman, dihargai, dicintai dan diperhatikan
b. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
c. Materials support, meliputi bantuan atau pelayanan berupa suatu barang dalam
mengatasi suatu masalah.
Dampak HIV/AIDS di bidang ekonomi dapat dimulai dari tingkat individu, keluarga,
masyarakat dan akhirnya pada negara dan mungkin dunia. Epidemi HIV/AIDS akan
menimbulkan biaya tinggi, baik pada pihak penderita maupun pihak rumah sakit. Hal ini
dikarenakan obat penyembuh yang belum ditemukan, sehingga biaya harus terus dikeluarkan
hanya untuk perawatan dan memperpanjang usia penderita.
Pengidap HIV/AIDS pada umumnya berada dalam situasi yang membuat penderita
merasakan menjelang kematian dalam waktu dekat. Individu yang dinyatakan terinfeksi HIV,
sebagian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial. Pasien yang didiagnosis dengan
HIV akan mengalami masalah fisik, psikologis, sosial dan spritual. Masalah psikologis yang
timbul adalah :
a. Stres yang ditandai dengan menolak, marah, depresi dan keinginan untuk mati. Individu
yang terinfeksi HIV/AIDS atas pemberitahuan dokter, biasanya mengalami shock, bisa
putus asa karena shock berat. Penderita mengalami depresi berat, sehingga
menyebabkan penyakit semakin lama semakin berat, timbul berbagai infeksi
oportunistik, dan penderita semakin tersiksa. Biaya pengobatan tambah besar, penyakit
bertambah banyak, obat yang diberikan harus tambah banyak dengan berbagai efek
samping yang dapat memperparah keadaan penderita.
b. Keyakinan diri yang rendah pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan penderita
mengalami hypochondria, dimana penderita seringkali memikirkan mengenai
kehilangan, kesepian, dan perasaan berdosa di atas segala apa yang telah dilakukan
sehingga menyebabkan penderita kurang menitikberatkan langkah-langkah penjagaan
kesehatan dan kerohanian. Seorang pasien yang telah didiagnosis HIV positif dan
mengetahuinya, menyebabkan kondisi mental penderita akan mengalami fase yang
sering disingkat SABDA (Shock, Anger, Bargain, Depressed, Acceptance).
c. Semakin tinggi tingkat kecemasan pada penderita HIV/AIDS, maka kesejahteraan
psikologis pada penderita HIV/AIDS akan semakin rendah
Motivasi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan penderita HIV/AIDS baik berupa
motivasi ekstrinsik (dukungan orang tua, teman dan sebagainya) maupun motivasi intrinsik
(dari individu sendiri). Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dan melindungi seseorang
terhadap efek negatif stres berat. Motivasi terhadap penderita HIV/AIDS dapat juga berupa
terapi yang mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Membantu penderita mempertahankan kontrol akan hidupnya dan membantu
menemukan mekanisme pertahanan yang sehat, termasuk sikap yang selalu positif
dalam menghadapi begitu banyak tantangan dan stres dalam perjalanan penyakitnya.
2. Membantu penderita menghadapi perasaan bersalah, penyangkalan, panik dan putus
asa.
3. Bekerja bersama penderita menciptakan perasaan menghormati diri sendiri dan
menyelesaikan konflik penderita jika ada.
4. Membantu penderita berkomunikasi dengan keluarga, pasangan hidup dan teman-teman
mengenai penyakitnya dan rasa takut akan penolakan serta ditinggalkan, juga
membantu membina hubungan interpersonal yang memuaskan.
5. Membantu penderita membangun strategi untuk berhadapan dengan krisis nyata yang
mungkin terjadi, baik dalam kesehatan maupun sosioekonomi, dan hal-hal dalam
kehidupan lainnya.
Daftar Pustaka:
1. Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
KementerianKesehatanRepublik Indonesia. 30 Mei 2013. Available from: http://
www. depkes.com. Accessed 28thMarch 2014
2. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
Indonesia 2013-2017.KesehatanRepublik Indonesia. 30 Mei 2013. Available from:
http:// www.depkes.com. Accessed 23thMarch 2014
3. Guidelines for second generation HIV surveillance: an update: Know your epidemic.
Joint United Nations Programme on HIV/ AIDS. June 2013. World Health
Organization. Available from http:// www.who.int. Accessed 21stMarch 2014
4. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987-2006. Pusat Data dan Informasi,
Departemen Kesehatan R.I. Jakarta, 2006. Available from: http:// www.depkes.com.
Accessed 27thMarch 2014
5. Fauci A, Braunwald E, et.al. Human Immunodeficiency Virus Disease. In: Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th Edition. United States of America. McGraw-Hill
Companies 2008.p.1-10
6. Cunningham FG, Gant NF, Lereno KJ, Gilstrap III LC, Hanth JC, Wenstrom KD.
Human Immunodeficiency Virus Infection. In : William’sObstetric. 22nd Edition. New
York: Mc Graw-Hill; 2001.p.1-8
7. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam :Buku Ajar
IlmuPenyakitDalam. Jilid 3. Edisi 4. Jakarta :Interna Publishing. 2006. Hal.1803-7
8. Decherney A, Goodwin M. et.al. Human Immunodeficiency Virus Infection. In :
Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology. 10 th Edition. United
States of America. McGraw-Hill Companies 2007.p.1-6
9. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada Orang Dewasa dan Remaja, Edisi
Kedua. Departemen Kesehatan R.I.2007. Available from: http:// www.depkes.com.
Accessed 15thMarch 2014
10. HIV classification:CDC and WHO Staging System. HRSA HIV/AIDS Bureau.. June
2012. World Health Organization. Available from http:// www. who.int. Accessed 28 th
March 2014
11. Marino T. HIV in Pregnancy. 28 November 2012. Available from:
http://www.emedicine.com . Accessed 24th March 2014
12. PMTCT Guidelines. The South African Antiretroviral Treatment Guidelines. 13
March 2013. Department of Health South Africa. Available from
http://web.up.ac.za/PMTCT%20guidelines_March%202013_DoH.pdf. Accessed 22nd
March 2014
13. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for treating and preventing
HIV infection. Joint United Nations Programme on HIV/ AIDS. June 2013. World
Health Organization. Available from http:// www.who.int. Accessed 22nd March 2014
14. Programatic Update on use of antiretroviral drugs for treating pregnant woman and
preventing HIV infections in infants. Joint United Nations Programme on HIV/ AIDS.
April 2012. World Health Organization. Available from http:// www.who.int.
Accessed 22ndMarch 2014
Peserta Pendamping