Anda di halaman 1dari 42

RENCANA PENELITIAN

JUDUL PENELITIAN : ISOLASI SENYAWA AKTIF FRAKSI


KULIT BATANG KAYU JAWA (Lannea
coromandelica (Houtt.) Merr.) SEBAGAI
ANTIMALARIA TERHADAP
PLASMODIUM FALCIPARUM 3D7
SECARA IN-VITRO
NAMA MAHASISWA : NURUL IZZYA
NIM : 70100114003
PEMBIMBING I : HAERIA, S.Si.,M.Si
PEMBIMBING II : KARLINA AMIR TAHIR, S.Si.,M.Si.,Apt
PENGUJI KOMPETENSI :
PENGUJI AGAMA :

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi tinggi di dunia.

Malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di

negara tropik sekaligus menjadi ancaman global bagi penduduk bumi (Pertama,

2015). Penyebaran malaria di dunia sangat luas yakni antara garis bujur 60° di utara

dan 40° di selatan yang meliputi lebih dari 107 negara yang beriklim tropis dan sub

tropis. Penduduk yang berisiko terkena malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau

41% dari penduduk dunia (Amir, 2016).


Menurut World Health Statistics, hampir 100 negara dan wilayah di dunia

beresiko terkena malaria. Pada tahun 2015, tingkat kejadian malaria adalah 91 per

1000 orang yang beresiko, dengan perkiraan 214 juta kasus dan 438 kematian, lebih

dari dua per tiga dari kematian ini terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun (World

Health Statistics 2016).

Menurut laporan World Health Organization (WHO) 2016 bahwa sebagian

besar kasus malaria pada tahun 2015 berada di Wilayah Afrika sebesar 90%, diikuti

oleh Wilayah Asia Tenggara sebesar 7% dan Wilayah Mediterania Timur sebesar

2%. (WHO, 2016).

Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria ini terjadi diberbagai tempat di

Indonesia, selain itu indonesia tercatat daerah endemis yang tinggi. Daerah endemis

tinggi dari 17,4% pada tahun 2011 menjadi 8,8% pada tahun 2015. Daerah endemis

sedang juga menurun dari 18,6% tahun 2011 menjadi 17% pada tahun 2015, serta

daerah endemis rendah menurun tajam dari 42,8% pada tahun 2011 menjadi 28,8%

pada tahun 2015. Sebaliknya daerah bebas malaria mengalami peningkatan dari

21,5% pada tahun 2011 menjadi 45,4% pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2016)

Di Indonesia, penyakit malaria juga menjadi salah satu masalah penting

dalam kesehatan, dimana menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian

Kesehatan RI 2016 menyatakan bahwa pada tahun 2015 jumlah kasus positif

malaria sebanyak 0,85. Jika dilihat berdasarkan Provinsi, pada tahun 2015 tampak

bahwa wilayah timur Indonesia memiliki angka API tertinggi yaitu Papua (31,93),

Papua Barat (31,29), Nusa Tenggara Timur (7,04), Maluku (5,81), dan Maluku

Utara (2,77). Sedangkan provinsi dengan API terendah yaitu Jawa Barat, Banten,
DKI Jakarta, Bali, dan Jawa Timur masing-masing sebesar 0,00. Dan di Sulawesi

Selatan sendiri berada dalam peringkat 25 dalam kasus malaria. API merupakan

jumlah kasus positif malaria per 1.000 penduduk dalam satu tahun (Kemenkes RI

2016)

Hasil Riskesdas tahun 2013 Insiden Malaria pada penduduk Sulawesi

Selatan tahun 2013 adalah 3,1 persen meningkat dibanding tahun 2007 (1,4%),

kecuali di Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Selayar mengalami sedikit

penurunan jumlah penderita malaria (gambar 6.7). Prevalensi malaria tahun

2013 adalah 8,1 persen. Lima Kabupaten/Kota dengan insiden dan prevalensi

tertinggi adalah Kabupaten Bantaeng (6,8% dan 15,0%), Kabupaten Sinjai

(6,7% dan 15,3%), Kabupaten Tana Toraja (5,5% dan 20,3%), Kabupaten

Bulukumba (5,2% dan 12,1%), dan Kabupaten Luwu (5,2% dan 13,2%). Dari

24 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 15 Kabupaten/Kota mempunyai

prevalensi malaria di atas angka nasional (Riskesdas, 2013).

Faktor penyebab besarnya angka kematian malaria salah satunya adalah

meningkatnya kasus resistensi parasit malaria terhadap obat-obat yang diandalkan

pemerintah saat ini. Kegagalan pengobatan bahkan kematian dapat terjadi oleh

resistensi plasmodium (WHO, 2016). Salah satu upaya pencegahan yang bisa

dilakukan pada penyakit infeksi yang mematikan adalah pemberian vaksin, namun

hingga kini belum ditemukan vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi malaria,

sehingga vaksinasi bukanlah sarana pencegahan terbaik untuk saat ini, untuk

membuat vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya malaria


diperlukan pengetahuan serta penelitian-penelitian mengenai mekanisme 4

imunitas terhadap malaria (Yunarko, 2014).

Kasus resistensi Plasmodium terhadap obat-obat sintetik dan belum adanya

vaksin ditemukan mendorong peneliti untuk berupaya menemukan antimalaria

baru, salah satunya melalui eksplorasi senyawa aktif dari bahan alam berupa

tanaman obat yang secara tradisional digunakan masyarakat untuk mengobati

malaria diberbagai daerah endemik di dunia. Di dalam sejumlah ayat Al-Qur’an,

Allah menegaskan bahwa tumbuh-tumbuhan merupakan salah satu karunia besar

dan menganjurkan orang-orang beriman agar mengambil manfaat dari mereka dan

mempergunakan dengan sebaik-baiknya seperti yang di tegaskan dalam ayat

berikut Surah Luqman ayat 10, tentang ciptaan Allah swt berupa tumbuhan-

tumbuhan yang baik dan bermanfaat sebagai berikut:

‫س َي أَ ْن‬ ِ ‫ض َر َوا‬ ْ ‫ع َم ٍد تَ َر ْونَ َها َوأَ ْل َقى ِفي‬


ِ ‫األر‬ َ ‫ت ِبغَ ْي ِر‬
ِ ‫اوا‬َ ‫س َم‬
َّ ‫ق ال‬ َ َ‫َخل‬
‫اء َما ًء فَأ َ ْنبَتْنَا‬ َّ ‫ث فِي َها ِم ْن ُك ِ ِّل دَابَّ ٍة َوأَ ْن َز ْلنَا ِم َن ال‬
ِ ‫س َم‬ َّ َ‫تَ ِمي َد ِب ُك ْم َوب‬
)١٠( ‫فِي َها ِم ْن ُك ِ ِّل َز ْوجٍ ك َِر ٍيم‬
Terjemahan:
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia
meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak
menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala
macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami
tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”
(Kementrian Agama RI, 2013).

Tumbuhan dapat digunakan sebagai terapi alternatif malaria karena

mengandung senyawa metabolit sekunder yang beragam (Pohlit, et al., 2013). Salah

satunya adalah Kayu jawa (Lannea coromandelica Houtt.). Kayu jawa dalam

masyarakat Sulawesi Selatan dikenal dengan sebutan “tammate atau aju jawa”
merupakan tanaman yang biasanya dijadikan tanaman pagar, tanaman ini seringkali

ditemukan dipinggir jalan, selain itu kayu jawa juga merupakan salah satu tanaman

tradisional yang digunakan masyarakat sebagai obat (Rahmadani, 2015). Bagian

yang sering digunakan masyarakat dalam pengobatan adalah kulit batang. Kulit

batang tanaman kayu jawa (Lannea coromandelica Houtt.) telah dilaporkan

mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu golongan karbohidrat, alkaloid,

glikosida jantung, terpenoid, tanin, dan flavanoid (Manik, et al., 2013).

Berdasarkan penelitian sebelumnya senyawa metabolit sekunder yang

diduga memiliki efek antiplasmodium adalah alkaloid (Lusiana, 2009) serta telah

terbukti bahwa fraksi dari esktrak kulit Kayu Jawa (Lannea coromandelica) larut

heksan memiliki aktivitas sebagai antiplasmodium, dilihat dari aktivitas persen

penghambatan diatas 30% yang mengandung Alkaloid, Flavonoid, dan Terpenoid

(Ihsan, 2017). Selain ekstrak juga telah ditemukan bahwa yang memiliki aktivitas

antimalaria yang baik adalah flavon 3-metoksikarpakromen dari family

(Anacardiaceae) dengan IC50 3,4 µg/ml (Adams, et al., 2009). Hal inilah yang

kemudian melatarbelakangi dilakukan penelitian isolasi senyawa aktif fraksi kulit

batang kayu jawa (lannea coromandelica (Houtt.) Merr.) sebagai antimalaria

falciparum 3D7 secara in vitro.

B. Rumusan Masalah

1. Apa senyawa isolat yang dihasilkan dari isolasi frakasi kulit batang Kayu

Jawa (Lannea coromandelica)?

2. Apakah isolat fraksi kulit batang Kayu Jawa dapat menghambat

perkembangan Plasmodium falciparum 3D7?


3. Manakah isolat yang paling aktif menghambat perkembangan Plasmodium

falciparum 3D7 secara in vitro?

4. Defenisi Operasional dan Ruang Lingkup

1. Defenisi Operasional

a. Isolasi adalah proses pemisahan senyawa yang bercampur sehingga

dapat menghasilkan senyawa tunggal yang murni

b. Ekstrak adalah hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol

pada kulit batang kayu jawa.

c. Kayu jawa adalah tumbuhan famili anacardiaceae dengan spesies

Lannea coromandelica Houtt yang berfungsi untuk antimalaria

d. Kultur Plasmodium falciparum adalah biakan parasit uji yang diperoleh

dari Lembaga Penyakit Tropis Universtas Airlangga Surabaya

e. Antimalaria merupakan kemampuan isolasi esktrak kulit batang kayu

jawa dalam menghambat perkembangan Plasmodium falciparum 3D7

secara in-vitro

2. Ruang lingkup penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi isolasi fraksi kulit batang kayu jawa

(Lannea coromandelica Houtt.) kemudian dilakukan uji antimalaria terhadap

Plasmodium falciparum 3D7 secara in-vitro yang telah dikembangbiakkan

sebelumnya dalam medium.

5. Kajian Pustaka

1. Rahmadani, fitri. Uji Aktivitas Antibakteri dari Ekstrak Etanol 96% Kulit

Batang Kayu Jawa (Lannea coromandelica) terhadap Bakteri


Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Helicobacter pylori, Pseudomonas

aeruginosa. Uin Syarif Hidayatullah. Jakarta: 2015. Dalam penelitiannya

mengemukakan bahwa ekstrak etanol 96% kulit batang Kayu Jawa (Lannea

coromandelica) memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap bakteri

Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Helicobacter pylori, Pseudomonas

aeruginosa. Di mana pada bakteri Staphylococcus aureus menunjukkan

aktivitas pada konsentrasi 500 μg/ml dengan diameter zona hambat 7.1 mm.

Bakteri Escherichia coli menunjukkan aktivitas pada konsentrasi 500 μg/ml,

250 μg/ml, 125 μg/ml dengan diameter zona hambat berturut-turut adalah 8.5

mm, 7.8 mm dan7.0 mm. Bakteri Helicobacter pylori menunjukkan aktivitas

pada konsentrasi 500 μg/ml dan 250 μg/ml, dengan diameter zona hambat

adalah 8.2 mm dan 7.3 mm. Dan untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa

menunjukkan aktivitas pada konsentrasi 500 μg/ml dan 250 μg/ml, dengan

diameter zona hambat adalah 8.5 mm dan 6.8 mm. Selain itu, dijelaskan juga

bahwa konsentrasi Hambat Minimum Ekstrak etanol 96% kulit batang Kayu

Jawa (Lannea coromandelica terhadap bakteri Staphylococcus aureus adalah

500 μg/ml, terhadap bakteri Escherichia coli adalah 125 μg/ml, terhadap

bakteri adalah Helicobacter pylori 250 μg/ml, dan terhadap bakteri

Pseudomonas aeruginosa adalah 250 μg/ml. Hal ini menjadi kajian pustaka

karena L. coromandelica efektif sebagai antibakteri dalam menghambat

perkembangan bakteri.

Dalam penelitian saya, kayu jawa yang sering digunakan masyarakat dalam

pengobatan tradisional diduga senyawa-senyawa yang terkandung dalam


kulit batang kayu jawa selain berkhasiat sebagai antibakteri, juga mampu

berkhasiat sebagai antimalaria. Untuk itu dilakukan pengujian antimalaria

terhadap plasmodium falciparum 3D7 dan menemukan isolat dari fraksi kulit

batang Kayu Jawa.

2. Wahid, Arif, et al. In-vitro Phytochemical and biological Investigation of

plant Lannea coromandelica (Family: Anacardiaceae). Thesis to Department

of Pharmacy, East West University. Bangladesh. 2012. Dalam penelitiannya

mengemukakan kulit batang tanaman kayu jawa (Lannea coromandelica)

dilaporkan mengandung metabolit sekunder: Alkaloid, terpenoid, steroid,

saponin, flavonoid, dan glikosida jantung. Kemudian menuliskan Dari kulit

batang dapat ditemukan β-sitosterol, physcion, dan physcion anthranol B.

Dikemukakan ekstrak kulit batang kayu jawa memiliki potensi sebagai

antioksidan, antimikroba pada berbagai jenis mikroba berupa bakteri maupun

golongan fungi, serta memperlihatkan aktifitas trombolitik.

Dalam penelitian saya, dilakukan isolasi terhadap kulit batang kayu jawa,

karena diduga senyawa-senyawa dalam kulit batang kayu jawa selain

berkhasiat sebagai antibakteri dan antimikroba, juga berkhasiat sebagai

antimalaria. Untuk itu dilakukan pengujian antimalaria terhadap plasmodium

falciparum 3D7 secara in vitro.

3. Ihsan, H. Skrining Partisi-Partisi Dan Fraksi-Fraksi Tidak Larut Heksan

Dari Ekstrak Metanol Kulit Batang Kayu Jawa (Lannea Coromandelica

(Houtt.) Merr.) Sebagai Antiplasmodium Secara In Vitro. Universitas Islam

Negeri Alauddin Makassar. 2017. Partisi-partis dan Fraksi-fraksi tidak larut


heksan dari ekstrak kulit batang Kayu Jawa (Lannea coromandelica)

memiliki aktivitas sebagai antiplasmodium, dilihat dari aktivitas persen

penghambatan diatas 30%. Partisi dan Fraksi yang paling aktif sebagai

antiplasmodium adalah partisi larut heksan dan Fraksi F2 (dari 7 fraksi). Pada

Partisi larut heksan menunjukkan nilai persen penghambatan 89,50 ± 0,77%

dan mengandung golongan senyawa Alkaloid, Flavonoid, dan Terpenoid.

Pada Frasi F2, nilai persen penghambatan 96,80 ± 0,16%, mengandung

senyawa Alkaloid, Flavonoid, Fenolik, dan Terpenoid.

Dengan diketahuinya Partisi larut heksan dari ekstrak kulit batang Kayu Jawa

mengadung golongan senyawa Alkaloid, Flavonoid, dan Terpenoid.

Sedangkan fraksinya mengandung senyawa Alkaloid, Flavonoid, Fenolik,

dan Terpenoid mendorong peneliti untuk melanjutkan penelitian ini dengan

menemukan isolat dari fraksi kulit batang Kayu Jawa (Lannea coromandelica

Houtt.) sebagai antimalaria terhadap plasmodium falciparum 3D7 secara in-

vitro.

4. Widyawaruyanti, Aty, et al. Antimalarial Activity and Mechanism of Action

of Flavonoid Compounds Isolated from Artocarpus Champeden Spreng

Stembark. BP Vol. 13, No. 2. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

dan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2011. Mengemukakan

bahwa Kulit batang cempedak (Artocarpus champeden Spreng) sangat

potensial dikembangkan sebagai obat malaria. Isolasi terhadap tanaman ini

menghasilkan senyawa flavanoid artoindonesianin E (1), heteroflavanon C

(2), artoindonesianin R (3), heterofilin (4), artoindonesianin A-2 (6), dan


sikloheterofilin (7) artonin A (9), dua senyawa baru (5) artokarpon A dan

artokarpon B (8). Kesembilan senyawa tersebut memiliki aktivitas

antimalaria, kecuali senyawa artoindonesianin E. Senyawa heteroflavanon C

mempunyai potensi yang paling kuat dibanding senyawa lainnya dan baru

pertamakali dilaporkan pada Artocarpus champeden Spreng. Aktivitas

antimalaria dari senyawa tersebut diduga karena adanya substitusi rantai

isoprenil pada kerangka dasar senyawa flavanoid dapat meningkatkan

aktivitas antimalarianya. Substitusi isoprenil pada posisi karbon C-8

memberikan aktivitas antimalaria yang lebih kuat. Senyawa flavonoid pada

kulit batang cempedak (A. Champeden) memiliki aktivitas antimalaria poten

dengan mekanisme melalui hambatan jalur permeasi baru serta mekanisme

lain yang belum diketahui. Oleh karena itu, senyawa tersebut sangat potensial

untuk dikembangkan sebagai obat antimalaria baru baik dalam bentuk

sediaan fitofarmaka maupun sediaan sintetisnya.

Karena adanya hasil isolat flavanoid yang berfungsi untuk antimalaria,

sehingga mendorong peneliti untuk menemukan isolat dari fraksi kulit batang

Kayu Jawa (Lannea coromandelica Houtt.) sebagai antimalaria terhadap

falciparum 3D7 secara in-vitro.

5. Syamsudin. Penapisan Senyawa Antimalaria yang Berasal dari Tumbuhan.

Vol. 6, No.2. ISSN 1693-1831. Fakultas Farmasi Universitas Pancasila

Jakarta Selatan. 2008. Ada beberapa metode yang digunakan dalam pengujian

antimalaria secara in vivo dan in vitro, salah satu metode secara in vitro adalah

metode up take 3H-hipoksantin. Metoda yang dikembangkan oleh Desjardins


et al., 1979 dengan mengukur inkorporasi dari hipoksantin oleh parasit.

Dijelaskan bahwa semua senyawa dinilai pada awalnya dalam satu atau lebih

model utama. Senyawa yang dianggap aktif oleh kriteria mapan dalam tes

skrining primer dipertimbangkan untuk evaluasi lebih lanjut dalam uji klinis

yang lebih ketat secara berturut-turut. Pada akhir setiap tahap pengujian,

sebuah keputusan diambil untuk memajukan senyawa ke tahap berikutnya

atau untuk menghentikannya. Tes skrining primer harus memiliki sensitivitas

optimal, tingkat reproduktifitas tinggi, throughput yang tinggi, harus

memerlukan jumlah senyawa uji minimum dan menanggung biaya rendah.

Karena ada kebutuhan yang meningkat untuk obat antimalaria yang lebih baru

dan lebih manjur terutama di negara-negara tropis, dibutuhkan model skrining

yang lebih sensitif dan ekonomis. Kajian ini merupakan update dari berbagai

metode skrining in vitro dan in vivo konvensional dan terbaru yang digunakan

untuk evaluasi senyawa antimalaria.

Dalam penelitian saya, menggunakan salah satu metode secara in vitro yang

ada dalam kajian pustaka ini. Upaya Penelusuran untuk menemukan

antimalaria baru melalui eksplorasi senyawa aktif dari bahan alam berupa

tanaman obat dalam hal ini kayu jawa (Lannea coromandelica Houtt.) yang

secara tradisional digunakan masyarakat diduga berkhasiat sebagai

antimalaria terhadap plasmodium falciparum 3D7.

E. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui senyawa isolat yang dihasilkan dari isolasi fraksi kulit batang

Kayu Jawa (Lannea coromandelica).


2. Mengetahui isolat fraksi kulit batang Kayu Jawa dapat menghambat

perkembangan Plasmodium falciparum

3. Mengetahui isolat yang paling aktif menghambat perkembangan

Plasmodium falciparum 3D7 secara in-vitro

F. Manfaat Penelitian

Menambah khazanah ilmu pengetahuan sekaligus memberikan informasi

kepada masyarakat daerah sulawesi selatan terkait potensi kearifan lokal tanaman

obat yang tersebar di Indonesia yaitu pemanfaatan batang kayu jawa sebagai

antimalaria dan dapat memberikan informasi secara ilmiah kepada para bidang

kesehatan maupun para peneliti untuk dapat melakukan penemuan senyawa obat

baru dari kulit batang Kayu Jawa (Lannea coromandelica) sebagai antimalaria.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Uraian Tanaman Kayu Jawa

1. Klasifikasi Tumbuhan

Secara taksonomi, klasifikasi tanaman Kayu Jawa (Lannae coromandelica)

adalah sebagai berikut (Tjitrosoepomo, 2010)

Gambar.1. Lannea coromandelica

Regnum : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Subkelas : Diallypetalae

Ordo : Sapindales

Family : Anacardiaceae
Genus : Lannea

Spesies : Lannea coromandelica (Houtt.) Merr

2. Nama Lokal

Tammate (Sulawesi), aju jawa (Bugis), kayu Cina, kayu Jawa, kedongdong

laki (tangerang), Pohon Reo (flores).

4. Nama Luar

(Myanmar): Baing; Pakistan: Jailbhadi, jhingan, wodier; (Bangladesh): Jiga,

jigar, kasmala, ghadi, kocha; (India): Mohin, Kiamil, jhingan; Nepal: Halonre, thulo

dabdabe; (Indonesia): kayu Jawa, kayu cina (Wahid, 2012).

5. Uraian Tanaman

Kayu Jawa merupakan deciduous tree atau pohon gugur yang dapat tumbuh

hingga mencapai 25 m (umumnya 10-15 m). Permukaan batang berwarna abu-abu

sampai coklat tua, kasar, ada pengelupasan serpihan kecil yang tidak teratur, batang

dalam berserat berwarna merah atau merah muda gelap, dan memiliki eksudat yang

bergetah. Daun imparipinnate, meruncing, dan berjumlah 7-11. Bunga berkelamin

tunggal berwarna hijau kekuningan. Buah berbiji, panjang 12 mm, bulat telur,

kemerahan, dan agak keras. Tanaman ini berbunga dan berbuah dari bulan Januari

hingga Mei (Sasidharan, 2004).

Lannea coromandelica memiliki sinonim Odina wodier yang tersebar di

Himalaya (Swat-Bhutan), Assam, Burma, Indo-China, Ceylon, Pulau Andaman,

China, dan Malaysia (Sasidharan, 2004).

Tanaman Kayu Jawa (Lannea coromandelica) merupakan tanaman

pekarangan yang dapat dimanfaatkan daun dan kulit batangnya dengan cara
ditumbuk ataupun direbus untuk mengobati luka luar, luka dalam, dan perawatan

paska persalinan (Rahayu, et al., 2006). Kulit batang dapat digunakan sebagai

astringen, mengobati sakit perut, lepra, ulcer, penyakit jantung, disentri, dan

sariawan. Kulit batang digunakan bersama dengan kulit batang Aegle mermelos,

Artocarpus heterophyllus dan Sygygium cumini berguna dalam penyembuhan

impotensi. Kulit batang dapat dikunyah selama 2-3 hari untuk menyembuhkan

glossitis. Perebusan daun juga dianjurkan untuk pembengkakan dan nyeri lokal

(Wahid, 2009).

6. Kandungan Kimia

Tabel.1. Kandungan Kimia dan Aktivitas farmakologi


Aktivitas
No Senyawa Kimia Farmakologi Referensi
1. Quercetin Antiinflamasi Reddy, et al.,
2011

2. β-sitosterol Antioksidan Reddy, et al.,


2011

3. Asam galat Antioksidan Alam, et al, 2017


4. Asam ellagic Kanker Reddy, et al.,
2011

5. Flavanoid Antiseptik Wirastuty, 2016

6. Polifenol Antimikroba Wirastuty, 2016

Tabel.2. Aktivitas Farmakologi dan Ekstrak


No Aktivitas Ekstrak Referensi
1. Antioksidan Ekstrak etanol 70% dan Prawirodiharjo, 2014
ekstrak air
2. Antiinflamasi Ekstrak etanol 96% Saputra, 2015

3. Antibakteri Ekstrak etanol 96% Rahmadani, 2015

4. Antiplasmodium Ekstrak larut n-heksan Ihsan, 2017


B. Malaria

Malaria berasal dari kata Italia yaitu mal artinya buruk dan area artinya

udara. Jadi secara harfiah malaria berarti penyakit yang sering terjadi pada daerah

dengan udara buruk akibat lingkungan yang buruk (Zulkoni, 2010).

Penyakit malaria adalah salah satu penyakit yang penularannya melalui

gigitan nyamuk anopheles betina dari genus plasmodia family plasmodiidae.

Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama penduduk yang tinggal

di daerah dimana tempat tersebut merupakan tempat yang sesuai dengan kebutuhan

nyamuk untuk berkembang (Dirjen P2Pl, 2011).

Gambar.2. Nyamuk Anopheles


Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus

Plasmodium yang dapat dengan mudah dikenali dari gejala meriang (panas, dingin

dan menggigil) serta demam berkepanjangan. Penyakit ini menyerang manusia dan

juga sering ditemukan pada hewan berupa burung, kera, dan primata lainnya

(Achmadi, 2008).

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit (Plasmodium)

yang ditularkan oleh gigitan nyamuk yang terinfeksi (vector borne desease).

Malaria pada manusia dapat disebabkan oleh P. malariae, P. vivax, P. Ovale, dan
P. Falciparum. Pada tubuh manusia, parasit membelah diri dan bertambah banyak

di dalam hati dan kemudian menginfeksi sel darah merah (Depkes RI, 2008).

Penyakit malaria juga dapat dikatakan sebagai penyakit yang muncul

kembali (reemerging disease). Hal ini disebabkan oleh pemanasan global yang

terjadi karena polusi akibat ulah manusia yang menghasilkan emisi dan gas rumah

kaca, seperti CO2, CFC, CH3, NO, Perfluoro Carbon dan Carbon Tetra Fluoride

yang menyebabkan atmosfer bumi memanas dan merusak lapisan ozon, sehingga

radiasi matahari yang masuk ke bumi semakin banyak dan terjebak di lapisan bumi

karena terhalang oleh rumah kaca, sehingga temperatur bumi kian memanas dan

terjadilah pemanasan global (Soemirat, 2004).

C. Uraian Plasmodium

1. Siklus Hidup Plasmodium

Plasmodium merupakan jenis genus protozoa parasit. Penyakit yang

disebabkan oleh genus ini dikenal sebagai malaria. Parasit ini senantiasa

mempunyai dua inang dalam siklus hidupnya, yaitu vektor nyamuk dan inang

vertebrata. Sekurang-kurangnya 10 spesies menjangkiti manusia.Spesies lainnya

menjangkiti hewan lain, termasuk burung, reptilia, dan hewan pengerat (Achmadi,

2014).

Gambar.3. Plasmodium
Semua jenis plasmodium memiliki siklus hidup yang sama yaitu sebagian

di dalam tubuh manusia atau human (siklus aseksual) dan sebagian di tubuh

anopheles (siklus seksual) (Campbell et al. 1997, Arlan 2006, Tjay & Raharja 2007,

Sutamihardja et al. 2009).

Gambar.4. Siklus hidup plasmodium di tubuh manusia

a. Siklus Seksual (Sporogoni)

Siklus sporogoni disebut siklus seksual karena menghasilkan bentuk

sporozoit yang siap ditulartkan ke manusia, terjadi di dalam tubuh nyamuk. Adapun

siklus seksual (sporogoni) dalam tubuh nyamuk sebagai berikut: (1) Siklus ini

dimulai dengan nyamuk Anopheles betina menggigit orang yang

terinfeksi malaria dan mengambil gametosit plasmodium bersama dengan darah.

(2) Gamet akan terbentuk dari gametosit jantan dan betina, sehingga fertilisasi

terjadi dalam saluran pencernaan nyamuk tersebut, kemudian terbentuk zigot. Zigot

adalah satusatunya tahapan diploid dalam siklus hidupnya. (3) Oocyts yang berasal

dari zigot berkembang dalam dinding perut nyamuk. Ribuan sporozoit berkembang

dalam oosista dan kemudian bermigrasi ke kelenjar lidah nyamuk tersebut. (4)
Nyamuk yang terinfeksi menyengat orang lain, menginfeksi korban dengan

sprotozoit Plasmodium (Lusiana, 2009).

b. Siklus Aseksual (Skizoni)

pada tubuh manusia ada dua tahap, yaitu siklus hati (fase eritrosit) (5) Pada

siklus ini nyamuk betina yang terinfeksi parasit, menggigit manusia dan dengan

ludahnya “menyuntik “ sprotozoit ke dalam darah. Protozoit masuk ke dalam sel

hati korban mengikuti peredaran darah. Merozoit akan berinteraksi dengan eritrosit

yang tidak terinfeksi. Invasi eritrosit oleh parasit malaria merupakan proses yang

terdiri tiga tahap yaitu, recognition/pengenalan, attachment/perlekatan, dan proses

endositosis. Setelah beberapa hari, sporotozit mengalami pembelahan berkali-kali

untuk menjadi merozoit, yang kemudian menggunakan kompleks apikalnya itu

untuk menembus sel darah merah korban. (6) Merozoit tumbuh dan membelah

secara aseksual sehingga menghasilkan banyak sekali merozoit baru, yang secara

berulang-ulang memecahkan sel darah dengan interval 48 atau 72 jam (tergantung

pada spesiesnya). Interval demam ini menyebabkan penderita mengalami demam

dan menggigil secara periodik. Beberapa merozoit menginfeksi sel darah merah

baru. (7) Beberapa merozoit membelah membentuk gametosit, yang menyelesaikan

siklus kehidupannya dalam seekor nyamuk betina (Lusiana, 2009).

b. Masa Inkubasi Plasmodium

Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai

timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi

tergantung spesies plasmodium. Masa prapaten adalah rentang waktu sejak


sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai parasit dapat dideteksi dalam sel darah

merah dengan pemeriksaan mikroskopik (Dirjen PP&PL, 2008).

Tabel.3. Masa Inkubasi dan prapaten Malaria (Dirjen BFKK, 2008).

Jenis Pasmodium Masa inkubasi (rata-rata) Periode Prapaten


Plasmodium falciparum 9-14 hari (12) 11 hari
Plasmodium vivax 12-17 hari (15) 12.2 hari
Plasmodium ovale 16-18 hari (17) 12 hari
Plasmodium malariae 18-40 hari (28) 32.7hari

c. Uraian Plasmodium Falciparum

Terdapat beberapa spesies Plasmodium yang lazim menyebabkan penyakit

pada manusia yaitu Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale.

Keempat spesies ini ditemukan di Indonesia. Di antara keempat spesies tersebut, P.

falciparum merupakan spesies yang paling mematikan karena potensinya yang

dapat menyebabkan komplikasi serebral (Permata, 2015).

Parasit malaria merupakan suatu protozoa darah yang termasuk dalam

Phylum Apicomplexa, kelas Protozoa, subkelas Coccidiida, ordo Eucudides, sub

ordo haemosporidiidae, famili plasmodiidae, genus plasmodium dengan spesies

yang menginfeksi manusia adalah P.vivax, P. malariae, P. ovale. subgenus

Lavarania dengan spesies yang menginfeksi malaria adalah P. Falcifarum, serta

subgenus Vinkeia yang tidak menginfeksi manusia (menginfeksi kelelawar,

binatang pengerat dan lain-lain) (Yawan, 2006).

Sampai saat ini di Indonesia terdapat 4 macam (spesies) parasit malaria,

yaitu : (Achmadi 2010)

a. Plasmodium vivax, memiliki distribusi geografis terluas, termasuk wilayah

beriklim dingin, subtropik. Demam terjadi setiap 48 jam atau setiap hari ketiga,
pada waktu siang atau sore. Masa inkubasinya antara 12-17 hari dan salah satu

gejala adalah pembengkakan limpa atau splenomegali.

b. Plasmodium falciparum, merupakan penyebab malaria tropika, secara klinik

berat dan dapat menimbulkan komplikasi berupa malaria cerebral dan fatal.

Masa inkubasi malaria tropika ini sekitar 12 hari, dengan gejala nyeri kepala,

pegal linu, demam tidak begitu nyata, serta kadang dapat menimbulkan gagal

ginjal.

c. Plasmodium ovale, masa inkubasi 12-17 hari, dengan gejala demam setiap 48

jam, relatif ringan dan sembuh sendiri.

d. Plasmodium malariae, merupakan penyebab malaria quartana yang

memberikan gejala demam setiap 72 jam. Malaria jenis ini umumnya terdapat

pada daerah gunung, dataran rendah pada daerah tropik. Biasanya berlangsung

tanpa gejala, dan ditemukan secara tidak sengaja. Namun malaria jenis ini

sering kambuh.

P. falciparum adalah protozoa parasit, salah satu spesies Plasmodium yang

menyebabkan penyakit malaria pada manusia. Protozoa ini masuk tubuh manusia

melalui gigitan nyamuk anopheles betina. P. falciparum menyebabkan infeksi

paling berbahaya dan memiliki tingkat komplikasi dan mortalitas malaria tertinggi

(Lusiana, 2009).

Gametosit Plasmodium falciparum baru berkembang setelah 8-15 hari

sesudah parasit masuk ke dalam darah. Gametosit Plasmodium falciparum

menunjukkan periodisitas dan efektivitas yang berkaitan dengan kegiatan

menggigit vektor Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale. Umumnya, jumlah


parasitemia yang diakibatkannya rendah. Saat ini, telah banyak ditemukan

Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Di Indonesia, resistensi

tersebut semakin lama tersebar di banyak daerah (Sorontou, 2013).

Tabel 4. Karakteristik morfologi Plasmodium falciparum (Prasetyanto 2016)

Bentuk stadium Keadaan eritrosit Keadaan parasit


Ring Normal, sering dijumpai Sitolasma halus, 1-2 titik
lebih dari satu parasit dalamkromatin kecil, bentuk bulat
eritrosit. seperti cincin.
Trofozoit Normal, jarang, tampak Jarang terlihat dalam darah
bercak Maurer (di bawah perifer, itoplasma rapi,
kondisi pewarnaan tertentu). pigmen berwarna gelap.
Normal, jarang, tampak Jarang terlihat dalam darah
Skizon bercak Maurer (di bawah prifer, matang dengan 8-24
kondisi pewarnaan tertentu). merozit kecil, pigmen
berwarna gelap, menumpuk
pada suatu bagian.
Gametosit Berubah menyesuaikan Seperti sosois atau bulan
bentuk parasit. sabit, kromatin dalam bagian
tunggal (makrogametosit)
atau menyebar
(mikrogametosit), bagian
pigmen gelap.

P. falciparum dapat resisten terhadap obat malaria karena mempunyai

parasit ada gen yang resisten dan sensitif terhadap obat tertentu, sehingga gen yang

satu lebih dominan dari pada gen yang lain. Berdampak menimbulkan adanya galur

yang resisten dan sensitif. Teori kedua, gen mengalami mutasi dalam tubuh parasit

yang memungkinkan parasit tersebut menjadi resisten terhadap suatu obat dengan

dosis tertentu (Lusiana, 2009).

Penentuan resistensi atau tidaknya P. falciparum dapat dilakukan dengan

cara in vivo dan in vitro. Cara in vivo dapat menunjukkan derajat resistensi parasit

yang dinyatakan dalam tiga tingkatan yakni RI (resistensi derajat 1), RII, dan RIII.
Cara in vitro hasilnya dinyatakan sebagai sensitifitas atau resistensi parasit, tanpa

adanya penjenjangan tingkatan. Kelebihan uji ini pada beberapa jenis obat dapat

diuji secara bersamaan (Lusiana, 2009).

Keuntungannya yaitu penggunaan biakan memungkinkan untuk

mempelajari aktivitas intrinsik obat secara lebih hemat dan lebih cepat,

membutuhkan obat dalam jumlah kecil, pengaruh metabolisme hospes dihilangkan,

efektivitas obat dapat langsung diamati, memudahkan penapisan obat malaria baru,

dimungkinkan pemberian dosis yang tinggi, dan memungkinkan pembuatan vaksin

malaria (Lusiana, 2009).

Saat ini telah banyak senyawa antimalaria yang telah berhasil disintesis,

diantaranya adalah meflakuin, pirimetamin, hamofantrin, dan primakuin. Namun

dengan berkembangnya resistensi terhadap beberapa antimalaria sintetik yang telah

dihasilkan, dilakukan pencarian senyawa antimalaria baru yang bersumber dari

alam, diantaranya berasal dari golongan alkaloid, sesquiterpen lakton, quassinoid,

triterpenoid, flavonoid, xanthon, quinon, dan senyawa miscellaneous (Saxena et al.,

2003).

D. Pengobatan Antimalaria

Resistensi obat malaria adalah kemampuan dari parasit untuk terus hidup

dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit

meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standart

maupun dengan dosis yang lebih tinggi yang masih bisa ditolerir oleh pemakai obat.

Dalam konteks malaria dikenal Multidrug resistant (MDR) yaitu resistensi terhadap

lebih dari satu jenis obat antimalaria, yang sehari-hari dipakai dalam pengobatan
malaria. MDR merupakan fenomena resistensi Plasmodium terhadap obat

antimalaria serta perlu diperhatikan (Simamora, 2007).

Resistensi parasit Plasmodium falciparum terhadap obat-obatan merupakan

masalah di daerah endemik. Di wilayah-wilayah endemik ini, peningkatan

resistensi parasit terhadap obat-obatan yang ada merupakan salah satu penyebab

tingginya angka morbiditas dan mortalitas akibat malaria. Penyebab resistensi

terutama adalah karena adanya mutasi pada gen-gen dari Plasmodium. Ada tiga

faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya resistensi. Faktor tersebut adalah

pertama: faktor operasional misalnya dosis subterapik, kepatuhan inang yang

kurang, kedua: faktor farmakologik dan ketiga adalah faktor transmisi

malaria, termasuk intensitas, drug pressure dan respon imun inang (Simamora,

2007).

Mutasi gen parasit berkaitan dengan target obat, karena dapat

mempengaruhi konsentrasi obat intraparasitik. Dalam percobaan resistensi secara

in vitro mutasi gen pada parasit mempunyai hubungan dengan marker molekuler

pada uji klinis. Mutasinya multipel, sangat kompleks dan terjadi secara terus

menerus (Simamora, 2007).

1. Penggolongan Obat Antimalaria

Obat antimalaria dapat dikelompokkan menurut efek atau cara kerja obat

pada parasit stadium eritrositik. Beberapa mekanisme kerja dan target dari obat

malaria yang telah diteliti oleh peneliti-peneliti pendahulu, antara lain: (Simamora,

2007)
a. Gangguan pencernaan hemoglobin dalam lisosom vakuola makanan (food

vacuola) parasit. Obat golongan 4-aminokuinolin sangat esensial dalam

mengganggu proses pencernaan hemoglobin oleh parasit dengan jalan mengadakan

interaksi dengan heme atau menghambat pembentukan hemozoin. Target baru obat

golongan ini adalah menghambat enzim plasmepsin dan enzim falcipain yang

berperan dalam pemecahan globin menjadi asamasam amino. Hemozoin dan asam

asam amino diperlukan untuk pertumbuhan parasit, sehingga jika pembentukan

dihambat maka parasit akan mati.

b. Gangguan pada jalur folat dalam sitoplasma parasit. Obat antimalaria

Sulfadoxine Pyrimethamine (SP)dan kombinasi baru chlorproguanil-dapsone

(Lapdap) merupakan inhibitor kompetitif yang berperan dalam jalur folat.

c. Pengantar proses alkilasi. Generasi obat dari artemisin menghasilkan radikal

bebas yang berfungsi untuk mengalkilasi membran parasit.

d. Fungsi mitokondria. Mitokondria merupakan target obat baru yang

potensial. Kerja Atovaquone melalui penghambatan reduktase sitokrom c menjadi

dasar bersinergi dengan obat-obatan proguanil.

e. Apikoplas; Kerja obat antibiotik tetrasiklin di dalam apikoplast adalah

dengan mengganggu translasi protein.

2. Cara Kerja dan Mekanisme dan Mekanisme Resistensi

a. Klorokuin (Chloroquine / CQ)

Efektifitas CQ terbatas pada saat parasit malaria berada dalam tahap

eritrositik. Penyebaran galur P. falciparum menyebabkan level resistensi parasit

terhadap CQ menjadi tinggi, walaupun demikian sampai sekarang CQ masih


digunakan di beberapa tempat di dunia Pada umumnya bila resistensi terhadap suatu

obat antimalaria sudah terjadi akan diikuti dengan resistensi terhadap obat

antimalaria lainnya. Diduga mekanisme resistensi terhadap CQ sama dengan obat

antimalaria yang lain. Tekanan obat yang terus menerus menyebabkan parasit akan

memasuki jalur metabolisme yang lain dan menyebabkan terjadinya mutasi.

Dengan demikian parasit terhindar dari pengaruh obat. Hal inilah yang

menyebabkan resistensi parasit terhadap obat antimalaria terjadi secara perlahan-

lahan (Simamora, 2007)

Pada umumnya bila resistensi terhadap suatu obat antimalaria sudah terjadi

akan diikuti dengan resistensi terhadap obat antimalaria lainnya. Diduga

mekanisme resistensi terhadap CQ sama dengan obat antimalaria yang lain.

Tekanan obat yang terus menerus menyebabkan parasit akan memasuki jalur

metabolisme yang lain dan menyebabkan terjadinya mutasi. Dengan demikian

parasit terhindar dari pengaruh obat. Hal inilah yang menyebabkan resistensi parasit

terhadap obat antimalaria terjadi secara perlahan-lahan (Simamora, 2007).

b. Meflokuin

Meflokuin adalah obat antimalaria golongan 4-metanol kuinolin.

Mekanisme kerja meflokuin sama dengan kloroquin. Meflokuin bersifat

skizontosida darah untuk ke 4 spesies Plasmodium manusia dan galur P. falciparum

yang MDR,dosis yang dianjurkan adalah 15–29 mg/kgbb, peroral, dosis tunggal

atau terbagi dalam 2 dosis tiap 12 jam. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil

trimester pertama. Pada penelitian pengobatan dengan pemberian meflokuin


pada penderita malaria falciparum dengan atau tanpa komplikasi menunjukkan

bahwa meflokuin efektif dan aman (Simamora, 2007).

Resistensi P. falciparum terhadap meflokuin dan arylaminoalkohol terkait

dengan amplifikasi (yaitu duplikasi, bukan mutasi) pada Pfmdr yang mengkode

pompa glikoprotein-p (Pgh) dan membutuhkan energi. Faktor genetik yang

beragam mempunyai konsekuensi terhadap berkurangnya konsentrasi intraseluler

dari kuinolin. Dengan demikian pemberian antimalaria kuinolin dapat

mempengaruhi penurunan kemampuan dari parasit untuk mendetoksifikasi heme

yang dikeluarkan oleh hemoglobin (Simamora, 2007).

c. Obat-obat yang Mengganggu Jalur Folat Parasit

Resistensi P. falciparum dan P. vivax, terhadap antifolat (pyrimethamin dan

cylcloguanil) dihasilkan dari akusisi sekuensial mutasi pada gen dihydrofolate

reduktase (dhfr). Mutasi juga menyebabkan terjadinya penurunan terhadap

kerentanan. Resistensi parasit terhadap sulfonamida dan sulfone yang

dikombinasikan dengan antifolate menghasilkan mutasi akuisisi sekuensial pada

gen dihydropteroate synthase (dhps) yang mengkode enzim sinthase

dihidropteroate (Simamora, 2007).

Reaksi yang ditimbulkan dari obat golongan antifolate sangat luas sehingga

dapat mengganggu sintesa DNA melalui deplesi pada tetrahydrofolate dan

merupakan kofaktor yang penting pada jalur folat. Ada dua jalur penting yang

terkait, yaitu sebagai kompetitif inhibitor pada enzim dihydrofolate reduktase

(DHFR). Kelompok tersebut antara lain pyrimethamine dan biguanides proguanil

serta chlorproguanil (keduanya dibutuhkan pada biotransformasi untuk triazines


cycloguanil dan chlorcycloguanil pada enzim DHFR; dan sebagai kompetitif

inhibitor dari enzim dihydropteroate synthase (DHPS) menjadi enzim yang

utama pada jalur folat (Simamora, 2007).

d. Obat Antimalaria yang Bekerja sebagai Pengantar Proses Alkilasi

(Qinghaosu Artemisinin)

Qinghaosu merupakan obat antimalaria golongan seskuiterpen lakton yang

bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax. Obat ini merupakan

obat tradisional Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan

Artemesia annua (qinghao) yang sudah dipakai sejak ribuan tahun lalu. Qinghaosu

tidak diberikan pada wanita hamil karena efek toksik (Simamora, 2007).

Artemisinin termasuk ke dalam kelompok senyawa seskuiterpen lakton,

bukan alkaloid atau amina seperti pada kuinin. Struktur molekul artemisin

mengandung jembatan peroksida, diyakini ampuh pada kerja obat dan dapat

menginduksi oksidatif stres. Obat artemisin diketahui bekerja secara spesifik pada

tahap eritrositik (Simamora, 2007).

E. Teknik Pengujian Antimalaria

1. Pengujian Secara In Vitro

a. Schizont maturation test

Pada prinsipnya adalah sebagai berikut: Kedalam sumur mikro yang terdiri

atas 96 sumur, 20 ml suspensi 10% eritrosit dengan parasitemia 1,0% dan DMSO

0,1% dimasukkan ke dalam setiap sumur yang telah berisi medium RPMI dengan

10% serum dan 0,1% DMSO yang mengandung beberapa macam dosis senyawa

yang diuji sehingga volume akhir 200 ml setiap sumur. Kemudian, semua sumur
yang telah terisi senyawa uji ditambah 20 ml suspensi parasit dengan 10% eritrosit

dengan parasitemia 1,0%. Lempeng sumur selanjutnya dimasukkan ke dalam

candle jar dan diinkubasi selama 18-24 jam tergantung umur parasit pada awal

inkubasi. Metode ini didasarkan pada bentuk cincin (trofozoit muda) yang setelah

24 jam akan berubah menjadi preschizon dan schizon. Evaluasi dilakukan setelah

inkubasi selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 atau 48 jam, lempeng sumur

mikro dikeluarkan, suspensi bagian atas yang jernih dibuang, suspensi yang pekat

dibuat sediaan apus darah, sediaan dikeringkan pada suhu kamar, kemudian

diwarnai dengan larutan Giemsa (Syamsuddin 2008).

b. Metode up take 3H-hipoksantin

Metode yang dikembangkan oleh Desjardins et al., 1979 dengan mengukur

inkorporasi dari hipoksantin oleh parasit. Pertumbuhan parasit diamati dari

pemakaian isotop hipoksantin oleh metabolisme parasit yang tumbuh di dalam

kultur. Dengan mengetahui jumlah penggunaan isotop oleh parasit, akan diketahui

besarnya pertumbuhan parasit di dalam kultur. Setelah kultur diinkubasi 60 jam dan

pertumbuhan kultur sehat serta tidak terkontaminasi, ditambahkan 50 ml campuran

RPMI dan serum yang mengandung isotop sebesar 0,25 mCi. Kultur dalam

sumuran dicampur agar homogen, kemudian dimasukkan ke dalam candle jar untuk

dikultur lagi selama 12 jam pada 37oC sehingga didapatkan masa inkubasi 72 jam.

Selanjutnya, parasit dipanen menggunakan pemanenan sel semi-otomatik.

Inkorporasi dari radiolabel ditentukan dengan Liquid Scintillation Analyzer. Data

dari metode schizont maturation test dan up take 3H-hipoksantin dianalisis dengan

mengukur persentase penghambatan pertumbuhan parasit. Konsentrasi


penghambatan 50% (IC50) senyawa uji ditetapkan dengan analisis probit,

berdasarkan hubungan log kadar senyawa uji dengan % penghambatan

pertumbuhan parasit (Syamsuddin 2008).

c. Metode pLDH

Metode ini dikembangkan oleh Mackler dkk. dengan mengukur kadar laktat

dehidrogenase plasmodium (pLDH). pLDH adalah enzim glikolitik yang

diekspresikan dengan kadar tinggi pada stadium aseksual parasit malaria. LDH

dapat diukur dengan menggunakan substrat 3-asetilpiridin adenin dinukleotida

(APAD), yang merupakan analog dari NAD. pLDH dapat digunakan untuk

mengukur antigen malaria yang berbeda dan dapat digunakan untuk mendeteksi

adanya infeksi dari beberapa spesies Plasmodium (Syamsuddin 2008).

Prinsip pengukurannya adalah sebagai berikut: Sepuluh microliter dari tiap

kultur dimasukkan ke dalam 96 sumuran yang mengandung 100 ml reagent.

Lempeng ini ditempatkan ke dalam pembaca ELISA dan penurunan APAD diikuti

secara kinetik pada panjang gelombang 365 nm selama 10 menit (koefisien

ekstingsi APADH adalah 366 nm). Pada titik akhir setiap sumuran diberikan 20 ml

campuran nitrosoluble tetrazolium dan garam fenasetin etosulfat dengan

perbandingan 20:1. Penurunan tetrazolium menjadi garam formazan biru diikuti

selama 10 menit pada panjang gelombang 650 nm (K650 nm). Pada akhirnya,

terbentuknya formazan biru dievaluasi setelah penambahan 30 ml 2NH2SO4.

Interpretasi pertumbuhan parasit dilakukan secara evaluasi visual melalui

penurunan warna setelah 60 menit inkubasi. Reaksi warna dihentikan dengan

penambahan 5% asam asetat. Data melalui metode pLDH ini dianalisis dengan
metode Log-Logit menggunakan SoftmaxTM Software (Molecular Devices) dengan

ekstrapolasi langsung data titrasi ke dalam % penghambatan pertumbuhan (IC50)

(Syamsuddin 2008).

d. Pengujian Secara In Vivo

1. Primary biological assesment

Metode pengujian ini dikembangkan oleh Peters et al., 1970. Prinsip

pengujiannya adalah sebagai berikut: Hari ke-0: darah yang diambil dari mencit

donor dengan parasitemia 30% dicampur di dalam larutan fisiologis yang

mengandung 108 P. berghei eritrosit per ml. Sebanyak 0,2 ml suspensi ini

disuntikkan secara intravena (i.v.) atau intraperitoneal (i.p.) ke dalam kelompok

hewan coba. Dalam waktu 2-4 jam setelah infeksi, kelompok uji diberikan obat

dengan dosis tunggal secara i.p., subkutan (s.k.), i.v. atau oral. Pada hari ke-1-4, 24,

48 dan 72 jam setelah infeksi, terhadap kelompok uji diberikan lagi senyawa uji

dengan dosis dan pemberian yang sama dengan hari ke-0. Hari ke-0, 1, 2, 3,dan 4

dilakukan pemeriksaan parasitemia dengan membuat sediaan apus darah tipis,

dengan pewarnaan Giemsa. Pemeriksaan % parasitemia dilakukan untuk setiap

1000 eritrosit dan dilakukan selama 4 hari berturut-turut. Data yang diperoleh

digambarkan dalam hubungan antara % penghambatan parasitemia dan besarnya

dosis (Syamsuddin 2008).

2. Secondary biological assessment

Untuk senyawa uji yang memperlihatkan efek yang baik pada primary 4-

day suppressive test dilakukan uji lanjutan dengan metoda secondary biological

assessment.
1) Dose ranging test. Metode ini digunakan untuk mencari ED50 dan ED90

dengan menggunakan 4 tingkatan dosis (3 mg/kg, 10 mg/kg, 30 mg/kg, dan

100 mg/kg dengan cara pemberian secara s.k. dan oral).

2) Onset of activity and recrudescence. Pada metode ini diberikan dosis

tunggal 100 mg/kg selama 3 hari setelah infeksi secara s.k. Pada kelompok

kontrol diberikan pelarut. Setelah 12 jam, 24 jam, dan hari ke-33 dari ujung

ekor hewan uji diambil darah untuk pemeriksaan sediaan apus darah setiap

hari menggunakan pewarnaan Giemsa.

3) Prophylactic test. Pada uji ini mencit diberikan senyawa uji dengan dosis

100 mg/kg pada 72 jam, 48 jam, 24 jam, dan 0 jam pada waktu infeksi,

kemudian dilakukan pemeriksaan parasitemia dengan pemeriksaan sediaan

apus darah. Untuk semua uji dapat digunakan klorokuin sebagai kontrol

positif ED50 1,5-1,8 mg/kg dengan menggunakan Plasmodium berghei

ANKA pada pemberian s.k. dan oral.

3. Tertiary biological assessment

Metode ini digunakan untuk menguji antimalaria baru dengan target kerja

yang sama dengan obat antimalaria yang ada guna mengetahui adanya resistensi

silang (Syamsuddin 2008).

F. Tinjauan Islam

Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan demi kemaslahatan bersama adalah suatu

bentuk aktualisasi pemberdayaan potensi alam sebagai suatu bentuk tanda-tanda

kebesaran penciptaan Allah SWT dengan segala keaneka-ragamannya. Oleh karena

itu, sebagai manusia yang dianugerahi kesempurnaan akal untuk berpikir,


hendaklah direnungkaan pemaknaan ini lebih mendalam, bahwasanya tiada ciptaan

yang diciptakan secara sia-sia, apa saja bentuknya itu selalu ada hikmah dan

manfaat darinya. Demikian pula dengan tumbuh-tumbuhan ini. Allah berfirman

dalam Al-Qur’an; (QS. Asy-Syu'ara' Ayat 7)

‫ض َك ْم أَ ْن َبتْنَا فِي َها ِم ْن ُك ِل زَ ْوجٍ َك ِر ٍيم‬


ِ ‫أَ َولَ ْم َي َر ْوا إِلَى ْاْل َ ْر‬
Terjemahan:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami
tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?”
Dalam kitab Tafsir al-Mishbah (2002), dijelaskan bahwa ayat ini

membuktikan-melalui uraiannya-keniscayaan ke-Esaan Allah swt. karena aneka

tumbuhan yang terhampar di persada bumi sedemikian banyak dan bermanfaat lagi

berbeda-beda jenis rasa dan warna, namun keadaannya konsisten (Shihab 2009).

Begitu banyak manfaat tumbuh-tumbuhan bagi makhluk hidup lain, yang

senang tiasa tumbuh di permukaan bumi hanya untuk kelangsungan hidup bagi

khalifah dimuka bumi, sedangkan tumbuhan adalah makhluk yang tidak pernah

mengharapkan balasan dari makhluk lain. Sebagaimana Firman Allah swt dalam

QS. Al An’am ayat 99;

‫ش ْيءٍ فَأ َ ْخ َر ْجنَا‬ َ ‫ات ُك ِل‬ َ ‫اء َما ًء فَأ َ ْخ َر ْجنَا ِب ِه نَ َب‬ ِ ‫س َم‬ َّ ‫َو ُه َو الَّذِي أَ ْنزَ َل ِمنَ ال‬
‫ان‬ٌ ‫ط ْل ِع َها قِ ْن َو‬
َ ‫َض ًرا نُ ْخ ِر ُج ِم ْنهُ َحبًّا ُمتَ َرا ِكبًا َو ِمنَ النَّ ْخ ِل ِم ْن‬ ِ ‫ِم ْنهُ خ‬
‫غي َْر ُمتَشَابِ ٍه‬ َ ‫الر َّمانَ ُم ْشتَبِ ًها َو‬ ُّ ‫الز ْيتُونَ َو‬ َّ ‫ب َو‬ ٍ ‫ت ِم ْن أَ ْعنَا‬ ٍ ‫ۗ دَانِيَةٌ َو َجنَّا‬
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم يُؤْ ِمنُون‬ٍ ‫ظ ُروا ِإلَ ٰى ثَ َم ِر ِه ِإذَا أَثْ َم َر َو َي ْن ِع ِه ۚ ِإ َّن فِي ٰذَ ِل ُك ْم ََل َيا‬
ُ ‫ا ْن‬
Terjemahnya:
"Dan dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan
dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan Maka kami keluarkan dari
tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. kami keluarkan dari
tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma
mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan
(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak
serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan
(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman"
(Q.S Al-An'am: 99).
Menurut Jamaluddin Mahran dalam bukunya Al-Qur’an Bertutur Tentang

Makanan & Obat-obatan, bahwa ayat ini menerangkan tentang kekuasaan Allah

yang menurunkan hujan dari awan, lantas mengeluarkan tumbuhan dari berbagai

jenis, menumbuhkan tanaman, lalu mengistimewakan salah satu organ tubuhnya

yakni daun untuk menjadi piranti penghasil zat hijau yang penting untuk memasak

bahan makanan. Perhatikanlah keteraturan dan keindahan buahnya, bagaimna ia

diciptakan sampai matangnya, bagaimana ia disempurnakan bentuknya yang

beraneka (Mahran 2005).

Dengan banyaknya tumbuhan yang dapat dimanfaatkan terutama sebagai

obat, maka Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk berobat ketika terkena

penyakit. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Tidaklah Allah menurunkan

penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR. Bukhari).

Sebagai orang yang beriman, maka menjadi kewajiban dan bentuk

penyerahan tertinggi kepada Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk

yakin dengan kesembuhan yang datangnya hanya dari Allah SWT, sebab “Tidaklah

seorang muslim yang tertimpa gangguan berupa penyakit atau semacamnya,

kecuali Allah akan menggugurkan bersama dengannya dosa-dosanya,

sebagaimana pohon yang menggugurkan dedaunannya.” (HR. Bukhari dan

Muslim).
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini yaitu berdasar pada analisis kuantitatif eksperimen

terhadap uji penghambatan plasmodium falciparum 3D7 oleh isolat dari fraksi kulit

batang kayu jawa (Lannea coromandelica Houtt.).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan Laboraturium

Malaria di Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga Surabaya.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada Oktober – Januari 2018

C. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu penelitian eksperimental

berupa pengumpulan data berdasarkan hasil dari eksperimental yang dilakukan.

D. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang kayu jawa

(Lannea coromandelica).

E. Alat dan Bahan

1. Alat

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik,

Lemari pengering dan alat untuk ekstraksi seperti toples, Gelas erlenmeyer, Corong
Kaca, Sentrifuge, Tabung Sentrifuge, Vacum rotary evaporator, Sendok Ekstrak,

Pipa kapiler, Kromatografi Cair Vakum, Chamber, Penggaris, Pensil, dan Gunting.

Sedangkan Alat untuk pengujian antimalaria yaitu tabung eppendolr,

laminer air flow, lemari pendingin, candle jar, sentrifuge, tabung sentrifuge, botol

scot, labu erlenmeyer steril, kertas saring berukuran pori 0,22 μm, kaca preparat,

inkubator CO2, pipet pasteur, mikropipet, pipet volume, cawan petri, termometer,

plat well 96, mikroskop dan tabung reaksi.

2. Bahan

Adapun bahan yang digunakan adalah isolat dari ekstrak batang kulit kayu

jawa (Lannea coromandelica) dan untuk bahan-bahan lain yang digunakan adalah

parasit P. falciparum 3D7, HEPES, RPMI 1640 (Rosewell Parla Memorial

Institute), Natrium bikarbonat (NaHCO3), hiposantin, gentamisin,

aquademineralisasi (aqua DM), serum darah manusia (PMI), natrium klorida

(NaCl), dimetilsulfoksida (DMSO), minyak immerse, dan pewarna Giemsa 20%,

Silika Gel G60F254, Pereaksi Dragendorf, Pereaksi Wagner, Pereaksi Mayer,

Pereaksi FeCl3, Pereaksi AlCl3, Peraksi Lieberman-Bouchard.

F. Prosedur Kerja

1. Penyiapan sampel

a. Pengambilan sampel

Sampel berupa kulit batang tanaman kayu jawa Lannea coromandelica yang

diambil pada pagi hari pukul 9.00 pada bagian batang utama dengan ukuran tertentu

diambil tidak secara melingkar.


b. Pengolahan Sampel

Sampel kulit batang tumbuhan Lannea coromandelica dicuci dengan air

mengalir dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, dipotong kecil-kecil dan

dikeringkan dalam lemari pengering.

2. Metode Ekstraksi

Cara kerja dengan metode ini dimulai dengan kulit batang kayu jawa

(Lannea coromandelica) dipotong kecil-kecil, sebanyak 2000 gram dan

dimasukkan ke dalam 5 toples masing-masing 400 gram, sampel dibasahi dan

direndam menggunakan pelarut Metanol, dan ditutup menggunakan aluminium foil

dan dengan penutup toples. Dibiarkan sampel terendam selama ± 3 x 24 jam, lalu

dilakukan proses penyarian setelah ± 3 x 24 jam menggunakan kertas saring dan

corong yang telah disumbat kapas, dilakukan proses remaserasi sampel yang telah

disaring, kemudian ditampung hasil maserasi. Lalu diuapkan dengan menggunakan

alat rotary evaporator.

3. Partisi

Partisi dilakukan adalah dengan metode cair-padat dengan cara ditimbang

ekstrak metanol sebanyak 20,514 gram, dimasukkan ke dalam lumpang, dilarutkan

dengan n-heksan dan digerus lalu disentrifugasi hasil gerusan yang diperoleh

dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Dipisahkan antara ekstrak larut n-

heksan dengan ekstrak tidak larut n-heksan kemudian dilakukan berulang hingga

larutan n-heksan yang diperoleh jernih.


4. Penentuan Eluen

Eluen ditentukan dengan berdasarkan profil KLT yang diperoleh dari

metode Kromatografi Lapis Tipis, Partisi larut n-Heksan dilarutkan dengan n-

Heksan, dan partisi tidak larut n-Heksan dilarutkan dengan metanol. Kemudian

dielusi dengan menggunakan perbandingan eluen tertentu dari tingkat kepolaran

terendah dan terus meningkat. Kemudian diamati penampakan noda dibawah lampu

UV 254 nm dan 366 nm serta penampakan noda pada H2SO4 dengan cara

disemprotkan asam sulfat 10% pada lempeng kemudian dipanaskan dalam oven

hingga noda terbentuk. Pemilihan eluen didasarkan pada kepolaran dan prinsip Like

Disolves Like.

5. Fraksinasi

a. Kromatografi Cair Vakum

Kromatografi Cair Vakum (KCV) dilakukan dengan cara ditimbang silika

sebanyak 60 gram, lalu ditimbang ekstrak kayu jawa (Lannea coromandelica) yang

tidak larut n-hexan sebanyak 5 gram. Digerus ekstrak 5 gram dengan silika 5-10

gram, dan dimasukkan silika 50 gram ke dalam center glass sambil dimampatkan

dalam keadaan pompa vakum aktif. Dimasukkan ekstrak ditambah silika ke dalam

center glass dan dimampatkan. Dilapisi dengan kertas saring pada bagian atas,

kemudian dihubungkan dengan pompa vakum. Setelah itu ditambahkan pelarut atau

eluen sebanyak 120 ml dengan perbandingan tertentu, lalu ditampung dalam

mangkuk, 1 mangkuk untuk 1 perbandingan eluen, kemudian diuapkan.


b. Penggabungan Fraksi

Diperoleh fraksi hasil dari kromatografi cair vakum, dilarutkan lalu ditotol

pada lempeng fraksi yang diperoleh, kemudian dielusi menggunakan eluen yang

sesuai. Setelah itu diamati dibawah lampu UV 366 nm dan 254 nm, dan didapatkan

fraksi terbaik. Digabungkan fraksi yang memiliki noda yang hampir sama atau

sama.
Hayati, E. K., Jannah, A. & Ningsih, R., 2012. Compound Identification and In Vivo
Antimalarial Activity Of Extract Ethyl Acetate Extract From Anting-Anting Plant (Acalypha
indica L.). Molekul Jurnal, 7(1), pp. 20-32.

Kementrian Agama RI, 2013. Al Qur'anul Karim. s.l.:s.n.

Kusumaningrum, N. A., 2016. Skripsi Uji Aktivitas Antimalaria Daun Helianthus annus L.
dengan Ekstraksi Bertingkatterhadap Plasmodium falciparum secara In Vitro. Surabaya:
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Departemen Farmakognosi dan Fitokimia.

Lusiana, H., 2009. Skripsi Isolation and In Vitro Antiplasmodial Test of Alkaloid
Compounds from Albertisia papuana Becc. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rahmadani, F., 2015. Skripsi Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang
Kayu Jawa (Lannea coromandelica) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, Helicobacter pylori, Pseudomonas. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Wahid, A., 2012. In Vitro Phytochemical and Biological Investigation of Plant Lannea
coromandelica (Famili: Anacardiaceae). s.l.:Thesis to Departemen Pharmacy East West
University.

WHO, 2016. Status Report Artemisinin and artemisinin-based Combination Therapy


Resistance. s.l.:World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai