Anda di halaman 1dari 23

NURUL JANNAH

7 Rajab 1439 H/ 17 3 2019


Hubungan Ruh dengan orang yang hidup ada tiga:
Pertama, pertemuan ruh orang yang telah meninggal dengan ruh orang yang
masih hidup di alam mimpi
Para ulama menegaskan bahwa hal ini bisa terjadi. Ruh orang yang telah meninggal bisa berjumpa
dengan ruh orang yang masih hidup dalam mimpi.

Berikut beberapa keterangan mereka,

1. Tafsir firman Allah di surat Az-Zumar ayat 42.

Allah berfirman,

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) ruh (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; Maka Dia tahanlah ruh (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan
ruh yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-
tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az-Zumar : 42)

Ada dua pendapat ahli tafsir tentang ayat ini. Salah satunya, bahwa ruh orang yang ditahan adalah ruh
orang yang sudah meninggal, sehingga dia tidak bisa kembali ke jasadnya di dunia. Sedangkan ruh
orang yang dilepas adalah ruh orang yang tidur. (Ar-Ruh, Ibnul Qoyim).

Diriwayatkan dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menjelaskan tafsir
ayat tersebut,

Sesungguhnya ruh orang yang hidup dan ruh orang mati bertemu dalam mimpi. Mereka saling
mengenal sesuai yang Allah kehendaki. Ketika masing-masing hendak kembali ke jasadnya, Allah
menahan ruh orang yang sudah mati di sisi-Nya, dan Allah melepaskan ruh orang yang masih hidup ke
jasadnya. (Tafsir At-Thabari 21/298, Al-Qurthubi 15/260, An-Nasafi 4/56, Zadul Masir Ibnul Jauzi
4/20, dan beberapa tafsir lainnya).

2. Kejadian nyata yang dialami para sahabat

Kejadian ini pernah dialami seorang sahabat yang dijamin masuk surga karena kerendahan hatinya.
Sahabat Tsabit bin Qois radhiyallahu ‘anhu. Peristiwa ini terjadi ketika perang Yamamah, menyerang
nabi palsu Musailamah Al-Kadzab di zaman Abu Bakar. Dalam peperangan itu, Tsabit termasuk
sahabat yang mati syahid. Ketika itu, Tsabit memakai baju besi yang bernilai harganya.
Sampai akhirnya lewatlah seseorang dan menemukan jasad Tsabit. Orang ini mengambil baju besi
Tsabit dan membawanya pulang. Setelah peristiwa ini, ada salah seorang mukmin bermimpi, dia
didatangi Tsabin bin Qois. Tsabit berpesan kepada si Mukmin dalam mimpi itu:

“Saya wasiatkan kepada kamu, dan jangan kamu katakan, ‘Ini hanya mimpi kalut’ kemudian kamu
tidak mempedulikannya. Ketika saya mati, ada seseorang yang melewati jenazahku dan mengambil
baju besiku. Tinggalnya di paling pojok sana. Di kemahnya ada kuda yang dia gunakan membantu
kegiatannya. Dia meletakkan wadah di atas baju besiku, dan diatasnya ada pelana. Datangi Khalid bin
Walid, minta beliau untuk menugaskan orang agar mengambil baju besiku. Dan jika kamu bertemu
Khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Abu Bakr), sampaikan bahwa saya punya
tanggungan utang sekian dan punya piutang macet sekian. Sementara budakku fulan, statusnya
merdeka. Sekali lagi jangan kamu katakan, ‘Ini hanya mimpi kalut’ kemudian kamu tidak
mempedulikannya.”

Setelah bangun, orang inipun menemui Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu dan menyampaikan kisah
mimpinya bertemu Tsabit. Sang panglima, Khalid bin Walid mengutus beberapa orang untuk
mengambil baju besi itu, dia memperhatikan kemah yang paling ujung, ternyata ada seekor kuda yang
disiapkan. Mereka melihat isi kemah, ternyata tidak ada orangnya. Merekapun masuk, dan langsung
menggeser pelana. Ternyata di bawahnya ada wadah. Kemudian mereka mengangkat wadah itu,
ketemulah baju besi itu. Merekapun membawa baju besi itu menghadap Khalid bin Walid.

Setelah sampai Madinah, orang itu penyampaikan mimpinya kepada Khalifah Abu Bakr As-Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu, dan beliau membolehkan untuk melaksanakan wasiat Tsabit. Para sahabat
mengatakan, “Kami tidak pernah mengetahui ada seorangpun yang wasiatnya dilaksanakan, padahal
baru disampaikan setelah orangnya meninggal, selain wasiat Tsabit bin Qais. (HR. Al-Baihaqi dalam
Dalail An-Nubuwah 2638 dan Al-Bushiri dalam Al-Ittihaf 3010)

Kasus semacam ini juga terjadi pada beberapa ulama. Kisah-kisah mereka banyak disebutkan Ibnul
Qoyim dalam bukunya Ar-Ruh (hlm. 30 – 48). Salah satunya adalah kisah sahabat tsabit bin Qois di
atas.

Kedua, Allah memperlihatkan keadaan keluarga yang masih hidup kepada beberapa orang
yang telah meninggal.

Para ulama menegaskan bahwa mayit bisa mendengar suara orang yang berada di dunia dalam kondisi
tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis, diantaranya,

Hadis dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya seorang hamba ketika telah diletakkan di kuburan dan ditinggal pulang orang yang
mengantarkannya, dia bisa mendengar suara sandal mereka…” (HR. Muslim 2874)

Hadis dari Abu Thalhah, bahwa setelah belalu 3 hari pasca-perang Badr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendatangi tempat pertempuran bersama para sahabat dan memasukkan mayit orang
musyrik ke dalam satu lubang. Selanjutnya beliau bersabda,
Wahai Abu Jahl bin Hisyam, wahai Umayah bin Khalaf, wahai Uthbah bin Rabi’ah, wahai Syaibah
bin Rabi’ah, apakah kalian telah mendapatkan kenyataan dari apa yang dijanjikan Rab kalian?
Sungguh aku telah mendapatkan kenyataan dari apa yang dijanjikan Rabku.

Spontan Umar bertanya,

“Ya, Rasulullah, bagaimana mereka bisa mendengar? Bagaimana mereka bisa menjawab? Padahal
mereka sudah jadi bangkai.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kalian tidak lebih mendengar dari apa yang aku
ucapkan dari pada mereka. Namun mereka tidak bisa menjawab. (HR. Bukhari 3976)

Apakah Kasus Semacam Ini Berlaku Umum?

Ulama berbeda pendapat apakah kasus semacam ini berlaku untuk semua keadaan. Dalam arti mayit
bisa mendengar dan mengetahui semua keadaan orang yang masih hidup.

Sebagian menegaskan bahwa mayit mengetahui keadaan keluarganya dengan izin Allah, dan dia di
alam kubur. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, Ibnul Qoyim menyebutkan bahwa terdapat berbagai
riwayat dari para ulama masa silam yang menjelaskan bahwa mayit mengetahui keadaan keluarganya.
Dia merasa senang ketika keluarganya dalam kondisi baik, dan dia merasa sedih ketika keluarganya
dalam kondisi tidak baik.

Mereka yang menegaskan bahwa mayit mengetahui keadaan keluarganya, berdalil dengan hadis dari
Anas. Namun hadis statusnya lemah, karena ada perawi yang tidak disebutkan namanya. (Majma’
Zawaid, 2/329).

Dalam riwayat lain dari Abu Ayyub, diriwayatkan Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, namun dalam
sanadnya terdapat perawi bernama Maslamah bin Ali Al-Khusyani, dan dia perawi dhaif. Maslamah
bin Ali orang syam, perawi yang lemah, dan matruk (ditinggalkan). Sebagaimana dijelaskan dalam
Mizan I’tidal (4/109). Ringkasnya, hadis dalam masalah ini tidak shahih.

Adapun Atsar yang disebutkan Ibnul Qoyim dalam Ar-Ruh, dinukil dari kitab Al-Qubur karya Ibnu
Abi Ad-Dunya. Dan atsar-atsar ini dinilai bermasalah.

(Multaqa Ahlulhadits, 52691).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak mengatakan

Demikian pula mayit, dia tidak mengetahui keadaan keluarganya, karena dia tidak ada di tengah-
tengah mereka. Mereka sibuk dalam kenikmatan atau adzab. Hanya saja, terkadang Allah tampakkan
kepada beberapa mayit sebagian keadaan keluarganya, namun ini tanpa batasan waktu tertentu.
Terdapat beberapa atsar (riwayat dari para ulama) tentang hal ini yang belum bisa dijadikan dalil
(karena perllu dilakukan penelitian ulang) yang menyebutkan bahwa mayit terkadang mengetahui
keadaan keluarganya. (Fatwa Islam, 13183).

Mengingat keterangan semacam ini belum jelas, sebagian ulama menasehatkan agar tidak kita tidak
disibukkan dengan pembahasan semacam ini. Karena tidak memberikan banyak manfaat. Yang lebih
penting, kita berusaha menunaikan semua yang menjadi tanggungan mayit, seperti utang, nadzar,
fidyah, wasiat, dan semacamnya. Sehingga tidak ada beban baginya yang tidak ditunaikan. Kemudian
kita berusaha menjadi hamba yang baik, bertaqwa kepada Allah, baik jenazah bisa mengetahui
keadaan kita, atau tidak.

Nasehat semacam ini pernah disampaikan Imam Ibnu Utsaimin. Ketika beliau ditanya, apakah mayit
bisa mengetahui kondisi keluarga ataukah tidak?

Adapun pertanyaan, apakah mayit mengetahui apa yang dilakukan keluarganya di dunia? Saya tidak
mengetahui atsar (riwayat) yang shahih yang bisa dijadikan dalil. Namun apapun itu, saya berpendapat
tidak ada banyak manfaat untuk melakukan pembahasan masalah ini. Pelajaran yang bermanfaat bagi
anda, bahwa jika anda mendustakan hal itu maka anda wajib bertaubat kepada Allah. Dan taubat bisa
menghapus dosa sebelumnya. … dan hendaknya anda sibukkan diri agar diterima taubatnya, dan
memperbaiki diri, dari pada menyibukkan diri dengan mengetahui keadaan mayit semacam ini.

(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 192755)

Ketiga, ruh orang yang meninggal mendatangi keluarganya di alam nyata

Sebagian orang berkeyakinan bahwa ruh orang yang meninggal akan kembali ke keluarganya selama
40 hari. Terlebih setelah peristiwa meninnggalnya salah satu dai di indonesia, disusul dengan cerita
sebagian keluarganya yang merasakan kehadiran ruh sang dai. Akhirnya banyak orang semakin yakin
dengan aqidah ini. Padahal semuanya diyakini tanpa dasar dan dalil yang tegas.

Ada beberapa catatan yang menunjukkan bahwa keyakinan ini adalah keyakinan yang menyimpang
dan bertentangan dengan Al-Quran dan sunah,

1. Allah mengingkari permintaan orang mati untuk dikembalikan ke dunia

(Demikianlah Keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang
dari mereka, Dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku bisa berbuat amal
yang saleh yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah Perkataan yang dia
ucapkan saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-
Mukminun: 99 – 100)

Allah mengabarkan bagaimana orang kafir menyesali hidupnya. Mereka berharap agar dikembalikan
ke dunia di detik-detik menghadapi kematian. Sehingga mereka mendapat tambahan usia untuk
memperbaiki dirinya. Namun itu hanya ucapan lisan, yang sama sekali tidak bermanfaat baginya.
Kemudian Allah menyatakan bahwa setelah mereka mati akan ada barzakh, dinding pemisah antara
dirinya dengan kehidupan dunia. Mereka yang sudah memasuki barzakh, tidak akan lagi bisa keluar
darinya. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 559).
2. Ruh mereka berada di alam yang lain, alam kubur, yang berbeda dengan alam dunia

Pada surat Al-Mukminun di atas, Allah telah menegaskan bahwa ada barzakh (dinding pemisah)
antara orang yang telah meninggal dan kehidupan dunia. Dan itu terjadi sejak mereka meninggal
dunia. Selanjutnya masing-masing sudah sibuk dengan balasan yang Allah berikan kepada mereka.
Ruh orang baik, berada di tempat yang baik, sebaliknya, ruh orang jelek berada di tempat yang jelek.

Dalam sebuah riwayat, seorang tabiin bernama Masruq pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, tentang tafsir firman Allah,

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu
hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS. Ali Imran: 169)

Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya pernah tanyakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan beliau menjawab,

“Ruh-ruh mereka di perut burung hijau. Burung ini memiliki sarang yang tergantung di bawah ‘Arsy.
Mereka bisa terbang kemanapun di surga yang mereka inginkan. Kemudian mereka kembali ke
sarangnya. Kemudian Allah memperhatikan mereka, dan berfirman: ‘Apakah kalian menginginkan
sesuatu?’ Mereka menjawab: ‘Apa lagi yang kami inginkan, sementara kami bisa terbang di surga ke
manapun yang kami inginkan.’ Namun Allah selalu menanyai mereka 3 kali. Sehingga ketika mereka
merasa akan selalu ditanya, mereka meminta: ‘Ya Allah, kami ingin Engkau mengembalikan ruh kami
di jasad kami, sehingga kami bisa berperang di jalan-Mu untuk kedua kalinya.’ Ketika Allah melihat
mereka sudah tidak membutuhkan apapun lagi, mereka ditinggalkan.” (HR. Muslim no. 1887)

Kemudian disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Ketika saudara kalian meninggal di perang Uhud, Allah menjadikan ruh mereka di perut burung hijau.
Mendatangi sungai surga, makan buah surga, dan beristirahat di sarang dari emas, menggantung di
bawah ‘Arsy. Ketika mereka merasakan lezatnya makanan, minuman, dan tempat istirahat, mereka
mengatakan: ‘Siapa yang bisa memberi tahu kepada saudara-saudara muslim lainnya tentang kabar
kami bahwa kami hidup di surga, dan kami mendapat rizki. Agar mereka tidak menghindari jihad dan
tidak pengecut ketika perang. Lalu Allah menjawab: ‘Aku yang akan sampaikan kabar kalian kepada
mereka.’ Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya…”

(HR. Abu Daud 2520 dan dinilai hasan oleh Al-Albani)

Demikian pula ruh orang yang jahat. Mereka mendapat hukuman dari Allah sesuai dengan
kemaksiatan yang mereka lakukan. Keterangan selengkapnya tentang ini, bisa anda simak di artikel:
https://konsultasisyariah.com/tempat-roh-setelah-kematian/ 5

Jika ruh itu bisa kembali dan tinggal bersama keluarganya selama rentang tertentu, tentu yang paling
layak mendapatkan keadaan ini adalah ruh para nabi, para sahabat, atau para syuhada yang meninggal
di medan jihad. Sementara hadis-hadis di atas merupakan bukti bahwa hal itu tidak terjadi. Allah
tempatkan ruh mereka di surga, dan terpisah sepenuhnya dengan alam dunia.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak pernah ditanya, benarkan ruh orang yang meninggal akan
kembali ke keluarganya dan bisa melihat semua keadaan keluarganya selama 40 hari?

Jawaban beliau,

Seseorang setelah meninggal, dia menghilang dari kehidupan dunia ini, dan berpindah ke alam akhirat.
Dan ruhnya tidak kembali ke keluarganya, dan tidak mengetahui semua keadaan keluarganya. Kabar
yang menyebutkan bahwa ruh kembali ke keluarga selama 40 hari adalah khurafat, yang sama sekali
tidak memiliki dalil. Demikian pula mayit, dia tidak mengetahui keadaan keluarganya, karena dia
tidak ada di tengah-tengah mereka. Mereka sibuk dalam kenikmatan atau adzab. (Fatwa Islam, 13183).

Kembalikan Kepada Dalil! Prinsip ini jangan sampai lepas dari lubuk hati kita. Apapun yang kita
dengar, siapapun yang menyampaikan, kembalikan keterangan itu kepada dalil. Tidak semua
keterangan yang disampaikan dai benar adanya. Mereka yang punya dalil, itulah yang menjadi
pegangan. Karena informasi tentang syariat, apalagi terkait keyakinan baru boleh kita terima ketika
ada dasar pijakannya. Mengingat semua harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Sebagaimana yang Allah tegaskan,
14 jumadi akhir 1440 h/ 20-1-2019
Tujuh Sikap yang Harus Dimiliki jika Kita Sakit
1. Berdoa kepada Allah agar memberikan kesembuhan, kesembuhan yang tidak
menyisakan sedikit pun penyakit, serta menyempurnakan kesehatan kita selamanya.

2. Hendaklah berprasangka baik kepada Allah. Luruskan akidah dengan menyadari


bahwa ujian yang menimpa ini datang dari Allah yang Maha Pengasih, yang
mengasihi melebihi kasih sayang ibu, bahkan melebihi kasih sayang manusia kepada
diri sendiri. Allah Maha Suci, Dialah yang menguji manusia, dan ujian itu
merupakan kasih sayang-Nya kepada hambanya. Dalam hal ini Rasulullah Saw
bersabda: “Allah tidak menguji hamba-Nya yang beriman, menyangkut dirinya,
hartanya, atau anaknya, kecuali untuk salah satu dari dua tujuan, yakni mungkin
mempunyai dosa yang tidak bisa diampunkan kecuali dengan ujian ini atau ia akan
memperoleh derajat di sisi Allah yang tidak bisa dicapainya kecuali dengan ujian ini.

Prasangka baik kepada Allah berarti menyadari bahwa musibah yang menimpa itu
merupakan kebaikan bagi manusia itu sendiri, dan itu pasti, akan tetapi banyak
orang yang tidak mengetahuinya. Allah berfirman: “Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS Al-Baqarah [2]: 216).

3. Tidak disibukkan dengan ujian dan cobaan itu, sehingga melupakan “yang
memberi ujian dan cobaan”, yaitu Allah Swt. Banyak orang sakit yang sibuk dengan
ujian yang dihadapinya, semua pemikiran mereka terfokus pada mencari dokter,
pergi ke laboratorium, melakukan terapi radiologi, dan berbagai terapi modern
lainnya, dan seterusnya, tetapi lupa kepada Tuhannya. Padahal sepatutnya, manusia
justru lebih dekat kepada Rabbnya pada saat sakit. Akan lebih bermanfaat dan lebih
memberikan harapan jika pada saat sakit ia mengadu sepenuh hati kepada Rabbnya
sambil berusaha mencari obat. Dalam sebuah hadist Qudsi disebutkan bahwa Allah
Swt berfirman kepada seorang hamba pada hari kiamat: “Hamba-Ku, Aku sakit
tetapi engkau tidak menjenguk-Ku!” Si hamba berkata, ‘Ya Rabb, bagaimana aku
menjenguk-Mu, sedangkan Engkau Rabb semesta alam?’ Allah berfirman, ‘Tidak
tahukah engkau, bahwa hamba-Ku si fulan sakit, tetapi engkau tidak menjenguknya.
Tidakkah engkau tahu, jika engkau menjenguknya, niscaya engkau mendapati-Ku di
sisinya?”
4. Para ulama mengatakan bahwa dalam hadist ini terdapat petunjuk mengenai
kedekatan Allah kepada orang-orang yang hatinya sudah patah harapan kepada
selain Allah. Kedekatan yang tentu saja selaras dengan keagungan dan
kemahasempurnaan-Nya, “Tiada sesuatu yang seperti-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”

5. Seyogiyanya berpikir tentang hikmah Ilahi dari musibah yang menimpa itu. Allah
Maha Bijaksana, ketetapan dan takdir-Nya tidak lepas dari hikmah itu. Allah Swt
berfirman, “Apapun musibah yang menimpamu, maka disebabkan oleh
perbuatanmu sendiri dan Dia memaafkan banyak (kesalahanmu).” (QS Al-Syuura:
30).

Diriwayatkan dari yang Abdurrahman ibn Sa’id, dari ayahnya, ia berkata: Suatu
ketika saya bersama Salman menjenguk seorang sakit di Kindah. Ketika datang
kepadanya, ia berkata, “Bergembiralah, karena sesungguhnya sakit orang mukmin
itu oleh Allah dijadikan sebagai kafarat (penebus) dan penghapus dosa. Sedangkan
sakit orang pendosa itu seperti unta yang diikat oleh pemiliknya, kemudian
dilepaskan oleh mereka, ia tidak tahu mengapa diikat dan mengapa kemudian
dilepaskan? Ketika Ibnu Sirin dilanda kesedihan, ia berkata, “ Aku tahu penyebab
kesedihan ini, yakni sebuah dosa yang kulakukan empat puluh tahun yang lalu.”
Ahmad bin Abi Hawari berkata, “Dosa-dosa orang-orang di masa itu sedikit,
sehingga mereka tahu dosa manakah yang menjadi penyebab, akan tetapi dosa-dosa
kita banyak sekali, sehingga kita tidak tahu, dosa manakah yang menyebabkan
musibah kita.”

Kita harus mencari tahu, dosa manakah yang menyebabkan musibah datang kepada
kita. Semoga dengan taubat dan kesungguhan kita kembali kepada Allah, Allah
menghapuskan bencana itu.

6. Meyakini bahwa berobat merupakan satu sebab. Pengobatan adalah satu sebab,
operasi adalah satu sebab, obat adalah satu sebab, semua itu semata-mata sebab.
Sedangkan suatu sebab tidak bisa memberikan efek apapun kecuali dengan izin
Allah. Rasulullah Saw bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat mengenai
penyakit, maka ia akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.” (HR Muslim).
“Allah tidak menurunkan penyakit kecuali ada penangkalnya, penangkal itu ada
yang diketahui dan ada pula yang tidak mengetahuinya.” (HR Al-Hakim).

Nabi menyebutkan sebab-sebab datangnya kesembuhan, yakni pertama, mempunyai


pengetahuan tentang sebab penyakit dan pengobatannya; dan kedua, yang benar
mengenai permasalahan ini adalah hendaklah ia mengetahui benar penyakitnya
(dengan benar dan dengan diagnosa yang akurat), dan resep yang diberikan
hendaklah tepat. Dan syarat terakhir dan terpenting adalah adanya izin dari Allah
untuk diperolehnya kesembuhan. Karena itu, salah satu doa Nabi Saw adalah: “Ya
Allah, Engkau adalah Asy-Syafi (Maha Menyembuhkan), tidak ada kesembuhan
selain kesembuhan dari-Mu.”

7. Kita harus yakin bahwa yang memberikan kesembuhan adalah Allah, bukan
dokter atau obat. Penyembuh itu Allah, karena itu hendaklah hati kita tergantung
kepada Allah saja, bukan kepada sebab-sebab kesembuhan. Ketergantungan hati
kepada sebab-sebab merupakan kesyirikan. []

Pertanyaan ; - bagaiman cara untuk menambah kekusuan shalat


10 Kriteria Pemimpin Menurut Ajaran Islam

Dalam Islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan tentang pemimpin yang baik diantaranya :

1. Beriman dan Beramal Shaleh


Ini sudah pasti tentunya. Kita harus memilih pemimpin orang yang beriman,
bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan
jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan
bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan
keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh.

2. Niat yang Lurus


Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Karena
suatu amalan itu bergantung pada niatnya, itu semua telah ditulis dalam H.R bukhari-muslim Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh
‘Umar bin al-Khaththāb r.a, dia menjelaskan bahwa dia mendengar Rasulullah s.a.w bersabda:

“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan
niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa
yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya
sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”

Karena itu hendaklah menjadi seorang pemimpin hanya karena mencari keridhoan ALLAH saja dan sesungguhnya kepemimpinan
atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.

3. Laki-Laki
Dalam Al-qur'an surat An nisaa' (4) :34 telah diterangkan bahwa laki laki adalah pemimpin dari kaum wanita.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri (maksudnya tidak berlaku serong ataupun curang serta
memelihara rahasia dan harta suaminya) ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara “

(mereka; maksudnya, Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik).

Ayat ini menegaskan tentang kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita. Menurut Imam Ibnu Katsir, lelaki itu adalah
pemimpin wanita, hakim atasnya, dan pendidiknya. Karena lelaki itu lebih utama dan lebih baik, sehingga kenabian dikhususkan
pada kaum lelaki, dan demikian pula kepemimpinan tertinggi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.”(Hadits Riwayat Al-
Bukhari dari Hadits Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya).

4. Tidak Meminta Jabatan

Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,


”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi
pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena
permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika
kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu
akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

5. Berpegang pada Hukum Allah


Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.
Allah berfirman,

”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-
Maaidah:49).

6. Memutuskan Perkara Dengan Adil


Rasulullah bersabda,

”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya


pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan,
atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah
dalam kitab Al-Kabir).

7. Menasehati rakyat
Rasulullah bersabda,

”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak
bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan
masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”

8. Tidak Menerima Hadiah


Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti
mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh
karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.
Rasulullah bersabda,

” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).


9. Tegas
ini merupakan sikap seorang pemimpin yang selalu di idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan berarti
otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah serta
melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah, SWT dan rasulnya.

10. Lemah Lembut


Doa Rasullullah :

"Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan
barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah
lembutlah kepadanya"

Selain poin- poin yang ada di atas seorang pemimpin dapat dikatakan baik bila ia memiliki STAF. STAF disini
bukanlah staf dari pemimpin, melainkan sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin tersebut. STAF yang
dimaksud di sini adalah Sidiq(jujur), Tablig(menyampaikan), amanah(dapat dipercaya), fatonah(cerdas)
Sidiq itu berarti jujur.

Bila seorang pemimpin itu jujur maka tidak adalagi KPK karena tidak adalagi korupsi yang terjadi dan jujur
itu membawa ketenangan, kitapun diperintahkan jujur walaupun itu menyakitkan.Tablig adalah
menyampaikan, menyampaikan disini dapat berupa informasi juga yang lain. Selain menyampaikan seorang
pemimpin juga tidak boleh menutup diri saat diperlukan rakyatnya karena Rasulullah bersabda,

”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan
kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.”
(Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).

Amanah berarti dapat dipercaya. Rasulullah bersabda,

” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat
Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).

Karena itu seorang pemimpin harus ahli sehingga dapat dipercaya.Fatonah ialah cerdas. Seorang pemimpin
tidak hanya perlu jujur, dapat dipercaya, dan dapat menyampaikan tetapi juga cerdas. Karena jika seorang
pemimpin tidak cerdas maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah rakyatnya dan ia tidak dapat
memajukan apa yang dipimpinnya.

Setelah kita mengetahui sebagian ciri- ciri pemimpin menurut islam. Marilah kita memilih dan membuat diri
kita mendekati bahkan jika bisa menjadi seperti ciri- ciri pemimpin diatas karena kita merupakan
Mahasiswa dan sebagai penerus bangsa.
IHDATUNNISA
Sabtu, 15 Ruah 1938 H,20 April2019 M

Kewajiban Mendidik Anak

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

‫ فَ ُكلُّ ُك ْم‬،ِ‫ت زَ ْو ِج َها َو َولَ ِده‬ َ ٌ‫ َو ْال َم ْرأَة ُ َرا ِعيَة‬،‫الر ُج ُل َراعٍ َعلَى أَ ْه ِل بَ ْيتِ ِه‬
ِ ‫علَى بَ ْي‬ َّ ‫ َو‬،ٍ‫ َواْأل َ ِمي ُْر َراع‬،‫ َو ُكلُّ ُك ْم َمسْؤُ و ٌل َع ْن َر ِعيَّتِ ِه‬،ٍ‫ُكلُّ ُك ْم َراع‬
ُّ
‫ َو ُكل ُك ْم َمسْؤُو ٌل َع ْن َر ِعيَّتِ ِه‬،ٍ‫راع‬. َ

“Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung jawab atas orang yang
dipimpinnya. Seorang Amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya,
dan isteri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Kamu sekalian adalah pemimpin
dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.” [1]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

‫ع ْن أَ ْه ِل َب ْيتِ ِه‬ َّ ‫ضيَّ َع؟ َحتَّى َي ْسأ َ َل‬


َ ‫الر ُج َل‬ َ ‫ظ ذَلِكَ أ َ ْم‬
َ ‫سائِ ٌل ُك َّل َراعٍ َع َّما ا ْست َْر َعاهُ أ َ َح ِف‬
َ َ‫ ِإ َّن هللا‬.

“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah
ia pelihara ataukah ia sia-siakan, hingga seseorang ditanya tentang keluarganya.” [2]

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak, di antaranya:

1. Mendidik anak dengan cara-cara yang baik dan sabar agar mereka mengenal dan mencintai Allah,
yang menciptakannya dan seluruh alam semesta, mengenal dan mencintai Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, yang pada diri beliau terdapat suri tauladan yang mulia, serta agar mereka mengenal
dan memahami Islam untuk diamalkan. Ajarkanlah Tauhid, yaitu bagaimana mentauhidkan Allah, dan
jauhkan serta laranglah anak dari berbuat syirik. Sebagaimanan nasihat Luqman kepada anaknya,

‫ظ ْل ٌم َع ِظي ٌم‬
ُ َ‫اَّللِ ۖ ِإ َّن الش ِْركَ ل‬
َّ ‫ي َِل ت ُ ْش ِر ْك ِب‬ ُ ‫َو ِإذْ قَا َل لُ ْق َمانُ ِِل ْبنِ ِه َوه َُو َي ِع‬
َّ َ‫ظهُ َيا بُن‬

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya,
‘Wahai anakku! Janganlah engkau memperskutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’” [Luqman: 13]

2. Pada usia balita (sekitar 2-5 tahun), kita ajarkan kepada mereka kalimat-kalimat yang baik serta
bacaan Al-Qur-an, sebagaimana yang dicontohkan oleh para Shahabat dan generasi Tabi’in dan
Tabi’ut Tabi’in, sehingga banyak dari mereka yang sudah hafal Al-Qur-an pada usia sangat belia.
Allah telah memberikan kelebihan kepada manusia pada masa kecilnya dengan kemampuan
menghafal yang luar biasa. Oleh karena itu, orang tua harus pandai memanfaatkan kesempatan untuk
mengajarkan anak-nya dengan hal-hal yang bermanfaat pada usia-usia balita. Usaha ini harus terus
dijalankan, meskipun mungkin di sekitar tempat tinggal kita tidak ada sekolah semacam tahfizhul Qur-
an. Kita dapat mengajarkannya di rumah kita, dengan kemampuan kita, karena pada dasarnya Al-Qur-
an itu mudah.

3. Perhatian terhadap shalat juga harus menjadi prioritas utama bagi orang tua kepada anaknya. Shalat
merupakan tiang agama, jika seseorang melalaikannya niscaya agama ini tidak bisa tegak pada dirinya.
Shalat ini pulalah yang pertama kali akan dihisab oleh Allah di akhirat. Untuk itulah, hendaknya orang
tua dengan tiada bosan senantiasa memberikan contoh dengan shalat di awal waktu dengan berjama’ah
di masjid, mengajaknya serta menanyakan kepada anaknya apakah dia telah menunaikan shalatnya
ataukah belum.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggal-
kan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak
wanita).” [3]

Mengajak isteri dan anak kita untuk melaksanakan shalat di awal waktu, merupakan salah satu
perintah dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita
untuk tetap sabar dalam menunaikan kewajiban ini, termasuk sabar dalam mengingatkan isteri dan
anak kita untuk tetap menegakkannya.

‫طبِ ْر َعلَ ْي َها ۖ َِل نَ ْسأَلُكَ ِر ْزقًا ۖ نَحْ نُ ن َْر ُزقُكَ ۗ َو ْالعَاقِبَةُ ِللتَّ ْق َوى‬
َ ‫ص‬ َّ ‫َوأْ ُم ْر أ َ ْهلَكَ بِال‬
ْ ‫ص ََلةِ َوا‬

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak
meminta rizki kepadamu, Kami-lah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat)
adalah bagi orang yang bertaqwa.” [Thaahaa : 132]

Seseorang yang lalai dalam shalatnya, maka ia akan mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman
Allah:

َ‫ف َي ْلقَ ْون‬ َ َ‫ت ۖ ف‬


َ ‫س ْو‬ َّ ‫ص ََلةَ َواتَّبَعُوا ال‬
ِ ‫ش َه َوا‬ َّ ‫ضاعُوا ال‬ ٌ ‫ف ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم خ َْل‬
َ َ‫ف أ‬ َ َ‫فَ َخل‬

“Kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti
keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat.” [Maryam (19): 59]

Bentuk menyia-nyiakan shalat di antaranya adalah melalaikan kewajiban shalat, menyia-nyiakan


waktu shalat dengan tidak melaksanakannya di awal waktu. Yang dengan sebab itu, mereka akan
menemui kesesatan, kerugian dan keburukan.

Wallaahu a’lam bish shawaab.[4]


4. Perhatian orang tua kepada anaknya juga dalam hal akhlaknya.
Anak harus diajarkan akhlak yang mulia, jujur, berkata baik dan benar, berlaku baik kepada keluarga,
saudara, tetangga, juga menyayangi yang lebih kecil serta menghormati yang lebih tua, dan yang harus
menjadi penekanan utama adalah akhlak (berbakti) kepada orang tua.

Durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar yang paling besar setelah syirik (menyekutukan
Allah). Orang tua haruslah memberikan teladan kepada anaknya dengan cara dia pun berbakti kepada
orang tuanya dan berakhlak mulia.

5. Juga perlu diperhatikan teman pergaulan anaknya, karena sangat bisa jadi pengaruh jelek temannya
akan berimbas pada perilaku dan akhlak anaknya.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ُ ‫ فَ ْليَ ْن‬،‫علَى ِدي ِْن َخ ِل ْي ِل ِه‬


‫ظ ْر أ َ َحدُ ُك ْم َم ْن يُخَا ِل ُل‬ َّ َ ‫ا‬.
َ ‫لر ُج ُل‬

“Seseorang bergantung pada agama temannya. Maka hendaknya ia melihat dengan siapa dia
berteman.” [5]

Apalagi kita mengetahui bahwa sesuatu yang jelek akan mudah sekali mempengaruhi hal-hal yang
baik, namun tidak sebaliknya, terlebih dalam pergaulan muda-mudi seperti sekarang ini yang
cenderung melanggar batas-batas etika seorang muslim. Mereka saling berkhalwat (berdua-duaan
antara lawan jenis), sehingga bisikan syaitan mudah sekali menjerumuskan dirinya ke jurang
kenistaan.

6. Berdo’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu-waktu yang mustajab


Di samping ikhtiar yang dilakukan untuk menjadikan isterinya sebagai isteri yang shalihah, hendaknya
sang suami juga memanjatkan do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu-waktu yang mustajab
(waktu terkabulkannya do’a), seperti sepertiga malam yang terakhir, agar keluarganya dijadikan
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, agar dia, isterinya, dan anak-anaknya dijadikan orang-
orang yang shalih dan shalihah.

Seperti do’a yang tercantum di dalam Al-Qur-an:

‫اجنَا َوذ ُ ِريَّاتِنَا قُ َّرة َ أَ ْعي ٍُن َواجْ عَ ْلنَا ِل ْل ُمتَّقِينَ إِ َما ًما‬
ِ ‫َربَّنَا هَبْ لَنَا ِم ْن أ َ ْز َو‬

“…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan
: 74]

Paling tidak, seorang suami hendaknya bisa menjadi teladan dalam keluarganya, dihormati oleh sang
isteri dan anak-anaknya, kemudian mereka menjadi hamba-hamba Allah yang shalih dan shalihah,
bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
… Rajab 1439 H/ Sabtu, 23 Maret 2019

Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa’ ayat 36:

‫ب‬
ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َّ ‫ب َوال‬ ِ ُ‫ار ْال ُجن‬
ِ ‫ار ذِي ْالقُ ْربَى َو ْال َج‬ ِ ‫ين َو ْال َج‬ َ ‫سانًا َوبِذِي ْالقُ ْربَى َو ْاليَت َا َمى َو ْال َم‬
ِ ‫سا ِك‬ َ ْ‫ش ْيئًا ۖ َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن إِح‬
َ ‫َّللاَ َو َِل ت ُ ْش ِر ُكوا بِ ِه‬
َّ ‫َوا ْعبُد ُوا‬
‫ورا‬ َّ ‫َت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ِإ َّن‬
ً ‫َّللاَ َِل ي ُِحبُّ َم ْن َكانَ ُم ْخت ًَاِل فَ ُخ‬ ْ ‫س ِبي ِل َو َما َملَك‬
َّ ‫ب َواب ِْن ال‬ ْ
ِ ‫ِبال َج ْن‬

“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil [1], dan hamba sahaya yang kamu miliki.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” [An-Nisaa’ :
36]

Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir jika mereka
mengajak kepada kekafiran:

َ‫ي َم ْر ِجعُ ُك ْم فَأُن َِبئ ُ ُك ْم ِب َما ُك ْنت ُ ْم تَ ْع َملُون‬


َّ َ‫ْس لَكَ ِب ِه ِع ْل ٌم فَ ََل ت ُ ِط ْع ُه َما ۚ ِإل‬
َ ‫سانَ ِب َوا ِلدَ ْي ِه ُح ْسنًا ۖ َو ِإ ْن َجا َهدَاكَ ِلت ُ ْش ِركَ ِبي َما لَي‬ ِ ْ ‫ص ْينَا‬
َ ‫اْل ْن‬ َّ ‫َو َو‬

“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai
ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan
akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut (29): 8] Lihat juga surat
Luqman ayat 14-15.

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN PAHALANYA

1. Merupakan Amal Yang Paling Utama


‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.

‫ي؟‬ُّ َ‫ قُ ْلتُ ث ُ َّم أ‬:َ‫ قَال‬،‫ بِ ُّر ْال َوا ِلدَي ِْن‬:َ‫ي؟ قَال‬
ُّ َ‫ قَا َل قُ ْلتُ ث ُ َّم أ‬،‫صَلَة ُ َعلَى َو ْقتِ َها‬ َ ‫ي ْالعَ َم ِل أ َ ْف‬
َّ ‫ اَل‬:َ‫ضلُ؟ قَال‬ ُّ َ ‫سلَّ َم أ‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫سأ َ ْلتُ َر‬
َ ِ‫سو َل هللا‬ َ
ِ‫س ِب ْي ِل هللا‬َ ‫ ْال ِج َهادُ فِي‬:َ‫قَال‬

“Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat
di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua
orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ [2]

2. Ridha Allah Bergantung Kepada Ridha Orang Tua


Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan:

‫ب‬ِ ‫الر‬ َّ ‫ط‬ ُ ‫س ْخ‬ ُ ‫ َو‬،ِ‫ضا ْال َوا ِلد‬


َ ‫ب فِي ِر‬
ِ ‫الر‬ َ ‫ ِر‬:َ‫سلَّ َم قَال‬
َّ ‫ضا‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ي هللاُ َع ْن ُه َما أ َ َّن َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ َ ‫ض‬ ِ َ‫َع ْن َع ْب ِد هللاِ ب ِْن َع ْم ِرو ب ِْن ْالع‬
ِ ‫اص َر‬
‫س ْخ ِط ْال َوا ِل ِد‬
ُ ‫فِي‬
“Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung
kepada kemurkaan orang tua” [3]

3. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang Sedang Dialami
Yaitu, dengan cara bertawassul dengan amal shalih tersebut. Dalilnya adalah hadits riwayat dari Ibnu
‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah
seorangnya bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.

Haditsnya sebagai berikut:

ُ‫ ِإنَّه‬: ‫ فَقَالُ ْوا‬.‫َار‬ َ ‫َّت َعلَ ْي َها ْالغ‬ ْ ‫سد‬ َ َ‫ص ْخ َرة ٌ ِمنَ ْال َج َب ِل ف‬ َ ‫ت‬ ٍ ‫ط َلقَ ثََلَثَةُ َر ْهطٍ ِم َّم ْن َكانَ َق ْب َل ُك ْم َحتَّى أ َ َو ُوا ْال َم ِبيْتَ ِإلَى غ‬
ْ ‫ فَا ْن َحدَ َر‬،ُ‫َار فَدَ َخلُ ْوه‬ َ ‫ا ْن‬
ْ َ
‫ان َوك ْنتُ أغبِ ُق قَ ْب َل ُه َما‬ ُ ِ ‫َان َكبِي َْر‬ِ ‫ش ْيخ‬ َ ‫ان‬ َ َّ ُ َ
ِ ‫ اَلل ُه َّم َكانَ ِلي أبَ َو‬:‫ فَقَا َل َر ُج ٌل ِم ْن ُه ْم‬.‫صا ِلحِ أ ْع َما ِلك ْم‬ َ َّ
َ ِ‫صخ َرةِ إِِل أ ْن تَدْع ُْوا هللاَ ب‬ ْ َّ ‫ِلَيُ ْن ِج ْي ُك ْم ِم ْن َه ِذ ِه ال‬
‫ فَك َِرهْتُ أَ ْن أَ ْغ ِبقَ قَ ْبلَ ُه َما‬.‫َام فَ َحلَبْتُ لَ ُه َما َغب ُْوقَ ُه َما فَ َو َجدْتُ ُه َما نَائِ َمي ِْن‬ ُ
َ ‫ش ْي ٍئ يَ ْو ًما فَلَ ْم أ ِر ْح َعلَ ْي ِه َما َحتَّى ن‬
َ ‫ب‬ ِ َ‫طل‬ َ ‫ فَنَأَى ِبي فِي‬،ً‫أَ ْهَلً َو ِلَ َماِل‬
َ ْ َ ْ ُ ْ َّ َ َ َ َ َ َ ْ َّ
‫ الل ُه َّم إِن كنتُ فعَلتُ ذلِكَ ا ْبتِغَا َء‬.‫ي أنت َِظ ُر ا ْستِيقاظ ُه َما َحتى بَ َرقَ الفَجْ ُر فا ْست َ ْيقظا فش َِربَا َغبُوق ُه َما‬ َ َ ْ َ َّ َ‫ فَلَبِثْتُ َو ْالقَدَ ُح َعلى يَد‬،ً‫أ َ ْهَلً أ َ ْو َماِل‬
َ
‫ش ْيئًا‬
َ ‫ت‬ ْ ‫ فَا ْنفَ َر َج‬،ِ‫ص ْخ َرة‬ َّ ‫َوجْ ِهكَ فَفَ ِرجْ َعنَّا َما نَحْ نُ فِ ْي ِه ِم ْن َهذِه ال‬

“ …Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang berjalan, lalu kehujanan. Mereka
berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah
batu besar runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: ‘Ingatlah amal
terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul
melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di
antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesung-guhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut
usia sedangkan aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing,
ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum
orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga
pulang sudah larut malam dan aku dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu
sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun
keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan
aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku
perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi
hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu
kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena
mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’ Maka batu yang menutupi pintu gua itu pun
bergeser sedikit..”[4]

4. Akan Diluaskan Rizki Dan Dipanjangkan Umur


Sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam

ِ َ‫سأ َ لَهُ فِي أَث َ ِر ِه فَ ْلي‬


ُ‫ص ْل َر ِح َمه‬ َ ‫َم ْن أ َ َحبَّ أ َ ْن يُ ْب‬
َ ‫س‬
َ ‫ط فِي ِر ْزقِ ِه َويُ ْن‬

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan di-panjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyam-
bung silaturrahimnya.” [5]

Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada orang tua sebelum kepada yang
lain. Banyak di antara saudara-saudara kita yang sering berkunjung kepada teman-temannya, tetapi
kepada orang tuanya sendiri jarang, bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil, dia selalu
bersama orang tuanya. Sesulit apa pun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua
orang tua, karena dekat kepada keduanya -insya Allah- akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan
umurnya.

5. Akan Dimasukkan Ke Surga Oleh Allah ‘Azza wa Jalla


Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan merupakan jalan menuju
Surga. Sedangkan durhaka kepada orang tua akan mengakibatkan seorang anak tidak masuk Surga.
Dan di antara dosa-dosa yang Allah ‘Azza wa Jalla segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat
zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang anak berbuat baik kepada orang
tuanya, Allah akan menghindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla dan
akan dimasukkan ke Surga.

Kewajiban seorang istri solehah kepada sang suami.

1. Taatilah Perintah Seorang Suami

Dikisahkan, pada saat Ibunda ‘Aisyah tertimpa ujian tuduhan dusta, ia ingin pulang ke rumah ayah
bundanya. Ia tidak langsung pulang begitu saja, tetapi meminta izin dulu kepada suami. Ia bertanya,
“Apakah Anda (wahai Rasulullah) mengizinkan saya untuk mendatangi kedua orang tua saya?” [HR.
al-Bukhari no. 3826]

Seorang istri yang solehah adalah seorang istri yang mau menaati perintah suaminya, jadi kalau kamu
kelak menjadi seorang istri, maka kamu memiliki kewajiban untuk menaati perintah suamimu jika
kamu memang ingin menjadi istri solehah.

Namun ingat bahwa tidak semua perintah harus di taati. Karena jika suami memerintahkan hal yang
dilarang oleh Allah dan rasul-Nya dan berupa perkara maksiat, maka jangan pernah melakukannya.
Jadi lakukan dan taatilah perintah suami yang baik-baik saja.

2. Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Ijin Suami

Seorang istri yang solehah dan taat kepada suami, wajib untuk meminta ijin saat hendak bepergian
kemanapun, dan jangan pernah keluar rumah tanpa mengantogi ijin dari suamimu. Karena umat
muslim percaya bahwa jika seorang istri keluar dari rumah tanpa ijin suami, maka itu adalah salah satu
bentuk pembangkangan.

Dikisahkan, “Seorang lelaki yang keluar bermusafir telah berpesan kepada istrinya agar tidak turun
(keluar rumah) dari tingkat atas ke tingkat bawah. Bapak istrinya itu, yang tinggal di tingkat bawah,
lalu jatuh sakit. Kemudian istrinya mengutus seorang perempuan kepada Rasulullah SAW agar
memberi izin kepadanya turun untuk menziarahi bapaknya yang sedang sakit. Nabi SAW mengatakan,
‘Taatilah suamimu.’ Sampai suatu ketika sang ayah pun wafat. Si istri lalu mengutus lagi seseorang
kepada Rasulullah. Nabi SAW mengatakan, ‘Taatilah suamimu.’ Jenazah bapaknya pun
dikebumikan. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang kepada si istri untuk memberitakan bahwa
Allah telah menghapuskan dosa-dosa bapaknya lantaran ketaatannya kepada suami.”

3. Taatlah Kepada Suami Ketika Di Ranjang

Pemenuhan kebutuhan biologis adalah salah satu hal yang dianjurkan bagi sepasang suami istri, karena
hal itu menjadi salah satu bentuk ibadah pada Sang Pencipta. Jika berada dalam kondisi yang sehat dan
tanpa halangan, maka seorang istri wajib memenuhi kebutuhan biologis sang suami dengan taat.

Dari Abu Hurairah Nabi saw bersabda: “Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri
enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu subuh.” [HR. Bukhari dan
Muslim]

Untuk itu, istri haruslah dapat memenuhi kebutuhan suami di atas ranjang terkecuali ada udzur seperti
sakit, haidh, nifas, dan lain-lain maka bicarakanlah secara baik-baik dengan suami.

4. Tidak Mengizinkan Orang Lain Yang Tidak Dikenal Masuk Ke Rumah Tanpa Ijin
Suami

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Hak kalian (para suami) atas mereka (para istri)
adalah mereka tidak memasukkan seorangpun yang tidak kalian sukai ke rumah kalian. Jika mereka
melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas.” [HR. Muslim no.
1218]

Suami adalah kepala keluarga, perintahnya yang baik wajib ditaati oleh seorang istri, dan istri wajib
meminta ijin dalam segala hal kepada suami karena ini adalah salah satu bentuk seorang istri
menghargai seorang suami. Termasuk juga tidak mengijinkan seseorang asing masuk ke dalam rumah
jika tidak diijinkan oleh suami. Hal ini secara logika juga menyangkut pada keselamatan keluarga
yang menjadi tanggungjawab dan kewajiban seorang suami untuk menjaganya.

5. Tidak Berpuasa Sunnah Tanpa Izin Suami

Berpuasa adalah sebuah ibadah, namun jika seorang istri berpuasa sunnah tanpa ijin dari suami, maka
ia telah melakukan keharaman. Mengapa bisa begitu?

“Tidak halal bagi istri berpuasa (sunnah, –pen.) dalam keadaan suaminya ada di rumah, kecuali
dengan izin sang suami.” [Hadits shahih, riwayat al-Bukhari 7/39, Muslim dengan syarah an-Nawawi
7/115]

Karena istri yang berpuasa sunnah tanpa ijin dari suami itu artinya ia telah melalaikan hak suami yang
menjadi kewajiban istri. Karena kewajiban mentaati suami adalah hal yang wajib dan harus
diutamakan melebihi hal yang sunnah.
Sabtu, 20 Rabiul Akhir 1441 H/29 12-2018
Bagaimana Memaknai tahun baru masehibagi Seorang Muslim
Dalam menyongsong tahun baru (Hijriyyah), seorang mukmin adalah
sosok insan yang suka tafakkur (berpikir) dan tadzakkur (merenung)”

Tafakkur (berpikir) yang pertama, yaitu tafakkur hisab (intropeksi)

Dia memikirkan dan menghitung-hitung amalannya di tahun yang telah


silam, lalu dia teringat (tadzakkur) akan dosa-dosanya, hingga hatinya
menyesal, lisannya pun beristighfar memohon ampun kepada Rabbnya.

Tafakkur yang kedua, yaitu tafakkur isti’daad (persiapan)

Dia mempersiapkan ketaatan pada hari-harinya yang menjelang,


sembari memohon pertolongan kepada Tuhannya,agar bisa
mempersembahkan ibadah yang terindah kepada Sang Penciptanya,
terdorong mengamalkan prinsip hidupnya yang terdapat dalam ayat,

{‫إياك نع‬
‫} بد وإياك نستعين‬
“Hanya kepada-Mulah, kami beribadah dan hanya kepada-Mulah kami
menyembah”.

Bukankah hidup ini hakikatnya adalah perjalanan?

Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫سه ف ُمع ِتقها أو مو ِبقها‬


َ ‫الناس يغدو؛ فبائ ٌع نَف‬
ِ ‫كل‬
“Setiap hari, semua orang melanjutkan perjalanan hidupnya, keluar
mempertaruhkan dirinya. Ada yang membebaskan dirinya dan ada pula
yang mencelakakannya” (Hadits Riwayat Imam Muslim).

Tujuan hidup seorang Muslim

Sesungguhnya seorang Muslim, ketika meniti perjalanan hidupnya


memiliki tujuan. Ia melakukan perjalanan hidupnya agar dapat mengenal
siapa Allah. Dengan mengetahui nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Inilah
tujuan perjalanan hidup yang pertama ma’rifatullah (dalilnya: QS.Ath-
Thalaaq: 12). Kemudian dia iringi ma’rifatullah itu dengan ‘Ibadatullah
(beribadah dan ta’at kepada Allah). Dan inilah tujuan perjalanan hidup yang
kedua bagi seorang Muslim, yaitu agar dia bisa beribadah hanya kepada-Nya
saja dengan benar (dalilnya QS.Adz-Dzaariyaat : 56), ia persembahkan jiwa
raganya untuk Allah.

َ‫ب ْالعَالَ ِمين‬


ِ ‫اي َو َم َماتِي ِ ََّّللِ َر‬ َ ‫قُ ْل ِإ َّن‬
ُ ُ‫ص ََلتِي َون‬
َ َ‫س ِكي َو َم ْحي‬
(162) “Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

ُ ‫يك لَهُ ۖ َو ِبذَ ِل َك أ ُ ِم ْر‬


‫ت َو‬ َ ‫َِل ش َِر‬
َ ‫أَنَا أ َ َّو ُل ْال ُم ْس ِل ِم‬
‫ين‬
(163) “Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)” (QS. Al-An’aam:162-163).

Akhir perjalanan hidup seorang Muslim


Demikianlah kehidupan seorang Muslim terus melakukan perjalanan
hidup, berpindah dari satu bentuk ibadah ke bentuk ibadah yang lainnya,
baik dengan ibadah lahiriyah, hati, maupun keduanya, tanpa henti-hentinya.

ُ ‫َوا ْعبُ ْد َرب ََّك َحتَّى يَأ ْ ِتيَ َك ْاليَ ِق‬


‫ين‬
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini
(ajal)” (QS. Al-Hijr: 99).

Adapun akhir perjalanan adalah surga, di dalamnyalah tempat peristirahatan


muslim yang abadi, istirahat dari letihnya perjalanan sewaktu di dunia
dahulu, menikmati kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tak pernah
didengar telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati manusia.

ُ ‫س َم َاو‬
‫ات‬ َّ ‫ض َها ال‬ َ ‫عوا ِإلَى َم ْغ ِف َرةٍ ِم ْن َر ِب ُك ْم َو َجنَّ ٍة‬
ُ ‫ع ْر‬ ُ ‫ار‬
ِ ‫س‬ َ ‫َو‬
‫ين‬ ْ َّ‫ض أ ُ ِعد‬
َ ‫ت ِل ْل ُمت َّ ِق‬ ُ ‫َو ْاأل َ ْر‬
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa” (QS.Ali ‘Imran : 133).

Lebih dari itu, ia akan merasakan kenikmatan tertinggi, yaitu bisa melihat
wajah Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

ٌ‫ون ِفي َها َولَدَ ْينَا َم ِزيد‬


َ ‫لَ ُه ْم َما يَشَا ُء‬
”Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada
sisi Kami ada tambahannya” (QS.Qaaf : 35). (Olah dari artikel Syaikh
Abdur Razzaq, dalam halaman web

Ironis
Negara kita yang tercinta ini, dengan penduduk yang mayoritas kaum
muslimin, yang seharusnya memiliki prinsip dan sikap seperti apa yang telah
disebutkan di atas ternyata setiap malam tahun baru masehi, di setiap kota
besar khususnya, marak bermunculan acara-acara besar untuk merayakan
tahun baru tersebut. Dan jujur kita katakan, bahwa barangkali tidak ada satu
pun dari acara-acara tersebut yang terbebas dari kemaksiatan. Bahkan,
mungkin Anda bergumam Bukan hanya maksiat, tapi juga menelan dana
yang besar.

Coba renungkan, berapa puluh milyar anggaran yang dikeluarkan untuk


menyambut tahun baru di ibu kota negara maupun kota-kota provinsi?
Dengan biaya itulah, ratusan panggung “hiburan” di berbagai penjuru kota-
kota besar justru difasilitasi secara resmi dengan segala hingar bingarnya
yang didukung dengan besarnya dana. Uang pun dihambur-hamburkan untuk
menghiasi jalan-jalan kota, “pesta” terompet, mercon, dan kembang api .

Berbagai bentuk kemaksiatan pun dapat mudah ditemukan di banyak tempat,


bukan hanya di tengah kota, jalan besar, taman kota, hotel, dan kafe.
Sampai-sampai di sebagian lapangan desa dan jalan kampung pun, tidak
jarang kemaksiatan mudah ditemukan di malam tahun baru masehi itu.

Anda mungkin juga menyukai