Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN ALO

PADA KASUS CKD DENGAN ALO + HD

RUANG HEMODIALISA RSU. DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Nayla Rifa’atul aulia (P17221174068)

S.Tr.Kep 2B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG

2019
A. Definisi Alo
Edema paru adalah penumpukan abnormal cairan di dalam paru-paru, baik dalam
spasium interstisial atau dalam alveoli. Cairan bocor melalui dinding kapiler, merembes ke
jalan napas, dan menimbulkan dispnea hebat (Baughman, 2000). Edema paru disebabkan
oleh adanya peningkatan tekanan hidrostatis dan peningkatan permeabilitas kapiler paru
(Muttaqin, 2011).
Pada keadaan normal, cairan intravaskular merembes ke jaringan interstisial
melalui kapiler endolitium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan
mengalir ke pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi
(Flick, 2000; Hollenberg, 2003 dalam Nendrastuti, 2010).

B. ETIOLOGI ALO
a. Edema paru kardiogenik
Penyebab edema paru kardiogenik adalah gagal jantung kiri. Edema paru kardiogenik
jarang terjadi pada klien yang memiliki ukuran jantung normal, kecuali pada infark
miokard akut. Efusi pleura jarang terjadi pada ARDS, jika ada, hal ini menandakan
adanya peningkatan tekanan kapiler paru (Muttaqin, 2011).
b. Sindrom kongesti vena
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada klien dengan
kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung normal. Ekspansi volume
intravaskular tidak perlu terlalu besar untuk terjadinya kongesti vena, karena
vasokonstriksi sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume darah ke dalam
sirkulasi sentral. Sindrom ini sering terjadi pada klien yang mendapat cairan kristaloid
atau darah intravena dalam jumlah besar, terutama pada klien dengan gangguan fungsi
ginjal. (Muttaqin, 2011).
c. Edema paru Neurogenik
Keadaan ini terjadi pada klien dengan gangguan sistem saraf pusat dan pot ictal.
Mekanisme diduga dengan adanya rangsangan hipotalamus yang menyebabkan
rangsangan pada sistem adrenergik, yang kemuadian menyebabkan pergeseran volume
darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmonal dan penurunan komplians ventrikel
kiri. Edema paru neurogenik sering terjadi pada klien dengan trauma kepala, tetapi
dapat juga berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial karena berbagai
sebab (Muttaqin, 2011).
d. Edema paru karena ketinggian tempat
Edema paru akan terjadi pada orang normal yang berada pada ketinggian 2700 m (9000
kaki) tampa faktor precipitasi. Diduga mekanismenya adalah hipoksia karena
ketinggian menyebabkan hipertensi pulmonal. Keluhan awal adalah batuk kering,
sesak napas, dan sakit atau perasaan tertekan di daerah substernal (Muttaqin, 2011).
e. Insufisiensi paru pasca trauma
Insufisiensi paru pascatrauma dapat timbul tanpa adanya trauma langsung pada paru.
Penyebab insufisiensi paru pasca trauma masih belum jelas, penelitian menyebutkan
adanya fibrin dan mikroemboli trombosit dalam vaskularisasi paru sebagai penyebab
terjadinya insufisiensi paru (Muttaqin, 2011).
f. Aspirasi cairan lambung
Aspirasi cairan lambung dapat menyebabkan ARDS (Adult Respiratory Distress
Syndrome). Pada keadaan yang berat dapat terjadi hipotensi yang mungin disebabkan
oleh penurunan refleks curah jantung melalui saraf vagus (Muttaqin, 2011).
g. Sepsis
Septikemia karena infeksi ekstrapulmonal merupakan faktor penyebab peting edema
paru karena peningkatan permeabilitas kapiler paru (Muttaqin, 2011).
h. Overdosis heroin (narkotika)
Terjadi edema paru karena peningkatan permeabilitas kapiler paru (Muttaqin, 2011).
i. Inhalasi asap dan luka bakar saluran pernapasan
Dapat menyebabkan lesi paru yang dapat mengarah pada edema paru (Muttaqin, 2011).
j. Inhalasi bahan kimia toksik
Dapat menyebabkan lesi paru yang dapat mengarah pada edema paru. Edema paru
dapat disebabkan oleh paparan terhadap fosgen, klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur
dioksida, oksida metalik, uap asam, dan uap bahan kimia komples lainnya (Muttaqin,
2011).
k. Toksisitas oksigen
Oksigen konsentrasi tinggi dapat bersifat toksik pada paru. Lesi yang ditimbulkan mirip
dengan lesi pada edema paru karena peningkatan permeabilitas kapiler paru. Perubahan
awal yang terjadi adalah penebalan ruang interstisial oleh cairan edema yang berisi
serat fibrin, leukosit, trombosit, dan makrofag (Muttaqin, 2011).
l. Near drowning
Pada saat tenggelam, korban biasanya mengaspirasi sejumlah besar air. Air tawar
bersifat hipotonis dan air laut bersifat hipertonis relatif terhadap darah. Perbedaan
tersebut yang menyebabkan terjadinya pergerakan cairan melalui membran alveolar
kapiler ke dalam darah atau ke dalam paru (Muttaqin, 2011).
m. Emboli lemak
Kerusakan paru terjadi melalui hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh embolisasi
dan trombositopenia yang diinduksi oleh lemak yang bersirkulasi atau koagulasi dan
lisis fibrin dalam paru. Emboli lemak banyak ditemukan pada kasus fraktur tulang
panjan, terutama femur atau tibia (Muttaqin, 2011).
n. Uremia
Edema paru sering terjadi pada klien dengan gagal ginjal. Pada banyak klien ditemukan
juga kasus gagal jantung kiri sebagai akibat kombinasi anemia, hipertensi,
aterosklerosis, dan kalsifikasi vaskular. Pada beberapa klien, peningkatan volume
intravaskular dan plasma dapat menyebabkan sindrom kongesti vena tanpa adanya
penyakit atau kelainan miokard. Walaupun demikian, edema paru dapat terjadi pada
klien dengan tekanan kapiler paru yang normal, dan edema paru dapat hilang setelah
di dialisis (Muttaqin, 2011).
o. Pankreatitis
Pelepasan zat-zat seperti tripsin, fosfolipase A, dan kalikrein selama pankreatitis
diduga mendasari mekanisme terjadinya edema paru (Muttaqin, 2011).
p. Edema paru merupakan komplikasi pada 0,5% persalinan dan dilaporkan berkaitan
terutama dengan preeklamsia, persalinan prematur, bedah janin, dan infeksi.
Pemakaian agonis beta untuk mencegah persalinan dilaporkan berhubungan dengan
edema paru. Kasus-kasus ini sering dicetuskan oleh persalinan melalui operasi yang
disertai kehilangan darah, anemia, dan infeksi (Leveno, 2009).
q. ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome) merupakan suatu diagnosis
patofisiologis. Penyait ini mencakup cedera epitel elveolus paru menetap yang terjadi
melalui saluran napas dan cedera endotel menetap yang terjadi melalui jaringan
pembuluh darah paru. Neutrofil, setelah direkrut ke tempat peradangan oleh berbagai
kemokin, berakumulasi dan memicu cedera jaringan dengan mengeluarkan sitokin. Hal
ini menyebabkan peningkatan permeabilitas kepiler paru, penurunan volume paru, dan
pembentukan pirau yang kemudian menyebabkan hipoksemia arteri (Leveno, 2009).

C. MANIFESTASI KLINIS ALO


a. Serangan khas terjadi pada malam hari setelah berbaring selama beberapa jam dan
biasanya didahului dengan rasa gelisah ansietas, dan tidak dapat tidur.
b. Awitan sesak napas mendadak dan rasa asfiksia (seperti kehabisan napas), tangan
menjadi dingin dan basah, bantalan kuku menjadi sianotik, dan warna kulit menjadi
abu-abu
c. Nadi cepat dan lemah, vena leher distensi
d. Alveolus yang penuh cairan menyebabkan hipoksemia arteri dan dapat disertai batuk
dan sputum kemerahan ( frothy).
e. Dengan makin berkembangnya edema paru, ansietas berkembang mendekati panik,
pasien mulai bingung kemudian stupor.
f. Napas menjadi bisisng dan basah, dapat mengalami asfiksia oleh cairan bersemu darah
dan berbusa (dapat tenggelam oleh cairan sendiri).
(Baughman, 2000)
PATHWAY ALO
Peningkatan tekanan hidrostatis paru Peningkatan permeabilitas kapiler paru

Terjadi peningkatan jumlah cairan dan koloid di ruang interstisial yang berasal dari kapiler
paru. Celah endotel paru mulai melebar akibat peningkatan tekanan hidrostatis atau efek
toksik

Kapasitas limfatik untuk mengeluarkan cairan sudah melampaui batas sehingga


cairan mulai terkumpul di interstisial

Acute Lung Oedema

Cairan interstisial melebihi Kelebihan Terjadi peningkatan


kapasitas sistem limfatik volume aliran limfatik
cairan

Edema dinding alveolar Perubahan


hubungan tekanan

Gangguan
Komplians paru menurun pertukaran Obstruksi pada saluran
gas pernapsan kecil

takipnea Ketidakseimbangan hipoksemia


antara ventilasi dan
aliran darah

Ketidakefektifan
pola napas
Hipoksemia
memburuk

Hiperventilasi dengan
alkalosis respiratorik
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ALO
a. Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk kearah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat
sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan CHF.
b. Rontgent Paru
Gambaran rontgent paru dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik
dari edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain
bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat
30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas
rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film.
c. Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnu, ortopnu (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi, akral dingin
dengan sianosis, menggunakan otot bantu nafas, frophy sputum, ronki basah dan
terdapat wheezing. Khususnya pada edema paru kardiogenik terdapat JVP meningkat,
gallop, bunyi jantung 3 dan 4 dan terdapat edema perifer.
d. EKG
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekhokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat
dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru.
e. Kateterisasi Pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal ( Pulmonary artery occlusion pressure/PAOP)
dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk menentuksn penyebab edema paru
akut. Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab
multiple. Sebagai contoh, pasien syok sepsis dengan ALI , dapat mengalami kelebihan
cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan gagal
jantung kongesti dapat mengalami ALI karena pneumonia.
f. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevant diperlukan untuk mengkaji etiologi edema
paru. Pemeriksaan tersebut melipu! Diantaranya pemeriksaan hematologi (complete
blood count), fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah,
troponin I dan Brain Natriure! c pep! de (BNP). Brain Natriu! c Pep! de (BNP) dan
prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru
kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan
PAOP, LEVEDP dan LVEF. Khususnya pada pasien gagal jantung menggunakan pro
BNP dengan nilai 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan
efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93%. Richard dkk
melaporkanbahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure.
Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan CHF
berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi CHF Eropa dan Amerika ( AHA
Guidelines). Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai
prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya.

E. PENATALAKSANAAN ALO
a. Oksigenasi
 Diberikan dalam konsentrasi yang adekuat untuk menghilangkan hipoksia dan
dispnea
 Oksigen dengan tekanan intermitent atau tekanan positif kontinu, jika tanda-
tanda hipoksia menetap
 Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik, jika terjadi gagal napas
 Tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP)
 Gas darah arteri (GDA)
b. Farmakoterapi
 Morvin : IV dalam dosis kecil untuk mengurangi ansietas dan dispnea,
merupakan kontraindikasi pada cedera vaskular serebral, penyakit pulmonal
kronis, atau syok kardiogenik.
 Diuretik : furosemid (lasix) iv untuk membuat efek diuretik cepat
 Digitalis : untuk memperbaiki kekuatan kontraksi jantung, diberikan dengan
kewaspadaan tinggi pada pasien dengan Infark miokard akut.
 Aminofilin : untuk bronkospasme, drip iv kontinu dalam dosis sesuai berat
badan.
c. Terapi Suportif
 Baringkan pasien tegak, dengan tungkai dan kaki dibawah, lebih baik bila kaki
pasien terjuntai disamping tempat tidur untuk membantu arus balik vena ke
jantung.
 Yakinkan pasien, gunakan sentuhan untuk memberikan kesan realitas yang
konkret.
 Maksimalkan waktu kegiatan di tempat tidur.
 Berikan informasi yang sering, sederhana, jelas tentang apa yang sedang
dilakukan untuk mengatasi kondisi dan apa respons terhadap pengobatan.

F. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas, umur, jenis kelamin

2. Riwayat masuk: Pasien biasanya dibawa ke RS setelah mengalami sesak napas, sianosis
atau batuk-batuk disertai kemungkinan adanya demam tinggi ataupun tidak. Kesadaran
kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada kasus trauma.
3. Riwayat penyakit sebelumnya: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik
seperti sepsis, pancreatitis, penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta
penyakit ginjal mungkin ditemui pada pasien.
4. Pemeriksaan fisik

a) Integumen

 Subjektif : -
 Obyektif : pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat,
suhu meningkat, kemerahan

b) Sistem pulmonal

 Subjektif : sesak nafas, dada tertekan


 Objektif : pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk, (produktif/non produktif),
sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diagragma, leju pernafasan
meningkat, terdengar stridor, ronchi pada lapang paru,
c) Cardiovaskular
 Subyektif : sakit dada
 Obyektif : nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun,
denyut jantung idak beraturan, suara jantung tambahan.

d) Sistem Neorosensori
 Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
 Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal

e) Sistem Musculoskeletal
 Subyektif : lemah, cepat lelah
 Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot
akserosis pernafasan

f) Sistem Genitourinaria
 Subyektif : -
 Obyektif : produksi urine mennurun

g) Sistem degstif

 Subyektif : mual, kadang muntah


 Obyektif : konsistensi feses normal

5. Pemeriksaan Penunjang
 Hb : menurun/normal
 Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon
darah normal/meningkat.
 Elektrolit : natrium/kalium menurun/normal.

Diagnosa Keperawatan

1. Ketidak efektifan pola nafas b/d kelelahan dan pemasangan alat bantu nafas
2. Gangguan pertukaran gas b/d distensi kapiler pulmonar
3. Resiko terjadi trauma b/d kegelisahan sekunder terhadap pemasangan alat bantu nafas

Intervensi
1. Dx 1 : ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan keadaan tubuh yang lemah
Tujuan : pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan slema 3x24 jam, pasien tidak
sesak, tidak terjadi hipoksia
Kriteria hasil :
- Tidak terjadi hipoksia atau hipoksemia
- Tidak sesak
- RR normal (16-20x/mnt)
- Tidak terdapat kontraksi otot bantu pernafasan
- Tidak terdapat siapnosis
Intervensi
1. Berikan HE pada pasien tentang penyakitnya
R/ informai yang adekuat dapat membawa pasien lebih kooperatif
2. Atur posisi semi fowler
R/ jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dalam berjalan
dengan lancar
3. Observasi tanda siapnosis
R/ siapnosis merupakan suatu tanda manifestai ketidak adekuatan suplay O2 pada
jaringan tubuh perifir
4. Berikan terapi oksigen
R/ pemberian oksigenasi secara adequat dapat memberikan cadangan oksigenasi,
mencegah terjadinya hipoksia
5. Kolaborasi dengan tim medis
R/ pengobatan yang telah di berikan berdasarkan indikasi sangat membantu dalam proses
terapi keperawatan.
2. Gangguan pertukaran gas b/d distensi kapiler pulmonalir
Tujuan : fungsi pertukaran dapat maksimal setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24jam, tdak terjadi siapnosis, tidak sesak
Kriteria hasil : tidak ada siapnosis , tidak sesak, RR dalam batas normal (16-20x/mnt), BGA
normal
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital
R/ sianosis merupakan terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang
menuruntimbul takikardi.
2. Bantu pasien untuk melakukan reposisi secara rutin
R/ posisi berbeda menurunkan resiko perlukaan akibat imobilisasi
3. Atur posisi pasien semi fowler
R/ jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan secara
lancar
4. Berikan terapi oksigenasi
R/ pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai kebutuhan oksigen mencegah
terjadinya hipoksia
5. Kolaborasi dengan tim medis
R/ pengobatan yang telah di berikan berdasarkan indikasi sangat membantu dalam proses
terapi keperawatan.

3. Resiko tinggi infeksi b/d area infasi mikroorganismesekunder terhadap pemasangan selang
endrotakeal
Tujuan : infeksi terjadi stelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
Kriteria hasil :
- Pasien mampu mengurangi kontak dengan area pemasangan endokrateal,
- Suhu normal
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda fital
R/ meningkatnya suhu tubuh dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya infeksi
2. Lakukan tehnik perawatan secara aseptik
R/ meminimallkan organisme yang kontak dengan pasien dapat menurunkan resiko
terjadinya infeksi
3. Observasi pada daerah pemasangan selang endokatrakeal
R/ kebershan area pemasangan menjadi faktor resiko masuknya mikroorganisme
4. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan pengobatan
R/ pengobatan yang diberikan berdasarkan indikasi sangat membantu dalam proses terapi
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta, Salemba Medika

Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams : Panduan Ringkas Edisi 21. Terjemahan Brahm U.
Pendit. Jakarta, EGC

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku untuk Brunner dan
Suddarth. Terjemahan Yasmin Asih. Jakarta, EGC

Moorhead, Sue dkk. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. 2008. Mosby
Elsevier

Dochterman, Joanne dkk. Nursing Interventions Classification (NIC) Fifth Edition. 2008. Mosby
Elsevier

Nanda Internasional. Tanpa Tahun. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011
(M. Ester, Ed.). Alih Bahasa Made Sumarwati, Dwi Widiarti & Estu Tiar. 2011. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Nendrastuti, Hetty. 2010. Edema Paru Akut Kardiogenik dan Non Kardiogenik. Fakultas
kedokteran Universitas Airlangga Surabaya

Irawaty, Maria. 2010. Penatalaksanaan Edema paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP. Universitas
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai