PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular dinyatakan sebagai penyebab kematian utama
dengan konstribusi sebesar 19,8% dari total kematian pada tahun 1993 dan
meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998. Apabila tidak segera dilakukan
tindakan yang tepat diperkirakan banyak orang meninggal akibat penyakit
kardiovaskular (Perwitasari et al., 2010). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
melaporkan pada tahun 2001 tercatat penyakit kardiovaskular lebih banyak
menyerang wanita dibanding pria, yang sebelumnya penyakit kardiovaskular lebih
banyak menyerang para pria. Perkembangan terkini memperlihatkan, penyakit
kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria
maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosial ekonomi
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Sindrom koroner akut (SKA)
merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka
perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi di negara maju dan
berkembang, termasuk di Indonesia (PERKI, 2015).
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik RSUD DR. M. Djamil
Padang periode April 2010- April 2012 diketahui bahwa jumlah pasien sindrom
koroner akut (SKA) yang di rawat inap di RSUD DR. M. Djamil Padang
mencapai 719 orang (35,19% dari 2043 orang) dengan rata-rata lama perawatan
berkisar 6-9 hari. Sedangkan angka kunjungan pasien yang berobat jalan ke
poliklinik jantung RSUD DR. M. Djamil Padang pada bulan Desember 2010
sekitar 2052 orang dan bulan desember 2011 mengalami peningkatan mencapai
2503 orang. Hal ini semakin menunjukkan bahwa angka kejadian sindrom koroner
akut (SKA) cukup tinggi (Oktarina et al., 2013). WHO memprediksi pada tahun
2030 kematian akibat penyakit jantung akan terus meningkat serta menempati
peringkat pertama penyebab kematian di dunia sebesar 14,2% (Udjianti, 2010).
1
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
perumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran pengobatan yang digunakan pada pasien sindrom
koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016 ?
2. Berapa besar prevalensi terjadinya interaksi obat pada pasien sindrom koroner
akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016 ?
4
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui gambaran pengobatan yang digunakan pada pasien sindrom
koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016.
2. Mengetahui prevalensi terjadinya interaksi obat pada pasien sindrom koroner
akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016.
D. Tinjauan Pustaka
1. Sindrom Koroner Akut (SKA)
a. Definisi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses
penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard tanpa
elevasi segmen ST/NSTEMI, dan infark miokard dengan elevasi segmen
ST/STEMI. APTS dan NSTEMI merupakan sindrom koroner akut yang ditandai
oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
b. Etiologi
Adanya aterosklerosis koroner dimana terjadi kelainan pada intima
bermula berupa bercak fibrosa (fibrous flaque) dan selanjutnya terjadi ulserasi,
pendarahan, klasifikasi dan trombosis. Perjalanan dalam kejadian ateroskerosis
tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, akan tetapi disebabkan oleh banyak
faktor lain seperti : hipertensi, kadar lipid, rokok, kadar gula darah yang abnormal
(Djohan, 2004).
c. Patogenesis Sindrom Koroner Akut (SKA)
1). Angina Pektoris Tidak Stabil terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis
yang relatif kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus
biasanya labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20
menit.
5
2). NSTEMI (Non-ST Elevation Myokardial Infarction) kerusakan pada plak lebih
berat dan menimbulkan oklusi yang lebih persisten dan berlangsung sampai lebih
dari 1 jam. Pada kurang lebih ¼ pasien NSTEMI, terjadi oklusi trombus yang
berlangsung lebih dari 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan terdapat koleteral.
Trombolisis spontan, resolusi vasokonstriksi dan kolesteral memegang peranan
penting dalam mencegah terjadinya STEMI.
3). STEMI (ST Elevation Mycardial Infarction) disrupsi plak terjadi pada daerah
yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya trombus yang fixed dan persisten
yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung
lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
d. Diagnosis
Diagnosis adanya suatu sindrom koroner akut (SKA) adalah didasarkan
pada tiga kriteria yaitu gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG
(elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Tabel 1. Diagnosis Klinis Sindrom Koroner Akut
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
APTS Angina pada waktu istirahat/aktifitas Depresi segmen T Tidak Meningkat
ringan (CCS III-IV),Cresendo Inversi gelombang T
angina, hilang dengan nitrat. Tidak ada gelombang Q
NSTEMI Lebih berat dan lama (>30 menit), Depresi segmen ST Meningkat minimal
tidak hilang dengan nitrat, perlu Inversi gelombang T 2 kali nilai batas
opium atas normal
STEMI Lebih berat dan lama (>30 menit) Hiperakut T Meningkat minimal
tidak hilang dengan nitrat, perlu Elevasi segmen T 2 kali nilai batas
opium Gelombang Q atas normal
Inversi gelombang T
2) Nitrat
Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali
pemberian, nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase
akut dari episode angina (Kelas I-C). Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia
yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 24 jam pertama
UAP/NSTEMI. Menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi
8
Tabel 5. Jenis dan Dosis Penghambat Kanal Kalsium untuk Terapi IMA
Penghambat kanal kalsium Dosis
Verapamil 180-240mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipine 5-10 g/hari
b. Antiplatelet
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanpa indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk
jangka panjang, tanpa memandang strategi yang diberikan. Penghambat reseptor
ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan dipertahankan selama
12 bulan kecuali ada indikasi kontra risiko perdarahan berlebih.
Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) di berikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy-aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko
seperti infeksi H. Pylori, usia ≥ 65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid (Kelas I-A). Penghentian penghambat reseptor ADP
lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan
kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C) (PERKI, 2015).
Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemia sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa
memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien
yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian
dihentikan) (Kelas I-B).
Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari
(Kelas I-A). Pemberian dosis loading clopidogrel 600mg (atau dosis loading 300
mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang
dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor
(Kelas I-B). Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap
10
hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP
tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B) (PERKI, 2015).
Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP
yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali
bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).
Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan atau
dilanjutkan setelah pembedahan coronary artery bypass grafting (CABG) yaitu
pembedahan yang membantu memulihkan aliran darah yang normal ke otot
jantung yang tersumbat begitu dianggap aman (Kelas IIa-B). Tidak disarankan
memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2 selektif dan NSAID
non-selektif) (Kelas III-C) (PERKI, 2015).
Tabel 6. Jenis dan Dosis Antiplatelet untuk Terapi IMA
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300mg, dosis pemeliharaan 75-100mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari
profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah
2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).
Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP IIb/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-
B). Enoksaparin (1mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-
C). Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
Crossover heparin (UFH dan LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B) (PERKI,
2015).
Tabel 7. Jenis dan Dosis Antikoagualan untuk IMA
Antikoagulan Dosis
Fondaparinuks 2,5 mg subkutan
Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi Bolus i.v. 60U/g, dosis maksimal 4000 U. Infus i.v. 12
U/kg selama 24-48 jam dengan dosis maksimal 1000
U/jam target aPTT 11/2 -2x kontrol
f. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethyglutary-coenzyme A reductase (statin)
harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-
A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah
sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL
(Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin
untuk dicapai.
g. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
Penggunaan warfarin bersama aspirin dan /atau clopidogrel meningkatkan
risiko perdarahan dan oleh karena itu harus di pantau ketat (Kelas I-A).
Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi
dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih target
INR terendah yang masih efektif (kelas IIa-C). Jika antikoagulan diberikan
bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang berisiko
tinggi perdarahan, target INR 2-2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B) (PERKI, 2015).
2. Interaksi Obat
a. Definisi
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai penggunaan dua atau lebih obat
yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efek masing-masing
atau saling berinteraksi. Interaksi obat yang terjadi dapat bersifat potensial atau
antagonis satu obat oleh obat lainnya atau dapat menimbulkan efek yang lainnya
(Badan POM, 2015).
b. Mekanisme Interaksi Obat
1) Interaksi farmakokinetik
Interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi obat lain. Interaksi ini meningkatkan atau mengurangi
jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek
farmakologinya (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2008).
13
2) Interaksi farmakodinamik
Interaksi antara obat-obat yang mempunyai efek farmakologi atau efek
samping yang serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena
kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja
pada sistem fisiologik yang sama (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia, 2008).
Efek dan keparahan interaksi obat bervariasi antara pasien yang satu
dengan pasien yang lain. Faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan pasien
terhadap interaksi obat di antaranya :
1. Pasien lanjut usia
2. Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
3. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
4. Pasien dengan penyakit akut
5. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
6. Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu
7. Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter
c. Penatalaksanaan Interaksi Obat
Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada
terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi
dengan obat lain. Strategi dalam penatalaksanaan interaksi obat diantaranya :
1) Hindari kombinasi obat yang berinteraksi
Jika resiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya, maka
harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti.
2) Penyesuaian dosis obat
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu
dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi
kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.
3) Memantau pasien
Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan, pemantauan
diperlukan.
4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya
14
5) Jika interaksi obat tidak bermakna klinis, atau jika kombinasi obat yang
berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan pasien
dapat diteruskan tanpa perubahan (Fradgley, 2003).
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi data obat
kardiovaskuler dan potensial interaksi obat pada pasien sindrom koroner akut di
RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016.