Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular dinyatakan sebagai penyebab kematian utama
dengan konstribusi sebesar 19,8% dari total kematian pada tahun 1993 dan
meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998. Apabila tidak segera dilakukan
tindakan yang tepat diperkirakan banyak orang meninggal akibat penyakit
kardiovaskular (Perwitasari et al., 2010). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
melaporkan pada tahun 2001 tercatat penyakit kardiovaskular lebih banyak
menyerang wanita dibanding pria, yang sebelumnya penyakit kardiovaskular lebih
banyak menyerang para pria. Perkembangan terkini memperlihatkan, penyakit
kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria
maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosial ekonomi
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Sindrom koroner akut (SKA)
merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka
perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi di negara maju dan
berkembang, termasuk di Indonesia (PERKI, 2015).
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik RSUD DR. M. Djamil
Padang periode April 2010- April 2012 diketahui bahwa jumlah pasien sindrom
koroner akut (SKA) yang di rawat inap di RSUD DR. M. Djamil Padang
mencapai 719 orang (35,19% dari 2043 orang) dengan rata-rata lama perawatan
berkisar 6-9 hari. Sedangkan angka kunjungan pasien yang berobat jalan ke
poliklinik jantung RSUD DR. M. Djamil Padang pada bulan Desember 2010
sekitar 2052 orang dan bulan desember 2011 mengalami peningkatan mencapai
2503 orang. Hal ini semakin menunjukkan bahwa angka kejadian sindrom koroner
akut (SKA) cukup tinggi (Oktarina et al., 2013). WHO memprediksi pada tahun
2030 kematian akibat penyakit jantung akan terus meningkat serta menempati
peringkat pertama penyebab kematian di dunia sebesar 14,2% (Udjianti, 2010).

1
2

Kemajuan perekonomian sebagai dampak dari pembangunan di negara-


negara sedang berkembang termasuk di Indonesia menyebabkan perbaikan tingkat
hidup. Hal ini menyebabkan tingkat kesehatan masyarakat meningkat, disamping
itu terjadi pula perubahan pola hidup. Perubahan pola hidup ini menyebabkan pola
penyakit berubah, dari penyakit infeksi dan rawan gizi ke penyakit-penyakit
degeneratif, diantaranya adalah penyakit jantung dan pembuluh darah
(kardiovaskular) dan akibat kematian yang ditimbulkannya. Salah satu faktor yang
dapat memperburuk penyakit jantung adalah kejadian interaksi obat
(Kurniaajaritama, 2013).
Interaksi obat dapat memberikan perubahan pada aktivitas obat, baik
dengan meningkatkan toksisitas obat atau menurunkan efek terapinya. Selain
beberapa interaksi obat juga dapat saling mendukung kerja satu sama lain atau
kebalikannya, interaksi obat dapat mengakibatkan kerja satu obat di hambat obat
lain. Terutama pasien yang rentan terhadap interaksi obat diantaranya pasien
lanjut usia (Aslam et al., 2004).
Penelitian terdahulu tentang penggunaan obat pada penanganan pasien
sindrom koroner akut dilakukan oleh Setyawati (2016). Penelitian ini meneliti
interaksi obat di rumah sakit panti Nugroho Yogyakarta periode januari 2006-
oktober 2016 penderita sindrom koroner akut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
28 pasien mengalami interaksi obat dengan mekanisme interaksi paling banyak
adalah farmakodinamik (46,9%) dan kategori signifikansi paling banyak adalah
signifikansi/monitor secara ketat (75,0%).
Pengobatan ditujukan untuk sedapat mungkin memperbaiki kembali aliran
pembuluh koroner sehingga dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut, serta
mencegah kematian mendadak dengan memantau dan mengobati secara tepat.
Kematian infark miokard juga dipengaruhi oleh jenis terapi yang diberikan. Terapi
standar infark miokard yaitu nitrat, asam asetil salisilat, ACEI terbukti
menurunkan kematian dini pada sindrom koroner akut (Setianto et al., 2003).
Karena itulah tata laksana sindrom koroner akut diperlukan untuk pengobatan.
American College of Cardiologi/American Heart Association merekomendasikan
dalam tata laksana terapi pada pasien STEMI diberikan terapi seperti antiplatelet
3

(aspirin, clopidogrel, thienopyridin), antikoagulan seperti Unfractionated Heparin


(UFH)/Low Molekular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-
inhibitor, dan Angiotensin Receptor Bloker. Tatalaksana IMA terutama STEMI
pada usia lanjut menurut panduan ACC/AHA dan ESC dapat menurunkan
mortalitas tapi pasien yang selamat mungkin akan meningkatkan insiden gagal
jantung (Rahmat, 2013).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Kurniajaturiatama tahun
2013 di RSUP Fatmawati menunjukkan pasien yang mengalami interaksi obat
merupakan pasien yang menggunakan lebih dari 5 jenis obat, dengan jumlah
pasien yang mengalami interaksi obat sebanyak 5 pasien dari 51 pasien yang
diamati, 13 kasus interaksi obat dimana 10 kasus merupakan interaksi obat dengan
obat yang terjadi pada pasien. Kasus interaksi obat dengan obat adalah antara
captopril dengan aspirin (50%), aspirin dengan clopidogrel (50%).
Berdasarkan latar belakang masalah maka perlu dilakukan suatu penelitian
untuk mengetahui gambaran pengobatan yang diberikan pada kasus sindrom
koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016, serta menganalisis
terjadinya potensial interaksi obat. Kejadian interaksi obat yang cukup tinggi perlu
mendapat perhatian farmasis. Apabila mengacu pada tujuan utama pelayanan
kefarmasian (pharmaceutical care) untuk meminimalkan resiko pada pasien,
maka memeriksa adanya interaksi obat pada pengobatan pasien merupakan tugas
utama farmasis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
perumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran pengobatan yang digunakan pada pasien sindrom
koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016 ?
2. Berapa besar prevalensi terjadinya interaksi obat pada pasien sindrom koroner
akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016 ?
4

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui gambaran pengobatan yang digunakan pada pasien sindrom
koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016.
2. Mengetahui prevalensi terjadinya interaksi obat pada pasien sindrom koroner
akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016.

D. Tinjauan Pustaka
1. Sindrom Koroner Akut (SKA)
a. Definisi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses
penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard tanpa
elevasi segmen ST/NSTEMI, dan infark miokard dengan elevasi segmen
ST/STEMI. APTS dan NSTEMI merupakan sindrom koroner akut yang ditandai
oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
b. Etiologi
Adanya aterosklerosis koroner dimana terjadi kelainan pada intima
bermula berupa bercak fibrosa (fibrous flaque) dan selanjutnya terjadi ulserasi,
pendarahan, klasifikasi dan trombosis. Perjalanan dalam kejadian ateroskerosis
tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, akan tetapi disebabkan oleh banyak
faktor lain seperti : hipertensi, kadar lipid, rokok, kadar gula darah yang abnormal
(Djohan, 2004).
c. Patogenesis Sindrom Koroner Akut (SKA)
1). Angina Pektoris Tidak Stabil terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis
yang relatif kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus
biasanya labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20
menit.
5

2). NSTEMI (Non-ST Elevation Myokardial Infarction) kerusakan pada plak lebih
berat dan menimbulkan oklusi yang lebih persisten dan berlangsung sampai lebih
dari 1 jam. Pada kurang lebih ¼ pasien NSTEMI, terjadi oklusi trombus yang
berlangsung lebih dari 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan terdapat koleteral.
Trombolisis spontan, resolusi vasokonstriksi dan kolesteral memegang peranan
penting dalam mencegah terjadinya STEMI.
3). STEMI (ST Elevation Mycardial Infarction) disrupsi plak terjadi pada daerah
yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya trombus yang fixed dan persisten
yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung
lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
d. Diagnosis
Diagnosis adanya suatu sindrom koroner akut (SKA) adalah didasarkan
pada tiga kriteria yaitu gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG
(elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Tabel 1. Diagnosis Klinis Sindrom Koroner Akut
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
APTS Angina pada waktu istirahat/aktifitas Depresi segmen T Tidak Meningkat
ringan (CCS III-IV),Cresendo Inversi gelombang T
angina, hilang dengan nitrat. Tidak ada gelombang Q
NSTEMI Lebih berat dan lama (>30 menit), Depresi segmen ST Meningkat minimal
tidak hilang dengan nitrat, perlu Inversi gelombang T 2 kali nilai batas
opium atas normal
STEMI Lebih berat dan lama (>30 menit) Hiperakut T Meningkat minimal
tidak hilang dengan nitrat, perlu Elevasi segmen T 2 kali nilai batas
opium Gelombang Q atas normal
Inversi gelombang T

e. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA)


Tujuan jangka pendek untuk pasien sindrom koroner akut adalah:
a. Pemulihan aliran darah ke arteri infark.
b. Pencegahan kematian dan komplikasi.
c. Pencegaran reoklusi arteri koroner.
d. Memperbaiki ketidak nyamanan pada iskemik.
e. Pemeliharaan normoglikemia (Dipiro, 2008).
6

Terapi awal yang diberikan dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA


atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum hasil
pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung yaitu :
a. Tirah baring.
b. Suplemen oksigen diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri
<95% atau yang mengalami distres respirasi dan dapat diberikan pada semua
pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
c. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat
absorbsi sublingual lebih cepat.
d. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
1) Dosis awal ticaglerol adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk referfusi menggunakan agen fibrinolitik.
2) Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari.
e. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Dapat diberikan
berulang jika nyeri angina tidak hilang. Nitrogliserin intravena diberikan pada
pasien yang tidak responsif dengan tiga dosis NTG sublingual. Jika tidak
tersedia NTG sebagai pengganti Isosorbid dinitrat (ISDN).
f. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (PERKI, 2015).
Untuk pengobatan farmakologi yang diperlukan dalam menangani sindrom
koroner akut, berdasarkan pedoman tatalaksana sindrom koroner akut yang
disusun oleh perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia tahun 2015
yang disusun melalui proses penelaahan berbagai publikasi ilmiah dan
mempertimbangkan konsistensi dengan berbagai konsensus dan pedoman yang
dibuat oleh berbagai perkumpulan profesi kardiovaskular. Klasifikasi
rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut.
7

Tabel 2. Klasifikasi Rekomendasi Tatalaksana Sindrom Koroner Akut


(Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015)
Kelas I Bukti dan atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut bermanfaat
dan efektif.
Kelas II Bukti dan atau pendapat yang berbeda tentang manfaat pengobatan tersebut.
Kelas IIa Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat atau kegunaan, sehingga
beralasan untuk dilakukan.
Kelas IIb Manfaat atau efektifitas kurang didukung oleh bukti atau pendapat namun
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
Kelas III Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut tidak berguna
atau tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus kemungkinan membahayakan.
Tingkat bukti A Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau meta analisis.
Tingkat bukti B Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa penelitian tidak
acak.
Tingkat bukti C Data berasal dari konsensus opini para ahli dan atau penelitian kecil, studi
retrospektif atau registri.

Obat- obat yang digunakan dalam pengobatan sindrom koroner akut


(SKA) yaitu :
a. Anti iskemia
1) Penyekat Beta (Beta blocker)
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama
jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, semua pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Penyekat beta oral
hendak nya diberikan dalam 24 jam pertama (PERKI, 2015).
Tabel 3. Jenis dan Dosis Penyekat Beta untuk Terapi IMA
Aktifitas
Penyekat beta Selektivitas Dosis untuk Angina
Agonis Parsial
Atenolol B1 - 50-200mg/hari
Bisoprolol BI - 10mg/hari
Carvedilol α dan β + 2x6,25mg/hari,titrasi sampai
maksimum 2x25 mg/hari
Metoprolol B1 - 50-200mg/hari
Propanolol Nonselektif - 2x20-80mg/hari

2) Nitrat
Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali
pemberian, nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase
akut dari episode angina (Kelas I-C). Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia
yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 24 jam pertama
UAP/NSTEMI. Menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi
8

pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau


angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).
Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali
permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan
(Kelas III-C). Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
inhibitor fosfodiesterase : sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu
yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan
(Kelas III-C) (PERKI, 2015).
Tabel 4. Jenis dan Dosis Nitrat untuk Terapi IMA
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5-15mg (onset 5 Menit) Oral
15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis Intravena
1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitrogliserin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg – 1,5 mg
(trinitrin,TNT,glyceryl trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit

3) Calcium channel blockers (CCBs)


Calcium channel blockers (CCBs) terutama golongan dihidropiridin
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospatik. CCB dihidropiridin
direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan
nitrat dan penyekat beta, CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien
NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B) (PERKI,
2015).
CCB non-dihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B). CCB direkomendasikan bagi pasien
dengan angina vasospatik (Kelas I-C). Penggunaan CCB dihidropiridin kerja
cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi
dengan penyekat beta (Kelas III-B) (PERKI, 2015).
9

Tabel 5. Jenis dan Dosis Penghambat Kanal Kalsium untuk Terapi IMA
Penghambat kanal kalsium Dosis
Verapamil 180-240mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipine 5-10 g/hari

b. Antiplatelet
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanpa indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk
jangka panjang, tanpa memandang strategi yang diberikan. Penghambat reseptor
ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan dipertahankan selama
12 bulan kecuali ada indikasi kontra risiko perdarahan berlebih.
Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) di berikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy-aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko
seperti infeksi H. Pylori, usia ≥ 65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid (Kelas I-A). Penghentian penghambat reseptor ADP
lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan
kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C) (PERKI, 2015).
Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemia sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa
memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien
yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian
dihentikan) (Kelas I-B).
Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari
(Kelas I-A). Pemberian dosis loading clopidogrel 600mg (atau dosis loading 300
mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang
dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor
(Kelas I-B). Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap
10

hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP
tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B) (PERKI, 2015).
Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP
yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali
bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).
Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan atau
dilanjutkan setelah pembedahan coronary artery bypass grafting (CABG) yaitu
pembedahan yang membantu memulihkan aliran darah yang normal ke otot
jantung yang tersumbat begitu dianggap aman (Kelas IIa-B). Tidak disarankan
memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2 selektif dan NSAID
non-selektif) (Kelas III-C) (PERKI, 2015).
Tabel 6. Jenis dan Dosis Antiplatelet untuk Terapi IMA
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300mg, dosis pemeliharaan 75-100mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari

c. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik
dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan
risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko
perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin
sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang
diterapi secara konservatif (Kelas III-A) (PERKI, 2015).
d. Antikoagulan
Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A). Pemilihan antikoagualan dibuat
berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-
keamanan agen tersebut (Kelas I-C). Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki
11

profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah
2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).
Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP IIb/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-
B). Enoksaparin (1mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-
C). Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
Crossover heparin (UFH dan LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B) (PERKI,
2015).
Tabel 7. Jenis dan Dosis Antikoagualan untuk IMA
Antikoagulan Dosis
Fondaparinuks 2,5 mg subkutan
Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi Bolus i.v. 60U/g, dosis maksimal 4000 U. Infus i.v. 12
U/kg selama 24-48 jam dengan dosis maksimal 1000
U/jam target aPTT 11/2 -2x kontrol

e. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang,
kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik
(Kelas I-A). Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita
selain seperti di atas (Kelas IIa-B).
Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan
berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C). Penghambat reseptor angiotensin
diindikasikan bagi pasien infark miokard yang intoleran terhadap inhibitor ACE
dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% dengan atau tanpa gejala klinis
gagal jantung (Kelas I-B) (PERKI, 2015).
Tabel 8. Jenis dan Dosis Inhibitor ACE untuk IMA
Inhibitor ACE Dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
12

f. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethyglutary-coenzyme A reductase (statin)
harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-
A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah
sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL
(Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin
untuk dicapai.
g. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
Penggunaan warfarin bersama aspirin dan /atau clopidogrel meningkatkan
risiko perdarahan dan oleh karena itu harus di pantau ketat (Kelas I-A).
Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi
dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih target
INR terendah yang masih efektif (kelas IIa-C). Jika antikoagulan diberikan
bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang berisiko
tinggi perdarahan, target INR 2-2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B) (PERKI, 2015).
2. Interaksi Obat
a. Definisi
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai penggunaan dua atau lebih obat
yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efek masing-masing
atau saling berinteraksi. Interaksi obat yang terjadi dapat bersifat potensial atau
antagonis satu obat oleh obat lainnya atau dapat menimbulkan efek yang lainnya
(Badan POM, 2015).
b. Mekanisme Interaksi Obat
1) Interaksi farmakokinetik
Interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi obat lain. Interaksi ini meningkatkan atau mengurangi
jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek
farmakologinya (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2008).
13

2) Interaksi farmakodinamik
Interaksi antara obat-obat yang mempunyai efek farmakologi atau efek
samping yang serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena
kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja
pada sistem fisiologik yang sama (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia, 2008).
Efek dan keparahan interaksi obat bervariasi antara pasien yang satu
dengan pasien yang lain. Faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan pasien
terhadap interaksi obat di antaranya :
1. Pasien lanjut usia
2. Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
3. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
4. Pasien dengan penyakit akut
5. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
6. Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu
7. Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter
c. Penatalaksanaan Interaksi Obat
Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada
terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi
dengan obat lain. Strategi dalam penatalaksanaan interaksi obat diantaranya :
1) Hindari kombinasi obat yang berinteraksi
Jika resiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya, maka
harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti.
2) Penyesuaian dosis obat
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu
dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi
kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.
3) Memantau pasien
Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan, pemantauan
diperlukan.
4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya
14

5) Jika interaksi obat tidak bermakna klinis, atau jika kombinasi obat yang
berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan pasien
dapat diteruskan tanpa perubahan (Fradgley, 2003).

E. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi data obat
kardiovaskuler dan potensial interaksi obat pada pasien sindrom koroner akut di
RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai