Oleh:
Fathiyah Rohmah (1804015149)
Effendi (1804015219)
Ismi Asrinanda (1804015217)
Afifah Tamimah (1804019003)
Kelompok/Kelas : 5/2E
Dosen Pengampu: Tahyatul Bariroh, M.Biomed
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………….. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Autoimunitas…………………………………………………….. 3
B. Reaksi Hipersensitivitas……………………………………….. 9
C. Imunodefisiensi………………………………………………... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………..… 18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu sistem terpenting yang terus menerus melakukan tugas dan
kegiatan dan tidak pernah melalaikan tugas-nya adalah sistem kekebalan
tubuh atau biasa kita sebut dengan sistem imun. Sistem ini melindungi tubuh
sepanjang waktu dari semua jenis penyerang yang berpotensi menimbulkan
penyakit pada tubuh kita. Ia bekerja bagi tubuh bagaikan pasukan tempur yang
mempunyai persenjataan lengkap. Setiap sistem, organ, atau kelompok sel di
dalam tubuh mewakili keseluruhan di dalam suatu pembagian kerja yang
sempurna. Setiap kegagalan dalam sistem akan menghancurkan tatanan ini.
Sistem imun sangat diperlukan bagi tubuh kita.
Oleh karena itu, untuk dapat lebih memahami tentang respon imun yang
berlebihan atau gagal merespon, maka kami membuat makalah ini, makalah
yang akan menambah pengetahuan kita tentang kegagalan dalam respon
imun.
1
3. Mengetahui penyakit yang disebabkan oleh autoimunitas,
hipersensitivitas dan imunodefisiensi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Autoimunitas
1. Kriteria Autoimun
3
ditemukan pada autoreaktif, tetapi autoantibodi dapat juga
penyakit ditemukan pada beberapa subyek normal.
2. Autoantibodi dan atau Benar pada beberapa penyakit endokrin,
sel T ditemukan di LES, dan beberapa glomerulonefritis
jaringan dengan
cedera
3. Ambang autoantibodi Hanya ditemukan pada penyakit autoimun
atau respons sel T sistemik akut dengan kerusakan jaringan
menggambarkan progresif cepat seperti pada LES, vasculitis
aktivitas penyakit sistemik atau penyakit antiglomerulus
membrane basal.
4. Penurunan respons Keuntungan imunosuspresi terlihat pada
autoimun memberikan beberapa penyakit, terbanyak imunospresan
perbaikan penyakit tidak spesifik dan berupa antiinflamasi.
5. Transfer antibody atau Ditemukan pada model hewan. Pada
sel T ke pejamu manusia dengan transfer transplasental
sekunder antibody igG autoreaktif selama kehamilan
menimbulkan penyakit trimester terakhir dan dengan timbulnya
autoimun pada penyakit autoimun pada resipien transplan
resipien sumsum tulang bila donor memiliki penyakit
autoimun.
6. Imunisasi dnegan Banyak protein self menginduksi respons
autoantigen dan autoimun pada hewan bila disuntikkan
kemudian induksi dengan ajuvan yang benar. Lebih sulit
respons autoimun dibuktikan pada manusia, tetapi imunisasi
menimbulkan penyakit rabies dengan jaringan otak mamalia yang
terinfeksi (tidak infeksius) dapat menimbulkan
ensefalomielitis autoimun.
4
2. Faktor yang berperan dalam penyakit autoimun
a. Faktor genetik
b. Faktor lingkungan
b. Kemiripan molekular
5
c. Ekspresi MHC-II yang tidak benar
6
komponen tubuhnya sendiri termasuk terhadap DNA, yang diduga dilepaskan
pada saat penghancuran sel atau jaringan secara normal, terutama sel-sel
kulit.
5. Penyakit autoimun
Grave’s disease timbul sebagai akibat akibat dari produksi antibodi yang
merangsang tiroid. Mekanisme respon autoimun yang timbul pada
7
penyakit graves, melibatkan reaksi antibodi yang disebut dengan long
acting thyroid stimulator bereaksi dengan reseptor thyroid stimulating
hormone yang terdapat pada permukaan kelenjar tiroid, sehingga
meningkatkan produksi hormone tiroid yang berlebihan
(hyperthyroidism) dan pembesaran kelenjar tiroid.
Penyakit Mysthaneia gravis merupakan penyakit autoimun yang
mengakibatkan kelemahan otot secara progresif. Hal ini disebabkan
karena antibodi menutupi reseptor asetilkolin pada hubungan
meuromuskuler. Reaksi antara reseptor asetilkolin dengan
immunoglobulin dapat mencegah penerimaan impuls saraf, yang dalam
keadaan normal disalurkan oleh molekul asetilkolin, sehingga
menimbulkan kelemahan otot.
Systemic lupus eritematosus (LES) penyebab penyakit ini belum
sepenuhnya diketahui, akan tetapi pada beberapa penderita ditemukan
antibodi yang spesifik terhadap beberapa komponen tubuhnya sendiri
termasuk terhadap DNA, yang diduga dilepaskan pada saat
penghancuran sel atau jaringan secara normal, terutama sel-sel kulit.
Artritis rheumatoid merupakan kelainan sendi yang disebabkan oleh
reaksi kompleks imun antara IgM, IgG dan komplemen pada
persendian. Reaksi kompleks imun yang terjadi antara faktor
rheumatoid dengan bagian Fc-IgG yang ditimbun pada synovia sendi
akan mengaktifkan sistem komplemen dan melepas mediator
kemotaksis terhadap granulosit. Respon inflamasi yang disertai
peningkatan menimbulkan pembengkakan sendi dan sakit bila eksudat
bertambah banyak. Senyawa enzimatik yang dilepas oleh neutrophil
segera memecah kolagen dan tulang rawan sendi yang menimbulkan
destruksi permukaan sendi sehingga mengganggu fungsi normal sendi.
8
B. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi,timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan allergen. Pada
reaksi Tipe I, allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun
berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan
dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut:
Manifestasi reaksi Tipe I dapat bervariasi dari lokal ,ringan sampai berat
dan keadaan yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat.
9
Jenis alergi Alergen umum Gambaran
Anafilaksis Obat, serum,bisa, Edema dengan
kacang-kacangan peningkatan permeabilitas
vascular, berkembang
menjadi oklusi trakea,
kolaps sirkulasi dan
kemungkinan meninggal
Urtikaria akut Sengatan serangga Bentol dan merah di daerah
sengatan. Sengatan dapat
pula menimbulkan reaksi
Tipe IV
Rhinitis alergi Polen (hay fever), Edema dan iritasi mukosa
tungau debu rumah nasal
(rhinitis perennial)
Asma Polen, tungau debu Konstriksi brokial,
rumah peningkata produksi
mucus, inflamasi saluran
napas
Makanan Kerang, susu, telur, ikan, Urtikaria yang gatal dan
bahan asal gandum potensial menjadi
anafilaksis
Ekzem atopi Polen, tungau debu Inflamasi pada kulit yang
rumah, beberapa terasa gatal, biasanya
makanan merah dan ada kalanya
vesikular.
10
yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi
dan determinan antigen yang merupaka bagian dari membrane sel tergantung
apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolism sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis
dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang meiliki
reseptor Fcɣ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebgai sel efektor dan
menimbulkan kerusakan melalui ADCC( Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity). Beberapa contoh reaksi hipersensitivitas Tipe II:
1) Reaksi transfusi
Bila darah individu golongan darah A mendapat transfuse
golongan darah B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B
isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan
kerusakan darah direk oleh hemolysis massif intravascular. Reaksi
dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM.
Reaksi lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat
transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun
inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai
6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu
pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan
darah, tersering adalah golongan Rhesus,Kidd, Kell dan Duffy.
2) Penyakit hemolitik bayi baru lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh
inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan
darah rhesus negative dan janin dengan rhesus positif.
3) Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin dan
streptomisin dapat diabsorbsi non spesifik pada protein membran sel
darah merah yang membentuk kompleks serupa kompleks moleku
11
hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk
antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada sel darah merah dan
dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia
progresif.
12
makrofag ke tempat adanya antigen memerlukan waktu yang berkisar antara
12-24 jam.
13
Perbedaan reaksi hipersensitivitas Tipe I, Tipe II, Tipe III dan Tipe IV
C. Immunodefisiensi
14
hematologic (limfoma/Hodgkin, leukemia, myeloma, neutropenia, anemia
aplastic, anemia sel sabit), penyakit metabolic (enteropati dengan kehilangan
protein, sindrom nefrotik, diabetes melitus, malnutrisi), trauma dan tindakan
bedah (luka bakar, splenektomi, anestesi), lupus eritematosus sistemik dan
hepatitis kronis.
1. Imunodefisiensi kongenital
Imunodefisiensi kongential atau imunodefisiensi primer pada
umumnya disebabkan oleh kelainan respon imun bawaan yang dapat
berupa kelainan dari sistem fagosit dan komplemen atau kelainan dalam
deferensiasi fungsi limfosit.
Disfungsi fafosit antara lain disebabkan oleh defisiensi enzim yang
diperlukan untuk membunuh mikroorganisme, misalnya gangguan pada
granula azurofil dalm sel polimorfonuklear (PMN), sehingga sel PMN
kekurang enzim untuk metabolisme oksidatif misalnya defisiensi
lisozim, defisiensi mieloperoksidase dan defisiensi laktoferin. Penyakit
lain yang diduga berdasarkan faktor genetik adalah penyakit
granulomatosa kronik yang menyebabkan gangguan fungsi neutrofil.
Defisiensi masing-masing komponen komplemen menyebabkan
penderita tidak mampu mengeliminasi kompleks antigen antibodi yang
terdapat dalam tubuh secara efektif. Defisiensi protein komplemen C3
atau C5 dapat menyebabkan gangguan opsonisasi mikroorganisme,
disamping itu terjadi gangguan pelepasan faktor kemotaksis sehingga
proses fagositosis juga terganggu.
Penderita defisiensi limfosit T biasanya mudah terinfeksi berulang
oleh bakteri pathogen yang berkapsul, rentan terhadap infeksi virus,
jamur dan mikroba yang patogenesisnya rendah. Beberap kelainan
15
kongenital yang berhubungan dengan defisiensi sel T adalah DiGeorge
syndrome, Wiskoot-aladrich syndrome dan chronic mucocutaneous
candidiasis.
Imunodefisiensi kongenital dapat juga disebabkan oleh defisiensi sel
induk limfoid yang ditandai oleh kelainan limfosit B dan limfosit T yang
dikenal dengan severe combine immunodeficiency. Umumnya kelainan
ini disebabkan oleh gangguan enzim recombinase yang penting untuk
pembentukan respetor pada sel B dan sel T. Kelainan genetik ini
menyebabkan sel B dan sel T tidak berhasil menjadi sel yang
imunokompeten sehingga terjadi imunodefisiensi selular maupun
humoral.
16
Imunodefisiensi juga dapat meningkatkan berkembangnya sel-sel
kanker didalam tubuh. Sebagaimana halnya penyakit infeksi, kegagalan
sistem imun untuk memusnahkan senyawa asing termasuk sel kanker,
dapat menyebabkan berkembangnya sel-sel kanker.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
19