Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH IMUNOLOGI

KEGAGALAN RESPON IMUN

Oleh:
Fathiyah Rohmah (1804015149)
Effendi (1804015219)
Ismi Asrinanda (1804015217)
Afifah Tamimah (1804019003)

Kelompok/Kelas : 5/2E
Dosen Pengampu: Tahyatul Bariroh, M.Biomed

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2019

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………….. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Autoimunitas…………………………………………………….. 3
B. Reaksi Hipersensitivitas……………………………………….. 9
C. Imunodefisiensi………………………………………………... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………..… 18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu sistem terpenting yang terus menerus melakukan tugas dan
kegiatan dan tidak pernah melalaikan tugas-nya adalah sistem kekebalan
tubuh atau biasa kita sebut dengan sistem imun. Sistem ini melindungi tubuh
sepanjang waktu dari semua jenis penyerang yang berpotensi menimbulkan
penyakit pada tubuh kita. Ia bekerja bagi tubuh bagaikan pasukan tempur yang
mempunyai persenjataan lengkap. Setiap sistem, organ, atau kelompok sel di
dalam tubuh mewakili keseluruhan di dalam suatu pembagian kerja yang
sempurna. Setiap kegagalan dalam sistem akan menghancurkan tatanan ini.
Sistem imun sangat diperlukan bagi tubuh kita.

Sistem imun diperlukan sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi.


Berbagai komponen system imun bekerja sama dalam sebuah respon imun.
Apabila seseorang secara imunologis terpapar pertama kali dengan antigen
kemudian terpapar lagi dengan antigen yang sama, maka akan timbul respon
imun sekunder yang lebih efektif. Reaksi tersebut dapat berlebihan dan
menjurus ke kerusakan individu mempunyai respon imun yang menyimpang.
Kelainan yang disebabkan oleh respon imun tersebut disebut hipersensitivitas.

Oleh karena itu, untuk dapat lebih memahami tentang respon imun yang
berlebihan atau gagal merespon, maka kami membuat makalah ini, makalah
yang akan menambah pengetahuan kita tentang kegagalan dalam respon
imun.

B. Tujuan Pembuatan Makalah

1. Mengetahui macam kegagalan respon imun.


2. Mengetahui penyebab dan mekanisme dari autoimunitas,
hipersensitivitas dan imunodefisiensi.

1
3. Mengetahui penyakit yang disebabkan oleh autoimunitas,
hipersensitivitas dan imunodefisiensi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Autoimunitas

Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri


yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk
mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun
adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan
oleh respons autoimun. Perbedaan tersebut adalah penting, oleh karena
respons imun dapat terjadi tanpa disertai penyakit atau penyakit yang
ditimbulkan mekanisme lain (seperti infeksi).

1. Kriteria Autoimun

Untuk membuktikan bahwa autoimunitas merupakan sebab penyakit


tertentu, diperlukan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi. Ada 6 butir yang
diperlukan untuk menentukan kriteria autoimunitas.

Bukti terbaik adanya autoimunitas pada manusia adalah transfer pasif


igG melalui plasenta yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga. Hal ini dapat
menerangkan terjadinya penyakit autoimun sementara pada janin dan
neonatus.

No. Kriteria Catatan


1. Autoantibodi atau sel T Kriteria ditemukan pada kebanyakan
autoreaktif dengan penyakit endokrin autoimun. Lebih sulit
spesifitas untuk organ ditemukan pada antigen sasaran yang tidak
yang terkena diketahui seperti pada AR. Autoantibodi lebih
mudah ditemukan dibandingkan sel T

3
ditemukan pada autoreaktif, tetapi autoantibodi dapat juga
penyakit ditemukan pada beberapa subyek normal.
2. Autoantibodi dan atau Benar pada beberapa penyakit endokrin,
sel T ditemukan di LES, dan beberapa glomerulonefritis
jaringan dengan
cedera
3. Ambang autoantibodi Hanya ditemukan pada penyakit autoimun
atau respons sel T sistemik akut dengan kerusakan jaringan
menggambarkan progresif cepat seperti pada LES, vasculitis
aktivitas penyakit sistemik atau penyakit antiglomerulus
membrane basal.
4. Penurunan respons Keuntungan imunosuspresi terlihat pada
autoimun memberikan beberapa penyakit, terbanyak imunospresan
perbaikan penyakit tidak spesifik dan berupa antiinflamasi.
5. Transfer antibody atau Ditemukan pada model hewan. Pada
sel T ke pejamu manusia dengan transfer transplasental
sekunder antibody igG autoreaktif selama kehamilan
menimbulkan penyakit trimester terakhir dan dengan timbulnya
autoimun pada penyakit autoimun pada resipien transplan
resipien sumsum tulang bila donor memiliki penyakit
autoimun.
6. Imunisasi dnegan Banyak protein self menginduksi respons
autoantigen dan autoimun pada hewan bila disuntikkan
kemudian induksi dengan ajuvan yang benar. Lebih sulit
respons autoimun dibuktikan pada manusia, tetapi imunisasi
menimbulkan penyakit rabies dengan jaringan otak mamalia yang
terinfeksi (tidak infeksius) dapat menimbulkan
ensefalomielitis autoimun.

4
2. Faktor yang berperan dalam penyakit autoimun

a. Faktor genetik

kontribusi genetik pada penyakit autoimun hamper selalu melibatkan


gen multiple. Namun demikian defek sejumlah gen tunggal dapat juga
menimbulkan autoimunitas. Hubungan antar gendengan autoimunitas juga
melibatkan varian atau alel dari MHC.

b. Faktor lingkungan

Faktor-faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas seperti mikroba,


radiasi UV, oksigen radikal bebas,obat dan agen bahan lain seperti logam.

3. Mekanisme induksi autoimun

a. Pelepasan antigen sekuester

Antigen sekuester adalah antigen yang karena sawar anatomi tidak


berhubungan dengan sel B atau sel T. pada keadaan normal, antigen
sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun.
Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi dapat memajankan
antigen sekuester dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan
normal. Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada
self antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi
autoimun.

b. Kemiripan molekular

Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari


mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Contohnya penyakit
autoimun yang ditimbulkan bakteri adalah demam reuma disebabkan oleh
antibody terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan
miokarditis.

5
c. Ekspresi MHC-II yang tidak benar

sel β pancreas pada penderita IDDM mengekspresikan kadar tinggi


MHC-I dan MHC-II, sedang subyek sehat sel β mengekspresikan MHC-I yang
lebih sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali.

4. Tipe reaksi autoimunitas

a. Reaksi autoimunitas Tipe I

Reaksi autoimunitas tipe I melibatkan antibodi dalam menyerang


jaringan tubuh sendiri. Antibodi tersebut semula dibuat sebagai respon tubuh
terhadap paparan antigen antara lain virus, akan tetapi sekuen asam amino
dari protein virus mirip dengan sekuens protein dari jaringan tubuh, sehingga
antibodi yang ada dapat merusak jaringan tubuh sendiri.

b. Reaksi autoimunitas tipe II (sitotoksik)

Reaksi autoimunitas tipe II melibatkan antibodi. Contoh penyakit dari


reaksi autoimunitas tipe II adalah Grave’s disease penyakit ini timbul sebagai
akibat dari produksi antibodi yang merangsang tiroid. Mekanisme respon
autoimun yang timbul pada penyakit graves, melibatkan reaksi antibodi yang
disebut dengan long acting thyroid stimulator bereaksi dengan reseptor thyroid
stimulating hormone yang terdapat pada permukaan kelenjar tiroid, sehingga
meningkatkan produksi hormone tiroid yang berlebihan (hyperthyroidism) dan
pembesaran kelenjar tiroid.

c. Reaksi autoimunitas tipe III (kompleks imun)

Systemic lupus eritematosus dan rheumatoid arthritis, merupakan


penyakit autoimun yang terjadi akibat reaksi autoimunitas tipe III (kompleks
imun). Manifestasi lupus eritematosus sistemik umumnya terjadi pada berbagai
organ dan jaringan diseluruh tubuh, terutama menyerang kaum wanita.
Penyebab penyakit ini belum sepenuhnya diketahui, akan tetapi pada
beberapa penderita ditemukan antibodi yang spesifik terhadap beberapa

6
komponen tubuhnya sendiri termasuk terhadap DNA, yang diduga dilepaskan
pada saat penghancuran sel atau jaringan secara normal, terutama sel-sel
kulit.

d. Reaksi autoimunitas tipe IV (cell-mediated autoimmune)

Penyakit multiple sclerosis merupakan salah satu contoh reaksi


autoimun dimana sel T dan makrofag dapat merusak sel-sel saraf. Gejala
penyakit ini sangat beragam mulai dari kelelahan yang kronis sampai
kelumpuhan (paralisis). Perkembangan penyakit ini sangat lambat dan dapat
berlangsung selama bertahun-tahun.

5. Mekanisme kerusakan jaringan

Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibodi (tipe II dan


III). Kerusakan organ dapat juga terjadi melalui autoantibodi yang mgnikat
tempat fungsional self antigen seperti reseptor hormon, reseptor
neurotransmitter dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai
atau menghambat efek ligan endogen untuk self protein yang menimbulkan
gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi atau kerusakan jaringan.
Fenomena ini jelas terlihat pada autoimunitas endokrin dengan autoantibodi
yang menyerupai atau menghambat efek hormone seperti TSH, yang
menimbulkan aktifitas berlebihan atau kurang dari tiroid.

Banyak akibat yang berat dan irreversibel penyakit autoimun


disebabkan oleh endapan matriks protein ekstraselular di organ yang terkena.
Proses fibrosis ini dapat menimbulkan gangguan fungsi misalnya di paru
(fibrosis paru), hati (sirosis), kulit (sclerosis sistemik) dan ginjal (fibrosis
interstisial dan glomelular). Untuk fibrosis tidak ad pengobatan yang efektif.

5. Penyakit autoimun

 Grave’s disease timbul sebagai akibat akibat dari produksi antibodi yang
merangsang tiroid. Mekanisme respon autoimun yang timbul pada

7
penyakit graves, melibatkan reaksi antibodi yang disebut dengan long
acting thyroid stimulator bereaksi dengan reseptor thyroid stimulating
hormone yang terdapat pada permukaan kelenjar tiroid, sehingga
meningkatkan produksi hormone tiroid yang berlebihan
(hyperthyroidism) dan pembesaran kelenjar tiroid.
 Penyakit Mysthaneia gravis merupakan penyakit autoimun yang
mengakibatkan kelemahan otot secara progresif. Hal ini disebabkan
karena antibodi menutupi reseptor asetilkolin pada hubungan
meuromuskuler. Reaksi antara reseptor asetilkolin dengan
immunoglobulin dapat mencegah penerimaan impuls saraf, yang dalam
keadaan normal disalurkan oleh molekul asetilkolin, sehingga
menimbulkan kelemahan otot.
 Systemic lupus eritematosus (LES) penyebab penyakit ini belum
sepenuhnya diketahui, akan tetapi pada beberapa penderita ditemukan
antibodi yang spesifik terhadap beberapa komponen tubuhnya sendiri
termasuk terhadap DNA, yang diduga dilepaskan pada saat
penghancuran sel atau jaringan secara normal, terutama sel-sel kulit.
 Artritis rheumatoid merupakan kelainan sendi yang disebabkan oleh
reaksi kompleks imun antara IgM, IgG dan komplemen pada
persendian. Reaksi kompleks imun yang terjadi antara faktor
rheumatoid dengan bagian Fc-IgG yang ditimbun pada synovia sendi
akan mengaktifkan sistem komplemen dan melepas mediator
kemotaksis terhadap granulosit. Respon inflamasi yang disertai
peningkatan menimbulkan pembengkakan sendi dan sakit bila eksudat
bertambah banyak. Senyawa enzimatik yang dilepas oleh neutrophil
segera memecah kolagen dan tulang rawan sendi yang menimbulkan
destruksi permukaan sendi sehingga mengganggu fungsi normal sendi.

8
B. REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Respons imun baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya


menguntungkan bagi tubuh, bersifat protektif terhadap infeksi atau
pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak
menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi
hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada
proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap
antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.

Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell & Coombs

a. Tipe I (Reaksi anafilaksis)

Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi,timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan allergen. Pada
reaksi Tipe I, allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun
berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan
dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut:

1) Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE


sampai diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel
mast/basofil.
2) Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast basofil melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3) Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan
aktivitas farmokologik.

Manifestasi reaksi Tipe I dapat bervariasi dari lokal ,ringan sampai berat
dan keadaan yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat.

9
Jenis alergi Alergen umum Gambaran
Anafilaksis Obat, serum,bisa, Edema dengan
kacang-kacangan peningkatan permeabilitas
vascular, berkembang
menjadi oklusi trakea,
kolaps sirkulasi dan
kemungkinan meninggal
Urtikaria akut Sengatan serangga Bentol dan merah di daerah
sengatan. Sengatan dapat
pula menimbulkan reaksi
Tipe IV
Rhinitis alergi Polen (hay fever), Edema dan iritasi mukosa
tungau debu rumah nasal
(rhinitis perennial)
Asma Polen, tungau debu Konstriksi brokial,
rumah peningkata produksi
mucus, inflamasi saluran
napas
Makanan Kerang, susu, telur, ikan, Urtikaria yang gatal dan
bahan asal gandum potensial menjadi
anafilaksis
Ekzem atopi Polen, tungau debu Inflamasi pada kulit yang
rumah, beberapa terasa gatal, biasanya
makanan merah dan ada kalanya
vesikular.

b. Tipe II (Reaksi sitotoksis)

Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau


sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen

10
yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi
dan determinan antigen yang merupaka bagian dari membrane sel tergantung
apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolism sel dilibatkan.

Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis
dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang meiliki
reseptor Fcɣ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebgai sel efektor dan
menimbulkan kerusakan melalui ADCC( Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity). Beberapa contoh reaksi hipersensitivitas Tipe II:

1) Reaksi transfusi
Bila darah individu golongan darah A mendapat transfuse
golongan darah B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B
isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan
kerusakan darah direk oleh hemolysis massif intravascular. Reaksi
dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM.
Reaksi lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat
transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun
inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai
6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu
pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan
darah, tersering adalah golongan Rhesus,Kidd, Kell dan Duffy.
2) Penyakit hemolitik bayi baru lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh
inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan
darah rhesus negative dan janin dengan rhesus positif.
3) Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin dan
streptomisin dapat diabsorbsi non spesifik pada protein membran sel
darah merah yang membentuk kompleks serupa kompleks moleku

11
hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk
antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada sel darah merah dan
dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia
progresif.

c. Tipe III (Reaksi kompleks imun)

Reaksi hipersensitivitas Tipe III merupakan reaksi yang melibatkan


antibodi terhadap antigen yang larut dan bersikulasi dalam serum. Hal ini
berbeda dengan reaksi hipersensitivitas Tipe II yang ditujukan pada antigen
yang berada pada sel atau permukaan sel. Pemaparan antigen dalam jangka
Panjang dapat merangsang pembentukan antibodi terutama golongan IgG.
Antibodi yang terbentuk bereaksi dengan antigen yang dikenali, membentuk
komplek antigen antibodi yang dapat mengendap pada salah satu jaringan
tubuh. Pembentukan kompleks antigen antibodi ini akan menimbulkan reaksi
inflamasi. Apabila kompleks antigen antibodi tersebut mengendap dalam
jaringan tubuh, maka akan mengaktifkan sistem komplemen. Aktifasi
komplemen tidak saja dapat menghancurkan kompleks antigen antibodi,
melainkan juga dapat merusak jaringan di sekitarnya.

Reaksi kompleks imun tergantung pada perbandingan relative antara


kadar antigen dan antibodi. Apabila kadar antibodi berlebihan maka akan
membentuk kompleks antigen antibodi yang dapat merangsang aktifasi
komplemen sehingga antigen dapat dieliminasi, sedangkan bilakadar antigen
berlebih kompleks antigen antibodi yang terbentuk tidak dapat menaktifasi
komplemn dan tidak menimbulkan reaksi inflamasi.

d. Tipe IV (Reaksi tipe lambat)

Reaksi hipersensitivitas Tipe IV atau reaksi tipe lambat merupakan


reaksi yang melibatkan respon imun selular khusunya oleh sel T. reaksi ini
berlangsung lambat, umumnya baru timbul lebih dari 12 jam setelah
pemaparan dengan antigen. Hal ini disebabkan karena migrasi sel T dan

12
makrofag ke tempat adanya antigen memerlukan waktu yang berkisar antara
12-24 jam.

Reaksi hipersensitivitas tipe lambat ini terjadi akibat paparan oleh


antigen asing, khususnya pada jaringan tubuh yang ditangkap oleh sel fagosit
yaitu makrofag yang kemudian disajikan oleh sel T. terikatnya antigen melalui
respetor pada sel T dengan determinan antigenik merangsang sel T untuk
berpoliferasi dan berdiferensiasi membentuk sel T yang matang dan sel T
memori. Apabila seseorang terpapar kembali dengan antigen yang sama,
maka reaksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat ini akan terjaid. Sel memori
akan mengaktifkan sel T untuk melepaskan sneyawa limfokin yang dapat
merusak antigen yang berinteraksi dengan sel T. selain itu beberapa sitokin
dapat merangsang reaksi inflamasi dan menarik makrofag untuk bermigrasi
dan menangkap serta melisiskan sle yang terinfeksi. Efek fagositosis oleh
makrofag terhadap sel yang terinfeksi dapat menimbulkan kerusakan jaringan.

Manifestasi reaksi hipersensitvitas Tipe IV adalah tes kulit untuk


tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis seringkali berada dalam
makrofag,sehingga bakteri ini dapat menimbulkan respon imun selular. Untuk
diagnosis, komponen protein Mycobacterium tuberculosis disuntikkan pada
kulit. Reaksi inflamasi yang ditimbulkan akibat suntikan antigen tersebut,dapat
dilihat setelah 24-48 jam.

13
Perbedaan reaksi hipersensitivitas Tipe I, Tipe II, Tipe III dan Tipe IV

Karakteristik Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV


Jenis antibodi IgE IgG, IgM IgG, IgM Tidak ada
Jenis antigen Eksogen Permukaa Antigen larut Organ dan
n sel jaringan
Waktu respon 15-30 menit Menit- jam 3-8 jam 48-72 jam
Keadaan fisik Kemerahan, Lisis dan Eritema, Eritema
panas dan nekrosis nekrosis, dan
bengkak edema indurasi
Diperantarai Antibodi Antibodi Antibodi Sel T
oleh
Histologi Sel basofil Antibodi Komplemen dan Monosit
dan eosinofil dan neutrophil dan limfosit
kompleme
n
Contoh reaksi Alergi,asma, Erythoblast Systemic lupus Tes
demam osis fetalis, erythematosus, tuberculin,
goodpastur farmer’s lung poison ivy,
e’s disease granuloma
nephritis

C. Immunodefisiensi

Imunodefisiensi atau imunokompromais ialah fungsi sistem imun yang


menurun atau tidak berfungsi dengan baik. Fungsi masing-masing komponen
sistem imun humoral maupun selular atau keduanya dapat terganggu baik oleh
sebab kongenital maupun sebab yang didapat. Keadaan imunodefisiensi dapat
terjadi disebabkan oleh berbagai hal, antaralain akibat infeksi ( AIDS, virus
mononucleosis, rubella dan campak), penggunaan obat (steroid, penyinaran,
kemoterapi,imunosupresi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit

14
hematologic (limfoma/Hodgkin, leukemia, myeloma, neutropenia, anemia
aplastic, anemia sel sabit), penyakit metabolic (enteropati dengan kehilangan
protein, sindrom nefrotik, diabetes melitus, malnutrisi), trauma dan tindakan
bedah (luka bakar, splenektomi, anestesi), lupus eritematosus sistemik dan
hepatitis kronis.

Secara garis besar imunodefisiensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu


imunodefisiensi kongenital dan imunodefisiensi yang didapat (acquired
immune deficiencies).

1. Imunodefisiensi kongenital
Imunodefisiensi kongential atau imunodefisiensi primer pada
umumnya disebabkan oleh kelainan respon imun bawaan yang dapat
berupa kelainan dari sistem fagosit dan komplemen atau kelainan dalam
deferensiasi fungsi limfosit.
Disfungsi fafosit antara lain disebabkan oleh defisiensi enzim yang
diperlukan untuk membunuh mikroorganisme, misalnya gangguan pada
granula azurofil dalm sel polimorfonuklear (PMN), sehingga sel PMN
kekurang enzim untuk metabolisme oksidatif misalnya defisiensi
lisozim, defisiensi mieloperoksidase dan defisiensi laktoferin. Penyakit
lain yang diduga berdasarkan faktor genetik adalah penyakit
granulomatosa kronik yang menyebabkan gangguan fungsi neutrofil.
Defisiensi masing-masing komponen komplemen menyebabkan
penderita tidak mampu mengeliminasi kompleks antigen antibodi yang
terdapat dalam tubuh secara efektif. Defisiensi protein komplemen C3
atau C5 dapat menyebabkan gangguan opsonisasi mikroorganisme,
disamping itu terjadi gangguan pelepasan faktor kemotaksis sehingga
proses fagositosis juga terganggu.
Penderita defisiensi limfosit T biasanya mudah terinfeksi berulang
oleh bakteri pathogen yang berkapsul, rentan terhadap infeksi virus,
jamur dan mikroba yang patogenesisnya rendah. Beberap kelainan

15
kongenital yang berhubungan dengan defisiensi sel T adalah DiGeorge
syndrome, Wiskoot-aladrich syndrome dan chronic mucocutaneous
candidiasis.
Imunodefisiensi kongenital dapat juga disebabkan oleh defisiensi sel
induk limfoid yang ditandai oleh kelainan limfosit B dan limfosit T yang
dikenal dengan severe combine immunodeficiency. Umumnya kelainan
ini disebabkan oleh gangguan enzim recombinase yang penting untuk
pembentukan respetor pada sel B dan sel T. Kelainan genetik ini
menyebabkan sel B dan sel T tidak berhasil menjadi sel yang
imunokompeten sehingga terjadi imunodefisiensi selular maupun
humoral.

2. Imunodefisiensi yang didapat

Imunodefisiensi dapatan ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain


infeksi virus yang dapat merusak sel limfosit, malnutrisi, penggunaan obat-
obat sitotoksikdan kortikosteroid, serta akibat penyakit kanker seperti
penyakit Hodgkin, leukemia, myeloma, limfosit kronik dan lain-lain.

Salah satu contoh imunodefisiensi dapatan adalah penyakit infeksi


Human Immunodeficiensy Virus (HIV) yang dapat menyebabkan Acquired
immune deficiency syndrome (AIDS). Kelainan sistem imun penderita
AIDS ditandai dengan penurunan jumlah dan fungsi dari limfosit T-
penolong (Th), peningkatan sel limfoid yang prematur dan peningkatan
aktifitas sel T-penekan (Ts). Selain itu juga dijumpai adanya ganguguan
fagosit, dimana sel monosit dan makrofag tidak bisa berfungsi dengan
baik. Pada AIDS jumlah sel B yang mensekresi immunoglobulin
bertambah akan tetapi ternyata immunoglobulin poliklonal tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
gangguan intrinsic sel B.

16
Imunodefisiensi juga dapat meningkatkan berkembangnya sel-sel
kanker didalam tubuh. Sebagaimana halnya penyakit infeksi, kegagalan
sistem imun untuk memusnahkan senyawa asing termasuk sel kanker,
dapat menyebabkan berkembangnya sel-sel kanker.

Beberapa jenis penyakit yang dapat menyebabkan imunodefisiensi

Jenis penyakit Sel target

Acquired immune deficiency Sel T (virus merusak sel Th[CD4])


syndrome (AIDS)

Imunodefisiensi sIgA Sel B dan sel T (rentan terhadap


infeksi pada mukosa)

Reticular disgenesis Sel B, sel T dan sel induk (defisiensi


sel induk, sel B, sel T tidak
berkembang)

Severe combined immunodeficiency Sel B, sel T dan sel induk (defisiensi


pada sel B dan sel T)

DiGeorge syndrome Sel T (kelainan pada timus


menyebabkan defisiensi sel T)

Wiscott-aladrich syndrome Sel B dan sel T (sedikit platelet dalam


darah dan sel T abnormal)

X-linked agammaglobulinemia Sel B (penurunan produksi


immunoglobulin)

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Autoimunitas merupakan kegagalan mekanisme toleransi yang efektif


terhadap antigen self.
2. Mekanisme mengenai induksi autoimunitas adalah pelepasan antigen
sekuester, kemiripan molekular dan ekspresi MHC-II yang tidak
sesuai.
3. Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi inflamasi, dapat berupa humoral
atau selular.
4. Menurut Gell dan Coombs reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 tipe
,yaitu tipe I (reaksi anafilaktik), tipe II (reaksi sitotoksis), tipe III (rekasi
kompleks imun) dan tipe IV (reaksi tipe lambat).
5. Defisiensi imun menimbulkan kerentanan terhadap penyakit yang
tergantung dari hilangnya fungsi imun.

18
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja,K. G., dan Rengganis, I. 2012. Imunologi Dasar. Edisi


10. Jakarta:Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Radji, Maksum. 2015. Imunologi dan Virologi. Edisi Revisi. ISFI
Penerbitan.

19

Anda mungkin juga menyukai