Anda di halaman 1dari 10

IMUNISASI PADA ANAK

1. Jenis-jenis Imunisasi PPI

a) Hepatitis B
Jenis vaksin: Inactivated viral vaccine (IVV = HBsAg yang telah diinaktivasi)
 vaksin rekombinan: HB Vax (MSD), Engerix (smith Kline Becham), Bimugen
(kahatsuka)
 Plasma derived: Hepa B: vaksin hepatitis B (biofarma), Hepaccine B (Cheil
Chemical & ford)
Dosis: 0,5 mL/dosis.
Cara pemberian: SC/IM
Jadwal imunisasi:
 Disarankan untuk diberikan bersama BCG dan Polio I pada kesempatan kontak
pertama dengan bayi.
 Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif mendapat ½ dosis anak vaksin
rekombinan atau 1 dosis anak vaksin plasma derived. Dosis kedua harus diberikan 1
bulan atau lebih setelah dosis pertama.
 Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapat 0,5 cc Hepatitis B immune globulin
(HBIG) dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 1 dosis anak vaksin rekombinan atau
1 dosis anak vaksin plasma derived pada tempat suntikan yang berlainan. Dosis
kedua direkomendasikan pada umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau bersama
dengan vaksin campak pada umur 9 bulan.
 Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HBsAgnya mendapat 1 dosis
anak plasma rekombinan atau 1 dosis anak vaksin plasma derived dalam waktu 12
jam setelah lahir. Dosis kedua direkomendasikan pada umur 1-2 bulan dan ketiga 6-
7 bulan atau bersama dengan vaksin campak pada umur 9 bulan. Diberikan booster
5 tahun kemudian, dianjurkan pemeriksaan kadar anti HBsAg sebelumnya.
Kontra indikasi: defisiensi imun (mutlak)
Efek samping: reaksi lokal ringan, demam sedang 24-48 jam, lesu, rasa tidak enak
pada saluran pencernaan.

b) BCG
Jenis Vaksin: Calmette & Guerin (Biofarma, Pasteur, Glaxo) suatu live attenuated
vaccine (LAV).
Dosis: 0,05 mL/dosis
Jadwal imunisasi: Pada kesempatan kontak pertama dengan bayi
Tidak diperlukan booster
Kontra indikasi: defisiensi imun (mutlak), dermatosis yang progresif (sementara)
Efek samping: reaksi lokal, adenitisDPT
Jenis vaksin: Difteri (toksoid); Pertusis (Inactivated Bacterial Vaccine-IBV, Bordetella
pertusis tipe I); Tetanus (toksoid)
Dosis: 0,5 mL/dosis
Cara pemberian: IM atau SC dalam
Jadwal imunisasi:
 Imunisasi dasar: Tiga dosis dengan interval 4-6 minggu.
Dosis I diberikan pada umur 2 bulan.
 Booster: Dosis IV diberikan 1 tahun setelah dosis III dan
Dosis V dan VI berupa DT diberikan pada umur 6 dan 12 tahun.
Kontra indikasi: Defisiensi imun (mutlak)
Difteri : tidak ada
Pertusis : riwayat kelainan neurologis → skema imunisasi DPT
pada bayi dengan riwayat kejang. (lihat lampiran 1)
Tetanus : tidak ada
Efek samping: Reaksi lokal, demam
Reaksi akinetik, kejang, gejala ensefalopati akibat komponen vaksin
pertusis. Jika muncul reaksi ini, imunisasi DPT dilanjutkan hanya dengan
DT  lihat bagan pedoman vaksinasi DPT pada anak/bayi dengan riwayat
kejang

c) Polio
Jenis vaksin: vaksin polio oral sabin (LAV)
Dosis: 2 tetes/dosis
Cara pemberian: oral
Jadwal imunisasi:
 Dosis I diberikan pada umur sedini mungkin bila bayi lahir di RS (bersama dengan
BGC) atau pada kontak pertama bila bayi datang ke RS atau posyandu (biasanya
umur 2 bulan). Selanjutnya dosis II,II dan IV diberikan dengan interval 4 minggu,
bersamaan dengan DPT I,II dan II. Jika BCG dan Polio I diberikan bersamaan
dengan DPT I , polio IV diberikan 4-6 minggu setelah DPT/Polio III.
 Booster: dosis V diberikan I tahun setelah dosis IV dan dosis VI dan VII diberikan
pada umur 6 dan 12 tahun.
Kontra indikasi: Defisiensi imun (mutlak), diare (sementara)
Efek samping: Tidak ada reaksi klinis. Kemungkinan polio paralitik yang dapat
dievaluasi dari 1 per 8 juta dosis pada anak yang telah diimunisasi dan 1
per 5 juta dosis pada kontak.

2
d) Campak
Jenis vaksin: Schwarz (LAV)
Dosis: 0,5 mL/dosis
Cara pemberian: SC atau IM
Jadwal imunisasi:
 Imunisasi dasar : diberikan pada umur 9 bulan
 Booster: tidak diperlukan
Kontra indikasi: Defisiensi imun (mutlak)
Alergi terhadap telur (benar-benar terbukti)
Mendapat injeksi gammaglobulin dalam 6 minggu terakhir
Efek samping: demam dengan atau tanpa ruam 6-12 hari setelah diimunisasi pada 15-
20% anak.

2. Jenis –Jenis Imunisasi Non-PPI

a) MMR (Measles-Mumps-Rubela)
Jenis vaksin: Triple vaccine Measles, Mumps dan Rubella (LAV), isinya :
Measles : campak
Mumps : Urabe (trimovax-pasteur), Jeryl Lynn (MMR-MSD)
Rubella : RA 27/73
Dosis: 0,5 cc/dosis
Cara pemberian: SC atau IM
Jadwal imunisasi:
 Imunisasi dasar: diberikan pada umur 12 bulan atau 6 bulan setelah imunisasi
campak.
 Booster: diberikan pada umur 12 tahun
Kontra indikasi: sama dengan campak
Efek samping: sama dengan campak + parotitis: demam, ruam, ensefalitis parotitis,
meningoensefalitis, tuli neural unilateral (tetapi dilaporkan sembuh
sempurna tanpa gejala sisa).

b) Tifus Abdominalis
Jenis vaksin: Vi CPS (capsular poly sacharide) : Typhim Vi (Pasteur Merieux)
Oral : Vivotif (Ty2/A strain)
Dosis: Polisakarida 0,5 mL/dosis
Oral: 1 kapsul lapis enterik atau 1 sachet.
Cara pemberian: Polisakarida : SC atau IM satu kali
Oral, 3 kali selang sehari.
Jadwal imunisasi:
 Imunisasi dasar: Polisakasrida direkomendasikan diberikan pada umur >
2 tahun.
3
Oral direkomendasikan diberikan pada umur > 6 tahun
dalam 3 dosis dengan interval dosis selang sehari.
 Booster: Polisakarida diberikan setiap 3 tahun
Oral: setelah 3-7 tahun.
Kontra indikasi: < 2 tahun (mutlak), tidak dianjurkan sebelum umur 6 tahun.
Proteinuria, penyakit progresif
Efek samping: Reaksi lokal ditempat suntikan : indurasi, nyeri 1-5 hari.
Reaksi sistemik : demam, malaise, sakit kepala, nyeri otot, komplikasi
neuropatik, kadang-kadang bisa shock, kolaps.

c) Varisela
Jenis vaksin: Strain OKA dari virus Varicella zoster.
Dosis: 0,5 cc/dosis
Cara pemberian: SC
Jadwal imunisasi:
 Imunisasi dasar : Anak umur 12 bulan sampai dengan 12 tahun diberikan 1 dosis.
Anak 13 tahun keatas diberikan 2 dosis dengan interval 4-8 minggu.
 Booster: Jika diberikan pada umur 12 bulan harus diulang pada umur 12 tahun.
Kontra indikasi: Defisiensi imun (mutlak), penyakit demam akut yang berat (sementara),
hipersensitif terhadap neomisin atau komponen vaksin lain, TBC aktif
yang tak diobati, penyakit kelainan darah.
Efek samping: Reaksi lokal di tempat suntikan: ringan
Reaksi sistemik : demam ringan, erupsi papulo vesikular dengan lesi <
10.
Catatan: hindarkan pemberian salisilat selama 6 minggu setelah vaksinasi karena
dilaporkan terjadi Reye’s Syndrome setelah pemberian salisilat pada anak dengan varisela
alamiah.

d) Haemophylus Influenza Tipe B (Act-HiB)


Jenis vaksin: Conjugate H. Influenza Tipe B (Act-HiB) PRP-T (Pasteur Merieux)
Dosis: 0,5 cc/dosis
Cara pemberian: SC atau IM
Jadwal imunisasi:
 Imunisasi dasar :
 Untuk vaksin conjugate H-Influenza Tipe B (Act-HiB)
 bila umur 2-6 bulan: direkomendasikan diberikan pada umur 2,4 dan 6
bulan
 bila umur 6-12 bulan: direkomendasikan diberikan pada umur 2 dosis
dengan interval 1-2 bulan.
 bila umur >12 bulan: Act HiB hanya diberikan 1 kali
 Untuk vaksin Pedvax HIB MSD
4
 Bila diberikan pada umur 2-14 bulan maka diberikan dalam 2 dosis dengan
interval 2 bulan.
 Bila di berikan pada umur > 15 bulan maka diberikan 1 kali saja.
 Booster :
 Untuk Act-HIB: bila imunisasi dasar diberikan pada umur 2-10 bulan, booster
pada umur 12-15 bulan setelah suntikan terakhir.
 Untuk Pedvax: bila imunisasi dasar sebelum 1 tahun, booster diberikan 12 bulan
setelah suntikan terakhir.
Kontra indikasi: Hipersensitif terhadap komponen vaksin
Infeksi akut dengan demam
Efek samping: Lokal : eritema, nyeri dan indurasi
Reaksi sistemik : demam, nausea, muntah dan/atau diare, menangis > ½-1
jam dan rash.
Infeksi akut dengan demam.

e) Hepatitis A
Jenis vaksin: partikel virus aktif yang diinaktivasi 9IVV0
Dosis: 0,5 cc/dosis
Cara pemberian: SC/ IM
Jadual imunisasi: Imunisasi dasar: anak berumur > 2 tahun diberikan 3 dosis dengan
jadwal 0,1 dan 6 bulan.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak)

3. Imunisasi pada Kondisi Tertentu

a) Bayi Prematur

Vaksinasi harus diberikan dan mulai pada usia kronologis serta sesuai jadwal untu
anak cukup bulan. Imunisasi hepatitis B diberikan bila berat badan mencapai 2000 gram
atau lebih, tetapi bila ibu mempunyai B hepatitis surface antigen positif maka segera
diberikan vaksinasi hepatitis B dan imunoglobulin anti hepatitis B bersamaan dalam
waktu 12 jam tanpa mempertimbangkan berat badan bayi.

b) Imunokompromais (infeksi HIV)

Pasien HIV mempunyai resiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga
diperlukan imunisasi, walaupun respons terhadap imunisasi tidak akan optimal atau
kurang.

i) Vaksin Kuman Mati

5
Vaksin pneumokok dan vaksin Haemophilus influenza tipe B (Hib)

Penderita HIV mempunyai resiko untuk mendapatkan infeksi dengan kuman pneumokok
dan H.influenza tipe B sehingga dianjurkan untuk diberikan secepatnya. Hanya 37%
mempunyai kekebalan setelah vaksinasi dengan Haemophilus influenza tipe B sehingga
diperlukan vaksinasi ulangan..

Vaksin influenza

Respons imun yang timbul oleh vaksin influenza adalah sel T dependent maka penderita
HIV yang lamjut tidak berguna diimunisasi dengan vaksin ini.

Vaksin toksoid tetanus, difteri dan polio virus mati (IPV)

Respons imun yang dihasilkan akan sama dengan anak normal apabila diberikan pada
stadium dini walaupun terdapat vaksin difteri kurang sehingga diperlukan pemberian
ulangan terutama di daerah endemik atau bila penderita HIV berkunjung ke daerah yang
endemis difteri.

Vaksin Hepatitis B

Anak yang mendapat infeksi HIV dari ibu penderita HIV tidak akan mendapatkan
respons imun yang baik bila diberikan imunisasi hepatitis B tetapi bila belum terinfeksi
HIV, dan mempunyai antibodi HIV akan berespons lebih baik terhadap vaksinasi hepatitis
B.

ii) Vaksin Kuman Hidup

Vaksin campak

Penderita HIV yang mendapat infeksi campak mempunyai prognosis buruk dan fatal.
Respons imunisasi campakadalah baik bila diberikan di bawah umur 1 tahun, walaupun
antibodi yang timbul cepat menghilang dan hanya 52% yang masih mempunyai efek
antibodi setelah 1 tahun imunisasi sedangkan bila diberikan imunisasi efek samping tidak
ada.

Vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG)

Penderita HIV mempunyai resiko untuk mendapat infeksi tuberkulosis. Vaksinasi BCG
dapat menimbulkan infeksi tuberkulosis di kemudian hari, sedangkan efek perlindungan
vaksinasinya masih diragukan sehingga tidak dianjurkan untuk vaksinasi BCG terutama
di negara yang maju, sedangkan di negara yang masih tinggi insiden tuberkulosisnya,
WHO menganjurkan untuk tetap diberikan vaksinasi BCG.

6
Vaksin polio oral (OPV), vaksin varciella-zooster, yellow fever

Tidak diperbolehkan untuk memberikan OPV, vaksin varciella dan yellow fever pada
penderita HIV karena OPV dapat melumpuhkan.

4. Rantai Dingin Imunisasi

1. Peralatan Rantai Vaksin


Peralatan rantai vaksin adalah seluruh peralatan yang digunakan dalam pengelolaan vaksin
sesuai dengan prosedur untuk menjaga vaksin pada suhu yang telah ditetapkan. Sarana rantai
vaksin atau cold chain dibuat secara khusus untuk menjaga potensi vaksin dan setiap jenis sarana
cold chain mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. :
a. Lemari Es
Setiap puskesmas harus mempunyai 1 lemari es sesuai standar program (buka atas) Pustu
potensial secara bertahap juga dilengkapi dengan lemari es.
b. Mini Freezer
Sebagai sarana untuk membekukan cold pack di setiap puskesmas diperlukan 1 buah
freezer.
c. Vaccine Carrier
Vaccine carrier biasanya di tingkat puskesmas digunakan untuk pengambilan vaksin ke
kabupaten/kota. Untuk daerah yang sulit vaccine carrier sangat cocok digunakan ke
lapangan, mengingat jarak tempuh maupun sarana jalan, sehingga diperlukan vaccine
carrier yang dapat mempertahankan suhu relatif lebih lama.
d. Thermos
Thermos digunakan untuk membawa vaksin ke lapangan/posyandu. Setiap thermos
dilengkapi dengan cool pack minimal 4 buah @ 0,1 liter. Mengingat daya tahan untuk
mempertahankan suhu hanya kurang lebih 10 jam, maka thermos sangat cocok digunakan
untuk daerah yang transportasinya mudah dijangkau.
e. Cold Box
Cold Box di tingkat puskesmas digunakan apabila dalam keadaan darurat seperti listrik
padam untuk waktu cukup lama, atau lemari es sedang mengalami kerusakan yang bila
diperbaiki memakan waktu lama.
f. Freeze Tag/Freeze Watch
Freeze Tag untuk memantau suhu dari kabupaten ke puskesmas pada waktu membawa
vaksin, serta dari puskesmas sampai lapangan/posyandu dalam upaya peningkatan
kualitas rantai vaksin.
g. Kotak dingin cair (Cool Pack)
Kotak dingin cair (Cool Pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat, besar ataupun
kecil yang diisi dengan air yang kemudian didinginkan pada suhu +2ºC dalam lemari es
selama 24 jam. Bila kotak dingin tidak ada, dibuat dalam kantong plastik bening.
h. Kotak dingin beku (Cold Pack)

7
Kotak dingin beku (Cold pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat, besar ataupun
kecil yang diisi dengan air yang kemudian pada suhu -5ºC − 15ºC dalam freezer selama
24 jam. Bila kotak dingin tidak ada, dibuat dalam kantong plastik bening.

2. Pengelolaan Vaksin
a. Penerimaan /pengambilan vaksin (transportasi)
1) Pengambilan vaksin dari Puskesmas ke kabupaten/kota dengan menggunakan peralatan
rantai vaksin yang sudah ditentukan. Misalnya: cold box atau vaccine carrier.
2) Jenis peralatan pembawa vaksin disesuaikan dengan jumlah vaksin yang akan diambil.
3) Sebelum memasukkan vaksin ke dalam alat pembawa, periksa indikator vaksin (VVM).
Vaksin yang boleh digunakan hanya bila indikator VVM tingkat A atau B. Sedangkan bila VVM
pada tingkat C atau D tidak usah diterima karena tidak dapat digunakan lagi.
4) Masukkan kotak cair dingin (cool pack) ke dalam alat pembawa dan di bagian tengah
diletakkan thermometer Muller, untuk jarak jauh bila freeze tag/watch tersedia dapat dimasukkan
ke dalam alat pembawa.
5) Alat pembawa vaksin yang sudah berisi vaksin, selama perjalanan dari kabupaten/kota ke
puskesmas tidak boleh kena sinar matahari langsung.
6) Catat dalam buku stok vaksin : tanggal menerima vaksin, jumlah, nomor batch dan tanggal
kadaluarsa.
b. Penyimpanan Vaksin
1) Vaksin disimpan pada suhu +2ºC − +8ºC.
2) Bagian bawah lemari es diletakkan kotak dingin cair (cool pack) sebagai penahan dingin
dan kestabilan suhu
3) Vaksin TT diletakkan lebih jauh dari evaporator.
4) Beri jarak antara kotak vaksin minimal 1-2 cm atau satu jari tangan agar terjadi sirkulasi
udara yang baik.
5) Letakkan 1 buah thermometer Muller di bagian tengah lemari es. Penyimpanan vaksin
harus dicatat 2 kali sehari pada grafik suhu yaitu saat datang pagi hari dan menjelang pulang
siang/sore hari.
c. Pemantauan Suhu
Tujuan pemantauan adalah untuk mengetahui suhu vaksin selama pendistribusian dan
penyimpanan, apakah vaksin pernah terpapar/terkena panas yang berlebih atau suhu yang terlalu
dingin (beku). Sehingga petugas mengetahui kondisi vaksin yang digunakan dalam keadaan baik
atau tidak. Adapun alat pemantau suhu vaksin antara lain :
1) VVM (Vaccine Vial Monitor )
2) Setiap lemari es dipantau dengan 1 buah thermometer Dial/Muller
3) Sebuah freeze tag atau freeze watch
4) Sebuah buku grafik pencatatan suhu.

3. Pemeriksaan Vaksin dengan Uji Kocok

8
Bila vaksin tersangka beku maka untuk meyakinkan apakah vaksin masih layak atau tidak untuk
digunakan maka dilakukan pemeriksaan dengan Uji Kocok (Shake Test).
Langkah-langkah shake test sebagai berikut :
a. Periksa freeze watch, freeze tag, catatan/grafik suhu lemari es untuk melihat tanda-tanda
bahwa suhu lemari es tersebut pernah turun di bawah titik beku.
b. Freeze watch : Apakah kertas absorban berubah menjadi biru.
c. Bila menggunakan freeze tag : Apakah tanda √ telah berubah jadi tanda X.
d. Termometer : Apakah suhu turun hingga di bawah titik beku ?
e. Bila salah satu atau ketiga jawabannya YA.

4. Lakukan Uji Kocok (Shake test)


a. Pilih satu contoh dari tiap tipe dan batch vaksin yang dicurigai pernah beku, utamakan yang
dekat dengan evaporator dan bagian lemari es yang paling dingin. Beri label .Tersangka beku..
Bandingkan dengan vaksin dari tipe dan batch yang sama yang sengaja dibekukan hingga beku
padat seluruhnya dan beri label .Dibekukan ..
b. Biarkan contoh .Dibekukan. dan vaksin .Tersangka beku. sampai mencair seluruhnya.
c. Kocok contoh .Dibekukan. dan vaksin .Tersangka beku. Secara bersamaan.
d. Amati contoh .Dibekukan. dan vaksin .Tersangka beku. Bersebelahan untuk membandingkan
waktu pengendapan. (Umumnya 5-30 menit).
e. Bila terjadi :
1) Pengendapan vaksin .Tersangka beku. lebih lambat dari contoh .Dibekukan., vaksin dapat
digunakan.
2) Pengendapan vaksin .Tersangka beku. sama atau lebih cepat daripada contoh .Dibekukan.
jangan digunakan, vaksin sudah rusak.

9
JADWAL IMUNISASI DEPKES RI
Waktu pemberian
IMUNISASI Bulan Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 9 12 15 18 2 6 12
PPI (BAYI LAHIR DI RS)
Hepatitis B I II (II) III (III) IV
BCG X
DPT I II III IV V (DT) VI (DT)
Polio I II III IV V VI VII
Campak X
PPI (Posyandu/RS)
Hepatitis B I II III
BCG X
DPT I II III IV V (DT) VI (DT)
Polio I II III IV V VI VII
Campak X
NON PPI
HIB - Act Hib I II (II) III (III) IV
- Pedvax Hib I II (II) III
MMR I II
Tifoid - Typhim Vi X
- Vivotif/Oral XXX
Varisela XX
Hepatitis A XXX
JADWAL IMUNISASI YANG DIANJURKAN IDAI 2004
(Pada penderita yang mampu dianjurkan mengikuti program ini)

Umur pemberian Imunisasi


Vaksin Bulan Tahun
Lhr 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 2 3 5 6 10 12

Program Pengembangan Imunisasi (PPI, diwajibkan)


BCG
Hepatitis B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
DTP 1 2 3 4 5 6
dTatau TT
Campak 1 2
Program Pengembangan Imunisasi Non PPI (Non PPI, dianjurkan)
Hib 1 2 3 4
MMR 1 2
Tifoid Ulangan, tiap 3 tahun
Hepatitis A Diberikan 2x, interval 6–12 bulan
Varisela

10

Anda mungkin juga menyukai