Anda di halaman 1dari 5

BIOAVAILABILITAS & BIOEKIVALENSI  Jika rute parenteral tdk memungkinkan dg alasan keamanan

PENDAHULUAN (safety), maka digunakan obat pembanding lainnya dg rute yg


 Dokter  diagnosa penyakit  menulis resep  berbagai sama dg obat yg diteliti. Ini disebut BA relatif.
jenis obat dapat dipilih untuk menyembuhkan penyakit
 Pengaruh formulasi obat trhdp variasi respons atau tjd nya
respons yang tidak diinginkan
 Formulator/produsen obat harus mampu membuat formulasi
dengan bioavailabilitas yang sama  supaya obat apapun
yang dipilihkan untuk pasien menghasilkan respons yang sama
BIOAVAILABILITAS (BA)
 “kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik BIOEKIVALENSI (BE)
secara utuh pada pemberian sediaan secara ekstravaskuler” “keadaan dimana bioavailabilitas dari sediaan-sediaan obat dg
atau formulasi berbeda adalah sama/komparabel”
 “persentase suatu senyawa obat yang diabsorpsi dan PERANAN BE :
mencapai sirkulasi sistemik secara utuh, dari suatu sediaan Untuk mengetahui ada tidak beda secara nyata (signifikan)
obat” bioavailabilitas sediaan-sediaan obat yang diproduksi dengan
PERANAN BA : formulasi dan cara produksi berbeda menyangkut variasi
Dasar utk memahami adanya variasi efek terapi dari beberapa kecepatan disintegrasi dan kecepatan disolusinya.
penderita yang mendapat sediaan obat dengan kandungan zat BIO-INEKIVALENSI
aktif yg sama tetapi dihasilkan oleh produsen obat yg berbeda  Bioinekivalensi telah ditemukan pada sediaan-sediaan yg
KNP BERBEDA BIOAVAILABILITAS (BA)??? berbeda dari sejumlah obat seperti digoksin, tetrasiklin,
 Perbedaan BA dpt juga terjadi di antara batches yg berbeda aspirin, fenitoin, teofilin, warfarin dan lebih nyata lagi pada
dari suatu produk obat yg dihasilkan oleh produsen yg sama obat-obat yg absorpsinya sedikit dan sediaan obat salut
 Ini terjadi krn BA dipengaruhi oleh sifat kimia fisika bahan obat enterik.
(zat aktif + bahan tambahan/eksipien), formulasi sediaan obat,  Nilai terapi yg signifikan dari keadaan bioinekivalensi sangat
cara produksinya tinggi pada obat-obatan dg indeks terapi sempit serta pada
1. Faktor kimia fisika bahan obat obat-obatan yg efeknya berkaitan erat dg kadarnya di dlm
Sifat kimia fisika bahan obat tergantung bentuknya (kristal plasma contoh warfarin, digoksin, fenitoin, hipoglikemik oral
atau amorf), stabilitasnya terhadap enzim inaktivasi dan sitostatika.
Absorpsi di sal cerna obat berbentuk amorf >>> kristal  Kebanyakan obat dg berbeda merk hanya berbeda sedikit BA-
Obat yg mengalami inaktivasi di : nya (10%) dan kepentingan terapinya kecil sehingga boleh
- lumen usus cth benzilpenisilin (tdk stabil oleh asam lambung) dikatakan menghasilkan ekivalensi terapi. 2 obat dinyatakan
- mukosa GI cth isoprenalin ekivalensi terapi jika manfaat dan keamanannya komparabel.
- hepar cth nitrit, propranolol memiliki BA yg rendah PARAMETER PENENTU BE
2. Faktor formulasi obat 1. Cmaks (μg/mL): kadar maksimal obat dlm sirkulasi sistemik yg
Tujuan umum formulasi : memperoleh obat dengan berkaitan dengan intensitas respon, terletak di antara kadar
disintegrasi yg cepat dan kelarutan yg baik efektif minimal dg kadar toksik minimal
Diuji dengan disintegration tester & dissolution tester 2. Tmaks: waktu yg diperlukan untuk mencapai Cmaks.
Pe(+) bahan hidrofilik: disintegrasi obat meningkat Digunakan sebagai pedoman kasar untuk menentukan
Partikel berukuran kecil  luas permukaan mjd lebih besar  kecepatan absorpsi.
kelarutan obat semakin meningkat 3. AUC (μg.jam/mL): area under curve yg digunakan untuk
Urutan absorpsi obat paling banyak & lebih cepat : Larutan > menentukan jumlah absorpsi (derajat absorpsi)
suspensi > kapsul (keras/lunak) > tablet > tablet salut
3. Faktor cara produksi obat
Tergantung metode granulasi yg digunakan, daya
kompaktibilitas/kepadatan tablet, kelembaban, suhu
pembuatan dan penyimpanan obat
PRINSIP BA OBAT
 Jika obat yg diabsorpsi sempurna saja yg akan masuk ke dlm
sirkulasi sistemik dg dosis BA yg sama dg dosis pemberian (F =
100%)
BA sediaan intravena, F = 1
BA sediaan oral, F < 1
BA ditentukan dg membandingkan kecepatan dan jumlah
absorpsi dlm darah dari suatu obat dengan data obat tsb pada
pemberian secara intravena. BA ini disebut BA absolut.
 Jika rute IV tdk memungkinkan, misal krn masalah kelarutan.
Maka rute IM bs dijadikan standar.
EKIVALENSI TERAPI
“keadaan dimana efek terapi dari berbagai sediaan obat dengan
zat aktif yg sama selalu ekivalen”
Ekivalensi terapi terfokus pada faktor obat saja (sifat kimia fisika,
bentuk sediaan, formulasi, dosis)
Faktor-faktor lainnya dianggap konstan :
- faktor penderita (genetika, patofisiologi penyakit, jenis kelamin,
umur, berat badan)
- faktor penyakit (jenis, gradasi, lama penyakit)
- faktor lingkungan (kondisi tempat tinggal)
Cara yg paling tepat mengukur ekivalensi terapi adlh mengukur
efek terapinya sendiri. Namun hal ini susah, tidak praktis.
Karena obat paling sering diberikan secara oral, maka teknik untuk
mengukur dan meramalkan kesetaraan terapi suatu obat
terutama rute oral (tablet/kapsul) secara mudah, murah, sensitif
diperlukan.
3 CARA MENGUKUR EKIVALENSI TERAPI
a. Pengukuran kecepatan disintegrasi dan kecepatan disolusi
b. Pengukuran BA (cara terbaik)
- cara ini memberikan gambaran farmakokinetikanya,
sehingga dapat ditentukan dosis terapi, interval pemberian,
jangka waktu pemberian, dll.
c. Monitoring kadar obat dalam plasma dan cairan biologis
lainnya
- dg cara mengukur kadar obat di kompartemen intravaskuler
Untuk melakukan hal tsb ada beberapa persyaratan :
- Intensitas efek obat harus proporsional dengan kadar obat
dalam plasma
- Efek obat harus reversibel dengan cepat
- Kadar obat dalam kompartemen intravaskuler berhubungan
langsung dengan kadar obat di reseptornya
- Keseimbangan kadar antara kompartemen intravaskuler
dengan reseptor harus cepat terlaksana dan terjamin kontinyu
baik pada naik atau turunnya kadar obat dalam plasma
RESPONS INDIVIDUAL TERHADAP OBAT Absorpsi IM dan SK sangat tergantung vaskularisasi di
Hubungan antara dosis dan efek (respons tubuh thd obat) pada tempat injeksi, adanya gangguan perfusi  absorpsi
setiap individu tidak selalu sama, umumnya malah bervariasi tidak teratur dan susah diprediksi
Ada individu yg menunjukkan respons terapi pd dosis biasa, Aktivitas enzim-enzim pencernaan, mis. amilase, lipase
sdgkan pada individu lain justru terjadi respons tidak masih rendah.
adekuat/lemah/subterapi atau bahkan ada yg menunjukkan 2. Kapasitas ikatan protein plasma masih rendah
tanda2 toksisitas (efek samping yg tidak dikehendaki)  Obat-obatan yg kapasitas ikatan protein plasmanya
tinggi (sulfonamid, fenitoin) bila diberikan pd neonatus
akan menggeser bilirubin dari tempat ikatan tsb.
Permeabilitas sawar darah-otak (blood-brain barrier)
tinggi  bilirubin akan memasuki otak dan
menyebabkan kernikterus
 Volume air ekstraseluler neonatus (40%) > orang
dewasa (20%) sehingga peranan air dalam transppor
ke reseptor menjadi penting.
 KERNIKTERUS: peningkatan bilirubin (ikterus)
menyebabkan kerusakan otak. Hal ini dapat
menyebabkan masalah pendengaran, visi dan gigi
dan kadang-kadang cacat intelektual permanen.
 GRAY BABY SYNDROME: a syndrome due to toxicity
of the antibiotic chloramphenicol in the newborn,
especially the premature newborn, because of lack
the necessary liver enzymes to metabolize this drug.
Keterangan : Chloramphenicol accumulates in the baby, causing
 Ada 2 hal yg harus diperhatikan: hypotension, cyanosis (blue coloring of lips, nail beds,
a. Faktor eksternal (kepatuhan penderita, kesalahan and skin from lack of oxygen in the blood), and often
medikasi) death.
b. Faktor internal (farmakokinetik, farmakodinamik) 3. Fungsi metabolisme belum sempurna
 Kepatuhan penderita menentukan jumlah obat yg diminum   Fungsi konjugasi baru mencapai 50-70% dan
berkaitan dg intensitas respons thd obat yg diperlihatkan pembentukan glukuronida baru mencapai nilai dewasa
 Farmakokinetik menentukan jumlah obat yg sampai ke tempat pada usia 3-4 tahun.
kerjanya dan kmdn berinteraksi dg reseptornya.  Resiko tjdnya ensefalopati krn hiperbilirubinemia dan
 Farmakodinamik menentukan intensitas respons tubuh tjdnya Gray baby syndrome pd pemberian
terhadap kadar obat yg berada di reseptornya. kloramfenikol.
VARIASI RESPONS THD OBAT  Akibat rendahnya fungsi ini, banyak klirens obatobatan
Variasi respons sebagian besar obat (> 50%) disebabkan oleh menurun dan waktu paruhnya menjadi panjang.
variasi farmakokinetik interindividual. Pengaruh kondisi fisiologis
Variasi berbagai faktor PK dan PD bisa berasal dari perbedaan 4. Fungsi ekskresi ginjal masih rendah
individual dlm kondisi fisiologis, kondisi patologis, faktor genetik,  GFR (kecepatan filtrasi glomerulus) pd neonatus hanya
interaksi obat dan timbulnya toleransi. Pertimbangan lain efek 30-40% org dewasa.
plasebo, faktor lingkungan dan ritme biologis.  Obat-obat yg ekskresinya melalui ginjal, dosisnya pd
FAKTOR PENGUBAH KEPATUHAN PENDERITA neonatus hrs disesuaikan untuk mencegah tjdnya
1. Penyakit akumulasi obat dan reaksi toksik
Penyakit yg gejalanya tidak jelas, penyakit kronis dan penyakit  Sensitivitas reseptor pd neonatus dan prematur sangat
yg hanya memerlukan pencegahan akan menyebabkan tinggi, sehingga memudahkan tjd nya respons yg
kepatuhan penderita menurun berlebihan bahkan thd toksisitas
2. Pengobatan  Usia Sangat Tua/Manula
Pengobatan yg menggunakan banyak obat, dosisnya 1. Fungsi metabolisme mulai menurun
kompleks, tabletnya susah ditelan/tidak enak rasanya, sering  Metabolisme lintas pertama menurun  BA meningkat
muncul efek samping akan menurunkan kepatuhan penderita misal nortriptilin, metoprolol, propranolol,
3. Penderita klorpromazin dan prazosin
Penderita yg tidak mengerti cara-cara pengobatan karena  Kapasitas oksidatif metabolisme menurun  waktu
usianya sangat muda/sangat tua, intelektualitasnya kurang paro meningkat misal diazepam, nitrazepam,
atau mempunyai gangguan jiwa membuat kepatuhan imipramin, teofilin, kinidin
penderita berkurang 2. Fungsi distribusi berubah sdgkan kapasitas ikatan
4. Dokter protein plasma menurun
Sikap dokter yg optimis dan bertindak sangat cermat dlm  Massa tubuh tanpa lemak (lean-body mass) menurun
memeriksa dan mengobati penderita akan meningkatkan dan massa lemak meningkat  waktu paro obat
kepatuhan penderita lipofilik misal diazepam, lignokain, tiopenton akan
PENGARUH KONDISI FISIOLOGIS meningkat, sdgkan kadar obat hidrofilik misal digoksin,
 Neonatus dan prematur simetidin, etanol dalam serum akan meningkat pula
Pada usia ini organ-organ farmakokinetik belum berkembang  Kapasitas ikatan protein plasma menurun pada
secara seragam sehingga berbagai fungsi farmakokinetiknya penyakit kronis  kadar obat bebas dari obat-obatan
belum berjalan secara sempurna. Misalnya : yg kapasitas ikatan proteinnya tinggi akan meningkat
1. Fungsi absorpsi belum baik misal fenitoin, diazepam, warfarin, tolbutamid,
fenilbutazon, salisilat, sulfadiazin
3. Fungsi ekskresi ginjal menurun (terutama kecepatan  Farmakogenetik: cabang ilmu yg mempelajari perbedaan
filtrasi glomerulus) sebanyak 35-45%  waktu paro respons thd obat krn faktor genetik. Biasanya perlu uji tertentu
meningkat misal digoksin, sefalosporin, aminoglikosida, untuk mengenali genetika individu khusus sebelum diberikan
tetrasiklin suatu obat.
 Sensitivitas reseptor pd manula meningkat (mungkin PENGARUH INTERAKSI OBAT
karena perubahan hormon, reseptor adrenergik, Interaksi antar obat dg obat atau obat dg makanan sering tjd dlm
biogenik amin meski pengaruhnya thd kerja obat blm proses pengobatan suatu penyakit. Jika tjd hal ini akan
bisa dipastikan). menyebabkan perubahan farmakokinetik (ADME obat) atau
 Sensitivitas reseptor pada manula meningkat thd farmakodinamik  tjd perubahan respons thd obat
narkotik, barbiturat, antidepresan trisiklik (efek Contoh :
antikolinergik), fenotiazin, tiazid, sulfonilurea (efek  Tetrasiklin + ion kalsium (susu) atau ion aluminium (antasida)
hipoglikemia), aspirin (efek perdarahan)  ikatan garam (senyawa kompleks) sukar larut  subterapi
Pengaruh kondisi patologis tetrasiklin
PENGARUH KONDISI PATOLOGIS  Fenilbutazon meningkatkan efek antikoagulan warfarim  tjd
 Penyakit saluran cerna dapat mengurangi absorpsi obat yg perdarahan hebat
diberikan per oral. Misal penurunan absorpsi penisilin-V pada  Metabolisme warfarin ditingkatkan oleh induktor enzim
penderita sindrom malabsorpsi seperti rifampisin, karbamazepin, fenitoin  efek
 Bbrp penyakit hepar bisa mengubah kapasitas ikatan protein antikoagulan warfarin turun
plasma (sirosis), aliran darah hepar, penurunan kapasitas  Metabolisme obat KB (estrogen-progesteron) ditingkatkan
metabolisme (nekrosis hepar) yg semakin diperberat oleh oleh fenitoin  efek kontraseptsi tidak efektif (pasien
obat-obat/zat kimia yg menginduksi enzim mikrosom hepar mungkin bisa hamil)
dan penurunan klirens obat yg trutama diekskresi mllui  Obat yg menyebabkan alkalinisasi urin (asetazolamid, natrium
empedu (rifampisin pd gangguan ekskresi bilier) bikarbonat)  meningkatkan ekskresi asam lemah (aspirin,
 Penyakit gagal jantung kongestif akan menyebabkan dll)
penurunan klirens lidokain sebesar 50%  Antagonis efek depresi morfin oleh nalokson
 Penyakit paru-paru (hipoksia akut) menyebabkan gangguan  Antagonis efek antikoagulan warfarin oleh vitamin K
hemodinamik  mengurangi aliran darah ke ginjal dan hepar PENGARUH TOLERANSI OBAT
 mengurangi klirens obat-obatan yg eliminasinya mllui Toleransi: penurunan efek farmakologi (respons thd obat) pada
ginjal. Contohnya klirens teofilin akan berkurang pd penderita pemberian berulang-ulang
dg insufisiensi respirasi akut sampai 75%. Tjd trutama pd opioid, depresan SSP dan nitrat organik.
 Obat-obatan yg diekskresi mllui ginjal trutama bentuk zat aktif Toleransi silang timbul thd efek farmakologi obat yg mempunyai
(mis aminoglikosida, sefalosporin, sulfonamid, digoksin, reseptor yg sama  perlu meningkatkan dosis supaya efek
lithium, etambutol, metotreksat) atau bentuk metabolit aktif farmakologi yg diinginkan tercapai
(mis alupurinol, klofibrat, prokainamid, meperidin, Cth toleransi farmakokinetik :
amobarbital, sulfonilurea) dpt menimbulkan ESO pd penderita pemakaian kronis barbiturat (menginduksi metabolismenya
gangguan fungsi ginjal bila diberikan dlm dosis biasa sendiri)
 Penyakit hipo atau hipertiroid dpt mempengaruhi BA Cth toleransi farmakodinamik : pemakaian kronis barbiturat,
(riboflavin), biotransformasi (propiltiourasil) dan ekskresi etanol, nitrat organik (proses adaptasi sel)
ginjal obat (digoksin) PENGARUH EFEK PLASEBO
 Kehamilan  menurunkan kapasitas ikatan protein plasma Plasebo : pengobatan yang tidak berdampak atau penanganan
obat secara nyata (fenitoin), meningkatkan ekskresi mllui palsu yang bertujuan untuk mengontrol efek dari pengharapan
ginjal dan mempengaruhi metabolisme scr bervariasi Tujuan dari Plasebo yaitu :
 Bbrp penyakit dpt mengubah farmakodinamik obat mllui 1. Pengobatan sugesti, kadangkala memberikan efek yang
perubahan sensitivitas reseptor, destruksi reseptor asetilkolin mengagumkan pada pasien yang kecenduan maupun obat-
(myastenia gravis) dan hilangnya reseptor dopaminergik obat narkotika dan psikotropika lainnya maupun penderita
(Parkinsonisme) kanker stadium akhir
 Myastenia gravis : penyakit yang terjadi karena terputusnya 2. Uji klinis, digunakan pada tahap akhir dalam rangkaian
komunikasi antara saraf dan otot. Penyakit kronis ini biasanya penelitian suatu obat baru yang akan dinilai efek
ditandai dengan lemahnya otot dan kelelahan. farmakologisnya
 Penyakit Parkinson: degenerasi sel saraf secara bertahap pada 3. Pelengkap dan penggenap pil KB, bertujuan agar pasien tida
otak bagian tengah yang berfungsi mengatur pergerakan terlupa menelan pil Kb pada saat menstruasi
tubuh. Gejala yang banyak diketahui orang dari penyakit Efek plasebo dapat berbeda nyata antar individu atau pd individu
Parkinson adalah terjadinya tremor atau gemetaran. yg sama tetapi berbeda waktu terapi.
PENGARUH FAKTOR GENETIK PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN
 Faktor genetik mrpk penentu utama tjdnya variase efek obat Contohnya adlh kebiasaan merokok, minum alkohol
(respons thd obat) dan brtggjwb thd tjdnya perbedaan  Rokok yg mengandung hidrokarbon polisiklik aromatis
aktivitas farmakologi scr kuantitatif maupun kualitatif (karsinogenik, merusak DNA) akan menginduksi sistem enzim
 Bila suatu obat diberikan kpd individu dg kelainan genetik, dlm hepar  peningkatan metabolisme obat (teofilin) 
maka gejala toksisitas akan muncul. Contoh obat bersifat perlu peningkatan dosis
oksidator (antimalaria, sulfonamid, nitrofuran, analgesik-  Efek alkohol trgantung derajat dan lama minum alkohol. Pd
antipiretik, kloramfenikol, kinidin, vitamin K) pd individu dg peminum alkohol akut tjd inhibisi biotransformasi obat. Pd
kelainan defisiensi enzim G6PD (glukosa 6-fosfat peminum alkohol kronis (>200 ml/hari) tjd induksi enzim
dehidrogenase) akan tjd anemia hemolitik mikrosom hepar  metabolisme obat mjd cepat (barbiturat)
 INH mengalami biotransformasi mllui asetilasi. Pd kelompok PENGARUH RITME BIOLOGIS
individu asetilator cepat, respons thd INH akan berkurang, pd Fungsi kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah)
asetilator lambat malah sebaliknya. menunjukkan ritme sirkadian (perubahan aktivitas pada siang-
malam, selama 24 jam), begitu juga fungsi fisiologis lainnya
(saluran cerna, metabolisme obat).
Contoh :
Dosis kortikosteroid efeknya lebih bagus jika diberikan jam 7 pagi
(07.00) dan 11 mlm (23.00) drpd diberikan bersamaan dg waktu
makan.
 Nefrotoksisitas sisplatin berkurang bila diberikan jam 17.00-
18.00
 Toksisitas doksorubisin berkurang bila diberikan pada jam
06.00 pagi
 Pada gangguan lambung dilakukan dengan pemberian
antagonis reseptor histamin-2 (seperti cimetidin, ranitidin
atau famotidin) pada sore hari. Untuk penyakit asma,
pemberian obat teofilin lepas lambat pada sore hari dan
metilprednisolon pada pagi hari memberikan efek yang lebih
menguntungkan. Pemberian obat anti hipertensi verapamil
dalam bentuk sediaan lepas terkontrol sekali sehari menjelang
tidur malam menghasilkan konsentrasi obat yang tinggi pada
pagi hari dan siang, dan berkurang pada malam hari

Anda mungkin juga menyukai