Anda di halaman 1dari 4

Resume Jurnal

Termografi: sentivitas dan spesifitas tinggi dalam mendiagnosa kontak


dermatitis berdasarkan tes tempel
Florian Anzengruber, Fayez Alotaibi, Lilian S. Kaufmann, Adhideb Ghosh,
Martin R. Oswald, Julia-Tatjana Maul, Barbara Meier, Lars E. French, Mathias
Bonmarin, Alexander A. Navarinni

ABSTRAK
Latar belakang: uji tempel alergen kontak untuk mendiagnosa dermatitis kontak
alergen (DKA) ditentukan berdasarkan perbedaan antara reaksi alergi dan iritan.
Tujuan: Mengevaluasi metode baru pembacaan uji tempel inframerah non-kontak.
Metode: studi ini memiliki 420 sampel reaksi positif. Pembaca uji tempel
independen menilai reaksi positif dan mengklasifikasikannya apakah alergi
(intensitas + hingga +++) atau iritan (IR). Pada waktu yang bersamaan, kamera
forward-looking infrared (FLIR) yang dihubungkan dengan iphone digunakan
untuk memfoto gambaran infrared akibat suhu uji tempel dan kemudian gambar
dianalisa dengan FLIR one app. Hasil: perbedaan temperatur antara kedua grup
sangat signifikan (p<0.0001) dan dapat digunakan sebagai prediktor untuk tipe
dermatitis kontak. Kesimpulan: termografi adalah cara yang paling dapat
dipercaya dan efektif untuk membedakan dermatitis kontak alergika ataupun iritan.

RESUME JURNAL
Uji tempel adalah alat klinis yang paling penting dalam mengidentifikasi zat
penyebab pada pasien dengan dugaan sensitisasi kontak. Zat nontoksik yang
berpotensi sebagai alergen diaplikasikan di punggung bagian belakang selam 48
jam. Selanjutnya evaluasi apakah terdapat eritema, infiltrat dan vesikel/lecet.
Pembacaan ulang dilakukan pada 72 jam dan 96 jam bahkan dapat lebih lama.
Interpretasi tes biasanya membutuhkan pengalaman karena dalam beberapa
kasus, reaksi iritan dan reaksi alergi ringan sulit untuk dibedakan. Ketika tes
dihapus setelah 48 jam, peradangan karena iritasi cenderung menurun dalam 24
jam. Fenomena ini disebut “fenomena deskresendo”. Begitupun sebaliknya,

16
peradangan karena alergen cenderung meningkat dan fenomena ini disebut
“fenomena kresendo”. Uji tempel positif jika terdapat lesi kulit yang eritematus,
infilatrat dan beberapa vesikel. Hal tersebut terjadi karena vasodilatasi dan
peningkatan sirkulasi darah lokal. Peningkatan aliran darah membuat suhu lesi uji
tempel menjadi lebih hangat dari kulit normal disekitarnya.
Penelitian ini menggunakan kamera FLIR yang dihubungkan denga iphone
6S untuk menangkap gambaran suhu infrared dan foto digital biasa dari 126 pasien
yang dilakukan oleh laboran uji tempel dari Rumah Sakit Universitas Zurich
(departemen dermatologi). Partisipan terdiri dari 78 laki-laki dan 47 perempuan.
Rerata, pasien berusia 46 tahun ± 16,6 tahun. Total terdapat 420 lesi yang dianalisis
dan hanya pasien dengan reaksi eritema yang diikutkan. 2 menit setelah tempelan
alergen dilepaskan, kamera infrared dipegang secara vertikal dan diposisikan ± 20
cm dari permukaan kulit. Suhu ruangan berkisar 21°C. Semua lesi eritema
dievaluasi dan secar independen, seorang dokter mengevaluasi lesi secara klinis
(negatif, IR, +,++,+++).
Penilaian perbedaan berdasarkan suhu (∆t) dilakukan dengan menggunakan
alat analisis foto infrared dan aplikasi FLIR ONE (versi 20.52). selanjutnya
perubahan rata-rata suhu (∆t) tersebut dibandingkan dengan evaluasi secara klinis.
Uji Mann Whitney U dan uji Kruskal Wallis digunakan dalam tes ini. Perubahan
rata-rata suhu (∆t) digunakan untuk memprediksi tipe dermatitis kontak. Ada
beberapa metode berbeda untuk menganalisis data tersebut, termasuk alat pemisah
(classifier) kuat (mis. mesin vektor dukungan). Peningkatan metode dapat
mencapai hasil klasifikasi yang sama dengan parameter yang jauh lebih sedikit
kelemahannya. Peningkatan algoritma dengan menggabungkan prediksi dari
beberapa yang lemah menjadi klasifikasi yang kuat dengan akurasi prediksi yang
lebih baik. Untuk berhasil memprediksi kelas biner dari dermatitis kontak, alat
pemisah (classifier) adaptif dikembangkan menggunakan metode AdaBoost R
package caret.
Dari 420 lesi yang ada, 166 lesi secara klinis didiagnosis dengan dermatitis
kontak iritan dan 254 lesi sisanya didiagnosis dengan dermatitis kontak alergika
dengan berbagai derajat. Perbedaan suhu antara uji tempel secara klinis yang
diklasifikasikan sebagai reaksi iritan memiliki perubahan rata-rata suhu (∆t) yaitu

17
0,17 C ± 0,31 [-1,0-1.5]. Uji tempel yang diklasifikasikan sebagai reaksi alergi
memiliki hasil lebih hangat (rata-rata ∆t = 0,72 C ± 0,67 [-2,8-3,3]). Reaksi positif
yang lemah (+) memiliki rata-rata perubahan suhu yaitu 0,54 C ± 0,47 [-0,5 - 3],
reaksi positif yang kuat (++) menunjukkan peningkatan suhu rata-rata 0,96 C ± 0,67
[-1,2 - 3] dan reaksi positif ekstrim (+++) adalah 1,03 C ± 1,16 [-2,8 - 3,3] lebih
hangat jika dibandingkan kulit sekitarnya yang tidak terpengaruh. Termografi
mengungkapkan bahwa uji tempel dengan suhu pada lesi yang ada berkorelasi
dengan intensitas dari lesi alergi, dengan pengecualian pada reaksi kuat (++) dan
ekstrim kuat (+++)
∆t antara lesi iritan dan alergi sangat signifikan (p <0,0001). Oleh karena itu,
alat pemisah (classifier) adaptif dibangun dengan menggunakan nilai ∆t ini.
Beberapa kinerja metrik dipilih untuk mengevaluasi kinerja dari alat pemisah
(classifier) ini. Pada area di bawah kurva karakteristik penerima operasi (ROC),
dari 0,85 menunjukkan adanya kekuatan diskriminatif tinggi. Secara keseluruhan,
sensitivitas dan spesifisitas dari alat pemisah (classifier) adalah 0,84 dan 0,83 yang
menggambarkan efektivitas dari uji tempel termografi dapat digunakan untuk
memprediksi jenis dermatitis kontak.
Penelitian ini dirancang untuk mengidentifikasi metode non-kontak dengan
cara pembacaan suhu (termografi) dari uji tempel dan untuk mengidentifikasi
potensi perbedaan objek yang tidak bias antara reaksi uji tempel pada kasus
dermatitis kontak iritan dan alergika. Uji tempel termografi memiliki potensi untuk
dikembangkan dan digunakan sebagai alat yang dapat diandalkan, evaluator
independen dan hemat biaya untuk pembacaan uji tempel. Dari area di bawah kurva
ROC dapat ditarik kesimpulan bahwa sensitivitas dan spesifisitas alat prediksi ini
telah terbukti memiliki indikator yang sama. Teknik pencitraan non-kontak seperti
termografi, dapat memungkinkan untuk pembacaan yang tidak bias dan lebih
mudah didokumentasi dalam file elektronik pasien.
Studi ini menunjukkan bahwa reaksi dari uji tempel pada dermatitis kontak
alergika secara signifikan lebih hangat daripada reaksi iritan. Karena reaksi ringan
(+) dan ektrim (+++) mengarah pada diagnosis dermatitis kontak alergika, pada
praktik klinis, perbedaan antara intensitas kedua tingkat reaksi ini tidak memiliki
relevansi. Penelitian ini juga menekankan bahwa adanya perbedaan suhu dapat

18
membedakan antara reaksi kontak alergika dan iritan. Namun, suhu permukaan
kulit yang dinilai sangat tergantung pada lokasi. Oleh karena itu, hanya perbedaan
relatif antara lokasi reaksi uji tempel dan kulit di sekitarnya yang digunakan untuk
menentukan hasilnya dan bukan suhu absolut dari setiap uji tempel.
Dalam dermatologi, termografi inframerah telah digunakan dalam
skleroderma lokal, sklerosis sistemik, hemangioma, dan hidradenitis supurativa.
Semua publikasi telah mendokumentasikan hasil yang menjanjikan. Satu studi
bahkan berusaha untuk memprediksi hasil pengobatan pada 63 pasien dermatitis
yang memiliki etiologi yang berbeda. Sebagai langkah selanjutnya, alat penggolong
(classifier) pada studi ini akan diintegrasikan ke dalam aplikasi FLIR ONE dengan
tujuan untuk merangkai prosedur yang tepat untuk membaca uji tempel secara
otomatis. Dengan segmentasi gambar FLIR, peneliti secara otomatis juga dapat
melokalisasi wilayah yang menunjukkan reaksi alergi. Hasil yang lebih baik dapat
dicapai dengan metode segmentasi sesuai dengan interval suhu yang mendukung
wilayah segmentasi kompak. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pencitraan inframerah memiliki potensi untuk menjadi alat yang berguna,
inovatif dan dapat dijadikan alat pemeriksaan standar untuk evaluasi uji tempel
yang independen.

19

Anda mungkin juga menyukai