Anda di halaman 1dari 48

Dasar-dasar Perpetaan

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam tujuan perencanaan masalah teknis suatu daerah, berawal dari pengumpulan informasi ataupun
data penunjang perencanaan yang lebih dikenal sebagai data sekunder bagi perencana itu. Dalam hal
seperti ini, disadari ataupun tidak, diperlukan pemampatan kenampakan (view) daerah obyek dalam
bentuk secukupnya (sesuai dengan keperluan). Tujuan perencanaan dapat memberikan masukan
berupa harapan ataupun keinginan atas informasi yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya. Ini berarti
pula bahwa yang diperlukan satu perencana dengan lainnya dapat berbeda. Walaupun demikian
terdapat sekumpulan data (informasi) yang dapat menjadi data dasar atas daerah studi (obyek) , dimana
data tersebut diperlukan oleh setiap perencana dalam memperkecil keseluruhan daerah. Data yang
menjadi dasar bagi penempatan data lainnya ini dikenal dengan PETA.
Seperti yang diulas di atas, bahwa diperlukan pemampatan dan perkecilan data daerah studi untuk
mempermudah perencanaan. Perbesaran/perkecilan baru dapat dilaksanakan dengan baik bila seluruh
data dinyatakan dalam bentuk numerik. Pernyataan suatu obyek dalam bentuk numerik, memerlukan
pengukuran yang menyatakan suatu besaran dalam satuan (unit) ataupun dimensi tertentu dengan
menggunakan alat ukur. Aktivitas merubah bentuk data dari tak terukur menjadi numerik terukur ini,
sekarang lebih dikenal dengan istilah KUANTIFIKASI atau juga Analog to Digital Conversion. Dengan
adanya data numerik ini, barulah dapat dilakukan hitungan-hitungan mathematis atas data tersebut.
Salah satu masalah yang dapat ditarik kesimpulannya adalah bahwa:
“Setiap obyek secara mathematis diwakili oleh data numerik dalam satuan (unit) tertentu”
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa masalah perpetaan merupakan penggabungan 2 (dua)
bentuk ataupun dunia yang berbeda dengan tujuan untuk memudahkan tindakan yang akan dilakukan
selanjutnya. Untuk mempermudah pengertiannya, dapat dilihat Diagram 1.

Alam sebagai sumber data


(bentuk analog)
DASAR-DASAR MATEMATIKA

PENGUKURAN/KUANTIFIKASI
( A / D Conversion)
Bentuk-bentuk Geometrik :
* Titik
* Garis
DATA sebagai wakil obyek * Bidang (area)
(bentuk digital/numerik)

PENGOLAHAN DATA
(secara numerik)

Diagram 1.
Konsep Dasar Pemetaan

Dari Diagram 1, dapat dilihat bahwa dasar matematik yang sangat dipentingkan adalah bentuk geometrik,
di mana semua obyek alam dinyatakan dalam bentuk -bentuk geometrik.

1
Dasar-dasar Perpetaan

1.1. Cakupan Daerah Pemetaan

Seperti yang sudah diketahui bahwa bumi bukan merupakan bidang datar seperti meja, mela-
inkan merupakan benda lengkung pada permukaannya, mendekati bentuk bola. Pada
permasalahan yang lebih teliti, bumi dikatakan mendekati bentuk ellipsoida, yaitu bentuk bola
dengan “pegepengan” pada kutubnya.

Peta, merupakan suatu gambaran atas obyek-obyek (sebagian besar/kecil) unsur permukaan
bumi. Penggambaran tersebut dilakukan pada bidang datar (misal kertas). Dengan demikian,
terdapat beberapa perbedaan yang sangat mendasar, di mana permukaan bumi yang akan di-
gambarkan berupa bidang lengkung, tetapi harus digambarkan pada bidang datar, sehingga
terdapat permukaan bumi tersebut di”golong”kan menjadi beberapa kategori.

Pembagian kategori atas permukaan bumi ini, berdasarkan asumsi/anggapan, di mana


perbedaan jarak maupun sudut pada bidang lengkung dan bidang datar, dapat diabaikan. Hal ini
berakibat pula pada bentuk ataupun persamaan mathematika yang diterapkan pada hitungan-
hitungan tersebut.

Adapun pembagian permukaan bumi adalah sebagai berikut :

1. Suatu daerah dengan jarak terpanjang lebih kecil dari 55 km. ( < 55 km.), dapat
dianggap sebagai bidang datar. Perbedaan jarak di muka bumi dengan proyeksinya pada
bidang datar dapat diabaikan, sehingga muka bumi dianggap sebagai bidang datar.
Hitungan yang berlaku di sini adalah penerapkan persamaan mathematik bidang datar,
sehingga ukuran besaran jarak maupun sudut harus besaran pada bidang datar.
Ilmu ukur tanah ataupun “surveying”, sebagai ilmu mendasar dalam pemetaan, merupakan
terapan dari anggapan bahwa bumi adalah bidang datar.
2. Suatu daerah dengan jarak terpanjang antara 55km s/d 110 km., dapat dianggap
sebagai permukaan (kulit) bola, dimana jari-jari bumi dianggap sama di semua tempat.
Hitungan yang diberlakukan di sini, merupakan bentuk mathematik bidang lengkung (kulit
bola). Besaran dasar untuk model mathematika di sini adalah besaran sudut.
3. Suatu daerah dengan jarak terpanjang lebih besar dari 110 km. ( > 110 km.), dapat
dianggap sebagai permukaan (kulit) ellipsoida, di mana jari-jari bumi di equator tidak
sama dengan jari-jari bumi di kutub.

Anggapan di atas, sebenarnya tidak sesuai dengan bentuk bumi sebenarnya, tetapi hal tersebut
harus ditetapkan agar dapat dilakukan hitungan atapun pengolahan data secara mathematis.

1.2. Sistem Proyeksi Peta

Seperti telah diulas di atas, bahwa untuk anggapan bahwa permukaan bumi tidak datar,
memerlukan perhitungan tertentu untuk menyatakan besaran-besaran tersebut pada bidang
datar. Hal ini akan berakibat pada timbulnya perbedaan antara besaran di permukaan bumi
dengan besaran tersebut di bidang datar. Perbedaan tersebut dikenal dengan “distorsi
geometrik” yang nilai dan penyebabnya dapat dinyatakan dalam bentuk mathematis.

Mengingat suatu bidang lengkung (kulit bola ataupun kulit ellipsoida) harus dinyatakan pada
bidang datar, maka akan terjadi pergeseran tempat titik-titik dari tempat seharusnya. Materi
yang khusus membahas masalah ini adalah “Sistem Proyeksi Peta” .

Terdapat beberapa masalah yang perlu diperhatikan dalam proyeksi peta, seperti di bawah.

2
Dasar-dasar Perpetaan

1.2.1. Bidang Proyeksi Peta.

Yang dimaksudkan dengan bidang proyeksi di sini adalah bentuk-bentuk mathematika yang
dapat dijadikan bidang datar.

Terdapat 3 (tiga) macam bentuk, yaitu :


1. Bidang datar
2. Kulit silinder (tabung)
3. Kulit kerucut

Untuk tabung, maupun kerucut, diperlukan “garis potong yang dapat mengubah kedua
bentuk tersebut menjadi bidang datar. (lihat Gambar 1. dan Gambar 2.)

(a) (b) (c)


Bidang datar silinder kerucut

Gambar 1.
Bidang Proyeksi Peta

(a) (b)
silinder kerucut
Gambar 2.
Perubahan ke Bidang Datar

1.2.2. Letak Bidang Proyeksi Terhadap Bumi

Melihat bentuk bidang proyeksi dan bentuk bumi, akan lebih baik bila ditinjau pula kemung-
kinan peletakan bidang proyeksi tersebut relatif terhadap bumi.
Untuk ini, terdapat 3 (tiga) kemungkinan yang dikelompokkan secara umum, yaitu :
1. Normal
2. Tranversal , dan
3. Oblique

3
Dasar-dasar Perpetaan

Dari ketiga kemungkinan tersebut, dapat dibayangkan proyeksi suatu garis ataupun titik
terhadap/pada bidang proyeksinya.

(a) (b) (c)


Normal Transversal Oblique
Gambar 3.
Proyeksi Azimuthal (Bidang Datar)

(a) (b) (c)


Normal Transversal Oblique
Gambar 4.
Proyeksi Silinder

(a) (b) (c)


Normal Transversal Oblique
Gambar 5.
Proyeksi Kerucut

4
Dasar-dasar Perpetaan

1.2.3. Proyeksi Besaran Pada Bidang Proyeksi

Ditinjau dari kedudukan bidang proyeksi terhadap bumi, maka dapat dimengerti bahwa akan
terjadi perbedaan besaran di bumi dengan besaran yang sama pada bidang proyeksi. Dalam
melakukan proyeksi titik-titik muka bumi ke bidang proyeksi, dapat beracuan pada beberapa
hal, di mana besaran tersebut dapat dibuat sama dengan pada bidang proyeksi.
Masalah ini yang menentukan sistem proyeksi yang digunakan dan mungkin dapat
menyebabkan perbedaan pengertian antara pembuat dengan pembaca peta.

Sistem proyeksi yang diterapkan pada pemetaan, terbagi atas :


1. Equidistant ; yaitu jarak pada muka bumi dijaga sama dengan jarak pada proyeksi.
Pengertian ini hanya berlaku pada garis singgung bidang proyeksi dengan bumi.
Dalam pengertian lain adalah bahwa faktor perbesaran sepanjang garis singgung
bidang proyeksi sebesar satu.
2. Konform ; yaitu besaran sudut yang dibentuk antara dua arah dipertahankan
sama besar baik pada muka bumi ataupun pada bidang proyeksi. Pengertian lain
untuk ini adalah bahwa bentuk suatu daerah dipertahankan sama, walaupun besarnya
mungkin berbeda.
3. Equivalent ; yaitu bahwa luas suatu daerah di muka bumi dengan di proyeksi
dijaga tetap (tanpa perubahan). Untuk ini, mungkin terjadi perubahan bentuk maupun
perubahan panjang garis pada daerah tersebut.

Dalam proyeksi peta suatu daerah, ketiga masalah tersebut tidak dapat secara
bersamaan dipertahankan tetap. Hal inilah yang menimbulkan distorsi geometrik yang
menyebabkan perbedaan besaran di muka bumi dengan di bidang proyeksi akibat dari
persamaan methematika yang diterapkan dalam memproyeksikan titik-titik tersebut. Distrosi
tersebut dapat diperhitungkan, sehingga dalam membaca peta untuk diterapkan kembali ke
muka bumi, perlu diperhitungkan “koreksi” atas besaran yang didapatkan dari peta tersebut.

1.2.4. Sistem Proyeksi Peta Yang Banyak Dikenal

 Proyeksi Mercator
Proyeksi peta yang diterapkan oleh Mercator untuk pertama kalinya adalah silinder normal
konform di mana equator dinyatakan sebagai garis equidistant
Dalam sistem proyeksi Mercator ini, seluruh muka bumi dapat dipetakan walaupun daerah
semakin jauh dari equator, baik ke utara maupun ke selatan, semakin besar pengaruh
distorsinya.
Terjadi masalah terbesar pada kutub, yaitu bahwa kutub utara maupun selatan, seharusnya
berupa titik, tetapi pada proyeksi Mercator menjadi suatu garis.

 Proyeksi Lambert
Seperti juga Mercator, Lambert berusaha mengatasi problema pemetaan untuk daerah
kutub, sehingga memilih bidang proyeksi kerucut normal konform. Masalah yang dapat di-
atasi adalah titik kutub, tetap berupa titik, walaupun terdapat kesulitan bahwa tidak dapat
menggambarkan seluruh bagian bumi. Dengan demikian, Lambert menerapkan
penempatan 2 (dua) buah kerucut, yaitu untuk belahan bumi utara dan selatan.
Ditinjau dari garis singgung kerucut dengan bumi, maka dapat dikatakan bahwa distrosi jarak
cukup besar untuk pemetaan skala sedang.

5
Dasar-dasar Perpetaan

 Proyeksi Polyeder
Sebagai kelanjutan dari proyeksi Lambert, proyeksi Polyeder menerapkan kerucut sebagai
bidang proyeksi.
Untuk mengatasi distorsi yang besar, maka diterapkan kerucut yang banyak, yaitu dengan
cara menyinggungkan kerucut-kerucut tersebut pada paralel (garis sejajar equator) bumi
yang berbeda-beda. Inilah sebabnya kenapa dikatakan sebagai Polyeder.
Besar daerah yang dipetakan dengan proyeksi Polyeder ini adalah sebesar 20’x20’ (lebar
meridian dan lebar paralel). Pembagian daerah proyeksi seperti ini, dikenal dengan zona
proyeksi. Untuk daerah di luar kawasan tersebut, digunakan kerucut lain yang dising-
gungkan pada paralel yang berbeda.
Sistem proyeksi ini banyak digunakan oleh Belanda untuk memetakan Indonesia.

 Proyeksi Transverse Mercator

Untuk daerah sekitar equator, proyeksi Mercator dapat memberikan jawaban yang lebih baik
agar distorsi yang timbul mengecil. Untuk itu, proyeksi Mercator dikembangkan dalam
bentuk silinder tranversal konform.
Pada saat awal, sistem proyeksi ini tidak membatasi zona proyeksi, sehingga untuk bebe-
rapa daerah walaupun sepanjang equator, distorsi geometrik proyeksi tersebut dirasakan
masih cukup besar.

 Proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM)

Pengembangan lebih lanjut dari proyeksi Transverse Mercator (TM) adalah Universal
Transverse Mercator (UTM) yang berusaha menyatakan seluas mungkin daerah dalam satu
lembar peta yang sama, dengan distorsi sekecil mungkin.
Untuk tujuan itu, UTM menerapkan prisip sebagai berikut :
 Silinder di”tembus”kan bumi, dengan meridian potong tertentu (simetrik terhadap
meridian sentral).
 Silinder ini menembus juga bumi pada paralel tertentu, baik di utara maupun di
selatan. 81o
 Lebar zona proyeksi sebesar 6o meridian.
 Faktor perbesaran pada meridian sentral = 0,9996
 Faktor perbesaran pada meridian batas zona (tepi) = 1,0004
Dengan demikian, UTM menggunakan lebar zona proyeksi yang cukup lebar untuk dapat
memetakan daerah yang luas.

 Proyeksi Transverse Mercator 3o

Salah satu proyeksi peta sebagai pengembangan dari TM dan UTM adalah proyeksi
Transverse Mercator 3o.
Sistem proyeksi ini diterapkan di Indonesia oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk
seluruh kawasan Indonesia.
Sistem proyeksi ini dapat memberikan ketelitian yang lebih tinggi, karena ditujukan untuk
pemetaan BPN dalam skala besar. Oleh karena itu, lebar zona proyeksi adalah 3 o meridian,
agar distorsi jarak tidak besar. Distorsi sudut ditiadakan, karena menerapkan sistem
proyeksi konform.
Proyeksi TM-3o , menerapkan model sebagai berikut :
 Silinder di”tembus”kan bumi, dengan meridian potong tertentu (simetrik terhadap
meridian sentral).
 Lebar zona proyeksi sebesar 3o meridian.
 Faktor perbesaran pada meridian sentral = 0,9999

6
Dasar-dasar Perpetaan

 Faktor perbesaran pada meridian batas zona (tepi) = 1,0001

1.2.5. Sistem Koordinat 2 Dimensi pada Peta

Dalam perpetaan, mengingat masalah utama adalah posisi/letak obyek, maka sebagai dasar
pernyataan posisi secara numerik adalah dengan sistem koordinat. Perlu diketahui sistem
koordinat 2 Dimensi (2D) yang akan sering dijumpai dalam perpetaan, antara lain adalah :
1. Sistem koordinat Polar, dengan parameter sudut/arah dan jarak
2. Sistem koordinat Rectangular (Cartesius), dengan parameter jarak
3. Sistem koordinat Geografik, dengan parameter sudut

Bidang acuan/referensi bagi 2 (dua) sistem koordinat di atas adalah


bidang datar, sedang sistem koordinat geografik adalah kulit ellipsoida
dan dinyatakan dalam istilah Lintang dan Bujur/meridian ()

Y Y KU
Meridian Greenwich

Equator
D XA  
YA

X X
KS
(a) (b) (c)
Polar Cartesius Geografik
Gambar 6.
Sistem Koordinat

Mengingat peta merupakan bidang datar, maka sistem koordinat yang diterapkan adalah sistem
koordinat rectangular (Cartesius) dengan salib sumbu pada tempat tertentu (sesuai dengan
terapan sistem proyeksi peta). Untuk lebih jelasnya, ketentuan sistem proyeksi peta yang terkait
dengan sistem koordinat, adalah sebagai berikut :
1. Sumbu Y adalah garis singgung meridian titik O (0,0) yang dipilih, positif ke arah
utara. Meridian setiap zona proyeksi, dikenal dengan meridian sentral .
2. Sumbu X adalah garis singgung paralel/equator titik O (0,0) yang dipilih, positif ke
arah timur. Equator ataupun paralel sebagai sumbu X, tergantung pada sistem
proyeksi.
3. Arah utara geografik suatu titik adalah garis singgung meridian ke arah utara pada
titik tersebut.
4. Arah utara peta, suatu titik adalah garis sejajar sumbu Y ke arah utara (//Y+) pada
titik tersebut
5. Garis “GRID” adalah garis tempat kedudukan titik-titik dengan absis atau ordinat
yang sama. Garis grid ini akan sejajar sumbu Y atau sumbu X.
6. Garis “GRATICULE” adalah garis tempat kedudukan titi-titik dengan lintang atau
bujur/meridian yang sama.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa dalam membaca peta skala
sedang dan kecil, perlu dilakukan koreksi-koreksi untuk diterapkan di lapangan.
Peta topografi, sebagai peta yang bersifat umum, memuat informasi penting yang menjelaskan
distorsi geometrik akibat sistem proyeksi baik dalam bentuk tertulis (textual) maupun grafik.

7
Dasar-dasar Perpetaan

meridian sentral
Y

graticule

grid

Equator
X

Gambar 7.
Garis Grid dan Garticule pada Peta

Y = meridian sentral
UP UG
//Y

meridian titik meridian titik

X = equator
UG UP //Y

Gambar 8.
Arah Utara Peta & Utara Geografik

Perbedaan arah utara peta dengan arah utara geografik, dikenal dengan istilah Konvergensi
Grid atau Konvergensi Meridian. Nilai konvergensi grid dapat berbeda di setiap titik bahkan
dapat negatif maupun positif , tergantung pada letak titik tersebut terhadap salib sumbu.

8
Dasar-dasar Perpetaan

1.3. Anggapan Dasar Ilmu Ukur Tanah

Telah diulas di atas, bahwa dalam memetakan suatu daerah, anggapan yang penting artinya
adalah panjang jarak pada suatu daerah yang dipetakan. Jarak terpanjang tersebut dapat
menentukan perbedaan acuan hitungan secara menyeluruh.
Ilmu Ukur Tanah, sebagai ilmu yang mempelajari masalah perpetaan, tidak terlepas dari proyeksi
peta, karena peta merupakan salah satu hasil yang dibahas dalam ilmu ini.
Salah satu perbedaan prinsip antara ilmu ukur tanah dengan perpetaan Geodesi adalah pada
acuan hitungan maupun pengolahan data. Ilmu ukur tanah beracuan bidang datar, sedang
untuk Geodesi secara umum beracuan bidang lengkung (misal kulit ellipsoida).
Oleh karena itu, ilmu ukur tanah dapat diterapkan pula pada berbagai bidang sepanjang acuan
bidang datar yang diterapkannya, masih dapat memungkinkan untuk digunakan.
Untuk itu, sebaiknya ditinjau terlebih dahulu anggapan-anggapan yang diterapkan pada ilmu ukur
tanah secara menyeluruh.

1.3.1 Acuan/referensi Ukuran

Mengingat tujuan dari ilmu ukur tanah adalah tujuan praktis Geodesi, yaitu pemetaan suatu
daerah disertai penerapan dalam berbagai bidang, maka obyek utama secara umum adalah
obyek-obyek muka bumi. Walaupun demikian, obyek yang terletak di dalam kulit bumi,
tetap dapat memanfaatkannya.
Seperti telah diperlihatkan pada Diagram 1., bahwa untuk dapat menyatakan besaran-
besaran alam dalam bentuk numerik, perlu dilakukan perubahan bentuk data, yaitu dari
bentuk analog ke bentuk digital (Analog to Digital Conversion). Dalam prktek sehari-
hari, kegiatan tersebut merupakan suatu pengukuran dengan menggunakan alat ukur
tertentu, sesuai dengan besaran yang akan dikuantifikasikan.
Mengingat keragaman topografi permukaan bumi, maka diperlukan suatu acuan agar hasil
ukuran pada setiap tempat dapat digabungkan (di-integrasi-kan).
Bidang acuan ukuran topografi muka bumi adalah GEOID, yang memiliki berbagai
pengertian dan pendefinisian. Dalam hal ini, geoid didefinisikan sebagai :
“Bidang yang tegak lurus garis gaya berat yang melalui setiap titik dan melalui muka
air laut dalam keadaan tanpa gangguan”

Berhubung bidang yang melalui muka air laut, walaupun tanpa gangguan tidak dapat dinya-
takan secara pasti dalam bentuk persamaan mathematik, maka digunakan bentuk geomatrik
lain yang dapat dinyatakan dalam bentuk mathematika.
Mengingat cakupan pandangan secara konvensional (dengan mata) tidak terlalu luas dan
terpusat pada tempat pengamat, maka acuan dalam ilmu ukur tanah adalah bidang
datar yang merupakan bidang singgung geoid pada tempat pengamatan/pengukuran.

Sebagai akibat dari anggapan terakhir di atas, maka terdapat beberapa obyek yang perlu
diperhatikan dengan seksama.
 Garis singgung dari garis gaya berat pada tempat pengamat, dikatakan
sebagai garis tegak (vertikal) yang mengarah ke titik Nadir
 Garis singgung garis gaya berat yang mengarah ke atas tempat pengamat,
dikatakan ke arah titik Zenith.
 Bidang yang menyinggung geoid dan tegak lurus garis Zenith-Nadir, disebut
dengan Bidang Horizon.
 Seluruh bentuk ukuran, yaitu ukuran jarak dan sudut, dinyatakan pada
bidang horizon atau bidang tegak.

9
Dasar-dasar Perpetaan

Lihat Gambar 9
Zenith A

bidang horizon Zenith B

Nadir A
muka tanah
Nadir B

geoid

. gaya berat di A gaya berat di B

Gambar 9.
Bidang acuan ukuran

1.3.2. Acuan/referensi Hitungan

Telah diulas di atas, bahwa secara garis besarnya, pemetaan dapat dibagi menjadi tiga
kategori besar sesuai dengan daerah obyek.
Kategori pertama, di mana bumi masih dapat dianggap sebagai bidang datar, maka seluruh
hitungan atas data pengukuran akan dinyatakan berbasis bidang datar. Ini berarti pula
bahwa besaran-besaran yang akan diolah harus merupakan besaran bidang datar.
Pada ilmu ukur tanah atau surveying, besaran yang dominan adalah sudut dan jarak.
Kedua besaran tersebut, harus secara mutlak pada bidang datar. Dengan demikian jarak
merupakan jarak datar dan juga sudut pada bidang datar.
Pengertian bidang datar itu sendiri tidak selalu harus “mendatar”, tetapi dapat juga vertikal
(tegak).
Bidang-bidang hitungan pada ilmu ukur tanah merupakan bidang datar yang dinyatakan
sebagai :
 Bidang datar horizontal (mendatar)
 Bidang datar vertikal (tegak)
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dimengerti bahwa jarak pada ilmu ukur tanah
dikatakan sebagai jarak mendatar dan jarak vertikal/tegak. Untuk sudut dibagi menjadi sudut
mendatar dan sudut vertikal.

Kategori kedua, di mana bumi dianggap sebagai bola, maka seluruh dasar hitungan untuk
jenis ini adalah kulit bola. Hasil ukuran pada muka bumi, seluruhnya dinyatakan dalam
bentuk besaran pada kulit bola. Ini berakibat bahwa besaran panjang tidak lagi dinyatakan
dalam satuan jarak, melainkan dalam bentuk busur lingkaran (satuan sudut). Pernyataan
besaran panjang dalam satuan jarak baru dilakukan bila telah ditentukan jari-jari bola yang
dijadikan tempat hitungan tersebut.
Mengingat hasil ukuran dinyatakan pada bidang datar, maka untuk dapat memenuhi per-
syaratan agar dapat digunakan pada bola, hasil ukuran tersebut di”reduksi” terlebih dahulu
ke bola. Apabila besaran seluruhnya telah pada bola, barulah hitungan dilakukan atas data
tersebut.

10
Dasar-dasar Perpetaan

Jari-jari bola yang digunakan untuk kategori ini adalah jari-jari rata-rata daerah obyek, yang
dikenal dengan jari-jari GAUSS.
Kategori ketiga, merupakan kategori umum, yaitu beracuan ellipsoida. Bentuk ellipsoida
untuk bumi, diambil dengan suatu anggapan bahwa bentuk mathematika yang paling
mendekati bentuk bumi adalah ellipsoida.
Berdasarkan perjanjian internasional, ukuran ellipsoida yang sekarang diterapkan untuk/
berlaku seluruh dunia adalah : World Geodetic Systems 1984 (WGS’84).
Walaupun demikian, besaran ellipsoida ini belum tentu terbaik untuk suatu daerah tertentu,
misal suatu negara, sehingga dalam pemetaan nasional, mungkin menggunakan besar
ellipsoida yang lain.
Peta Indonesia yang dibuat oleh Belanda, menggunakan ellipsoida Bessel. Untuk memberi
gambaran yang lebih jelas atas besar ellipsoida yang mungkin digunakan, lihat Tabel 1.

Tabel 1.
Besaran Ellipsoida

Nama Tahun a (m) 1/f

Bouguer, Maupertuis 1738 6 397 300 216,8


Delambre 1800 6 375 653 334,0
Walbeck 1819 6 376 896 302,78
Everest 1830 6 377 276,345 300,8017
Airy 1830 6 377 563,396 299,324964
Bessel 1841 6 377 397,155 299,152813
Clarke 1858 6 378 293,645 294,26
Pratt 1863 6 378 245 295,3
Clarke 1880 6 378 249,145 293,4663
Hayford 1906 6 378 283 297,8
Helmert 1907 6 378 200 298,3
Hayford 1910 6 378 388 297,0
Heiskanen 1926 6 378 397 297,0
Krasovsky 1936 6 378 210 298,6
Krasovsky 1940 6 378 245 298,3
Jeffreys 1948 6 378 099 297,1
World Geodetic Systems 1984 6 378 137 298,257

a = jari-jari di Equator ; f = (a-b) / a


b = jari-jari di kutub
(dicuplik dari Ivan I. Mueller,1969)

Seperti juga pada kategori kedua, hasil ukuran lapangan harus direduksi terlebih dahulu ke
ellipsoida, sebelum diolah.

1.3.3. Ruang Lingkup Ilmu Ukur Tanah

Dari uraian di atas, telah dapat diketahui bahwa Ilmu Ukur Tanah memiliki basis mathe-
matika yang berbeda dengan Geodesi secara umum, yaitu bidang datar.
Meskipun demikian, ilmu ukur tanah mencakup seluruh kegiatan
 dasar keilmuan,
 penyiapan dan pengetahuan alat
 metoda-metoda pengukuran
 pemetaan secara umum
 pengolahan data (termasuk perataan = adjustment)
 penggambaran peta

11
Dasar-dasar Perpetaan

 penerapan dalam berbagai bidang.

alat ukur ALAM

bentuk geometrik
mathematika
basis ukuran besaran-besaran
bidang datar ukuran

PENGUKURAN
pada bidang datar

Metoda Hasil ukuran Mathematika


Pengukuran pada bidang datar Bidang lengkung

GEOID dianggap Reduksi ke


bidang datar GEOID

Reduksi ke Reduksi ke
BOLA ELLIPSOIDA

Reduksi ke bidang PROYEKSI


Mathematika
Bidang Datar

Data pada BIDANG DATAR


STATISTIKA

Hitung PERATAAN/
Adjustment bidang datar

Hitungan BIDANG DATAR

PLOTTING
KARTOGRAFI

Penggambaran Halus

KOORDINAT
TITIK di
PETA lapangan

Diagram 2.

12
Dasar-dasar Perpetaan

Tinjauan Umum Perpetaan


Dari Diagram 2., dapat pula diketahui ilmu ataupun pengetahuan apa saja yang terkait
dengan ilmu ukur tanah, sehingga dapat dibayangkan cakupan ilmu tersebut dalam
pemetaan.

Meskipun peran mathematika sangat dominan, tetapi dalam pelaksanaan pemetaan, tidak
mungkin terlepas dari faktor kemanusiaan (humaniora) dan seni. Ini dapat berarti pula
bahwa dalam pengukuran, tidak mungkin terlepas dari faktor “human error” yang melaksana-
kan pengukuran tersebut, di samping peranan “seni” seseorang sangat berpengaruh pada
penggambaran halus suatu peta, meskipun simbol peta telah dibakukan.

1.5. Pengertian Dasar Ilmu Ukur Tanah

Dalam memasuki suatu ilmu maupun pengetahuan, sebaiknya langkah awal yang dilakukan ada-
lah mengetahui secara umum keseluruhan dasar ilmu dan pengetahuan tersebut. Tujuan dari
kegiatan ini adalah agar tidak terjadi salah pengertian maupun penerapan atas ilmu tersebut.
Ilmu ukur tanah itu sendiri, berawal dari suatu dasar pemikiran bahwa :
“Tidak ada 2 titik berbeda yang terletak/berada pada tempat yang sama.”

Tersirat suatu penerapan bentuk geometrik mathematik yang mendasar, yaitu titik , dan tempat
titik tersebut, atau lebih dikenal dengan posisi atau lokasi.
Dengan demikian, peran mathematika akan sangat besar pada ilmu ukur tanah dan setiap
kegiatan yang tercakup di dalamnya akan selalu berkaitan dengan mathematika walaupun yang
sederhana.
Mengingat obyek kegiatan dan kajian adalah “unsur muka bumi” , maka pada mulanya, seluruh
unsur muka bumi, dipisahkan dalam jenis data yang berbeda. Jenis data atas unsur muka bumi,
yang berikutnya lebih mudah dikatakan sebagai obyek kajian, tetap tidak terpisahkan dalam
menyajikan informasi atas obyek tersebut.
Adapun jenis data suatu obyek, dipisahkan atas :
1. Data kuantitatif ; yaitu data atas obyek yang dapat diukur untuk dapat dinyatakan da-
lam bentuk numerik.
2. Data kualitatif ; yaitu data atas obyek yang tidak dapat diukur, sehingga lebih banyak
berupa keterangan ataupun berupa data textual.
Dalam penyajian informasi atas suatu obyek, kedua jenis data tersebut di atas, tidak mungkin
saling dipisahkan, karena bila dipisahkan akan memberikan salah pengertian (mis-information).

Berhubung jenis data kualitatif lebih banyak berkaitan dengan penggunaan bahasa (berupa istilah
dan keterangan lisan maupun tertulis), maka tidak dibahas dengan rinci. Yang akan dibahas
dengan terinci (detailed) adalah data kuantitatif, di mana pengolahan data didasari oleh
penerapan mathematika.

1.5.1. Pengertian Posisi Obyek

Menyatakan letak/posisi suatu obyek, pada dasarnya menggunakan azas “relatif” terhadap
obyek lainnya.
Sebagai contoh : “Sebuah meja terletak di kanan pintu masuk”.
Kalimat di atas, menyatakan letak yang relatif, yaitu terhadap pintu masuk yang lebih mudah
ataupun sudah diketahui letaknya. Obyek lain yang dijadikan “acuan/referensi” posisi suatu
obyek, adalah obyek yang tetap ataupun tidak mudah berpindah.

13
Dasar-dasar Perpetaan

Dalam mathematika, posisi suatu obyek dinyatakan relatif terhadap titik tertentu. Titik yang
dijadikan acuan adalah titik yang dipilih/ditentukan oleh suatu perjanjian.
Sebagai contoh yang jelas, titik acuan pada sistem koordinat Cartesius adalah titik pusat salib
sumbu yang dikenal dengan titik O (0,0).
Parameter yang dijadikan dasar untuk menyatakan posisi tersebut, berupa jarak atau sudut.
Berdasarkan penggunaan parameter tersebut yang disesuaikan dengan bidang acuan, maka
dikenal beberapa sistem koordinat seperti yang telah diulas sebelumnya.
(lihat Gambar 6.)
Untuk lebih dapat membedakan pernyataan posisi obyek secara relatif dan tidak, dapat dilihat
pada Gambar 10.

Pada sistem koordinat polar (Gambar 10), dapat dilihat bahwa :


1. Relatif terhadap titik sebelumnya :
 titik A dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai A (1,d1)
 titik B relatif terhadap titik A, sebagai B (2,d2) dari A
 titik C relatif terhadap titik B, sebagai C (3,d3) dari B
2. Relatif terhadap titik O (0,0) :
 titik A dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai A (A,DA)
 titik B dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai B (B,DB)
 titik C dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai C (C,DC)
Pada sistem koordinat Cartesius (rectangular), semua titik dinyatakan relatif terhadap titik
pusat salib sumbu 0 (0,0) dan dalam satuan panjang (jarak) sepanjang setiap sumbunya.
 titik A dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai A (X A,YA)
 titik B dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai B (X B,YB)
 titik C dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai C (X C,YC)

Y
B
YB 2
d2

A 1
YA DB d3
DA=d1
 A  1 B
YC DC C
C X
O(0,0) XA XB Xc

Gambar 10.
Pernyataan Relatif Posisi Titik terhadap Titik Lain

Berhubung obyek ilmu ukur tanah adalah unsur muka bumi, yang berada dalam ruang, maka
dalam menyatakan posisi ruang (3D) obyek dirasakan lebih mudah menerapkan sistem
koordinat Cartesius, mengingat parameter sistem koordinat telah dinyatakan dalam bidang
datar horizontal maupun vertikal yang sesuai dengan kinerja alat ukur.
Sistem koordinat polar untuk obyek ruang jarang digunakan pada ilmu ukur tanah, walaupun
mungkin saja tetap diaplikasikan. Mathematika yang didasari sistem koordinat polar ini adalah
model hitungan vektor ruang.

Masalah ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya.

14
Dasar-dasar Perpetaan

1.5.2. Pengertian Peta

Dalam mengartikan suatu peta, perlu ditinjau beberapa aspek yang mendasar, di mana hal
tersebut harus terungkap dalam definisi peta itu sendiri.
Peta adalah :
“Gambaran sebagian besar/kecil unsur permukaan bumi pada
bidang datar, dengan skala tertentu”.

Dapat diperhatikan bahwa dari definisi tersebut, aspek yang perlu mendapat penekanan
adalah :
 Gambaran ;
yang berarti suatu bentuk grafik yang tidak mungkin lepas dari aspek seni
 Sebagian besar/kecil unsur muka bumi ;
yang dapat pula dikatakan bahwa suatu peta tidak mampu memuat seluruh informasi
permukaan bumi, sehingga akan terbagi dalam jenis peta yang berbeda
 Bidang datar ;
dapat memberikan arti bahwa semua informasi kuantitatif, dinyatakan dalam besaran
bidang datar, sehingga untuk penerapan kembali di bumi, memerlukan “penterje-
mahan” tersendiri
 Skala ;
yang berarti pula suatu perbandingan dalam bentuk numerik, sehingga semua infor-
masi kuantitatif pada peta, baru dapat digambarkan melalui proses mathematis.

Berdasarkan tinjauan tersebut di atas, pengertian lebih lanjut atas beberapa hal, dapat
diuraikan dengan lebih rinci sebagai di bawah.

1. Gambaran

Penggambaran yang dilakukan pada pemetaan, merupakan penggambaran yang dida-


sari oleh posisi titik-titik daerah yang dipertakan. Mengingat hal ini, maka langsung
maupun tidak, akan diterapkan beberapa peraturan penggambaran yang bersifat teknik.
Pengertian penggambaran itu sendiri masih bersifat umum, sehingga untuk berikutnya,
penggambaran peta yang menerapkan peraturan tertentu, disebut dengan PLOTTING.
Meskipun demikian, dalam menggambar peta, seseorang tidak mungkin terlepas dari
peran seni, keterampilan, kesalahan peralatan dan kesalahan pelaku itu sendiri.

2. Muatan informasi muka bumi


Berhubung tidak seluruh informasi unsur muka bumi dapat disajikan dalam satu lembar
peta yang sama, maka pada dasarnya peta dapat dibagi atas 2 (dua) jenis, yaitu :
 Peta Topografi :
Peta yang bermuatan informasi secara umum dan mampu menyajikan informasi
yang bersifat teknis dengan lebih mendasar.
Peta ini menitik-beratkan pada masalah posisi, sehingga informasi tentang sistem
pro-yeksi peta harus tercantum di dalamnya. Mengingat peta jenis ini menyajikan
informasi yang mendasar, bersifat umum dan menekankan posisi obyek, maka peta
jenis ini dapat dijadikan acuan posisi bagi peta lainnya , dan disebut sebagai peta
induk (base map).
Peta yang memanfaatkan posisi obyek dari peta topografi dan menambahi informasi
dengan yang diperlukan, disebut dengan peta turunan.

15
Dasar-dasar Perpetaan

 Peta Tematik :
Peta yang memuat/menyajikan informasi yang terbatas, sesuai dengan tema
ataupun kebutuhan informasi tertentu.
Peta ini berjumlah banyak sekali, mengingat setiap profesi memerlukan tema yang
berbeda dan “menajamkan” informasi yang diperlukannya.
Peta tematik dapat berupa suatu peta turunan, yang masalah posisi obyek didapat
dari peta topografi. Peta tematik semacam ini, lebih menekankan pada informasi
yang dibawakan, walaupun mungkin terjadi pergeseran posisi obyek.

3. Skala peta
Skala peta, secara langsung akan menentukan rinci (detail) atau tidaknya informasi yang
disajikan. Semakin besar skala peta, semakin terinci (mendetail) informasi yang
disajikannya. Akibat dari sakal besar adalah bahwa cakupan daerah yang dipetakan
menjadi semakin sempit.
Hal seperti di atas, akan terjadi untuk sebaliknya (skala semakin mengecil).
Untuk itu, terdapat beberapa model pembagian peta ditinjau dari skala, karena skala dan
muatan informasi peta yang digunakan sangat bervariasi. Contoh pembagian peta
menurut skala dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.
Pembagian Skala Peta

No Skala Golongan

1 Lebih kecil dari 1 : 1 000 000 Atlas (Chart)


2 1 : 100 000 s/d 1 : 1 000 000 Peta skala kecil
3 1 : 25 000 sampai 1 : 100 000 Peta skala sedang
4 1 : 10 000 sampai 1: 25 000 Peta skala besar
5 Lebih besar dari 1 : 10 000 Peta Teknik (biasanya digunakan
untuk perencanaan teknik,
detailed design)

1.5.3. Fungsi Peta

Telah diulas di atas, bahwa secara tidak langsung, peta merupakan sebagian bumi yang
diperkecil dan menyatakan unsur muka bumi dalam bentuk simbol. Hal ini dapat pula
dikatakan bahwa peta dapat berfungsi untuk segala tujuan sebagai pemberi informasi daerah
obyek dalam skala yang lebih kecil.
Dalam sejarah, peta berkembang dari pertempuran yang telah menerapkan strategi
pertempuran. Untuk dapat mengetahui kekuatan dan alam tempat lawan, diperlukan divisi
tersendiri untuk memetakan daerah lawan. Hal tersebut telah berkembang sejak zaman
dahulu, baik dilakukan melalui darat (secara langsung di lapangan), ataupun melalui udara
(dengan balon udara, pesawat terbang, satelit, dsb).
Secara singkat, peta berfungsi dalam segala hal baik eksakta maupun non-eksakta, di mana
peta berfungsi sebagai sumber informasi dasar. Ditinjau dari segi teknik, peta dapat
berfungsi dalam kurun waktu tertentu, di mana belum terjadi perubahan berarti pada daerah
yang dipetakan.

16
Dasar-dasar Perpetaan

Perencanaan &
Penyuluhan Lapangan

KONSTRUKSI Pemetaan
Pemasangan Ulang
Titik Kerangka Dasar

Plotting

Pengukuran Pengukuran PERENCANAAN


Situasi (Pemetaan) Kerangka Dasar
PETA
baru

PENGOLAHAN DATA

PENGEMBANGAN

Plotting MONITORING

Titik PEMELIHARAAN
PETA KERANGKA DASAR

PEMETAAN

Diagram 3.
Fungsi Teknis Peta & Kerangka Dasar

1.5.4. Fungsi Kerangka Dasar Pemetaan

Kerangka dasar pemetaan suatu daerah, merupakan syarat mutlak bagi pemetaan, karena
seluruh titik obyek pemetaan diacukan pada posisi titik kerangka dasar. Ini berarti, bila tidak
ada titik kerangka dasar, maka setiap obyek muka bumi berdiri terpisah dengan lainnya
(sendiri-sendiri) tanpa dapat dinyatakan secara bersamaan, karena posisi relatif satu obyek
dengan lainnya tidak ditentukan.
Diagram 3., memberikan pula gambaran fungsi kerangka dasar pemetaan, di mana pada saat
kontruksi (pembangunan) dan setelah konstruksi, titik kerangka dasar tetap besar peranan-
nya baik untuk pemetaan kembali maupun untuk pemeliharaan dan monitoring (pemantauan)
daerah tersebut.

Dengan demikian fungsi kerangka dasar pemetaan, antara lain adalah :


1. Sebagai acuan/referensi bagi setiap obyek yang dipetakan
2. Sebagai “pemersatu” obyek-obyek muka bumi ataupun pemetaan-pemetaan lokal
(masing-masing berdiri sendiri)
3. Sebagai acuan/referensi dalam :
 Pembangunan atau pelaksanaan rencana
 Pemetaan kembali daerah
 Pemeliharaan hasil konstruksi
 Memantau/monitoring obyek muka bumi

17
Dasar-dasar Perpetaan

1.5.5. Penerapan Ilmu Ukur Tanah / Surveying

Pada beberapa jenis profesi, di mana luas daerah yang dikelola tidak terlalu besar/luas
(misal < 100 km2), maka cakupan daerah tersebut masih dapat dianggap sebagai bidang
datar, peran ilmu ukur tanah maupun surveying sangat besar artinya. Perbedaan besaran di
bumi dengan besaran yang bersangkutan di peta tidak terlalu jauh (dapat diabaikan),
sehingga distrosi geometrik akibat proyeksi belum berarti.
Sesuai dengan sejarah pemetaan, maka tujuan permbuatan peta adalah untuk mengetahui
bagaimana dan apa saja unsur permukaan bumi suatu daerah dalam pandangan yang kecil,
tanpa mendatangi daerah tersebut. Dengan demikian, sebenarnya ilmu ukur tanah dapat dite-
rapkan pada berbegai bidang profesi atau keahlian baik eksakta maupun non-eksakta.
Semakin maju teknologi manusia, penggunaan peta semakin berkembang mengingat unsur
muka bumi yang semakin rumit dan padat. Bahkan saat sekarang, masyarakat sudah mulai
memanfaatkan “denah” atau sketsa untuk menuntun seseorang agar tidak tersesat. Ini
menandakan bahwa tampilan grafis tentang unsur muka bumi telah besar peranannya di
masyarakat, meskipun belum dalam bentuk peta yang baik.
Walaupun demikian, profesi teknik yang masih memegang dominasi penggunaan peta baik
ditujukan untuk perencanaan, pemeliharaan dan pengembangan suatu daerah. Dalam hal
semacam ini, peta diterapkan sebagai sumber data, sehingga dapat pula dikatakan bahwa
peta merupakan penunjang utama dalam kegiatan tersebut. Mengingat era sekarang sudah
menginjak era informasi, maka ilmu ukur tanah dapat diterapkan pada pengelola data base
suatu daerah, di mana seluruh informasi daerah beracuan pada basis yang sama tersebut.

Diagram 3., dapat memberikan gambaran tentang peran peta dan titik kerangka dasar peme-
taan yang tetap akan menunjang seluruh kegiatan (terutama kegiatan teknik) suatu daerah.
Peran tersebut akan terus menerus berulang (cyclic).

18
Dasar-dasar Perpetaan

BAB II
DASAR-DASAR PEMETAAN

Telah diulas di atas, bahwa peta dijadikan data basis bagi data lainnya yang dapat dinyatakan dalam
bentuk gambar (grafik). Pada prinsipnya , perbedaan para pengguna peta (misal perencana) dalam
kebutuhan data dasar, antara lain disebabkan :
 perbedaan titik-berat jenis data atau informasi
 perbedaan ketelitian peta yang diharapkan, di mana hal ini berkaitan dengan :
- ketelitian dan metoda ukuran
- peralatan yang harus digunakan
- waktu pelaksanaan
 perbedaan cakupan daerah perencanaan, yang berpengaruh pada :
- kedalaman informasi
- kerapatan informasi pada peta yang tersaji

Langsung ataupun tidak, hal di atas menuntut pengguna peta (perencana) untuk mengetahui dan
membatasi informasi yang harus tersaji pada suatu peta, untuk menghindari salah pengertian atau salah
informasi dalam penggunaan informasi tersebut.

2.1. Dasar Matematika pada Pemetaan.

Posisi suatu titik, merupakan sesuatu yang bersifat unik (unique), atau tidak ada yang
menyamai. maka dalam menyatakan suatu obyek alam, digunakan dasar bentuk geometrik
mathematis yang terdiri dari bentuk-bentuk :
 titik ,
 garis , dan
 bidang
Hal ini berkaitan pula dengan penyajian data, di mana semua data atau informasi dinyatakan di
atas bidang datar (2-dimensi), sedang obyek yang disajikan berada dalam ruang (3-dimensi). Ini
menuntut penerapan sistem proyeksi yang dapat memberikan perbedaan antara obyek tersebut
di alam dengan pada peta yang dikenal dengan distorsi. Seperti sudah diulas di atas, bahwa
perbedaan ini dianggap kecil untuk suatu daerah cakupan daerah pemetaan yang kecil.
Dalam mathematika, setiap bentuk geometrik, memiliki dalil, persamaan ataupun operasi-operasi
mathematis tersendiri. Operasi ataupun dalil bentuk sederhana berlaku pada bentuk yang lebih
tinggi. Sebagai contohnya, operasi-operasi pada suatu garis berlaku pula pada bentuk bidang,
tetapi tidak berlaku untuk sebaliknya.
Dalam pemetaan untuk masalah teknis, besaran (unit) yang diterapkan cukup berupa besaran
jarak dan sudut, di mana kedua satuan ini diterapkan dalam menyatakan posisi titik-titik obyek
alam. Pernyataan semacam ini dikenal dengan istilah sistem koordinat. Untuk ini, dikenal
sistem koordinat antara lain seperti Cartesian , Polar , Geografik , di mana setiap posisi titik
dinyatakan dalam satuan jarak, sudut atau gabungan keduanya.
Selanjutnya, masalah besaran ini berkaitan juga dengan pengukuran atas obyek alam tersebut.
Bahwa data numerik setiap pemetaan akan juga berupa besaran sudut dan jarak pada bidang
yang telah ditentukan (lihat BAB I). Dalam beberapa hal, di mana dituntut hasil ukuran yang lebih
teliti, pengukuran dikembangkan sampai dengan besaran lain yang terkait dengan kedua besaran
tersebut (misal temperatur dan tekanan udara).

2.1.1. Posisi titik dalam ruang.

19
Dasar-dasar Perpetaan

Menyatakan posisi suatu titik dalam ruang (3-dimensi), dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa cara. Salah satu cara yang sudah lazim digunakan adalah sistem koordinat
Cartesius yang menyatakannya dalam satuan jarak dari titik pusat koordinat sepanjang setiap
sumbu. Sumbu sistem koordinat Cartesius biasanya dikenal dengan sumbu X, Y dan Z
dengan titik pusat koordinat adalah titik O. Bidang X-O-Y menjadi bidang datar yang
diletakkan pada bidang horizon, sedang sumbu Z menjadi sumbu tegak yang menunjuk ke
titik Zenith dari titik O. Dengan demikian, bila terdapat titik A pada permukaan bumi,
dapatlah dinyatakan seperti pada Gambar 11.

ZA A

YA
O (0,0,0) Y
XA

A’

X
Gambar 11.
Sistem Koordinat Cartesius ruang titik A

Posisi ruang titik A, diproyeksikan pada bidang mendatar X-O-Y sebagai titik A’.
Posisi ruang titik A, diproyeksikan pada bidang tegak (pada sumbu Z) sebagai titik A’’.
Pernyataan koordinat titik A adalah : XA ; YA ; ZA ; di mana :
XA - jarak proyeksi titik A sepanjang sumbu X
YA - jarak proyeksi titik A sepanjang sumbu Y
ZA - jarak proyeksi titik A sepanjang sumbu Z = ketinggian titik A
Titik A’, dikatakan sebagai posisi horizontal titik A dan dinyatakan dengan koordinat
(XA ;YA)
Titik A’’, dikatakan sebagai posisi vertikal titik A dan dinyatakan dengan koordinat (Z A)

Operasi mathematika untuk suatu titik tidak ada bila titik itu berdiri sendiri. Operasi tersebut
baru dapat dilakukan setelah titik yang bersangkutan berada pada suatu sistem koordinat dan
terkait dengan titik lain (titik acuan koordinat).
Mengingat banyak titik di muka bumi tak berhingga, maka diterapkan kaitan satu titik dengan
titik lain yang secara mathematis berupa suatu garis, sehingga dinyatakan secara relatif satu
dengan lainnya.
Apabila sudah bentuk garis, maka garis dalam ruang tersebut dinyatakan sebagai vektor yang
mempunyai parameter arah dan jarak.

2.1.2. Posisi garis.

20
Dasar-dasar Perpetaan

Seperti telah diketahui bahwa garis merupakan kumpulan titik yang tak berhingga jumlahnya
dan selalu diawali serta diakhiri oleh titik yang berbeda. Dengan demikian, suatu garis akan
dapat dibentuk dari dua buah titik yang tidak sama. Operasi matematika untuk garis berupa
operasi arithmatika, yaitu tambah, kurang, kali dan bagi. Dari operasi semacam ini, baru
dapat dihasilkan suatu selisih posisi dua buah titik sepanjang sumbu tertentu.
Hubungan antara dua titik ( A dan B ) dapat dilihat pada Gambar 12.

Z
B”

A” B

O(0,0,0)
Y

A’ B’

Gambar 12.
Garis dalam ruang
Keterangan :

 Garis A-B , merupakan vektor ruang


 Garis A’-B’ , merupakan vektor pada bidang mendatar
 Garis A”-B” , merupakan vektor pada bidang tegak (vertikal, misal XOZ)
 XB - XA = beda absis antara A ke B
 YB - YA = beda ordinat antara A ke B
 ZB - ZA = beda jarak tegak antara A ke B = beda tinggi antara A ke B

2.1.3. Posisi bidang.

Terbentuknya suatu bidang, dapat berasal dari beberapa sebab, antara lain oleh 3 (tiga) titik
yang tidak berimpit (berbeda tempat). Penjabaran selanjutnya adalah bentuk-bentuk bidang
segi-banyak seperti segi-empat dan sebagainya. Yang dirasakan penting artinya adalah
kaitan bidang dengan titik dan garis, di mana hitungan-hitungan posisi bidang ataupun posisi
titik dan garis berdasarkan keterikatan antar titik yang dinyatakan dalam bentuk garis lurus.
Gambar 13., mengungkapkan hubungan antara beberapa titik (titik A, B dan C) pada bidang
datar X-O-Y dan juga garis-garis A-B, B-C dan A-C

Hubungan antara 2 (dua) titik : mengakibatkan terbentuknya garis

21
Dasar-dasar Perpetaan

Hubungan antara 2 (dua) garis :


 mengakibatkan timbulnya besaran baru berupa besaran putaran yang disebut
sudut antara (yang dibatasi oleh) 2 garis.
 terbentuknya suatu bidang yang dibatasi oleh garis-garis tersebut

Dari masalah ini, kesimpulan penting sementara yang dapat ditarik adalah :
 Posisi bidang ditentukan oleh posisi garis-garis yang membatasi bidang
tersebut
 Posisi garis ditentukan oleh posisi titik yang membentuk garis tersebut

Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, yang diutamakan adalah penentuan posisi titik.

Y(+) //Y
YC C=C’


 AC  AB

A=A’ 
YA 

B=B’
YB

X(+)
O (0;0,0) XA XC XB

Gambar 13.
Segi-tiga A-B-C pada Bidang Mendatar XOY

Secara menyeluruh, dasar mathematika yang menjadi dasar untuk pemetaan adalah sebagai
berikut :
 Penguasaan aritmatika untuk jarak dan sudut
 Penguasaan fungsi trigonometrik dalam hubungan sudut dan jarak, terutama
dalam bentuk segi-tiga siku.

Berikutnya, posisi titik pada bidang datar dikenal sebagai posisi horizontal dan posisi
sepanjang sumbu Z (pada bidang vertikal X-O-Z) disebut dengan posisi vertikal (ketinggian).
Pembagian atas 2 (dua) macam posisi ini merupakan salah satu cara untuk memudahkan
pernyataan posisi titik pada ruang (3-Dimensi), karena operasi hitungan pada ruang dapat
dikatakan lebih sulit dibandingkan dengan operasi hitungan bidang datar dan operasi garis
(sepanjang sumbu Z).
Untuk memenuhi masalah di atas, harap diingat bahwa dalam menerapkan semua dalil dan
persamaan mathematikanya, semua unsur atau data yang diolah, telah berada pada referensi
yang dimaksud. Seba- gai contoh, pada bidang datar X-O-Y, unsur-unsur berupa sudut dan
jarak merupakan sudut dan jarak datar. Ini berarti pula bahwa ukuran yang dilakukan di
lapangan harus sesuai dengan unsur yang dimaksud.
2.1.4. Hubungan Posisi titik dan Hitungan pada Bidang Datar.

22
Dasar-dasar Perpetaan

Hubungan posisi dengan unsur pembentuknya, sangat tergantung pada Penentuan sistem
koordinat , karena posisi yang akan dinyatakan, merupakan letak relatif terhadap sistem
koordinat tersebut. Unsur pembentuk posisi ini merupakan unsur-unsur pada posisi relatif
antar titik yang dimaksud. Sebelumnya, terlebih dahulu akan disampaikan istilah yang
digunakan dalam masalah ini.
(Lihat Gambar 13.)
 Sudut jurusan :
adalah sudut yang dibentuk dari arah utara peta (garis //sb.Y) yang melalui titik terse-
but, sampai ke jurusan yang dimaksud, dengan putaran searah jarum jam dan besar
0o - 360o. Untuk daerah yang sempit, sudut jurusan ini dianggap sama dengan
azimuth geografik.
 Jarak A - B : adalah jarak mendatar dari titik A ke titik B
  AB : adalah sudut jurusan dari titik A ke B.
 , ,  : adalah sudut datar (sudut pada bidang mendatar)

Dari gambar 13., dapat dilihat bahwa :

XB = XA + (X B - X A ) ; YB = YA + (YB - YA )
(XB - XA ) = JAB Sin AB ; (YB - YA ) = JAB Cos AB

Sehingga :

XB = XA + JAB Sin  AB ; YB = YA + JAB Cos  AB

………… (2.1)

Rumusan ini digunakan untuk menentukan koordinat titik B dengan unsur ukuran yang
telah diketahui. Yang diketahui dalam masalah ini adalah :
* koordinat titik A
* jarak datar A-B, dan
* sudut jurusan/azimuth dari A ke B
Rumusan ini merupakan rumus dasar untuk menentukan posisi horizontal titik lainnya
dari titik yang telah diketahui posisinya.
Untuk unsur pembentuk koordinat, persamaan-persamaan yang penting adalah sebagai
berikut.

 Jarak :
JAB = (X B - X A ) 2 + ( Y B - Y A ) 2 (2.2)

 Sudut :

 =  AB -  AC (2.3)

(X B - X A )
Tan  AB = (2.4)
(Y B - Y A )

 AB =  BA  180o (2.5)
2.2. Satuan Sudut

23
Dasar-dasar Perpetaan

Berhubung besaran utama dalam pemetaan adalah jarak dan sudut, dalam mempelajari masalah
tersebut, dituntut untuk mengetahui dan mengerti sepenuhnya satuan (unit) yang dapat
diterapkan untuk besaran tersebut. Unit atau satuan jarak sudah diketahui bersama, yaitu
satuan Internasional (satuan meter) dan satuan British (satuan inches), sehingga tidak perlu
diulas lebih lanjut. Yang akan dibahas adalah satuan sudut yang cukup bervariasi dan memiliki
keistimewaan tersendiri.
Satuan sudut, berawal dari pernyataan besarnya putaran untuk 1 (satu) lingkaran penuh. Untuk
ini, terdapat beberapa cara dalam pernyataannya.

1. Radian

Besar sudut 1 (satu) radian adalah :


Besarnya sudut yang dibentuk oleh besar lingkaran sebesar jari-jari lingkaran tersebut.
Sehingga, untuk menyatakan besar sudut 1 (satu) lingkaran penuh adalah 2 radian.

2. Derajat, menit, detik (Degree, minute, second)

Satu lingkaran penuh dinyatakan sebesar 360o , dengan satuan lebih kecil :
 1o = 60’
 1’ = 60”
Sehingga, 1 (satu) lingkaran penuh = 360o 00’ 00”

3. Grade/Gon (Grade, Centi-Grade. Centi-Cimal)

Satu lingkaran penuh dinyatakan sebesar 400g , dengan satuan lebih kecil :
 1g = 100cg
 1cg = 100cc
Sehingga, 1 (satu) lingkaran penuh = 400g 00cg 00cc
Penulisan desimal untuk satuan ini, jauh lebih mudah dibandingkan satuan derajat,
karena dalam satuan kecil maupun desimal, dapat secara langsung (tanpa perbedaan).
Contoh :
 278g 75cg 15cc = 278g, 7515
 278 75 15 - 125 83cg 20cc
g cg cc g
= 278g, 7515 - 125g, 8320
= 152g, 9285

4. Waktu (jam, menit, detik / Hour, Minute, Second)

Satuan waktu, tidak ubahnya (serupa) dengan satuan derajat, tetapi berdasarkan rotasi
bumi.
Satu lingkaran penuh dinyatakan sebesar 360h , dengan satuan lebih kecil :
 1h = 60m
 1m = 60s
Sehingga, 1 (satu) lingkaran penuh = 400h 00m 00s

Untuk konversi satuan, digunakan perbandingan atas pernyataan 1 (satu) lingkaran atau
setengahnya, sehingga dapat dikatakan sebagai :

xrad xo xg xh xrad xo xg xh
2rad 360o 400g 24h rad 180o 200g 12h

…….. (2.6)

2.3. Penerapan Sistem Koordinat Cartesius pada Peta

24
Dasar-dasar Perpetaan

Dalam melakukan pemetaan suatu daerah, hal pertama yang harus ditentukan adalah penerapan
(aplikasi) sistem koordinat. Tanpa adanya koordinat, maka tidak mungkin dapat di”plot” titik-titik
yang diukur, karena plotting kerangka dasar menerapkan plotting cara numerik (berdasarkan
koordinat titik).
Untuk menyatakan koordinat yang akan berlaku pada peta hasil pemetaan tersebut, berikut ini
dibahas beberapa model penerapan sistem koordinat Cartesius pada pemetaan.
Model yang membedakan bentuk koordinat (untuk sistem koordinat Cartesius), adalah :
 Peletakan titik pusat salib sumbu (O (0,0)).
 Arah sumbu Y positif

Kedua masalah di atas, dapat mengakibatkan perbedaan pernyataan koordinat suatu titik. Faktor
ketiga yaitu perbedaan skala koordinat, tidak dibahas, karena dalam pemetaan ini skala koordinat
dianggap sama, yaitu satuan meter.
Dalam penerapannya di ilmu ukur tanah (surveying), kedua faktor penentu koordinat di atas,
dinyatakan secara tidak langsung, yaitu melalui :
1. Koordinat titik awal (salah satu titik yang dianggap penting, sebagai titik
penentu)
2. Menentukan azimuth suatu sisi (misal : salah satu sisi poligon)

2.3.1. Koordinat Lokal

Koordinat lokal, dimaksudkan dengan meletakam salib sumbu pada tempat yang
“sembarang” baik kedua-duanya atau salah satu saja.

Y’ Y
X’

O’ O A

B X

Gambar 14.
Koordinat Lokal

Koordinat titik A dan B, akan berbeda bila dinyatakan terhadap salib sumbu X-O-Y dan
terhadap X’-O’-Y’.
Walaupun koordinat dinyatakan dalam sistem koordinat yang berbeda, tetapi posisi relatif
antara kedua titik tersebut akan tetap (perhatikan jarak mendatar A-B). Jarak mendatar A-B,
merupakan garis penghubung kedua titik yang tetap panjangnya, meskipun koordinat titik
berubah.
Sebagai contoh penerapan koordinat lokal , maka dapat dikatakan sebagai berikut : (lihat
Gambar 14.)
 Titik A : XA = 200; YA = 75
 Azimuth A-B ( AB) = 225o

2.3.2. Koordinat “Normal”

25
Dasar-dasar Perpetaan

Berbeda dengan koordinat lokal, dimana kedua faktor penentu peletakan salib sumbu dapat
sembarang, pada koordinat normal sudah tidak dapat lagi sembarang.
Koordinat normal, menyatakan perjanjian yang berlaku untuk daerah tertentu sebagai
berikut :
 Titik nol (O (0,0)) pada tempat tertentu (misal: pusat kota)
 Arah sumbu Y(+) = arah utara Geografik

Peletakan yang masih dapat dianggap “sembarang” adalah titik pusat salib sumbu, sedang
arah sumbu Y(+) telah diatur sesuai dengan perjanjian pemetaan umum, yaitu ke arah utara
geografik.
Model koordinat semacam ini, hanya berlaku untuk daerah tertentu yang relatif cukup luas.
Biasanya diterapkan untuk pemetaan suatu kota atau daerah administratif. Oleh karena itu,
setiap kota besar, telah menentukan “titik nol” kota yang diletakkan pada pusat kota.

2.3.3. Koordinat Definitf

Model pernyataan koordinat seperti ini, berlaku secara umum untuk seluruh daerah di dunia.
Mengingat keragaman daerah dan bentuk bumi, maka koordinat definitif beracuan pada
peraturan sistem proyeksi peta.
Berikut ini diambil contoh suatu koordinat definitif dalam sistem proyeksi peta UTM :
 Sumbu X adalah equator
 Titik nol salib sumbu adalah perpotongan meridian sentral dengan
equator
 Sumbu Y adalah garis singgung meridian sentral di equator ke arah
utara geografik.

Dengan demikian, dapat dimengerti bila pernyataan koordinat Cartesius untuk proyeksi UTM,
terdiri dari 6 digit (ratus kilo meter) bila hanya sampai satuan meter.

2.4. Dasar Pembuatan Peta

Secara singkatnya, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti diagram 4.

Pengumpulan data Pengolahan data Penyajian


(a.l pengukuran) (hitungan , dsb.) (Penggambaran, dsb.)

Diagram 4.
Diagram umum pemetaan

Pengumpulan data merupakan rangkaian pekerjaan sejak awal sampai pada seluruh data
terkumpul dan siap diolah. Pekerjaan akhir pada tahapan ini adalah perbaikan (revisi) data di
mana harus dilakukan pemeriksaan data berdasarkan kontrol-kontrol geometrik.
Mengingat kemajuan ilmu dan teknologi, pemetaan dapat dilakukan dengan menerapkan 2 (dua)
cara umum, yaitu :
1. Metoda Terestis ; yaitu kegiatan pemetaan yang seluruh kegiatan dilakukan di lapangan
terutama dalam hal pengumpulan data .
2. Metoda Fotogrametris ; yaitu kegiatan pemetaan yang dilakukan dengan cara pemotretan
udara atas daerah yang akan dipetakan.

26
Dasar-dasar Perpetaan

Walapun demikian, pengumpulan data secara langsung di lapangan tidak mungkin diting-
galkan, karena secara keseluruhan tetap diperlukan data langsung dari lapangan. Dalam pene-
rapan metoda fotogrametris, koordinat titik kontrol tanah (Ground Control Points = GCP’s)
merupakan hasil pengukuran terestris, ataupun berdasarkan koordinat posisi pemotretan (kapal
udara) yang dihasilkan dengan menerapkan metoda GPS.
Melalui metoda apapun pemetaan dilakukan, tetap melaksanakan langkah-langkah pemetaan
seperti di atas. Untuk lebih terinci, dapat dinyatakan sebagai berikut :

1. Pengumpulan Data ; terdiri atas :


a. Pembuatan kerangka dasar pemetaan :
a.1. Kerangka dasar posisi mendatar / horizontal
a.2. Kerangka dasar posisi tegak / vertikal
b. Pemetaan detail situasi baik posisi mendatar maupun tegak
c. Pengumpulan data kualitatif, seperti masalah land use
2. Pengolahan Data ; terdiri dari :
a. Hitungan kerangka dasar :
a.1. Kerangka dasar mendatar (horizontal)
a.2. Kerangka dasar tegak (vertikal)
b. Hitungan titik detail situasi
c. Plotting titik-titik menurut posisi mendatarnya
c.1. Titik-titik kerangka dasar
c.2. Pencantuman ketinggian setiap titik
c.3. Plotting titik-titik detail situasi
3. Penyajian ; terdiri dari :
a. Pemilihan bahan untuk penggambaran akhir
b. Pemilihan dan penentuan simbol yang akan dipakai
c. Penetapan pembagian lembar peta
d. Penggambaran halus (fine drawing)
e. Proses pencetakan
Selanjutnya akan dibahas lebih terinci masalah penentuan posisi titik baik untuk tujuan
pembuatan kerangka dasar ataupun untuk pemetaan detail.

27
Dasar-dasar Perpetaan

BAB III
PENENTUAN POSISI HORIZONTAL

Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya, bahwa tanpa adanya kerangka dasar pemetaan, unsur
permukaan bumi suatu daerah akan tergambarkan sebagian-sebagian, tanpa dapat digabungkan dengan
baik. Ini berarti pula bahwa antar bagian pemetaan saling “terlepas” dan tidak dapat digabungkan. Untuk
ini, masalah yang mendasar adalah penyediaan kerangka dasar baik untuk posisi horizontal maupun
posisi vertikal.
Telah diketahui bahwa obyek muka bumi, seluruhnya dinyatakan dalam bentuk titik-titik yang dapat
mewakili obyek tersebut agar tergambarkan dengan benar. Bentuk garis yang dapat ditarik antara kedua
titik wakil tersebut merupakan bentuk mathematika tertentu, misal garis lurus ataupun busur lingkaran.
Mengingat pentingnya arti titik, maka pada pembahasan berikutnya, posisi suatu obyek, hanya
ditekankan pada posisi titik.
Untuk BAB III ini, pembahasan pada posisi horizontal suatu titik, yaitu posisi suatu titik pada bidang
mendatar X-O-Y, di mana sumbu Z akan tergambarkan sebagai titik yang berimpit dengan titik O (0,0,0)
dan berikutnya titik O dituliskan dalam bentuk 2 (dua) dimensi, yaitu O (0,0) .

Terdapat banyak metoda yang dapat diterapkan dalam menentukan posisi horizontal suatu titik. Setiap
metoda mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan
ataupun keadaan daerah obyek. Selain itu, setiap metoda mempunyai persyaratan dan parameter yang
berbeda, walaupun memiliki dasar yang sama.
Persyaratan mendasar yang berlaku untuk setiap metoda penentuan posisi horizontal adalah bahwa
semua besaran (sudut dan jarak) merupakan besaran pada bidang mendatar. Sudut yang
digunakan adalah sudut pada bidang mendatar dan jarak adalah jarak pada bidang mendatar.

Adapun metoda yang dapat diterapkan, dapat diulas seperti di bawah, walaupun tidak seluruh metoda
yang dibahas dengan rinci.

1. METODA POLAR
Merupakan metoda yang menjadi dasar (terutama hitungan) posisi horizontal dan merupakan
metoda yang sederhana, berdasarkan arah dan jarak suatu titik ke titik lain. Titik awal, menjadi
titik pusat, sehingga seperti juga titik kutub (polar)
Yang dimaksudkan dengan arah di sini adalah azimuth atau sudut jurusan titik polar ke titik
lainnya. (lihat Gambar 15.)

2. METODA POLIGON
Suatu metoda yang menyerupai metoda polar, tetapi yang diukur pada metoda ini adalah sudut
dan jarak . Dalam hitungan metoda ini, tidak ubahnya seperti “merangkaikan” metoda polar.
Pada metoda polar, titik yang akan ditentukan posisinya tersebar disekitar titik polar, sedang pada
metoda poligon, titik yang akan ditentukan berupa titik yang berangkai dan semakin lama,
semakin jauh.

3. METODA PERPOTONGAN KEMUKA


Suatu metoda yang hanya melakukan pengukuran sudut . Metoda ini banyak digunakan untuk
penentuan posisi horizontal titik yang berjarak jauh, karena tidak mengukur jarak. Pengukuran di-
lakukan dengan target titik yang akan ditentukan.

4. METODA PERPOTONGAN KEBELAKANG

28
Dasar-dasar Perpetaan

Seperti juga metoda perpotongan kemuka, metoda inipun merupakan metoda yang digunakan
untuk menentukan posisi horizontal suatu titik tanpa pengukuran jarak.Pengukuran dilakukan
pada titik yang akan ditentukan posisinya (berlawanan dengan perpotongan kemuka).

Utara

Utara

Polar Poligon

Perpotongan Kemuka Perpotongan Kebelakang

Bentuk-bentuk
Triangulasi, Trilaterasi dan Triangulaterasi

Gambar 15.
Bentuk Geometrik Metoda Penentuan Posisi Horizontal
Keterangan :
= titik yang diketahui koordinatnya (titik ikat)
= titik yang akan ditentukan posisi horizontalnya

5. METODA TRIANGULASI
Merupakan metoda yang hanya dilakukan pengukuran semua sudut yang disertai 1 (satu)
pengukuran jarak untuk seluruh jaringan. Bentuk posisi titik-titik metoda ini adalah bentuk segi-
tiga dan digunakan untuk membuat kerangka dasar horizontal untuk daerah yang luas.

6. METODA TRILATERASI
Metoda ini seperti juga metoda triangulasi, tetapi yang diukur adalah semua jarak yang ada
pada jaringan kerangka dasar tersebut.

7. METODA TRIANGULATERASI
Merupakan metoda gabungan antara metoda triangulasi dan trilaterasi. Dengan demikian, pada
metoda ini semua sudut dan jarak dari segi-tiga jaringan tersebut menjadi obyek ukuran.

29
Dasar-dasar Perpetaan

30
Dasar-dasar Perpetaan

8. METODA ASTRONOMIS
Merupakan metoda yang menentukan posisi horizontal suatu titik, berdasarkan pengamatan
posisi benda-benda langit. Dengan metoda ini, posisi titik tempat pengamatan ditentukan posisi
dalam besaran Lintang, Bujur (meridian) dan azimuth ke arah titik target.

9. METODA FOTOGRAMETRIS
Suatu metoda penentuan titik berdasarkan foto udara suatu daerah, di mana titik tersebut harus
dapat diidentifikasikan lokasinya pada foto udara . Titik pada foto, dikaitkan dengan posisi titik
kontrol tanah (GCP’s) untuk dapat dinyatakan posisinya.

10. METODA SATELIT


Berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan, maka sebagai ganti metoda astronomis, digunakan
metoda satelit. Salah satu prinsip dasar metoda ini adalah pengaruh frekuensi relatif terhadap
kecepatan yang dikenal dengan EFEK DOPPLER. Perkembangan berikutnya, model metoda
Doppler telah ditinggalkan dan sekarang digantikan dengan GPS (Global Positioning System).
GPS dapat menjawab posisi titik yang diamati dalam waktu cepat dan mudah. Saat sekarang ini,
teknologi GPS telah banyak diterapkan di bidang pelayaran, navigasi, teknik dsb.

3.1. Metoda Polar.

Dalam pembahasan ini, yang akan diuraikan adalah metoda polar, tanpa merincikan pengguna-
an peralatan yang digunakan dalam pengukurannya. Pembahasan ditekankan pada prinsip dasar
metoda disertai pengolahan data untuk mendapatkan posisi horizontal obyek (titik).

//Y = UP

1
6 d1
4
d6 3

2
6 A
d5 d4 d3
3
5

4
Gambar 16.
Penentuan posisi titik metoda polar
Keterangan :
Titik A = titik yang diketahui koordinatnya (titik ikat)
i = azimuth/sudut jurusan dari A ke titik i
di = jarak mendatar dari A ke titik i

Posisi titik sekeliling titik A diukur dari titik A. Obyek ukuran adalah arah dan jarak datar dari
titik A ke titik yang dimaksud (target). Mengingat titik A sebagai pusat titik lainnya, maka titik
A dapat dikatakan sebagai titik kutub (pole).

31
Dasar-dasar Perpetaan

Hitungan koordinat titik lainnya (titik 1, 2, ..... , 6, ... ), dapat menerapkan persamaan (2.1) di
atas, dengan penurunan persamaan tersebut sebagai di bawah.

Y // Y
B
YB  BA

 AB JAB

A
YA

X
O XA XB
Gambar 17.
Penurunan Rumus Penentuan Posisi Horizontal

Dari segi-tiga siku yang terbentuk, dapat dilihat bahwa :


 Beda absis antara titik A sampai dengan titik B : XAB = XB - XA
 Beda ordinat antara titik A sampai dengan titik B : YAB = YB - YA
 Bila sudut jurusan/azimuth dari A ke B = AB , maka :
 Sin AB = (XAB / JAB) XAB = DAB Sin AB
 Cos AB = (YAB / JAB) YAB = DAB Sin AB . Jadi :
XAB = XB - XA = JAB Sin AB; YAB = YB - YA = JAB Sin AB , atau :
XB = XA + JAB Sin  AB ; YB = YA + DAB Cos  AB

Secara umum, dituliskan sebagai :

XB = XA + JAB Sin  AB
YB = YA + JAB Cos  AB ………….. (2.1)

Rumus (2.1), dapat diartikan sebagai :


“ Koordinat titik B adalah sebesar penjumlahan koordinat titik A dengan
beda absis/ordinat dari titik A ke titik B “
Berarti pula bahwa :
Koordinat titik B baru dapat dihitung bila :
 koordinat ttitik A diketahui.
 jarak mendatar dan azimuth dari A ke B diketahui

Rumus (2.1) dikatakan sebagai penentuan posisi horizontal titik dari titik lainnya yang sudah
diketahui atau sebagai persoalan pokok Geodesi I (SPG I).
Disampint itu, perlu pula ditinjau masalah yang sebaliknya, yaitu menghitung jarak dan azimuth/
sudut jurusan antara kedua titik yang telah diketahui koordinatnya, yang dikenal dengan
persoalan pokok Geodesi II (SPG II). (lihat Gambar 17.)

Bila titik A dan titik B , sebagai titik ikat (diketahui koordinatnya), maka :
XAB = XB - XA ; YAB = YB - YA

sehingga untuk besaran jarak dan azimuth adalah:

32
Dasar-dasar Perpetaan

 Jarak :
dengan rumus Pythagoras, didapat :

JAB = (X B - X A ) 2 + ( Y B - Y A ) 2 (2.2)

 Azimuth :
dihitung dari :
(XB – XA)
Tan  AB = ….. (2.4)
(YB – YA)

mengingat nilai azimuth 0o-360o , maka akan dijumpai masalah menentukan nilai yang
sebenarnya (sesuai dengan kuadran sudut). Untuk itu, terlebih dahulu harus ditentukan
kuadran azimuth tersebut, dengan “pen-setara-an” tanda SIN dengan X dan tanda
COS dengan Y. (ingat perputaran azimuth searah jarum jam)
Sin  AB  XAB ; Cos  AB  YAB

dan bila : Tan  AB = a , maka :

Tabel 3.
Hitungan Azimuth

Kuadran Nilai X & Y Nilai  AB

I X >0 dan Y >0  AB = a


II X >0 dan Y <0  AB = 180o + a ( a<0 )
III X <0 dan Y <0  AB = 180o + a ( a>0 )
IV X <0 dan Y >0  AB = 360o + a ( a<0 )

Azimuth dari A ke B akan berbeda nilainya dengan “azimuth balik” (back-azimuth), yaitu dari
B ke A . (lihat Gambar 17.)
Perbedaan kedua azimuth tersebut, merupakan garis lurus atau setengah lingkaran,
sehingga :

 AB =  BA  180o (2.5)

Rumus (2.5), berarti bahwa dalam hitungan, dapat menggunakan tanda positif (+) ataupun
tanda negatif (). Kedua-duanya akan menghasilkan nilai yang sama

Bila :
 nilai azimuth negatif (<0) , maka tambahkan dengan 360o.
 nilai azimuth lebih dari 360o (>360o) , maka kurangkan dengan 360o.

33
Dasar-dasar Perpetaan

3. 2. Metoda Poligon.

Metoda poligon ini, merupakan metoda yang umum digunakan, di mana pada bentuknya
menyerupai rangkaian metoda Polar. Walaupun demikian, tidak berarti setiap titik poligon
mempunyai parameter azimuth secara langsung. Azimuth setiap sisi poligon, “diwakili” oleh
sudut-sudut yang dibentuk jurusan/sisi poligon yang bersangkutan. Azimuth ini baru diperoleh
dari hitungan.

4
A

1
2
Gambar 18.
Contoh Bentuk Poligon

Pada poligon, parameter yang diukur adalah sudut dan jarak, sehingga hal ini yang membeda-
kan metoda poligon ini dari metoda polar. Pada Gambar 18, semua sudut dan jarak diukur, yaitu
4 (empat) sudut dan 5 (lima) jarak sisi.

Seluruh hitungan poligon, merupakan hitungan yang berangkai, sehingga dituntut ketelitian dan
kecermatan yang tinggi, karena kesalahan yang dilakukan saat awal akan mempengaruhi hasil
hitungan berikutnya.

Tahapan hitungan poligon adalah sebagai berikut :


a. Hitungan azimuth setiap jurusan secara berangkai
b. Hitungan selisih/beda absis dan selisih/beda ordinat setiap sisi.
c. Hitungan koordinat setiap titik secara berangkai.

Pengolahan data atau hitungan poligon, akan dibahas dalam 2 (dua) bagian, yaitu :
 Hitungan dasar poligon (tanpa koreksi) , dan
 Hitungan poligon dengan koreksi

3.2.1. Hitungan Dasar Poligon

3.2.1.1. Hitungan Azimuth

Lihat Gambar 19.

1A = A1 + 180o


12 = 1A + 1
12 = A1 + 180o + 1

Berhubung 12 > 360o , maka dikurangi 360 o, tanpa mengubah arah garis tersebut,
sehingga :
12 = A1 + 180o + 1 - 360o
 12 =  A1 +  1 - 180o

34
Dasar-dasar Perpetaan

//Y //Y = U

12 2

A 1

A1
1

1A

Gambar 19.
Hitungan azimuth poligon
Untuk selanjutnya :
23 = 12 + 2 - 180o
……………… dan seterusnya

Bila dilihat dari arah hitungan, (lihat Gambar 18 dan 19.), maka sudut yang digunakan
untuk hitungan merupakan sudut kiri , karena berada di sebelah kiri arah hitungan. Hal
ini penting artinya, karena bila menggunakan rumus yang sama untuk jenis sudut yang
berbeda, maka hasil hitungan azimuth akan berbeda pula. Titik yang seharusnya berada
di utara, dapat berpindah ke selatan. Hal tersebut jelas pula akan berpengaruh pada
koordinat titik.

Rumus hitungan azimuth di atas, dapat dituliskan secaea umum sebagai :


Azimuth untuk sudut kiri :

 jk =  ij +  j  180o ………. (3.1)

di mana :
jk = azimuth dari titik j ke titik k
ij = azimuth dari titik i ke titik j
j = sudut kiri pada titik j
j = titik poligon 1, 2, 3, ......., j.
i = j – 1 (titik sebelum/ di belakang titik j)
k = j + 1 (titik sesudah/ di muka titik j)

Untuk sudut kanan dari arah hitungan, maka persamaan di atas dapat digunakan untuk
mendapatkan persamaan baru .
Seperti diketahui bahwa :
 j +  j = 360o ………… (3.2)
di mana :
j = sudut kiri di titik j
j = sudut kanan di titik j
j = titik poligon 1, 2, 3, .....

35
Dasar-dasar Perpetaan

atau dapat dituliskan sebagai :


 j = 360o   j

sehingga bila dihitung dengan persamaan (3.1), maka persamaan tersebut menjadi : :

 jk =  ij   j + 180o …….. (3.3)

di mana :
jk = azimuth dari titik j ke titik k
ij = azimuth dari titik i ke titik j
j = sudut kanan pada titik j
j = titik poligon 1, 2, 3, ......., j.
i = j – 1 (titik sebelum/ di belakang titik j)
k = j + 1 (titik sesudah/ di muka titik j)

Penggunaan persamaan (3.1) dan (3.3), harus disesuaikan dengan persoalan yang ada
(berdasarkan sudut ukuran) dan harus pula diperhatikan arah hitungan. Yang pasti,
dengan menggunakan kedua persamaan tersebut untuk poligon dan data yang sama,
akan mendapatkan hasil yang sama untuk azimuth semua sisi/jurusan poligon tersebut.

3.2.1.2. Hitungan Beda Absis & Beda Ordinat

Beda absis (X) dan beda ordinat (Y), dinyatakan sebagai berikut :
XA1 = JA1 Sin A1 ; YA1 = JA1 Cos A1
X1 2 = J12 Sin 12 ; Y12 = J12 Cos 12

Sehingga secara umum dinyatakan sebagai :

Xij = Jij Sin  ij


Yij = Jij Cos  ij ……. (3.4)

di mana : i = titik poligon 1,2,3, ........


j = titik sesudah/di muka titik i

3.2.1.3. Hitungan Koordinat

Hitungan tahap akhir ini , mengikuti persamaan (2.1) di atas.


X1 = XA + XA1 ; Y1 = YA + YA1
X2 = X1 + X12 ; Y2 = Y1 + Y12

Sehingga secara umum, dapat ditulis sebagai :

Xij = Xij + Xij


Yij = Yij + Yij ……. (3.5)

36
Dasar-dasar Perpetaan

3.2.2. Hitungan Poligon dengan Koreksi

Dalam memulai pengolahan data suatu poligon, langkah pertama yang harus ditinjau adalah
evaluasi apakah poligon tersebut memenuhi “syarat geometrik poligon” ataukah tidak.
Apabila suatu poligon tidak memenuhi syarat geometriknya, maka tidak akan ada
koreksi yang perlu diberikan pada hitungannya. Sebaliknya, bila syarat geometrik
poligon terpenuhi, maka koreksi harus diberikan dalam hitungannya.
Adapun syarat geometrik poligon adalah :

 Syarat geometrik sudut :

 akhir   awal =   u  n.180o  F ……. (3.6)

di mana :
 akhir = azimuth sisi akhir poligon
 awal = azimuth sisi awal poligon
 u = jumlah sudut ukuran
n = bilangan bulat : 1, 2, 3, ……… , n
F = salah penutup sudut

 Syarat geometrik koordinat :

Xakhir  Xawal =  X  FX
Yakhir  Yawal =  Y  FY ……. (3.7)

di mana :
Xawal ; Yawal = koordinat titik awal poligon
Xakhir ; Yakhir = koordinat titik akhir poligon
 X ;  Y = jumlah beda absis , beda ordinat
FX ; FY = salah penutup absis, ordinat

Persamaan/rumus (3.6) dan (3.7), dimaksudkan untuk menghitung besarnya salah penutup
dari poligon, sehingga dapat diketahui persyaratan agar salah penutup tersebut dapat
dihitung.
Pemenuhan syarat geometrik bila lengkap adalah :
 Adanya azimuth awal dan akhir poligon ; untuk koreksi sudut
 Adanya koordinat titik awal dan akhir poligon ; untuk koreksi jarak/koordinat

Azimuth awal ataupun azimuth akhir suatu poligon, tidak selalu diketahui secara langsung,
tetapi dapat juga berupa koordinat 2 (dua) titik awal dan akhir, di mana dari kedua titik tersebut
dapat dihitung azimuthnya. Mengingat sisi poligon awal dan akhir yang dimaksud tidak
tertentu (mungkin azimuth, tapi juga mungkin “back azimuth”), maka nilai n dicari sedemikan
rupa untuk mendapatkan nilai yeng sedekat mungkin dengan 0 (nol).

Suatu poligon, belum tentu selalu memnuhi syarat geometriknya secara penuh, oleh karena
itu, poligon terbagi atas beberapa jenis, yaiu :
1. Poligon terbuka ; yaitu poligon yang tidak memenuhi satupun syarat geometrik
2. Poligon tertutup sebagian ; yaitu poligon yang memenuhi satu syarat geometrik
3. Poligon tertutup sempurna ; yaitu poligon yang tidak memenuhi semua syarat geometrik

37
Dasar-dasar Perpetaan

3.2.2.1. Koreksi Sudut

Koreksi sudut, pada mulanya diberikan secara merata (sama besar), tetapi terdapat
suatu ketentuan yaitu :
“Satuan terkecil koreksi sudut sebesar satuan terkecil sudut ukuran”
Yaitu bila satuan terkecil sudut ukuran adalah detik, maka satuan koreksi sudut cukup
sampai satuan detik.
Besar koreksi sudut untuk tiap sudut adalah :

K =  ( F/m ) ………. (3.8)

di mana :
K = koreksi untuk tiap sudut
F = salah penutup sudut
m = banyak sudut
Mengingat ketentuan di atas, maka akan mungkin terjadi pembulatan, baik ke atas
maupun ke bawah. Akibat pembulatan, akan terdapat harga/nilai koreksi yang berbeda
yang dikenal sebagai koreksi sisa. Nilai koreksi sisa diatur sedemikian rupa sehingga
tidak jauh menyimpang dari nilai koreksi yang seharusnya. Akibatnya, sudut yang akan
mendapatkan koresi sisa, mungkin lebih dari 1(satu). Koreksi sisa dikenakan pada sudut :
 Bila pembulatan ke atas, koreksi sisa dikenakan pada sudut
dengan sisi-sisi terpanjang
 Bila pembulatan ke bawah, koreksi sisa dikenakan pada
sudut dengan sisi-sisi terpendek

Sebagai bahan pemeriksaan koreksi sudut, adalah bahwa jumlah koreksi poligon harus
sebesar salah penutup sudut, dengan tanda berlawanan.

 K  =  F ………. (3.8a)

Hitungan azimuth, dilakukan berdasarkan besar sudut yang telah dikoreksi.

 i =  ui + K ………. (3.8b)

di mana :
 i = sudut di titik i setelah dikoreksi.
 uI = sudut ukuran di titik i
K koreksi sudut di titik i

3.2.2.2. Koreksi Koordinat

Koreksi koordinat di sini, sebenarnya ditujukan pada pemberian koreksi atas jarak
ukuran, namun untuk mempermudah pemberian koreksi, dilakukan atas perbedaan absis
dan ordinat sisi poligon.
Cara pemberian koreksi berikut ini, berdasarkan perbandingan jarak dan disebut dengan
cara BOWDITCH.

Besar koreksi untuk setiap beda absis dan ordinat akan berbeda, sesuai dengan panjang
jarak sidi poligon tersebut.

38
Dasar-dasar Perpetaan

Besar koreksi untuk setiap beda absis atau beda ordinat adalah :

Dij Dij
K x ij = Fx ; KY ij = FY ……. (3.9)
 D  D

di mana :
KXij ; KYij = koreksi absis / ordinat untuk beda absis/ordinat sisi i-j
i, j = titik-titik poligon
Dij = jarak poligon sisi i-j
D = jumlah jarak poligon

Seperti juga pada koreksi sudut, dalam koreksi ini juga akan terjadi masalah pembulatan,
tetapi tidak/tanpa adanya peraturan khusus. Walaupun demikian, persyaratan yang tetap
harus dipenuhi sebagai bahan kendali (control) adalah :

 Kxij =  Fx ;  KYij =  FY ……. (3.9a)

Xij = Xiju + K xij ; Yij = Yiju + KYij …….. (3.9b)

Beda absis dan ordinat yang telah dikoreksi, baru akan digunakan untuk menghitung
koordinat titik-titik poligon.

3.2.2.3. Langkah Hitungan Poligon

A. Poligon Terbuka

1. Periksa apakah diketahui koordinat titik awal dan azimuth awal sisi poligon
 Bila ada, gunakan yang telah diketahui
 Bila tidak ada, baik salah astu ataupun keduanya, tentukan sendiri nilai/besar
masing-masingnya.
2. Periksa sudut ukuran, apakah semuanya dalam satu model (sudut kiri/kanan).
 Bila belum satu model, satukan model sudut tersebut.
3. Hitung azimuth setiap sisi poligon, dengan persamaan yang benar, yaitu :
 Persamaan (3.1) ; untuk sudut kiri
 Persamaan (3.3) ; untuk sudut kanan
4. Hitung beda absis dan ordinat setiap sisi
5. Periksa tanda beda absis dan beda ordinat dengan melihat kuadran azimuth
6. Hitung koordinat setiap titik poligon.

PERHATIAN :
 Hitungan poligon, merupakan hitungan yang berangkai
 Kesalahan diawal akan berpengaruh terhadap nilai selanjutnya
 Harus sering melakukan pemeriksaan ulang

39
Dasar-dasar Perpetaan

B. Poligon Tertutup

1. Periksa apakah azimuth awal dan azimuth awal diketahui langsung ataukah
tidak langsung.
 Bila tidak langsung, hitung dahulu azimuth tersebut.
2. Periksa sudut ukuran, apakah semuanya dalam satu model (sudut kiri/kanan).
 Bila belum satu model, satukan model sudut tersebut.
3. Hitung jumlah sudut ukuran
4. Hitung salah penutup sudut, dengan persamaan (3.6)
5. Hitung koreksi tiap sudut, dengan persamaan (3.8), bulatkan koreksi sesuai
besaran sudut yang terkecil.
6. Periksa jumlah koreksi sudut, dengan persamaan (3.8a)
7. Koreksikan semua sudut, dengan persamaan (3.8b)
8. Hitung azimuth setiap sisi poligon, menggunakan sudut yang telah dikoreksi,
dengan persamaan yang benar, yaitu :
 Persamaan (3.1) ; untuk sudut kiri
 Persamaan (3.3) ; untuk sudut kanan
9. Periksa azimuth akhir hasil hitungan dengan azimuth akhir yang diketahui
10. Hitung beda absis dan ordinat setiap sisi
11. Periksa tanda beda absis dan beda ordinat dengan melihat kuadran azimuth
12. Hitung jumlah beda absis, beda ordinat dan jarak poligon
13. Hitung Fx dan Fy , dengan persamaan (3.7)
14. Hitung koreksi absis dan ordinat setiap sisi, dengan persamaan (3.9)
15. Periksa jumlah koreksi, dengan persamaan (3.9a)
16. Koreksikan semua beda absis dan beda ordinat
17. Hitung koordinat setiap titik poligon.
18. Periksa koordinat titik akhir hasil hitungan dengan yang diketahui

3.2.3. Poligon Kring (Loop)

Suatu bentuk geometrik yang istimewa dan memiliki persyaratan khusus adalah bentuk Kring
(Loop). Yang dimaksudkan dengan bentuk kring, adalah suatu bentuk geometrik di mana
titik akhir dan titik awal pengukuran (obyek ukuran) berada pada tempat yang sama
(berimpit).

Bentuk ini, dalam mathematika menjadi suatu bentuk segi-banyak, di mana syarat geometrik
segi-banyak bidang datar, seluruhnya harus terpenuhi. (lihat Gambar 20.)

2 3

1
5

8 6
7

Gambar 20.
Poligon Kring (Loop)

40
Dasar-dasar Perpetaan

Secara umum, syarat geometrik bentuk ini adalah sebagai berikut :

 Untuk sudut :

  dalam = (m – 2) . 180o ; atau


  luar = (m + 2) . 180o ……… (3.10)

 Untuk koordinat :

Xakhir = Xawal
Yakhir = Yawal ……… (3.11)

di mana :
  dalam ;   luar = jumlah sudut dalam/luar
m = banyaknya sudut/titik
Xawal , Yawal = koordinat titik awal
Xakhir , Yaakhir = koordinat titik awal

Bila dihubungkan dengan ukuran metoda poligon, maka dapat ditentukan bahwa :
1. Diketahui ataupun tidak azimuth awal dan azimuth akhir, syarat geometrik sudut tetap
terpenuhi, karena akhir = awal.
2. Diketahui ataupun tidak koordinat titik awal dan koordinat titik akhir, syarat geometrik
koordinat tetap terpenuhi, karena Xakhir = Xawal dan Yakhir = Yawal
(lihat persamaan (3.11)).
3. Arah hitungan, dapat ditentukan sendiri (sembarang), apakah searah jarum jam atau
sebaliknya. Ingat masalah sudut kiri ataupun sudut kanan dalam hitungan azimuthnya.

Syarat geometrik poligon, khusus untuk bentuk ini, dapat dituliskan sebagai berikut :

0 = u  (m-2).180o  F (untuk sudut dalam)


0 = u  (m+2).180o  F (untuk sudut luar) , atau :

F =   u  (m  2).180o (sudut dalam)

F =   u  (m + 2).180o (sudut luar) ……. (3.12)

0 =  X  FX ; 0 =  Y  FY , atau :

FX =  X
FY =  Y ……. (3.13)

41
Dasar-dasar Perpetaan

3. 3. Metoda Perpotongan Ke Muka/Depan (Intersection)

Kalau pada 2 (dua) metoda di atas (polar dan poligon), parameter ukuran adalah arah/sudut dan
jarak, sedang pada metoda perpotongan, baik perpotongan ke muka ataupun ke belakang,
parameter ukuran hanya sudut.

Metoda perpotongan, merupakan penerapan bentuk segi-tiga, sehingga pada perpotongan ke


muka, di mana titik yang akan ditentukan koordinatnya berada di hadapan sudut yang diukur,
maka diperlukan minimal 2 (dua) titik ikat.

//Y = U P
P = titik yang akan ditentukan
koordinatnya
 AP A,B = titik ikat (diketahui
koordinatnya)
, = sudut ukuran

A 

B
Gambar 21.
Perpotongan Ke Muka/Depan

Untuk dapat menentukan koordinat titik P , perlu dilalui langkah pemikiran sebagai berikut :
Koordinat titik P dapat dihitung, baik dari titik A ataupun titik B :
XP = XA + JAP Sin AP ; XP = XB + JBP Sin BP
YP = YA + JAP Cos AP ; YP = YB + JBP Cos BP

Bila dihitung dari titik A, maka diperlukan : AP (azimuth dari A ke P) dan
JAP (jarak mendatar dari A ke P).
Untuk mendapatkan kedua besaran tersebut, maka:

 AP =  AB   (pada gambar 21.) …….. (3.14a)

Bila titik P berada di selatan (kebalikan Gambar 21.) , maka :

 AP =  AB   …….. (3.14b)

Azimuth dari A ke B ( AB) , dihitung menggunakan persamaan (2.4) , yaitu :

(XB – XA)
Tan  AB =
(YB – YA)

Selanjutnya :

42
Dasar-dasar Perpetaan

Bila sudut pada titik P adalah  , maka :

 180o   ………. (3.15)

Menghitung jarak mendatar dari A ke P , menggunakan rumus sinus, sebagai berikut :

JAB JAP JBP


Sin  Sin  Sin  , atau

Sin 
JAP = J ………. (3.16)
Sin  AB

Apabila kedua besaran tersebut telah dihitung, maka koordinat titik P dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan seperti di atas.

Bila dihitung dari titik B :

 BP =  BA   (pada gambar 21.) …….. (3.14c)

Bila titik P berada di selatan (kebalikan Gambar 21.) , maka :

 BP =  ABA   …….. (3.14d)

Jarak B-P :

Sin 
JBP = J ………. (3.16a)
Sin  AB

Koordinat titik yang terbaik adalah harga rata-rata hitungan dari titik A dan dari titik B. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi perbedaan hasil hitungan akibat fungsi trigonometrik.

XPA = XA + JAP Sin  AP ; XPB = XB + JBP Sin  BP


YPA = YA + JAP Cos  AP ; YPB = YB + JBP Cos  BP

XPA + XPB
XP 
2
YP + YPB
A ……….. (3.17)
YP 
2

43
Dasar-dasar Perpetaan

3. 4. Metoda Perpotongan Ke Belakang (Resection)

Seperti juga metoda perpotongan ke muka/depan, metoda perpotongan ke belakang hanya me-
lakukan pengukuran sudut dan menerapkan bentuk geometrik segi-tiga.
Sudut yang diukur pada metoda ini adalah sudut pada titik yang akan ditentukan koordinatnya,
sehingga untuk dapat melakukan hitungan dengan menerapkan bentuk segi-tiga, diperlukan
minimal 3 (tiga) titik ikat. Meskipun telah dibentuk 2 (dua) buah segi-tiga, namun untuk dapat
menghitung koordinat titik yang akan ditentukan koordinatnya (titik P), diperlukan cara hitungan
tersendiri.
Terdapat beberapa metoda hitungan perpotongan ke belakang, namun berikut ini hanya akan
dibahas 2 (dua) metoda, yaitu :
 Hitungan metoda Collins , dan
 Hitungan metoda Cassini

//Y = U P

P = titik yang akan ditentukan


koordinatnya
 A, B dan C =
 titik ikat (diketahui koordi-
natnya)
A , = sudut ukuran
C

B
Gambar 22.
Perpotongan Ke Belakang

Hitungan perpotongan kebelakang, untuk setiap metoda, menggunakan titik bantu hitungan yang
artinya sangat besar dalam menghitung titik P. Dengan demikian, hitungan titik P, dilakukan
secara tidak langsung.

3.4.1. Hitungan Metoda Collins


H 

 P

 

A  C


B

Gambar 23.
Hitungan Metoda Collins

44
Dasar-dasar Perpetaan

Perhatikan Gambar 23.


 Lingkaran di bentuk melalui titik-titik A, B dan P
 Titik H , merupakan perpotongan garis C-P dengan lingkaran dan disebut sebagai titik
bantu Collins
 Sudut APB menghadapi busur AB . Sudut AHB menghadapi busur yang sama, sehingga
akan sebesar 
 Sudut APH sebesar  , yaitu :  = 180o – (  +  ) , karena H-P-C adalah garis lurus
 Sudut HBA menghadapi busur AH , sehingga sebesar .
 Bila dilihat segi-tiga AHB, maka sudut HAB sebesar .

Hitungan metoda Collins, membagi 2 (dua) tahap hitungan, yaitu hitungan koordinat titik
bantu H dan hitungan koordinat titik P.

A. Hitungan koordinat titik H (titik bantu)


Perhatikan segi-tiga AHB ( AHB). (lihat Gambar 23.)
 BAH = 
 AHB = 
 HBA = 
A-B = JAB
JAB =  (XB – XA)2 + (YB – YA)2
Maka koordinat titik H dapat dihitung dengan cara perpotongan ke muka . Bila dihitung
dari titik A, maka :

XHA = XA + JAH Sin  AH ; YHA = YA + JAH Cos  AH , dengan

JAH = ( Sin  / Sin  ) . JAB

 AH =  AB -  (pada Gambar 23.)

B. Hitungan koordinat titik P

Koordinat titik bantu H , digunakan untuk menghitung besarnya sudut  .

 =  HB   HC …………. (3.18)

di mana :

(XC – XH) (XC – XH)


Tan  HC = ; Tan  HC = …….. (3.19)
(YC – YH) (YC – YH)

atau :

 HB = (  BA +  )  180o ………….. (3.19a)

45
Dasar-dasar Perpetaan

Perhatikan ABP. (lihat Gambar 23.)


 BAP = 
 APB = 
 PBA = 180o  () = 
A-B = JAB
JAB =  (XB – XA)2 + (YB – YA)2
Maka koordinat titik H dapat dihitung dengan cara perpotongan ke muka . Bila dihitung
dari titik A, maka :

XPA = XA + JAP Sin  AP ; YPA = YA + JAP Cos  AP …. (3.20)

dengan

JAP = ( Sin  / Sin  ) . JAB

(pada Gambar 23.)  AP =  AB -  ….. (3.21)

3.4.2. Hitungan Metoda Cassini

I
R P
S

 
 

II
A B
Gambar 24.
Hitungan Metoda Cassini

Keterangan :
 Lingkaran I , melalui titik A, B dan P
 Lingkaran II, melalui titik C, B dan P
 Garis A-R  garis A-B , memotong lingkaran di titik R
 Garis C-S  garis C-B , memotong lingkaran di titik S
 Titik R dan S adalah titik bantu Cassini

Akibat penggunaan lingkaran, maka  ARB =  APB =  dan  CSB =  CPB = .


Dapat dibuktikan bahwa garis RP-PS adalah garis lurus, karena  RPB = 90o dan juga
 SPB = 90o , sehingga RP-PS menjadi segaris ( terhadap garis yang sama)

46
Dasar-dasar Perpetaan

Seperti juga metoda Collins, metoda Cassini membagi hitungan dala 2 (dua) tahap, yaitu
tahap hitungan koordinat titik bantu dan tahap hitungan titik P (yang dimaksud).
Di bawah ini akan disampaikan sebagian penurunan rumus metoda Cassini. Dalam
melakukan hitungannya, penurunan rumus tersebut tidak perlu diikuti lagi, melainkan
langsung diterapkan rumus akhir.

A. Hitungan koordinat titik R dan S (titik bantu)

Perhatikan ABR pada Gambar 24.


 BAR = 90o ;
 ARB = 
A-B = JAB

XR = XA + JAR Sin  AR ; YR = YA + JAR Cos  AR ….(1)

Tan  = (JAB/ JAR) ; JAR = JAB / Tan  = JAB Cot  ….(2)

 AR =  AB - 90o ….(3)

Bila persamaan (2) dan (3) disubstitusikan pada persamaan (1) , maka :

XR = XA + JAB Sin (AB – 90o) Cot  = XA  JAB Cos AB Cot 


YR = YA + JAB Cos (AB – 90o) Cot  = XA + JAB Sin AB Cot  

Telah diketahui bahwa :

XB = XA + JAR Sin AR ; JAR Sin AR = XB - XA


dan JAR Cos AR = YR - YA ….(5)

Bila persamaan (5) disubstitusikan pada persamaan (4) , didapat :

XR = XA - (YB – YA) Cot  ; YR = YA + (XB – XA) Cot , atau

XR = XA + (YA – YB) Cot 


YR = YA  (XA – XB) Cot  …………. (3.22)

Dengan cara serupa (analog), didapat :

XS = XC  (YA – YB) Cot 


YS = YC  (XA – XB) Cot  …………. (3.23)

47
Dasar-dasar Perpetaan

B. Hitungan koordinat titik P (titik bantu)

 YR  YB =  (YB – YP)  (YP – YR) ……(1)

(XB – XP) (XP – XR)


Tan PB = ; Tan RP = , atau
(YB – YP) (YP – YR)

(YB – YP) = (XB – XP) Cot PB ; (YP – YR) = (XP – XR) Cot RP ….(2)

RP = PS = RS


PB = PS + 90o = RS + 90o …..(3)

Substitusi persamaan (3) pada persamaan (2), didapat :

(YB – YP) = (XB – XP) Cot (RS + 90o) ; (YP – YR) = (XP – XR) Cot RS

(YB – YP) =  (XB – XP) Tan RS ; (YP – YR) = (XP – XR) Cot RS ….(4)

Bila persamaan (4) di-substitusi-kan paa persamaan (1), didapat :

YR – YB =  (XB – XP) Tan RS  (XP – XR) Cot RS


Misal :
(XS – XR) (YS – YR)
Tan RS = = M ; Cot RS = = N , maka :
(YS – YR) (XS – XR)

YR – YB =  (XB – XP) M  (XP – XR) N , sehingga :

M XB + YB + N XR  YR
XP = …… (3.24a)
M + N

 XR  XB =  (XB – XP)  (XP – XR) ……(5)

(XB – XP) = (YB – YP) Tan PB ; (XP – XR) = (YP – YR) Tan RP ….(6)

(XB – XP) = (YB – YP) Tan (RS + 90o) ; (XP – XR) = (YP – YR) Tan RS

(XB – XP) =  (YB – YP) Cot RS ; (XP – XR) = (YP – YR) Tan RS ….(7)

XR – XB =  (YB – YP) N  (YP – YR) M , sehingga :

XB + N YB  XR  M YR
YP = …… (3.24b)
M + N

48

Anda mungkin juga menyukai