Anda di halaman 1dari 8

BAB II

KONSEP TEORI

A. Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Sistem Saraf

Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular. Sistem


neuromuskular terdiri atas Upper motor neurons (UMN) dan lower motor neuron
(LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang
menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-intimotorik di
saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medula spinalis. Berdasarkan
perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal
dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan
traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk gerakan-gerakan otot
kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan
otot tubuh dan anggota gerak.
Melalui lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf
motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke
berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai
peranan penting di dalam sistem neuromuscular tubuh. Sistem ini yang
memungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara terencana dan terukur.
Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk
punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7
tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral,
dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas
dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae,
dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae.
Ketika tulang belakang disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai
tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Dari otak medulla spinalis
turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan dilindungi oleh cairan jernih yaitu
cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang
mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, oragan-organ
tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat
dan yang mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah sistem saraf
perifer.
Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramen magnum sampai
konus medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi
Kauda Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terdiri
atas traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti
rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa
informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).
Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan
istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi
arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan
arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal
juga ramus vertebromedularis arteria interkostalis.
Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis
posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula spinalis melewati
suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi dari medula
spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak. Ada 31 pasang nervus spinalis
dan dibagi dalam empat kelompok nervus spinalis, yaitu:
1. Nervus servikal : (nervus di leher) yang berperan dalam pergerakan dan perabaan
pada lengan, leher, dan anggota tubuh bagian atas
2. Nervus thorak : (nervus di daerah punggung atas) yang mempersarafi tubuh dan
perut
3. Nervus lumbal dan nervus sakral : (nervus didaerah punggung bawah) yang
mempersarafi tungkai, kandung kencing, usus dan genitalia.

B. Definisi
Mielopati adalah proses non inflamasi pada Medula spinalis misalnya yang
disebabkan oleh prosestoksik, nutrisional, metabolik dan nekrosis yang menyebabkan
lesi pada Medula spinalis. (Kapita selekta neurologi, edisi kedua, 2009).
Mielopati mengacu pada defisit neurologis yang berhubungan dengan
kerusakan pada sumsum tulang belakang. mielopati dapat terjadi sebagai akibat dari
proses ekstradural, intradural, atau intramedulla. Secara umum, mielopati secara klinis
dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan ada tidaknya trauma yang signifikan,
dan ada atau tidak adanya rasa sakit. (Lyn Weiss, Adam C. Isaacson, 2010)
Tingkatan Mielopati:
Grade 0 : Melibatkan akar syaraf tidak disertai penyakit pada medulla spinal
Grade 1: Gejala penyakit pada medulla spinalis tetapi tidak sulit berjalan
Grade 2 : Kesulitan berjalan ringan tetapi tidak menghambat aktivitas sehari-hari
Grade 3 : Perlu bantuan dalam berjalan
Grade 4 : kemampuan berjalan dengan alat bantu
Grade 5 : Hanya di kursi roda atau berbaring

C. Etiologi
Mielopati bisa disebabkan karena trauma pada spinal menyebabkan penurunan
sensasi dan paralisis. Trauma dapat terjadi akibat :
 Kecelakaan
 Olahraga
Mielopati mungkin hasil dari karsinoma primer, inflamasi, proses infeksi,
radiasi, HIV, meilitis atau perubahan gizi atau neurodegenerative. Penyebab intradural
mencakup kista, pasca traumatik progresif myelomalacic mielopati, dan neoplasma
jinak (meningioma, arachnoid, kista, kista epidermoid). (Lyn Weiss, Adam C.
Isaacson, 2010).
Kondisi degeneratif dapat menyebabkan gangguan ini dengan variasi derajat
kehilangan sensasi dan kemampuan mobilisasi dan koordinasi. Penyebab lainnya
antara lain herniasi diskus yaitu pengurangan diameter kanal tulang belakang dan
kompresi sumsum tulang belakang , instabilitas spinal, kongenital stenosi dan lain-
lain. Degenerasi akibat penuaan tulang belakang dan sistem peredaran darah juga
menjadi penyebab mielopati. Selain itu masalah pada vertebra, sehingga diskus
invertebral dapat menjadi kolaps, terbentuknya osteofit pada saluran saraf dan
mengurangi luas kanalis spinalis yang ada dan meningkatkan permukaan penahan
beban pada tulang dan kerena itu mengurangi kekuatan efektif yang ada. Selain
pembentukan osteofit yang berlebihan, ligamentum tulang dapat menjadi kaku dan
dapat menyebabkan kompresi langsung pada tulang belakang dan mengakibatkan
mielopati.
Iskemia pada spinal mungkin juga memainkan peran dalam pengembangan
mielopati. Aliran darah pada spinalis yang kurang adekuat menyebabkan jaringan
spinalis dan saraf tidak mendapat nutrisi yang cukup, sehingga ligamen yang menahan
vertebra dapat menipis dan menekan saluran saraf serta terganggunya fungsi saraf.

D. Tanda Dan Gejala


Mielopati biasanya berkembang secara diam dan perlahan serta mulai terjadi
saat mulai menurunnya aktifitas sehingga sulit dideteksi. Mielopati sering kali
disalahartikan sebagai masalah sendi, sebab mielopati menunjukan gejala mirip
masalah sendi antara lain mulai diketahui ketika seseorang mulai kesulitan dalam
koordinasi, berjalan seperti naik turun pada tangga, nyeri daerah leher, kelemahan.
Tanda lainnya:
- Kikuk atau lemah tangan, dengan perasaan tebal dan kelemahan pada kaki
dan tangan.
- Tonus otot kaki meningkat.
- Kaku pada leher
- Reflek tendon dalam lutut dan pergelangan kaki meningkat
- Perasaan asimetris pada kaki dan lengan, mengakibatkan sensasi posisi
pada lengan dan kaki menghilang sehingga sulit berjalan
- Kehilangan kontrol pada sprinkter, akiabtnya urinasi menjadi sering dan
dapat menjadi inkontinensia
- Perubahan pada peristaltik usus
E. Patofisiologi
Dalam kondisi normal diskus merupakan penyerap getaran dan dapat
menangani tekanan gravitasi dan stress akibat pekerjaan sehari-hari. Seiring dengan
bertambahnya usia maka diskus akan kehilangan konsistensi air dan akan berakibat
berkurangnya kemampuan untuk menyerap goncangan. Perubahan pertama adalah
munculnya anulus, penyembuhan anulus menimbulkan jaringan parut yang lebih
lemah dibanding jaringan normal. Trauma yang berulang dan adanya anulus
menyebabkan terjadinya penurunan elastisitas diskus dan tidak dapat berfungsi efektif
sebagai penyerap getaran. Perubahan terus-menerus pada diskus menyebabkan diskus
kolaps, jarak invertebra menjadi sempit sehingga mempengaruhi persendian antar
vertebra. Seiring dengan waktu pada vertebra terjadi proses penipisan dan perubahan
osteoartritis, osteofit akan muncul pada vertebra ataupun persendian vertebra. Osteofit
akan menyebabkan penekanan pada saraf dan akar saraf. Kombinasi osteofit, diskus
yang menggembung, penipisan ligamen, meningkatkan resiko terjepitnya saraf pada
kanalis spinalis.

F. Collaborative cara management


1. Pemeriksaan diagnostic
- X-ray : abnormal gerakan/ tidak stabil bisa berupa foto polos vertebra
AP/lateral/oblik
- CT scan; otot polos dengan potongan-potongan dapat menunjukan osteofit
yang berada di dalam spinal colum.
- MRI; dapat menunjukan jaringan lunak disekitar tulang (saraf, diskus) selain
tulang.
- EMG; mengevaluasi jalur motorik dari saraf
- SSEP (somatosensory evoked potential); mengukur kemampuan sensorik saraf
2. Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
- Terapi fisik
- Kontrol nyeri istirahat, positioning, kompres es, terapi panas ultrasound,
traksi
- Blok saraf; injeksi steroid pada epidural.
b. Pembedahan
- Laminektomi
- Discectomy fusi
- Corpectomy dan strut graft

G. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Pengkajian berfokus pada keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit sosial.
b. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d kerusakan neuromuskular
2. Gangguan pola eliminasi urin dan feses b.d gangguan nervus sakral dan
lumbal
3. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan nervus cervikal
4. Defisit perawatan diri b.d kelehaman fisik
c. Intervensi dan Rasional
Dx Kep 1 :
1. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang
memperberat.
R : Nyeri merupakan pengalaman subyektif dan harus dijelaskan oleh
pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan
merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang
cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.
2. Ajarkan klien teknik relaksasi misalnya teknik nafas dalam
R : lepaskan ketegangan rasional dan otot; tingkatkan perasaan control
yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan koping.
3. Atur posisi klien senyaman mungkin misalnya semi fowler, miring
R : mengurangi rasa sakit dan mengakibatkan sirkubasi. Posisi semi-fowler
dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan otot punggung artitis,
sedangkan miring mengurangi tekanan abdominal.
4. Ciptakan lingkungan yang tenang
R : Rangasangan yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa
nyeri.
5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgesik
R : Obat –obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien.
Dx kep 2 :
1. Kaji pola berkemih seperti frekuensi dan jumlahnya. Bandingan keluaran
urin dan masukan cairan dan catat berat jenis urin.
R : mengidentifikasi fungsi kandung kemih (mis: pengosongan kandung
kemih, fungsi ginjal dan keseimbangan cairan).
2. Palpasi adanya distensi kandung kemih dan observasi pengeluaran cairan.
R : disfungsi kandung kemih bervariasi, ketidakmampuan berhubungan
dengan hilangnya kontraksi kandung kemih untuk merilekskan sfingter
urinarius.
3. Anjurkan pasien untuk minum/masukan cairan (2-4 /hr)
R : membantu mempertahan fungsi ginjal, mencegah infeksi dan
pembentukan batu.
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemasangan DC
R : untuk membantu eliminasi urine
Dx Kep 3 :
1. Kaji tingkat kemampuan ROM aktif pasien
R : ROM aktif dapat membantu dalam mempertahankan/ meningkatkan
kekuatan dan kelenturan otot, mempertahankan fungsi cardiorespirasi, dan
mencegah kontraktur dan kekakuan sendi.
2. Ajarkan dan dukung klien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R : Mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
3. Ajarkan dan pantau klien dalam hal penggunaan alat bantu.
R : Menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
4. Ajarkan keluarga klien dalam melakukan ROM
R : menghindari dekubitus yang lebih lanjut
Dx Kep 4 :
1. Berikan HE pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan
diri.
R : Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal
hygiene.
2. Bimbing keluarga klien memandikan / menyeka pasien
R : Agar keterampilan dapat diterapkan
3. Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
R : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah
terjadinya infeksi.
4. Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.
R : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan
d. Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan :
1. Nyeri berkurang
2. Pola eliminasi urin kembali normal
3. Mampu melakukan aktivitas
4. Mampu merawat diri secara mandiri

Anda mungkin juga menyukai