Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri
Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat
bahakan merupakan dasar bagi peningkatan kemakmuran dan mobilitas perorangan
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Indonesia sebagai salah satu dari negara
berkembang mengandalkan industri sebagai landasan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat (Ginting, 2007).
Kegiatan pembangunan industri adalah salah satu kegiatan sektor ekonomi
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi sektor
industri terhadap pendapatan nasional menggambarkan sejauh mana tingkat
industrialisasi telah dicapai. Untuk dapat hidup dalam pembangunan berkelanjutan
apabila pembangunan industri berada dalam kondisi yang berwawasan lingkungan
yaitu industri berusaha memelihara kestabilan dan melestarikan ekosistemnya.
Tindakan yang diperlukan untuk melestarikan ekosistem industri adalah mencegah
pencemaran, mengurangi emisi-emisi, melestarikan keanekaragaman hayati,
menggunakan sumber daya biologi terpulihkan secara berkelanjutan dan
mempertahankan keterpaduan ekosistem satu dengan ekosistem lainnya (Ginting,
2007).
Industri secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut;
2.1.1 Industri dasar atau hulu
Industri hulu mempunyai sifat sebagai berikut; padat modal, berskala besar,
menggunakan teknologi maju dan teruji. Lokasinya selalu dipilih dekat dengan
bahan baku yang mempunyai sumber energi sendiri, dan pada umumnya lokasi ini
belum tersentuh pembangunan. Oleh karena itu industri hulu membutuhkan
perencanaan yang matang beserta tahapan pembangunannya, mulai dari
perencanaan sampai operasional. Di sudut lain juga dibutuhkan pengaturan tata-
ruang, rencana pemukimam, pengembangan kehidupan perekonomian, pencegahan
kerusakan lingkungan dan lain-lain. Pembangunan industri ini dapat

4
5

mengakibatkan perubahan lingkungan baik dari aspek sosial ekonomi dan budaya
maupun pencemaran. Terjadi perubahan tatanan sosial, pola konsumsi, tingkah
laku, sumber air, kemunduran kualitas udara, penyusutan sumberdaya alam dsb.
2.1.2 Industri hilir
Industri hilir merupakan perpanjangan proses industri hulu. Pada umumnya
industri ini mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi, lokasinya selalu
diusahakan dekat pasar, menggunakan teknologi madya dan teruji padat karya.
2.1.3 Industri kecil
Industri kecil banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan memiliki
peralatan sederhana. Walaupun hakikatnya sama dengan industri hilir, tetapi sistem
pengolahannya lebih sederhana. Sistem tata letak pabrik meupun pengolahan
limbah belum mendapat perhatian. Sifat industri ini padat karya.
Dampak kegiatan industri terhadap lingkungan lebih banyak didominasi
dampak biologi dengan komponen biologi lebih banyak sebagai media pencemar.
Bahan pencemar pada limbah masuk dalam lingkungan parairan pada gilirannya
mengancam biota perairan. Philoplankton yang hidup dalam perairan mengalami
kemunduran pertumbuhan dan populasinya semakin habis karena bahan-bahan
pencemar limbah cukup banyak, akibatnya berbagai jenis nekton dalam perairan
kehilangan sumber makanan dan populasinya juga semakin berkurang
(Sugiarto,1987).
Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai
ekonomi. Limbah yang mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan
berbahaya dikenal dengan limbah B-3, yang dinyatakan sebagai bahan yang dalam
jumlah relative sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan
sumber daya. Bila ditinjau secara kimiawi, bahan-bahan ini terdiri dari bahan kimia
organik dan anorganik.
Tingkat bahaya keracunan yang disebabkan oleh limbah tergantung pada
jenis dan karakteristik limbah, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Mungkin dalam jangka waktu singkat tidak akan memberikan pengaruh
yang berarti namundalam jangka panjang mungkin berakibat fatal terhadap
6

lingkungan. Oleh karena itu pencegahan dan penanggulangannya haruslah


memperhitungkan dampak-dampaknya untuk suatu jangka waktu yang cukup
panjang.
Karakteristik kimia air limbah ditentukan oleh Biochemical Oksigen
Demand (BOD), Chemical Oksigen Demand (COD) dan logam-logam berat yang
terkandung dalam air limbah. Test BOD dalam air limbah merupakan salah satu
metode yang paling banyak digunakan sampai saat ini. Metode pengukuran limbah
dengan cara ini sebenarnya merupakan pengukuran tidak langsung dari bahan
organik. Pengujian ini dilakukan pada temperatur 20oC salama 5 hari. Kalau
disesuaikan dengan temperatur alami di Indonesia maka seharusnya pengukuran
dapat dilakukan pada lebih kurang 30oC. Pengukuran dengan COD lebih singkat
tapi tidak mampu mengukur limbah yang dioksidasi secara biologis.
Pencemaran BOD dalam limbah didasarkan atas reaksi oksidasi zat-zat
organik dengan oksigen dalam air dimana proses tersebut dapat berlangsung karena
ada sejumlah bakteri. Diperhitungkan selama dua hari reaksi lebih dari sebagian
reaksi tercapai. BOD adalah kebutuhan oksigen bagi sejumlah bakteri untuk
menguraikan (mengoksidasikan) semua zat-zat organik yang terlarut maupun
sebagai tersuspensi dalam air menjadi bahan organik yang dikonsumsi bakteri.
Penguraian zat-zat organik ini terjadi secara alami, aktifnya bakteri-bakteri
menguraikan bahan-bahan organik bersamaan dengan habisnya pula terkonsumsi
oksigen. Dengan habisnya oksigen terkonsumsi membuat biota lainnya yanng
membutuhkan oksigen menjadi kekurangan dan akibatnya biota yang memerlukan
oksigen ini tidak dapat hidup. Semakin tinggi angka BOD semakin sulit bagi
makhluk air yang membutuhkan oksigen bertahan hidup. Keadaan oksigen terlarut
berlawanan dengan keadaan BOD. Angka oksigen terlarut yang tinggi
menunjukkan keadaan air semakin baik, pada temperatur dan tekanan udara yang
alami kandungan oksigen dalam air alami bisa mencapai 8 mg/L (Ginting, 2007).
7

2.2 Biological Oxygen Demand (BOD)


Biological Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen biologis adalah suatu
analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis
yang benar-benar terjadi didalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat
organik yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air.
Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan bahan pencemaran akibat
air buangan penduduk atau industri dan untuk mendisain sistem-sistem pengolahan
biologis bagi air yang tercemar tersebut. Penguraian zat organik adalah peristiwa
alamiah kalau suatu badan air di cemari oleh zat organik, bakteri dapat
menghabiskan oksigen terlarut, dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bisa
mengakkibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik dan
dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut (Alaerts dan Santika, 1984).
Pada umumnya air lingkungan atau air alam mengandung mikroorganisme
yang dapat “memakan”, memecah, menguraikan (mendegradasi) bahan buangan
organik. Jumlah mikroorganisme di dalam air lingkungan tergantung pada tingkat
kebersihan air. Air yang bersih (jernih) biasanya mengandung mikroorganisme
yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan air yang telah tercemar oleh bahan
buangan. Air lingkungan yang telah tercemar oleh bahan buangan yang bersifat
antiseptik atau bersifat racun, seperti phenol, kreolin, deterjen, asam sianida,
insektisida dan sebagainya. Untuk keadaan seperti ini perlu penambahan
mikroorganisme yang telah menyesuaikan (beradaptasi) dengan bahan buangan
tersebut. Mikroorganisme yang memerlukan oksigen untuk memecah bahan
buangan organik sering disebut dengan baktri aerobik. Sedangkan mikroorganisme
yang tidak memerlukan oksigen disebut dengan bakteri anaerobik (Wardhana,
1995).

2.3 Chemical Oxygen Demand (COD)


COD atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam satu liter sampel
air, dimana pengoksidanya adalah K2Cr2O7 atau KMnO4. Angka COD merupakan
8

ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat
dioksidasi melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen
terlarut di dalam air. Sebagian besar zat organik melalui tes COD ini dioksidasi
oleh K2Cr2O7 dalam keadaan asam yang mendidih optimum, adapun reaksi yang
terjadi:

CaHbOc + Cr2O72- + H+ CO2 + H2O + 2Cr3+


Ag2SO4

Kuning Katalisator Hijau

(Alaerts dan Santika, 1984).

Perak sulfat (Ag2SO4) ditambahkan sebagai katalisator untuk mempercepat

reaksi. Sedangkan merkuri sulfat ditambahkan untuk menghilangkan gangguan

klorida yang pada umumnya ada di dalam air buangan untuk memastikan bahwa

hampir semua zat organik habis teroksidasi maka zat pengoksidasi K2Cr2O7 masih

harus tersisa sesudah direfluks. K2Cr2O7 yang tersisa menentukan berapa besar

oksigen yang telah terpakai. Sisa K2Cr2O7 tersebut ditentukan melalui titrasi

dengan Ferro Ammonium Sulfat (FAS). Reaksi yang berlangsung adalah sebagai

berikut.

6Fe2+ + Cr2O72- + 14H+ 6Fe3+ + 2Cr3+ + 7H2O

(Alaerts dan Santika, 1984).


Indikator ferroin digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi yaitu
disaat warna hijau biru larutan berubah menjadi coklat merah. Sisa K2Cr2O7
dalam larutan blanko adalah K2Cr2O7 awal, karena diharapkan blanko tidak
mengandung zat organik yang dioksidasi oleh K2Cr2O7 (Alaerts dan
Santika,1984).
Perak Sulfat Ag2SO4 ditambahkan sebagai katalisator untuk mempercapat
reaksi. Sedangkan merkuri sulfat ditambahkan untuk menghilangkan gangguan
9

klorida yang umumnya terdapat di dalam air buangan. Untuk memastikan bahwa
hampir semua zat organis hampir teroksidasi maka zat pengoksidasi K2Cr2O7 yang
sesudah direfluks masih harus tersisa. K2Cr2O7 yang tersisa dalam larutan tersebut
digunakan untuk menentukan berapa oksigen yang telah terpakai. Sisa K2Cr2O7
tersebut ditentukan melalui titrasi dengan ferro amonium sulfat (FAS). Indikator
ferroin yang digunakan akhir titrasi yitu saat warna hijau-biru larutan menjadi
coklat-merah.
Analisis COD berbeda dengan analisa BOD, namun perbandingan antar
angka COD dengan angka BOD dapat ditentukan, seperti pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbandingan Rata-rata Angka BOD5/COD Untuk Beberapa Jenis Air.

Jenis Air BOD5/COD

Air buangan domestik(penduduk) 0,40 – 0,60

Air buangan domestik setelah pengendapan primer 0,60

Air buangan setelah pengolahan secara biologis 0,20

Air sungai 0,10

Dalam analisa COD, kadar klorida (Cl-) sampai 2000 mg/l di dalam sampel
dapat menjadi gangguan karena dapat menjadi ganguan karena dapat mengganggu
kerjanya kualitas Ag2SO4, dan pada keadaan tertentu turut teroksidasi oleh
dikromat, sesuai dengan reaksi berikut:
6 Cl- + Cr2O72- + 14 H+ → 3 Cl2 + 2 Cr3+ + 7H2O

Gangguan ini dapat dihilangkan dengan penambahan HgSO4 pada sample. Adapun
keuntungan dengan penambahan tes COD dibandingkan tes BOD5, antara lain:

a) Memakan waktu ±3 jam, sedangkan BOD5 memakan waktu 5 hari.


b) Untuk menganalisa COD antara 50-800 mg/l, tidak dibutuhkan pengenceran
sampel, sedangkan BOD5 selalu membutuhkan pengenceran.
c) Ketelitan dan ketepatan (reprodicibilty) tes COD adalah 2 sampai 3 kali
lebih tinggi dari tes BOD5.
10

d) Gangguan zat yang bersifat racun tidak menjadi masalah.


Sedangkan kekurangan dari tes COD adalah tidak dapat membedakan antara
zat yang sebenarnya yang tidak teroksidasi (inert) dan zat-zat yang teroksidasi
secara biologis. Hal ini disebabkan karena tes COD merupakan suatu analisa yang
menggunakan suatu oksidasi kimia yang menirukan oksidasi biologis, sehingga
suatu pendekatan saja. Untuk tingkat ketelitian pinyimpangan baku antara
laboratorium adalah 13 mg/l. Sedangkan penyimpangan maksimum dari hasil
analisa dalam suatu laboratorium sebesar 5% masih diperkenankan.
Chemical Oxygen Demand (COD) dapat dihitung sebagai berikut :
COD sebagai mg O2 = (A – B)N x 8000 . Dimana :
A = ml FAS untuk blanko.
B = ml FAS untuk sampel
N = normalitas FAS

2.4 Total Suspended Solid (TSS)


Total Suspended Solid (TSS) adalah residu dari padatan total yang tertahan
oleh saringan dengan ukuran partikel maksial atau lebih dari ukuran partikel koloid.
Bagian TSS adalah lumpur, tanah liat, logam oksida, sufida, ganggang, bakteri dan
jamur (Nasution, 2008). TSS merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi
kimia yang heterogen dan berfungsi ssebagai bahan pembentuk endapan yang palig
awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan
(Tarigan dan Edwar, 2013).
TSS adalah jumlah berat dalam mg/liter kering lumpur yang ada dalam
limbah setelah mengalami penyaringan dengan membrane berukuran 0,45 mikron
(Sugiharto, 1987). Penentuan zat padat tersuspensi (TSS) berguna untuk
mengetahui ke kuatan pencemaran air limbah domestik, dan juga berguna untuk
penentuan efisiensi unit pengolahan air (BAPPEDA, 1997).
TSS umumnya dihilangkan dengan floklasi dan penyaringan. TSS
memberikan kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan membatasi penetrasi
cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan sehingga nilai kekeruhan tidak
dapat dikonversi ke nilai TSS.
11

2.5 Elektrokimia
Elektrokimia adalah peristiwa kimia yang berhubungan dengan energi
listrik. Prinsip dasar reaksi pada elektrokimia adalah reaksi reduksi oksidasi
(redoks), reaksi tersebut tersebut terjadi pada suatu sistem sel elektrokimia. Ada
dua jenis sel elektrokimia yaitu sel galvanis dan sel elektrolisis. Sel galvanis dan
sel elektrolisis adalah inti dari suatu proses elektrokimia (Purwanto, 2005).
Elektrolisis merupakan salah satu alternatif dalam mengolah limbah,
besarnya tegangan listrik dan waktu tinggal merupakan variabel yang dapat
mempengaruhi hasil proses dalam penurunan COD, kejernihan (%T) dan Total
Solid (TS), serta untuk mempelajari pengaruh elektroda dan tegangan listrik yang
digunakan sebagai sumber listrik anoda terhadap proses koagulasi limbah sehingga
dapat mengurangi pencemaran air sungai akibat limbah rumah tangga (Purwanto,
2005).
Reaksi elektrokimia dibagi menjadi dua yaitu, yang menghasilkan arus
listrik (proses yang terjadi dalam baterai) dan yang dihasilkan oleh arus listrik
elektrolisis. Tipe pertama rekasi bersifat merata dan energi bebas sistem kimianya
berkurang. Sistem itu dapat melakukan kerja misalnya menjalankan motor. Tipe
kedua harus dipaksa agar terjadi (oleh kerja yang dilakukan terhadap sistem kimia)
dan energi bebas sistem kimia bertambah (Underwood, 1980).
Sel elektrolisis adalah sel yang menggunakan arus listrik untuk dapat
berlangsungnya reaksi kimia. Pada sel elektrolisis, reaksi kimia tidak terjadi secara
spontan tetapi melalui perbedaan potensial yang di picu dari luar sistem. Anoda
berfungsi sebagai elektroda bermuatan positif dan katoda bermuatan negatif,
sehingga arus listrik mengalir dari anoda ke katoda. Sel ini terdiri dari, sumber arus
searah yang dihubungkan dengan kawat penghantar pada dua buah elektroda
(katoda dan anoda), kedua ujung elektroda dicelupkan dalam bejana yang berisi
cairan elektrolit. Elektroda yang dihubungkan dengan kutub positif berfungsi
sebagai anoda, sedangkan katoda adalah elektroda yang dihubungkan dengan kutub
negatif.
12

2.6 Elektroda
Pada sel elektrolisis elektroda yang berfungsi sebagai penghantar listrik
adalah anoda sehingga terjadi suatu pelarutan material anoda menghasilkan kation
logam. Elektrolisis air merupakan reaksi sampingang menghasilkan gas hidrogen
pada katoda dan gas oksigen pada anoda (Purwanto, 2005).
Elektroda yang digunakan dalam sel elektrolisis terdiri dari dua jenis yaitu:
1. Elektroda inert
Elektroda inert adalah elektroda yang tidak ikut bereaksi baik sebagai katoda
maupun anoda, sehingga dalam sel elektrolisis yang mengalami reaksi redoks
adalah elektrolit sebagai zat terlarut dan atau air sebagai pelarut. Elektroda inert
contohnya adalah karbon (C) dan platina (Pt).
2. Elektroda tidak inert atau elektroda aktif
Elektroda tidak inert atau elektroda aktif yaitu elektroda yang ikut bereaksi,
terutama jika digunakan sebagai anoda, dapat mengalami reaksi oksidasi.
Contohnya adalah: Fe, Al, Cu, Zn, Ag dan Au.
Penggunaan jenis elektroda sangat menentukan reaksi yang terjadi pada
sel elektrolisis. Elektrolisis larutan dengan elektroda inert, reaksi yang terjadi di
anoda dan katoda adalah sebagai berikut:
1. Reaksi katoda
a. Kation logam dari golongan IA, IIA, IIIA, Alumunium dan Mn tidak dapat
tereduksi dalam pelarut air, sehingga air yang mengalami reaksi reduksi
sebagai berikut:
2H2O + 2e- H2 + 2OH-

b. Kation H+ dan logam selain golongan IA, IIA, IIIA, Alumunium (Al) dan
Mangan (Mn) dapat tereduksi sebagai berikut:
2H+ + 2e- H2

Fe2+ + 2e- Fe

2. Reaksi anoda
a. Anion sisa asam oksi (SO42-, NO3-, PO43-, CIO4-) tidak dapat teroksidasi
13

dalam pelarut air, sebagai gantinya air yang mengalami oksidasi sebagai
berikut:

2H2O 4H+ + O2 + 4e-

b. Anion lain (OH-, Cl-, S2-, Br)mengalami oksidasi:

2OH 2H+ + O2 + 4e-

2Cl- Cl2 + 2e-


S2- S + 2e-
2Br Br2 + 2e-
Reaksi yang terjadi pada sel elektrolisis dengan elektroda aktif biasanya
terjadi pada anoda. Anoda mengalami reaksi oksidasi dan diikuti oleh reaksi reduksi
di katoda (logam terdeposisi di katoda). Elektrolisis dengan elektroda aktif biasanya
menggunakan elektrolit garam, basa atau oksida dari anoda. Katoda yang
digunakan disesuaikan dengan tujuan elektrolisis. Misalkan elektrolisis untuk
melapisi logam Au, maka anoda yang digunakan adalah Au dan elektrolitnya
AuCl3. Elektrolisis demikian dapat digunakan untuk pemurnian logam atau
pelepasan logam (Riyanto,2013).

2.7 Elektrokoagulasi
2.7.1 Defenisi Elektrokoagulasi
Proses elektrokoagulasi merupakan gabungan dari proses elektrokimia dan
proses flokulasi-koagulasi. Elektrokoagulasi adalah proses penggumpalan dan
pengendapan pertikel-partikel haus yang terdapat dalam air dengan menggunakan
energi listrik. Adapun prinsip kerja dari sistem ini adalah dengan menggunakan dua
buah lempeng elektroda yang dimasukkan kedalam bejana yang diisi dengan air
yang akan dijernihkan. Selanjutnya kedua elektroda dialiri arus listrik searah
sehingga terjadilah proses elektrokimia yang menyebabkan kation bergerak menuju
katoda dan anion bergerak menuju anoda. Dan pada akhirnya terbentuk floulan
yang akan mengikat kontaminan maupun partikel-partikel dari air baku tersebut.
14

2.7.2 Proses Elektrokoagulasi


Elektrokoagulasi dikenal juga sebagai elektrolisis gelombang pendek.
Elektrokoagulasi merupakan suatu proses yang melewatkan arus listrik ke dalam
air. Itu dapat digunakan menjadi sebuah uji nyata dengan proses yang sangat efektif
untuk pemindahan bahan pengkontaminasi yang terdapat dalam air. Proses ini dapat
mengurangi lebih dari 99% kation logam berat. Pada dasarnya sebuah elektroda
logam akan teroksidasi dari logam M menjadi kation (Mn+ ). Selanjutnya air akan
menjadi gas hydrogen dan juga ion hidroksil (OH).
Adapun prinsip kerja dari sistem ini adalah dengan menggunakan dua buah
lempeng elektroda yang dimasukkan kedalam bejana yang telah diisi dengan air
yang akan dijernihkan. Selanjutnya kedua elektroda dialiri arus listrik searah
sehingga terjadilah proses elektrokimia yang menyebabkan kation bergerak menuju
katoda dan anion bergerak menuju anoda. Dan pada akhirnya akan terbentuk suatu
flokulan yang akan mengikat kontaminan maupun partikel-partikel dari air baku
tersebut.
Interaksi-interaksi yang terjadi dalam larutan yaitu:
a) Migrasi menuju muatan elektroda yang berlawanan (elektroporesis) dan
netralisasi muatan.
b) Kation ataupun ion hidroksil membentuk sebuah endapan dengan pengoto.
c) Interaksi kation logam dengan OH membentuk sebuah hidroksida dengan
sifat adsorpsi yang tinggi selanjutnya berikatan dengan polutan (bridge
coagulation).
d) Senyawa hidroksida yang terbentuk membentuk gumpalan (flok) yang lebih
besar.
e) Gas hydrogen membantu flotasi dengan membawa pollutan kelapisan bulk
flok di permukaaan cairan, (Holt P, 2006).

2.8 Mekanisme Elektrokoagulasi

Apabila dalam suatu larutan elektrolit ditempat dua elektroda dan dialiri
arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala
dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke anoda dan (anion)
15

bergerak ke Anoda dan menyerahkan electron menerima electron yang dioksidasi.


Sehingga membentuk flok yang mampu mengikat kontaminan dan partikel-partikel
dalam air. Elektrokoagulasi memiliki kemapuan untuk membersihkan berbagai
polutan dengan berbagai kondisi mulai dari zat-zat padat tersuspensi, logam berat,
produk petroleum, warna dari larutan yang mengandung pewarna, humus cair dan
defluoridasi air.
Mekanisme yang mungkin terjadi pada saat proses elektrokoagulasi
berlangsung yaitu arus dialirikan melalui suatu elektroda logam, yang
mengoksidasi logam (M) menjadi kationnya. Secara simultan, air tereduksi menjadi
gas hidrogen dan ion hidroksil (OH-). Dengan demikian elektrokoagulasi
memasukkan kation logam in situ, secara elektrokimia, dengan menggunakan
anoda yang dikorbankan (biasanya aluminium atau besi). Kation terhidrolisis di
dalam air yang membentuk hidroksida dengan spesies-spesies utama yang
ditentukan oleh pH larutan. Kation bermuatan tinggi mendestabilisasi setiap
partikel koloid dengan pembentukan komplek polihidrosida poliven. Komplek-
komplek ini memiliki sifat-sifat penyerapan yang tinggi, yang membentuk agregat
dengan polutan. Evolusi gas hidrogen membantu dalam pencampuran dan
karenanya membantu flokulasi. Begitu flok dihasilkan, gas elektrolitik
menimbulkan efek pengapungan yang memindahkan polutan ke lapisan flok-foam
pada permukaan cairan.

2.9 Plat Elektroda


Pada dasarnya, proses elektrokoagulasi merupakan pengembangan dari
proses elektrolisis yang menggunakan elektroda sebagai titik tumpu pengendali
prinsip kerja sistem ini. Elektrolisis merupakan penguraian elektrolit oleh arus
listrik searah dengan menggunakan dua macam elektroda. Adapun elektroda yang
digunakan yaitu berupa katoda dan anoda. Dalam prosesnya, katoda bertindak
sebagai kutub negatif.
Pada katoda terjadi reaksi reduksi, yaitu kation (ion positif) yang ditarik
oleh katoda dan akan menerima tambahan elektron, sehingga bilangan oksidasinya
berkurang. Dalam prakteknya, katoda akan menghasilkan ion hydrogen yang
16

mengangkat berbagai flokulan yang terbentuk pada saat proses elektrokoagulasi


berlangsung, sehingga setelah proses elektrokoagulasi selesai, maka akan terlihat
bercak-bercak putih yang terdapat pada katoda tanda dari keluarnya ion hydrogen
pada bagian tersebut.
Berbeda dengan katoda maka pada proses elektrolisis maupun
elektrokoagulasi, anoda berperan sebagai sebagai kutub negatif. Pada anoda akan
terjadi reaksi oksidasi, yaitu anion (ion negatif) ditarik oleh anoda dan jumlah
elektronnya akan berkurang sehingga oksidasinya bertambah. Maka hal inilah yang
menyebabkan bahwa pada saat proses elektrokoagulasi berlangsung, flokulan-
flokulan yang terbentuk akan banyak menempel pada anoda sebagai agen koagulan.

2.10 Reaksi Pada Elektroda


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat dua macam reaksi yang
terjadi pada saat proses elektrokoagulasi berlangsung, yaitu rekasi oksidasi dan
reduksi yang terjadi pada plat yang berbeda, maka berikut ini penjelasan mengenai
kedua reakasi tersebut yang terjadi pada anoda maupun katoda
2.10.1 Reaksi Pada Katoda
Reaksi pada katoda adalah reduksi pada kation. Sehingga yang akan
menjadi pusat perhatian hanyalah pada bagian kation saja.
a) Jika larutan mengandung ion-ion logam alkali, ion-ion alkali tanah, ion
logam Al3+ dan ion Mg2+, maka ion-ion logam alkali ini dapat direduksi
dari larutan. Yang akan mengalami reduksi adalah pelarut (air) dan
terbentuk gas hidrogen. Berikut reaksinya :
2H2 O+2e →2OH- + H2
b) Jika larutan mengandung asam, maka ion H dari asam akan direduksi
menjadi gas hidrogen pada katoda.
2H+ +2e → H2
17

c) Jika larutan mengandung ion-ion lain, maka ion-ion logam ini akan
direduksi menjadi logamnya dan logam yang terbentuk itu diendapkan
pada permukaan batang katoda, (Suaib, 1994).
Fe2+ +2e→Fe
Mg2+ +2e →Mg
2.10.2 Reaksi Pada Anoda

a) Elektrokoagulasi pada anoda, elektrodanya dioksida menjadi ionnya.


a. Al→Al3+ +3e
b. Zn→Zn2+ +2e
b) Dalam sistem elektrokimia dengan anoda terbuat dari aluminium, bebrapa
kemungkinan rekasi elektroda dapat terjadi sebagi berikut :
a. Anoda : Al →Al3+ +3e
b. Katoda : 2H2 O+2e→ 2OH- +H2

2.10.3 Kelebihan Dan Kekurangan Elektrokoagulasi

. Kelebihan Elektrokoagulasi :
a) Elektrokoagulasi memerlukan peralatan sederhana dan mudah untuk
dioperasikan.
b) Elektrokoagulasi lebih cepat mereduksi kandungan koloid/partikel
yang paling kecil, hal ini disebabkan pengaplikasian listrik kedalam air
akan mempercepat mereka didalam air dengan demikian akan
memudahkan proses.
c) Gelembung-gelembung gas yang dihasilkan pada proses
elektrokoagulasi ini dapat membawa polutan ke atas air sehingga dapat
dengan mudah dihilangkan.
d) Dapat memberikan efisiensi proses yang cukup tinggi untuk berbagai
kondisi, dikarenakan tidak dipengaruhi temperatur.
e) Tidak diperlukan pengatuuran pH.
f) Tanpa menggunakan bahan kimia tambahan.
18

g) Endapan yang terbentuk dari proses elektrokoagulasi lebih mudah


dipisahkan dari air.
h) Dapat memindahkan partikel-partikel koloid yang lebih kecil.
i) Dapat diatur arus listriknya.

Kelemahan Elektrokoagulasi
a) Tidak dapat digunakan unutk mengolah cairan yang mempunyai sifat
elektrolit cukup tinggi dikarenakan akan terjadi hubungan singkat antar
elektroda.
b) Besarnya reduksi logam berat dalam cairan dipengaruhi oleh besar
kecilnya arus voltase listrik searah pada elektroda, luas sempitnya
bidang kontak elektroda dan jarak antara elektroda.
c) Elektrodanya dapat terlarut sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
reaksi oksidasi.
d) Penggunaan listrik yang mungkin mahal.

2.11 Proses Produksi Tahu


Pada umumnya tahu dibuat oleh para pengrajin atau industri rumah tangga
dengan peralatan dan teknologi yang sederhana. Urutan proses atau cara
pembuatan tahu pada semua industri kecil tahu pada umumnya hampir sama
dan kalaupun ada perbedaan hanya pada urutan kerja atau jenis zat penggumpal
protein yang digunakan (Kaswinarni 2007).
Menurut Santoso (1993), diacu dalam Pohan (2008), proses pembuatan
tahu relatif sederhana , protein-protein dalam bahan baku di ekstraksi secara fisika,
dimasak dan digumpalkan dengan koagulan asam asetat (C3COOH) dan batu tahu
(CaSo4 dan H2O), lalu disaring, kemudian di pres dan dicetak. Diagram alir
proses produksi tahu secara rinci dan limbah yang dihasilkan dapat dilihat pada
Gambar 2.1 :
19

Kedelai
Air

Sortasi dan pembersihan Kotoran limbah cair


Air

Perendaman (3-12 jam)


Air
- Kulit Kedelai
Pengupasan kulit - Limbah Cair
(BOD, TSS)
Air
Pencucian dibuang Limbah cair
(30-40 menit)
Air
Penggilingan Air hangat (8 : 1)
Air
Pemasakan bubur kedelai
Air hangat, 100oC, 15-30 menit
Penyaringan ampas tahu
air hangat

FILTRAT

- Batu tahu Limbah cair


- Asam asetat Penggumpalan (TSS, BOD)
-whey 30 menit

Air tahu/whey
Penyaringan (TSS, BOD)

Pencetakan/Pengepresan/Pemotongan Air tahu


Air
Perebusan Air rebusan
80oC

Tahu

Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Tahu (BPPT 1997, diacu dalam Pohan
2008).

2.12 Jenis, Karakteristik dan Dampak dari Limbah Industri Tahu


20

2.12.1 Jenis Limbah Tahu

Limbah industri tahu pada umumnya ada dua jenis yaitu limbah padat
dan limbah cair. Limbah padat pabrik pengolahan tahu berupa kotoran hasil
pembersihan kedelai (batu, tanah, kulit kedelai, dan benda padat lain yang
menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang disebut dengan
ampas tahu. Limbah padat yang berupa kotoran berasal dari proses awal
(pencucian) bahan baku kedelai dan umumnya limbah padat yang terjadi tidak
begitu banyak (0,3% dari bahan baku kedelai). Sedangkan limbah cair yang berupa
ampas tahu terjadi pada proses penyaringan bubur kedelai (Kaswinarni2007).

2.12.2 Karakteristik Limbah

Karakteristik buangan industri tahu terbagi menjadi dua, yaitu karakteristik


fisika dan kimia. Karakteristik Fisika meliputi padatan total, padatan tersuspensi,
suhu, warna dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik
dan gas (Kaswinarni 2007).
Menurut Eckenfelder (1989), diacu dalam Husin (2008) parameter yang
digunakan untuk menunjukkan karakteristik air buangan industri adalah
parameter fisika (kekeruhan, suhu, zat padat, bau, dll.) dan parameter kimia
dibedakan atas kimia organik (kandungan organik, BOD, COD, Oksigen terlarut
(DO), minyak/lemak, Nitrogen-Total (N-Total), dll) serta kimia anorganik (pH,
Ca, Pb, Fe, Cu, Na, sulfur, H2S, dll). Suhu buangan industri tahu berasal dari
proses pemasakan kedelai. Suhu limbah tahu pada umumnya lebih tinggi dari air

bakunya, yaitu 80o-100oC (BPPT 1997, diacu dalam Pohan 2008), kekeruhan
535-585 FTU, warna 2.225-2.250 Pt.Co, amonia 23,3-23,5 mg/1 (Herlambang
2002, diacu dalam Kaswinarni 2007). Apabila air limbah tersebut langsung
dibuang keperairan maka dapat mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan
oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas dan tegangan permukaan.
Bahan-bahan organik yang terkandung dalam buangan industri tahu pada
umumnya sangat tinggi. Kualitas air buangan industri tahu bergantung dari proses
yang digunakan. Apabila prosesnya baik, maka kandungan bahan organik pada air
buangannya biasanya rendah (Kaswinarni, 2007).
21

Senyawa organik dalam air buangan tersebut dapat berupa protein,


karbohidrat, lemak dan minyak. Diantara senyawa-senyawa tersebut, yang paling
besar jumlahnya adalah protein dan lemak (Nurhasan dan Pramudyanto 1991,
diacu dalam Pohan 2008). Protein mencapai 40- 60%, karbohidrat 25- 50%,
dan lemak 10% (Sugiharto 1994, diacu dalam Pohan 2008).
Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total) sebesar
226,06-434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan
akan meningkatkan total nitrogen di perairan tersebut (Herlambang 2002, diacu
dalam Kaswinarni 2007).
Untuk menentukan besarnya kandungan bahan organik digunakan
beberapa teknik pengujian seperti BOD, COD dan TOM. Uji BOD merupakan
parameter yang sering digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran bahan
organik (BPPT 1997, diacu dalam Pohan 2008).
Menurut Pohan (2008), air limbah tahu cenderung memiliki sifat asam
sehingga pada keadaan asam ini, akan terlepas gas-gas yang mudah menguap,
mengakibatkan limbah cair industri tahu berbau busuk. Gas-gas yang biasa
ditemukan dalam limbah tahu adalah gas nitrogen (N2). Oksigen (O2), hidrogen
sulfida (H2S), amonia (NH3), karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Gas-gas
tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam
air buangan (Herlambang, 2002; dalam Kaswinarni 2007).
Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain:
a). Padatan tersuspensi (TSS), yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak
larut dalam air. Padatan tersuspensi sangat berkitan erat dengan tingkat
kekeruhan air. Semakin tingggi bahan tersuspensi maka air yang dihasilkan
akan semakin keruh (Metcalf & Eddy, 2003; dalam Husin, 2008).
b). Biochemical Oksigen Deman (BOD), Merupakan parameter untuk menilai
jumlah zat organik yang terlarut serta menunjukkan jumlah oksigen yang
diperlukan oleh aktifitas mikroba dalam mengurai zat organik secara biologis
di dalam limbah cair (Metcalf & Eddy, 2003; dalam Husin, 2008). Limbsh
cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik terlarut yang tinggi.
22

c). Chemical Oksigen Demand (COD) atau disebut juga kebutuhan oksigen
kimiawi, merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator (missal
kalium dikromat) untuk mengoksidasi seluruh material baik organik
maupun anorganik yang terdapat dalam air (Metcalf & Eddy, 2003;
dalam Husin, 2008). Jika kandungan organik dan anorganik cukup besar,
maka oksigen terlarut dalam air dapat mencapai nol, sehingga biota-biota air
yang membutuhkan oksigen tidak memungkinkan untuk hidup.
d). Nitrogen-Total (N-Total) yaitu fraksi bahan-bahan organik campuran
senyawa kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino, dan protein
(polimer asam amino). Dalam analisis limbah cair, N-Total terdiri dari
campuran antara N-organik, N-amino, nitrat dan nitrit (Sawyet et al. 1994,
diacu dalam Husin
e) Drajat Keasaman (pH). Air limbah industri tahu sangat bersifat asam, pada
keadaan asam ini akan melepaskan zat-zat yang mudah menguap yang
mengakibatkan limbah cairan industri tahu mengeluarkan bau busuk.
Penggunaan bahan kimia seperti batu tahu (CaSO4) atau asam asetat sebagai
koagulan tahu juga menyebabkan limbah cair tahu mengandung ion-ion logam.
Kuswardani (1985) melaporkan bahwa limbah cair industri tahu mengandung Pb
(0,24 mg/l), Ca (34,03 mg/l), Fe (0,19 mg/l), Cu (0,12 mg/l) dan Na (0,59 mg/l)
(Pohan, 2008).
Menurut Nuriswanto (1995), diacu dalam Sudaryati, dkk (2007) dalam
penelitiannya bahwa air limbah industri tahu memiliki angka COD (Chemical
Oxygen Demand) antara 1940-4800 mg/L, BOD (Biological Oxygen Demand)
antara 1070-2600 mg/L, padatan tidak larut antara 2100-3800 mg/L dan pH
antara 4,5 – 5,7. Air limbah tersebut dihasilkan dari ± 875 L per 35 kg bahan
baku kedelai. Sementara menurut kajian analisis resiko dari limbah tahu oleh
Damayanti, dkk (2004) diperoleh rata-rata kandungan pencemaran limbah tahu
yaitu COD 7050 mg/l, BOD 5389,5 mg/l, N-Total 161,5 mg/l, P-Total 81,6 mg/l,
dan pH 4,11. Adapun standar baku mutu limbah air tahu yang dapat dilepas ke
badan sungai menurut perda Propinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2004, dapat
dilihat pada Tabel 2.2.
23

Tabel 2.2 Baku Mutu Air Limbah Tahu

INDUSTRI TAHU

No PARAMETER BEBAN
KADAR MAKSIMUM PENCEMARAN
(Mg/L) MAKSIMUM
(Kg/Ton)
1 Temperatur 38oC -

2 BOD5 150 3

3 COD 275 5,5

4 TSS 100 2

5 pH 60-90

6 Debit maksimum 20 m3/ton kedelai

(Sumber: Perda Propinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2004, diacu dalam
Kaswinarni, 2007).

2.12.3 Dampak Pencemaran Limbah Tahu

Limbah cair industri tahu merupakan salah satu sumber pencemaran


lingkungan. Beban pencemaran yang ditimbulkan menyebabkan gangguan serius
terutama untuk perairan di sekitar industri tahu. Dampak yang ditimbulkan oleh
pencemaran bahan organik limbah industri tahu adalah gangguan terhadap
kehidupan biotik. Turunnya kualitas air perairan akibat meningkatnya kandungan
bahan organik. Aktivitas organisme dapat memecah molekul organik yang
kompleks menjadi molekul organik yang sederhana (Kaswinarni, 2007).
Bahan anorganik seperti ion fosfat dan nitrat dapat dipakai sebagai
makanan oleh tumbuhan yang melakukan fotosintesis. Selama proses
metabolisme oksigen banyak dikonsumsi, sehingga apabila bahan organik dalam
air sedikit yang hilang dari air akan segera diganti oleh oksigen hasil proses
fotosintesis dan reaeksi dari udara. Sebaliknya jika konsentrasi beban organik
terlalu tinggi, maka akan tercipta kondisi anaerobik yang menghasilkan produk
dekomposisi berupa amonia, karbondioksida, asam asetat, hidrogen sulfida, dan
24

metana. Senyawa-senyawa tersebut sangat toksik bagi sebagian besar hewan air,
dan akan menimbulkan gangguan terhadap keindahan (gangguan estetika) yang
berupa rasa tidak nyaman dan menimbulkan bau yang dapat menggangu
kenyamanan masyarakat sekitar pabrik industri tahu.
Limbah cair yang dihasilkan mengandung padatan tersuspensi maupun
terlarut, akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan
menimbulkan gangguan terhadap kesehatan karena menghasilkan zat beracun atau
menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit atau kuman lainnya yang
merugikan baik pada produk tahu sendiri ataupun tubuh manusia. Bila dibiarkan,
air limbah akan berubah warnanya menjadi cokelat kehitaman dan berbau busuk.
Bau busuk ini mengakibatkan gangguan pernapasan. Apabila air limbah ini
merembes ke dalam tanah yang dekat dengan sumur maka dapat mencemari air
sumur (air tanah) sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi. Apabila limbah ini
dialirkan ke sungai maka akan mencemari sungai (air permukaan) sehingga bila
masih digunakan akan menimbulkan gangguan kesehatan yang berupa penyakit
gatal, diare, kolera, radang usus dan penyakit lainnya, khususnya yang
berkaitan dengan air yang kotor dan sanitasi lingkungan yang tidak baik
(Kaswinarni 2007).

2.13 Landasan Empiris


Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Yuli Kartika (2015)
Tentang “Penurunan Kadar Ion Logam Kromium Pada Limbah Industri Sarung
Samarinda Dengan Menggunakan Metode Elektrokoagulasi“ terlihat bahwa besar
nilai persen penyisihan kadar dari logam Cr yang didapat mencapai 59,921%
dengan konsentrasi akhir sebesar 20,300 ppm dari konsentrasi awal larutan 50,650
ppm berada pada kuat tegangan 12 volt.
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Harry Syahputra Nauri
(2011) tentang “Analisis Penyisihan Kadar COD, BOD dan TSS Pada Limbah
Laundry Menggunakan Alat Elektrokoagulasi” terlihat bahwa konsentrasi terbesar
limbah laundry sebesar 20.9350 mg/l. Untuk waktu kontak 15 menit pertama
konsentrasi BOD mengalami penurunan menjadi 19.3550 mg/l dengan efisiensi
25

penyisihan sebesar 7.54%. Waktu kontak 30 menit, konsentrasi BOD menjadi


17.7750 mg/l dengan efisiensi penyisihan sebesar 15.09%. Waktu kontak 45 menit
konsentrasi BOD menjadi 16.1950 mg/l, efisiensi penyisihan sebesar 22.64% dan
untuk waktu kontak 60 menit menjadi 15.0100 mg/l dengan efisiensi penyisihan
sebesar 28.30 %. Hasil ini jika dibandingkan dengan karakteristik air limbah
industri laundry, masih dibawah baku mutu yaitu 30 Mg/l.
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rena Regina Taufik
(2015) Tentang “Penurunan Kadar BOD, COD dan TSS Dari Limbah Industri
Sarung Samarinda Dengan Metode Elektrokoagulasi Menggunakan Sel Al-Al“
terlihat bahwa pada tegangan 12 Volt dengan waktu kontak 120 menit persentase
penurunan kadar BOD, COD dan TSS sebesar 95,85 %, 61,33 % dan 92,24 % dari
500 mL Limbah Sarung Samarinda dengan menggunakan elektroda Al-Al.
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ika Yuliani (2017).
Tentang “Penurunan BOD dan TSS dari limbah industri saus dengan metode
Elektrokoagulasi menggunakan elektroda Fe, Cu dan Stainless”, telah dilakukan
waktu optimum berdasarkan perubahan warna yang terjadi pada proses
Elektrokogulasi. Hasil penelitian menunjukkan, pengaruh lama waktu kontak
proses Elektrokoagulasi didapatkan waktu optimum 120 menit dimana perubahan
warna menjadi bening dengan kuat tegangan 12 volt menggunakan elektroda Fe-
Cu terhadap penurunan BOD dan TSS sebesar 1800,6 mg/L; 190 mg/L dengan hasil
persen penyisihan sebesar 38,45 %; 68,85% dimana nilai awal BOD dan TSS
sebesar 2925,4 mg/L; 190 mg/L.

2.14 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu persepsi, kondisi atau prinsip yang dianggap benar
dan barangkali tanpa keyakinan agar bisa ditarik suatu konsekuensi yang logis,
dengan cara ini kemudian diadakan pengujian atau testing tentang kebenaran.

Dalam penelitian ini terdapat hipotesis sebagai berikut :


1. Terdapat penurunan kadar COD dan TSS yang dipengaruhi oleh elektroda Fe
26

dan Cu dalam proses elektrokoagulasi pada limbah tahu.


2. Variasi dari variabel tegangan, waktu kontak dan pH mempengaruhi besarnya
efektifitas dalam proses elektrokoagulasi.

Anda mungkin juga menyukai