Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior
sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.1
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Konjungtiva ini diperdarahi oleh A. Konjungtiva Tarsalis
Anterior. Histologinya terdiri dari sel epitel silindris. 1,2
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak
dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Konjungtiva bulbaris melekat
longgar pada kapsul tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul
Tenon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3 mm).1,2
Konjungtiva forniks merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan fornik berhubungan sangat longgar dengan
jaringan dibawahnya (sklera) sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva ini
membentuk lekukan-lekukan serta mengandung pembuluh darah. Pembengkakaan
pada daerah ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. Dibawah konjungtiva
forniks superior terdapat glandula lakrimal Kraus. Melalui konjungtiva forniks
superior terdapat muara saluran air mata.1,2,3
1.2 Pendarahan, Limfatik, & Persarafan
Arteri yang mendarahi konjungtiva berasal dari arteria ciliaris anterior dan
arteria palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama vena
konjungtiva membentuk jaring-jaring vaskular konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan profundus dan
bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V
trigeminus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.1
1.3 Mekanisme pertahanan konjungtiva
Konjungtiva mudah terpapar terhadap berbagai mikroorganisme dan substansi
lain yang dapat bersifat merusak. Konjungtiva mempunyai sistem pertahanan berupa
mekanisme pembersihan oleh air mata yang mengandung lisozim, betasin,
Imunoglobulin A, dan Imunoglobulin G yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri serta reflek mengedip mata.
Konjungtiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di
forniks superior. Air mata mengalir ke bawah menuju forniks dan mengalir ke tepi
nasal menuju punctum lakrimalis.3,4
Kedudukan konjungtiva mempunyai resiko mudah terkena mikroorganisme
atau benda asing. Air mata berfungsi melarutkan materi infeksius atau mendorong
benda asing keluar. Selain air mata, alat pertahanan berupa elemen limfoid,
mekanisme eksfoliasi epitel dan gerakan memompa kantong air mata. Hal ini dapat
dilihat pada kehidupan mikroorganisme patogen untuk saluran genitourinaria yang
dapat tumbuh di daerah hidung tetapi tidak berkembang di daerah mata.3
Air mata membentuk lapis tipis setebal 7-10 um yang menutup epitel kornea
dan konjungtiva. Fungsi lapisan ultra tipis ini adalah Membuat kornea menjadi
menjadi permukaan licin optik dengan meniadakan ketidakteraturan permukaan epitel
kecil-kecil, membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva
yang lembut, menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan guyuran mekanik
dan kerja antimikroba, memberi kornea substansi nutrisi yang diperlukan.
1.4 Anatomi Dan Fisiologi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan, avaskuler, jernih dan bening yang terletak
di bagian anterior bola mata dan merupakan media refraksi utama yang harus dijaga
kejernihannya agar dapat ditembus oleh cahaya.2
Kornea dan sklera dibatasi oleh limbus, dan bentuk melingkar pada
persambungan ini disebut sulkus skelaris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal
0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm dari
anterior ke posterior.1
Kornea mempunyai lima lapisan :1,2
1. Lapisan Epitel
a. Bagian terbesar ujung saraf kornea berakhir pada epitel ini. Sehingga, setiap
gangguan epitel akan memerikan gangguan sensibilitas kornea berupa rasa
sakit atau mengganjal.
b. Daya regenerasi epitel cukup besar sehingga apabila terjadi kerusakan, akan
diperbaiki dalam beberapa hari tanpa membentuk jaringan parut.
2. Membran Bowman
a. Terletak dibawah epitel dan terdiri dari lamel-lamel tanpa sel atau nucleus dan
modifikasi daripada jaringan stroma
b. merupakan suatu membran tipis yang homogen terdiri atas susunan serat
kolagen kuat yang mempertahankan bentuk kornea.
c. Bila terjadi kerusakan pada membran Bowman maka akan berakhir dengan
terbentuknya jaringan parut.
3. Stroma
a. Bagian kornea yang paling tebal. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan
kolagen yang sejajar satu dengan lainnya. terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
4. Membran Descement
a. Merupakan membrane asesular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.
b. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40 µm.
5. Endotel
a. Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm.
endotel melekat pada membrane descement.
b. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.
Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam,
avaskularitasnya, dan deturgensinya. Deturgesens, atau keadaan dehidrasi relative
jaringan kornea, dipertahankan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Kerusakan sel-
sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea, yang
akan menghilang bila sel-sel epitel itu beregenerasi.3
Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh darah-pembuluh darah limbus, humor
aquaeus, dan air mata. Kornea superficial juga mendapat oksigen sebagian besar dari
atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari percabangan pertama nervus
trigeminus.1 Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari N.
Siliaris Longus dan N. Nasosiliar.2,5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keratokonjungtivitis Fliktenular


2.1.1 Definisi
Konjungtivitis fliktenularis merupakan radang pada konjungtiva dengan
pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten), berukuran sebesar jarum pentul
yang terutama terletak di daerah limbus. 1,6,7
Flikten mulai berupa lesi kecil, umumnya diameter 1-3 mm, keras, merah,
menonjol dan dikelilingi zona hiperemia. Flikten yang muncul di limbus sering
berbentuk segitiga dengan apeks mengarah ke kornea. Flikten umumnya terjadi di
limbus namun ada juga yang terjadi di kornea, bulbus dan tarsus. Bila terjadi di
konjungtiva bulbi, disebut konjungtivitis flikten, dan jika di limbus disebut
keratokonjungtivitis flikten atau pada umumnya disebut oftalmia fliktenularis.
Kadang-kadang terjadi beberapa tempat sekaligus. Flikten kadang-kadang berisi pus
disebut oftalmia pustule. 1,2
Fliktenula adalah akumulasi setempat limfosit, monosit, makrofag, dan
akhirnya neutrofil. Lesi ini mula-mula muncul di limbus, tetapi pada serangan-
serangan berikutnya akan mengenai konjungtiva bulbi dan kornea. Fliktenula kornea/
umumnya bilateral, membentuk parut dan vaskularisasi; fliktenula konjungtiva tidak
meninggalkan bekas.1

2.1.2 Epidemiologi
Paling sering ditemukan pada yang usia muda pada dekade pertama dan kedua
kehidupan dengan puncak antara usia 3 dan 15 tahun. Biasanya lebih tinggi insiden
pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Paling sering ditemukan dalam
kekurangan gizi yang tinggal di kondisi yang tidak higienis miskin dan penuh sesak,
tidak terkena cukup sinar matahari. Lebih sering terjadi pada perempat miskin kota,
yang mempengaruhi semua ras.4
Fliktenula merupakan fenomena alergi, reaksi hipersensitif dari dari epitel kornea dan
konjungtiva terhadap protein apapun, reaksi dasarnya adalah tidak spesifik tetapi
dalam sebagian besar kasus klinis karena protein bakteri tuberkulosis. 4
Staphylococcus aureus juga dapat bertindak dengan cara ini pada pasien yang sangat
sensitif. Juga dapat terjadi pada pasien dengan konjungtivitis gonokokal metastasis
endogen. 4,8
Di Indonesia penyakit ini masih banyak terdapat dan paling sering dihubungkan
dengan penyakit tuberkulosis paru. Penderita lebih banyak pada anak-anak dengan
gizi kurang atau sering mendapat radang saluran napas, serta dengan kondisi
lingkungan yang tidak higiene. Pada orang dewasa juga dapat dijumpai tetapi lebih
jarang. Meskipun sering dihubungkan dengan penyakit tuberkulosis paru, tapi tidak
jarang penyakit paru tersebut tidak dijumpai pada penderita dengan konjungtivitis
flikten. Penyakit lain yang dihubungkan dengan konjungtivitis flikten adalah
helmintiasis.4,8
Dulu fliktenulosis di USA paling sering terjadi akibat hipersensitivitas lambat
terhadap protein basil tuberkel manusia. Basil ini masih menjadi penyebab paling
umum di daerah-daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. Namun, sekarang
kebanyakan kasus yang berhubungan dengan hipersensitivitas tipe lambat di USA
disebabkan oleh S. aureus. 1,3

2.1.3 Eitologi
Konjungtivitis flikten disebabkan alergi (hipersensivitas tipe lambat IV)
terhadap tuberkuloprotein, stafilokokus, Limfogranuloma venereal, Candida albicans,
Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptius, Chlamydia trachomatis, leismaniasis,
infeksi parasit, dan infeksi lain didalam tubuh.1,2
Serangan mungkin dipicu oleh suatu konjungtivitis bakterial akut, tetapi
kelainan ini secara khas terkait dengan peningkatan sementara aktivitas tuberkulosis
anak. Penyakit ini jarang menimbulkan gangguan penglihatan.
Tabel 1. Organisme penyebab keratokonjungtivitis fliktenularis

1. Mycobacterium tuberculosis
2. Staphylococcus aureus
3. Chlamydia trachomatis
4. Neisseria gonorrhea
5. Coccidiodes immitis
6. Bacillus spp.
7. Herpes simplex virus
8. Leishmaniasis Ascaris lubricoides
9. Hymenlepsis nana
10. Candida spp.

2.1.4 Patogenesis
Kelainan ini merupakan manifestasi alergik (hipersensitivitas tipe IV)
endogen tuberculosis, stafilokokus, coccidioidomycosis, candida, helmintes, virus
herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo
palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus
urogenital. Penyakit ini terutama mengenai anak-anak berumur 3-15 tahun dengan
malnutrisi dan tuberkulosis.7
Mekanisme pasti atau mekanisme bagaimana terbentuknya flikten masih
belum jelas. Organisme ini tidak ada dalam lesi tetapi reaksi ini merupakan
hipersensitivitas terhadap organisme yang ada di tempat lain dalam tubuh. Basil
tuberkel belum ditemukan pada lesi phlyctenular itu sendiri. Pada pasien dengan TB,
sensitisasi ini mungkin terjadi sebagai bagian dari bakteremia dari awal infeksi di
paru-paru atau kelenjar getah bening.
Flikten di konjungtiva lekas sembuh, tanpa meninggalkan bekas. Bila
mengenai limbus dan mengenai kornea, akan agak lambat sembuhnya dan sering
disertai pembentukan neovaskularisasi berbentuk pita (fasikel), karena itu disebut
keratitis fasikularis. Bila terdapat banyak keratitis fasilukaris, sehinngga membentuk
pita yang lebar, maka disebut panus fliktenularis.3
Keratitis flikten dapat berkembang secara primer dari kornea meskipun
seringkali biasanya menyebar ke kornea dari konjungtiva. Epitel yang ditempati oleh
flikten rusak, membentuk ulkus dangkal yang mungkin hilang tanpa pembentukan
jaringan parut. Flikten khas biasanya unilateral pada atau di dekat limbus, pada
konjungtiva bulbar atau kornea, dapat satu atau lebih, bulat, meninggi, abu-abu atau
kuning, hiperemis, terdapat nodul inflamasi dengan dikelilingi zona hiperemik
pembuluh darah. Flikten konjungtiva tidak menimbulkan jaringan parut. Jaringan
parut fibrovaskuler kornea bilateral limbus cenderung membesar ke bawah daripada
ke atas mungkin mengindikasikan flikten sebelumnya. Flikten yang melibatkan
kornea sering rekuren, dan migrasi sentripetal lesi inflamasi mungkin berkembang.
Kadangkala, beberapa inflamasi menimbulkan penipisan kornea dan jarang
menimbulkan perforasi.4
2.1.5 Klasifikasi
Secara klinis dibedakan menjadi 2, yaitu:3
a. Konjungtivitis flikten : tanda radang tidak jelas, hanya terbatas pada tempat
flikten, sekret hampir tidak ada.
b. Konjungtivitis kum flikten : tanda radang jelas, secret mucous, mukopurulen,
biasanya timbul karena infeksi sekunder pada konjungtivitis flikten.
2.1.6 Histopatologi2
Secara histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel
limfosit, makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak. Flikten adalah
infiltrasi sel-sel bulat kecil ke perivaskular dan subepitel setempat, yang diikuti oleh
sejumlah besar sel polimorfonuklear limfosit saat epitel di atasnya mengalami
nekrosis dan terkelupas.
Gambar 1. Keratokonjungtivitis fliktenularis. Perhatikan akumulasi limfosit padat di
limbus (panah) (× 115).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan tinja dapat dilakukan jika mencurigai adanya infeksi oleh parasit.
Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya tuberkulosa
paru, pemeriksaan kultur konjungtiva, pemeriksaan dengan pewarnaan gram pada
sekret untuk mengidentifikasi organisme penyebab maupun adanya infeksi
sekunder.2,6,7
2.1.8 Manifestasi Klinis
Fliktenula konjungtiva timbul sebagai lesi kecil (umumnya berdiameter 1-3
mm) yang keras, merah, meninggi, dan dikelilingi zona hiperemia. Di limbus sering
berbentuk segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat putih-
kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Lesi awal fliktenula
dan pada kebanyakan kasus kambuh (biasanya) terjadi di limbus, tetapi ada juga yang
di kornea, bulbus, dan sangat jarang, di tarsus.6,7
Berbeda dengan fliktenula konjungtiva, yang tidak meninggalkan parut,
fliktenula kornea berkembang sebagai infiltrat kelabu amorf dan selalu meninggalkan
parut. Sejalan dengan perbedaan ini, terbentuk parut pada sisi kornea lesi limbus dan
tidak pada sisi-konjungtivanya. Hasilnya adalah suatu parut bentuk segi tiga dengan
dasar pada limbus yang merupakan suatu tanda penting fliktenulosis lama yang
mengenai limbus.6,7
Fliktenula konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan air mata,
tetapi fliktenula di kornea dan limbus umumnya disertai fotofobia hebat. Fliktenulosis
sering dipicu oleh blefaritis aktif, konjungtivitis bakterial akut, dan defisiensi nutrisi.
Parut fliktenular, yang mungkin minimal atau luas, sering kali diikuti dengan
degenerasi nodular Salzmann.6,7
2.1.9 Gambaran Klinik
2.1.9.1 Gejala Subyektif
Penyakit ini biasanya unilateral tapi kadang-kadang mengenai kedua mata.
Gejala-gejalanya biasanya ringan berupa mata berair (lakrimasi), mata merah
setempat, perih, iritasi dengan rasa sakit, khasnya pada konjungtivitis flikten apabila
kornea ikut terlibatakan terdapat fotofobia, gangguan penglihatan, Bila infeksi bakteri
sekunder terjadi, akan terdapat mukopurulen pada kelopak mata yang saling melekat
(blefarospasme). Konjungtivitis fliktenularis biasanya tidak meninggalkan parut.
Keluhan lain dapat berupa rasa berpasir.2,5-8
2.1.9.2 Gejala Obyektif18
Dengan Slit Lamp tampak sebagai tonjolan bulat ukuran 1-3 mm.
Tanda-tanda dari Konjungtivitis fliktenularis, lesi ini ditemukan paling sering dekat
limbus, meskipun mungkin terjadi di mana saja pada bulbar atau konjungtiva
palpebral tetapi jaranng. Kecil, merah muda dengan bintik-bintik putih muncul di
tengah yang area hiperemis. Dalam beberapa hari, bagian superfisial nodul menjadi
abu-abu dan lembut. Pusat nekrotik mengakibatkan cacat konjungtiva. Lesi sembuh
cepat dan tidak meninggalkan bekas luka. Konjungtivitis fliktenularis miliaria jarang
terjadi dan ditandai oleh sejumlah besar lesi sekitar limbus.2,5-8
Gambar 2. Diagram kornea menunjukkan karakteristik kotor bekas luka dari serangan
keratoconjunctivitis fliktenularis, termasuk A jaringan parutt dilimbus B, bekas luka
berbentuk fasciculus; C, bekas luka di limbal; D, samar, soliter, opasitas kornea tanpa
lesi di limbal; E, gambaran nebula, opasitas kornea indikasi penyakit lanjut, dan F,
flikten di limbus pada phlyctenulosis akut.

Tinjauan manifestasi klinis keratoconjunctivitis fliktenularis, yang berguna untuk


membedakannya dari kondisi lain yang serupa :
a. Mikroabses
b. Terdapat diperbatasan
c. Injeksi konjungtiva fokal.
d. Lesi kornea terhubung ke limbus.
e. Progresi dari ulkus dari pinggiran ke tengah kornea.
f. Tidak adanya keratik presipitat (KP) atau reaksi bilik mata depan.
g. Keterlibatan konjungtiva yang terkait dengan ringan sampai sedang gejala yang
berlangsung satu sampai dua minggu.
2.1.10 Diagnosis Banding7,8
Konjungtivitis fliktenularis harus dibedakan dengan kondisi serupa yang
superficial seperti pinguecula inflamasi, ulkus marginal dan kunjungtivitis vernalis.
Kriteria yang digunakan untuk membedakan keratoconjunctivitis fliktenular
dari gangguan serupa berbagai adalah sebagai berikut:
2.1.10.1Pinguecula yang meradang
a. Tidak berkembang menjadi mikroabses
b. Kehadiran kolagen hipertrofik di limbus di fisura palpebral ketika
pinguekulitis mereda.
2.1.10.2 Ulkus Marginal
a. Posisi ulkus marjinal hanya di dalam limbus paralel, tapi biasanya tidak
berdekatan dengan, limbus
b. Tidak adanya microabscess
c. Kegagalan ulkus untuk bermigrasi
2.1.10.2Limbal vernal keratokonjungtivitis
a. Kehadiran eosinofil pada apusan konjungtiva
b. Cobblestone excrescences lempeng tarsal (dalam gabungan limbal-palpebral
bentuk)
c. Limbal hipertrofi
d. Ditandai gatal
e. Sedang fotofobia
f. Ringan sampai sedang peradangan mata
2.1.11 Penatalaksanaan
Usahakan untuk mencari penyebab primernya dan apabila diketahui maka
penyebab ini diobati dulu, misalnya pencarian infeksi fokal di telinga, hidung,
tenggorokan atau gigi. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, urin, feses
maupun foto thorax juga diperlukan.3,10
Fliktenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein berespons secara dramatis
terhadap kortikosteroid topikal. Terjadi pengurangan sebagian besar gejala dalam 24
jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya. Fliktenulosis oleh protein stafilokokus
berespons agak lebih lambat. Timbulnya konjungtivitis fliktenularis adalah
hipersensitivitas lambat, maka pada mata diberikan obat tetes mata atau salep mata
kortikosteroid lokal misalnya dexametason, prednisolon. Kombinasi kortikosteroid
dengan antibiotik, misalnya kloramfenikol lebih dianjurkan mengingat banyak
kemungkinan terdapat infeksi bakteri sekunder. Dapat juga diberikan roboransia yang
mengandung vitamin A, B kompleks, dan vitamin C untuk memperbaiki keadaan
umum.3,10
Bila dengan salep atau tetes mata tidak membaik, maka harus diberikan
kortikosteroid injeksi (kortison asetat 0,5%) yang disuntikkan subkonjungtiva di
forniks superior pada jam 12. Suntikan diberikan 0,3-0,5 cc setiap kali sebanyak 2
kali seminggu. 3,9
Pada pemberian kortikosteroid lokal dalam jangka waktu lama perlu diwaspadai
kontraindikasi dan adanya penyulit-penyulit, antara lain superinfeksi jamur atau virus,
munculnya glaucoma maupun katarak. 2,10
Penatalaksanaan pada fliktenulosis kornea adalah pemberian kortikosteroid
topikal. Salah satu rejimen yang efektif adalah prednisolone 1%, diberikan setiap 2
jam pada siang hari selama 4 hari, diikuti dengan pemberian empat kali sehari selama
3 hari. Selanjutnya dikurangi kortikosteroid didasarkan pada aktivitas penyakit. Atau,
steroid lebih ringan, seperti Loteprednol 0,5%, dapat digunakan untuk mengurangi
risiko steroid-induced tekanan intraokular tinggi. Kacamata hitam sangat
membantu.10
Pasien dengan keratoconjunctivitis fliktenularis harus dievaluasi untuk
tuberkulosis. Sebuah pemeriksaan uji tuberkulin harus menetapkan keadaan reaksi
TBC. Anak-anak hingga orang dewasa dengan tes positf , harus dirujuk untuk terapi
TB. Jika pasien dengan tes tuberkulin positif dan phlyctenulosis adalah anak,
penyelidikan menyeluruh pada keluarga TB harus dilakukan. 10
Sebuah flikten di konjungtiva yang tidak menyebabkan gejala yang parah dapat
diobati dengan pemberian astringen topikal. Jika rasa tidak nyaman cukup besar,
kortikosteroid topikal juga dapat digunakan untuk varian penyakit.
Pengobatan yang baik umumnya konjungtivitis fliktenularis akan sembuh
spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali flikten pada limbus
dan kornea atau terjadi infeksi sekunder sehingga timbul abses.2,10
2.1.11.1 Tatalaksana
Pengobatan harus ditujukan terhadap penyakit pencetus; steroid, bila efektif,
hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut kornea yang
menetap. Parut kornea berat mungkin memerlukan transplantasi kornea.
Kortikosteroid topikal memperpendek lama penyakit dan mengurangi timbulnya
parut dan vaskularisasi.
2.1.12 Prognosis
Kebanyakan pasien merespon baik terhadap terapi tetapi tanpa pengobatan
keratokonjungtivitis fliktenularis adalah penyakit yang berpotensi menimbukan
kebutaan.
BAB III

KESIMPULAN

1. Kesimpulan

Konjungtivitis fliktenularis merupakan radang pada konjungtiva dengan


pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten), berukuran sebesar jarum pentul
yang terutama terletak di daerah limbus.

Fliktenula adalah akumulasi setempat limfosit, monosit, makrofag, dan


akhirnya neutrofil. Lesi ini mula-mula muncul di limbus, tetapi pada serangan-
serangan berikutnya akan mengenai konjungtiva bulbi dan kornea. Fliktenula kornea/
umumnya bilateral, membentuk parut dan vaskularisasi; fliktenula konjungtiva tidak
meninggalkan bekas.

Konjungtivitis flikten disebabkan alergi (hipersensivitas tipe lambat IV)


terhadap tuberkuloprotein, stafilokokus, Limfogranuloma venereal, Candida albicans,
Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptius, Chlamydia trachomatis, leismaniasis,
infeksi parasit, dan infeksi lain didalam tubuh.

Fliktenula konjungtiva timbul sebagai lesi kecil (umumnya berdiameter 1-3


mm) yang keras, merah, meninggi, dan dikelilingi zona hiperemia. Di limbus sering
berbentuk segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat putih-
kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Lesi awal fliktenula
dan pada kebanyakan kasus kambuh (biasanya) terjadi di limbus, tetapi ada juga yang
di kornea, bulbus, dan sangat jarang, di tarsus.
Fliktenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein berespons secara dramatis
terhadap kortikosteroid topikal. Terjadi pengurangan sebagian besar gejala dalam 24
jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya. Fliktenulosis oleh protein stafilokokus
berespons agak lebih lambat. Timbulnya konjungtivitis fliktenularis adalah
hipersensitivitas lambat, maka pada mata diberikan obat tetes mata atau salep mata
kortikosteroid lokal misalnya dexametason, prednisolon. Kombinasi kortikosteroid
dengan antibiotik, misalnya kloramfenikol lebih dianjurkan mengingat banyak
kemungkinan terdapat infeksi bakteri sekunder. Dapat juga diberikan roboransia yang
mengandung vitamin A, B kompleks, dan vitamin C untuk memperbaiki keadaan
umum.
Bila dengan salep atau tetes mata tidak membaik, maka harus diberikan
kortikosteroid injeksi (kortison asetat 0,5%) yang disuntikkan subkonjungtiva di
forniks superior pada jam 12. Suntikan diberikan 0,3-0,5 cc setiap kali sebanyak 2
kali seminggu
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asbury T. 2014. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum edisi
17. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi IV, Cetakan I, Fakultas Kedokteran UI,
Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2011
3. Berson, FG. Ocular and Orbital Injuries. In: Basic Ophtalmology. 6th ed.
American Academy of Ophtalmology. 1993. p. 82-7.
4. Ringgati, Respati, Konjungtivitis flikten, diakses pada bulan April 2016 di
http://dokumen.tips/documents/konjungtivitis-flikten.html
5. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3, cetakan ke-3. Jakarta: FKUI;
2009. Hal 2-3,25,134-135
6. J. Rohatgi dan U. Dhaliwal. Phyctenular Eye Disease: A Reppraisal. Elsevier
Science Inc. 2000; 44-146-150
7. Arnold Sorsby The Aetiology of Phlyctenular Opthalmia. Pub Med Central
[online]. 2002.
8. Gerard J. Tortora dan Bryan H. Derrickson. Principles of Anatomy and
Physiology. Edisi ke-5 New York: Wiley;2005.
9. Ian R. Tizard. Immunology, an Introduction. Edisi ke-4. Orlando: Saunders;
1994. Hal 298-299,482-484
10. Betram G. Katzung. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi ke-10.
Singapura: McGraw-hill; 2007. Hal 870

Anda mungkin juga menyukai