Dokumen - Tips Eviserasi
Dokumen - Tips Eviserasi
PENDAHULUAN
2.1.2 Epidemiologi
Paling sering ditemukan pada yang usia muda pada dekade pertama dan kedua
kehidupan dengan puncak antara usia 3 dan 15 tahun. Biasanya lebih tinggi insiden
pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Paling sering ditemukan dalam
kekurangan gizi yang tinggal di kondisi yang tidak higienis miskin dan penuh sesak,
tidak terkena cukup sinar matahari. Lebih sering terjadi pada perempat miskin kota,
yang mempengaruhi semua ras.4
Fliktenula merupakan fenomena alergi, reaksi hipersensitif dari dari epitel kornea dan
konjungtiva terhadap protein apapun, reaksi dasarnya adalah tidak spesifik tetapi
dalam sebagian besar kasus klinis karena protein bakteri tuberkulosis. 4
Staphylococcus aureus juga dapat bertindak dengan cara ini pada pasien yang sangat
sensitif. Juga dapat terjadi pada pasien dengan konjungtivitis gonokokal metastasis
endogen. 4,8
Di Indonesia penyakit ini masih banyak terdapat dan paling sering dihubungkan
dengan penyakit tuberkulosis paru. Penderita lebih banyak pada anak-anak dengan
gizi kurang atau sering mendapat radang saluran napas, serta dengan kondisi
lingkungan yang tidak higiene. Pada orang dewasa juga dapat dijumpai tetapi lebih
jarang. Meskipun sering dihubungkan dengan penyakit tuberkulosis paru, tapi tidak
jarang penyakit paru tersebut tidak dijumpai pada penderita dengan konjungtivitis
flikten. Penyakit lain yang dihubungkan dengan konjungtivitis flikten adalah
helmintiasis.4,8
Dulu fliktenulosis di USA paling sering terjadi akibat hipersensitivitas lambat
terhadap protein basil tuberkel manusia. Basil ini masih menjadi penyebab paling
umum di daerah-daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. Namun, sekarang
kebanyakan kasus yang berhubungan dengan hipersensitivitas tipe lambat di USA
disebabkan oleh S. aureus. 1,3
2.1.3 Eitologi
Konjungtivitis flikten disebabkan alergi (hipersensivitas tipe lambat IV)
terhadap tuberkuloprotein, stafilokokus, Limfogranuloma venereal, Candida albicans,
Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptius, Chlamydia trachomatis, leismaniasis,
infeksi parasit, dan infeksi lain didalam tubuh.1,2
Serangan mungkin dipicu oleh suatu konjungtivitis bakterial akut, tetapi
kelainan ini secara khas terkait dengan peningkatan sementara aktivitas tuberkulosis
anak. Penyakit ini jarang menimbulkan gangguan penglihatan.
Tabel 1. Organisme penyebab keratokonjungtivitis fliktenularis
1. Mycobacterium tuberculosis
2. Staphylococcus aureus
3. Chlamydia trachomatis
4. Neisseria gonorrhea
5. Coccidiodes immitis
6. Bacillus spp.
7. Herpes simplex virus
8. Leishmaniasis Ascaris lubricoides
9. Hymenlepsis nana
10. Candida spp.
2.1.4 Patogenesis
Kelainan ini merupakan manifestasi alergik (hipersensitivitas tipe IV)
endogen tuberculosis, stafilokokus, coccidioidomycosis, candida, helmintes, virus
herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo
palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus
urogenital. Penyakit ini terutama mengenai anak-anak berumur 3-15 tahun dengan
malnutrisi dan tuberkulosis.7
Mekanisme pasti atau mekanisme bagaimana terbentuknya flikten masih
belum jelas. Organisme ini tidak ada dalam lesi tetapi reaksi ini merupakan
hipersensitivitas terhadap organisme yang ada di tempat lain dalam tubuh. Basil
tuberkel belum ditemukan pada lesi phlyctenular itu sendiri. Pada pasien dengan TB,
sensitisasi ini mungkin terjadi sebagai bagian dari bakteremia dari awal infeksi di
paru-paru atau kelenjar getah bening.
Flikten di konjungtiva lekas sembuh, tanpa meninggalkan bekas. Bila
mengenai limbus dan mengenai kornea, akan agak lambat sembuhnya dan sering
disertai pembentukan neovaskularisasi berbentuk pita (fasikel), karena itu disebut
keratitis fasikularis. Bila terdapat banyak keratitis fasilukaris, sehinngga membentuk
pita yang lebar, maka disebut panus fliktenularis.3
Keratitis flikten dapat berkembang secara primer dari kornea meskipun
seringkali biasanya menyebar ke kornea dari konjungtiva. Epitel yang ditempati oleh
flikten rusak, membentuk ulkus dangkal yang mungkin hilang tanpa pembentukan
jaringan parut. Flikten khas biasanya unilateral pada atau di dekat limbus, pada
konjungtiva bulbar atau kornea, dapat satu atau lebih, bulat, meninggi, abu-abu atau
kuning, hiperemis, terdapat nodul inflamasi dengan dikelilingi zona hiperemik
pembuluh darah. Flikten konjungtiva tidak menimbulkan jaringan parut. Jaringan
parut fibrovaskuler kornea bilateral limbus cenderung membesar ke bawah daripada
ke atas mungkin mengindikasikan flikten sebelumnya. Flikten yang melibatkan
kornea sering rekuren, dan migrasi sentripetal lesi inflamasi mungkin berkembang.
Kadangkala, beberapa inflamasi menimbulkan penipisan kornea dan jarang
menimbulkan perforasi.4
2.1.5 Klasifikasi
Secara klinis dibedakan menjadi 2, yaitu:3
a. Konjungtivitis flikten : tanda radang tidak jelas, hanya terbatas pada tempat
flikten, sekret hampir tidak ada.
b. Konjungtivitis kum flikten : tanda radang jelas, secret mucous, mukopurulen,
biasanya timbul karena infeksi sekunder pada konjungtivitis flikten.
2.1.6 Histopatologi2
Secara histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel
limfosit, makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak. Flikten adalah
infiltrasi sel-sel bulat kecil ke perivaskular dan subepitel setempat, yang diikuti oleh
sejumlah besar sel polimorfonuklear limfosit saat epitel di atasnya mengalami
nekrosis dan terkelupas.
Gambar 1. Keratokonjungtivitis fliktenularis. Perhatikan akumulasi limfosit padat di
limbus (panah) (× 115).
KESIMPULAN
1. Kesimpulan
1. Vaughan DG, Asbury T. 2014. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum edisi
17. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi IV, Cetakan I, Fakultas Kedokteran UI,
Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2011
3. Berson, FG. Ocular and Orbital Injuries. In: Basic Ophtalmology. 6th ed.
American Academy of Ophtalmology. 1993. p. 82-7.
4. Ringgati, Respati, Konjungtivitis flikten, diakses pada bulan April 2016 di
http://dokumen.tips/documents/konjungtivitis-flikten.html
5. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3, cetakan ke-3. Jakarta: FKUI;
2009. Hal 2-3,25,134-135
6. J. Rohatgi dan U. Dhaliwal. Phyctenular Eye Disease: A Reppraisal. Elsevier
Science Inc. 2000; 44-146-150
7. Arnold Sorsby The Aetiology of Phlyctenular Opthalmia. Pub Med Central
[online]. 2002.
8. Gerard J. Tortora dan Bryan H. Derrickson. Principles of Anatomy and
Physiology. Edisi ke-5 New York: Wiley;2005.
9. Ian R. Tizard. Immunology, an Introduction. Edisi ke-4. Orlando: Saunders;
1994. Hal 298-299,482-484
10. Betram G. Katzung. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi ke-10.
Singapura: McGraw-hill; 2007. Hal 870