Anda di halaman 1dari 195

BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI JURNAL

FAKULTAS KEDOKTERAN 10 MARET 2020


UNIVERSITAS PATTIMURA

INVESTIGATING THE ASSOCIATION OF REGIONAL ANESTHESIA


DURING LABOR WITH POSTPARTUM DEPRESSION

OLEH:
FARRA Y. PATTIPAWAE
2018-84-057

PEMBIMBING:
dr. ONY. ANGKEJAYA, Sp.An
dr. FAHMI. MARUAPEY, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI RSUD dr. M. HAULUSSY
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan jurnal dengan judul
“Investigating the association of regional anesthesia during labor with postpartum
depression”. Jurnal ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas
kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Bedah RSUD dr. M. Haulussy.
Penyusunan jurnal ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ony. Angkejaya, Sp.An dan dr. Fahmi.
Maruapey, Sp.An selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu,
pikiran, dan tenaga untuk membantu penulis dalam menyelesaikan jurnal ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan jurnal ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat
penulis harapkan demi perbaikan penulisan jurnal ini ke depannya. Semoga jurnal ini
dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua pihak yang membutuhkan.

Ambon, Maret 2020

Penulis
MENYELIDIKI HUBUNGAN ANESTESI REGIONAL SELAMA
PERSALINAN DENGAN DEPRESI POSTPARTUM

Abstrak

Pengantar : Depresi postpartum (PPD) adalah gangguan umum dan jenis depresi
klinis yang mempengaruhi ibu selama 4 minggu pertama setelah melahirkan.
Mempertimbangkan efek destruktif dari penyakit ini pada perilaku ibu, identifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi PPD dan menggunakan metode yang tepat dalam
persalinan normal adalah penting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan
hubungan antara anestesi regional selama persalinan dan kejadian wanita PPD dirujuk
ke rumah sakit yang berafiliasi dengan Universitas Ilmu Kedokteran Shahid
Beheshti.

Metodologi : Dalam penelitian ini, 200 wanita hamil dirujuk ke rumah sakit
Universitas Ilmu Kedokteran Shahid Beheshti selama 2015-2017 masuk dalam dua
kelompok yang sama, Grup R, administrasi RA dan Grup C, grup control tanpa RA
sesuai dengan keinginan mereka. Setiap kelompok terdiri dari 100 ibu melahirkan,
dan dua kelompok membandingkan kejadian PPD dan hubungan depresi dengan RA
selama persalinan.

Hasil : Berdasarkan data yang diperoleh, peserta dalam dua kelompok tidak berbeda
secara signifikan dalam hal umur, indeks masa tubuh (BMI), lamanya fase persalinan
dan depresi pada minggu pertama pasca persalinan. Namun, keparahan nyeri pada
fase berbeda-beda karena penggunaan anestesi untuk salah satu kelompok. Tidak ada
hubungan yang signifikan antara RA dan depresi yang diamati pada minggu pertama
setelah melahirkan. Namun, RA memiliki hubungan yang signikfikan dengan PPD
pada minggu ke 4, sehingga penggunaan RA mengurangi kejadian PPD pada minggu
ke-4 (p=0,066).
Kesimpulan : Kami menyimpulkan bahwa penggunaan anestesi regional (RA) tidak
memiliki efek yang signifikan pada depresi postpartum (PPD) pada minggu pertama,
tetapi mengurangi kejadian depresi postpartum pada minggu ke 4 setelah melahirkan.

PENDAHULUAN

Deprsi postpartum (PPD) adalah gangguan umum diantara wanita hamil dan dapat
menunjukkan tanda-tanda depresi (merasa kesepian, cemas, bingung, dan kurang
gerak) pada ibu selama 1-4 minggu setelah melahirkan. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita terutama mereka yang pertama kali hamil, Sebuah meta-analisis
pada tahun 1996 menunjukkan bahwa 10-15% ibu mengalami kondisi ini selama 12
bulan pertama kelahiran bayi mereka. Penelitian lain menunjukkan bahwa insidensi
penyakit lebih tinggi diantara wanita muda dan ibu yang memiliki riwayat stress dan
pelecehan seksual. Studi lain menunjukkan bahwa prevalensi gejala depresi yang
dilaporkan oleh ibu setelah melahirkan adalah sekitar 12% hingga 20,5%. Penyebab
tidak diketahui dengan pasti, dan berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa
banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian dan tingkat keparahan depresi ini.
Studi-studi ini telah menunjukkan bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi
kemungkinan timbulnya dan keparahan depresi adalah jumlah rasa sakit yang dialami
ibu selama persalinan. Di Iran, penelitian terbatas telah dilakukan untuk menguji
hubungan antara proses kelahiran dan anestesi regional (RA) setelah itu dengan
depresi. Penelitian Luar Negeri juga mempelajari dampak dari varibel seperti stress,
gangguan mental prenatal, kehamilan pertama dan masalah perkawinan pada PPD,
tetapi beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk menilai hubungan antara RA dm
PPD. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penggunaan RA selama persalinan
sebagai variabel yang mungkin mempengaruhi PPD pada wanita yang dirujuk ke
rumah sakit pendidikan Universitas Ilmu Kedokteran Shabid Beheshti selama 2015 -
2017 yang dilihat.
METODOLOGI

Penelitian ini adalah studi kohort prospektif yang mencakup 200 ibu melahirkan dari
Noolipar Singh, berdasarkan persalinan pervaginam yang dirujuk ke rumah sakit
pendidikan Universitas Ilmu Kedokteran Shahid Baheshti selama tahun 2015-2017.
Proses penelitian untuk ibu dijelaskann pada saat masuk dalam ruang persalinan, dan
berdasarkan keinginan mereka untuk memasukan kedalam kedua kelompok; Grup R-
dengan RA atau Grup C-tanpa RA. Dari semua pasien dalam penelitian ini diperoleh
persetujuan secara tertulis. Kriteria eksklusi meliputi persalinan sesar, multiparitas,
riwayat depresi sebelumnya, gangguan mood dan memiliki masalah neurologis
seperti epilepsy, riwayat merokok, anomaly embrio, kematian bayi dan lahir mati.
Data demografis, usia kehamilan, usia ibu, riwayat penyakit dan penggunaan
narkoba, merokok, atau alcohol diminta dan dimasukkan dalam kuesioner khusus.
Juga, informasi tentang durasi setiap fase melahirkan, total waktu melahirkan, skor
nyeri (intensitas nyeri) pada setiap fase berdasarkan VAS (0= tidak menyakitkan
sampai 10= Nyeri terburuk dan terparah) juga ditanyakan dan dicatat. Skor ini dicatat
di Grup C ketika pembukaan serviks ≥ 3 cm dan di grup R 10 hingga 30 menit setelah
RA. Anestesi dilakukan pada fase aktif persalinan (dilatasi 3-5 cm). setelah 7 hari dan
4 minggu PPD, berdasarkan Skala Postnatal Depresi Edinburgh (EPDS), kuesioner
dengan 10 item, dan hasilnya dicatat dalam kuesioner khusus untuk setiap ibu.
Kemudian data dimasukkan kedalam perangkat lunak SPSS versi 21 dan dianalisis.
Data kontinu dilaporkan sebagai jumlah rata-rata dan standar deviasi (Mean ± SD)
dan data diskrit dilaporkan sebagai frekuensi (jumlah atau persen). Untuk
membandingkan hasil sebelum dan setelah perawatan, uji berpasangan digunakan dan
kedua kelopok dibandingkan dengan uji Independent T. Untuk kelompok
perbandingan kuantitatif metode chi-square digunakan dan hubungan antara variable
diselidiki dengan uji regresi dan metode korelasi Pearson. Dalam penelitian ini α
dianggap kurang dari 0,05.
HASIL

Karakteristik Demografi dari data

Ringkasan informasi yang tersedia pada penelitian ini mengenai adanya pasien dalam
kelompok yang dibius dan tidak dibius disajikan pada Tabel 1. Seperti yang dapat
dilihat pada tabel ini, keparahan nyeri berkurang sacara signifikan setelah
menerapkan RA dan menurun dari 9,08 pada fase pertama persalinan menjadi 1,14
pada fase kedua persalinan. Oleh karena itu, jelas bahwa penggunaan RA akan
mengurangi rasa sakit pasien dan indeks ini memiliki perbedaan yang signifikan pada
kedua kelompok.

Hasil untuk variabel lain disajikan pada Tabel 2.

Tabel 3 menunjukkan bahwa anggota kedua kelompok dalam hal usia, indeks masa
tubuh (BMI), durasi fase pertama, kedua dan ketiga persalinan, tingkat depresi pada
minggu pertama, tingkat depresi pada minggu ke-4 dan keparahan nyeri pada fase
pertama persalinan sebelum RA pada tingkat kepercayaan 95%, tidak ada perbedaan
yang signifikan. Namun, keparahan nyeri fase 1 setelah anestesi, serta keparahan
nyeri pada fase 2 dan 3, berbeda secara signifikan anatara kedua kelompok. Karena
RA memiliki efek dramatis pada penghilang rasa sakit, jadi wajar bahwa setelah
anestesi, keparahan nyeri akan berbeda antara kedua kelompok.

Variabel sama dari usia, BMI dan durasi fase persalinan menunjukkan bahwa anggota
dari dua kelompok dipilih secara acak dan temuan penelitian dapat dikutip. Namun,
variabel depresi pada minggu ke-4 setelah melahirkan harus diperiksa lebih tepat
berdasarkan Skala Edinburgh Postnatal Depression (EPDS-28). Uji-t dalam uji rata-
rata untuk dua kelompok untuk variabel EPDS-28 adalah 847/1, yang mendekati 1,96
dan tingkat atau nilai p-value yang signifikan diperoleh 0,66. Bahkan, asumsi nol
pada persamaan makna kedua kelompok dalam variabel EPDS-28 (depresi pada
minggu ke-4 setelah melahirkan) dapat ditolak pada tingkat signifikan 93% dan lebih
rendah. Oleh Karena itu, dalam kasus tingkat signifikan 95% sebagai standar, dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat keparahan depresi
pada minggu ke-4 pada kedua kelompok.
Korelasi antara variabel penelitian

Untuk menyelidiki hubungan antara variabel yang berbeda dengan tingkat depresi
dalam minggu 1 dan minggu ke-4 setelah persalinan, korelasi pearson dapat
digunakan. Pertama, Grup C (dengan persalinan normal tanpa penggunaan epidural)
telah diselidiki dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 berisi beberapa data. Menurut tabel ini, Semua variabel memiliki korelasi
positif dan signifikan dengan depresi pada minggu ke-4 setelah persalinan. Koefisien
Kolerasi positif menunjukkan hubungan langsung antara variabel yang berbeda dan
ukuran koefisien korelasi menunjukkan tingkat keparahan pengaruh variabel-varibel
ini satu sama lain. Karena nilai koefisien korelasi selalu kurang dari 0,3, dapat
disimpulkan bahwa ada korelasi yang lemah antara variabel yang berbeda dan depresi
pada minggu ke-4 setelah persalinan. Di sisi lain, koefisien positif menunjukkan
bahwa bertambahnya usia, peningkatan BMI dan meningkatnya keparahan nyeri
menyebabkan peningkatan kejadian PPD pada minggu ke-4. Menariknya, usia dan
BMI memiliki efek signifikan dan positif pada jumlah depresi dalam minggu pertama
setelah melahirkan. Untuk alasan ini, dapat disimpulkan bahwa dengan tidak adanya
RA, peningkatan usia dan BMI akan meningkatkan depresi pada minggu pertama
(juga pada minggu ke-4) setelah melahirkan. Hubungan antara usia dan variabel BMI
dengan depresi didasarkan pada tabel 4 di grup C. Ada yang positif, signifikan dan
korelasi lemah antara variabel-variabel ini. Koefisien korelasi Pearson dan tingkat
kepercayaan yang terkait dengan kelompok anestesi yang disajikan pada tabel 4.
Tidak seperti kelompok tanpa anestesi, penggunaan metode anestesi untuk persalinan
normal tidak menyebabkan korelasi yang signifikan antara usia, BMI dan keparahan
pada fase pertama dan ketiga persalinan dengan depresi di minggu pertama dan ke-4
setelah melahirkan.

Tingkat keparahan nyeri pada fase pertama (setelah anestesi) dan kelahiran kedua
memiliki positif, kolerasi signifikasn dan keparahan yang buruk pda minggu pertama
dan ke-4 setelah melahirkan. Perlu dicatat bahwa koefisien korelasi pearson pada
Tabel 5 selalu kurang dari 0,267 dan hubungan antara berbagai variabel yang buruk.
Agregrasi hasil yang diperoleh dari penelitian kelompok yang berbeda menunjukkan
bahwa intensitas fase kedua memiliki hubungan positif dan bermakna dengan depresi
setelah minggu ke-4 persalinan. Namun, tidak ada hasil yang menentukan dalam
korelasi variabel lain dan oleh karena itu total sampel anggota pada tabel 5 telah
diperiksa untuk korelasi dan kebermaknaannya.

Hasil Tabel 5 menunjukkan bahwa ada positif dan korelasi signifikan antara BMI dan
PPD, tetapi hubungan ini sangat lemah dan koefisien korelasi pearson adalah 157/0
dan 167/0. Di sisi lain, keparahan nyeri pada fase kedua dan ketiga melahirkan tidak
memiliki korelasi yang signifikan dengan depresi pada minggu pertama setelah
melahirkan, tetapi sekali lagi ada hubungan yang lemah , positif dan signifikan antara
variabel-variabel ini dan depresi pada minggu ke-4 setelah melahirkan. Menggunakan
mean pain intensity (VAS) dan menguji korelasi variabel ini dengan depresi yang
akan memungkinkan kesimpulan yang lebih akurat (Tabel 6). Tabel 7 menunjukkan
bahwa keparahan nyeri dengan depresi tidak berkorelasi pada minggu pertama setelah
melahirkan, tetapi dengan depresi pada minggu ke-4 setelah melahirkan memiliki
hubungan yang lemah dan positif. Koefisien korelasi Pearson antara mean pain
severity (VAS) dan depresi pada minggu ke-4 postpartum adalah 0,2 dan koefisien ini
bahkan signifikan pada tingkat kepercayaan 99%. Tidak ada korelasi yang signifikan
antara usia dan PPD, korelasi positif antara BMI dan depresi pada kedua periode dan
juga korelasi positif yang signifikan antara tingkat keparahan nyeri rata-rata dan
depresi pada minggu ke-4 setelah melahirkan adalah salah satu temuan dari penelitian
ini.
Table .5: Correlation beW’een different ›’ariab1es and PPD of total sample
members

Age Correlator coefficient 077/0 079/0


be signifioanoe level 2B2/0 267/0
BMI Correlator coefficient 167/0 57/0
be signifioanoe level 018/0 027/0
The intensiy of the first phase pain Correlaton coefficient 031/0 — 021/0
{VAS1)
be signifisarse level 658/0 764/0

be intensity of the second phase Correlator coefficient 070/0 91/0


pain
be signifioanoe level 324/0 007/0
{VAS2)
Severity of pain in the lhird phase Correlator coefficient 112/0 43/0
(VAS3)
be signifisarse level 115/0 043/0
Severity of pain after anesthesia Correlaton coefficient 069/0 191/0
{VAS1B)
be significance level 334/0 007/0

Table 6: Correlation between severi of pain and PPD

Meanpain intensrryCorrelation coefficient 080/0 200/0


{VAS) Jhe sig 262/0 005/0

Table 7: Comparison of PPD in different groups

Depression in the Jiz1 week (EPDS-7) 176


Depression in the 4th Week (EPDS-28) 16%
Tinjau Hipotesis Utama:

Tabel 2. Menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat depresi
pada minggu ke-4 setelah melahirkan antara kelompok anestesi dan tanpa anestesi
pada tingkat kepercayaan 95% dan tidak ada perbedaan yang signifikan pada tingkar
kepercayaan 95%. Tabel 7 menunjukkan jumlah orang dengan PPD dalam dua
kelompok dan diamati bahwa 17 dan 16% dari anggota kelompok memiliki gejala
depresi tanpa anestesi pada minggu pertama dan ke-4 setelah melahirkan. Disisi lain,
15% dan 7% ibu di grup R mengalami depresi pada pada minggu 1 dan ke-4
postpartum. Meskipun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah orang yang
mengalami depresi pada minggu pertama antara kedua kelompok tersebut, tetapi
perbandingan angka 16 dan 7% mengingat kesamaan jumlah anggota kelompok,
menunjukkan bahwa tingkat depresi pada minggu ke-4 postpartum antara kelompok
anestesi dan tanpa anestesi terdapat perbedaan.

Perbandingan gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang


signifikan antara jumlah ibu dengan PPD pada minggu ke-4 melahirkan untuk kedua
kelompok. Oleh karena itu, pada tingkat kepercayaan 90%, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan RA akan memiliki efek signifikan pada pengurangan tingkat depresi
pada minggu ke-4 setelah melahirkan, tetapi efek ini buruk dan kesimpulan yang
tepat tentang hal itu akan berkaitan dengan peningkatan jumlah sampel. Gambar 1
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara usia dan masa tubuh pada
kedua kelompok dan penelitian statistic telah mengkonfirmasi bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok. Tetapi pada gambar 2, dimana
didasarkan pada data di tabel 8, diamati bahwa kelompok yang menggunakan anestesi
secara signifikan memiliki frekuensi depresi yang lebih rendah pada minggu 1 dan
ke-4 postpartum (p=0,066).
29
27.12
Years& Kg/M2 27

25

23

21

19

17
Age BMI
■ With Ane.sthe.via ■ Without Anesthesia

Figure 1: Comparison of age and BMI of different groups

18 17
Percent

14
12

6
4

0
kPDS7

■ With Anesthesia ■ Without Anesthesia

F”igure 2: Comparison of the rate of depression in the first and 4th weeks
after delivery
DISKUSI

Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki hubungan antara RA selama persalinan


dan kemungkinan PPD. Informasi penting, misalnya usia ibu, BMI, durasi fase
melahirkan, intensitas nyeri dalam fase yang berbeda, dan PPD dikumpulkan sebagai
variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia ibu tidak memiliki hubungan
yang signifikan dengan tingkat PPD, tetapi BMI memiliki korelasi positif dengan
tingkat depresi baik dalam interval satu minggu dan minggu ke-4 setelah melahirkan.
Disisi lain penggunaan RA tidak memiliki efek signifikan pada tingkat depresi di
minggu pertama setelah melahirkan. Tetapi, ada hubungan yang bermakna dan lemah
antara RA dan depresi dalam minggu ke-4 postpartum. Berdasarkan data dari
penelitian ini, 17% ibu yang mengalami persalinan normal dan melahirkan tanpa
anestesi mengalami depresi pada minggu pertama setelah melahirkan dan 16% ibu
menunjukkan gejala depresi pada minggu ke-4 postpartum. Dari ibu yang memilih
RA, 15% dari minggu postpartum mengalami depresi dan hanya 7% dari mereka
memiliki gejala depresi pada minggu ke-4 setelah melahirkan. Uji paritas rata-rata
dari dua kelompok dan koefisien korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara depresi jangka pendek setelah melahirkan regional
dan RA memiliki korelasi negative. Kami mengamati bahwa RA tidak memiliki efek
negative pada PPD dan ada hubungan yang signifikan antara anestesi jangka panjang
(minggu ke-4 postpartum) dan penurunan depresi. Untuk mendapatkan hasil yang
lebih akurat, disarankan agar studi prospektif dilakukan untuk mengukur depresi.
Studi eksternal telah menunjukkan bahwa meningkatkan interval antara melahirkan
dapat mengurangi efek RA dan tidak ada hubungan yang signifikan antara anestesi
dan depresi dalam jangka panjang. Selain itu, regresi cross-sectional dapat digunakan
untuk secara akurat menentukan bagaimana pengaruh variabel terhadap satu sama
lain. Menggunakan variabel independen dan kontrol dalam regresi cross-sectional,
efek RA pada depresi ditentukan secara kuantitatif dan efek variabel seperti usia dan
BMI dapat lebih akurat dihitung. Karena sekitar 15% pasien dalam penelitian ini
menderita PPD, peningkatan jumlah sampel juga harus dianggap sebagai cara yang
paling efektif untuk meningkatkan hasil yang akurat. Dalam penelitian ini, 16 pasien
tanpa anestesi dan 7 pasien dalam kelompok anestesi menderita depresi pada periode
empat bulan postpartum dan jelas bahwa jumlah kecil seperti 16 dan 7 tidak
sebanding secara statistic dan tidak dapat dibandingkan secara meyakinkan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian kami, kami menyimpulkan bahwa penggunaan anestesi


regional tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap frekuensi depresi
postpartum pada minggu pertma, tetapi mengurangi frekuensinya pada minggu ke-4
setelah melahirkan secara signifikan. Kami merekomendasikan penelitian prospektif,
multi pusat dengan ukuran sampel yang lebih besar untuk secara akurat
mendokumentasikan efek dalam kerangka waktu setelah melahirkan yang berbeda.
ANAESTHESIA, PAIN & INTENSIVE CARE
www.apicareonline.com
ORIGINAL ARTICLE

Investigating the association of


regional anesthesia during labor with
postpartum depression
Esmat Barooti1, Bahman Malek2, Safoora Honarmand3,
Mohammadreza Moshari2, Seyed Alshohadaei SM4

ABSTRACT
1
Department of Obstetrics &
Gynecology, Faculty of Introduction: Postpartum depression (PPD) is a common disorder and a type of
Medicine, Shahid Beheshti clinical depression that affects mothers during the first 4 weeks after childbirth.
Medical Sciences University, Considering the destructive effects of this disease on mothers' behavior,
Tehran, (Iran) identifying the factors affecting PPDand using proper methods in normal delivery
2
Anesthesiology Research is important. The aim of this study was to determine the relationship between
Center, Shahid Beheshti
regional anesthesia (RA) during labor and the incidence of PPDin women referred to
University of Medical
Sciences, Tehran, (Iran) hospitals affiliated to Shahid Beheshti University of Medical Sciences.
3
Specialist, Department of
Obstetrics & Gynecology,
Methodology: In this study, 200 pregnant women referred to hospitals of
Taleghani Hospital, Tehran, Shahid Beheshti University of Medical Sciences during 2015 to 2017 entered into
(Iran) 4Department of two equal groups, Group R, administered RA, and Group C; control group without
Anesthesiology & Critical RA according to their desire. Each group consisted of 100 parturients, and the
Care, Taleghani Hospital, two groups were compared for the incidence of PPD and the association of
Shahid Beheshti University of depression with RA during labor.
Medical Sciences, Tehran,
(Iran) Results: Based on the obtained data, the participants in the two groups did not
differ significantly in terms of age, body mass index (BMI), duration of delivery
Correspondence:
Mohammadreza Moshari
phases and depression in the first week of postpartum. However, the severity of
Anesthesiology Dept, Taleghani pain in different phases of delivery was different due to the use of anesthetic for
Hospital, Velenjak, Tehran, (Iran) one of the groups. No significant relationship between RA and depression was
E-mail: Rmoshari@sbmu.ac.ir; observed in the first week after childbirth. However, RA has a significant
Phone: +98912 117 2540 relationship with PPD in the 4th week, so that the use of RA reduces the
Received: 30 May 2018, incidence of PPD in the 4th week (p = 0.066).
Reviewed: 23 August, 26
October 2018, 2 May, 4 May, Conclusion: We conclude that the use of regional anesthesia will not have a
16 June, 14 September 2019; significant effect on postpartum depression in the first week, but it reduces the
Revised: 14 October 2018,
18
incidence of postpartum depression in the 4th week after childbirth.
March, 10 June 2019;
Key words: Regional anesthesia; Postpartum depression; Pain intensity; Labor;
Accepted: 14 September 2019
Labor pain
Citation: Barooti E, Malek B, Honarmand S, Moshari M, Alshohadaei
SMS. Investigating the association of regional anesthesia during labor
with postpartum depression. Anaesth pain & intensive care
2019;23(3):353-359.
DOI: https://doi.org/10.35975/apic.v23i4.1167
INTRODUCTION A meta-analysis in 1996 showed that 10-15% of
mothers experienced this condition during the first
Postpartum depression (PPD) is a common 12 months of their baby's birth.1,2 Other studies
disorder among pregnant women and may have shown that the incidence of illness is higher
indicate signs of depression (feeling lonely, among young women and mothers who have a
anxious, confused and lack of drive) in mothers history of stress or sexual abuse.3,4 Another study
during the 1st to 4th weeks after delivery. The showed that the prevalence of depressive
disease is more common in women especially symptoms reported by mothers after delivery was
those who first got pregnant. about 12% to 20.5%.5,6 The

ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 2019 353
regional anesthesia and postpartum depression

cause of the disease is not well-known, and various


reported as frequency (number or percent). In
studies have shown that many factors can affect its
order to compare the results before and after the
occurrence. Studies have shown that the process of treatment, Paired test was used and the two groups
delivery is likely to affect the incidence and were compared by Independent T Test. For groups
severity of this depression.7-10 These studies have quantitative comparison of chi-square method was
pointed out that one of the major factors used and the relationship between variables was
influencing the likelihood of the onset and severity investigated with regression tests and Pearson
of depression is the amount of pain the mother correlation method. In this study, the significance
experiences during childbirth. In Iran, limited and level of α was considered to be less than 0.05.
limited studies have been conducted to examine
the relationship between the process of delivery
and regional anesthesia (RA) with depression RESULTS
afterwards.11 Foreign studies have also studied the
effects of variables such as stress, prenatal mental Demographic characteristics of the data
disorder, first pregnancy and marital problems on A summary of the information provided by this
PPD, but few studies have been done on the study regarding the presence of patients in
relationship between RA and PPD. Therefore, in anesthetized and non-anesthetized groups is
this study, the use of RA during labor as a possible presented in Table 1. As can be seen in this table,
variable affecting PPD in women referred to the severity of pain decreased significantly after
educational hospitals of Shahid Beheshti applying RA and decreased from
University of Medical Sciences during 2015 to 2017 9.08 in the first phase of labor to 1.14 in the second
was investigated. phase of labor. Therefore, it is clear that the use of
RA will reduce the pain of the patient and this
METHODOLOGY index has a significant difference in the two
groups.
This study was a prospective cohort study which The results for the other variables are presented in
included 200 parturients of Noolipar Singh, Table 2.
candidates for vaginal delivery referred to
educational hospitals of Shahid Beheshti Table 3 shows that the members of the two groups
University of Medical Sciences during the years in terms of age, body mass index (BMI), duration
2015-2017. The study process for mothers was of first, second and third phases of labor, the
described at the time of admission in the labor degree of depression in the 1st week, the degree of
room, and patients with their desire to enter each depression in the 4th week and the severity of pain
of the two groups; Group R - with RA or Group C - in the 1st phase of labor before RA at 95%
without RA. From all patients written consent was confidence level, there is no significant difference.
obtained to participate in the study. Exclusion However, the severity of the 1st phase pain after
criteria included cesarean delivery, multi-parity, anesthesia, as well as the severity of pain in the
history of previous depression, mood impairment 2nd and 3rd phases, were significantly different
between the two groups. Since RA has a dramatic
and having neurological problems such as
effect on pain relief, it is natural that after
epilepsy, history of smoking, anomalies of an
anesthesia, the severity of the pain will be different
embryo, death of the infant and stillbirth. The
between the two groups.
demographic data, gestational age, maternal age,
history of diseases and drug use, smoking or The identical variables of age, BMI and duration
alcohol were asked and entered in a special of delivery phases indicate that the members of the
questionnaire. Also, information on the duration two groups are randomly selected and the research
of each phase of delivery, total delivery time, pain findings can be cited. However, the variable
scores (pain intensity) in each phase based on VAS depression in the 4th postnatal week should be
(0 = painless to 10 = the worst and most severe examined more precisely on Edinburgh Postnatal
pain experience) was also asked and recorded. Depression Scale (EPDS-28). The t-test in the
This scoring was noted in Group C when cervix ≥ 3 averaging test for the two groups for the EPDS-28
cm and in Group R 10 to 30 min after RA. variable is 847/1, which is close to 1.96, and a
Anesthesia is performed in the active phase of significant level or p-value of 0.66 is obtained. In
labor (dilatation 3 to 5 cm). After 7 days and 4 fact, the assumption of zero on the equality of the
weeks PPD, based on the Edinburgh Postnatal two groups' meanings in the EPDS-28 variable
Depression Scale (EPDS), a 10-item questionnaire, (depression in the 4th week after delivery) can be
and its results were recorded in a special rejected at a significant level of 93% and lower.
questionnaire for each mother. Then the data was Therefore, in case of a 95% significance level as a
entered into SPSS software version 21 and standard, it can be concluded that there is a
analyzed. The continuous data was reported as the significant difference between the severity of
sum of mean and standard deviation (Mean depression in the 4th week in both groups.
± Standard Deviation) and the discrete data were Correlation between research variables:
354 ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 2019
original article

Table 1: Summary of features of study variables To investigate the


relationship between
Variable name
Unit of
Group C Group R different variables with
measurement depression level in
Age Years 25/5 12/27 11/5 01/26 the 1st and 4th weeks
BMI Kg/m2 64/4 99/27 42/4 50/27
after delivery, Pearson
correlation coefficient can
Duration of the first delivery phase (F1) Time 68/3 04/11 13/3 30/11 be used. First, the Group
Duration of the second delivery phase (F2) Time 77/17 10/42 84/21 00/45 C (with normal delivery
The term of the third delivery phase (F3) Min 20/3 15/7 44/3 40/7 without epidural use) has
The intensity of the first phase pain (VAS1) 0-10 98/0 26/9 37/1 08/9 been investigated and the
Severity of pain after anesthesia (VAS1B) 0-10 98/0 26/9 90/1 15/1
results are presented in
Table 3.
The intensity of the second phase pain 0-10 93/0 45/9 90/1 14/1
(VAS2) Table 3 contains several
Severity of pain in the third phase (VAS3) 0-10 38/0 17/0 22/0 05/0 data. According to this
Average pain intensity of all three phases (VAS) 0-10 71/0 29/6 34/1 85/2 table, all variables have a
positive and significant
Depression in the first week (EPDS7) 0-20 99/1 86/9 24/2 89/9
correlation with
Depression in the 4th week (EPDS28) 0-20 37/2 78/9 14/2 19/9 depression in the 4th
week after delivery.
Table 2: Differences of study variables in two groups Positive correlation
coefficients indicate the
Reject direct relationship between
Variable name p-value t or Result different variables; and
not the size of the correlation
reject coefficient indicates the
Age 0.131. 515/1 H0 No difference severity of the effect of
BMI 446.0 763/0 H0 No difference
these variables on each
other. Since the values of
Duration of the first delivery phase (F1) 589/0 541/0 - H0 No difference the correlation coefficient
Duration of the second delivery phase (F2) 304/0 030/1 - H0 No difference are always less than 0.3,
The term of the third delivery phase (F3) 595/0 532/0 - H0 No difference it can be concluded that
Intensity of the first phase pain (VAS1) 286/0 069/1 H0 No difference there is a weak correlation
between different variables
Severity of pain after anesthesia (VAS1B) 000./0 955/37 H1 Difference
and depression in the 4th
Intensity of the second phase pain (VAS2) 000/0 293/39 H1 Difference week after delivery. On the
Severity of pain in the third phase (VAS3) 007/0 749/2 H1 Difference other hand, the positive
Depression in the first week (EPDS7) 920/0 100/0 - H0 No difference coefficients indicate that
Depression in the 4th week (EPDS28) 066/0 847/1 H0 No difference increasing age, increasing
BMI, and increasing the
severity of pain cause an
Table 3: Correlation between different variables and PPD increase in the incidence
without anesthesia of PPD in the 4th week.
Interestingly, age and
Variable Description EPDS-7 EPDS-28 BMI has a significant
and positive effect on the
Correlation coefficient 251/0 211/0 amount of depression in
Age
The significance level 012/0 035/0 the first week after
Correlation coefficient 208/0 209/0 childbirth. For this
BMI reason, it can be
The significance level 038/0 037/0
concluded that in the
Correlation coefficient 133/0 229/0
The intensity of the first phase pain (VAS1) absence of RA, the
The significance level 188/0 022/0 increase in age and BMI
Correlation coefficient 166/0 253/0 will increase the rate of
The intensity of the second phase pain (VAS2) depression in the first
The significance level 098/0 011/0 week (also the 4th week)
after delivery. The
Correlation coefficient 153/0 200/0
Severity of pain in the third phase (VAS3) relationship between age
The significance level 129/0 046/0 and BMI variables with
depression was based on
Table 4 in the Group
C. There is a positive,
ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 2019 355
regional anesthesia and postpartum depression

significant and weak correlation


Table 4: Correlation between different variables and PPD with between these variables.
anesthesia Pearson correlation coefficients
and confidence levels related
Variable Description EPDS-7 EPDS-28 to the anesthetic group are
Age Correlation coefficient 080/0 - 100/0 - presented in Table 4. Unlike
the group without anesthesia,
The significance level 427/0 323/0 the use of anesthesia method
BMI Correlation coefficient 131/0 084/0 for normal delivery causes no
The significance level 194/0 405/0 significant correlation
between age, BMI and severity
Intensity of the 1st phase pain Correlation coefficient 136/0 - 160/0 -
(VAS1) of first and third phase of
The significance level 178/0 111/0 delivery with depression in
Intensity of the 2nd phase pain Correlation coefficient 267/0 204/0 the first and 4th weeks after
(VAS2)
The significance level 007/0 041/0 delivery.
Severity of pain in the 3rd phase Correlation coefficient 073/0 020/0 - The severity of pain in the first
(VAS3) The significance level 469/0 840/0 phases (after anesthesia) and
the second birth have a
Severity of pain after anesthesia Correlation coefficient 265/0 204/0 positive, significant and poor
(VAS1B) The significance level 008/0 042/0 correlation with severity in the
first and 4th weeks after
Table 5: Correlation between different variables and PPD of total sample delivery. It should be noted
that the Pearson correlation
members coefficient in Table 5 is always
less than
Variable Description EPDS-7 EPDS-28
0.267 and the relationship
Age Correlation coefficient 077/0 079/0 between the various variables
The significance level 282/0 267/0 is poor. The aggregation of
the results obtained from
BMI Correlation coefficient 167/0 157/0
the study of different groups
The significance level 018/0 027/0 indicates that the intensity of
The intensity of the first phase pain Correlation coefficient 031/0 - 021/0 the second phase has a
(VAS1) positive and meaningful
The significance level 658/0 764/0
relationship with depression
The intensity of the second phase Correlation coefficient 070/0 191/0 after the 4th week of labor.
pain (VAS2)
The significance level 324/0 007/0 However, there is no decisive
result in the correlation of
Severity of pain in the third phase Correlation coefficient 112/0 143/0 other variables and therefore
(VAS3) the total sample members in
The significance level 115/0 043/0
Table 5 have been examined
Severity of pain after anesthesia Correlation coefficient 069/0 191/0 for their correlation and
(VAS1B) meaningfulness.
The significance level 334/0 007/0
The results of Table 5 show
Table 6: Correlation between severity of pain and PPD that there is a positive and
significant correlation between
Variable Description EPDS7 EPDS28 BMI and PPD, but this
relationship is very weak and
Mean pain intensity Correlation coefficient 080/0 200/0
(VAS)
Pearson correlation coefficient
The significance level 262/0 005/0 is between 157/0 and 167/0. On
the other hand, the severity of
Table 7: Comparison of PPD in different groups pain in the second and third
phases of delivery has no
Variable Group C Group R significant correlation with
Depression in the first week (EPDS- 17% 15%
depression in the first week
7) after delivery, but again there
Depression in the 4th Week (EPDS- 16% 7%
is a weak, positive and
28) significant relationship
between these variables and
depression in the 4th week
after delivery. Using the mean
pain intensity (VAS) and
examining the correlation of
this variable
356 ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 2019
original article

with depression will allow for a


more accurate conclusion
(Table 6). Table 7 shows that the
severity of pain with
depression was not correlated
in the first week after delivery,
but with depression in the 4th
week after delivery has a weak
and positive relationship.
Pearson correlation coefficient
between mean pain severity
(VAS) and depression in the
4th week postpartum is 0.2 and
this coefficient is even
significant at 99% confidence
level. There is no significant
correlation between age and
PPD, the positive correlation
between BMI and depression in
both periods and also a
significant positive correlation Figure 1: Comparison of age and BMI of different groups
between mean pain severity and
depression in the 4th week after
childbirth are among the
findings of this section of the
study.

Review the main hypothesis: Figure 2: Comparison of the rate of depression in the first and 4th weeks
after delivery
Table 2 showed that there was
a significant difference in the but this effect is poor and the exact conclusion about
level of depression in the 4th
week after delivery between the
anesthesia groups and without
anesthesia at 95% confidence
level and there was no
significant difference in the
95% confidence level. Table 7
shows the number of people
with PPD in the two groups
and it is observed that
17 and 16% of the members
of the group had symptoms of
depression without anesthesia
in the first and 4th weeks after
delivery. On the other hand,
15% and 7% mothers in Group R
were depressed in 1st and 4th week pp respectively. comparison of the numbers of 16 and 7%, given the
Although, there is no significant difference similarity of the number of members of the groups,
between the number of people with depression in indicates that the rate of depression in the 4th week
the first week between the two groups, but the postpartum among the anesthesia groups and
without anesthesia there is a difference. it will be related to an increase in the number of
samples. Figure 1 shows that there is no significant
Comparison of Figures 1 and 2 shows that there is
difference between age and body mass in the two
a significant difference between the number of
groups and statistical studies have confirmed that
mothers with PPD in the 4th week in two groups.
Therefore, at 90% confidence level, it can be there is no significant difference between the two
concluded that the use of RA will have a significant groups. But in Figure 2, which is based on the data
effect on reducing the rate of depression in the 4th in Table 8, it is observed that the anesthesia group
week after delivery, has significantly a lower frequency of depression in
both 1st week and 4th weeks postpartum (p =
0.066).

DISCUSSION
This research was conducted to investigate the
relationship between RA during labor and the
probability of PPD. Essential information, e.g.

ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 2019 357
regional anesthesia and postpartum depression

maternal age, BMI, duration of delivery phases,


pain intensity in different phases, and PPD were
collected as variables. The results indicate that the and the effect of variables such as age and BMI
mother's age does not have a significant can be more accurately calculated. As about 15% of
relationship with the rate of PPD, but BMI has a patients in the study suffered PPD, an increase in
positive correlation with the rate of depression in the number of sample size should also be
both the intervals of one week and four weeks after considered as the most effective way to increase
delivery. On the other hand, the use of RA does not the accuracy of the results. In this study, 16
have a significant effect on the rate of depression patients without anesthesia and 7 patients in the
in one week after delivery. But there is a anesthesia group suffered from depression in the
meaningful and weak relationship between RA and four months postpartum period and is clear that
depression in the four weeks postpartum. Based small numbers such as 16 and 7 are not statistically
on data from this study, 17% of mothers who comparable and cannot be conclusively compared.
experienced normal and non-anesthetic delivery
experienced depression in the first week after CONCLUSION
delivery and 16% of mothers showed depression
symptoms in the 4th week postpartum. Of the
Based upon the results of our study, we conclude
mothers who chose a RA, 15% of the postpartum
that the use of regional anesthesia does not have a
week had depression and only 7% of them had
significant effect on the frequency of postpartum
symptoms of depression in the 4th week after
depression in the first week, but it does reduce
delivery. The mean parity tests of two groups and
its frequency in the 4th week after childbirth
Pearson correlation coefficients indicate that there
is no meaningful relation between short-term significantly. We recommend prospective, multi-
depression after regional delivery and RA.6-8 But center studies with larger sample sizes to
the likelihood of a 4-week PPD with RA has a accurately document the effect in different
negative correlation. We observed that RA has no postnatal time frames.
negative effect on PPD and there is a significant Conflict of interest: None of the author has declared any
relationship between long-term (four weeks conflict of interest and no external funding was involved in
postpartum) anesthesia and reduced depression.7-10 the study.
In order to obtain more accurate results, it is
suggested that prospective studies be conducted to Authors’ contributions:
measure depression. External studies have shown
EB: Concept, conduction of the study work and
that increasing the interval between deliveries can
manuscript editing
reduce the effect of RA and there is no significant
relationship between anesthesia and depression in BM: Perform sample analysis process
the long run.7-10 In addition, cross-sectional
regression can be used to accurately determine SH: Planning and participation in the implementation of the
how effect of variables on each other. Using process.
independent variables and controls in a cross- MM: Responsible for conducting research
sectional regression, the effect of RA on
depression is quantitatively determined SASM: participation in the implementation of the process

358 ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER


2019
original article

REFERENCES 1. Amer Wa 5-
ica lbu 10.
n rg [Pu
Psy V, bM
chi Ch ed]
atr ab DOI
ic rol :
Ass H. 10.
oci Ass 101
ati oci 6/j
on. ati .
Dia on enc
gno be ep.
stic tw 200
and ee 6.1
Sta n 0.0
tist th 02
ical e 3. Cent
Ma int er
nua en for
l of sit Dis
Me y eas
nta of e
l chi Con
Dis ldb trol
ord irt and
ers h Prev
. pai enti
4th n on.
ed. an Prev
Wa d alen
shi th ce
ngt e of
on int self-
DC: en repo
Am sit rted
eri y pos
can of tpa
Psy po rtu
chi stp m
atr art dep
ic um ress
Pre blu ive
ss, es. sym
200 En pto
0. ce ms-
2. Boud ph 17
ou ale sta
M, . tes
Tei 20 ,
sse 07; 200
dre 33: 4-
F, 80 200

ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 359


2019
5 e sed 0
A
. d S risk 7
u
] N of 5. Eisen
g
M . pos ach
;
M [ tpa JC,
1
W F E rtu Pan
1
R r p m PH,
9
e i dep Smi
(
e d ress ley
M 2
u ion: R,
o )
r a Lav
r F :
a pro and'
b u 3
l spe ho
l 8
l ctiv mm
M l 3
a e e P,
o -
b co Lan
r T 9
o hor dau
t e 2
r t R,
a x .
stu Hou
l t [
a dy. le
] P
n An TT.
u
W 4. D a est Sev
i b
k l h erit
n M
l g An y of
g e
y e alg acu
d
s . te
]
R T i 201 pain
D
e , a 4 afte
O
p r
I:
. W i chil
1
a s dbir
0
2 n th,
.
0 g a but
1
0 s not
2
8 D s typ
1
; X o e
3
5 , c of
/
7 i deli
A
( a ver
Q N
1 t y,
u E
4 e pre
.
) d dic
Y 0
: ts
, 0
3 w per
0
6 i sist
0
C t ent
1 0
h h pai
- 0
e n
6 0
n a and
. 0
pos
0
Q d tpa
[ 0
, e rtu
P 0
c m
u 0
Z r dep
b 0
h e res
M 1
u a sio
ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 359
2019
n p i res /a t
. a e sed :1 Gyn
i t in 02 eco
P n z the 11 l
a . mo 10 Sca
i 2 P nth 10 nd.
n 0 M s 03 200
. 0 . aft 39 4
8 er7. Hiltu Mar
. del ne 1;8
2 C
0 ive n 3(3
0 o
7 ry: P, ):2
0 r
. res Ra 57-
8 r
0 ult ud 61.
; e
1 s ask
1 l
1 fro osk 
4 a 
6. G m i T,
0 t
(
r
e
the Eb 
o Pre eli 
1 s 
s gna ng
)
s ncy H,
: o Ris Mo
8 f
K k ila
7
H Ass ne
-
s ess n
,
e me I.
9 l nt Do
4 W
f Mo es
. e
- nit pai
l
ori n
l
[ r ng rel
s
P e Sys ief
u p te du
b C
o m. rin
M S
r Ma g
e ,
t ter del
d s n ive
] R Chi ry
a ld dec
o
D d Hea rea
f
O i lth se
I g J. the
b
: a 200 risk
e
n 2;6 of
i
- (4): pos
1 n
G 247 tna
0 g
a - tal
.
r 53. de
1
c v [Pu pr
0
i e bM ess
1
a r ed] ion
6
y DO ?
/
j A I: Ac
, d 10. ta
.
e 10 Ob
p 23 ste
D
ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 359
2019
[ In: de t 2 lt
P Wa pre m - h
u ll ssio o 8 O
b
PD n-a t . rg
M
e , me h [ a
d Me ta- e P ni
] lza ana r u z
ck lysi s b a
D R, s. f M ti
O (ed Int o e o
I
s). Rev ll d n.
:
Te Psy o ] In
1 xt chi w D te
0 bo atr e O rn
. ok y. d I at
1 of 199 f : io
1 Pai 6;8 o 1 n
1
1 n. :37 u 0 al
/ Edi - r . St
j nb 54. y 1 at
. urg 10. Sch e 0 is
0 h: mi a 1 ti
0
Ch dt rs 6 c
0
1 ur RM p / al
- chi , o j Cl
6 ll Wi st . as
3 Liv em p j si
4 ing ann a a fi
9 sto CM rt d c
.
ne , u o at
2
0 ; Ric m h io
0 19 ker . e n
4 99 t J a of
. . VI, A l Di
9.0 O'Ha Smi d t s
3
0 ra th o h e
2 M EO. l . a
. W, Mo e 2 s
x Sw der s 0 e
8. Melza ai ate c 0 s
ck n to H 5 a
R, AM sev e . n
Kat . ere al 0 d
z J. Ra de t 5 R
Pai te pre h . el
n s ssiv . 0 a
ma an e 2 2 t
nag d sy 0 3 e
em ris mp 0 11. W d
ent k to 6 o H
in of ms ; r e
per po am 3 l al
son st ong 8 d t
s in pa ado : H h
pai rtu les 7 e Pr
n. m cen 1 a o
ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 359
2019
ble
ms
,
Te
nth
Re
visi
on
(IC
D-
10)
.
He
rnd
on,
VA:
Sty
lus
Pu
blis
hin
g,
Llc
,;
20
07.

ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 359


2019
JURNAL

INVESTIGATING THE ASSOCIATION OF


REGIONAL ANESTHESIA DURING LABOR
WITH POSTPARTUM DEPRESSION

FARRA Y. PATTIPAWAE
2018-84-057
Pembimbing:
dr. Fahmi Maruapey, Sp.An Company

Dr. Ony W. Ankejaya, Sp.An LOGO


MENYELIDIKI HUBUNGAN ANESTESI REGIONAL
SELAMA PERSALINAN DENGAN DEPRESI
POSTPARTUM

ABSTRAK

Depresi postpartum
(PPD)

Gangguan umum dan jenis depresi


klinis yang mempengaruhi ibu
selama 4 minggu pertama setelah melahirkan

Tujuan → Untuk
menentukan hubungan antara
anestesi regional
selama persalinan dan kejadian wanita PPD yang
dirujuk ke RS pendidikan
Universitas Ilmu Kedokteran Shahid Beheshti.
COMPANY LOGO
MENYELIDIKI HUBUNGAN ANESTESI REGIONAL
SELAMA PERSALINAN DENGAN DEPRESI
POSTPARTUM

ABSTRAK

• 200 wanita hamil dirujuk ke RS


Universitas Ilmu Kedokteran Shahid
Beheshti selama 2015-2017 masuk
dalam dua kelompok yang sama,
Metodologi Grup R, dengan RA dan Grup C,
grup control tanpa RA
• Kedua kelompok membandingkan
kejadian PPD dan hubungan
depresi dengan RA selama
persalinan
COMPANY LOGO
MENYELIDIKI HUBUNGAN ANESTESI REGIONAL
SELAMA PERSALINAN DENGAN DEPRESI
POSTPARTUM

ABSTRAK

Keparahan nyeri pada Tidak ada hubungan


fase berbeda-beda yang signifikan antara
→ karena RA dan depresi yang
penggunaan diamati pada minggu
anestesi untuk salah pertama setelah
satu kelompok melahirkan.

Peserta dalam dua


kelompok tidak
berbeda secara
signifikan dalam hal RA memiliki hubungan
umur, indeks masa yang signifikan
tubuh (BMI), lamanya dengan PPD pada
fase persalinan dan minggu ke-4

HASIL
depresi pada minggu
pertama postpartum
COMPANY LOGO
MENYELIDIKI HUBUNGAN ANESTESI REGIONAL
SELAMA PERSALINAN DENGAN DEPRESI
POSTPARTUM

ABSTRAK

Kesimpulan

Penggunaan anestesi regional (RA)


tidak memiliki efek yang signifikan pada
depresi postpartum (PPD) pada minggu pertama,
tetapi mengurangi kejadian depresi postpartum
pada minggu ke 4 setelah melahirkan.

COMPANY LOGO
www.themegallery.com

PENDAHULUAN

Depresi Postpartum (PPD)


→ Gangguan umum pada
wanita hamil. Yang Penyakit ini sering terjadi
menunjukkan tanda-tanda pada wanita terutama
depresi (Merasa kesepian, mereka yang pertama kali
cemas, bingung) selama 1- hamil.
4 minggu setelah
melahirkan.

COMPANY LOGO
PENDAHULUAN
Sebuah meta-analisis 1996 → bahwa 10-15% ibu mengalami kondisi ini
selama
12 bulan pertama kelahiran.

Insidensi penyakit lebih tinggi diantara wanita muda dan ibu yang memiliki
riwayat stress dan pelecehan seksual

Prevalensi gejala depresi yang dilaporkan pada ibu setelah melahirkan


→ 12% hingga 20,5%.

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi timbulnya dan keparahan depresi
→ jumlah rasa sakit yang dialami ibu selama persalinan.

Di Iran dan beberapa penelitian luar negeri lainnya melakukan penelitian untuk
menilai hubungan proses kelahiran dan Anesteri Reginal dengan depresi.

Penggunaan RA selama persalinan sebagai


variabel yang mungkin mempengaruhi PPD
yang akan dilihat pada wanita yang dirujuk
ke rumah sakit pendidikan Universitas
Ilmu Kedokteran Shabid Beheshti selama 2015 -2017
COMPANY LOGO
METODOLOGI

Penelitian ini adalah studi kohort


prospektif yang mencakup 200 ibu
melahirkan, berdasarkan persalinan
pervaginam yang dirujuk ke rumah
sakit pendidikan Universitas Ilmu
Kedokteran Shahid Baheshti selama
tahun 2015- 2017.

GRUP R GRUP
Dengan RA TANPA RA

COMPANY LOGO
METODOLOGI

Kriteria Eksklusi
Persalinan sesar

Multiparitas

Riwayat depresi sebelumnya

Gangguan mood

Masalah neurologis (epilepsi, riwayat


merokok, kematian bayi dan lahir mati )

COMPANY LOGO
METODOLOGI

Data demografis, usia


kehamilan, usia ibu,
riwayat penyakit, Durasi setiap fase Skor ini dicatatc di grup C
Anestesi dilakukan pada fase
penggunaan narkoba, melahirkan, total waktu ketika pembukaan serviks ≥
aktif persalinan (dilatasi 3-
merokok, alkohol → melahirkan, skor nyeri 3 cm , dan grup R 10-30
5cm).
diminta dan dimasukan berdasarkan VAS menit setelah RA.
kedalam kuesioner khusus

Data kontinyu
dilaporkan sebagai Setelah 7 hari dan 4 minggu
jumlah rata-rata (Mean Hasilnya dicatat dalam PPD, berdasarkan skala
Dimasukkan kedalam SPSS
± SD), data diskrit kuesioner khusus untuk postnatal Depresi Edinburgh
veri 21 dan dianalisis.
sebagai frekuensi (jumlah setiap ibu (EPDS), kuesioner dengan 10
atau persen) item

Untuk kelompok
Untuk membandingkan hasil perbandingan kuantitatif
sebelum dan setelah metode chi-square dan
perwatan → Uji hubungan antara variabel
berpasangan dgn diselidiki dengan uji regresi
menggunakan Uji –t . dan metode korelasi pearson
COMPANY LOGO
HASIL
Karakteristik Demografi dari data

COMPANY LOGO
HASIL

COMPANY LOGO
HASIL

COMPANY LOGO
HASIL

COMPANY LOGO
HASIL

COMPANY LOGO
HASIL

COMPANY LOGO
HASIL

COMPANY LOGO
HASIL

COMPANY LOGO
DISKUSI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia ibu


tidak memiliki hubungan yang signifikan
dengan tingkat PPD, tetapi BMI memiliki
korelasi positif dengan tingkat depresi baik
dalam interval satu minggu dan minggu ke-4
setelah melahirkan.

penggunaan RA tidak memiliki efek signifikan


pada tingkat depresi di minggu pertama
setelah melahirkan. Tetapi, ada hubungan
yang bermakna dan lemah antara RA dan
depresi dalam minggu ke-4 postpartum.

COMPANY LOGO
DISKUSI
17% ibu yang mengalami persalinan normal
dan melahirkan tanpa anestesi mengalami
depresi pada minggu pertama setelah
melahirkan dan 16% ibu menunjukkan
gejala depresi pada minggu ke-4
postpartum.

Dari ibu yang memilih RA, 15% dari minggu


postpartum mengalami depresi dan hanya
7% dari mereka memiliki gejala depresi pada
minggu ke-4 setelah melahirkan.

RA tidak memiliki efek negative pada PPD


dan ada hubungan yang signifikan antara
anestesi jangka panjang (minggu ke-4
postpartum) dan penurunan depresi.

COMPANY LOGO
DISKUSI

Studi eksternal → tidak ada


hubungan yang signifikan antara anestesi
dan depresi dalam jangka panjang

sekitar 15% pasien dalam penelitian


ini

Dalam penelitian ini, 16 pasien tanpa


anestesi dan 7 pasien dalam kelompok
anestesi menderita depresi pada periode
empat bulan postpartum

COMPANY LOGO
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian kami, kami menyimpulkan bahwa


penggunaan anestesi regional tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap frekuensi depresi postpartum pada minggu
pertma, tetapi mengurangi frekuensinya pada minggu ke-4 setelah
melahirkan secara signifikan. Kami merekomendasikan penelitian
prospektif, multi pusat dengan ukuran sampel yang lebih besar untuk
secara akurat mendokumentasikan efek dalam kerangka waktu
setelah melahirkan yang berbeda.

COMPANY LOGO
www.themegallery.com

COMPANY LOGO
Bagian Anastesi Dan Reanimasi Refarat
Fakultas Kedokteran Maret 2020
Universitas Pattimura

Obat Anestesi Lokal dan Intoksikasinya

Oleh:

Farra Y. Pattipawae

2018-84-057

Pembimbing:

dr. Ony W Angkejaya, Sp. An

dr. Fahmi Maruapey, Sp. An

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Bagian Anastesi Dan Reanimasi RSUD Dr. M. Haulussy

Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura

Ambon

2020
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi lokal didefenisikan sebagai hilangnya sensasi pada suatu area ditubuh yang
disebabkan oleh depresi dari eksitasi akhir saraf atau inhibisi dari proses konduksi pada nervus
perifer yang bersifat sementara. Obat anestesi local adalah obat yang dapat menyebabkan blok
konduksi dari impuls saraf yang bersifat reversible sepanjang jalur saraf sentral maupun perifer
setelah dilakukan anestesi regional.1

Kegunaan penting yang dihasilkan oleh local anestesi ini berupa hilangnya sensasi tanpa
hilangnya kesadaran, hal ini merupakan perbedaan besar yang dramatis dari anestesi local
dibandingkan dengan anestesi umum. Disamping itu, obat anestesi local juga kurang
menimbulkan gangguan kognitif. Pemberian konsentrasi yang tepat dari obat anestesi local
menyebabkan impuls saraf otonom, sensorik somatic dan motoric somatic akan terganggu
sehingga menyebabkan blok sistem saraf, dan paralisis dari otot skeletal pada daerah yang
dipersarafi saraf yang terpapar.1,2

Obat anestesi local juga memiliki efek toksik yang dapat terjadi local maupun sistemik.
Deskripsi klasik dari toksisitas sitemik anestesi local (Local Anesthetic Systemic Toxicity
(LAST)) secara umum digambarkan dengan sekumpulan gejala dan tanda neurologi yang
memburuk secara progresif yang segera terjadi setelah injeksi obat anestesi local dan disertai
dengan peningkatan kosentrasi anestesi lokal dalam darah, dengan kondisi puncak dapat menjadi
kejang dan koma. Pada kasus yang ekstrim, dapat diikuti dengan tanda ketidakseimbangan
hemodinamik yang berakhir kepada kegagalan system kardiovaskuler.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 ANESTESI LOKAL
Obat Anestesi lokal adalah suatu ikatan kimia yang
1. Definisi
mampu menghambat konduksi saraf perifer apabila obat ini
disuntikkan didaerah perjalanan serabut saraf dengan dosis
tertentu tanpa menilmbulkan kerusakan permanen pada
serabut saraf tersebut. Sifat hambatannya pada saraf pada
umumnya bersifat total, tetapi ada juga yag bersifat selektif,
misalnya hanya mengilangkan rasa nyeri saja, sedangkan
rasa raba dan rasa tekan masih ada. Hal ini tergantung pada
dosis atau kosentrasi obat yang digunakan. Adapun sifat-sifat
yang harus dimiliki oleh anestesi local yaitu poten (efektif
dalam dosis rendah), daya penetrasinya baik, mulai kerjanya
cepat, masa kerjanya lama, toksisitas sistemiknya rendah,
tidak iritatif terhadap jaringan saraf, efeknya reversible, dan
mudah dieliminasi.1
2. Klasifikasi
Berdasarkan struktur molekulnya terdapat dua
golongan obat anestesi lokal, yaitu golongan ester dan amida.
Semua obat anestesi local yang digunakan terdiri dari cincin
aromatic (hidrofobic) yang terhubungan dengan kelompok
amino tersier (hidrofilik) oleh suatu alkil pendek, yaitu rantai
intermediet yang mengandung ikatan ester atau amida sesuai
dengan pembagiannya. Obat anestesi local merupakan basa
lemah yang umumnya memiliki muatan positif pada grup
amino tersiernya pada keadaan pH fisiologis.1,2
Derivat ester terdiri dari derivate asam benzoate,
misalnya kokain, derivate asam para amino benzoate
misalnya prokain dan kloroprokain. Derivate amida
contohnya lidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain dan
etidokain.
Adapun perbedaan ester dan amida adalah sebagai
berikut :1
1) Senyawa ester :
a. Relatif
tidak stabil
dalam
bentuk
larutan
b. Dimetaboli
sme dalam
plasma
oleh
enzyme
pseudochol
inesterase
c. Masa kerja
pendek
d. Relative
tidak toksik
e. Dapat
bersifat
allergen,
karena
strukturny
a mirip
PABA
(para
amino
benzoic
acid).
2) Senyawa amida :
a. Lebih stabil dalam bentuk larutan
b. Dimetabolisme dalam hati
c. Masa kerja lebih panjang
d. Tidak bersifat allergen

Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.
Berdasarkan potensi dan lama kerjanya atau durasinya, anestesi local bias dibedakan
menjadi potensi rendah dan durasi singkat, potensi dan durasi sedang, potensi kuat dan durasi
panjang. Untuk obat dengan potensi rendah dan durasi singkat sebagai contoh adalah prokain
dengan potensi 1 dan durasi 60-90 menit, kloroprokain dengan potensi 1 dan durasi 30-60 menit.
Untuk obat dengan potensi dan durasi sedang sebagai contoh mepivakain dengan potensi 2 dan
durasi 120-140 menit, prilokain dengan potensi 2 dan durasi 120-240 menit, lidokain dengan
potensi 2 dan durasi 90-200 menit. Untuk obat dengan potensi kuat dan durasi panjang sebagai
contoh tetrakain dengan potensi 8 dan durasi 180-600 menit, bupivakain dengan potensi 8 durasi
180-600 menit, etidokain dengan potensi 6 dan durasi 180-600 menit.1,2
Berdasarkan berat jenis (konsentrasi) dan penggunaanya dibedakan menjadi isobaric,
hipobarik, dan hiperbarik. Isobaric digunakan untuk infiltrasi local, blok lapangan (field blocki),
blok saraf, blok fleksus, dan blok epidural. Kosentrasi obat yang digunakan adalah sebagai
berikut : prokain 1-2%, klorprokain 1-3%, lidokain 1-2%, mepivakain 1-2%, prilokain 1-3%,
tetrakain 0,25-0,5%, bupivakain 0,25-0,5%, dan etidokain 1-1,5%. Hipobarik digunakan untuk
analgesia regional intravena. Kosentrasi obat dibuat separuh dari kosentrasi isobaric. Hiperbarik
digunakan khusus untuk injeksi intratekal atau blok subarachnoid. Konsentrasi obat dibuat lebih
tinggi, misalnya lidokain 5% hiperbarik dan bupivakain 0,5% hiperbarik yang telah dikemas
khusus untuk blok subarachnoid oleh pembuatnya.1,2

3. Mekanisme Kerja Anestesi Lokal


Obat anestesi local mencegah proses terjadinya depolarisasi membrane saraf pada tempat
suntikan obat, selanjutnya membrane akson tidak akan dapat bereaksi dengan asetilkolin
sehingga membrane akan tetap dalam keadaan semipermeable dan tidak terjadi perubahan
potensial. Keadaan ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf tersebut terhenti,
sehingga segala macam rangsangan atau sensasi tidak sampai ke susunan saraf pusat. Keadaan
ini menyebabkan timbulnya parestesia sampai anestesi, paresis sampai paralisis dan vasodilatasi
pembuluh darah pada daerah yang terblok.1,2
Hambatan depolarisasi dilakukan melalui mekanisme : penggantian ion kalsium pada
membrane dengan bagian/struktur dari obat anestesi local, mengurangi permeabilitas membrane
sel terhadap natrium, menurunkan laju depolarisasi aksi potensial membrane, menurunkan
derajat depolarisasi sampai ambang potensial, menggagalkan perkembangan penyebaran aksi
potensial.1,2
Ion natrium merupakan ion ekstraseluler utama sedangkan ion kalium merupakan ion
intraseluler utama. Dinding sel lebih permeable terhadap ion kalium sehingga kalium lebih bebas
melewati dinding sel, sedangkan ion natrium bersifat semi-permeabel dan diatur oleh kanal ion
natrium.1,2
Pada waktu istirahat terdapat perbedaan potensial pada membrane sel saraf. Perbedaan
tersebut relative lebih negative didalam sel dibandingkan dengan di luar sel. Saat terjadi
konduksi impuls, kanal ion natrium terbuka dan ion natrium bergerak ke dalam sel sehingga
terjadi depolarisasi sel. Obat anestesi local akan memblok konduksi saraf dengan cara
menghambat masuknya ion natrium.1,2
Setelah obat anestesi diinjeksikan terjadi peningkatan pH larutan oleh proses penyangga
jaringan yang akan mengubahnya menjadi bentuk non ion sehingga lebih mudah larut dalam
lemak. Dalam bentuk ini obat anestesi local lebih mudah menembus membrane lipid untuk
masuk kedalam sel. Didalam sel sebagian obat akan mengalami ionisasi kembali. Obat akan
masuk ke dalam kanal natrium yang terbuka pada bagian dalam dan akan menghambat aliran
masuk natrium sehingga terjadi blok pada konduksi impuls.1,2
Beberapa faktor yang mempengaruhi kepekaan serabut saraf terhadap obat anestesi local
antara lain ukuran, mielinisasi, dan panjang serabut saraf yang terpapar obat anestesi local.
Secara umum sensasi terhadap temperature akan menghilang terlebih dahulu diikuti dengan
sensasi nyeri dan sentuhan ringan. Hal ini diduga disebabkan oleh serabut yang kecil dan tidak
bermielin (serabut C) yang mengkonduksi sensasi terhadap temperature lebih peka terhadap obat
anestesi local dibandingkan dengan serabut saraf yang besar dan bermielin (serabut A) yang
mengkonduksi sentuhan. Perbedaan kecepatan blok pada serabut saraf kecil dan besar akan
dipengaruhi pula oleh jenis obat anestesi local.1
Perbedaan blok dipengaruhi pola oleh panjang serabut saraf yang terpapar obat anestesi
local, dimana serabut saraf kecil membutuhkan jumlah obat anestesi local yang lebih sedikit.
Untuk tercapainya blok konduksi impuls saraf dibutuhkan panjang serabut saraf minimal yang
terpapar obat anestesi local dengan kosentrasi yang cukup. Serabut saraf yang besar akan
memiliki retensi yang lebih tinggi terhadap blok obat anestesi local.1,2
Kosentrasi minimal yang dibutuhkan obat anestesi local untuk menghasilkan blok
konduksi impuls saraf disebut pula dengan Cm. Cm serupa dengan Minimum Alveolar
Concentration (MAC) untuk onat anestesi inhalasi. Diameter dari serabut saraf akan
mempengaruhi Cm, dimana serabut saraf yang besar akan membutuhkan kosentrasi yang besar
dari obat anestesi local untuk terjadinya blok. Peningkatan dari pH jaringan atau frekuensi
stimulasi saraf yang besar akan menurunkan Cm. setiap obat anestesi local memiliki keunikan
tersendiri untuk Cm. hal tersebut disebabkan pada blok sensorik tidak selalu diikuti dengan
paralisis otot skeletal. Pada anestesi subarakhoid membutuhkan obat anestesi local yang lebih
sedikit dibandingkan dengan epidural. Hal tersebut menggambarkan akses obat local akan lebih
mudah mencapai saraf yang tidak terlindungi pada rongga subarachnoid.1,2
Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.

4. Farmakologi Anestesi Lokal


Farmakokinetik
Klirens obat anestesi local dari jaringan saraf dan tubuh berpengaruh terhadap lama kerja
dan potensi untuk terjadinya efek toksisitas. Efek secara klinis obat anestesi local tergantung dari
beberapa faktor local seperti yang akan dijelaskan pada efek farmakodinamik obat, sementara
efek toksisitas sistemik terutama tergantung dari kadar obat anestesi local dalam darah. Kadar
obat anestesi local dalam darah tergantung dari proses absorbs, distribusi dan eliminasi dari obat
anestesi local tersebut.3,4
1) Absorbsi sistemik
Secara umum obat anestesi local dengan absorbsi sistemik yang rendah akan
memiliki batas aman yang besar dalam penggunaannya secara klinis. Kemampuan obat
anestesi local untuk diabsorbsi tergantung dari beberapa faktor, dimana hal-hal terpenting
adalah lokasi injeksi, dosis obat anestesi local, sifat fisikokimia obat tersebut dan
penggunaan epinefrin sebagai obat tambahan.
Pembuluh darah dan jaringan lemak disekitar lokasi injeksi obat anestesi local
akan berinteraksi dengan sifat fisikokimia dari obat tersebut untuk mempengaruhi uptake
sistemik. Secara umum area yang memiliki banyak pembuluh darah akan lebih cepat dan
komplit dalam mengabsorbsi obat anestesi local dibandingkan dengan area yang memilii
banyak jaringan lemak tanpa tergantung dari jenis obat anestesi local. Oleh karena itu
kecepatan absorbsi obat anestesi local akan menurun pada beberapa lokasi injeksi dimulai
dari intercostal, kaudal, epidural, pleksus brakialis, skiatik atau femoral. Semakin besar
dosis total obat anestesi local yang diinjeksikan maka akan semakin besar absorbsi
sistemik dan kadar puncak dalam darah (Cmax). Hubungan ini berbanding lurus dan
tidak terpengaruh secara relative oleh kosentrasi obat dan kecepatan injeksi.
Sifat fisikokimia dari obat anestesi local akan mempengaruhi absorbsi sistemik.
Secara umum semakin poten suatu obat dengan kelarutan lemak dan ikatan dengan
protein akan menyebabkan absorbsi sistemik dan Cmax rendah. Peningkatan dari ikatan
saraf dan jaringan bukan sarar mungkin yang menjelaskan hal ini. Berikut dijelaskan
perbandingan dari masing-masing serabut saraf.
Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.

2) Distribusi
Setelah diabsorbsi secara sistemik, obat anestesi local didistribusikan ke seluruh
tubuh dengan cepat. Distribusi obat anestesi local akan tergantung dari curah pembuluh
darah dari suatu organ, koefisien partisi obat anestesi local di antara kompartemen dan
ikatan plasma protein. Organ penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
toksisitas anestesi local adalah jantung dan sistem saraf pusat yang merupakan organ
kaya pembuluh darah.
Disribusi obat anestesi local yang sering digambarkan dengan volume distribusi
yaitu jumlah obat keseluruhan yang ada pada kompartemen sentral dibagi kosentrasinya.
Volume distribusi hanya menggambarkan distribusi pada keseluruhan tubuh sehingga
tidak akurat untuk organ spesifik. Ikatan plasma protein yang kuat akan menahan obat
anestesi local dalam darah.
3) Eliminasi
Metabolisme obat anestesi local golongan ester terutama dilakukan oleh enzim
kolinesterase yang terdapat didalam plasma, sedangkan metabolism golongan amida
sebagian besar dimetabolisme di hati. Oleh karena itu, aliran darah hati, eksresi hati, dan
protein dinding sel menentukan eliminasi obat anestesi local golongan amida. Golongan
ester cepat dihidrolisis dan metabolitnya akan dieksresi lewat ginjal karena larut dalam
air. Semakin tinggi kecepatan eliminasi obat anestesi local, maka akan semakin lebar
batas keamanannya.

Farmakodinamik
Keuntungan utama dari pengetahuan akan farmakodinamik obat anestesi local adalah
kemampuan untuk memperkirakan Cmax dari obat anestesi local sehingga pemberian dosis
toksis dapat dihindari. Walaupun demikian farmakodinamik suatu obat sangat sulit diperkirakan
dalam keadaan tertentu karena setiap individu memiliki karakteristik fisik dan fisiologis yang
berbeda.3,4
Pada usia tua dan muda, terdapat hubungan antara kadar obat anestesi local dengan
memperhitungkan dosis obat anestesi local dan berat badan pasien. Obat anestesi local dengan
dosis yang besar bila ditempatkan pada posisi yang tepat akan meminimalkan resiko terjadinya
toksisitas sistemik dibandingkan dengan obat dengan dosis yang lebih kecil jika dengan tidak
sengaja diinjeksikan kedalam pembuluh darah. Semua faktor tersebut harus dipertimbangkan
ketika akan menggunakan obat anestesi local dan menghindari efek toksisitas sistemik dengan
total dosis yang masih dapat diterima.3,4

5. Keuntungan dan Kerugian Obat Anestesi Lokal3,4


Keuntungan Anestesi Lokal :
1) Alat minim dan teknik relative sederhana sehingga biaya relative lebih murah.
2) Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa karena penderita sadar sehingga resiko
aspirasi berkurang.
3) Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4) Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5) Perawatan post operasi lebih ringan/murah.
6) Kehilangan darah sedikit.

Kerugian Anestesi Lokal :


1) Membutuhkan kerjasama penderita
2) Sulit diterapkan pada anak-anak.
3) Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
4) Pasien lebih suka dalam keadaan tidak sadar.
5) Menimbulkan ketekutan bahwa efek obat menghilang ketika pembedahan belum
selesai.

II.2 TOKSISITAS SISTEMIK ANESTESI LOKAL


1. Defenisi
Deskripsi klasik dari toksisitas sistemik anestesi local (Local Anesthetic Systemic
Toxicity (LAST)) secara umum digambarkan dengan sekumpulan gejala dan tanda neurologi
yang memburuk secara progresif yang segera terjadi setelah injeksi obat anestesi local dan
disertai dengan peningkatan kosentrasi anestesi local dalam darah, dengan kondisi puncak dapat
menjadi kejang dan koma. Pada kasus yang ekstrim, dapat diikuti dengan tanda
ketidakseimbangan hemodinamik yang berakhir kepada kegagalan system kardiovaskular.4,5
Kategori toksisitas anestesi local dapat dibedakan menjadi tiga yaitu toksisitas local,
sistemik, dan alergi. Toksisitas local bermanifestasi pada neurotoksisitas, gejala neurologis (rasa
sakit atau kelainan sensorik di punggung bawah, pantat, atau ekstremitas bawah). Gejala-gejala
nyeri terbakar dan dysethesthia di dermatom L5 dan S1 biasanya mulai setelah efek dari anestesi
spinal mulai bekerja dan dapat berlangsung hingga jam sampai empat hari, atau miotoksisitas,
serta toksisitas sistemik termasuk toksisitas sistem saraf pusat dan kardiovaskular.5
Reaksi toksik biasa timbul apabila kosentrasinya dalam darah sangat tinggi dan terjadi
secara mendadak. Hal ini biasa terjadi karena dosis yang diberikan berlebihan, penyuntikan
langsung kedalam sirkulasi, absorbsinya terlalu cepat dan detoksikasi terlambat misalnya pada
penyakit hati.5
Onset dari LAST biasanya sangat cepat, yaitu sekitar 50 detik bahkan kurang pada
beberapa kasus, selain itu dapat juga terjadi sebelum 5 menit. Tanda dan gejala dari toksisitas
akut anestesi local biasanya sering berulang dan menetap. Sebagai contoh, kejang terjadi dalam
hitungan menit hingga jam setelah resolusi awalnya, termasuk berulangnya kejang setelah
sebelumnya diterapi dengan emulsi lipid. Gejala seperti bradikardi dan hipotensi bias menetap
selama beberapa jam setelah injeksi anestesi local bahkan dalam volume yang sedikit, seperti
bupivakain 1mg/kg.4,5

2. Faktor Risiko
1) Lokasi injeksi
Lokasi injesksi dari anestesi local mempengaruhi kecepatan penyerapan dan kosentrasi
puncak plasma. Dosis anestesi local mungkin perlu diturunkan ketika diberikan pada daerah
dengan penyerapan yang sangat cepat seperti pada jalan napas atau blok saraf intercostal,
dibandingkan dengan daerah dengan penyerapan relative lebih lambat, seperti subkutan ataupun
blok saraf skiatik.3,4
2) Usia muda
Bayi, khususnya yang berusia 0-3 bulan mempunyai kosentrasi protein plasma tempat
anestesi local berikatan yang menurun, seperti AAG. Hal ini menyebabkan peningkatan
kosentrasi puncak dari anestesi local yang bebas (tidak berikatan) setelah injeksi. Bentuk tidak
berikatan inilah yang menyebabkan terjadinya efek samping toksik. Bayi juga mempunyai
penurunan kapasitas untuk memetabolisme obat anestesi local, dengan laju klirens plasma yang
lebih rendah dibandingkan orang dewasa. Ini akan mengakibatkan level plasma yang lebih tinggi
ketika diberikan infus kontinyu. Oleh karena itu, dosis bolus maupun laju infus anestesi local
harus diturunkan pada bayi. Penggunaan infus kontinyu ini salah satunya bias digunakan pada
terapi jangka panjng untuk peningkatan tekanan intracranial seperti pada hidrosefalus, trauma
kepala, perdarahn intracranial dan lain sebagainya.3,4
3) Dosis total anestesi local yang diberikan
Pemberian anestesi local dalam dosis yang lebih tinggi akan meningkatkan kosentrasi
plasma. Pemberian dosis local anestesi harus mempertimbangkan dosis sesuai berat badan
pasien. Hasil dari kosentrasi dan volume larutan anestesi local adalah penting, tidak hanya pada
isolasi, level plasma dari anestesi local berhubungan dengan total jumlah obat yang diberikan.
Misalnya, 20 ml ropivacaine 0,25% dan 10 ml ropivacaine 0,5% akan menghasilkan kosentrasi
puncak plasma yang sama.5
4) Disfungsi Ginjal
Pasien dengan uremia mempunyai sirkulasi yang hiperdinamik, penyerapan local anestesi
yang lebih cepat, dengan kosentrasi puncak plasma yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien non uremia. Pasien uremia mempunyai level AAG yang lebih tinggi dibandingkan non
uremia, AAG cenderung mengikat anestesi local di plasma, mengurangi kosentrasi obat bebas.
Telah direkomendasikan untuk menurunkan dosis 10-20% ketika memberikan anestesi regional
pada pasien dengan disfungsi ginjal.5
5) Disfungsi hepar
Pasien dengan penyakit hepar stadium akhir (End Stage Liver Dysfunction/ESLD)
mempunyai laju klirens hepatic jauh lebih rendah untuk anestesi local. Pasien ESLD mengalami
peningkatan volume distribusi anestesi local. Hal ini ditambah dengan keberadaan AAG
dipalsma yang kontinyu, membuat direkomendasinya pemberikan anestesi local dalam dosis
normal hanya diberikan dengan teknik dosis tunggal. Sedangkan dosis infus kontinyu harus
dikurangi secara signifikan karena penurunan klirens obat tersebut. Penurunan yang disarankan
berkisar 10-50% bergantung pada keparahan disfungsi hepar.5
6) Gagal jantung
Pasien dengan gagal jantung ringan dan terkontrol mungkin tidak memerlukan penurunan
dosis anestesi local. Namun pasien dengan gagal jantung berat mungkin mengalami penurunan
klirens anestesi local akibat penurunan aliran darah dan klirens hepar.5
7) Kehamilan
Pasien hamil mempunyai sensitivitas yang meningkat dan penurunan tingkat ikatan
protein dengan anestesi local. Akibat meningkatnya sensitivitas dan risiko toksis yang
lebih tinggi, dosis anestesi local harus dikurangi pada pasien hamil. Faktor lain yang
memperngaruhi yaitu penurunana volume cairan serebrospinal (CSS) akan menyebabkan
penyebaran berlebihan pada anestesi local spinal dan epidural.5

3. Mekanisme Toksisitas Anestesi Lokal


Anestesi local mencapai sirkulasi melalui penyerapan sistemik ataupun injeksi
intravascular yang tidak disengaja. Injeksi intravena yang tidak disengaja terjadi lebih sering
dibanding injeksi intraateri, dapat terjadi pada semua teknik anestesi regional, dengan
kemunculan tanda dan gejala toksisitas yang lebih cepat dibanding dengan penyerapan
sistemik.4,5
Meskipun telah diteliti selama beberapa dekade, mekanisme pasti terjadinya toksisitas
sistemik dari anestesi local masih sulit dipahami. Anestesi local yang bersifat lipofilik secara
cepat melewati sel membrane dan memunculkan gejala toksisitas pada berbagai lokasi termasuk
ionotropik, metabotropic, dan target lainnya.4,5
Pada otak, anestesi local mempengaruhi keseimbangan antara jalur inhibisi dan eksitasi.
Pada jantung, menyebabkan blockade konduksi melalui efeknya terhadap kanal natrium, kalium
dan kalsium. Hal ini akan menyebabkan disritmia dan penurunan kontraktilitas jantung. Anestesi
local yang berlebihan dapat menggangu sinyal intraseluler yang berasal dari reseptor
metabotropic, mengakibatkan penurunan adenosine monofosfatase siklik (cAMP) yang dapat
menurunkan kontraktilitas.4,5

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi toksisitas anestesi local muncul 1-5 menit setelah injeksi, namun onset dapat
berkisar dari 30 detik hingga 60 menit. Secara klasik, penderita mengalami gejala eksitasi SSP
berupa mati rasa lidah, lidah terasa ringan, pusing, gangguan visual dan pendengaran (kesulitan
focus dan tinnitus), disorientasi, dan rasa mengantuk.4,5
Secara klasik toksisitas jantung tidak akan terjadi tanpa di dahului toksisitas SSP, namun
beberapa laporan kasus yang di publikasikan menunjuka episode terbatas pada manifestasi
kardiovaskular. Dalam kasus ini, timbulnya gejala tertunda 5 menit atau lebih.4,5
Setelah pengunaan agen anestesi local, pertimbangkan munculnya tanda-tanda atau gejala
barus sebagai tanda kemungkinan toksisitas. Manifestasi dari toksisitas tergantung pada sistem
organ atau sistem yang terpengaruh. Manifestasi dari toksisitas tergantung pada sistem organ
atau sistem yang terpengaruh. Manifestasi toksisitas dapat dikategorikan sebagai berikut: SSP,
kardiovaskular, hematologi, alergik, dan jaringan local.4,5
1) Sistem saraf pusat
Eksitasi awal SSP biasanya diikuti dengan depresi SSP secara cepat, dengan gejala
sebagai berikut: kedutan otot, kejang, tidak sadar, koma, depresi dan henti napas, depresi
dan kolaps kardiovaskular, seiring dengan perkembangan toksisitas, pasien mungkin
mengalami kejang tonik-klonik dan akhirnya tidak sadar dan koma. Gejala SSP dapat
tertutupi pada pasien dengan premedikasi antikonvulsan seperti benzodiazepine atau
barbiturat. Tanda pertama dari toksisitas pada pasien premedikasi mungkin depresi
kardiovaskular.
Ketika jumlah anestetik local pada dara cukup tinggi untuk memblokir jlur inhibisi
dan eksitasi, kejang berhenti dan pasien mungkin mengalami depresi atau henti napas dan
depresi kardiovaskular. Injeksi bolus besar dapat meningkatkan konsentrasi puncak ke titik
di mana ssp dan system kardiovaskular dipengaruhi secara bersamaan.
2) Kardiovaskular
Risiko toksisitas kardiovaskulat lebih besar pada anestesi local lipofilik seperti
bupivakain. Risiko toksisitas jantung lebih besar pada pasien dengan riwayat masalah
konduksi jantung yang mendasari atau setelah infrak miokard (tetrakain, etidokain,
bupivakain), disritmia jantung (bupivakain), dan kardiotoksisitas pada kehamilan. Lidokain
juga mengubah tonus pembuluh darah, dengan dosis rendah memiliki efek vasokonstriksi
dan dosis yang lebih tinggi menyebabkan relaksasi dari otot pembuluh darah, sehingga
menyebabkan hipotensi.
Tanda dan gejala keracunan kardiovaskular meliputi nyeri dada, sesak napas,
palpitasi, diaphoresis, hipotensi, dan pingsan. Efek pada konduksi jantung termasuk
pelebaran interval PR, pelebaran durasi QRS, sinus takikardia, sinus arrest, dan disosiasi
atrioventrikular sebagian atau lengkap. Toksisitas jantung dipotensiasi oleh asidosi,
hiperkapnia, dan hipoksia, yang memperburuk penekanan jantung dan meningkatkn
kemungkinan aritmia. Hal ini penting untuk dipertibangkan karena kejang memungkinkan
gambaran metabolic ini.
Gambar 1. Dosis lidokain, etiodokain, dan bupivakain yang menimbulkan toksisitas ssp dan kolaps kardiovaskular.
Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.

3) Hematologi
Methemoglobinemia sering dilaporkan berhubungan dengan penggunaan benzokain,
lidokain, dan prilokain. O-tuluidin adalah metabolit hati, prilocaina merupakan oksidator
kuat yang mengubah hemoglobin menjadi methemoglobin. Pada tingkat rendah (1-3%),
methemoglobinemia tidak menimbulkan gejala, tetapi tingakt yang lebih tinggi (10-40%)
dapat disertai oleh salah satu keluhan berikut: sianosis, perubahan warna kulit (abu-abu),
takipnea, dispneu, kelelahan, pusing, sinkop dn kelemahan.
4) Manifestasi alergi
Ester amino adalah turunan dari asam para-aminobenzonic (PABA) yang telah
dikaitkan dengan reaksi alergi akut. Penelitian sebelumnya menunjukan 30% dari reaksi
alergi terhadap prokain, tetrakain, dan chloroprocaine. Amidaa amino tidak terkait dengan
PABA dan tidak menghasilkan reaksi alergi dengan frekuensi yang sama. Namun, persiapan
anestesi amida kadang-kadang berisi methylparaben, yang secara structural mirip dengan
PABA dan dengan demikian dapat menyebabkan reaksi alergi.
Manifestasi alergi anestesi local termasuk ruam dan urtikaria. Anafilaksis akibar
anestesi local sangat jarang tapi harus dipertimbangkn jika pasien mulai mengi atau
menderita gangguan pernapasan setelah menerima obat bius. Pasien yang melaporkan alergi
terhadap lidokain mungkin alergi terhadap pengawet methylparaben.
Bagan. manifestasi klinis toksisitas sistemik anestesi local
Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.

5. Diagnosis
Deskripsi klasik dari toksisitas sistemik anestesi local termasuk gejala subjektif dari
eksitasi SSP seperti perubahan pendengaran, tebal sirkumoral, rasa metalik, dan agitasi yang
akan berlanjut menjadi kejang dan/atau depresi SSP (koma, henti napas). Pada deskripsi klasik
toksisitas anestetik local, toksisitas jantung tidak akan terjadi tanpa diawali gejala toksisitas SSP.
Toksisitas anestetik local terjadi akibat injeksi intravascular (terutama injeksi ke arteri carotid
dan vertebral) tidak akan menunjukan gejala-gejala ringan/peringatan dan secara cepat dapat
menimbulkan kejang dan berkembang ke eksitasi jantung (hipertensi, takikardia, aritmia
ventrikel.5
Seiring dengan meningkatnya konsentrasi dalam darah, eksitasi jantung akan diikuti oleh
depresi jantung (bradikardia, asistol, penurunan kontraktilitas, dan hipotensi). Pada penggunaan
anestetik local yang paling poten, toksisitas jantung dapat terjadi bersamaan dengan kejnag atau
mungkin mendahuluinya.5
American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine (ASRA) mengeluarkan
practice advisory mengenai toksisitas sistemik anestesi local, dengan rekomendasi pedoman
diagnosis sebagai berikut:5
1) Deskripsi klasik dari toksisitas anestesi local meliputi progresi dari gejala subjektif dari
eksitasi SSP (agitasi, perubahan pendengaran, rasa metalik, atau munculnya gejala
psikiatri onset mendadak), diikuti kejang dan depresi SSP (rasa mengantuk, koma, atau
henti napas). Tanda-tanda awal toksisitas jantung (hipertensi, takikardia, atau aritmia
ventrikel) akan diikuti oleh depresi jantung (bradikardi, blok konduksi, asistol, penurunan
kontraktilitas). Namaun terdapat beberapa variasi substansial dari deskripsi klasik ini,
antara lain:
a. Munculnya gejala toksisitas SSP dan jantung bersamaan
b. Toksisitas jantung tanapa gejala dan tanda prodromal toksisitas SSP
c. Sehingga dokter harus waspada terhadap gejala yang atipikal dan tidak diduga.
2) Waktu munculnya gejala toksisitas anestesi local adalah bervariasi. Kemunculan cepat
(<60 detik) menunjukkan injeksi intavaskular dengan akses langsung ke otak. Sedangkan
kemunculan gejala setelah 1-5 menit menunjukkan injeksi intravascular intermiten.
Injeksi ekstremitas bawah, atau terhambatnya penyerapan dijaringan. Toksisitas anestesi
local dapat muncul >15 menit setelah injeksi, oleh karena itu pasien mendapatkan dosis
anestesi local yang berpotensi untuk toksik harus dimonitor secara ketat selama minimal
30 menit setelah injeksi.
3) Berbagai laporan kasus menunjukkan hubungan toksisitas anestesi local dengan penyakit
yang mendasari seperti jantung, neurologis, paru, ginjal, hepar, ataupun metabolik.
Kewaspadaan yang lebih disarankan ketika memberikan anestesi local pada pasien
tersebut, terutama apabila pasien termasuk usia ekstrim.

6. Terapi Toksisitas Anestesi Lokal


Pengobatan toksisitas anestesi lokal bergantung pada jenis toksisitas yang dialami oleh
pasien (SSP, kardiovaskular maupun alergi). Pada umumnya gejala yang ringan diterapi secara
lebih konservatif. Gejala ringan SSP dapat berkembang dengan cepat menjadi kardiotoksisitas
anestesi local dengan aritmia dan henti jantung, oleh karena itu re-evaluasi sebaiknya sering
dilakukan untuk menentukan apakah terapi yang lebih efektif diperlukan.5,6
1) Terapi toksisitas SSP
Jika pasien menunjukkan gejala ringan sampai sedang dari toksisitas anestesi
local (Tinitus, kepala teras ringan, sentakan myoklonik, kebingungan) tanpa kejang atau
tanda toksisitas jatung, berikan terapi konservatif dalam bentuk penenang dan sedasi
ringan serta ansiolitik dengan benzodiazepine.5,6
Pada pasien dengan penurunan kesadaran dan kejang, resusitasi standar harus
dimulai untuk menjaga jalan napas dan pernapasan. Pengobatan pada kejang akibat
toksisitas anestesi local menggunakan kelompok benzodiazepine, barbiturate, dan
propofol dalam dosis kecil (midazolam 2-4mg, propofol 0,5-1 mg/kg). dosis propofol
harus dijaga tetap rendah karena aktivitas depresi jantung yang dapat memperburuk
kardiotoksisitas. Fenitoin dan fosfenitoin secara umum dihindari karena mempunyai efek
sifat blockade pompa natrium seperti anestesi local dan dapat memperparah toksisitas.6
2) Terapi toksisitas jantung : Antiaritmia
Jika terjadi hipotensi, bradikardia, atau aritmia yang tidak bisa dijelaskan
sebelumnya, pengobatan terhadap kecurigaan toksisitas kardiovascular akibat anestesi
local harus segera dilakukan. Resusitasi pasien yang mengalami kolaps jantung akibat
anestesi local memerlukan usaha resusitasi yang luas dan panjang terutama akibat
toksisitas bupivakain, dan mungkin tidak berhasil. Terapi dapat dimulai dengan metode
Advance Cardiac Life Support (ACLS) standar dengan beberapa perubahan minor.6
Lidokain tidak boleh digunakan untuk mengobati aritmia karena mempunyai
potensi untuk memberikan efek tambahan dengan jenis anestesi local yang menyebabkan
toksisitas. Amiodaron mungkin merupakan pilihan yang lebih baik untuk aritmia
ventrikel, meskipun data yang tersedia masih kurang untuk membuktikannya. Toksisitas
jantung akibat anestesi local sering menimbulkan penurunan kontraktilitas. Olek karena
itu, pemberian inotrope negative lainnya harus dihindari.6

7. Guideline AAGBI
Terdapat beberapa panduan dalam penatalaksanaan toksisitas anestesi local diantaranya
panduan dari AAGBI dan ASRA. Pada tinjauan pustaka ini akan disertakan panduan toksisitas
sistemik anestesi local menurut AAGBI6
Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.

8. Prognosis
Jika oksigenasi, ventilasi, dan curah jantung dapat dipertahankan, pasien akan mengalami
pemulihan penuh tanpa sekuele. Tanpa pengobatan, toksisitas anestesi local dapat menyebabkan
kejang, depresi hingga henti napas, hipotensi, kolaps kardiovaskular atau henti jantung dan
kematian.5,6
9. Pencegahan Toksisitas Anestesi local
Strategi pencegahan terjadinya pada administrasi anestesi local meliputi persiapan alat-
alat emergensi, menggunakan dosis efektif terendah, menggunakan bantuan ultrasound untuk
pencitraan jika diperlukan, dosis yang terbagi dengan aspirasi multiple, kecepatan injeksi yang
lebih lambat, penggunaan dosis tes, dan menghindari pengulangan dosis.5,6
a. Persiapan dasar
Setiap kali memberikan anestesi local dnegan dosis yang cukup untuk menghasilkan
toksisitas, disarankan untuk minimal menggunakan monitor pulse oximetry dan
tekanan darah. Pastikan obat dan alat-alat resusitasi tersedia. Alat resusitasi yang
dimaksudkan termasuk alat penatalaksanaan jalan nafas, defibrillator elektrik, dan
larutan emulsi lipid.6
b. Menggunakan dosis efektif rendah
Gunakan dosis atau volume local anestesi terendah yang dapat menghasilkan efek
terapeutik yang diinginkan. Pada pasien dengan kondisi medis yang predisposisi
terhadap toksisitas anestesi lokal, gunakan teknik dan lokasi blok saraf tepi yang
membutuhkan dosis yang lebih rendah. Contohnya, blok supraklavikular dengan
bantuan ultrasound memerlukan dosis yang jauh lebih rendah dibanding blok aksilar
dengan bantuan nerve stimolator.6
c. Pencitraan ultrasound
Penggunaan bantuan pencitraan untuk blok saraf perifer mungkin dapat menurunkan
risiko toksisitas local anestesi dalam beberapa cara. Seperti sudah disebutkan diatas,
penggunaan bantuan ultrasound memungkinkan untuk mengurangi volume anestesi
local yang dibutuhkan. Selain itu jarum untuk blok saraf dapat divisualisasikan saat
penempatan dan injeksi, sehingga dapat menurunkan risiko kesalahn pungsi jaringan
vascular.6
d. Dosis terbagi dengan aspirasi berulang
Jarum blok saraf dan kateter epidural dapat berpindah. Sebuah jarum atau kateter
yang awalnya sudah diposisikan dengan baik dapat berpindah menjadi intravascular.
Dosis anestesi local sebaiknya dibagi menjadi dosis kecil dengan volume <5ml,
dengan melakukan aspirasi diantara injeksi. Selalu observasi kondisi pasien dan
tanda-tanda vital selama injeksi karena aspirasi yang tidak terdapat darah tidak sellau
menjamin bahwa anestesi local tidak memasuki vena. Hal ini menjadi semakin
penting ketika menggunakan jarum berurukan kecil.6
e. Kecepatan injeksi yang pelan
Ineksi yang cepat dan bertenaga dari anestesi local dapat meningkatkan risiko
anestesi local berpindah ke vena dan cedera karena tekanan pada saraf saat
melakukan blok saraf tepi. Anestesi local sebaiknya diberikan tidak lebih dari 5ml
dalam satu kali injeksi dan tidak lebih dari 3 kali injeksi dalam 1 menit.6
f. Pengguanan dosis tes
Penempatan yang akurat dari jarum pada ruang epidural atau perineural tidak dapat
menjamin bahwa kateter yang melewatinya tidak memasuki struktur vascular.
Epinefrin yang dilarutkan (2,5-5µg/ml) dapat digunakan sebagai marker untuk
injeksi intravena. Dosis tes (umumnya mengandung epinefrin) diberikan ketika akan
menggunakan kateter epidural atau blok saraf dan diulang jika terdapat indikasi
bahwa posisi kateter telah berubah.6
g. Menghindari dosis berulang
Ketika melakukan injeksi blok saraf ulang misalnya setelah kegagalan melakukan
blok perifer dengan interval waktu yang pendek, dosis kumulatif dari anestesi local
yang telah diberikan harus diperhitungkan.6
BAB IV
KESIMPULAN
Obat anestesi local adalah obat yang dapat menyebabkan blok konduksi dari impuls saraf
yang bersifat reversibel sepanjang jalur saraf sentral maupun perifer setelah dilakukan anestesi
regional. Dalam penggunaannya, obat anestesi local tidak jarang menimbulkan beberapa
toksisitas yang dapat terjadi secara local maupun sistemik. Manifestasi klinis toksisitas dari obat
anestesi local yang paling sering terjadi adalah gangguan pada sistem saraf pusat yang mungkin
diikuti dengan gangguan pada system kardiovaskular.1,2
Reaksi toksik tersebut bias timbul apabila konsentrasinya dalam darah sangat tinggi dan
terjadi secara mendadak. Hal ini bisa terjadi karena dosis yang diberikan berlebihan, penyuntikan
langsung kedalam sirkulasi, absorbsinya terlalu cepat dan detoksikasi terlambat misalnya pada
penyakit hati.6
Pengobatan toksisitas anestesi local tergantung pada jenis toksisitas yang dialami oleh
pasien (SSP ataupun kardivaskular). Pada umumnya gejala yang ringan diterapi secara
konservatif. Penatalksanaan meliputi obat antikejang, antiaritmia dan emulsi lipid.6
Strategi pencegahan terjadinya toksisitas pada administrasi anestesi local penting utnuk
diketahui oelh para klinisi yang adakan mempergunakan obat anestesi local, beberapa hal yang
perlu diperhatikan meliputi persiapan alat-alat emergensi, menggunakan dosis efektif terendah,
menggunakan bantuan ultrasound untuk pencitraan jika diperlukan, dosis yang terbagi dengan
aspirasi multipel, kecepatan injeksi yang lebih lambat, penggunaan dosis tes, dan menghindari
pengulangan dosis.1,6
DAFTAR PUSTAKA

1. Guido G, Joseph M, Richard W, Rosenquist MD, dkk. Clinical presentation of Local


Anesthetic Systemic Toxicity, A Review of Published Cases, 1979-2009. American Society
of Regional Anesthesia and Pain Medicine. 2010
2. Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed
2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan terapi Intesif Fakultas KEdokteran Universitas
Indonesia. 2002
3. Kapitayan R. Su M. Local anesthetic toxicity. Internet, 2015 [diakses 7 Juni 2020].
Tersedia di: http://emedicine.medscape.com/article/1844551-overview
4. Vassiliadis, Facem J. Local Anesthetic Toxicity. Tumescent Anaesrhesia. 2008
5. Gide M, Tjokorda AS, Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta. 2010
6. Parry A. Management and Treatment of Local Anesthetic Toxicity. Journal of perioperative
practice. 2011, Vol 21;12.
REFARAT

OBAT ANESTESI LOKAL


DAN INTOKSIKASINYA

FARRA Y. PATTIPAWAE
2018-84-057
Pembimbing:
Dr. Ony W. Ankejaya, Company
Sp.An LOGO
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi lokal →sebagai Obat anestesi lokal →


hilangnya sensasi pada suatu obat yang dapat
area ditubuh yang disebabkan menyebabkan blok
oleh depresi dari eksitasi akhir konduksi dari impuls saraf
saraf atau inhibisi dari proses yang bersifat reversible
konduksi pada nervus perifer sepanjang jalur saraf
yang bersifat sementara. sentral maupun perifer
setelah dilakukan anestesi

COMPANY LOGO
PENDAHULUAN

Kegunaan penting yg dihasilkan oleh anestesi lokal →


hilangnya sensasi tanpa hilangnya kesadaran.

Obat Anestesi lokal juga kurang menimbulkan gangguan


kognitif.

Pemberian kosentrasi yang tepat dari obat anestesi lokal


menyebabkan impuls saraf otonom, sensorik somatik dan
motorik somatik akan terganggu sehingga → blok
sistem saraf dan paralisis oto pada daerah yang dipersarafi
terpapar.
COMPANY LOGO
PENDAHULUAN

Obat anestesi lokal juga memiliki efek toksik yang


dapat terjadi lokal maupun sistemik.

Toksisitas sistemik anestesi lokal (LAST) →


digambarkan dengan sekumpulan gejala dan tanda
neurologi yang memburuk secara progresif yang
segera terjadi setelah injeksi obat anestesi local dan
disertai dengan peningkatan kosentrasi anestesi
lokal dalam darah, dengan kondisi puncak dapat
menjadi kejang dan koma.

COMPANY LOGO
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

COMPANY LOGO
DEFINISI

ANESTESI LOKAL
Obat Anestesi lokal adalah suatu ikatan kimia yang
mampu menghambat konduksi saraf perifer
apabila obat ini disuntikkan didaerah perjalanan
serabut saraf dengan dosis tertentu tanpa
menilmbulkan kerusakan permanen pada serabut
saraf tersebut.

Sifat hambatannya pada saraf pada


umumnya bersifat total, ttp jg
bersifat selektif

COMPANY LOGO
KLASIFIKASI

Berdasarkan struktur molekulnya


terdapat dua golongan obat anestesi
lokal.

Ester Amida

Derivat ester Derivate amida


→ derivate contohnya
asam benzoate, lidokain, prilokain,
misalnya kokain, mepivakain,
derivate asam bupivakain dan
para amino etidokain.
benzoate misalnya
prokain dan
kloroprokain.
COMPANY LOGO
KLASIFIKASI
Perbedaan ester dan amida adalah
sebagai berikut

Ester : Amida :

Relatif tidak stabil dalam bentuk


larutan Lebih stabil dalam bentuk larutan

Dimetabolisme dalam plasma oleh enzyme


pseudocholinesterase
Dimetabolisme dalam hati

Masa kerja pendek

Masa kerja lebih panjang


Relative tidak toksik

Dapat bersifat allergen, karena strukturnya


mirip PABA (para amino benzoic acid). Tidak bersifat allergen
COMPANY LOGO
MEKANISME KERJA

mencegah proses membrane akson tidak


Obat anestesi local terjadinya akan dapat bereaksi
depolarisasi dengan asetilkolin
membrane saraf.

membrane akan tetap


segala macam
aliran impuls yang dalam keadaan
rangsangan atau
melewati saraf semipermeable dan
sensasi tidak sampai
tersebut terhenti, tidak terjadi
ke susunan saraf pusat
perubahan potensial.

timbulnya parestesia
sampai anestesi,
paresis sampai
paralisis dan
vasodilatasi pembuluh
darah pada daerah
yang terblok.
COMPANY LOGO
MEKANISME KERJA

COMPANY LOGO
FARMAKOLOGI

Klirens obat anestesi local dari jaringan saraf dan


tubuh berpengaruh terhadap lama kerja dan potensi
untuk terjadinya efek toksisitas.

Kadar obat anestesi local dalam darah


tergantung dari proses absorbsi,
distribusi dan eliminasi dari obat
anestesi local tersebut.

COMPANY LOGO
Keuntungan utama farmakodinamik obat
anestesi local adalah kemampuan untuk
memperkirakan Cmax dari obat anestesi local
sehingga pemberian dosis toksis dapat
dihindari.

Obat anestesi local dengan dosis yang


besar bila ditempatkan pada posisi
yang tepat akan meminimalkan resiko
terjadinya toksisitas sistemik
dibandingkan dengan obat dengan
dosis yang lebih kecil jika dengan
tidak sengaja diinjeksikan kedalam
pembuluh darah.
COMPANY LOGO
TOKSISITAS SISTEMIK
ANESTESI LOKAL

Defenisi

Toksisitas sistemik anestesi local (Local


Anesthetic Systemic Toxicity (LAST)) secara
umum digambarkan dengan sekumpulan
gejala dan tanda neurologi yang memburuk
secara progresif yang segera terjadi setelah
injeksi obat anestesi local dan disertai
dengan peningkatan kosentrasi anestesi local
dalam darah, dengan kondisi puncak dapat
menjadi kejang dan koma.

COMPANY LOGO
Faktor Risiko

Lokasi Injeksi
Lokasi injesksi dari anestesi local mempengaruhi kecepatan penyerapan dan
kosentrasi puncak plasma. Dosis anestesi local mungkin perlu diturunkan ketika
diberikan pada daerah dengan penyerapan yang sangat cepat seperti pada jalan
napas atau blok saraf intercostal

Usia muda
Bayi, khususnya yang berusia 0-3 bulan mempunyai kosentrasi protein plasma
tempat anestesi local berikatan yang menurun, seperti AAG. Hal ini
menyebabkan peningkatan kosentrasi puncak dari anestesi local yang bebas
(tidak berikatan) setelah injeksi. Bentuk tidak berikatan inilah yang
menyebabkan terjadinya efek samping toksik.

COMPANY LOGO
Faktor Risiko

Dosis total anestesi local yang diberikan

Pemberian anestesi local dalam dosis yang lebih tinggi akan


meningkatkan kosentrasi plasma. Pemberian dosis local anestesi
harus mempertimbangkan dosis sesuai berat badan pasien.

Disfungsi Ginjal

Disfungsi Hepar

Gagal jantung

Kehamilan

COMPANY LOGO
Mekanisme

Anestesi local yang mengakibatkan


Anestesi local yang berlebihan dapat penurunan adenosine
bersifat lipofilik secara menggangu sinyal monofosfatase siklik
cepat melewati sel intraseluler yang berasal (cAMP) yang dapat
membran dari reseptor menurunkan
metabotropic kontraktilitas.

memunculkan gejala
toksisitas pada berbagai
menyebabkan disritmia
lokasi termasuk
dan penurunan
ionotropik, metabotropic,
kontraktilitas jantung
dan target lainnya.

Pada jantung,
Pada otak, anestesi local
menyebabkan blockade
mempengaruhi
konduksi melalui
keseimbangan antara
efeknya terhadap kanal
jalur inhibisi dan eksitasi.
natrium, kalium dan
kalsium
COMPANY LOGO
Manifestasi Klinis

Manifestasi toksisitas anestesi local muncul 1-5


menit setelah injeksi, namun onset dapat berkisar
dari 30 detik hingga 60 menit.

Penderita mengalami gejala eksitasi SSP → mati


rasa , lidah terasa ringan, pusing, gangguan visual
dan pendengaran (kesulitan focus dan tinnitus),
disorientasi, dan rasa mengantuk.

Manifestasi dari toksisitas tergantung pada


sistem organ atau sistem yang terpengaruh.

COMPANY LOGO
Diagnosis

American Society of Regional Anesthesia and Pain


Medicine (ASRA) mengeluarkan practice advisory
mengenai toksisitas sistemik anestesi local,
dengan rekomendasi pedoman diagnosis sebagai
berikut:

GEJALA SUBJEKTIF

SSP → Agitasi, perubahan pendengaran, kejang, →


depresi SSP (rasa mengantuk, koma atau henti napas)
JANTUNG → Hipertensi, takikardia, atau aritmia ventrikel →
depresi jantg (bradikardi, asistol, penurunan kontraktilitas)

WAKTU MUNCULNYA GEJALA TOKSISTAS ANESTESI


LOKAL

COMPANY LOGO
Terapi Toksisitas

Pengobatan toksisitas
Jenis toksisitas yang dialami
anestesi lokal

Gejala yang ringan


SSP konservatif.

kardiotoksisitas

aritmia dan henti jantung

re-evaluasi

COMPANY LOGO
Terapi Toksisitas

Terapi toksisitas SSP

gejala ringan sampai sedang

(Tinitus, kepala teras ringan,


sentakan myoklonik, kebingungan)
tanpa kejang atau tanda toksisitas
jatung

Terapi konservatif

Obat penenang dan sedasi ringan


serta ansiolitik dengan
benzodiazepine.
COMPANY LOGO
Terapi Toksisitas

Penurunan kesadaran dan kejang

Resusitasi

kelompok benzodiazepine,
barbiturate, dan propofol dalam
dosis kecil (midazolam 2-4mg,
propofol 0,5-1 mg/kg).

COMPANY LOGO
Terapi Toksisitas

Terapi toksisitas jantung

Terapi dapat dimulai dengan metode


Advance Cardiac Life Support (ACLS)

Lidokain tdk blh digunakan untuk mengobati


aritmia → mempunyai potensi untuk
memberikan efek tambahan dengan jenis
anestesi local yang menyebabkan toksisitas.

Amiodaron → pilihan yang lebih


baik untuk aritmia ventrikel,

COMPANY LOGO
Panduan Toksisitas anestesi lokal menurut A
AGBI (Associaton of anaesthetists of great
britain and ireland)

COMPANY LOGO
COMPANY LOGO
COMPANY LOGO
TERIMA KASIH

GOD BLESS YOU

COMPANY LOGO
Bagian Anastesi Dan Reanimasi Laporan Kasus
Fakultas Kedokteran Maret 2020
Universitas Pattimura

Anestesi Umum Pada Pasien Hipertrofi Tonsil dengan Intubasi sulit


(Difficult Intubation)

Oleh:

Farra Y. Pattipawae

2018-84-057

Pembimbing:

dr. Ony W Angkejaya, Sp. An

dr. Fahmi Maruapey, Sp. An

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Bagian Anastesi Dan Reanimasi RSUD Dr. M. Haulussy

Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura

Ambon

2020
BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. MP
Usia : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM 157651
Alamat : BTN Kanawa
Gol. Darah :B
Berat Badan : 86 kg
Tinggi Badan : 163 cm
Tanggal Operasi : 11 Maret 2020
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Indonesia

2. Evaluasi Pre Anestesi


1. Anamnesis
Keluhan utama: Nyeri tenggorokan
Anamnesis Terpimpin
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri tenggorokan 6 bulan SMRS,
nyeri tenggorokan hilang timbul, keluhan ini disertai dengan nyeri menelan yang
dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah. sebelumnya pasien sempat
mengalami demam dan pilek. Nyeri telan tidak disertai dengan ngorok maupun nafas
tersengal-sengal saat tidur. Keluhan terasa setelah mengkonsumsi minuman dingin,
makanan berminyak. 3 bulan SMRS keluhan ini kambuh lagi disertai dengan nyeri
telinga sehingga pasien dibawa kedokter, dokter mengatakan radang amandel masih
kecil (T2-T2) lalu pasien dipulangkan dan diberi obat. 3 hari SMRS keluhan pasien
kembali kambuh dan Sehingga pasien dibawa ke RSUD dan dianjurkan untuk operasi.
Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek yang kumat-kumatan hampir tiap
bulan. Saat ini pasien tidak mengeluhkan pilek, hidung tersumbat, maupun sakit
kepala
Riwayat Pengobatan
Pasien pernah malakukan pengobatan maag sebelumnya

2
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti pasien.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82x/m, reguler
Respirasi : 24x./m teratur
Temperatur axila : 36,8̊C
BB : 86 kg
TB : 163 cm
b. Status General
Kepala : Normocephal
Mata : KA (-/-), SI (-/-), Refleks Pupil (+/+), isokor, Exophtalmus (-/-)
Telinga : daun telinga N/N, sekret (-/-)
Hidung : hidung luar normal, sekret (-/-)
Tenggorokan : tonsil T2/T2, faring hiperemis (+),
hipertrofi
Lidah : makroglossy (-), papil lidah atrofi (-), mukosa basah (+), warna
merah muda
Bibir : mukosa basah (+), warna merah muda, stomatitis (-)
Leher
Regio colli Dextra
Inspeksi : massa (-)
Palpasi : tiroid tidak teraba, pembesaran kelenjar limfa (-)
Thorax
Jantung
Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
Palpasi : teraba iktus kordis di ICS V garis midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung setinggi ICS II, batas kiri bawah jantung
setinggi ICS V linea midcalvicula sinistra, batas kanan jantung
ICS IV line parasternalis.
Auskultasi : suara jantung S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Paru
Inspeksi : dinding thoraks simetris, retraksi (-)
Palpasi : taktil fokal fremitus N/N, pergerakan simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-/+), pelebaran pembuluh darah (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (+) seluruh lapangan perut, hepar tidak teraba, lien
tidak teraba, ballotemen -/-
Perkusi : distribusi suara timpani (+)

Ekstremitas
Akral hangat ++ tremor -- Edema --

++ -- --

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Kimia darah
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan

GDP 81 mg/dl 80-100

Ureum 23 mg/dl 10-50

Kreatinin 1,2 mg/dl 0.7-1.3

Kolesterol mg/dl 50-200

SGOT 32 u/l 0-37


SGPT 42 u/l 0-40

Albumin gr/dl 3.5-5.2

b. Darah Rutin
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 15,0 g/dl P(14.0-18.0)

Leukosit 8,18 103/mm3 5.0-10.0

Eritrosit 5,16 106/mm3 3.5-5.5

Trombosit 246 103/mm3 150-400

Hematokrit 43,6 % W(37-43)

LED mm/jam W(<15)

c. Foto Thorax PA
- Cor tak membesar
- Pulmo tak tampak infiltrate
- Opasitas pada paravertbra kanan kiri setinggi corpus VTh5-10→Vaskuler

4. Diagnosis
Hipertrofi tonsil

5. Planning
a. Puasa 8 jam sebelum operasi
b. Antibiotik profilaksis

3. Pre-Operatif
a. Diagnosa Pra Bedah : Hipertrofi Tonsil
b. Jenis Pembedahan : Tonsilektomy
c. Jenis Anestesi : General Anestesi
d. Posisi : Supine
e. Lama Anestesi : 08.30 WIT – 09.10 WIT
f. Lama Operasi :-
g. Premedikasi : Ranitidin 50 mg
h. Teknik Anestesi Umum :
1. Pasien diposisikan berbaring
2. Pasien diberikan obat-obatan premedikasi yaitu fentanyl 100 mg.
3. Pre oksigenasi pasien selama 4 menit
4. Pasien diberikan obat induksi, propofol 300 mg
5. Pasien memasuki stadium anestesi
6. Pengambilan alih napas pasien dan lakukan denitrogenisasi
7. Pemberian obat relaxan, atracurium 25 mg
8. Intubasi dilakukan kepada pasien dengan memasukkan ETT nomor 6.5, dengan
panjang trakea sampai dengan bibir sejauh 15 cm
9. Cek kedua lapang paru
10. Udara tidak sampai ke paru-paru
11. Dilepaskan ETT, diberikan dexamethasone 10 mg, Atrophin sulfat 0,25mg
12. Dilakukan intubasi kembali kepada pasien dengan memasukkan ETT kembali
13. Gagal intubasi, lakukan pemberian refersal (SA 4 mg + Neostigmine 4 mg)
14. Karena 3x gagal dilakukan intubasi maka ditunda untuk dilakukan operasi.
4. Intra Operatif
a. Keseimbangan cairan:
- Cairan masuk: PO (RL 300 cc), DO (RL 500 cc)
- Cairan keluar: PO (Urin 500 cc ), DO (Urin 100 cc)

5. Post Operatif
- B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-), Wh (-).
- B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 125 x/m, TD: 141/70 mmHg, S1S2 reguler,
murmur (-), gallop (-).
- B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
- B4: BAK urin 50 cc.
- B5: BU (+)
- B6: Edema (-), deformitas (-)
Terapi:
- Pasien tunda operasi karena gagal intubasi
- Headup 30o
- Infus RL 20 tetes/menit
- Ceftriaxone 1 g/ 12 jam iv
- Metrodinazole 1 g/12 jam iv
- Ranitidine 2 x1 / 12 jam iv
- Awasi TNSP
- Boleh makan/minum

12/3/2020
- B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-), Wh (-).
- B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 125 x/m, TD: 125/70 mmHg, S1S2 reguler,
murmur (-), gallop (-).
- B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
- B4: BAK urin 50 cc.
- B5: BU (+)
- B6: Edema (-), deformitas (-)

Terapi :
- Aff infus
- Ciprofloxacin 2 x 500mg
- N-Asetyl Systein 3 x 1 tab
- Metylprednisolon 4 mg 3x1 tab
- Observasi pulang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anestesi Umum

Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di
seluruh tubuh akibat dari pemberian obat anestesia. Anestesi umum merupakan kondisi
yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan
obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa
nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau
refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran
(unconsciousness).1-3
Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria : tiga komponen anestesi
atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks, ketidaksadaran,
aman untuk sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah diaplikasikan dan ekonomis.
Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi umum adalah upaya untuk menciptakan
kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk
dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan
hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam.1-3
Agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui gabungan
secara injeksi dan inhalasi. Agen anestesi dapat digabungkan atau dikombinasikan antara
beberapa anestetikum atau dengan zat lain sebagai preanestetikum dalam sebuah teknik
yang disebut balanced anesthesia untuk mendapatkan efek anestesi yang diinginkan dengan
efek samping minimal. Pemilihan teknik seringkali ditentukan oleh karakteristik pasien
sehingga tepat penggunaan dan resiko efek samping yang paling minimal.. 1-3

2.1.1 Tahapan Anestesi Umum


1. Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik (misal: atropin),
sedatif (misal: barbiturat), dan analgetik (misal: meperidine, morfin). Tujuan pemberian
premedikasi adalah untuk menimbulkan rasa nyaman, mengurangi sekresi kelenjar dan
menekan refleks vagus, memperlancar induksi, mengurangi dosis obat anestesia, serta
mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah.4-6
2. Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Dapat dikerjakan 4 cara
pemberian obat-obat anestesi ke dalam tubuh, yaitu: 1). Intravena, misal: tiopental,
droperidol; 2). Rektal, misal: tiopental; 3) Intramuskular, misal: ketamin; 4) Inhalasi,
misal: halotan, sevofluran (Latif A S.2002). Tujuan tindakan induksi ini bukanlah untuk
menganestesi, tetapi untuk mempercepat terjadinya proses anestesi dan menyenangkan.
Sebelum induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan sehingga jika terjadi keadaan gawat dapat diatasi lebih cepat dan tepat,
dengan kata ingat : kata STATICS (Stetetoskop, Tube, Airway,Tape/plester,
Introducer/mandarin/stilet, Conector, Suction) 4-6
3. Periode Maintenance (Periode Pemeliharaan)
Periode ini dihitung sejak mulainya induksi dan selama pelaksanaan pembedahan. Ada
beberapa metode dan obat-obatan yang dipilih misal secara inhalasi dengan halotan,
enfluran, sevofluran atau secara parenteral dengan fentanil, petidin, morfin. Belakangan
ini, metode ini sering dikombinasikan dengan obat pelumpuh otot, seperti: atracurium.
4-6

4. Periode Reversal (Periode Bangun)


Pada periode ini terjadi perubahan dari tingkat kesadarannya hingga kesadarannya
sempurna. Terkadang pasien masih tertidur dan sering dijumpai adanya muntah.
4-6
Karakteristik pernafasannya pun sudah teratur dan membaik.
5. Periode Recovery (Periode Pemulihan)
Periode pemulihan ini dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu: (1) Reversal (bangun dari
anestesi) periode ini biasanya sangat singkat, tetapi merupakan stadium yang sangat
penting dan penuh risiko. Oleh karena itu, periode ini harus di bawah pengawasan
langsung dari ahli anestesi dan biasanya dilakukan di kamar operasi. (2) Early
Recovery (permulaan pemulihan kesadaran), stadium ini berakhir sampai pasien dapat
mengenal orientasi dengan baik, dalam hal waktu, ruangan, dan dapat mengatur
pernafasannya sendiri. Periode ini memerlukan waktu 1-2 jam dan lamanya tergantung
anestesi yang diberikan. (3) Late Recovery (pemulihan kesadaran seperti semula)
periode ini merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya dan dimulai sejak efek obat
anestesi
menghilang dari dalam tubuh. Terkadang efek hangover didapati seperti pening,
pusing, dan tidak dapat berkonsentrasi. 4-6
6. Periode Pasca Operasi.
Pada periode ini, diharapkan pasien sudah dapat berdiri dan berjalan sendiri serta tidak
dijumpai kelainan respirasi, kelainan tekanan darah, maupun gejala muntah. 4-6

2.1.2 Jenis-jenis Anestesi Umum


A. Anestesi Umum Inhalasi
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang
dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme kerja
anestesi umum inhalasi sangat rumit dan sampai saat ini masih merupakan misteri,
karena pemberian anestetikum inhalasi melalui pernapasan menuju organ sasaran yang
jauh adalah suatu hal yang unik. Hiperventilasi akan menaikkan ambilan anestetikum
dalam alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus. Kelarutan zat
inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam menentukan induksi dan
pemulihan anestesi inhalasi. Induksi dan pemulihan akan berlangsung cepat pada zat
yang tidak larut dan lambat pada zat yang larut. Kadar alveolus minimal atau minimum
alveolar cencentration (MAC) adalah kadar minimal zat anestesi dalam alveolus pada
tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang
dilakukan rangsangan insisi standar. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial
anestetikum dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja
anestetikum.2
Anestetik umum inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan adalah N2O. Kemudian menyusul, eter, kloroform, etil klorida,
halotan, metoksifluran, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Anestetika
umum inhalasi yang umum digunakan saat ini adalah Nitrous oxide (N 2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Obat obat anestesi yang lain
ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak dikehendaki. Misalnya, eter mudah
terbakar dan meledak, menyebabkan sekresi bronkus berlebihan, mual dan muntah,
kerusakan hati, dan baunya yang sangat merangsang. Kloroform menyebabkan aritmia
dan kerusakan hati. Metoksifluran menyebabkan kerusakan hati, toksik terhadap ginjal,
dan mudah terbakar.4
Nitrous oxide (N2O) atau dinitrogen monoksida adalah anestesi inhalasi yang
diperoleh dengan cara memanaskan amonium nitrat (NHNO3) sampai 240ºC. Gas ini
bersifat anestetikum lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga jarang digunakan secara
tunggal. Anestetikum yang sering dikombinasikan dengan N2O adalah halotan. Pada
akhir anestesi setelah N2O dihentikan, akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pengenceran oksigen dan terjadi hipoksia difusi. Mengatasi hipoksia difusi, biasanya
diberikan 100% oksigen selama 5 – 10 menit. Potensi MAC N 2O pada manusia
mendekati 100%.6
Halotan sering digunakan sebagai induksi anestesi dikombinasikan dengan N2O,
karena halotan adalah analgesik lemah tetapi sifat anestesinya kuat sehingga kombinasi
keduanya sangat ideal. Pemeliharaan anestesi dengan halotan biasanya digunakan dosis
1-2% pada napas spontan atau dosis 0,5-1% pada napas terkendali, dan dapat disesuaikan
dengan respon klinis pasien. Nilai MAC halotan adalah moderat, potensinya berada
diantara metoksifluran dan isofluran, yaitu 0,3 – 0,75%. Halotan mempunyai tekanan uap
yang tinggi, sehingga memerlukan ketelitian penggunaan vaporizer yang lebih tinggi.
Penggunaan vaporizer yang memiliki tingkat ketelitian kurang, dapat menyebabkan
konsentrasi halotan mencapai 30%, padahal konsentrasi normal halotan yang diperlukan
untuk anestesi adalah 1-2%, sehingga penggunaan halotan memerlukan vaporizer
khusus. Halotan menyebabkan vasodilatasi cerebral, meningkatkan aliran darah pada
otak yang sulit dikendalikan. Kelebihan dosis halotan menyebabkan depresi napas,
menurunkan tonus simpatik, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, dan depresi miokardium. Halotan dimetabolisme 20% di hati secara oksidatif
menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat.3-4
Desfluran adalah halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip
dengan isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestetikum lainnya,
sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus. Potensi desfluran sangat rendah (MAC
6,0%), bersifat simpatomimetik, menyebabkan takikardia dan hipertensi. Pengaruh
depresi nafasnya sama dengan isofluran dan merangsang jalan napas atas sehingga tidak
dapat digunakan sebagai induksi anestesi.2,3
Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat mirip dengan
metoksifluran dan sevofluran. Rentang keamanan isofluran lebih lebar dibandingkan
halotan dan metoksifluran, sehingga sangat umum digunakan. Penggunaaan isofluran
pada dosis anestesi atau subanestesi menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi akan meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga menjadi
pilihan pada pembedahan otak. Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung (cardiac
output) sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan kelainan jantung.
Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan karena mempunyai nilai MAC lebih
tinggi dibandingkan halotan. Pemeliharaan anestesi dengan isofluran biasanya digunakan
konsentrasi 1,5 – 2,5 % isofluran dalam oksigen. 2,3

B. Anestesi Umum Injeksi


TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik anestesi umum di mana induksi
dan pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan kombinasi obat-obatan
anestesi yang dimasukkan lewat jalur intra vena tanpa penggunaan anestesi inhalasi
termasuk N2O. TIVA dalam anestesi umum digunakan untuk mencapai 4 komponen
penting dalam anestesi yaitu ketidaksadaran, analgesia, amnesia dan relaksasi otot. Namun
tidak ada satupun obat tunggal yang dapat memenuhi kriteria di atas, sehingga diperlukan
pemberian kombinasi dari beberapa obat untuk mencapai efek yang diinginkan tersebut.
Farmakokinetik barbiturat yang digunakan sebagai anestesi intravena pertama kali tidak
memenuhi kriteria ideal untuk pemeliharaan anestesi, walaupun ditambah dengan
pemberian meperidin atau morphine yang dapat mengganggu nafas spontan pasien.1-3
Sehingga saat diperkenalkannya anestesi inhalasi modern yang di awali oleh halothane
di tahun 1956, membuat anestesiologist meninggalkan penggunaan anestesi intra vena untuk
pemeliharaan anestesi. Pada tahun 1975, Savege et al, mengkombinasikan agen steroid
Altesin dengan meperidine yang berguna untuk menjaga suplemen oksigen pada pasien
dengan nafas spontan. Menjadikan titik tolak perkembangan dan ketertarikan anestesiologist
terhadap teknik TIVA, yang diikuti dengan perkembangan dan penemuan obat lainnya
seperti tiopental, metohexital, etomidat, propofol dan ketamin. Kecuali ketamin, obat
anestesi intra vena yang lain tidak mempunyai efek analgesia. Sifat fisik dan farmakologis
anestetika intra vena yang ideal meliputi: 1-3
1. Larut dalam air dan stabil di dalam larutan.
2. Tidak menimbulkan nyeri saat penyuntikkan dan tidak merusak jaringan saat digunakan
ekstravaskuler maupun intra arteri.
3. Tidak melepas histamin atau mencetuskan reaksi hipersensitifitas.
4. Onset hipnotis yang cepat dan lembut tanpa menimbulkan aktifitas eksitasi.
5. Metabolisme inaktivasi metabolit obat yang cepat.
6. Memiliki hubungan dosis dan respon yang curam untuk meningkatkan kefektifan
titrasinya dan meminimalisir akumulasi obat di jaringan.
7. Depresi pada respirasi dan jantung yang minimal.
8. Menurunkan metabolisme serebral dan tekanan intra kranial.
9. Pemulihan kesadaran dan kognitif yang cepat dan lembut.
10. Tidak menimbulkan postoperative nausea and vomiting (PONV), amnesia, reaksi
psikomimetik, pusing, nyeri kepala maupun waktu sedasi yang memanjang (hangover
eff ects).
Beberapa keuntungan dari farmakologi TIVA bila dibandingkan dengan agen anestesi
inhalasi yaitu : 1-3
1. Induksi anestesi yang lebih lembut tanpa batuk ataupun cegukan.
2. Mudah dalam mengendalikan kedalaman anestesi ketika menggunakan obat dengan
waktu kesetimbangan darah-otak yang singkat.
3. Hampir semua agen TIVA memilki onset yang cepat dan dapat diprediksi dengan efek
hangover yang minimal.
4. Angka kejadian PONV yang rendah.
5. Sebagian besar menurunkan CBF dan CMRO sehingga ideal untuk bedah saraf.
6. Tingkat toksisitas organ yang rendah.
Metode pemberian obat hipnotik, analgesik dan relaksan otot yang merupakan
komponen dari TIVA dapat dilakukan dengan beberapa cara,yaitu: 1-3
1. Bolus intermiten
2. Infus kontinyu menggunakan syringe infusion pumps atau sejenisnya
3. Dengan target controlled infusion system (TCI)
Jika diberikan secara bolus intermitent untuk memenuhi kedalaman anestesi yang
diinginkan akan terjadi fluktuasi konsentrasi obat. Sedangkan pada metode infus kontinyu
dapat mengurangi terjadinya fluktuasi konsentrasi obat ini dan juga dapat mencegah
terjadinya kekurangan ataupu kelebihan dosis selama pemberian. Keuntungan lainnya
berupa stabilitas hemodinamik yang lebih baik, mengurangi penggunaan obat-obatan
reversal, dan suport ventilasi post operatif, mengurangi efek samping obat dan menurunkan
dosis total obat hingga 25-30% dari pada pemberian secara bolus, yang akhirnya akan
menghemat biaya.3-6
Dikarenakan obat anestesi intra vena modern memiliki efek farmakologik yang dalam
dan berdurasi kerja singkat, kerap diperlukan penambahan dosis obat secara bolus untuk
memenuhi kebutuhan efek anestesinya dalam mengatasi variasi intensitas stimuli noksius
yang diterima selama pembedahan. Tersedia beberapa manual skema pemberian anestesi
intra vena melalui infus kontinyu yang telah dikembangkan, seperti regimen pemberian
propofol yang dipaparkan oleh Roberts et al, berdasarkan protokol infus untuk
mempertahankan kadar propofol plasma di kisaran 3 µg/ml, diawali dengan pemberian
dosis induksi 1mg/kg, dilanjutkan 10mg/kg/jam untuk 10 menit, 8 mg/kg/jam untuk 10
menit berikutnya dan dosis pemeliharaan 6 mg/kg/jam. Sering diperlukan penambahan
bolus propofol dan atau opioid pada pembedahan abdominal dan mayor lainnya. Selain itu
tersedia juga protokol pemberian midazolam dengan infus kontinyu, Persson et al,
menggunakan dosis induksi midazolam 0,25 mg/kg diikuti dengan infus cepat 0,65
mg/kg/jam dalam 15 menit dan dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 0,13 mg/kg/jam.
Metode ini menyediakan konsentrasi plasma hipnotik dikisaran 300 dan 400 ng/ml. 3-6
Salah satu kemajuan pesat dalam teknik TIVA saat ini adalah penemuan target
controlledinfusions (TCI) yang memungkinkan ahli anestesi dapat menentukan target kadar
obat anestetik yang dibutuhkan baik di dalam darah maupun lokasi efek obat di otak (effect-
site). Dengan target pada effect-site, sistem TCI memanipulasi konsentrasi darah untuk
memberikan konsentrasi effect-site yang diinginkan secepat mungkin. Ketika target
konsentrasi effect-site meningkat, sistem TCI menghitung konsentrasi puncak yang optimal
dalam darah yang menyebabkan gradient konsentrasi antara darah dan effect-site yang
cukup untuk menghasilkan peningkatan konsentrasi effect-site secara cepat, tetapi tidak
melampaui target konsentrasi effect-site. 3-6
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan induksi dengan metode TIVA,
meliputi dosis induksi dan interaksi dari kombinasi obat yang digunakan. Onset efek
anestesi ditentukan oleh konsentrasi obat di otak, dapat dicapai secara cepat maupun
perlahan. Pencapaian yang cepat biasanya dapat disertai efek samping yang nyata seperti
hipotensi, bradikardia dan depresi pernafasan. Semakin besar gradien konsentrasi antara
darah dan otak, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk tercapainya induksi anestesi.
Perpindahan obat dari darah ke effect-site terjadi melalui proses difusi sederhana dan waktu
yang dibutuhkan untuk proses perpindahan ini beragam, tergantung pada gradien
konsentrasi dan k. 3-6
Laju infus dosis induksi adalah salah satu penentu yang mengatur besarnya dosis
induksi. Laju infus yang bertujuan hanya untuk mendapatkan konsentrasi effect-site yang
diinginkan akan menimbulkan kehilangan kesadaran tetapi dengan onset yang lambat.
Hilangnya kesadaran hanya sesaat dan durasinya bertahan selama target konsentrasi effect-
site-nya terjaga. Pada laju infus yang cepat menyebabkan onset anestesi yang cepat dan
durasi kehilangan kesadaran yang lebih lama tetapi juga disertai efek samping yang lebih
nyata karena penggunaan dosis induksi yang lebih besar. 3-6
Variasi pada dosis induksi ini juga dapat disebabkan perbedaan farmakokinetik dan
farmakodinamik masing-masing individu yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
cardiac output, perokok, obat-obatan yang dikonsumsi dan penyakit yang sudah diderita
sebelumnya. Dikarenakan tidak adanya obat IV yang dapat memberikan efek hipnotik,
amnesia dan analgesi sekaligus (kecuali ketamin) maka diperlukan kombinasi dari beberapa
obat anestetik intra vena. Sebagian besar obat IV anestesi bekerja secara sinergis di dalam
kombinasinya. Keuntungannya adalah terjadinya kedalaman anestesi yang adekuat terhadap
stimuli noksius akibat laringoskopi dan intubasi tanpa depresi kardiovaskuler yang
signifikan. 3-6
Seperti halnya penggunaan opioid sebagai pre treatment yang akan mengurangi dosis
agen hipnotik untuk menghilangkan kesadaran dan menghasilkan efek analgesi untuk
mencegah stimulus adrenergik akibat dari intubasi maupun pemasangan LMA. Karena
opioid tunggal bukan merupakan obat anestetik yang lengkap, dalam praktek klinis
diperlukan obat anestetik kedua, seperti agen hipnotik IV untuk menginduksi dan
menimbulkan efek amnesia pada pasien. Durasi efek obat anestesi IV diterminasi secara
dominan oleh proses redistribusi obat dari otak dan darah ke jaringan yang miskin
pembuluh darah.
Dalam anestesi modern, dosis obat hipnotik dan analgesik diberikan secara titrasi untuk
mencapai efek klinis yang diinginkan yang dapat diukur melalui efek pada sistem
kardiovaskuler ataupun EEG. Sebagian besar agen anestesi IV, meningkatkan kedalaman
anestesi akan menurunkan denyut jantung dan tekanan darah (kecuali ketamin). Namun,
dari semua penanda anestesi yang tidak adekuat, gerakan yang ditimbulkan pasien tetap
menjadi penanda yang utama. 2-4
Laju titrasi infus yang diberikan harus dapat mencegah timbulnya gerakan pasien dari
stimulus yang diterima. Pada umumnya diperlukan dosis obat yang besar saat intubasi
pasien dan rendah saat preparasi pembedahan dan draping. Laju infus perlu ditingkatkan
kembali sesaat sebelum insisi dilakukan, selanjutnya selama pembedahan, laju titrasi dosis
obat disesuaikan dengan respon gerakan pasien, status hemodinamik, dan respon otonom.
Dalam keadaan tidak timbulnya respon-respon tersebut, ahli anestesi perlu
mempertimbangkan penurunan laju infus sebesar 15-20%.2-4
Dalam penggunaan tehnik TIVA, kombinasi dari beberapa obat akan menimbulkan
pertanyaan, obat mana yang akan dinaikkan atau diturunkan dosisnya dan atas alasan apa.
Pada umumnya, pemberian dosis opioid bertujuan untuk mencapai konsentrasi obat
analgesik di effect-site, sedangkan titrasi infus agen hipnotik harus disesuaikan dengan
kebutuhan individual pasien dan intensitas stimulasi pembedahan. Pada akhir pembedahan,
di saat penutupan kulit, ahli anestesi harus mengurangi laju infus obat hipnotik dan
analgesik untuk mengembalikan pernafasan spontan yang adekuat. 2-4
Anestetika injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak
menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksikan, cepat diabsorsi, waktu induksi, durasi, dan
masa pulih dari anestesi berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks terapeutik
tinggi, tidak bersifat toksik, mempunyai pengaruh minimal terhadap organ tubuh terutama
saluran pernapasan dan kardiovaskular, cepat dimetabolisme, tidak bersifat akumulatif,
dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot, analgesik, dan sudah diketahui
antidotumnya. Beberapa anestetika injeksi yang sering digunakan adalah golongan
barbiturat seperti thiopental sodium, methoheksital, dan thiamylal, golongan benzodiazepin
(midazolam, diazepam dan lorazepam), golongan cycloheksamin (ketamine dan tiletamin),
etomidat, dan propofol. 2-4
A. Golongan Barbiturat
Barbiturat yang biasa digunakan adalah thiopental, methohexital dan thiamylal.
Ketiganya tersedia dalam bentuk garam sodium dan harus dilarutkan ke dalam larutan
isotonik NaCl (0,9%) atau air untuk mendapatkan larutan thiopental 2,5%, methohwxital
1-2% dan thiamylal 2%. Jika barbiturat dicampurkan ke dalam cairan ringer laktat atau
larutan bersifat asam yang mengandung obat lainnya yang larut air, maka akan terjadi
presipitasi dan menyumbat kateter vena. Walaupun thiopental 2,5% bersifat sangat
alkalis (pH 9) dan dapat mengiritasi jaringan jika disuntikkan ekstravaskuler, ia tidak
menyebabkan nyeri dan iritasi pada vena saat disuntikkan. Sebaliknya, methohexital 1%
sering menyebabkan nyeri saat penyuntikkan di vena kecil. Injeksi thiobarbiturat intra
arterial dapat menyebabkan komplikasi yang serius berupa pembentukkan kristal di
arteriola dan kapiler, menimbulkan vasokonstriksi berat, thrombosis dan bahkan nekrosis
jaringan.7
Barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler di batang otak yang mengontrol banyak
fungsi vital termasuk kesadaran. Pada dosis klinis barbiturat lebih kuat mempengaruhi
fungsi sinaps dari pada akson serabut saraf. Mekanisme kerjanya pada sistem saraf pusat
terbagi menjadi dua kategori, yaitu :7
1. Meningkatkan kerja sinaptik neurotransmiter inhibitor (GABA)
GABA merupakan neurotransmiter inhibitor utama pada sistem saraf pusat dan barbiturat
bekerja dengan berikatan dengan reseptor γ-aminobutyric acid typeA (GABAA).
Barbiturat mempotensiasi aksi GABA dalam meningkatkan durasi bukaan kanal ion
klorida spesifik yang menghasilkan hiperpolarisasi membran sel post sinaptik.7
2. Memblokade aksi sinaptik neurotransmiter eksitasi (glutamat dan asetilkolin)
Barbiturat secara khusus memblokade transmisi eksitasi sistem saraf pusat pada sinaptik
kanal ion sistem glutaminergik NMDA. Pada penelitian terhadapa korteks pre frontal
tikus, thiopental tampak menurunkan kadar glutamat ekstra seluler di sistem saraf pusat
dan menghambat aktivitas eksitasi saraf melalui aksi inhibisi pada reseptor NMDA.7
Farmakokinetik
a. Absorbsi
Dalam praktek anestesi, thiopental, thiamylal dan methohexytal sering diberikan melalui
jalur intra vena untuk induksi anestesi umum pada anak dan dewasa. Pulih sadar setelah
pemberian intra vena dosis tunggal thiopental, thiamylal dan methohexytal
mencerminkan proses redistribusi dari obat-obat tersebut dari otak ke jaringan inaktif.1-5
b. Distribusi
Durasi pada dosis tidur barbiturat larut dalam lemak (thiopental, thiamylal dan
methohexytal) tergantung pada proses redistribusinya bukan pada metabolisme dan
eliminasi. Walaupun thiopental sangat terikat dengan protein (80%), tetapi
keterlarutannya yang tinggi dalam lemak dan fraksi non ionisasi yang tinggi (60%)
berperan dalam ambilan otak yang cepat (dalam 30 dtk). Jika kompartemen pusat
mengecil (pada keadaan syok hipovolemik), serum albumin yang rendah dan fraksi non
ionisasi meningkat (pada keadaan asidosis) konsentrasi obat pada jantung dan otak akan
berlipat pada dosis biasa yang diberikan. Redistribusi ke kompartemen perifer (terutama
pada otot) akan menurunkan konsentrasi dalam plasma dan otak sebesar 10% dalam
waktu 20-30 mnt. Pada usia lanjut, di mana proses redistribusi berjalan lebih lambat,
diperlukan dosis yang lebih kecil. 1-5
c. Biotransformasi dan Ekskresi
Barbiturat mengalami biotransformasi via oksidasi hepar menjadi metabolit in aktif yang
larut dalam air dan dieksresikan melalui ginjal, kecuali methohexital yang dieksresikan
melalui feses.
Efek pada sistem organ1-5
a) Kardiovaskuler
Dosis induksi bolus barbiturat iv menyebabkan penurunan tekanan darah dan
peningkatan denyut jantung. Depresi pada pusat vasomotor medulla menghasilkan
vasodilatasi pembuluh darah kapasitans perifer sehingga terjadi pooling darah di perifer
yang akan diikuti dengan takikardi sebagai reflek vagolitik sentral dan respon terhadap
penurunan tekanan darah. Cardiac output tetap terjaga karena adanya peningkatan
denyut jantung dan kontraktilitas otot jantung karena adanya kompensasi dari reflek
baroresptor.
b) Respirasi
Barbiturat menekan pusat pernafasan di tingkat medulla, menurunkan respon pernafasan
terhadap hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi dalam barbiturat sering menyebabkan
obstruksi jalan nafas atas, apnea (pada dosis induksi). Volume tidal dan laju respirasi
menurun saat induksi dengan barbiturat. Barbiturat menekan refleks jalan nafas tidak
komplet terhadap respon laringoskopi dan intubasi yang dapat menyebabkan
bronkospasme (pada pasien ashma) maupun laringospasme pada pasien yang masih
teranestesi dangkal.
c) Otak
Barbiturat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak yang menimbulkan
penurunan cerebral blood fl ow (CBF), cerebral blood volume dan tekanan intra kranial.
Penurunan intra kranial lebih bermakna dari pada penurunan tekanan darah arteri
sehingga cerebral perfusion pressure (CPP) akan meningkat. Barbiturat menurunkan
konsumsi oksigen otak (hingga 50% dari normal). Tingkatan depresi sistem saraf pusat
oleh barbiturat dari sedasi ringan hingga hilangnya kesadaran tergantung pada dosis yang
diberikan. Barbiturat tidak memiliki efek analgesia dan relaksasi otot.
d) Ginjal
Barbiturat menurunkan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerolus terkait dengan
penurunan pada tekanan darah.
e) Hepar
Menurunkan aliran darah ke hepar. Barbiturat mendorong pembentukan asam
aminolevulinic yang merangsang pembentukan porfirin (mediator pembentukan heme).
Hal ini dapat memicu terjadinya porfiria intermiten akut.
B. Golongan Benzodiazepin
Benzodiazepin mengikat reseptor yang sama dengan barbiturat di sistem saraf
pusat, tetapi berikatan dilokasi yang berbeda. Berikatan dengan reseptor GABA,
sehingga terjadi terjadi peningkatan frekuensi pembukaan kanal ion Cl. 1-5
Midazolam mempunyai keunggulan dibandingkan diazepam dan lorazepam untuk
induksi anestesi, karena ia mempunyai onset yang lebih cepat. Kecepatan onset
midazolam dan barbiturat lainnya ketika digunakan untuk induksi anestesi ditentukan
oleh dosis, kecepatan injeksi, tingkat premedikasi sebelumnya, umur, status fisik ASA
dan kombinasi obat anestetik lain yang digunakan. Pada pasien yang sehat yang telah
diberi premedikas sebelumnya, midazolam 0,2 mg/kg dengan kecepatan injeksi 5-15
detik akan menginduksi pasien dalam waktu 28 detik. Pasien dengan usia lebih dari 55
tahun dan dengan status fisik ASA III memerlukan pengurangan dosis midazolam
sebesar 20% atau lebih untuk induksi anestesi. Farmakokinetik1-5
a) Absorbsi
Benzodiazepin umumnya diberikan secaraoral, intra muskular dan intra vena untuk
menghasilkan efek sedasi dan jarang digunakan untuk induksi.
b) Distribusi
Diazepam relatif larut dalam lemak dan mudah menembus sawar darah otak, walaupun
midazolam larut dalam air pada pH rendah, cincin imidazolenya mendekati pH fisiologis
yang meningkatkan kelarutannya di dalam lemak. Redistribusi cukup cepat pada
benzodiazepin (distribusi awal waktu paruhnya 3-10 menit). Seperti pada barbiturat,
redistribusi berperan dalam terminasi efek obat. Midazolam dapat digunakan sebagai
agen induksi, yang dapat menyamai onset cepat dan durasi pendeknya propofol atau
bahkan thiopental. Midazolam sangat terikat dengan protein (90-98%).
c) Biotransformasi dan eksresi
Biotransformasi benzodiazepin menjadi produk akhir glukoronidase yang larut air
tergantung pada pada hepar. Metabolit fase I diazepam merupakan metabolit yang aktif.
Ekstraksi hepatik yang lambat dan Vd yang besar menyebabkan eliminasi waktu paruh
yang panjang pada diazepam. Vd midazolam serupa dengan diazepam, tetapi eliminasi
waktu paruhnya pendek (2 jam) karena tingginya rasio ekstraksi hepatiknya. Metabolit
benzodiazepin utamanya dieksresikan melalui urin. Sirkulasi enterohepatik pada
diazepam, menyebabkan peningkatan sekunder konsentrasi plasmanya 6-12 jam setelah
pemberian. Gagal ginjal menyebabkan pemanjangan waktu sedasi pasien yang menerima
dosis besar midazolam karena akumulasi dari metabolit terkonjugasinya (a-
hydroxymidazolam).
Efek pada sistem organ
a) Kardiovaskuler
Benzodiazepin memiliki efek depresi kardiovaskuler yang minimal meskipun pada dosis
anestesi umum, kecuali jika diberikan bersama dengan opioid. Jika diberikan tunggal,
akan menurunkan tekanan darah arteri, cardiac output dan resistensi pembuluh darah
perifer yang ringan, terkadang dapat meningkatkan denyut jantung. Midazolam IV
menurunkan tekanan darah dan tahanan pembuluh darah perifer yang lebih besar
daripada diazepam. Variasi perubahan denyut jantung selama sedasi dengan midazolam
disebabkan oleh penurunan tonus vagal.
b) Respirasi
Benzodiazepin IV menurunkan respon pernafasan terhadap CO 2 utamanya jika
dikombinasikan dengan obat depresan nafas yang lainnya. Meskipun apnea relatif jarang
pada induksi dengan benzodiazepin, pemberian dosis kecil IV dapat menyebabkan
respiratory arrest. Ventilasi harus selalu diawasi pada semua pasien yang mendapatkan
benzodiazepin IV dan peralatan resusitasi harus selalu tersedia.
c) Otak
Benzodiazepin menurunkan kebutuhan oksigen otak, CBF dan tekanan intra kranial
tetapi tidak sebanyak barbiturat. Menimbulkan relaksasi otot ringan yang bekerja pada
tingkatan corda spinalis bukan pada neuromuscular junction. Pada dosis rendah
menimbulkan efek anti cemas, amnesia, dan sedasi, sedangkan pada dosis besar akan
menimbulkan efek stupor sampai hilangnya kesadaran. Tidak mempunyai efek analgesik
dan bila dibandingkan dengan propofol dan thiopental, mempunyai onset yang lebih
lambat.
C. Ketamin
Derivat phencyclidine ini diformulasikan dalam bentuk campuran racemic. Di
antara agen anestetik lainnya ketamin mempunyai keunggulan dengan menimbulkan efek
hipnotik dan analgesi sekaligus berkaitan dengan dosis yang diberikan. Ketamin
memiliki efek yang beragam pada sistem saraf pusat, menghambat refleks polisinaptik di
medulla spinalis dan neurotransmiter eksitasi di area tertentu otak. Ketamin memutus
hubungan thalamus (penghubung impuls sensoris dari sistem aktivasi retikuler ke korteks
serebri) dengan korteks limbus (berperan pada sensasi waspada), secara klinis disebut
juga anestesi disosiasi, di mana pasien tampak sadar (mata terbuka, reflek menelan dan
kontraksi otot) tetapi tidak mampu mengolah dan merespon input sensorisnya. 1-5
Ketamin juga merupakan antagonis reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate). Pada
dosis sub anestesi ketamin dapat menimbulkan halusinasi yang dapat dicegah dengan
pemberian midazolam ataupun agen hipnotik lainnya. Didahului dengan premedikasi
benzodiazepin, ketamin 1-2 mg/kg IV dapat digunakan untuk induksi anestesi dengan
durasi sekitar 10-20 menit setelah dosis tunggal induksi, dengan tambahan waktu 60-90
menit untuk pulih sadar dengan orientasi yang utuh. 1-5
Efek analgesik mulai timbul pada dosis sub anestetik antara 0,1-0,5 mg/kg IV dan
konsentrasi plasma antara 85-160 ng/ml. Dosis rendah dengan infus sebesar 4 µg/kg/mnt
IV telah dilaporkan dapat menghasilkan efek analgesi postoperatif yang sama dengan
infus morphin 2 mg/jam IV. 1-5
Farmakokinetik1-5
a) Absorbsi
Ketamin dapat diberikan secara oral, nasal, rektal, subkutan dan epidural. Tapi secara
umum di dalam klinis biasanya diberikan secara IV atau IM. Kadar puncak pada plasma
tercapai dalam waktu 10-15 menit setelah injeksi intra muskular.
b) Distribusi
Ketamin lebih laarut dalam lemak dan kurang terikat dengan protein dibandingkan
dengan thiopental, sehingga uptake-nya oleh otak dan proses redistribusinya berlangsung
cepat (waktu paruhnya 10-15 menit). Terminasinya akibat dari redistribusi dari otak ke
kompartemen perifer.
c) Biotransformasi dan eksresi
Ketamin mengalami proses biotransformasi di hati yang menghasilkan beberapa
metabolit, salah satunya norketamin yang masih memiliki efek anestesi. Ekstraksi
hepatiknya tinggi, sehingga memiliki waktu paruh eliminasi yang relatif pendek (2 jam).
Produk akhir ketamin dieksresikan oleh ginjal.
Efek pada sistem organ1-5
a) Kardiovaskuler
Ketamin meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung dan cardiac output, terutama
setelah injeksi bolus cepat. Efek tersebut disebabkan oleh stimulasi sentral pada sistem
saraf simpatis dan inhibisi pada reuptake norepinephrine setelah dilepaskan pada
terminal saraf.
b) Respirasi
Ventilatory drive sedikit dipengaruhi oleh ketamin dosis induksi, walaupun dengan
pemberian bolus IV cepat atau kombinasi dengan opioid dapat menyebabkan apnea.
Ketamin racemic merupakan bronkodilator yang poten, sehingga berguna sebagai agen
induksi untuk pasien ashma, sedangkan ketamin S(+) mempunyai efek bronkodilator
yang minimal. Refleks saluran nafas atas terjaga dengan baik, walaupun juga dapat
terjadi obstruksi parsial, sehingga pasien dengan resiko aspirasi (lambung penuh)
sebaiknya diintubasi selama anestesi umum dengan ketamin. Hipersalivasi akibat
ketamin dapat diatasi dengan premedikasi agen antikolinergik seperti glycopyrrolate.
c) Otak
Ketamin meningkatkan konsumsi oksigen otak, CBF dan tekanan intra kranial, sehingga
penggunaannya dihindari pada keadaan space occupying intracranial lesions seperti
yang terjadi pada trauma kepala. Tetapi dari penelitian-penelitian terakhir, dengan bukti
yang kuat bila dikombinasikan dengan benzodiazepin (atau agen lain yang bekerja pada
sistem reseptor GABA yangsama) dan dengan kontrol ventilasi tetapi tanpa
menggunakan N2O, ketamin tidak menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial.
Ketamin meningkatkan aktivitas listrik subkortikal sehingga menimbulkan gerakan
myoklonik. Efek samping psikomimetik akibat ketamin jarang terjadi jika
dikombinasikan dengan benzodiazepin pada tehnik TIVA.
D. Etomidat
Etomidat mendepresi sistem aktivasi retikuler dan meniru efek inhibisi GABA.
Secara spesifik mengikat sub unit reseptor GABA yang akan meningkatkan afinitas
reseptor terhadap GABA. Etomidat memiliki efek disinhibisi pada mekanisme sistem
saraf yang mengontrol aktivitas motorik ekstrapyramidal, sehingga menyebabkan
timbulnya efek gerakan myoklonik pada sekitar 30-60% pasien yang diinduksi dengan
etomidat. Dosis induksi 0,2-0,4 mg/kg menghasilkan durasi efek hipnosis sekitar 5-15
menit, dengan sedikit perubahan pada status kardiovaskuler pada pasien yang sehat
maupun dengan penyakit katup atau penyakit jantung iskemik. Etomidat dapat
menimbulkan nyeri saat penyuntikkan dan angka kejadian PONV yang tinggi.
Farmakokinetik1-5
a) Absorbsi
Etomidate hanya dapat diberikan secara IV dan utamanya digunakan untuk induksi
anestesi umum. Terkadang juga digunakan untuk sedasi dalam sesaat sebelum
melakukan blokade retrobulbar.

b) Distribusi
Etomidat sangat terikat dengan protein, meskipun demikian onsetnya cepat, dikarenakan
etomidat sangat larut dalam lemak dan fraksi non ionisasinya tinggi pada pH fisiologis.
Proses redistribusi berperan dalam lamanya durasi etomidat.
c) Biotransformasi dan eksresi
Etomidat cepat dihidrolisis oleh enzim mikrosomal hati dan plasma esterase menjadi
metabolit inaktif yang akan dieksresikan oleh ginjal.
Efek pada sistem organ
a) Kardiovaskuler
Mempunyai efek yang minimal pada sistem kardiovaskuler. Menurunkan secara minimal
tahanan pembuluh darah perifer sehingga terjadi sedikit penurunan tekanan darah arteri.
Kontraktilitas otot jantung dan cardiac output umumnya tidak mengalami perubahan.
Etomidat tidak melepas histamin
b) Respirasi
Dibandingkan dengan barbiturat dan benzodiazepin, ventilasi sedikit dipengaruhi oleh
etomidat. Pada dosis induksi tidak menyebabkan apnea kecuali bila dikombinasikan
dengan opioid.
c) Otak
Etomidat menurunkan laju metabolisme otak, CBF, dan tekanan intra kranial. Karena
hanya sedikit mempengaruhi kardiovaskuler, CPP dapat terjaga dengan baik. Etomidat
tidak mempunyai efek analgesik.
d) Endokrin
Dosis induksi etomidat menghambat enzim yang terlibat dalam sintesis kortisol dan
aldosteron. Infus jangka panjang etomidat dan efeknya pada supresi adrenokortikal akan
meningkatkan angka mortalitas pada pasien
critically ill (terutama pasien sepsis).
E. Propofol
Propofol mengikat reseptor GABA, sehingga meningkatkan afinitas ikatan GABA
dengan reseptor GABA, yang akan menyebabkan hiperpolarisasi membran saraf. Injeksi
propofol IV akan menimbulkan nyeri yang dapat dikurangi dengan pemberian injeksi
lidokain sebelumnya atau dengan mencampurkan lidokain 2% dengan 18 ml propofol
sebelum penyuntikkan. Formulasi propofol mudah terkontaminasi dengan pertumbuhan
bakteri, sehingga harus digunakan dengan tehnik yang steril dan tidak boleh dipakai
setelah 6 jam pembukaan ampul. 1-5,7
Induksi anestesi dengan propofol berlangsung dengan lembut dengan hanya sedikit
menimbulkan efek samping eksitasi. Dosis 1-2,5 mg/kg (tergantung pada usia dan status
fisik pasien serta penggunaan premedikasi) menghasilkan induksi anestesi dalam waktu
30 detik. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler harus diberikan dosis induksi yang
lebih rendah.
Farmakokonetik. 1-5,7
a) Absorbsi
Propofol hanya tersedia dalam bentuk pemberian secara IV untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi.
b) Distribusi
Onset kerja propofol cepat, begitu pula dengan durasinya yang pendek pada pemberian
bolus dosis tunggal dikarenakan pendeknya distribusi waktu paruhnya (2-8 menit). Pada
lansia direkomendasikan pengurangan dosis induksi dan laju infus propofol yang
diberikan, karena Vd mereka yang lebih kecil.
c) Biotransformasi dan eksresi
Propofol dimetabolisme dengan cepat menjadi metabolit inaktif dan dieksresikan melalui
ginjal. Laju klirens propofol (20-30 ml/kg/mnt) melampaui aliran darah hepar, sehingga
diduga propofol juga dimetabolisme di organ yang lain seperti paru (ekstra hepatik).
Efek pada sistem organ1-5,7
a) Kardiovaskuler
Propofol menghambat aktivitas simpatis vasokonstriktor sehingga menurunkan resistensi
pembuluh darah perifer, preload dan kontraktilitas otot jantung yang akhirnya akan
menurunkan tekanan darah arteri. Hipotensi yang terjadi saat induksi biasanya akan pulih
akibat dari stimulasi laringoskopi dan intubasi. Hipotensi pada induksi propofol
dipengaruhi oleh dosis yang besar, kecepatan injeksi dan usia tua. Propofol secara nyata
mempengaruhi barorefl eks arterial terhadap hipotensi. Perubahan pada denyut jantung
dan cardiac output biasanya hanya sementara dan tidak bermakna pada pasien yang
sehat, tetapi dapat diperparah pada pasien lansia, konsumsi ß-adrenergic blockers atau
pada pasien dengan gangguan fungsi ventilasi.
b) Respirasi
Pada dosis induksi propofol menekan secara dalam fungsi pernafasan hingga
menyebabkan apnea. Meski hanya dengan dosis sub anestetik propofol menghambat
respon normal terhadap hiperkarbia. Propofol menekan refleks jalan nafas atas melebihi
thiopental sehingga tindakan intubasi, endoskopi dan pemasangan LMA dapat dilakukan
tanpa blokade neuromuskular.
c) Otak
Propofol menurunkan CBF, cerebral metabolit rate dan tekanan intra kranial. Ketika
dosis besar diberikan, efek penurunan tekanan darah sistemik yang nyata dapat
menurunkan CPP. Autoregulasi pembuluh darah otak dalam merespon perubahan
tekanan darah arteri dan reaksi CBF terhadap perubahan tekanan CO tidak mengalami
perubahan. Propofol memiliki kemampuan yang sama dengan thiopental sebagai
protektor otak terhadap fokal iskemia. Induksi propofol dapat disertai dengan fenomena
eksitasi seperti kedutan otot, gerakan spontan, ophisthotonus dan cegukan. Propofol
mempunyai efek anti konvulsan dan dapat digunakan untuk mengatasi keadaan status
epileptikus.
F. Opioid
Ketika digunakan di dalam tehnik TIVA,opioid bekerja secara sinergis dengan
kebanyakan agen hipnotik. Selama melakukan TIVA, kemampuan untuk mencegah
respon otonom terhadap stimuli pembedahan sangat bergantung dengan penggunaan
opioid. 1-5,7

2.2.Difficult Airway
Difficult airway atau kesulitan jalan napas menurut The Aerican Society of
Anesthesiology adalah adanya faktor-faktor klinis yang menyulitkan baik ventilasi masker
atau intubasi yang dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dan terampil.4-6
Terjadinya morbiditas akibat anestesi (kerusakan gigi, aspirasi paru, trauma jalan
nafas, trakeostomi tanpa antisipasi sebelumnya, anoxic brain injury, cardiopulmonary arrest
dan kematian) merupakan akibat serius dari kesulitan atau kegagalan dalam manejemen
jalan napas. 4-6
2.2.1. Difficult Ventilation
Difficult ventilation atau kesulitan ventilasi menurut The American Society of
Anesthesiology adalah ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk
menjaga SP02 >90% saat ventilasi menggunakan face mask. Mask Ventilation (MV) adalah
keterampilam integral bagi semua ahli anestesi. MV merupakan salah satu langkah awal pada
anestesi umum, dan juga merupakan teknik penting dalam mempertahankan oksigenasi ketika
terjadi gagal atau sulit intubasi. 4-6
Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat menjadikan seseorang pasien mengalami
difficult ventilation, yaitu: obesitas, usia, laki-laki, grade mallampati, mandibular protrusi,
dan riwayat tidur ngorok. Biasanya faktor resiko ini disingkat dengan OBESE (Obese,
Bearded, Edentulous, Snoring, Elderly) atau MMMMASK (Male gender, Mask seal,
Mallampati grade 3 atau 4, Mandibular protrusion, Age, Snoring dan tidur ngorok,
Kilogram). 4-6
Jika dua faktor di atas positif kemungkinan beresiko untuk mengalami difficult
ventilation.
2.3.Difficult Intubation
Defenisi dari sulit intubasi (difficult tracheal intubation) itu sendiri adalah suatu tindakan
yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop
konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah keadaan
dimana keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih dari 10 menit. 4-6
Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan terjadinya
kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan

L (Look externally)
Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal - hal
yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti trauma pada
wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil.

E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental Langkah ini
merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi laring.
Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit untuk dilakukan
intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan
jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara
ujung mentum, tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-
3-2:
 Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral.
 Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah ketika
laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan peningkatan
kesulitan.
 Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah. Bila
lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah, sehingga mungkin
menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.

M (Mallampaty score)
Skor mallampati atau klasifikasi mallampati adalah sistem skor medis yang digunakan
dibidang anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan bisa menimbulkan resiko pada
intubasi pasien yang sedang menjalani proses pembedahan. Hasil menentukan tingkat yg
dibedakan dari I sampai IV. Kelas I mengindikasikan seorang pasien yg seharusnya lebih
mudah diintubasi. Tingkat tertinggi, kelas IV ditujukan ditujukan kepada pasien dengan
resiko tinggi, komplikasi. Klasifikasi mallampati ditentukan oleh pengamatan visual dari
rongga mulut.
Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1: Palatum mole, uvula, dinding posterial orofaring, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterial ufula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja

Gambar 3. Klasifikasi Mallampati2

Pasien posisi duduk tegak, dengan kepala terangkat dalam posisi netral. Pasien
memegang mulutnya terbuka lebar dan meluaskan lidah, teknisi memeriksa visibilitas dari
struktur faring. Dalam sistem klasifikasi kelas 1 dan 2 umumnya mudah diintubasi sedang 3
dan 4 terkadang sulit. Selain sistem klasifikasi mallampati, temuan fisik lainnya telah
terbukti menjadi prediktor yang baik dari kesulitan napas. Faktor lain yang digunakan untuk
memprediksi kesulitan intubasi antara lain gerak sendi temporo mandibular terbatas,
mandibular menonjol, maksila atau gigi depan yang menonjol, mobilitas leher terbatas,
pertumbuhan gigi tidak lengkap, langit-langit mulut sempit, anafilaksis saluran Mallampati,
dan ankilosis servikal, sindrome congenital Klippel-Fei (leher pendek, leher menyatu),
Pierre Robin (micrognathia, belahan langit-langit, glossoptosis), Treacer Collins (mandibulo
facial dysostosis), endokrinopati (kegemukan, acromegali, hipotiroid macroglossia,
gondok), infeksi (Ludwig Angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,
retropharyngeal abses, epiglottitis), massa pada medisastinum, myopati menunjukkan
myotonia atau trismus, jaringan parut luka bakar atau radiasi, trauma dan hematoma, tumor
dan kista, benda asing jalan napas, kebocoran disekitar masker wajah (edentulous, hidung
datar, besar wajah dan kepala, kumis, jenggot), nasogastrik tube, kurangnya ketrampilan,
pengalaman, atau terburu—buru.

O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai akibat
adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice (hot
potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya
stridor.

N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam
intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu posisi
leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat
mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring
dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35
derajat.
Tahun 1984, Cormack dan Lehane membuat skala yang menggambarkan derajat
visualisasi laring pada saat laringoskopi. Skor Cormack-Lehane harus dinilai pada saat
visualisasi laring yang paling baik, dengan pasien berada dalam posisi sniffing yang
optimal, keadaan relaksasi otot yang baik, teknik laringoskopi yang benar, dan bergantung
pada keterampilan serta kemampuan individu yang melakukan laringoskopi.
Kelas 1 sebagian besar glottis terlihat, kelas 2 hanya ektremitas posterior glottis dan
epiglotis tampak, kelas 3 tidak ada bagian dari glottis yang terlihat, hanya epiglotis yang
terlihat, kelas 4 bahkan epiglotis tidak terlihat.
Kelas 1 dan 2 dianggap mudah, kelas 3 dan 4 dianggap sulit. Pada peneilitian
simatupang 2014 disimpulkan upper lip bite test (ULBT) dan Mallampati memiliki korelasi
yang baik sebagai prediktor kesulitan intubasi. Benumof JL, 1994 melaporkan untuk
kesulitan intubasi sebesar 1-4% pada Cormack Lehane derajat III, sedangkan kegagalan
intubasi sebesar 0,05-0,35% pada derajat III dan IV.
Gambar: penampakan derajat laryngoscop5

2.4. Tonsilitis
2.4.1 Defenisi
Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatina yang disebabkan oleh infeksi virus atau
bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut dengan
sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibody
terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari
bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3
macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronis.8
1. Tonsilitis akut
a. Etiologi
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus β hemolitikus,
Pneumokokus, Streptokokus viridans, dan Streptokokus pyogenes. Hemophylus
influenzae merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. 8
b. Patofisiologi
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, kemudian bila kuman ini mengikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi,
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan
epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak
sebagai bercak kuning. 8
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis.
Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi
tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran
semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil. 8
Gambar 8. Tonsillitis akut

c. Manifestasi klinik
Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu menelan,
nafas yang berbau, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan, dan rasa
nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri ditelinga ini karena nyeri alih (referred pain)
melalui saraf n.Glosofaringius (n.IX). 8
Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan
terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane semu.
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. 8
d. Komplikasi
Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring, toksemia,
septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis. 8
e. Pemeriksaan
1) Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada
dalam tubuh pasien merupakan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan
demam reumatik, glomerulonefritis. 8
2) Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan. 8
f. Perawatan
Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan perawatan
sendiri dan dengan menggunakan antibiotic.Tindakan operasi hanya dilakukan jika
sudah mencapai tonsillitis yang tidak dapat ditangani sendiri. 8
1) Perawatan sendiri
Apabila penderita tonsillitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu
hilang dengan sendirinya. Selama satu atau dua minggu sebaiknya penderita
banyak istirahat, minum minuman hangat.
2) Antibiotik
Jika tonsillitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotic yang akan berperan
dalam proses penyembuhan. Antibiotik oral perlu dimakan selama setidaknya
10 hari.
3) Tindakan operasi
Tonsillektomi biasanya dilakukan jika pasien mengalami tonsillitis selama tujuh
kali atau lebih dalam setahun, pasien mengalami tonsillitis lima kali atau lebih
dalam dua tahun, tonsil membengkak dan berakibat sulit bernafas, adanya abses.
2. Tonsilitis Membranosa
Tonsillitis membranosa adalah radang akut tonsil disertai pembentukan selaput atau
membrane pada permukaan tonsil yang dapat meluas kesekitarnya. Bila eksudat yang
menutupi permukaan tonsil yang bengkak menyerupai membran. Membran ini biasanya
mudah diangkat atau dibuang dan berwarna putih kekuning-kuningan. 3
a. Tonsillitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi
dan anak. Penyebab tonsillitis difteri ialah kuman Coryne bacterium diphteriae,
kuman yang termasuk dalam gram positif dan hidung disaluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring, dan laring. 3

Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensinya tertinggi pada usia 2 – 5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini. 3

Gejala dan Tanda


Dibagi kedalam tiga golongan: 3
a. Gejala umum, sama seperti dengan gejala infeksi lainnya seperti; kenaikan suhu,
tidak nafsu makan, badan lemah, nyeri kepala, nyeri menelan, dan nadi melambat.
b. Gejala Lokal, tampak tonsil membengkak ditutupi oleh bercak putih kotor yang
semakin lama semakin meluas dan membentuk membrane semu, kemudian
meluas hingga palatume mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus yang
dapat menghambat saluran nafas. Bila penyakit ini berkembang terus kelenjar
limfe leher akan membengkak dan disebut dengan bull neck ( leher sapi ).
c. Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman yang dapat menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh seperti jantung menjadi miokarditis sampai
dekompensasi kordis, kemudian mengenai safar cranial yang dapat menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan ginjal menimbulkan
albuminuria.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemerikasaan refarat
kuman yang diambil dari permukaan membrane semu dan didapatkan kuman
Corynebacterium diptheriae. 3

Gambar 9. Tonsillitis difteri


Terapi 3
- Antibiotik Penisilin / Eritromisin 25 – 50 mg/ kgBB dalam 3 dosis selama 14 hari
- Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB per hari
- Anti difteri serum (ADS) diberikan tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis
20.000 sampai dengan 100.000 ribu unit, tergantung dari umur dan berat penyakit
Komplikasi
Dapat terjadi laryngitis difteri dengan cepat, membrane semu menjalar ke laring
dan menyebabkan sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul komplikasi.
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata akomodasi , otot faring serta otot laring.
Albuminemia sebagai akibat komplikasi ke ginjal. 3
b. Tonsilitis Septik
Penyebab tonsillitis septik adalah Streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam
susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena di Indonesia susu sapi
dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum. Gejalanya antara lain
demam tinggi, sakit sendi, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah. Tanda klinis yaitu
mukosa faring dan tonsil hiperemis, bercak putih, edema sampai uvula, mulut bau.
Terapi yaitu pemeberian antibiotic dan terapi simptomatik. 3

Gambar 10. Tonsillitis septik


c. Angina Plaut Vincent ( Stomatitis Ulsero Membranosa )
Penyebabnya adalah bakteri spinochaeta atau triponema yang didapatkan pada
penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. 3
Gejala
Demam sampai 39˚ C, nyeri kepala, badan lemah, gangguan pencernaan, nyeri
dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. 3
Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan diatas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveoluris, mulut berbau dan kelenjar
sub mandibula membesar. 3
Gambar 11. Angina plaut vincent
Terapi
Antibiotika spectrum luas selama 1 minggu. Memperbaiki hygiene mulut.
Vitamin C dan vitamin B kompleks. 3
d. Penyakit Kelaianan Darah
Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononucleosis timbul difaring atau di tonsil yang tertutup membrane semu. Kadang –
kadang terdapat perdarahan di selaput lender dan mulut dan faring serta pembesaran
submandibula. 3
Leukemia Akut
Gejala pertama berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah
kulit sehingga bercak kebiruan. Tonsil bengkak ditutupi membrane semu tetapi tidak
hiperemis dan rasa nyeri yang hebat di tenggorok. 3
Angina Agranulositosis
Penyebabnya adalah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa dan
asren. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di sekitar
ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran
cerna. 3
Gambar 12. Angina agranulositosis
Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral. Membran
semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu
terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas lain adalah
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terdapat sel darah merah domba
( reaksi Paul Bunnel ). 3

Gambar 13. Infeksi mononukleosis

3. Tonsilitis kronis
a. Etiologi
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut, namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. 3
b. Faktor predisposisi
Higien mulut yang buruk, pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat,
rangsangan kronik karena rokok maupun makanan. 3
c. Patofisiologi
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan
jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok
melebar yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul
dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. 3
d. Pemeriksaan
1) Terapi
Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada higien mulut dengan berkumur
atau obat isap. 3
Terapi radikal dengan tonsillektomi bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta curiga neoplasma. 3
2) Faktor penunjang
Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.

Gambar 14. Tonsilitis kronik


e. Komplikasi
Timbul rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum,
endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis. 3
f. Indikasi Tonsillektomi
Tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology (AAO) adalah: 3
1) Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
c. Tonsillitis yang menimbulkan kejang demam.
d. Tonsillitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
2) Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
b. Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis.
c. Tonsillitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
g. Teknik-Teknik Tonsillektomi
1. Guillotine
Tonsilektomi caraguillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19,
dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil.
Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini
mulai dikerjakan. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai
modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan
uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk memotong
uvula yang edematosa atau elongasi.5
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu
cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil. 5
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Di
negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi
umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat
pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsillektomi
dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak. 5
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan
desain yang lebih baik untuk tonsillektomi, prinsip dasar teknik tonsillektomi
tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal
anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke
garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat
dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu
dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya
dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin. 5
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan
benar dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli
bedah dan harus diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan
dimulai.Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa
endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik
ditempatkan dengan cara membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari
pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis
tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati
agar ujung bilah tidak mengenai palatum superior sampai tonsil karena dapat
menyebabkan perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa
endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi
dan mouth gag dibuka.Tindakan ini harus dilakukan dengan visualisasi
langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung
bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan secara hati-hati
untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak
terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan
inferior tonsil terlihat. Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan.
Sebelum memulai operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan
palatum durum dan molle. 5,6
Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur
garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag
tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa (khususnya wanita)
menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no. 4. Bilah
no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil.Intubasi nasal trakea
lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak
dilakukan adenoidektomi. 5,6
3. Electrosurgery (Bedah listrik)
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum,
karena mudah memicu terjadinya ledakan.Namun, dengan makin
berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan perbaikan peralatan
operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin meluas. 5
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi
radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang
digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas,
panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari
teknik ini.Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk
dalam jalur listrik (electrical pathway). 4,5
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade,
monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga
listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan
atau untuk koagulasi.Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat
melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat
pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain. 5
4. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6
minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi
diberikan pada medium penghantar seperti larutan salin.Partikel yang
terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk memecah
ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu rendah (40° C -
70° C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak. 8
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed
Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty
system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation system dan Argon
plasma coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang
seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang volumenya.Penggunaan teknik
radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi.Namun masih
diperlukan studi yang lebih besar dengan desain yang baik untuk
mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini. 5,6
5. Skalpel harmonic
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong
dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik
ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan
laser. Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila
temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut
(biasanya 150° C – 400° C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur
disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 50° C - 100° C). Sistem
skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel
penyambung, pisau bedah dan pedal kaki. 8
Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang
bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 µm (paling
penting), dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung
pemotong saat kontak dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan
penurunan tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan fragmentasi
berongga dan pemisahan jaringan. Koagulasi muncul ketika energi mekanik
ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier menjadi protein
denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi jaringan internal akibat
vibrasi frekuensi tinggi. 8
Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini
mengurangi nyeri pascaoperasi. 6,8
6. Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar
ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation;
bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation. 8
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan
listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium
klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat
merusak jaringan sekitar. Coblationprobe memanaskan jaringan sekitar lebih
rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 60° C (45 - 85° C)
dibanding lebih dari 100° C). 8
National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi
teknik coblationsama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini
bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan.
5

7. Intracapsular partial tonsillectomy


Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun
mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan
tonsillektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan
ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai
kapsulnya. 8
Pada tonsillektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk
menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan
memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini akan
mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya
peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca
operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang tersisa akan
meningkatkan insiden tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dan tonsilitis
kronis merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam teknik
tonsilektomi intrakapsuler.Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik
ini. 8
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi
lebih rendah dibanding tonsilektomi standar.Tetapi masih diperlukan studi
dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik ini.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa
nyeri di seluruh tubuh akibat dari pemberian obat anestesia. Anestesi umum
merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan
diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang
ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan
(amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak
spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness).
2. Anestesi umum dibagi menjadi dua metode, yakni anestesi inhalasi dan anestesi
injeksi. Namun, biasanya dapat digunakan kedua metode tersebut, disebut dengan
balance anestesia.
3. Pada pasien pasien anestesia umum biasanya dijumpai difficult airway.
Difficult airway dibagi menjadi dua yakni, difficult intubation dan difficult
inhalation
4. Pada pasien ini termasuk dalam cormeck IV, dan saat dilakukan anestesi Mallapati
4, faktor resiko sulit intubasi karena obesitas, dan faktro leher yang pendek. Maka
dari itu pasien ditunda untuk dilakukan operasi dengan edukasi ke pasien untuk
menurunakn berat-badan pasien terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Atikenhad AR, Moppett LK, Thompson JP. Textbook of anesthesia. 6th eition. United

kingdom: Elsevier, 2013

2. Lin. T, Smith. T, Pinnock C. Fundamentals of anesthesia 4th edition. United Kingdom:

Cambridge University press, 2016

3. Butterworth. JF, Mackey. DC, Wasnick. JD. Clinical anesthesiology. 6th Edition. New

York: McGraw-Hill Education, 2018

4. Hill SA, Peck TE. Pharmacology for anasthesia and intensive care. 4th edition. United

Kingdom: Cambridge University press, 2014

5. Stone J, Fawcett W. Anasthesia at a glance. 3rd edition. United Kingdom: Wiley

Blackwell, 2013

6. Longnecker DE, Mackey SC, Newman MF, Sandberg WS, Zapol WM. Anesthesiology.

3rd edition. New York: McGraw-Hill Education, 2018

7. Bajwa, et al. 2010. Comparison of two drug combinations in TIVA: propofol-ketamine

and propofol-fentanyl. Saudi Journal of Anaesthesia. www.saudija.org

8. Price, Sylvia Anderson. Tonsilitis. clinical concepts ofdisease processes/Sylvia

Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson; alih bahasa, Peter Anugerah;

editor, Caroline Wijaya. –Ed.4.- Jakarta: EGC, 2012


BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2020
UNIVERSITAS PATTIMURA

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN TONSILITIS DENGAN


INTUBASI SULIT (DIFFICULT INTUBATION)

Oleh:
Farra Y. Pattipawae, S.Ked
NIM. 2018-84-057

Konsulen:
dr. ONY W. ANGKEJAYA, Sp.An
dr. FAHMI MARUAPEY, Sp.An
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN
KLINIK PADA BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
RSUD DR. M. HAULUSSY FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
BAB I
LAPORAN
KASUS
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama: Tn. MP
Usia : 54 tahun
tahunKelamin : Laki-laki
Jenis
JenisRM
No. Kelamin : Laki-
: 157651
laki No. RM
Alamat : 157651
: BTN Kanawa
Alamat
Gol. Darah: BTN
:B
Kanawa
Berat Gol. Darah
Badan : 86 kg:B
Berat Badan
Tinggi Badan : 16386 kg cm
Tinggi Badan
Tanggal Operasi: 163
: 11 Maret
cm Agama
2020 : Islam
Tanggal Operasi
Suku/Bangsa : 11 Maret
: Indonesia
2020 Agama : Islam
Suku/Bangsa : Indonesia
Anamnesis
Keluhan utama: Nyeri tenggorokan
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang
Pasien datang keke Poliklinik
Poliklinik THT
THT RSUD
RSUD Haulussy
Haulussy dengan
dengan
keluhan nyeri
keluhan nyeri menelan
menelan sejak
sejak 55 bulan
bulan sebelum
sebelum masuk
masuk
Pasien merasa
rumah sakit. Pasien merasa nyeri
nyeri saat
saat menelan
menelan
Pasien merasa
makanan. Pasien merasa adaada yang
yang mengganjal
mengganjal pada
pada
tenggorokan. Apabila tenggorokan sedang terasa nyeri,
telingatelinga
nyeri, kanankanan
juga terasa nyeri dan
juga terasa nyeribadan terasaterasa
dan badan
demam. 3 minggu belakangan pasien merasa dada
Terdapat batuk,
terasa sesak. Terdapat batuk, tidak
tidak ada
ada pilek,
pilek, nafsu
nafsu
makan menurun.
Riwayat penyakit dahulu:
• Pasien pernah mengalami hal yang sama sejak 2 tahun
sebelumnya dan keluhan tersebut dirasakan memberat
5 bulan terakhir, setiap bulan minimal 2x kambuh.
Riwayat Hipertensi
• Riwayat Hipertensi dan
dan Diabetes
Diabetes mellitus
mellitus disangkal.
disangkal.
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit keluarga:
keluarga:
Tidak ada
•• Tidak ada keluhan
keluhan yang
yang sama
sama di
di keluarga
keluarga
Riwayat alergi:
Riwayat alergi:
Riwayat alergi
•• Riwayat alergi makanan,
makanan, debu,
debu, cuaca
cuaca dan
dan obat-obatan
obat-
obatan disangkal
disangkal
Riwayat pengobatan:
Riwayat pengobatan:
Pasien sudah
•• Pasien sudah berobat
berobat ke
ke dokter
dokter namun
namun tidak
tidak ada
ada perubahan
PERSIAPAN PRE OPERASI
Anamnesis (11 Maret 2020)
A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi
obat- obatan maupun makanan
M (Medication) : (-)
P (Past Illnest) : Riwayat DM(-), HT (-), Asma
Asma (-)
(-)
L (Last meals) : Puasa mulai pukul 22.00
WIT (10 Jam sebelum operasi)
E (Environtment) : -
Pemeriksaan Fisik
Status General
Kepala : Normocephal
Status Present Mata : KA (-/-), SI (-/-), Refleks Pupil
Tanda Vital (+/+), isokor, Exophtalmus (-/-)
• Tekanan Darah : 120/80 Telinga : daun telinga N/N, sekret (-/-)
Hidung : hidung luar normal, sekret
mmHg
(-/-) Tenggorokan : tonsil T2/T2,
• Nadi : 82x/m, reguler faring hiperemis (+), hipertrof
• Respirasi : 24x./m teratur Lidah : makroglossy (-), papil lidah
• Temperatur axila : 36,88C atrofi (-), mukosa basah (+), warna
merah muda
• BB : 86 kg (Obes II)
Bibir : mukosa basah (+), warna merah
• TB : 163 cm muda, stomatitis (-)
Leher
Regio colli Dextra
• Inspeksi : massa (-)
• Palpasi : tiroid tidak teraba,
pembesaran kelenjar limfa (-)
Pemeriksaan Fisik
Thorax
Jantung
• Inspeksi : tidak tampak iktus Abdomen
kordis Abdomen
Inspeksi:
• Palpasi : teraba iktus kordis di ICS V distensi (-/+), pelebaran pembuluhdarah (-)
• Inspeksi : distensi (-/+),
garis Auskultasi : BU (+) normal
midclavicula sinistra pelebaran pembuluh
Palpasi : nyeri tekan (+) seluruh lapangan perut, hepar tidak teraba,
• Perkusi : batas jantung setinggi ICS II, darah (-)
teraba, ballotemen -/-
batas kiri bawah jantung setinggi • Auskultasi
Perkusi : distribusi : BU (+)
suara timpani (+) normal
ICS V linea midcalvicula sinistra, batas • Palpasi : nyeri tekan (+) seluruh lapangan
kanan jantung ICS IV perut, hepar tidak teraba, lien tidak
line parasternalis. teraba, ballotemen -/-
• Auskultasi : suara jantung S1S2 • Perkusi : distribusi suara timpani (+)
tunggal, reguler, murmur (-)
Paru
• Inspeksi : dinding thoraks
simetris, retraksi (-)
• Palpasi : taktil fokal fremitus N/N,
pergerakan simetris
• Perkusi : sonor/sonor
• Auskultasi : suara napas vesikuler
+/+, ronki - /-, wheezing -/-
Permeriksaan Penunjang

Foto Thorax PA
• Cor tak membesar
• Pulmo tak tampak infiltrate
• Opasitas pada paravertbra kanan
kiri setinggi corpus VTh5-
10Vaskuler
Diagnosis
Tonsilitis kronik

Planning
• Puasa 8 jam sebelum operasi
• Antibiotik profilaksis
Pre-Operatif
Diagnosa Pra Bedah : hipertrofi
tonsil Jenis Pembedahan :
Tonsilektomy Jenis Anestesi :
General Anestesi Posisi : Supine
Lama Anestesi : 08.30 WIT – 09.10 WIT
Lama Operasi : -
Premedikasi : Ranitidin 50 mg

Teknik Anestesi Umum :


• Pasien diposisikan berbaring
• Pasien diberikan obat-obatan premedikasi yaitu fentanyl 100
mg.
• Pre oksigenasi pasien selama 4 menit
• Pasien diberikan obat induksi, propofol 300 mg
• Pasien memasuki stadium anestesi
• Pengambilan alih napas pasien dan lakukan denitrogenisasi
• Pemberian obat relaxan, atracurium 25 mg
Teknik Anestesi Umum :
• Intubasi dilakukan kepada pasien dengan memasukkan
ETT nomor 6,5,
• Cek kedua lapang paru
• Udara tidak sampai ke paru-paru
• Dilepaskan ETT, diberikan dexamethasone 10 mg,
Atrophin sulfat 0,25mg
• Dilakukan intubasi kembali kepada pasien
dengan memasukkan ETT kembali
• Gagal intubasi, lakukan pemberian refersal (SA 4 mg
+ Neostigmine 4 mg)
• Karena 3x gagal dilakukan intubasi maka ditunda
untuk dilakukan operasi.

Intra Operatif
Keseimbangan cairan:
• Cairan masuk: PO (RL 300 cc), DO (RL 200 cc)
• Cairan keluar: PO (Urin 500 cc ), DO (Urin 100
cc)
Post Operatif
B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-), Wh (-).
B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 125 x/m, TD: 141/70
mmHg, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
B4: BAK urin 50 cc.
B5: BU (+)
B6: Edema (-), deformitas (-)
Terapi:
• Pasien tunda operasi karena gagal intubasi
• Headup 30o
• Infus RL 20 tetes/menit
• Ceftriaxone 1 g/ 12 jam iv
• Metrodinazole 1 g/12 jam iv
• Ranitidine 2 x1 / 12 jam iv
• Awasi TNSP
• Boleh makan/minum
Post operatif (12/3/2020)
B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-),
Wh (-).
B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 125 x/m, TD:
125/70 mmHg, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
B4: BAK urin 50 cc.
B5: BU (+)
B6: Edema (-), deformitas (-)
Terapi :
• Aff infus
• Ciprofloxacin 2 x 500mg
• N-Asetyl Systein 3 x 1 tab
• Metylprednisolon 4 mg 3x1 tab
• Observasi pulang
BAB II
PEMBAHASAN
Anestesi Umum
Tahapan Anestesi Umum
Tahapan Anestesi Umum
Jenis-jenis Anestesi Umum
Anestesi Umum Inhalasi

Anestesi Umum intravena

Anestesi Umum Inhalasi

Anestetika umum inhalasi yang umum digunakan


saat ini adalah Nitrous oxide (N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan
xenon
Anestesi Umum intravena
TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik
anestesi umum di mana induksi dan pemeliharaan
anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan
kombinasi obat-obatan anestesi yang dimasukkan
lewat jalur intra vena tanpa penggunaan anestesi
inhalasi termasuk N2O.
Beberapa keuntungan dari farmakologi TIVA
bila dibandingkan dengan agen anestesi
inhalasi yaitu

• Induksi anestesi yang lebih lembut tanpa batuk ataupun


cegukan.
• Mudah dalam mengendalikan kedalaman anestesi ketika
menggunakan obat dengan waktu kesetimbangan darah-
otak yang singkat.
• Hampir semua agen TIVA memilki onset yang cepat dan
dapat diprediksi dengan efek hangover yang minimal.
• Angka kejadian PONV yang rendah.
• Sebagian besar menurunkan CBF dan CMRO sehingga ideal
untuk bedah saraf.
• Tingkat toksisitas organ yang rendah.
• Metode pemberian obat hipnotik, analgesik dan relaksan
otot yang
Beberapa anestetika injeksi yang sering
digunakan  golongan barbiturat
seperti thiopental sodium,
methoheksital, dan
thiamylal, golongan benzodiazepin
(midazolam, diazepam dan lorazepam),
golongan cycloheksamin (ketamine dan
tiletamin), etomidat, dan propofol.
Golongan Barbiturat
turat menekan sistem aktivasi retikuler di batang otak yang mengontrol banyak

Mekanisme kerjanya pada sistem saraf pusat terbagi menjadi dua kategori
Benzodiazepin mengikat reseptor yang
Golongan Benzodiazepin
sama dengan barbiturat di sistem saraf
pusat, tetapi berikatan dilokasi yang
berbeda. Berikatan dengan reseptor
GABA, sehingga terjadi terjadi
peningkatan frekuensi pembukaan
kanal
ion Cl.
Ketamin ketamin mempunyai keunggulan dengan
menimbulkan efek hipnotik dan analgesi sekaligus
berkaitan dengan dosis yang diberikan. Ketamin
memiliki efek yang beragam pada sistem saraf pusat,
menghambat refleks polisinaptik di medulla spinalis
dan neurotransmiter eksitasi di area tertentu otak.
Etomidat memiliki efek disinhibisi pada mekanisme
Etomidat sistem saraf yang mengontrol aktivitas motorik
ekstrapyramidal, sehingga menyebabkan timbulnya
efek gerakan myoklonik pada sekitar 30-60% pasien
yang diinduksi dengan etomidat.
Propofol mengikat reseptor GABA, sehingga
Propofol meningkatkan afinitas ikatan GABA dengan
reseptor GABA, yang akan menyebabkan
hiperpolarisasi membran saraf.
Difficult Airway
Difficult airway atau kesulitan jalan napas menurut The
Aerican Society of Anesthesiology  adanya faktor-faktor
klinis yang menyulitkan baik ventilasi masker atau intubasi
yang dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dan
terampil.
Difficult Ventilation
Difficult ventilation atau kesulitan ventilasi menurut The
American Society of Anesthesiology adalah ketidakmampuan
dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga SP02
>90% saat ventilasi menggunakan face mask. Terdapat
beberapa faktor resiko yang dapat menjadikan seseorang
pasien mengalami difficult ventilation, yaitu: obesitas, usia,
laki-laki, grade mallampati, mandibular protrusi, dan
riwayat tidur ngorok.
Difficult Intubation

Suatu tindakan yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam


memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop
konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka
sulit intubasi adalah keadaan dimana keberhasilan
memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih
dari 10 menit.
Teknik LEMON atau MELON

L
E M O N
Look
externall Evaluat Mallapat Obstruct Neck
y e 3-3-2 y Score ion Mobility
L (Look externally)

Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh


bagian wajah.
E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Langkah ini merupakan gabungan dari buka
mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi
laring.

• Angka 3 yang pertama adalah kecukupan


akses oral.
• Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang
mandibula untuk memuat lidah ketika laringoskopi.
Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan
dengan peningkatan kesulitan.
• Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring
berkaitan dengan dasar lidah. Bila lebih dari 2 jari
maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah,
sehingga mungkin menyulitkan dalam hal
visualisasi glottis.
M (Mallampaty score)

Skor mallampati atau klasifikasi mallampati adalah sistem


skor medis yang digunakan dibidang anestesiologi untuk
menentukan level kesulitan dan bisa menimbulkan resiko
pada intubasi pasien yang sedang menjalani proses
pembedahan.

Klasifkasi Mallampati :
Mallampati 1: Palatum mole, uvula,
dinding posterial orofaring, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian
uvula, dinding posterial ufula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar
uvula Mallampati 4 : Palatum durum
saja
O (Obstruction)

3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice (hot


potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri
atau obstruksi) dan adanya stridor.

N (Neck mobility)

Mobilisasi leher dapat dinilai


dengan Ekstensi sendi atlanto
- oksipital

Skor Cormack-
Lehane harus
dinilai pada saat
visualisasi
laring
TONSILITI
S
Tonsillitis adalah inflamasi pada
tonsila palatina yang disebabkan oleh
infeksi virus atau bakteri.

Tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring

Saat
bakteri dan
virus
masuk ke
memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibody
dalam
tubuh
Tonsilitis akut
• Penyebab  kuman grup A
Streptokokus β hemolitikus,
Pneumokokus,
Streptokokus viridans, dan
Streptokokus pyogenes.
• Gejala dan tanda-tanda  demam
dengan suhu tubuh yang tinggi,
Tonsilitis Membranosa
nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu
menelan, nafas yang berbau, rasa • Tonsillitis membranosa 
lesu, rasa nyeri di persendian, radang akut tonsil disertai
tidak nafsu makan, dan rasa nyeri pembentukan selaput atau
di telinga (otalgia). membrane pada permukaan
• Penatalaksanaan  Perawatan
sendiri, antibiotik, dan tindak
tonsil yang dapat meluas
operasi kesekitarnya.
• Terdiri dari : Tonsilitis difteri,
tonsilitis septik, Angina
Plaut Vincent ( Stomatitis
Ulsero Membranosa )
Tonsilitis kronis
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan
tonsillitis akut, namun terkadang bakteri berubah menjadi
bakteri golongan Gram negatif.

Faktor predisposisi
Tonsilitis kronis

Terapi
• Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada
higien mulut dengan berkumur atau obat isap.
• Terapi radikal dengan tonsillektomi bila terjadi infeksi
yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta
curiga neoplasma.

Komplikasi
Timbul rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuitatum, endokarditis, arthritis, miositis,
nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anestesi umum ialah suatu keadaan tidak sadar yang
bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di
seluruh tubuh akibat dari pemberian obat anestesia.

Ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia),


hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap
rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan
(immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness).
Pada pasien pasien anestesia umum biasanya dijumpai
difficult airway.
Difficult airway dibagi menjadi dua yakni, difficult intubation
dan difficult inhalation
Pada pasien ini termasuk dalam cormeck IV, dan saat
dilakukan anestesi Mallapati 4, faktor resiko sulit intubasi
karena obesitas, dan faktor leher yang pendek

Anda mungkin juga menyukai