OLEH:
FARRA Y. PATTIPAWAE
2018-84-057
PEMBIMBING:
dr. ONY. ANGKEJAYA, Sp.An
dr. FAHMI. MARUAPEY, Sp.An
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan jurnal dengan judul
“Investigating the association of regional anesthesia during labor with postpartum
depression”. Jurnal ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas
kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Bedah RSUD dr. M. Haulussy.
Penyusunan jurnal ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ony. Angkejaya, Sp.An dan dr. Fahmi.
Maruapey, Sp.An selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu,
pikiran, dan tenaga untuk membantu penulis dalam menyelesaikan jurnal ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan jurnal ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat
penulis harapkan demi perbaikan penulisan jurnal ini ke depannya. Semoga jurnal ini
dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
MENYELIDIKI HUBUNGAN ANESTESI REGIONAL SELAMA
PERSALINAN DENGAN DEPRESI POSTPARTUM
Abstrak
Pengantar : Depresi postpartum (PPD) adalah gangguan umum dan jenis depresi
klinis yang mempengaruhi ibu selama 4 minggu pertama setelah melahirkan.
Mempertimbangkan efek destruktif dari penyakit ini pada perilaku ibu, identifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi PPD dan menggunakan metode yang tepat dalam
persalinan normal adalah penting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan
hubungan antara anestesi regional selama persalinan dan kejadian wanita PPD dirujuk
ke rumah sakit yang berafiliasi dengan Universitas Ilmu Kedokteran Shahid
Beheshti.
Metodologi : Dalam penelitian ini, 200 wanita hamil dirujuk ke rumah sakit
Universitas Ilmu Kedokteran Shahid Beheshti selama 2015-2017 masuk dalam dua
kelompok yang sama, Grup R, administrasi RA dan Grup C, grup control tanpa RA
sesuai dengan keinginan mereka. Setiap kelompok terdiri dari 100 ibu melahirkan,
dan dua kelompok membandingkan kejadian PPD dan hubungan depresi dengan RA
selama persalinan.
Hasil : Berdasarkan data yang diperoleh, peserta dalam dua kelompok tidak berbeda
secara signifikan dalam hal umur, indeks masa tubuh (BMI), lamanya fase persalinan
dan depresi pada minggu pertama pasca persalinan. Namun, keparahan nyeri pada
fase berbeda-beda karena penggunaan anestesi untuk salah satu kelompok. Tidak ada
hubungan yang signifikan antara RA dan depresi yang diamati pada minggu pertama
setelah melahirkan. Namun, RA memiliki hubungan yang signikfikan dengan PPD
pada minggu ke 4, sehingga penggunaan RA mengurangi kejadian PPD pada minggu
ke-4 (p=0,066).
Kesimpulan : Kami menyimpulkan bahwa penggunaan anestesi regional (RA) tidak
memiliki efek yang signifikan pada depresi postpartum (PPD) pada minggu pertama,
tetapi mengurangi kejadian depresi postpartum pada minggu ke 4 setelah melahirkan.
PENDAHULUAN
Deprsi postpartum (PPD) adalah gangguan umum diantara wanita hamil dan dapat
menunjukkan tanda-tanda depresi (merasa kesepian, cemas, bingung, dan kurang
gerak) pada ibu selama 1-4 minggu setelah melahirkan. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita terutama mereka yang pertama kali hamil, Sebuah meta-analisis
pada tahun 1996 menunjukkan bahwa 10-15% ibu mengalami kondisi ini selama 12
bulan pertama kelahiran bayi mereka. Penelitian lain menunjukkan bahwa insidensi
penyakit lebih tinggi diantara wanita muda dan ibu yang memiliki riwayat stress dan
pelecehan seksual. Studi lain menunjukkan bahwa prevalensi gejala depresi yang
dilaporkan oleh ibu setelah melahirkan adalah sekitar 12% hingga 20,5%. Penyebab
tidak diketahui dengan pasti, dan berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa
banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian dan tingkat keparahan depresi ini.
Studi-studi ini telah menunjukkan bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi
kemungkinan timbulnya dan keparahan depresi adalah jumlah rasa sakit yang dialami
ibu selama persalinan. Di Iran, penelitian terbatas telah dilakukan untuk menguji
hubungan antara proses kelahiran dan anestesi regional (RA) setelah itu dengan
depresi. Penelitian Luar Negeri juga mempelajari dampak dari varibel seperti stress,
gangguan mental prenatal, kehamilan pertama dan masalah perkawinan pada PPD,
tetapi beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk menilai hubungan antara RA dm
PPD. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penggunaan RA selama persalinan
sebagai variabel yang mungkin mempengaruhi PPD pada wanita yang dirujuk ke
rumah sakit pendidikan Universitas Ilmu Kedokteran Shabid Beheshti selama 2015 -
2017 yang dilihat.
METODOLOGI
Penelitian ini adalah studi kohort prospektif yang mencakup 200 ibu melahirkan dari
Noolipar Singh, berdasarkan persalinan pervaginam yang dirujuk ke rumah sakit
pendidikan Universitas Ilmu Kedokteran Shahid Baheshti selama tahun 2015-2017.
Proses penelitian untuk ibu dijelaskann pada saat masuk dalam ruang persalinan, dan
berdasarkan keinginan mereka untuk memasukan kedalam kedua kelompok; Grup R-
dengan RA atau Grup C-tanpa RA. Dari semua pasien dalam penelitian ini diperoleh
persetujuan secara tertulis. Kriteria eksklusi meliputi persalinan sesar, multiparitas,
riwayat depresi sebelumnya, gangguan mood dan memiliki masalah neurologis
seperti epilepsy, riwayat merokok, anomaly embrio, kematian bayi dan lahir mati.
Data demografis, usia kehamilan, usia ibu, riwayat penyakit dan penggunaan
narkoba, merokok, atau alcohol diminta dan dimasukkan dalam kuesioner khusus.
Juga, informasi tentang durasi setiap fase melahirkan, total waktu melahirkan, skor
nyeri (intensitas nyeri) pada setiap fase berdasarkan VAS (0= tidak menyakitkan
sampai 10= Nyeri terburuk dan terparah) juga ditanyakan dan dicatat. Skor ini dicatat
di Grup C ketika pembukaan serviks ≥ 3 cm dan di grup R 10 hingga 30 menit setelah
RA. Anestesi dilakukan pada fase aktif persalinan (dilatasi 3-5 cm). setelah 7 hari dan
4 minggu PPD, berdasarkan Skala Postnatal Depresi Edinburgh (EPDS), kuesioner
dengan 10 item, dan hasilnya dicatat dalam kuesioner khusus untuk setiap ibu.
Kemudian data dimasukkan kedalam perangkat lunak SPSS versi 21 dan dianalisis.
Data kontinu dilaporkan sebagai jumlah rata-rata dan standar deviasi (Mean ± SD)
dan data diskrit dilaporkan sebagai frekuensi (jumlah atau persen). Untuk
membandingkan hasil sebelum dan setelah perawatan, uji berpasangan digunakan dan
kedua kelopok dibandingkan dengan uji Independent T. Untuk kelompok
perbandingan kuantitatif metode chi-square digunakan dan hubungan antara variable
diselidiki dengan uji regresi dan metode korelasi Pearson. Dalam penelitian ini α
dianggap kurang dari 0,05.
HASIL
Ringkasan informasi yang tersedia pada penelitian ini mengenai adanya pasien dalam
kelompok yang dibius dan tidak dibius disajikan pada Tabel 1. Seperti yang dapat
dilihat pada tabel ini, keparahan nyeri berkurang sacara signifikan setelah
menerapkan RA dan menurun dari 9,08 pada fase pertama persalinan menjadi 1,14
pada fase kedua persalinan. Oleh karena itu, jelas bahwa penggunaan RA akan
mengurangi rasa sakit pasien dan indeks ini memiliki perbedaan yang signifikan pada
kedua kelompok.
Tabel 3 menunjukkan bahwa anggota kedua kelompok dalam hal usia, indeks masa
tubuh (BMI), durasi fase pertama, kedua dan ketiga persalinan, tingkat depresi pada
minggu pertama, tingkat depresi pada minggu ke-4 dan keparahan nyeri pada fase
pertama persalinan sebelum RA pada tingkat kepercayaan 95%, tidak ada perbedaan
yang signifikan. Namun, keparahan nyeri fase 1 setelah anestesi, serta keparahan
nyeri pada fase 2 dan 3, berbeda secara signifikan anatara kedua kelompok. Karena
RA memiliki efek dramatis pada penghilang rasa sakit, jadi wajar bahwa setelah
anestesi, keparahan nyeri akan berbeda antara kedua kelompok.
Variabel sama dari usia, BMI dan durasi fase persalinan menunjukkan bahwa anggota
dari dua kelompok dipilih secara acak dan temuan penelitian dapat dikutip. Namun,
variabel depresi pada minggu ke-4 setelah melahirkan harus diperiksa lebih tepat
berdasarkan Skala Edinburgh Postnatal Depression (EPDS-28). Uji-t dalam uji rata-
rata untuk dua kelompok untuk variabel EPDS-28 adalah 847/1, yang mendekati 1,96
dan tingkat atau nilai p-value yang signifikan diperoleh 0,66. Bahkan, asumsi nol
pada persamaan makna kedua kelompok dalam variabel EPDS-28 (depresi pada
minggu ke-4 setelah melahirkan) dapat ditolak pada tingkat signifikan 93% dan lebih
rendah. Oleh Karena itu, dalam kasus tingkat signifikan 95% sebagai standar, dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat keparahan depresi
pada minggu ke-4 pada kedua kelompok.
Korelasi antara variabel penelitian
Untuk menyelidiki hubungan antara variabel yang berbeda dengan tingkat depresi
dalam minggu 1 dan minggu ke-4 setelah persalinan, korelasi pearson dapat
digunakan. Pertama, Grup C (dengan persalinan normal tanpa penggunaan epidural)
telah diselidiki dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 berisi beberapa data. Menurut tabel ini, Semua variabel memiliki korelasi
positif dan signifikan dengan depresi pada minggu ke-4 setelah persalinan. Koefisien
Kolerasi positif menunjukkan hubungan langsung antara variabel yang berbeda dan
ukuran koefisien korelasi menunjukkan tingkat keparahan pengaruh variabel-varibel
ini satu sama lain. Karena nilai koefisien korelasi selalu kurang dari 0,3, dapat
disimpulkan bahwa ada korelasi yang lemah antara variabel yang berbeda dan depresi
pada minggu ke-4 setelah persalinan. Di sisi lain, koefisien positif menunjukkan
bahwa bertambahnya usia, peningkatan BMI dan meningkatnya keparahan nyeri
menyebabkan peningkatan kejadian PPD pada minggu ke-4. Menariknya, usia dan
BMI memiliki efek signifikan dan positif pada jumlah depresi dalam minggu pertama
setelah melahirkan. Untuk alasan ini, dapat disimpulkan bahwa dengan tidak adanya
RA, peningkatan usia dan BMI akan meningkatkan depresi pada minggu pertama
(juga pada minggu ke-4) setelah melahirkan. Hubungan antara usia dan variabel BMI
dengan depresi didasarkan pada tabel 4 di grup C. Ada yang positif, signifikan dan
korelasi lemah antara variabel-variabel ini. Koefisien korelasi Pearson dan tingkat
kepercayaan yang terkait dengan kelompok anestesi yang disajikan pada tabel 4.
Tidak seperti kelompok tanpa anestesi, penggunaan metode anestesi untuk persalinan
normal tidak menyebabkan korelasi yang signifikan antara usia, BMI dan keparahan
pada fase pertama dan ketiga persalinan dengan depresi di minggu pertama dan ke-4
setelah melahirkan.
Tingkat keparahan nyeri pada fase pertama (setelah anestesi) dan kelahiran kedua
memiliki positif, kolerasi signifikasn dan keparahan yang buruk pda minggu pertama
dan ke-4 setelah melahirkan. Perlu dicatat bahwa koefisien korelasi pearson pada
Tabel 5 selalu kurang dari 0,267 dan hubungan antara berbagai variabel yang buruk.
Agregrasi hasil yang diperoleh dari penelitian kelompok yang berbeda menunjukkan
bahwa intensitas fase kedua memiliki hubungan positif dan bermakna dengan depresi
setelah minggu ke-4 persalinan. Namun, tidak ada hasil yang menentukan dalam
korelasi variabel lain dan oleh karena itu total sampel anggota pada tabel 5 telah
diperiksa untuk korelasi dan kebermaknaannya.
Hasil Tabel 5 menunjukkan bahwa ada positif dan korelasi signifikan antara BMI dan
PPD, tetapi hubungan ini sangat lemah dan koefisien korelasi pearson adalah 157/0
dan 167/0. Di sisi lain, keparahan nyeri pada fase kedua dan ketiga melahirkan tidak
memiliki korelasi yang signifikan dengan depresi pada minggu pertama setelah
melahirkan, tetapi sekali lagi ada hubungan yang lemah , positif dan signifikan antara
variabel-variabel ini dan depresi pada minggu ke-4 setelah melahirkan. Menggunakan
mean pain intensity (VAS) dan menguji korelasi variabel ini dengan depresi yang
akan memungkinkan kesimpulan yang lebih akurat (Tabel 6). Tabel 7 menunjukkan
bahwa keparahan nyeri dengan depresi tidak berkorelasi pada minggu pertama setelah
melahirkan, tetapi dengan depresi pada minggu ke-4 setelah melahirkan memiliki
hubungan yang lemah dan positif. Koefisien korelasi Pearson antara mean pain
severity (VAS) dan depresi pada minggu ke-4 postpartum adalah 0,2 dan koefisien ini
bahkan signifikan pada tingkat kepercayaan 99%. Tidak ada korelasi yang signifikan
antara usia dan PPD, korelasi positif antara BMI dan depresi pada kedua periode dan
juga korelasi positif yang signifikan antara tingkat keparahan nyeri rata-rata dan
depresi pada minggu ke-4 setelah melahirkan adalah salah satu temuan dari penelitian
ini.
Table .5: Correlation beW’een different ›’ariab1es and PPD of total sample
members
Tabel 2. Menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat depresi
pada minggu ke-4 setelah melahirkan antara kelompok anestesi dan tanpa anestesi
pada tingkat kepercayaan 95% dan tidak ada perbedaan yang signifikan pada tingkar
kepercayaan 95%. Tabel 7 menunjukkan jumlah orang dengan PPD dalam dua
kelompok dan diamati bahwa 17 dan 16% dari anggota kelompok memiliki gejala
depresi tanpa anestesi pada minggu pertama dan ke-4 setelah melahirkan. Disisi lain,
15% dan 7% ibu di grup R mengalami depresi pada pada minggu 1 dan ke-4
postpartum. Meskipun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah orang yang
mengalami depresi pada minggu pertama antara kedua kelompok tersebut, tetapi
perbandingan angka 16 dan 7% mengingat kesamaan jumlah anggota kelompok,
menunjukkan bahwa tingkat depresi pada minggu ke-4 postpartum antara kelompok
anestesi dan tanpa anestesi terdapat perbedaan.
25
23
21
19
17
Age BMI
■ With Ane.sthe.via ■ Without Anesthesia
18 17
Percent
14
12
6
4
0
kPDS7
F”igure 2: Comparison of the rate of depression in the first and 4th weeks
after delivery
DISKUSI
KESIMPULAN
ABSTRACT
1
Department of Obstetrics &
Gynecology, Faculty of Introduction: Postpartum depression (PPD) is a common disorder and a type of
Medicine, Shahid Beheshti clinical depression that affects mothers during the first 4 weeks after childbirth.
Medical Sciences University, Considering the destructive effects of this disease on mothers' behavior,
Tehran, (Iran) identifying the factors affecting PPDand using proper methods in normal delivery
2
Anesthesiology Research is important. The aim of this study was to determine the relationship between
Center, Shahid Beheshti
regional anesthesia (RA) during labor and the incidence of PPDin women referred to
University of Medical
Sciences, Tehran, (Iran) hospitals affiliated to Shahid Beheshti University of Medical Sciences.
3
Specialist, Department of
Obstetrics & Gynecology,
Methodology: In this study, 200 pregnant women referred to hospitals of
Taleghani Hospital, Tehran, Shahid Beheshti University of Medical Sciences during 2015 to 2017 entered into
(Iran) 4Department of two equal groups, Group R, administered RA, and Group C; control group without
Anesthesiology & Critical RA according to their desire. Each group consisted of 100 parturients, and the
Care, Taleghani Hospital, two groups were compared for the incidence of PPD and the association of
Shahid Beheshti University of depression with RA during labor.
Medical Sciences, Tehran,
(Iran) Results: Based on the obtained data, the participants in the two groups did not
differ significantly in terms of age, body mass index (BMI), duration of delivery
Correspondence:
Mohammadreza Moshari
phases and depression in the first week of postpartum. However, the severity of
Anesthesiology Dept, Taleghani pain in different phases of delivery was different due to the use of anesthetic for
Hospital, Velenjak, Tehran, (Iran) one of the groups. No significant relationship between RA and depression was
E-mail: Rmoshari@sbmu.ac.ir; observed in the first week after childbirth. However, RA has a significant
Phone: +98912 117 2540 relationship with PPD in the 4th week, so that the use of RA reduces the
Received: 30 May 2018, incidence of PPD in the 4th week (p = 0.066).
Reviewed: 23 August, 26
October 2018, 2 May, 4 May, Conclusion: We conclude that the use of regional anesthesia will not have a
16 June, 14 September 2019; significant effect on postpartum depression in the first week, but it reduces the
Revised: 14 October 2018,
18
incidence of postpartum depression in the 4th week after childbirth.
March, 10 June 2019;
Key words: Regional anesthesia; Postpartum depression; Pain intensity; Labor;
Accepted: 14 September 2019
Labor pain
Citation: Barooti E, Malek B, Honarmand S, Moshari M, Alshohadaei
SMS. Investigating the association of regional anesthesia during labor
with postpartum depression. Anaesth pain & intensive care
2019;23(3):353-359.
DOI: https://doi.org/10.35975/apic.v23i4.1167
INTRODUCTION A meta-analysis in 1996 showed that 10-15% of
mothers experienced this condition during the first
Postpartum depression (PPD) is a common 12 months of their baby's birth.1,2 Other studies
disorder among pregnant women and may have shown that the incidence of illness is higher
indicate signs of depression (feeling lonely, among young women and mothers who have a
anxious, confused and lack of drive) in mothers history of stress or sexual abuse.3,4 Another study
during the 1st to 4th weeks after delivery. The showed that the prevalence of depressive
disease is more common in women especially symptoms reported by mothers after delivery was
those who first got pregnant. about 12% to 20.5%.5,6 The
ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 2019 353
regional anesthesia and postpartum depression
Review the main hypothesis: Figure 2: Comparison of the rate of depression in the first and 4th weeks
after delivery
Table 2 showed that there was
a significant difference in the but this effect is poor and the exact conclusion about
level of depression in the 4th
week after delivery between the
anesthesia groups and without
anesthesia at 95% confidence
level and there was no
significant difference in the
95% confidence level. Table 7
shows the number of people
with PPD in the two groups
and it is observed that
17 and 16% of the members
of the group had symptoms of
depression without anesthesia
in the first and 4th weeks after
delivery. On the other hand,
15% and 7% mothers in Group R
were depressed in 1st and 4th week pp respectively. comparison of the numbers of 16 and 7%, given the
Although, there is no significant difference similarity of the number of members of the groups,
between the number of people with depression in indicates that the rate of depression in the 4th week
the first week between the two groups, but the postpartum among the anesthesia groups and
without anesthesia there is a difference. it will be related to an increase in the number of
samples. Figure 1 shows that there is no significant
Comparison of Figures 1 and 2 shows that there is
difference between age and body mass in the two
a significant difference between the number of
groups and statistical studies have confirmed that
mothers with PPD in the 4th week in two groups.
Therefore, at 90% confidence level, it can be there is no significant difference between the two
concluded that the use of RA will have a significant groups. But in Figure 2, which is based on the data
effect on reducing the rate of depression in the 4th in Table 8, it is observed that the anesthesia group
week after delivery, has significantly a lower frequency of depression in
both 1st week and 4th weeks postpartum (p =
0.066).
DISCUSSION
This research was conducted to investigate the
relationship between RA during labor and the
probability of PPD. Essential information, e.g.
ANAESTH, PAIN & INTENSIVE CARE; VOL 23(4) DECEMBER 2019 357
regional anesthesia and postpartum depression
REFERENCES 1. Amer Wa 5-
ica lbu 10.
n rg [Pu
Psy V, bM
chi Ch ed]
atr ab DOI
ic rol :
Ass H. 10.
oci Ass 101
ati oci 6/j
on. ati .
Dia on enc
gno be ep.
stic tw 200
and ee 6.1
Sta n 0.0
tist th 02
ical e 3. Cent
Ma int er
nua en for
l of sit Dis
Me y eas
nta of e
l chi Con
Dis ldb trol
ord irt and
ers h Prev
. pai enti
4th n on.
ed. an Prev
Wa d alen
shi th ce
ngt e of
on int self-
DC: en repo
Am sit rted
eri y pos
can of tpa
Psy po rtu
chi stp m
atr art dep
ic um ress
Pre blu ive
ss, es. sym
200 En pto
0. ce ms-
2. Boud ph 17
ou ale sta
M, . tes
Tei 20 ,
sse 07; 200
dre 33: 4-
F, 80 200
FARRA Y. PATTIPAWAE
2018-84-057
Pembimbing:
dr. Fahmi Maruapey, Sp.An Company
ABSTRAK
Depresi postpartum
(PPD)
Tujuan → Untuk
menentukan hubungan antara
anestesi regional
selama persalinan dan kejadian wanita PPD yang
dirujuk ke RS pendidikan
Universitas Ilmu Kedokteran Shahid Beheshti.
COMPANY LOGO
MENYELIDIKI HUBUNGAN ANESTESI REGIONAL
SELAMA PERSALINAN DENGAN DEPRESI
POSTPARTUM
ABSTRAK
ABSTRAK
HASIL
depresi pada minggu
pertama postpartum
COMPANY LOGO
MENYELIDIKI HUBUNGAN ANESTESI REGIONAL
SELAMA PERSALINAN DENGAN DEPRESI
POSTPARTUM
ABSTRAK
Kesimpulan
COMPANY LOGO
www.themegallery.com
PENDAHULUAN
COMPANY LOGO
PENDAHULUAN
Sebuah meta-analisis 1996 → bahwa 10-15% ibu mengalami kondisi ini
selama
12 bulan pertama kelahiran.
Insidensi penyakit lebih tinggi diantara wanita muda dan ibu yang memiliki
riwayat stress dan pelecehan seksual
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi timbulnya dan keparahan depresi
→ jumlah rasa sakit yang dialami ibu selama persalinan.
Di Iran dan beberapa penelitian luar negeri lainnya melakukan penelitian untuk
menilai hubungan proses kelahiran dan Anesteri Reginal dengan depresi.
GRUP R GRUP
Dengan RA TANPA RA
COMPANY LOGO
METODOLOGI
Kriteria Eksklusi
Persalinan sesar
Multiparitas
Gangguan mood
COMPANY LOGO
METODOLOGI
Data kontinyu
dilaporkan sebagai Setelah 7 hari dan 4 minggu
jumlah rata-rata (Mean Hasilnya dicatat dalam PPD, berdasarkan skala
Dimasukkan kedalam SPSS
± SD), data diskrit kuesioner khusus untuk postnatal Depresi Edinburgh
veri 21 dan dianalisis.
sebagai frekuensi (jumlah setiap ibu (EPDS), kuesioner dengan 10
atau persen) item
Untuk kelompok
Untuk membandingkan hasil perbandingan kuantitatif
sebelum dan setelah metode chi-square dan
perwatan → Uji hubungan antara variabel
berpasangan dgn diselidiki dengan uji regresi
menggunakan Uji –t . dan metode korelasi pearson
COMPANY LOGO
HASIL
Karakteristik Demografi dari data
COMPANY LOGO
HASIL
COMPANY LOGO
HASIL
COMPANY LOGO
HASIL
COMPANY LOGO
HASIL
COMPANY LOGO
HASIL
COMPANY LOGO
HASIL
COMPANY LOGO
HASIL
COMPANY LOGO
DISKUSI
COMPANY LOGO
DISKUSI
17% ibu yang mengalami persalinan normal
dan melahirkan tanpa anestesi mengalami
depresi pada minggu pertama setelah
melahirkan dan 16% ibu menunjukkan
gejala depresi pada minggu ke-4
postpartum.
COMPANY LOGO
DISKUSI
COMPANY LOGO
KESIMPULAN
COMPANY LOGO
www.themegallery.com
COMPANY LOGO
Bagian Anastesi Dan Reanimasi Refarat
Fakultas Kedokteran Maret 2020
Universitas Pattimura
Oleh:
Farra Y. Pattipawae
2018-84-057
Pembimbing:
Ambon
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi lokal didefenisikan sebagai hilangnya sensasi pada suatu area ditubuh yang
disebabkan oleh depresi dari eksitasi akhir saraf atau inhibisi dari proses konduksi pada nervus
perifer yang bersifat sementara. Obat anestesi local adalah obat yang dapat menyebabkan blok
konduksi dari impuls saraf yang bersifat reversible sepanjang jalur saraf sentral maupun perifer
setelah dilakukan anestesi regional.1
Kegunaan penting yang dihasilkan oleh local anestesi ini berupa hilangnya sensasi tanpa
hilangnya kesadaran, hal ini merupakan perbedaan besar yang dramatis dari anestesi local
dibandingkan dengan anestesi umum. Disamping itu, obat anestesi local juga kurang
menimbulkan gangguan kognitif. Pemberian konsentrasi yang tepat dari obat anestesi local
menyebabkan impuls saraf otonom, sensorik somatic dan motoric somatic akan terganggu
sehingga menyebabkan blok sistem saraf, dan paralisis dari otot skeletal pada daerah yang
dipersarafi saraf yang terpapar.1,2
Obat anestesi local juga memiliki efek toksik yang dapat terjadi local maupun sistemik.
Deskripsi klasik dari toksisitas sitemik anestesi local (Local Anesthetic Systemic Toxicity
(LAST)) secara umum digambarkan dengan sekumpulan gejala dan tanda neurologi yang
memburuk secara progresif yang segera terjadi setelah injeksi obat anestesi local dan disertai
dengan peningkatan kosentrasi anestesi lokal dalam darah, dengan kondisi puncak dapat menjadi
kejang dan koma. Pada kasus yang ekstrim, dapat diikuti dengan tanda ketidakseimbangan
hemodinamik yang berakhir kepada kegagalan system kardiovaskuler.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 ANESTESI LOKAL
Obat Anestesi lokal adalah suatu ikatan kimia yang
1. Definisi
mampu menghambat konduksi saraf perifer apabila obat ini
disuntikkan didaerah perjalanan serabut saraf dengan dosis
tertentu tanpa menilmbulkan kerusakan permanen pada
serabut saraf tersebut. Sifat hambatannya pada saraf pada
umumnya bersifat total, tetapi ada juga yag bersifat selektif,
misalnya hanya mengilangkan rasa nyeri saja, sedangkan
rasa raba dan rasa tekan masih ada. Hal ini tergantung pada
dosis atau kosentrasi obat yang digunakan. Adapun sifat-sifat
yang harus dimiliki oleh anestesi local yaitu poten (efektif
dalam dosis rendah), daya penetrasinya baik, mulai kerjanya
cepat, masa kerjanya lama, toksisitas sistemiknya rendah,
tidak iritatif terhadap jaringan saraf, efeknya reversible, dan
mudah dieliminasi.1
2. Klasifikasi
Berdasarkan struktur molekulnya terdapat dua
golongan obat anestesi lokal, yaitu golongan ester dan amida.
Semua obat anestesi local yang digunakan terdiri dari cincin
aromatic (hidrofobic) yang terhubungan dengan kelompok
amino tersier (hidrofilik) oleh suatu alkil pendek, yaitu rantai
intermediet yang mengandung ikatan ester atau amida sesuai
dengan pembagiannya. Obat anestesi local merupakan basa
lemah yang umumnya memiliki muatan positif pada grup
amino tersiernya pada keadaan pH fisiologis.1,2
Derivat ester terdiri dari derivate asam benzoate,
misalnya kokain, derivate asam para amino benzoate
misalnya prokain dan kloroprokain. Derivate amida
contohnya lidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain dan
etidokain.
Adapun perbedaan ester dan amida adalah sebagai
berikut :1
1) Senyawa ester :
a. Relatif
tidak stabil
dalam
bentuk
larutan
b. Dimetaboli
sme dalam
plasma
oleh
enzyme
pseudochol
inesterase
c. Masa kerja
pendek
d. Relative
tidak toksik
e. Dapat
bersifat
allergen,
karena
strukturny
a mirip
PABA
(para
amino
benzoic
acid).
2) Senyawa amida :
a. Lebih stabil dalam bentuk larutan
b. Dimetabolisme dalam hati
c. Masa kerja lebih panjang
d. Tidak bersifat allergen
Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.
Berdasarkan potensi dan lama kerjanya atau durasinya, anestesi local bias dibedakan
menjadi potensi rendah dan durasi singkat, potensi dan durasi sedang, potensi kuat dan durasi
panjang. Untuk obat dengan potensi rendah dan durasi singkat sebagai contoh adalah prokain
dengan potensi 1 dan durasi 60-90 menit, kloroprokain dengan potensi 1 dan durasi 30-60 menit.
Untuk obat dengan potensi dan durasi sedang sebagai contoh mepivakain dengan potensi 2 dan
durasi 120-140 menit, prilokain dengan potensi 2 dan durasi 120-240 menit, lidokain dengan
potensi 2 dan durasi 90-200 menit. Untuk obat dengan potensi kuat dan durasi panjang sebagai
contoh tetrakain dengan potensi 8 dan durasi 180-600 menit, bupivakain dengan potensi 8 durasi
180-600 menit, etidokain dengan potensi 6 dan durasi 180-600 menit.1,2
Berdasarkan berat jenis (konsentrasi) dan penggunaanya dibedakan menjadi isobaric,
hipobarik, dan hiperbarik. Isobaric digunakan untuk infiltrasi local, blok lapangan (field blocki),
blok saraf, blok fleksus, dan blok epidural. Kosentrasi obat yang digunakan adalah sebagai
berikut : prokain 1-2%, klorprokain 1-3%, lidokain 1-2%, mepivakain 1-2%, prilokain 1-3%,
tetrakain 0,25-0,5%, bupivakain 0,25-0,5%, dan etidokain 1-1,5%. Hipobarik digunakan untuk
analgesia regional intravena. Kosentrasi obat dibuat separuh dari kosentrasi isobaric. Hiperbarik
digunakan khusus untuk injeksi intratekal atau blok subarachnoid. Konsentrasi obat dibuat lebih
tinggi, misalnya lidokain 5% hiperbarik dan bupivakain 0,5% hiperbarik yang telah dikemas
khusus untuk blok subarachnoid oleh pembuatnya.1,2
2) Distribusi
Setelah diabsorbsi secara sistemik, obat anestesi local didistribusikan ke seluruh
tubuh dengan cepat. Distribusi obat anestesi local akan tergantung dari curah pembuluh
darah dari suatu organ, koefisien partisi obat anestesi local di antara kompartemen dan
ikatan plasma protein. Organ penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
toksisitas anestesi local adalah jantung dan sistem saraf pusat yang merupakan organ
kaya pembuluh darah.
Disribusi obat anestesi local yang sering digambarkan dengan volume distribusi
yaitu jumlah obat keseluruhan yang ada pada kompartemen sentral dibagi kosentrasinya.
Volume distribusi hanya menggambarkan distribusi pada keseluruhan tubuh sehingga
tidak akurat untuk organ spesifik. Ikatan plasma protein yang kuat akan menahan obat
anestesi local dalam darah.
3) Eliminasi
Metabolisme obat anestesi local golongan ester terutama dilakukan oleh enzim
kolinesterase yang terdapat didalam plasma, sedangkan metabolism golongan amida
sebagian besar dimetabolisme di hati. Oleh karena itu, aliran darah hati, eksresi hati, dan
protein dinding sel menentukan eliminasi obat anestesi local golongan amida. Golongan
ester cepat dihidrolisis dan metabolitnya akan dieksresi lewat ginjal karena larut dalam
air. Semakin tinggi kecepatan eliminasi obat anestesi local, maka akan semakin lebar
batas keamanannya.
Farmakodinamik
Keuntungan utama dari pengetahuan akan farmakodinamik obat anestesi local adalah
kemampuan untuk memperkirakan Cmax dari obat anestesi local sehingga pemberian dosis
toksis dapat dihindari. Walaupun demikian farmakodinamik suatu obat sangat sulit diperkirakan
dalam keadaan tertentu karena setiap individu memiliki karakteristik fisik dan fisiologis yang
berbeda.3,4
Pada usia tua dan muda, terdapat hubungan antara kadar obat anestesi local dengan
memperhitungkan dosis obat anestesi local dan berat badan pasien. Obat anestesi local dengan
dosis yang besar bila ditempatkan pada posisi yang tepat akan meminimalkan resiko terjadinya
toksisitas sistemik dibandingkan dengan obat dengan dosis yang lebih kecil jika dengan tidak
sengaja diinjeksikan kedalam pembuluh darah. Semua faktor tersebut harus dipertimbangkan
ketika akan menggunakan obat anestesi local dan menghindari efek toksisitas sistemik dengan
total dosis yang masih dapat diterima.3,4
2. Faktor Risiko
1) Lokasi injeksi
Lokasi injesksi dari anestesi local mempengaruhi kecepatan penyerapan dan kosentrasi
puncak plasma. Dosis anestesi local mungkin perlu diturunkan ketika diberikan pada daerah
dengan penyerapan yang sangat cepat seperti pada jalan napas atau blok saraf intercostal,
dibandingkan dengan daerah dengan penyerapan relative lebih lambat, seperti subkutan ataupun
blok saraf skiatik.3,4
2) Usia muda
Bayi, khususnya yang berusia 0-3 bulan mempunyai kosentrasi protein plasma tempat
anestesi local berikatan yang menurun, seperti AAG. Hal ini menyebabkan peningkatan
kosentrasi puncak dari anestesi local yang bebas (tidak berikatan) setelah injeksi. Bentuk tidak
berikatan inilah yang menyebabkan terjadinya efek samping toksik. Bayi juga mempunyai
penurunan kapasitas untuk memetabolisme obat anestesi local, dengan laju klirens plasma yang
lebih rendah dibandingkan orang dewasa. Ini akan mengakibatkan level plasma yang lebih tinggi
ketika diberikan infus kontinyu. Oleh karena itu, dosis bolus maupun laju infus anestesi local
harus diturunkan pada bayi. Penggunaan infus kontinyu ini salah satunya bias digunakan pada
terapi jangka panjng untuk peningkatan tekanan intracranial seperti pada hidrosefalus, trauma
kepala, perdarahn intracranial dan lain sebagainya.3,4
3) Dosis total anestesi local yang diberikan
Pemberian anestesi local dalam dosis yang lebih tinggi akan meningkatkan kosentrasi
plasma. Pemberian dosis local anestesi harus mempertimbangkan dosis sesuai berat badan
pasien. Hasil dari kosentrasi dan volume larutan anestesi local adalah penting, tidak hanya pada
isolasi, level plasma dari anestesi local berhubungan dengan total jumlah obat yang diberikan.
Misalnya, 20 ml ropivacaine 0,25% dan 10 ml ropivacaine 0,5% akan menghasilkan kosentrasi
puncak plasma yang sama.5
4) Disfungsi Ginjal
Pasien dengan uremia mempunyai sirkulasi yang hiperdinamik, penyerapan local anestesi
yang lebih cepat, dengan kosentrasi puncak plasma yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien non uremia. Pasien uremia mempunyai level AAG yang lebih tinggi dibandingkan non
uremia, AAG cenderung mengikat anestesi local di plasma, mengurangi kosentrasi obat bebas.
Telah direkomendasikan untuk menurunkan dosis 10-20% ketika memberikan anestesi regional
pada pasien dengan disfungsi ginjal.5
5) Disfungsi hepar
Pasien dengan penyakit hepar stadium akhir (End Stage Liver Dysfunction/ESLD)
mempunyai laju klirens hepatic jauh lebih rendah untuk anestesi local. Pasien ESLD mengalami
peningkatan volume distribusi anestesi local. Hal ini ditambah dengan keberadaan AAG
dipalsma yang kontinyu, membuat direkomendasinya pemberikan anestesi local dalam dosis
normal hanya diberikan dengan teknik dosis tunggal. Sedangkan dosis infus kontinyu harus
dikurangi secara signifikan karena penurunan klirens obat tersebut. Penurunan yang disarankan
berkisar 10-50% bergantung pada keparahan disfungsi hepar.5
6) Gagal jantung
Pasien dengan gagal jantung ringan dan terkontrol mungkin tidak memerlukan penurunan
dosis anestesi local. Namun pasien dengan gagal jantung berat mungkin mengalami penurunan
klirens anestesi local akibat penurunan aliran darah dan klirens hepar.5
7) Kehamilan
Pasien hamil mempunyai sensitivitas yang meningkat dan penurunan tingkat ikatan
protein dengan anestesi local. Akibat meningkatnya sensitivitas dan risiko toksis yang
lebih tinggi, dosis anestesi local harus dikurangi pada pasien hamil. Faktor lain yang
memperngaruhi yaitu penurunana volume cairan serebrospinal (CSS) akan menyebabkan
penyebaran berlebihan pada anestesi local spinal dan epidural.5
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi toksisitas anestesi local muncul 1-5 menit setelah injeksi, namun onset dapat
berkisar dari 30 detik hingga 60 menit. Secara klasik, penderita mengalami gejala eksitasi SSP
berupa mati rasa lidah, lidah terasa ringan, pusing, gangguan visual dan pendengaran (kesulitan
focus dan tinnitus), disorientasi, dan rasa mengantuk.4,5
Secara klasik toksisitas jantung tidak akan terjadi tanpa di dahului toksisitas SSP, namun
beberapa laporan kasus yang di publikasikan menunjuka episode terbatas pada manifestasi
kardiovaskular. Dalam kasus ini, timbulnya gejala tertunda 5 menit atau lebih.4,5
Setelah pengunaan agen anestesi local, pertimbangkan munculnya tanda-tanda atau gejala
barus sebagai tanda kemungkinan toksisitas. Manifestasi dari toksisitas tergantung pada sistem
organ atau sistem yang terpengaruh. Manifestasi dari toksisitas tergantung pada sistem organ
atau sistem yang terpengaruh. Manifestasi toksisitas dapat dikategorikan sebagai berikut: SSP,
kardiovaskular, hematologi, alergik, dan jaringan local.4,5
1) Sistem saraf pusat
Eksitasi awal SSP biasanya diikuti dengan depresi SSP secara cepat, dengan gejala
sebagai berikut: kedutan otot, kejang, tidak sadar, koma, depresi dan henti napas, depresi
dan kolaps kardiovaskular, seiring dengan perkembangan toksisitas, pasien mungkin
mengalami kejang tonik-klonik dan akhirnya tidak sadar dan koma. Gejala SSP dapat
tertutupi pada pasien dengan premedikasi antikonvulsan seperti benzodiazepine atau
barbiturat. Tanda pertama dari toksisitas pada pasien premedikasi mungkin depresi
kardiovaskular.
Ketika jumlah anestetik local pada dara cukup tinggi untuk memblokir jlur inhibisi
dan eksitasi, kejang berhenti dan pasien mungkin mengalami depresi atau henti napas dan
depresi kardiovaskular. Injeksi bolus besar dapat meningkatkan konsentrasi puncak ke titik
di mana ssp dan system kardiovaskular dipengaruhi secara bersamaan.
2) Kardiovaskular
Risiko toksisitas kardiovaskulat lebih besar pada anestesi local lipofilik seperti
bupivakain. Risiko toksisitas jantung lebih besar pada pasien dengan riwayat masalah
konduksi jantung yang mendasari atau setelah infrak miokard (tetrakain, etidokain,
bupivakain), disritmia jantung (bupivakain), dan kardiotoksisitas pada kehamilan. Lidokain
juga mengubah tonus pembuluh darah, dengan dosis rendah memiliki efek vasokonstriksi
dan dosis yang lebih tinggi menyebabkan relaksasi dari otot pembuluh darah, sehingga
menyebabkan hipotensi.
Tanda dan gejala keracunan kardiovaskular meliputi nyeri dada, sesak napas,
palpitasi, diaphoresis, hipotensi, dan pingsan. Efek pada konduksi jantung termasuk
pelebaran interval PR, pelebaran durasi QRS, sinus takikardia, sinus arrest, dan disosiasi
atrioventrikular sebagian atau lengkap. Toksisitas jantung dipotensiasi oleh asidosi,
hiperkapnia, dan hipoksia, yang memperburuk penekanan jantung dan meningkatkn
kemungkinan aritmia. Hal ini penting untuk dipertibangkan karena kejang memungkinkan
gambaran metabolic ini.
Gambar 1. Dosis lidokain, etiodokain, dan bupivakain yang menimbulkan toksisitas ssp dan kolaps kardiovaskular.
Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.
3) Hematologi
Methemoglobinemia sering dilaporkan berhubungan dengan penggunaan benzokain,
lidokain, dan prilokain. O-tuluidin adalah metabolit hati, prilocaina merupakan oksidator
kuat yang mengubah hemoglobin menjadi methemoglobin. Pada tingkat rendah (1-3%),
methemoglobinemia tidak menimbulkan gejala, tetapi tingakt yang lebih tinggi (10-40%)
dapat disertai oleh salah satu keluhan berikut: sianosis, perubahan warna kulit (abu-abu),
takipnea, dispneu, kelelahan, pusing, sinkop dn kelemahan.
4) Manifestasi alergi
Ester amino adalah turunan dari asam para-aminobenzonic (PABA) yang telah
dikaitkan dengan reaksi alergi akut. Penelitian sebelumnya menunjukan 30% dari reaksi
alergi terhadap prokain, tetrakain, dan chloroprocaine. Amidaa amino tidak terkait dengan
PABA dan tidak menghasilkan reaksi alergi dengan frekuensi yang sama. Namun, persiapan
anestesi amida kadang-kadang berisi methylparaben, yang secara structural mirip dengan
PABA dan dengan demikian dapat menyebabkan reaksi alergi.
Manifestasi alergi anestesi local termasuk ruam dan urtikaria. Anafilaksis akibar
anestesi local sangat jarang tapi harus dipertimbangkn jika pasien mulai mengi atau
menderita gangguan pernapasan setelah menerima obat bius. Pasien yang melaporkan alergi
terhadap lidokain mungkin alergi terhadap pengawet methylparaben.
Bagan. manifestasi klinis toksisitas sistemik anestesi local
Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.
5. Diagnosis
Deskripsi klasik dari toksisitas sistemik anestesi local termasuk gejala subjektif dari
eksitasi SSP seperti perubahan pendengaran, tebal sirkumoral, rasa metalik, dan agitasi yang
akan berlanjut menjadi kejang dan/atau depresi SSP (koma, henti napas). Pada deskripsi klasik
toksisitas anestetik local, toksisitas jantung tidak akan terjadi tanpa diawali gejala toksisitas SSP.
Toksisitas anestetik local terjadi akibat injeksi intravascular (terutama injeksi ke arteri carotid
dan vertebral) tidak akan menunjukan gejala-gejala ringan/peringatan dan secara cepat dapat
menimbulkan kejang dan berkembang ke eksitasi jantung (hipertensi, takikardia, aritmia
ventrikel.5
Seiring dengan meningkatnya konsentrasi dalam darah, eksitasi jantung akan diikuti oleh
depresi jantung (bradikardia, asistol, penurunan kontraktilitas, dan hipotensi). Pada penggunaan
anestetik local yang paling poten, toksisitas jantung dapat terjadi bersamaan dengan kejnag atau
mungkin mendahuluinya.5
American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine (ASRA) mengeluarkan
practice advisory mengenai toksisitas sistemik anestesi local, dengan rekomendasi pedoman
diagnosis sebagai berikut:5
1) Deskripsi klasik dari toksisitas anestesi local meliputi progresi dari gejala subjektif dari
eksitasi SSP (agitasi, perubahan pendengaran, rasa metalik, atau munculnya gejala
psikiatri onset mendadak), diikuti kejang dan depresi SSP (rasa mengantuk, koma, atau
henti napas). Tanda-tanda awal toksisitas jantung (hipertensi, takikardia, atau aritmia
ventrikel) akan diikuti oleh depresi jantung (bradikardi, blok konduksi, asistol, penurunan
kontraktilitas). Namaun terdapat beberapa variasi substansial dari deskripsi klasik ini,
antara lain:
a. Munculnya gejala toksisitas SSP dan jantung bersamaan
b. Toksisitas jantung tanapa gejala dan tanda prodromal toksisitas SSP
c. Sehingga dokter harus waspada terhadap gejala yang atipikal dan tidak diduga.
2) Waktu munculnya gejala toksisitas anestesi local adalah bervariasi. Kemunculan cepat
(<60 detik) menunjukkan injeksi intavaskular dengan akses langsung ke otak. Sedangkan
kemunculan gejala setelah 1-5 menit menunjukkan injeksi intravascular intermiten.
Injeksi ekstremitas bawah, atau terhambatnya penyerapan dijaringan. Toksisitas anestesi
local dapat muncul >15 menit setelah injeksi, oleh karena itu pasien mendapatkan dosis
anestesi local yang berpotensi untuk toksik harus dimonitor secara ketat selama minimal
30 menit setelah injeksi.
3) Berbagai laporan kasus menunjukkan hubungan toksisitas anestesi local dengan penyakit
yang mendasari seperti jantung, neurologis, paru, ginjal, hepar, ataupun metabolik.
Kewaspadaan yang lebih disarankan ketika memberikan anestesi local pada pasien
tersebut, terutama apabila pasien termasuk usia ekstrim.
7. Guideline AAGBI
Terdapat beberapa panduan dalam penatalaksanaan toksisitas anestesi local diantaranya
panduan dari AAGBI dan ASRA. Pada tinjauan pustaka ini akan disertakan panduan toksisitas
sistemik anestesi local menurut AAGBI6
Sumber : Latief S. Surjadi K, Dachlan R. Anestetik local, Dalam : petunjuk praktis Anestesiologi, Ed 2.
8. Prognosis
Jika oksigenasi, ventilasi, dan curah jantung dapat dipertahankan, pasien akan mengalami
pemulihan penuh tanpa sekuele. Tanpa pengobatan, toksisitas anestesi local dapat menyebabkan
kejang, depresi hingga henti napas, hipotensi, kolaps kardiovaskular atau henti jantung dan
kematian.5,6
9. Pencegahan Toksisitas Anestesi local
Strategi pencegahan terjadinya pada administrasi anestesi local meliputi persiapan alat-
alat emergensi, menggunakan dosis efektif terendah, menggunakan bantuan ultrasound untuk
pencitraan jika diperlukan, dosis yang terbagi dengan aspirasi multiple, kecepatan injeksi yang
lebih lambat, penggunaan dosis tes, dan menghindari pengulangan dosis.5,6
a. Persiapan dasar
Setiap kali memberikan anestesi local dnegan dosis yang cukup untuk menghasilkan
toksisitas, disarankan untuk minimal menggunakan monitor pulse oximetry dan
tekanan darah. Pastikan obat dan alat-alat resusitasi tersedia. Alat resusitasi yang
dimaksudkan termasuk alat penatalaksanaan jalan nafas, defibrillator elektrik, dan
larutan emulsi lipid.6
b. Menggunakan dosis efektif rendah
Gunakan dosis atau volume local anestesi terendah yang dapat menghasilkan efek
terapeutik yang diinginkan. Pada pasien dengan kondisi medis yang predisposisi
terhadap toksisitas anestesi lokal, gunakan teknik dan lokasi blok saraf tepi yang
membutuhkan dosis yang lebih rendah. Contohnya, blok supraklavikular dengan
bantuan ultrasound memerlukan dosis yang jauh lebih rendah dibanding blok aksilar
dengan bantuan nerve stimolator.6
c. Pencitraan ultrasound
Penggunaan bantuan pencitraan untuk blok saraf perifer mungkin dapat menurunkan
risiko toksisitas local anestesi dalam beberapa cara. Seperti sudah disebutkan diatas,
penggunaan bantuan ultrasound memungkinkan untuk mengurangi volume anestesi
local yang dibutuhkan. Selain itu jarum untuk blok saraf dapat divisualisasikan saat
penempatan dan injeksi, sehingga dapat menurunkan risiko kesalahn pungsi jaringan
vascular.6
d. Dosis terbagi dengan aspirasi berulang
Jarum blok saraf dan kateter epidural dapat berpindah. Sebuah jarum atau kateter
yang awalnya sudah diposisikan dengan baik dapat berpindah menjadi intravascular.
Dosis anestesi local sebaiknya dibagi menjadi dosis kecil dengan volume <5ml,
dengan melakukan aspirasi diantara injeksi. Selalu observasi kondisi pasien dan
tanda-tanda vital selama injeksi karena aspirasi yang tidak terdapat darah tidak sellau
menjamin bahwa anestesi local tidak memasuki vena. Hal ini menjadi semakin
penting ketika menggunakan jarum berurukan kecil.6
e. Kecepatan injeksi yang pelan
Ineksi yang cepat dan bertenaga dari anestesi local dapat meningkatkan risiko
anestesi local berpindah ke vena dan cedera karena tekanan pada saraf saat
melakukan blok saraf tepi. Anestesi local sebaiknya diberikan tidak lebih dari 5ml
dalam satu kali injeksi dan tidak lebih dari 3 kali injeksi dalam 1 menit.6
f. Pengguanan dosis tes
Penempatan yang akurat dari jarum pada ruang epidural atau perineural tidak dapat
menjamin bahwa kateter yang melewatinya tidak memasuki struktur vascular.
Epinefrin yang dilarutkan (2,5-5µg/ml) dapat digunakan sebagai marker untuk
injeksi intravena. Dosis tes (umumnya mengandung epinefrin) diberikan ketika akan
menggunakan kateter epidural atau blok saraf dan diulang jika terdapat indikasi
bahwa posisi kateter telah berubah.6
g. Menghindari dosis berulang
Ketika melakukan injeksi blok saraf ulang misalnya setelah kegagalan melakukan
blok perifer dengan interval waktu yang pendek, dosis kumulatif dari anestesi local
yang telah diberikan harus diperhitungkan.6
BAB IV
KESIMPULAN
Obat anestesi local adalah obat yang dapat menyebabkan blok konduksi dari impuls saraf
yang bersifat reversibel sepanjang jalur saraf sentral maupun perifer setelah dilakukan anestesi
regional. Dalam penggunaannya, obat anestesi local tidak jarang menimbulkan beberapa
toksisitas yang dapat terjadi secara local maupun sistemik. Manifestasi klinis toksisitas dari obat
anestesi local yang paling sering terjadi adalah gangguan pada sistem saraf pusat yang mungkin
diikuti dengan gangguan pada system kardiovaskular.1,2
Reaksi toksik tersebut bias timbul apabila konsentrasinya dalam darah sangat tinggi dan
terjadi secara mendadak. Hal ini bisa terjadi karena dosis yang diberikan berlebihan, penyuntikan
langsung kedalam sirkulasi, absorbsinya terlalu cepat dan detoksikasi terlambat misalnya pada
penyakit hati.6
Pengobatan toksisitas anestesi local tergantung pada jenis toksisitas yang dialami oleh
pasien (SSP ataupun kardivaskular). Pada umumnya gejala yang ringan diterapi secara
konservatif. Penatalksanaan meliputi obat antikejang, antiaritmia dan emulsi lipid.6
Strategi pencegahan terjadinya toksisitas pada administrasi anestesi local penting utnuk
diketahui oelh para klinisi yang adakan mempergunakan obat anestesi local, beberapa hal yang
perlu diperhatikan meliputi persiapan alat-alat emergensi, menggunakan dosis efektif terendah,
menggunakan bantuan ultrasound untuk pencitraan jika diperlukan, dosis yang terbagi dengan
aspirasi multipel, kecepatan injeksi yang lebih lambat, penggunaan dosis tes, dan menghindari
pengulangan dosis.1,6
DAFTAR PUSTAKA
FARRA Y. PATTIPAWAE
2018-84-057
Pembimbing:
Dr. Ony W. Ankejaya, Company
Sp.An LOGO
BAB I
PENDAHULUAN
COMPANY LOGO
PENDAHULUAN
COMPANY LOGO
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
COMPANY LOGO
DEFINISI
ANESTESI LOKAL
Obat Anestesi lokal adalah suatu ikatan kimia yang
mampu menghambat konduksi saraf perifer
apabila obat ini disuntikkan didaerah perjalanan
serabut saraf dengan dosis tertentu tanpa
menilmbulkan kerusakan permanen pada serabut
saraf tersebut.
COMPANY LOGO
KLASIFIKASI
Ester Amida
Ester : Amida :
timbulnya parestesia
sampai anestesi,
paresis sampai
paralisis dan
vasodilatasi pembuluh
darah pada daerah
yang terblok.
COMPANY LOGO
MEKANISME KERJA
COMPANY LOGO
FARMAKOLOGI
COMPANY LOGO
Keuntungan utama farmakodinamik obat
anestesi local adalah kemampuan untuk
memperkirakan Cmax dari obat anestesi local
sehingga pemberian dosis toksis dapat
dihindari.
Defenisi
COMPANY LOGO
Faktor Risiko
Lokasi Injeksi
Lokasi injesksi dari anestesi local mempengaruhi kecepatan penyerapan dan
kosentrasi puncak plasma. Dosis anestesi local mungkin perlu diturunkan ketika
diberikan pada daerah dengan penyerapan yang sangat cepat seperti pada jalan
napas atau blok saraf intercostal
Usia muda
Bayi, khususnya yang berusia 0-3 bulan mempunyai kosentrasi protein plasma
tempat anestesi local berikatan yang menurun, seperti AAG. Hal ini
menyebabkan peningkatan kosentrasi puncak dari anestesi local yang bebas
(tidak berikatan) setelah injeksi. Bentuk tidak berikatan inilah yang
menyebabkan terjadinya efek samping toksik.
COMPANY LOGO
Faktor Risiko
Disfungsi Ginjal
Disfungsi Hepar
Gagal jantung
Kehamilan
COMPANY LOGO
Mekanisme
memunculkan gejala
toksisitas pada berbagai
menyebabkan disritmia
lokasi termasuk
dan penurunan
ionotropik, metabotropic,
kontraktilitas jantung
dan target lainnya.
Pada jantung,
Pada otak, anestesi local
menyebabkan blockade
mempengaruhi
konduksi melalui
keseimbangan antara
efeknya terhadap kanal
jalur inhibisi dan eksitasi.
natrium, kalium dan
kalsium
COMPANY LOGO
Manifestasi Klinis
COMPANY LOGO
Diagnosis
GEJALA SUBJEKTIF
COMPANY LOGO
Terapi Toksisitas
Pengobatan toksisitas
Jenis toksisitas yang dialami
anestesi lokal
kardiotoksisitas
re-evaluasi
COMPANY LOGO
Terapi Toksisitas
Terapi konservatif
Resusitasi
kelompok benzodiazepine,
barbiturate, dan propofol dalam
dosis kecil (midazolam 2-4mg,
propofol 0,5-1 mg/kg).
COMPANY LOGO
Terapi Toksisitas
COMPANY LOGO
Panduan Toksisitas anestesi lokal menurut A
AGBI (Associaton of anaesthetists of great
britain and ireland)
COMPANY LOGO
COMPANY LOGO
COMPANY LOGO
TERIMA KASIH
GOD BLESS YOU
COMPANY LOGO
Bagian Anastesi Dan Reanimasi Laporan Kasus
Fakultas Kedokteran Maret 2020
Universitas Pattimura
Oleh:
Farra Y. Pattipawae
2018-84-057
Pembimbing:
Ambon
2020
BAB I
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. MP
Usia : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM 157651
Alamat : BTN Kanawa
Gol. Darah :B
Berat Badan : 86 kg
Tinggi Badan : 163 cm
Tanggal Operasi : 11 Maret 2020
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Indonesia
2
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82x/m, reguler
Respirasi : 24x./m teratur
Temperatur axila : 36,8̊C
BB : 86 kg
TB : 163 cm
b. Status General
Kepala : Normocephal
Mata : KA (-/-), SI (-/-), Refleks Pupil (+/+), isokor, Exophtalmus (-/-)
Telinga : daun telinga N/N, sekret (-/-)
Hidung : hidung luar normal, sekret (-/-)
Tenggorokan : tonsil T2/T2, faring hiperemis (+),
hipertrofi
Lidah : makroglossy (-), papil lidah atrofi (-), mukosa basah (+), warna
merah muda
Bibir : mukosa basah (+), warna merah muda, stomatitis (-)
Leher
Regio colli Dextra
Inspeksi : massa (-)
Palpasi : tiroid tidak teraba, pembesaran kelenjar limfa (-)
Thorax
Jantung
Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
Palpasi : teraba iktus kordis di ICS V garis midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung setinggi ICS II, batas kiri bawah jantung
setinggi ICS V linea midcalvicula sinistra, batas kanan jantung
ICS IV line parasternalis.
Auskultasi : suara jantung S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Paru
Inspeksi : dinding thoraks simetris, retraksi (-)
Palpasi : taktil fokal fremitus N/N, pergerakan simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-/+), pelebaran pembuluh darah (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (+) seluruh lapangan perut, hepar tidak teraba, lien
tidak teraba, ballotemen -/-
Perkusi : distribusi suara timpani (+)
Ekstremitas
Akral hangat ++ tremor -- Edema --
++ -- --
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Kimia darah
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
b. Darah Rutin
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
c. Foto Thorax PA
- Cor tak membesar
- Pulmo tak tampak infiltrate
- Opasitas pada paravertbra kanan kiri setinggi corpus VTh5-10→Vaskuler
4. Diagnosis
Hipertrofi tonsil
5. Planning
a. Puasa 8 jam sebelum operasi
b. Antibiotik profilaksis
3. Pre-Operatif
a. Diagnosa Pra Bedah : Hipertrofi Tonsil
b. Jenis Pembedahan : Tonsilektomy
c. Jenis Anestesi : General Anestesi
d. Posisi : Supine
e. Lama Anestesi : 08.30 WIT – 09.10 WIT
f. Lama Operasi :-
g. Premedikasi : Ranitidin 50 mg
h. Teknik Anestesi Umum :
1. Pasien diposisikan berbaring
2. Pasien diberikan obat-obatan premedikasi yaitu fentanyl 100 mg.
3. Pre oksigenasi pasien selama 4 menit
4. Pasien diberikan obat induksi, propofol 300 mg
5. Pasien memasuki stadium anestesi
6. Pengambilan alih napas pasien dan lakukan denitrogenisasi
7. Pemberian obat relaxan, atracurium 25 mg
8. Intubasi dilakukan kepada pasien dengan memasukkan ETT nomor 6.5, dengan
panjang trakea sampai dengan bibir sejauh 15 cm
9. Cek kedua lapang paru
10. Udara tidak sampai ke paru-paru
11. Dilepaskan ETT, diberikan dexamethasone 10 mg, Atrophin sulfat 0,25mg
12. Dilakukan intubasi kembali kepada pasien dengan memasukkan ETT kembali
13. Gagal intubasi, lakukan pemberian refersal (SA 4 mg + Neostigmine 4 mg)
14. Karena 3x gagal dilakukan intubasi maka ditunda untuk dilakukan operasi.
4. Intra Operatif
a. Keseimbangan cairan:
- Cairan masuk: PO (RL 300 cc), DO (RL 500 cc)
- Cairan keluar: PO (Urin 500 cc ), DO (Urin 100 cc)
5. Post Operatif
- B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-), Wh (-).
- B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 125 x/m, TD: 141/70 mmHg, S1S2 reguler,
murmur (-), gallop (-).
- B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
- B4: BAK urin 50 cc.
- B5: BU (+)
- B6: Edema (-), deformitas (-)
Terapi:
- Pasien tunda operasi karena gagal intubasi
- Headup 30o
- Infus RL 20 tetes/menit
- Ceftriaxone 1 g/ 12 jam iv
- Metrodinazole 1 g/12 jam iv
- Ranitidine 2 x1 / 12 jam iv
- Awasi TNSP
- Boleh makan/minum
12/3/2020
- B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-), Wh (-).
- B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 125 x/m, TD: 125/70 mmHg, S1S2 reguler,
murmur (-), gallop (-).
- B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
- B4: BAK urin 50 cc.
- B5: BU (+)
- B6: Edema (-), deformitas (-)
Terapi :
- Aff infus
- Ciprofloxacin 2 x 500mg
- N-Asetyl Systein 3 x 1 tab
- Metylprednisolon 4 mg 3x1 tab
- Observasi pulang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anestesi Umum
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di
seluruh tubuh akibat dari pemberian obat anestesia. Anestesi umum merupakan kondisi
yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan
obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa
nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau
refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran
(unconsciousness).1-3
Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria : tiga komponen anestesi
atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks, ketidaksadaran,
aman untuk sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah diaplikasikan dan ekonomis.
Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi umum adalah upaya untuk menciptakan
kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk
dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan
hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam.1-3
Agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui gabungan
secara injeksi dan inhalasi. Agen anestesi dapat digabungkan atau dikombinasikan antara
beberapa anestetikum atau dengan zat lain sebagai preanestetikum dalam sebuah teknik
yang disebut balanced anesthesia untuk mendapatkan efek anestesi yang diinginkan dengan
efek samping minimal. Pemilihan teknik seringkali ditentukan oleh karakteristik pasien
sehingga tepat penggunaan dan resiko efek samping yang paling minimal.. 1-3
b) Distribusi
Etomidat sangat terikat dengan protein, meskipun demikian onsetnya cepat, dikarenakan
etomidat sangat larut dalam lemak dan fraksi non ionisasinya tinggi pada pH fisiologis.
Proses redistribusi berperan dalam lamanya durasi etomidat.
c) Biotransformasi dan eksresi
Etomidat cepat dihidrolisis oleh enzim mikrosomal hati dan plasma esterase menjadi
metabolit inaktif yang akan dieksresikan oleh ginjal.
Efek pada sistem organ
a) Kardiovaskuler
Mempunyai efek yang minimal pada sistem kardiovaskuler. Menurunkan secara minimal
tahanan pembuluh darah perifer sehingga terjadi sedikit penurunan tekanan darah arteri.
Kontraktilitas otot jantung dan cardiac output umumnya tidak mengalami perubahan.
Etomidat tidak melepas histamin
b) Respirasi
Dibandingkan dengan barbiturat dan benzodiazepin, ventilasi sedikit dipengaruhi oleh
etomidat. Pada dosis induksi tidak menyebabkan apnea kecuali bila dikombinasikan
dengan opioid.
c) Otak
Etomidat menurunkan laju metabolisme otak, CBF, dan tekanan intra kranial. Karena
hanya sedikit mempengaruhi kardiovaskuler, CPP dapat terjaga dengan baik. Etomidat
tidak mempunyai efek analgesik.
d) Endokrin
Dosis induksi etomidat menghambat enzim yang terlibat dalam sintesis kortisol dan
aldosteron. Infus jangka panjang etomidat dan efeknya pada supresi adrenokortikal akan
meningkatkan angka mortalitas pada pasien
critically ill (terutama pasien sepsis).
E. Propofol
Propofol mengikat reseptor GABA, sehingga meningkatkan afinitas ikatan GABA
dengan reseptor GABA, yang akan menyebabkan hiperpolarisasi membran saraf. Injeksi
propofol IV akan menimbulkan nyeri yang dapat dikurangi dengan pemberian injeksi
lidokain sebelumnya atau dengan mencampurkan lidokain 2% dengan 18 ml propofol
sebelum penyuntikkan. Formulasi propofol mudah terkontaminasi dengan pertumbuhan
bakteri, sehingga harus digunakan dengan tehnik yang steril dan tidak boleh dipakai
setelah 6 jam pembukaan ampul. 1-5,7
Induksi anestesi dengan propofol berlangsung dengan lembut dengan hanya sedikit
menimbulkan efek samping eksitasi. Dosis 1-2,5 mg/kg (tergantung pada usia dan status
fisik pasien serta penggunaan premedikasi) menghasilkan induksi anestesi dalam waktu
30 detik. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler harus diberikan dosis induksi yang
lebih rendah.
Farmakokonetik. 1-5,7
a) Absorbsi
Propofol hanya tersedia dalam bentuk pemberian secara IV untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi.
b) Distribusi
Onset kerja propofol cepat, begitu pula dengan durasinya yang pendek pada pemberian
bolus dosis tunggal dikarenakan pendeknya distribusi waktu paruhnya (2-8 menit). Pada
lansia direkomendasikan pengurangan dosis induksi dan laju infus propofol yang
diberikan, karena Vd mereka yang lebih kecil.
c) Biotransformasi dan eksresi
Propofol dimetabolisme dengan cepat menjadi metabolit inaktif dan dieksresikan melalui
ginjal. Laju klirens propofol (20-30 ml/kg/mnt) melampaui aliran darah hepar, sehingga
diduga propofol juga dimetabolisme di organ yang lain seperti paru (ekstra hepatik).
Efek pada sistem organ1-5,7
a) Kardiovaskuler
Propofol menghambat aktivitas simpatis vasokonstriktor sehingga menurunkan resistensi
pembuluh darah perifer, preload dan kontraktilitas otot jantung yang akhirnya akan
menurunkan tekanan darah arteri. Hipotensi yang terjadi saat induksi biasanya akan pulih
akibat dari stimulasi laringoskopi dan intubasi. Hipotensi pada induksi propofol
dipengaruhi oleh dosis yang besar, kecepatan injeksi dan usia tua. Propofol secara nyata
mempengaruhi barorefl eks arterial terhadap hipotensi. Perubahan pada denyut jantung
dan cardiac output biasanya hanya sementara dan tidak bermakna pada pasien yang
sehat, tetapi dapat diperparah pada pasien lansia, konsumsi ß-adrenergic blockers atau
pada pasien dengan gangguan fungsi ventilasi.
b) Respirasi
Pada dosis induksi propofol menekan secara dalam fungsi pernafasan hingga
menyebabkan apnea. Meski hanya dengan dosis sub anestetik propofol menghambat
respon normal terhadap hiperkarbia. Propofol menekan refleks jalan nafas atas melebihi
thiopental sehingga tindakan intubasi, endoskopi dan pemasangan LMA dapat dilakukan
tanpa blokade neuromuskular.
c) Otak
Propofol menurunkan CBF, cerebral metabolit rate dan tekanan intra kranial. Ketika
dosis besar diberikan, efek penurunan tekanan darah sistemik yang nyata dapat
menurunkan CPP. Autoregulasi pembuluh darah otak dalam merespon perubahan
tekanan darah arteri dan reaksi CBF terhadap perubahan tekanan CO tidak mengalami
perubahan. Propofol memiliki kemampuan yang sama dengan thiopental sebagai
protektor otak terhadap fokal iskemia. Induksi propofol dapat disertai dengan fenomena
eksitasi seperti kedutan otot, gerakan spontan, ophisthotonus dan cegukan. Propofol
mempunyai efek anti konvulsan dan dapat digunakan untuk mengatasi keadaan status
epileptikus.
F. Opioid
Ketika digunakan di dalam tehnik TIVA,opioid bekerja secara sinergis dengan
kebanyakan agen hipnotik. Selama melakukan TIVA, kemampuan untuk mencegah
respon otonom terhadap stimuli pembedahan sangat bergantung dengan penggunaan
opioid. 1-5,7
2.2.Difficult Airway
Difficult airway atau kesulitan jalan napas menurut The Aerican Society of
Anesthesiology adalah adanya faktor-faktor klinis yang menyulitkan baik ventilasi masker
atau intubasi yang dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dan terampil.4-6
Terjadinya morbiditas akibat anestesi (kerusakan gigi, aspirasi paru, trauma jalan
nafas, trakeostomi tanpa antisipasi sebelumnya, anoxic brain injury, cardiopulmonary arrest
dan kematian) merupakan akibat serius dari kesulitan atau kegagalan dalam manejemen
jalan napas. 4-6
2.2.1. Difficult Ventilation
Difficult ventilation atau kesulitan ventilasi menurut The American Society of
Anesthesiology adalah ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk
menjaga SP02 >90% saat ventilasi menggunakan face mask. Mask Ventilation (MV) adalah
keterampilam integral bagi semua ahli anestesi. MV merupakan salah satu langkah awal pada
anestesi umum, dan juga merupakan teknik penting dalam mempertahankan oksigenasi ketika
terjadi gagal atau sulit intubasi. 4-6
Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat menjadikan seseorang pasien mengalami
difficult ventilation, yaitu: obesitas, usia, laki-laki, grade mallampati, mandibular protrusi,
dan riwayat tidur ngorok. Biasanya faktor resiko ini disingkat dengan OBESE (Obese,
Bearded, Edentulous, Snoring, Elderly) atau MMMMASK (Male gender, Mask seal,
Mallampati grade 3 atau 4, Mandibular protrusion, Age, Snoring dan tidur ngorok,
Kilogram). 4-6
Jika dua faktor di atas positif kemungkinan beresiko untuk mengalami difficult
ventilation.
2.3.Difficult Intubation
Defenisi dari sulit intubasi (difficult tracheal intubation) itu sendiri adalah suatu tindakan
yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop
konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah keadaan
dimana keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih dari 10 menit. 4-6
Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan terjadinya
kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan
L (Look externally)
Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal - hal
yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti trauma pada
wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil.
E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental Langkah ini
merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi laring.
Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit untuk dilakukan
intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan
jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara
ujung mentum, tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-
3-2:
Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral.
Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah ketika
laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan peningkatan
kesulitan.
Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah. Bila
lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah, sehingga mungkin
menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.
M (Mallampaty score)
Skor mallampati atau klasifikasi mallampati adalah sistem skor medis yang digunakan
dibidang anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan bisa menimbulkan resiko pada
intubasi pasien yang sedang menjalani proses pembedahan. Hasil menentukan tingkat yg
dibedakan dari I sampai IV. Kelas I mengindikasikan seorang pasien yg seharusnya lebih
mudah diintubasi. Tingkat tertinggi, kelas IV ditujukan ditujukan kepada pasien dengan
resiko tinggi, komplikasi. Klasifikasi mallampati ditentukan oleh pengamatan visual dari
rongga mulut.
Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1: Palatum mole, uvula, dinding posterial orofaring, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterial ufula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Pasien posisi duduk tegak, dengan kepala terangkat dalam posisi netral. Pasien
memegang mulutnya terbuka lebar dan meluaskan lidah, teknisi memeriksa visibilitas dari
struktur faring. Dalam sistem klasifikasi kelas 1 dan 2 umumnya mudah diintubasi sedang 3
dan 4 terkadang sulit. Selain sistem klasifikasi mallampati, temuan fisik lainnya telah
terbukti menjadi prediktor yang baik dari kesulitan napas. Faktor lain yang digunakan untuk
memprediksi kesulitan intubasi antara lain gerak sendi temporo mandibular terbatas,
mandibular menonjol, maksila atau gigi depan yang menonjol, mobilitas leher terbatas,
pertumbuhan gigi tidak lengkap, langit-langit mulut sempit, anafilaksis saluran Mallampati,
dan ankilosis servikal, sindrome congenital Klippel-Fei (leher pendek, leher menyatu),
Pierre Robin (micrognathia, belahan langit-langit, glossoptosis), Treacer Collins (mandibulo
facial dysostosis), endokrinopati (kegemukan, acromegali, hipotiroid macroglossia,
gondok), infeksi (Ludwig Angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,
retropharyngeal abses, epiglottitis), massa pada medisastinum, myopati menunjukkan
myotonia atau trismus, jaringan parut luka bakar atau radiasi, trauma dan hematoma, tumor
dan kista, benda asing jalan napas, kebocoran disekitar masker wajah (edentulous, hidung
datar, besar wajah dan kepala, kumis, jenggot), nasogastrik tube, kurangnya ketrampilan,
pengalaman, atau terburu—buru.
O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai akibat
adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice (hot
potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya
stridor.
N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam
intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu posisi
leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat
mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring
dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35
derajat.
Tahun 1984, Cormack dan Lehane membuat skala yang menggambarkan derajat
visualisasi laring pada saat laringoskopi. Skor Cormack-Lehane harus dinilai pada saat
visualisasi laring yang paling baik, dengan pasien berada dalam posisi sniffing yang
optimal, keadaan relaksasi otot yang baik, teknik laringoskopi yang benar, dan bergantung
pada keterampilan serta kemampuan individu yang melakukan laringoskopi.
Kelas 1 sebagian besar glottis terlihat, kelas 2 hanya ektremitas posterior glottis dan
epiglotis tampak, kelas 3 tidak ada bagian dari glottis yang terlihat, hanya epiglotis yang
terlihat, kelas 4 bahkan epiglotis tidak terlihat.
Kelas 1 dan 2 dianggap mudah, kelas 3 dan 4 dianggap sulit. Pada peneilitian
simatupang 2014 disimpulkan upper lip bite test (ULBT) dan Mallampati memiliki korelasi
yang baik sebagai prediktor kesulitan intubasi. Benumof JL, 1994 melaporkan untuk
kesulitan intubasi sebesar 1-4% pada Cormack Lehane derajat III, sedangkan kegagalan
intubasi sebesar 0,05-0,35% pada derajat III dan IV.
Gambar: penampakan derajat laryngoscop5
2.4. Tonsilitis
2.4.1 Defenisi
Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatina yang disebabkan oleh infeksi virus atau
bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut dengan
sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibody
terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari
bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3
macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronis.8
1. Tonsilitis akut
a. Etiologi
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus β hemolitikus,
Pneumokokus, Streptokokus viridans, dan Streptokokus pyogenes. Hemophylus
influenzae merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. 8
b. Patofisiologi
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, kemudian bila kuman ini mengikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi,
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan
epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak
sebagai bercak kuning. 8
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis.
Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi
tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran
semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil. 8
Gambar 8. Tonsillitis akut
c. Manifestasi klinik
Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu menelan,
nafas yang berbau, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan, dan rasa
nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri ditelinga ini karena nyeri alih (referred pain)
melalui saraf n.Glosofaringius (n.IX). 8
Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan
terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane semu.
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. 8
d. Komplikasi
Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring, toksemia,
septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis. 8
e. Pemeriksaan
1) Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada
dalam tubuh pasien merupakan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan
demam reumatik, glomerulonefritis. 8
2) Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan. 8
f. Perawatan
Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan perawatan
sendiri dan dengan menggunakan antibiotic.Tindakan operasi hanya dilakukan jika
sudah mencapai tonsillitis yang tidak dapat ditangani sendiri. 8
1) Perawatan sendiri
Apabila penderita tonsillitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu
hilang dengan sendirinya. Selama satu atau dua minggu sebaiknya penderita
banyak istirahat, minum minuman hangat.
2) Antibiotik
Jika tonsillitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotic yang akan berperan
dalam proses penyembuhan. Antibiotik oral perlu dimakan selama setidaknya
10 hari.
3) Tindakan operasi
Tonsillektomi biasanya dilakukan jika pasien mengalami tonsillitis selama tujuh
kali atau lebih dalam setahun, pasien mengalami tonsillitis lima kali atau lebih
dalam dua tahun, tonsil membengkak dan berakibat sulit bernafas, adanya abses.
2. Tonsilitis Membranosa
Tonsillitis membranosa adalah radang akut tonsil disertai pembentukan selaput atau
membrane pada permukaan tonsil yang dapat meluas kesekitarnya. Bila eksudat yang
menutupi permukaan tonsil yang bengkak menyerupai membran. Membran ini biasanya
mudah diangkat atau dibuang dan berwarna putih kekuning-kuningan. 3
a. Tonsillitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi
dan anak. Penyebab tonsillitis difteri ialah kuman Coryne bacterium diphteriae,
kuman yang termasuk dalam gram positif dan hidung disaluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring, dan laring. 3
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensinya tertinggi pada usia 2 – 5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini. 3
3. Tonsilitis kronis
a. Etiologi
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut, namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. 3
b. Faktor predisposisi
Higien mulut yang buruk, pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat,
rangsangan kronik karena rokok maupun makanan. 3
c. Patofisiologi
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan
jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok
melebar yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul
dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. 3
d. Pemeriksaan
1) Terapi
Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada higien mulut dengan berkumur
atau obat isap. 3
Terapi radikal dengan tonsillektomi bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta curiga neoplasma. 3
2) Faktor penunjang
Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.
3.1 Kesimpulan
1. Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa
nyeri di seluruh tubuh akibat dari pemberian obat anestesia. Anestesi umum
merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan
diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang
ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan
(amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak
spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness).
2. Anestesi umum dibagi menjadi dua metode, yakni anestesi inhalasi dan anestesi
injeksi. Namun, biasanya dapat digunakan kedua metode tersebut, disebut dengan
balance anestesia.
3. Pada pasien pasien anestesia umum biasanya dijumpai difficult airway.
Difficult airway dibagi menjadi dua yakni, difficult intubation dan difficult
inhalation
4. Pada pasien ini termasuk dalam cormeck IV, dan saat dilakukan anestesi Mallapati
4, faktor resiko sulit intubasi karena obesitas, dan faktro leher yang pendek. Maka
dari itu pasien ditunda untuk dilakukan operasi dengan edukasi ke pasien untuk
menurunakn berat-badan pasien terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Atikenhad AR, Moppett LK, Thompson JP. Textbook of anesthesia. 6th eition. United
3. Butterworth. JF, Mackey. DC, Wasnick. JD. Clinical anesthesiology. 6th Edition. New
4. Hill SA, Peck TE. Pharmacology for anasthesia and intensive care. 4th edition. United
Blackwell, 2013
6. Longnecker DE, Mackey SC, Newman MF, Sandberg WS, Zapol WM. Anesthesiology.
Oleh:
Farra Y. Pattipawae, S.Ked
NIM. 2018-84-057
Konsulen:
dr. ONY W. ANGKEJAYA, Sp.An
dr. FAHMI MARUAPEY, Sp.An
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN
KLINIK PADA BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
RSUD DR. M. HAULUSSY FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
BAB I
LAPORAN
KASUS
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama: Tn. MP
Usia : 54 tahun
tahunKelamin : Laki-laki
Jenis
JenisRM
No. Kelamin : Laki-
: 157651
laki No. RM
Alamat : 157651
: BTN Kanawa
Alamat
Gol. Darah: BTN
:B
Kanawa
Berat Gol. Darah
Badan : 86 kg:B
Berat Badan
Tinggi Badan : 16386 kg cm
Tinggi Badan
Tanggal Operasi: 163
: 11 Maret
cm Agama
2020 : Islam
Tanggal Operasi
Suku/Bangsa : 11 Maret
: Indonesia
2020 Agama : Islam
Suku/Bangsa : Indonesia
Anamnesis
Keluhan utama: Nyeri tenggorokan
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang
Pasien datang keke Poliklinik
Poliklinik THT
THT RSUD
RSUD Haulussy
Haulussy dengan
dengan
keluhan nyeri
keluhan nyeri menelan
menelan sejak
sejak 55 bulan
bulan sebelum
sebelum masuk
masuk
Pasien merasa
rumah sakit. Pasien merasa nyeri
nyeri saat
saat menelan
menelan
Pasien merasa
makanan. Pasien merasa adaada yang
yang mengganjal
mengganjal pada
pada
tenggorokan. Apabila tenggorokan sedang terasa nyeri,
telingatelinga
nyeri, kanankanan
juga terasa nyeri dan
juga terasa nyeribadan terasaterasa
dan badan
demam. 3 minggu belakangan pasien merasa dada
Terdapat batuk,
terasa sesak. Terdapat batuk, tidak
tidak ada
ada pilek,
pilek, nafsu
nafsu
makan menurun.
Riwayat penyakit dahulu:
• Pasien pernah mengalami hal yang sama sejak 2 tahun
sebelumnya dan keluhan tersebut dirasakan memberat
5 bulan terakhir, setiap bulan minimal 2x kambuh.
Riwayat Hipertensi
• Riwayat Hipertensi dan
dan Diabetes
Diabetes mellitus
mellitus disangkal.
disangkal.
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit keluarga:
keluarga:
Tidak ada
•• Tidak ada keluhan
keluhan yang
yang sama
sama di
di keluarga
keluarga
Riwayat alergi:
Riwayat alergi:
Riwayat alergi
•• Riwayat alergi makanan,
makanan, debu,
debu, cuaca
cuaca dan
dan obat-obatan
obat-
obatan disangkal
disangkal
Riwayat pengobatan:
Riwayat pengobatan:
Pasien sudah
•• Pasien sudah berobat
berobat ke
ke dokter
dokter namun
namun tidak
tidak ada
ada perubahan
PERSIAPAN PRE OPERASI
Anamnesis (11 Maret 2020)
A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi
obat- obatan maupun makanan
M (Medication) : (-)
P (Past Illnest) : Riwayat DM(-), HT (-), Asma
Asma (-)
(-)
L (Last meals) : Puasa mulai pukul 22.00
WIT (10 Jam sebelum operasi)
E (Environtment) : -
Pemeriksaan Fisik
Status General
Kepala : Normocephal
Status Present Mata : KA (-/-), SI (-/-), Refleks Pupil
Tanda Vital (+/+), isokor, Exophtalmus (-/-)
• Tekanan Darah : 120/80 Telinga : daun telinga N/N, sekret (-/-)
Hidung : hidung luar normal, sekret
mmHg
(-/-) Tenggorokan : tonsil T2/T2,
• Nadi : 82x/m, reguler faring hiperemis (+), hipertrof
• Respirasi : 24x./m teratur Lidah : makroglossy (-), papil lidah
• Temperatur axila : 36,88C atrofi (-), mukosa basah (+), warna
merah muda
• BB : 86 kg (Obes II)
Bibir : mukosa basah (+), warna merah
• TB : 163 cm muda, stomatitis (-)
Leher
Regio colli Dextra
• Inspeksi : massa (-)
• Palpasi : tiroid tidak teraba,
pembesaran kelenjar limfa (-)
Pemeriksaan Fisik
Thorax
Jantung
• Inspeksi : tidak tampak iktus Abdomen
kordis Abdomen
Inspeksi:
• Palpasi : teraba iktus kordis di ICS V distensi (-/+), pelebaran pembuluhdarah (-)
• Inspeksi : distensi (-/+),
garis Auskultasi : BU (+) normal
midclavicula sinistra pelebaran pembuluh
Palpasi : nyeri tekan (+) seluruh lapangan perut, hepar tidak teraba,
• Perkusi : batas jantung setinggi ICS II, darah (-)
teraba, ballotemen -/-
batas kiri bawah jantung setinggi • Auskultasi
Perkusi : distribusi : BU (+)
suara timpani (+) normal
ICS V linea midcalvicula sinistra, batas • Palpasi : nyeri tekan (+) seluruh lapangan
kanan jantung ICS IV perut, hepar tidak teraba, lien tidak
line parasternalis. teraba, ballotemen -/-
• Auskultasi : suara jantung S1S2 • Perkusi : distribusi suara timpani (+)
tunggal, reguler, murmur (-)
Paru
• Inspeksi : dinding thoraks
simetris, retraksi (-)
• Palpasi : taktil fokal fremitus N/N,
pergerakan simetris
• Perkusi : sonor/sonor
• Auskultasi : suara napas vesikuler
+/+, ronki - /-, wheezing -/-
Permeriksaan Penunjang
Foto Thorax PA
• Cor tak membesar
• Pulmo tak tampak infiltrate
• Opasitas pada paravertbra kanan
kiri setinggi corpus VTh5-
10Vaskuler
Diagnosis
Tonsilitis kronik
Planning
• Puasa 8 jam sebelum operasi
• Antibiotik profilaksis
Pre-Operatif
Diagnosa Pra Bedah : hipertrofi
tonsil Jenis Pembedahan :
Tonsilektomy Jenis Anestesi :
General Anestesi Posisi : Supine
Lama Anestesi : 08.30 WIT – 09.10 WIT
Lama Operasi : -
Premedikasi : Ranitidin 50 mg
Intra Operatif
Keseimbangan cairan:
• Cairan masuk: PO (RL 300 cc), DO (RL 200 cc)
• Cairan keluar: PO (Urin 500 cc ), DO (Urin 100
cc)
Post Operatif
B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-), Wh (-).
B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 125 x/m, TD: 141/70
mmHg, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
B4: BAK urin 50 cc.
B5: BU (+)
B6: Edema (-), deformitas (-)
Terapi:
• Pasien tunda operasi karena gagal intubasi
• Headup 30o
• Infus RL 20 tetes/menit
• Ceftriaxone 1 g/ 12 jam iv
• Metrodinazole 1 g/12 jam iv
• Ranitidine 2 x1 / 12 jam iv
• Awasi TNSP
• Boleh makan/minum
Post operatif (12/3/2020)
B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-),
Wh (-).
B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 125 x/m, TD:
125/70 mmHg, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
B4: BAK urin 50 cc.
B5: BU (+)
B6: Edema (-), deformitas (-)
Terapi :
• Aff infus
• Ciprofloxacin 2 x 500mg
• N-Asetyl Systein 3 x 1 tab
• Metylprednisolon 4 mg 3x1 tab
• Observasi pulang
BAB II
PEMBAHASAN
Anestesi Umum
Tahapan Anestesi Umum
Tahapan Anestesi Umum
Jenis-jenis Anestesi Umum
Anestesi Umum Inhalasi
Mekanisme kerjanya pada sistem saraf pusat terbagi menjadi dua kategori
Benzodiazepin mengikat reseptor yang
Golongan Benzodiazepin
sama dengan barbiturat di sistem saraf
pusat, tetapi berikatan dilokasi yang
berbeda. Berikatan dengan reseptor
GABA, sehingga terjadi terjadi
peningkatan frekuensi pembukaan
kanal
ion Cl.
Ketamin ketamin mempunyai keunggulan dengan
menimbulkan efek hipnotik dan analgesi sekaligus
berkaitan dengan dosis yang diberikan. Ketamin
memiliki efek yang beragam pada sistem saraf pusat,
menghambat refleks polisinaptik di medulla spinalis
dan neurotransmiter eksitasi di area tertentu otak.
Etomidat memiliki efek disinhibisi pada mekanisme
Etomidat sistem saraf yang mengontrol aktivitas motorik
ekstrapyramidal, sehingga menyebabkan timbulnya
efek gerakan myoklonik pada sekitar 30-60% pasien
yang diinduksi dengan etomidat.
Propofol mengikat reseptor GABA, sehingga
Propofol meningkatkan afinitas ikatan GABA dengan
reseptor GABA, yang akan menyebabkan
hiperpolarisasi membran saraf.
Difficult Airway
Difficult airway atau kesulitan jalan napas menurut The
Aerican Society of Anesthesiology adanya faktor-faktor
klinis yang menyulitkan baik ventilasi masker atau intubasi
yang dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dan
terampil.
Difficult Ventilation
Difficult ventilation atau kesulitan ventilasi menurut The
American Society of Anesthesiology adalah ketidakmampuan
dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga SP02
>90% saat ventilasi menggunakan face mask. Terdapat
beberapa faktor resiko yang dapat menjadikan seseorang
pasien mengalami difficult ventilation, yaitu: obesitas, usia,
laki-laki, grade mallampati, mandibular protrusi, dan
riwayat tidur ngorok.
Difficult Intubation
L
E M O N
Look
externall Evaluat Mallapat Obstruct Neck
y e 3-3-2 y Score ion Mobility
L (Look externally)
Klasifkasi Mallampati :
Mallampati 1: Palatum mole, uvula,
dinding posterial orofaring, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian
uvula, dinding posterial ufula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar
uvula Mallampati 4 : Palatum durum
saja
O (Obstruction)
N (Neck mobility)
Skor Cormack-
Lehane harus
dinilai pada saat
visualisasi
laring
TONSILITI
S
Tonsillitis adalah inflamasi pada
tonsila palatina yang disebabkan oleh
infeksi virus atau bakteri.
Saat
bakteri dan
virus
masuk ke
memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibody
dalam
tubuh
Tonsilitis akut
• Penyebab kuman grup A
Streptokokus β hemolitikus,
Pneumokokus,
Streptokokus viridans, dan
Streptokokus pyogenes.
• Gejala dan tanda-tanda demam
dengan suhu tubuh yang tinggi,
Tonsilitis Membranosa
nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu
menelan, nafas yang berbau, rasa • Tonsillitis membranosa
lesu, rasa nyeri di persendian, radang akut tonsil disertai
tidak nafsu makan, dan rasa nyeri pembentukan selaput atau
di telinga (otalgia). membrane pada permukaan
• Penatalaksanaan Perawatan
sendiri, antibiotik, dan tindak
tonsil yang dapat meluas
operasi kesekitarnya.
• Terdiri dari : Tonsilitis difteri,
tonsilitis septik, Angina
Plaut Vincent ( Stomatitis
Ulsero Membranosa )
Tonsilitis kronis
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan
tonsillitis akut, namun terkadang bakteri berubah menjadi
bakteri golongan Gram negatif.
Faktor predisposisi
Tonsilitis kronis
Terapi
• Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada
higien mulut dengan berkumur atau obat isap.
• Terapi radikal dengan tonsillektomi bila terjadi infeksi
yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta
curiga neoplasma.
Komplikasi
Timbul rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuitatum, endokarditis, arthritis, miositis,
nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anestesi umum ialah suatu keadaan tidak sadar yang
bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di
seluruh tubuh akibat dari pemberian obat anestesia.