Anda di halaman 1dari 28

JOURNAL READING

Pengaruh Program Berbasis Spiritualitas terhadap Stres, Kecemasan, dan


Depresi pada Pengasuh Pasien Gangguan Jiwa di Iran

Oleh:
Shafana Vinda Shabira P.3455.A
Atifah Rahman P.3452.A

Preseptor:
dr. Rini Gusya Liza, M.Ked.KJ, Sp. KJ

BAGIAN PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas rahmat Allah Ta’ala Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Journal Reading
dengan judul “Pengaruh Program Berbasis Spiritualitas terhadap Stres,
Kecemasan, dan Depresi pada Pengasuh Pasien Gangguan Jiwa di Iran”.
Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik
senior Departemen Ilmu Kedokteran Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Makalah imi memuat informasi mengenai isi jurnal dan
telaah kritis dari jurnal tersebut.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
dr. Rini Gusya Liza, M.Ked.KJ, Sp.KJ yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan makalah ini. Penulis beraharap semoga Allah SWT senantiasa
mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada Ibu.
Akhir kata, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Untuk itu, penulis menerima kritik dari berbagai pihak
untuk menyempurnakan makalah ini.

Padang, Maret 2023


`

Penulis

2
Pengaruh Program Berbasis Spiritualitas terhadap Stres, Kecemasan, dan
Depresi pada Pengasuh Pasien Gangguan Jiwa di Iran
Fateme Khosravi1, Malek Fereidooni1, Moghadam1, Tayebe Mehrabi1, Seyed
Roohollah Moosavizade2
1.
Fakultas Keperawatan dan Kebidanan, Pusat Penelitian Keperawatan dan Kebidanan,
Universitas Ilmu Kedokteran Isfahan, Isfahan, Iran
2
Departemen Pendidikan,Universitas Ilmu Kedokteran Isfahan, Isfahan, Iran

Abstrak
Salah satu isu penting dalam merawat pasien gangguan jiwa adalah tingginya
prevalensi stres, kecemasan, dan depresi pada pengasuh. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh program berbasis spiritualitas terhadap stres,
kecemasan, dan depresi pada pengasuh pasien gangguan jiwa. Penelitian uji klinis
ini melibatkan 60 pengasuh keluarga pasien gangguan jiwa yang dirujuk ke klinik
Rumah Sakit Jiwa Shahid Ayatollah Modarres di Isfahan, Iran, pada tahun 2019-
2020. Sampel dipilih dengan menggunakan metode pengambilan sampel yang
mudah dan kemudian dibagi menjadi dua kelompok eksperimen dan kontrol dengan
alokasi acak sederhana. Selanjutnya, intervensi berbasis spiritualitas dilakukan
untuk kelompok intervensi, dan data yang diperlukan dikumpulkan pada kelompok
intervensi dan kontrol sebelum, segera setelah, dan satu bulan setelah intervensi. Alat
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner DASS-21.
Tidak ada perbedaan yang signifikan yang diamati antara kedua kelompok dalam hal
skor rata-rata stres, kecemasan, dan depresi (p > 0,05) sebelum intervensi. Namun,
beberapa perbedaan signifikan ditemukan dalam hal skor stres, kecemasan, dan
depresi antara kedua kelompok segera (p <0,001) dan satu bulan setelah intervensi
(p <0,001). Program berbasis spiritualitas ini tampaknya mempengaruhi stres,
kecemasan, dan depresi para pengasuh pasien gangguan jiwa secara positif. Oleh
karena itu, disarankan untuk melakukan intervensi ini sebagai metode dukungan
yang murah dan tersedia untuk pengasuh keluarga pasien gangguan jiwa.
Kata kunci: Spiritualitas-Kecemasan-Depresi-Stres-Pengasuh Keluarga-Gangguan

3
jiwa

Pendahuluan
Gangguan jiwa memiliki prevalensi dan beban yang signifikan di antara
penyakit medis (Noorbala et al., 2014). Sekitar 919 juta orang menderita gangguan
kejiwaan di seluruh dunia (Noorbala et al., 2014). Selain itu, satu dari tiga atau empat
orang mungkin menderita gangguan jiwa selama masa hidupnya menurut laporan
Organisasi Kesehatan Dunia (Heydari et al., 2014). Secara umum, tingkat prevalensi
gangguan jiwa dilaporkan sebesar 23,6% di Iran (Noorbala et al., 2014), dan 19,9%
di provinsi Isfahan (Ahmadvand et al., 2012).
Keluarga dianggap sebagai sumber utama dalam merawat pasien yang menderita
gangguan jiwa berat (Acharya et al., 2017; Asadi et al., 2018), karena lebih dari 60%
pasien yang keluar dari rumah sakit jiwa kembali ke keluarga mereka (Karimirad et
al., 2017). Sebagai unit yang menerima dan memberikan perawatan, keluarga pasien
dengan gangguan jiwa adalah subjek yang paling signifikan dalam sistem kesehatan
dan dianggap sebagai elemen penting dalam pemulihan pasien (Karimirad et al.,
2017). Keluarga menyediakan rumah, dukungan finansial, persahabatan, dukungan
emosional, dan perawatan kesehatan untuk pasien (Karimirad et al., 2017).
Berdasarkan perspektif sistemik, keluarga adalah sebuah sistem di mana disfungsi
atau penyakit salah satu anggotanya mempengaruhi anggota lainnya (Friedman et al.,
2003). Merawat pasien dengan gangguan jiwa kronis dapat membawa beberapa
konsekuensi khusus seperti efek buruk pada status kesehatan fisik dan mental (Sharif
Ghaziani et al., 2015) Dengan demikian, variasi dan tingkat keparahan perawatan
dapat menyebabkan masalah psikologis di antara keluarga pengasuh pasien (Goodarzi
et al., 2018). Di antara masalah-masalah ini, kejadian masalah psikologis, termasuk
stres, kecemasan, dan depresi sering terjadi.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan dalam mengamati efek perawatan pasien
dengan gangguan kejiwaan menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi, tekanan
psikologis, kurangnya perhatian pada kesehatan mereka, penyalahgunaan obat-
obatan psikotropika, dan layanan perawatan primer pada pengasuh pasien ini

4
dibandingkan dengan populasi umum (Omranifard et al., 2007). Selain itu, tekanan,
kecemasan, dan depresi dilaporkan lebih banyak terjadi pada mereka yang memiliki
kontribusi lebih besar dalam perawatan pasien (Ghanei et al., 2011). Dalam hal ini,
Omranifard dkk. (2007) melaporkan bahwa 71% perawat jiwa yang dirawat di
bangsal mengalami depresi, sebagian besar dari mereka menderita depresi berat dan
79% dari mereka memiliki tingkat kecemasan yang bervariasi. Mereka
menyimpulkan bahwa depresi dan kecemasan lebih sering terjadi pada perawat yang
bekerja di bangsal psikiatri daripada masyarakat dan merekomendasikan untuk
memberikan perhatian kritis terhadap diagnosis dan pengobatan penyakit ini, karena
efek destruktif dari depresi perawat terhadap perawatan pasien rawat inap di rumah
sakit (Omranifard dkk., 2007).
Oleh karena itu, salah satu tekanan penting dalam keluarga tampaknya adalah
tingginya insiden penyakit mental pada anggota keluarga yang dapat mengganggu
status kesehatan atau kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Meskipun beberapa
orang berpendapat bahwa memainkan peran sebagai pengasuh dikaitkan dengan
penghargaan dan penguatan positif (Kristjanson & Aoun, 2004; Pahlavanzadeh et
al., 2010), namun status kesehatan fisik dan mental mereka akan memburuk jika
tidak diintervensi dengan baik (Pahlavanza-deh et al., 2010). Namun, menyelesaikan
masalah informasi, fisik, sosio-ekonomi, dan kesehatan mental pengasuh oleh sistem
kesehatan akan menyebabkan pengasuh kesejahteraan mental, yang kemudian akan
bermanfaat tidak hanya bagi pengasuh tetapi juga bagi pasien itu sendiri. Oleh
karena itu, pengasuh pasien juga harus diketahui sebagai orang yang penting bagi
pasien selama perawatan penyakit mental (Amu- soltani et al., 2017). Keluarga
membutuhkan informasi, dukungan, pelatihan, dan keterampilan untuk mengatasi
stres mereka sendiri dengan lebih baik dan mengurangi stres yang dapat
meningkatkan perkembangan penyakit dan mengurangi kekambuhan gangguan
(Veltman et al., 2002).
Dalam hal ini, melakukan intervensi terapeutik seperti pelatihan, dukungan, dan
psikoterapi dapat memberikan efek yang cukup besar dalam mengurangi depresi,
kecemasan, dan stres pada status kesehatan pengasuh keluarga dengan memberikan

5
dasar untuk meningkatkan kualitas perawatan dan tingkat status kesehatan fisik dan
mental mereka (Gutitrrez et al., 2007). Oleh karena itu, beberapa intervensi telah
dikembangkan dalam bentuk pelatihan, kelompok pendukung, dan beberapa
intervensi lainnya untuk mendukung pengasuh (Jutten et al., 2017) Di antara
intervensi tersebut, intervensi edukatif dan suportif dapat digunakan untuk
pengasuh keluarga yang telah menyatakan perlunya intervensi semacam itu (Farzi
et al., 2012). Salah satu intervensi suportif ini adalah intervensi spiritual.
Intervensi spiritual berarti membuka ruang mental untuk mencapai hubungan
yang mendalam dengan Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi, yang kemudian
memberikan sumber emosi positif, yang sebagian besar membawa efek positif pada
kesehatan mental, karena manusia adalah makhluk material dan spiritual, yang selain
memiliki kebutuhan material, juga memiliki kebutuhan spiritual (Potter & Perry,
2008). Meskipun spiritualitas merupakan elemen yang kuat, namun sering kali
diabaikan dalam pelayanan kesehatan (Abbasi & Akrami, 2012). Mengingat eratnya
hubungan antara kesehatan mental dan spiritualitas, menurut pandangan terapi
spiritual, hidup itu bermakna dalam keadaan apa pun. Oleh karena itu,
kebermaknaan, tujuan, dan harapan dalam hidup merupakan salah satu komponen
dari konsolidasi kesehatan mental (Bolahri et al., 2012). Selain itu, rasa memiliki
tujuan atau makna dalam hidup memfasilitasi kemampuan orang untuk mengatasi
kondisi stres yang berat (Kiani et al., 2016). Oleh karena itu, intervensi spiritual
selain intervensi keperawatan lainnya dapat membantu memberikan keseimbangan
antara tubuh, pikiran, dan spiritualitas, serta meningkatkan status kesehatan
(Omidvari, 2009).

Dalam beberapa tahun terakhir, intervensi spiritual telah dianggap sebagai


modalitas pengobatan yang efektif (West, 2000). Berbagai hasil penelitian
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kesehatan spiritual dengan
kesehatan mental, kecemasan, dan depresi (Larson, 2004). Intervensi terapi spiritual
akan membantu keluarga pasien untuk mengubah pemikiran mereka tentang
penyakit dan gejala serta tanda perilakunya, serta mengurangi keparahan stres dan
tekanan psikologis pada pengasuh, untuk memberikan status kesehatan mental yang

6
lebih baik (Watson et al., 1998). Di sisi lain, ditunjukkan bahwa koordinasi antara
strategi dan nilai-nilai kepercayaan dari pengasuh membawa kelanjutan efek
terapeutik (Yaghubi et al., 2014). Dengan demikian, kesehatan mental erat kaitannya
dengan dukungan agama, untuk mencapai semua tujuannya di semua tingkat
pencegahan dan intervensi primer, sekunder, dan tersier (Vaillant et al., 2008). Oleh
karena itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa strategi penanggulangan
religius-spiritual dapat efektif untuk mengatasi depresi, kesejahteraan spiritual, dan
kesehatan fisik (Kiani et al., 2016). Lotfi Kashani dkk. (2013) dalam penelitiannya
melaporkan bahwa intervensi berbasis spiritualitas dapat efektif dalam mengurangi
depresi, kecemasan, dan stres pada wanita dengan kanker payudara (Lotfi Kashani
dkk., 2013). Selain itu, Kamari dan Foladchang (2016) menyatakan bahwa pelatihan
terapi spiritual dapat efektif dalam meningkatkan harapan hidup dan kepuasan hidup
di kalangan remaja.

Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, sebagian dari perawatan pasien di


bangsal psikiatri rumah sakit didedikasikan untuk pertemuan kelompok, serta
memberikan konseling kepada pengasuh dan keluarga pasien gangguan jiwa. Selain
itu, dengan mempertimbangkan peran keluarga dan pengasuh keluarga dalam
memberikan dukungan dan perawatan kepada pasien baik secara fisik maupun
psikologis, dan mengingat terbatasnya penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh
intervensi berbasis spiritualitas terhadap stres, kecemasan, dan depresi pada keluarga
dengan gangguan jiwa di negara kita, maka penelitian ini bertujuan untuk
menyelidiki pengaruh intervensi spiritual terhadap stres, kecemasan, dan depresi
pada pasien gangguan jiwa.

Bahan dan Metode


Penelitian uji klinis dengan kelompok eksperimen dan kontrol ini melibatkan
60 pengasuh keluarga pasien dengan gangguan jiwa, termasuk pasien laki-laki dan
perempuan, yang dirawat di rumah sakit jiwa di kota Isfahan pada tahun 2019.
Populasi penelitian ini adalah semua pengasuh keluarga dari pasien gangguan

7
kejiwaan yang dirawat di rumah sakit jiwa dengan diagnosis dokter spesialis. Sampel
dipilih dengan menggunakan metode pengambilan sampel yang sesuai dengan
kriteria inklusi. Setelah mendapatkan persetujuan, para peserta secara acak dibagi
menjadi dua kelompok eksperimen dan kontrol, masing-masing terdiri dari 30
pasien. Untuk mengalokasikan subjek secara acak, peneliti memberi nomor pada
nama-nama pengasuh dan kemudian menempatkan nomor genap pada kelompok
eksperimen dan nomor ganjil pada kelompok kontrol. Untuk semua pengasuh yang
berpartisipasi dalam penelitian ini, tujuan, jadwal, manfaat menghadiri pertemuan,
cara keluar dari penelitian, dan konsekuensi dari penelitian ini dijelaskan secara
lengkap dan pertanyaan mereka juga dijawab. Setelah itu, persetujuan untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini juga diminta.

Tanggal dimulainya sesi telah ditentukan dan kelompok eksperimen diberitahu


tentang hal itu pada sesi pengambilan sampel akhir. Oleh karena itu, informasi ini
diberikan kepada sampel secara lisan dan dalam kasus subjek yang berhalangan,
informasi diberikan melalui telepon dan SMS. Pelatihan dalam sesi ini dilakukan
secara tatap muka, dengan menggunakan beberapa alat bantu seperti laptop dan slide
yang berisi spiritualitas, ayat-ayat, dan hadis. Intervensi berlangsung selama dua
bulan. Kelompok intervensi menjalani 6 sesi pelatihan program spiritualitas selama
60 menit dan dua kelas pelatihan per minggu. Sebelum setiap sesi, peneliti
mengingatkan waktu kepada kelompok eksperimen melalui pesan singkat dan
telepon. Dalam upaya untuk mendorong orang untuk terus menghadiri sesi program
spiritualitas ini, peneliti menggunakan insentif seperti pulpen, catatan, dan hadiah,
untuk mendorong semangat dan partisipasi. Selain itu, untuk memastikan kehadiran
masyarakat dalam pertemuan, pada awal pengambilan sampel, para peserta
diberikan penjelasan yang diperlukan tentang keberadaan fasilitas seperti alat
transportasi. Anggota Kelompok eksperimen juga didorong untuk mempraktikkan
beberapa keterampilan spiritual untuk mengelola stres, kecemasan, dan depresi
mereka di luar sesi sebagai pekerjaan rumah. Materi yang diberikan disusun
berdasarkan sumber-sumber otentik dari ayat-ayat Al-Quran, hadis, dan riwayat
para sahabat dan melalui konsultasi dengan dari semina dan para profesor

8
universitas.

Subjek kelompok kontrol tidak menerima intervensi edukasi berbasis


spiritualitas dalam penelitian ini dan mereka hanya berpartisipasi dalam dua sesi
pelatihan kelompok standar yang berkaitan dengan gangguan mental umum.
Kriteria inklusi adalah sebagai berikut: (1) memiliki persetujuan untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini, (2) memiliki kemampuan berkomunikasi, (3)
bukan keluarga pasien yang mengalami kecanduan, (4) tidak memiliki gangguan
fisik atau kognitif yang menghalangi mereka untuk menghadiri pertemuan, (5)
berusia lebih dari 18 tahun, (6) lebih dari 6 bulan sejak diagnosis definitif gangguan
kejiwaan pasien berdasarkan kriteria psikiater dan DSM-IV, dan (7) tidak memiliki
pengalaman trauma atau stres selama 6 bulan terakhir pada pengasuh keluarga.
Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: (1) keengganan untuk melanjutkan, (2)
ketidakhadiran dalam lebih dari dua sesi, dan (3) masalah psikologis yang parah
atau stres selama sesi berlangsung.
Ukuran sampel sebesar 20,53 diperoleh berdasarkan penelitian serupa dan for-
mula di bawah ini. Selain itu, mengingat kemungkinan kehilangan dalam jumlah
ini, 30 sampel akhirnya dipertimbangkan dalam setiap kelompok studi.
Setelah mengumpulkan dua bagian kuesioner demografi, stres, kecemasan, dan
depresi dari para kasus, mereka dialokasikan secara acak ke dalam kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen kemudian diberitahu
tentang tanggal dimulainya sesi. Sebelum mengadakan setiap sesi, peneliti
mengingatkan kelompok eksperimen tentang waktu kelas melalui panggilan
telepon. Kelompok intervensi menerima enam sesi selama 60 menit untuk pelatihan
berbasis spiritualitas, bersama dengan dua sesi pelatihan per minggu selama satu
bulan (Tabel 1).
Untuk kelompok kontrol, dua sesi pelatihan tentang gangguan jiwa diadakan
tanpa membahas komponen program berbasis spiritualitas, untuk menghilangkan
efek potensial dari keikutsertaan mereka dalam kelompok. Setelah selesai penelitian,
pengasuh keluarga dari subjek kontrol diberikan CD dan pamflet yang dilatih dalam
program berbasis spiritualitas.

9
Tabel 1. Judul Program Berbasis Spiritualitas
Sesi Judul
1 Keakraban anggota satu sama lain, mengetahui alasan
pembentukan kelompok, dan berkenalan dengan aturan
kelompok
2 Kesadaran akan makna spiritualitas yang tersirat dan personal
serta definisinya oleh masing- masing anggota, mengenal
konsep ibadah; doa, hasil dari doa, dan perannya dalam kejadian
kehidupan
3 Kesadaran diri dalam kehidupan dan harga diri
4 Syukur, apresiasi, dan memperhatikan perubahan positif yang
disebabkan oleh rasa syukur dalam pengalaman hidup yang
sulit, mengenal konsep kesabaran
5 Pentingnya memaafkan dan dampaknya bagi kehidupan
6 Kesimpulan dan Jawaban Pertanyaan

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari
dua bagian, yaitu bagian pertama terdiri dari data demografi, yang meliputi delapan
pertanyaan (usia, jenis kelamin, status pernikahan, status pendidikan, pekerjaan, dan
lama menderita penyakit).
Bagian kedua adalah Skala Depresi, Kecemasan, dan Stres (DASS-21) yang
digunakan untuk mengevaluasi skor stres, kecemasan, dan depresi peserta. Individu
harus menentukan status gejala selama seminggu terakhir untuk mengisi kuesioner.
Sebagai catatan, masing-masing dari tiga sub-skala DASS-21 terdiri dari tujuh
pertanyaan (total 21 pertanyaan), dengan skor akhir diperoleh dari jumlah skor
pertanyaan pada sub-skala tersebut. Setiap pertanyaan diberi skor dengan rentang
dari nol (tidak berlaku untuk saya sama sekali) hingga 3 (sepenuhnya benar tentang
saya). Karena DASS-21 merupakan bentuk singkat dari skala asli yang terdiri dari
42 item, maka skor akhir harus digandakan untuk setiap sub-skala (Lovibond &

10
Lovibond, 1995). Setelah itu, skor berikut diberikan untuk Stres: Normal (0-14),
Ringan (15-18), Sedang (19-25), Berat (26-33); Kecemasan sebagai Normal (0-7),
Ringan (8-9), Sedang (10-14), Berat (15-19), dan Sangat Berat (20-24); dan Depresi
sebagai Normal (0-9), Ringan (10-13), Sedang (14-20), Berat (21-27), dan Sangat
Berat (28-42). Di Iran, Samani dan Jokar (2007) dalam penelitiannya menguji
validitas dan reliabilitas DASS-21 di antara 638 mahasiswa Universitas Shiraz dan
Universitas Ilmu Kedokteran Shiraz. Koefisien reliabilitas tes-retes diperkirakan
sebesar 0.80 untuk depresi, 0.81 untuk depresi, 0.78 untuk kecemasan, dan 0.82
untuk keseluruhan skala (p <0.001) (Samani & Jokar, 2007). Setelah pengumpulan
data, data dianalisis menggunakan SPSS 22 dengan ANOVA, Chi-square, Mann-
Whitney U, dan independent sample t-test.
Pertimbangan Etis
Komite Etik Universitas Ilmu Kedokteran Isfahan menyetujui penelitian ini
(Kode Etik: 015, 2019). Pengambilan sampel dimulai setelah mendapatkan izin dari
rumah sakit yang diteliti. Setelah itu, persetujuan tertulis diperoleh dari semua
peserta yang termasuk dalam penelitian (baik kelompok kontrol maupun kelompok
uji). Semua tujuan dan metode penelitian juga dijelaskan kepada para peserta.
Akhirnya, para peserta diberitahu tentang hak untuk mengundurkan diri dari
penelitian ini kapan saja dan dijamin kerahasiaan informasinya oleh peneliti.

Hasil
Sebagian besar peserta (53,3%) adalah laki-laki pada kelompok intervensi dan
perempuan pada kelompok kontrol (56,7%), dengan usia rata-rata 41,1 dan 36,8
tahun pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Karakteristik demografis
lainnya dari para peserta disajikan pada Tabel 2. Seperti yang ditunjukkan pada tabel
ini, karakteristik demografi partisipan tidak berbeda secara signifikan pada kedua
kelompok penelitian (p > 0,05).

11
Tabel 2 Distribusi frekuensi informasi demografi pengasuh keluarga pasien gangguan
jiwa
Variabel Kelompok Hasil tes
Kontrol Intervensi
Jumlah (persen)Jumlah (persen)
Jenis Kelamin Perempuan 17 (56.7) 16 (53.3) Chi =
0.1, df =
1,
p = 0.795
Laki-laki 13 (43.3) 14 (46.7)
Status Pengurus rumah 14 (46.7) 11(36.7) Chi = 2.3,
df = 4,
pekerjaan tangga
p = 0.701
Karyawan 10 (33.3) 8 (26.7)
Pengangguran 2 (6.7) 5 (16.7)
Pensiunan 1(3.3) 2 (6.7)
Wiraswasta 3 (10.0) 4 (13.3)
Status Lajang 4 (13.3) 7 (23.3) Chi = 3.0,
df = 3,
perkawinan
p = .459
Menikah 23 (76.7) 17 (56.7)
Bercerai 1(3.3) 1 (3.3)
Janda/duda 2 (6.7) 5 (16.7)
Tingkat Di bawah Diploma 10 (33.3) 12 (40.0) Z = .1; p =
pendidikan .923
Diploma 13 (43.3) 8 (26.7)
Gelar Ahli Madya 2 (6.7) 3 (10.0)
Gelar Sarjana 4 (13.3) 6 (20.0)
Gelar Master dan 1 (3.3) 1(3.3)
Lebih tinggi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata dan standar deviasi depresi di


antara pengasuh pasien gangguan jiwa adalah 10.7 ± 4.4 pada kelompok eksperimen
dan 8.9 ± 3.5 pada kelompok kontrol sebelum intervensi. Independent t-test
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p = 0.084). Selain itu, rata-rata
dan standar deviasi depresi segera setelah intervensi adalah 3.1 ± 1.2 dan 7.5 ± 0.4
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Uji Mann-Whitney U
menunjukkan perbedaan yang signifikan (p <0.001). Setelah satu bulan dari
intervensi, rata-rata dan standar deviasi depresi pada keluarga pasien gangguan jiwa

12
adalah 3.2 ± 1.2 pada kelompok intervensi dan 7.5 ± 4.0 pada kelompok kontrol,
dengan perbedaan yang signifikan secara statistik (p <0.001) berdasarkan hasil uji
Mann-Whitney U (Tabel 3).
Dalam hal kecemasan, rata-rata dan standar deviasi dari pengasuh pasien
gangguan jiwa adalah 11.1 ± 3.2 pada kelompok intervensi dan 8.4 ± 3.7 pada
kelompok kontrol sebelum intervensi, yang secara statistik signifikan (p = 0.016)
menurut hasil uji Mann-Whitney U. Selain itu, segera setelah intervensi, rata-rata dan
standar deviasi kecemasan diperoleh 3.0 ± 1.5 pada kelompok intervensi dan 7.3 ± 3.6
pada kelompok kontrol dengan perbedaan yang signifikan (p <0.001). Setelah satu
bulan dari intervensi, rata-rata dan standar deviasi kecemasan pada pasien dengan
gangguan jiwa adalah 3.3 ± 1.5 pada kelompok intervensi dan 7.3 ± 3.6 pada kelompok
kontrol, menunjukkan perbedaan yang signifikan berdasarkan hasil Independent t-test
(p <0.001) (Tabel 4).

Tabel 3 Rata-rata dan standar deviasi depresi pada pengasuh keluarga pasien dengan
gangguan jiwa sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol
Depresi Kelompok Hasil uji-t antar
kelompok
Kontrol (n = 30) Intervensi (n = 30)
Rata-rata ± standarRata-rata ± standar
deviasi deviasi
Independent t-test
Sebelum intervensi8.9 ± 3.5 10.7 ± 4.4 df = 58, t = 1.8, p = 0.084

Segera setelah 7.5 ± 4.0 3.1 ± 2.1 Uji Mann-Whitney


intervensi Z = - 4.6; p <0.001

Satu bulan setelah 7.5 ± 4.0 3.2 ± 2.1 Uji Mann Whitney Z= - 4.5,
intervensi p<0.001

Hasil tes dalam Ukuran duplikat Friedman


kelompok f = 4,5, df = 2,58, Chi = 54.8, df = 2,
p = 0.016 p < 0.001

Pada akhirnya, hasil skor stres pengasuh menunjukkan bahwa rata-rata dan

13
standar deviasi stres keluarga pada pasien dengan gangguan jiwa adalah 12.4 ± 2.9
pada kelompok intervensi dan 9.4 ± 4.4 pada kelompok kontrol sebelum dilakukannya
intervensi. Sebagai catatan, Independent t-test menunjukkan perbedaan yang
signifikan secara statistik (p = 0.004). Segera setelah intervensi, rata-rata dan standar
deviasi stres diperoleh 3.3 ± 2.5 pada kelompok intervensi dan 8.9 ± 4.7 pada
kelompok kontrol, menunjukkan perbedaan yang signifikan (p <0.001). Setelah satu
bulan dari intervensi, rata-rata dan standar deviasi stres pada pasien gangguan jiwa
adalah 3.6 ± 2.4 pada kelompok intervensi dan 8.9 ± 4.7 pada kelompok kontrol, yang
secara statistik signifikan berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U (p <0.001) (Tabel 5).
Sejalan dengan itu, skor stres pengasuh keluarga pada kelompok intervensi meningkat
dari 12.4 (ringan) menjadi sekitar 3 (normal) pada saat sebelum intervensi hingga
segera dan satu bulan setelah intervensi. Namun, pada kelompok kontrol, skor ini turun
dari 9.4 menjadi sekitar 8.9. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa intervensi berbasis
spiritualitas memiliki efek positif pada stres pengasuh keluarga (Tabel 5).

Diskusi
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas intervensi spiritual terhadap
stres, kecemasan, dan depresi pada pengasuh pasien gangguan jiwa. Menurut
penelitian tersebut, intervensi berbasis spiritualitas memiliki efek positif yang
signifikan terhadap penurunan skor depresi pada pengasuh pasien, sehingga skor
pengasuh pasien mengalami penurunan pada kelompok intervensi dalam penelitian ini
segera dan satu bulan setelah intervensi (p <0.001). Namun, pada kelompok kontrol,
skor depresi pengasuh pasien tidak berubah secara signifikan segera atau satu bulan
setelah intervensi dibandingkan dengan skor sebelum intervensi (p = 0.016). Selain
itu, penelitian kami menunjukkan bahwa intervensi berbasis spiritualitas dapat
mempengaruhi kecemasan pengasuh, karena dalam penelitian ini, skor kecemasan
pengasuh pada kelompok intervensi mengalami penurunan segera atau satu bulan
setelah intervensi dibandingkan dengan skor sebelum intervensi (p <0.001). Namun,
pada kelompok kontrol, skor kecemasan pengasuh tidak berbeda secara signifikan
sebelum dan satu bulan setelah intervensi dibandingkan dengan skor sebelum

14
intervensi (p = 0.039). Selain itu, hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa intervensi
berbasis spiritualitas ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skor stres para
pengasuh pasien, karena skor stres para pengasuh keluarga pasien menurun segera dan
satu bulan setelah intervensi dibandingkan dengan skor sebelum intervensi (p <0.001).
Di sisi lain, pada kelompok kontrol, skor stres para pengasuh tidak berbeda secara
signifikan segera atau satu bulan setelah intervensi dibandingkan dengan skor sebelum
intervensi (p = 0.005). Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa intervensi
berbasis spiritualitas, sebagai pendekatan terapeutik, efektif dalam menurunkan
depresi, kecemasan, dan stres pengasuh pasien dengan gangguan jiwa.

Tabel 4 Rata-rata dan standar deviasi kecemasan pada pengasuh keluarga pasien
dengan gangguan jiwa sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol.
Kecemasan Kelompok Hasil uji antar
kelompok
Kontrol (n = 30) Intervensi (n = 30)
Rata-rata ± standarRata-rata ± standar
deviasi deviasi
Sebelum intervensi8.4 ± 3.7 11.1 ± 3.2 Uji Mann-Whitney
Z = - 2.4, p=0.016

Segera setelah 7.3 ± 3.6 3.0 ± 1.5 Independent t-test


intervensi df = 39, t = - 5.9, p<0.001

Satu bulan setelah 7.3 ± 3.6 3.3 ± 1.5 Independent t-test


intervensi df = 39, t = - 5.6, p<0.001

Hasil tes dalam Ukuran duplikat Friedman


kelompok df = 5.8,2, F=3.4,df = 2, Chi = 55.8,
p = 0.039 p < 0.001

15
Tabel 5 Rata-rata dan standar deviasi stres pada pengasuh keluarga pasien dengan
gangguan jiwa pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah
intervensi
Stres Kelompok Hasil uji antar
kelompok
Kontrol (n = 30) Intervensi (n = 30)
Rata-rata ± standarRata-rata ± standar
deviasi deviasi
Sebelum intervensi9.4 ± 4.4 12.4 ± 2.9 Independent t-test
df = 50, t = 3.1, p=0.004Uji
Mann-Whitney
Z = - 2,4, p=0,016
Segera setelah 8.9 ± 4.7 3.3 ± 2.5 Uji Mann-Whitney
intervensi Z = - 4.5, p<0.001
Satu bulan setelah 8.9 ± 4.7 3.6 ± 2.4 Uji Mann-Whitney
intervensi Z = - 4.4, p<0.001

Hasil tes dalam Ukuran duplikat Friedman


kelompok df = 58,2, F=1.6, df = 2, Chi = 49.5,
p = 0.205 p < 0.001

Memiliki pasien gangguan jiwa dalam keluarga dapat membawa banyak


konsekuensi baik di dalam maupun di luar keluarga. Oleh karena itu, sangat penting
untuk mempersiapkan keluarga dalam menghadapi faktor-faktor ini. Pengasuh
keluarga pasien gangguan jiwa sebagian besar menghadapi beberapa masalah mental
yang sama, dan dalam hal ini, cara pengasuh dalam menghadapi masalah tersebut
sangatlah penting. Salah satu cara untuk melawan masalah ini adalah dengan
menerapkan spiritualitas. Oleh karena itu, kita dapat mengambil manfaat dari
keyakinan spiritual pasien sebagai sumber spiritual dan sumber yang mendukung
kesejahteraan spiritual mereka (Nakau et al., 2013).
Spiritualitas dikenal sebagai sumber yang efektif untuk mengatasi respon fisik
dan psikis (Meraviglia, 2002), yang dapat mengarah pada penyesuaian psikologis yang
lebih baik bagi seseorang dengan menyediakan sumber daya yang mendukung, dan
secara tidak langsung dengan mempengaruhi harapannya (Simoni et al., 2002). Dapat
dikatakan bahwa spiritualitas adalah cara untuk menciptakan makna dalam keadaan

16
yang bermasalah. Keyakinan spiritual dan agama adalah sumber makna dan harapan
di antara manusia. Selain itu, keyakinan spiritual membawa makna bagi kehidupan
pasien dengan gangguan jiwa dan pengasuhnya, dan memberikan mereka harapan dan
kenyamanan (Gibson, 2003). Hasil dari penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Heidari dkk. (2009) dan Salehi dan Mosalman (2015), yang menemukan hubungan
yang terbalik dan signifikan antara sikap positif, kekhawatiran pribadi, dan keyakinan
agama dan kecemasan. Mereka juga menyatakan bahwa membaca ayat-ayat suci dapat
dianggap sebagai kekuatan yang efektif untuk mengatasi stres (Heidari et al., 2009;
Salehi & Mosalman, 2015). Gall (2003) melakukan penelitian untuk menguji
hubungan antara sumber-sumber agama dan non-agama dalam menanggapi penyakit
lansia dan sebagai hasilnya, mereka menemukan adanya hubungan antara sumber-
sumber agama dengan penanganan penyakit-penyakit tersebut. Selain itu, mereka
menemukan bahwa memiliki kepercayaan kepada Tuhan meningkatkan pemahaman
seseorang terhadap penyakit dan adaptasi terhadap penyakit tersebut, dan bahwa
perilaku koping religius yang digunakan oleh para lansia memiliki efek positif dalam
mengaktifkan penyesuaian secara umum. Oleh karena itu, para peneliti
merekomendasikan agar konselor dan penyedia layanan kesehatan dapat
menggunakan program-program religius untuk menyesuaikan rencana perawatan bagi
para lansia (Gall, 2003). Selain itu, Salsman dkk. (2005) dalam penelitiannya yang
bertujuan untuk menguji hubungan antara optimisme, dukungan sosial, dan
penyesuaian psikologis dan religiusitas, dan melaporkan bahwa kinerja seseorang dan
penggunaan indikator moderator positif atau negatif efektif pada religiusitas dan
penyesuaian psikologis. Selain itu, religiusitas ditemukan berhubungan dengan
kepuasan hidup yang lebih tinggi. Dengan kata lain, ada beberapa hubungan yang
signifikan antara agama, spiritualitas, dan penyesuaian psikologis serta optimisme
(Salsman et al., 2005).
Selain itu, Rahmanian dkk. (2017) melakukan penelitian berjudul "Pengaruh
terapi spiritualitas kelompok dalam meningkatkan harapan hidup dan gaya hidup
pasien dengan kanker payudara" dan sebagai hasilnya, mereka menunjukkan efek
positif dari spiritualitas kelompok dalam meningkatkan harapan hidup pada pasien ini

17
(Rahmanian dkk., 2017). Lebih jauh lagi, Lotfi Kashani dkk. (2013) menunjukkan
bahwa intervensi spiritual, sebagai pendekatan terapeutik, efektif dalam mengurangi
depresi, kecemasan, dan stres pada wanita dengan kanker payudara (Lotfi Kashani
dkk., 2013). Bolahri dkk. (2012) menunjukkan bahwa terapi spiritual kelompok dapat
secara efektif mengurangi depresi dan kecemasan pada pasien kanker payudara. Hasil
ini konsisten dengan hasil penelitian ini, yang menunjukkan bahwa program intervensi
spiritual dapat mengurangi kecemasan, depresi, dan stres pada pengasuh keluarga
pasien dengan gangguan jiwa (Bolahri et al., 2012).
Selain studi yang meneliti efek spiritualitas dan intervensi berbasis spiritualitas
pada suasana hati individu, kasus dan komponen intervensi spiritual (misalnya rasa
syukur dan doa) juga telah diteliti dalam beberapa studi. Dalam sebuah penelitian yang
berjudul "Hubungan antara rasa syukur dan dukungan sosial dengan kecemasan akan
kematian pada lansia," Poordad dan Momeni (2019) menunjukkan adanya hubungan
yang negatif dan signifikan antara rasa syukur dan dukungan sosial dengan kecemasan
akan kematian pada lansia (Poordad & Momeni, 2019). Dengan kata lain, rasa syukur
dapat menarik orang dari masa lalu atau bahkan masa depan ke masa sekarang,
membuat mereka menikmati masa sekarang, dan mengurangi kecemasan. Secara
umum, beberapa ahli berpendapat bahwa orang yang bersyukur sebagian besar
memiliki sikap yang lebih positif terhadap kehidupan, menganggap dunia sebagai
tempat yang menyenangkan, dan fokus pada aspek-aspek positif dalam hidup (Watkins
et al., 2003), yang berujung pada tingkat dukungan sosial yang tinggi serta tingkat stres
dan depresi yang rendah (McCullough et al., 2002; Seligman et al., 2005; Wood et al.,
2008). Selain itu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh
manajemen stres dengan konten spiritualitas terhadap stres, kecemasan, dan depresi
pada wanita dengan fibromyalgia, Khayatan Mostafavi dkk. (2018) menunjukkan
bahwa beberapa faktor seperti kesabaran dan kepercayaan pada Tuhan dapat membuat
orang tersebut rileks dan pada akhirnya mengurangi kecemasan, depresi, dan stres
pada orang yang lebih operasional. Dalam sebuah penelitian yang berjudul "Hubungan
antara kepatuhan beribadah dan kecemasan menurut variabel demografis di kalangan
mahasiswa" (Khayatan Mostafavi et al., 2018), Akbari (2009) melaporkan adanya

18
penurunan tingkat kecemasan individu karena meningkatnya kepatuhan beribadah
(Akbari, 2009). Dalam penelitian lain, Sargolzaee (2000) menemukan bahwa semakin
besar waktu yang dihabiskan untuk kegiatan keagamaan, semakin rendah tingkat
depresi, kecemasan, dan kemungkinan penyalahgunaan zat (Sargolzaee, 2000). Dalam
sebuah penelitian yang berjudul "Doa dan ibadah serta pengaruhnya terhadap
kesehatan mental," Ahangar (1993) menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara doa, ibadah, dan pengurangan kecemasan (Ahangar, 1993). Karena salah satu
isi utama dari sesi ini adalah doa dan ibadah dalam intervensi spiritual dari penelitian
ini, hasil dari penelitian ini ada yang mirip dengan penelitian kami.
Secara keseluruhan, ditemukan bahwa agama dan spiritualitas dengan
menyediakan kerangka kerja untuk memahami makna dan penyebab peristiwa negatif,
serta perspektif yang menjanjikan tentang kehidupan, dapat mempengaruhi adaptasi
individu terhadap situasi stres. Memang, tindakan komitmen agama dapat melindungi
dari stres dan kemudian memoderasi konsekuensi yang merugikan dari stres
pengasuhan terhadap status kesehatan pengasuh (Koenig, 2010). Oleh karena itu,
agama dan koping religius telah disarankan sebagai sumber untuk meningkatkan
adaptasi individu dalam menghadapi stresor perawatan pasien (Tarakeshwar et al.,
2005). Selain itu, ditunjukkan bahwa mereka yang menganggap diri mereka lebih
religius menerima dukungan, persetujuan, dan dorongan yang lebih besar dari teman
dan keluarga mereka, dan ikatan sosial-spiritual ini dapat memengaruhi kesehatan dan
kesejahteraan orang dengan meningkatkan rasa aman dan rasa memiliki.

Kesimpulan
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi berbasis
spiritualitas ini memiliki efek positif yang signifikan dalam mengurangi stres,
kecemasan, dan depresi pada pasien dengan gangguan jiwa. Karena tingginya
prevalensi stres, kecemasan, dan depresi, serta beban perawatan pada pengasuh, dan
mengingat pentingnya mempertahankan dan mempromosikan status kesehatan mental
mereka dalam memberikan perawatan yang lebih baik untuk pasien-pasien ini,
disarankan untuk melakukan intervensi ini sebagai sumber daya pendukung yang

19
murah dan tersedia.

Keterbatasan dan Kekuatan Penelitian


Keterbatasan penelitian ini termasuk ukuran sampel yang sedikit dan
pengambilan sampel yang terbatas di satu wilayah geografis, sehingga generalisasi
hasil di lingkungan baru harus dilakukan dengan hati-hati. Di sisi lain, memeriksa tiga
tanda penting dari masalah psikologis, termasuk depresi, stres, dan kecemasan adalah
salah satu kekuatan dari penelitian ini. Selain itu, berdasarkan hasil ini, melakukan
intervensi serupa di bidang klinis lainnya direkomendasikan.

20
REFERENSI

Abbasi, M., & Akrami, F. (2012). The relationship between dynamic-traditional


religiosity and the event of myocardial Infarction. Medical Ethics Journal,
10(37), 17–25.

Acharya, B., Maru, D., Schwarz, R., Citrin, D., Tenpa, J., Hirachan, S., Basnet,
M., Thapa, P., Swar, S., & Halliday, S. (2017). Partnerships in mental healthcare
service delivery in low-resource settings: developing an innovative network in
rural Nepal. Globalization and health, 13(1), 2. https://doi.org/ 10.1186/s12992-
016-0226-0

Ahangar, T. (1993). Prayers and their effects on mental health. University Unified
Islam, Roudehen.

Ahmadvand, A., Sepehrmanesh, Z., Ghoreishi, F. S., & Afshinmajd, S. (2012).


Prevalence of psychiatric disorders in the general population of Kashan, Iran.
Archives of Iranian Medicine, 15(1029–2977), 205–209.
http://www.aimjournal.ir/Article/273

Akbari, B. (2009). The Relationship between prayer and anxiety according to


demographic variables in students of Islamic Azad University, Anzali Branch
(Publication Number 2009)

Amusoltani, H., Pahlavanzadeh, S., & Maghsudi ganjeh, J. (2017). Vest gating
knowledge and attitudes of caregivers of patients affected by mental disorders
towards complementary medicine treatments in health centers affiliated to
Isfahan University of Medical Sciences in 2014. Journal of Islamic and Iranian
Traditional Medicine, 8(1), 117–123.

Asadi, P., Fereidooni-Moghadam, M., Dashtbozorgi, B., Masoudi, R. (2018).


Relationship between care burden and religious beliefs among family caregivers
of mentally ill patients. Journal of Religion and Health, 58(4), 1125–1134.
https://doi.org/10.1007/s10943-018-0660-9

Bolhari, J., Naziri, G., & Zamanian, S. (2012). Effectiveness of spiritual group
therapy in reducing depression, anxiety, and stress of women with breast cancer.
Quarterly Journal of Women and Soci- ety, 3(9), 87–117.
https://www.sid.ir/en/journal/ViewPaper.aspx?id=301976

Farzi, S., Farzi, S., Moladoost, A., Ehsani, M., Shahriari, M., & Moinei, M.
(2012). Caring burden and quality of life of family caregivers in patients
undergoing hemodialysis: A descriptive-analytic study. International Journal of
Community Based Nursing and Midwifery, 7(2), 88–96. https://doi.
org/10.30476/ijcbnm.2019.44888

21
Friedman, M. M., Bowden, V. R., & Jones, E. (2003). Family nursing: Research,
theory & practice. In Audiobook on CD: CD audio: English (5th ed.) Recording
for the Blind & Dyslexic, Prentice Hall. GalT. L. (2003). The role of religious
resources for older adults coping with illness. Journal of Pastoral Care and
Counseling, 57(2), 211−224.

Ghanei, M., Chilosi, M., Mohammad Hosseini Akbari, H., Motiei-Langroudi, R.,
Harandi, A. A., Sham- saei, H., Bahadori, M., & Tazelaar, H. D. (2011). Use of
immunohistochemistry techniques in patients exposed to sulphur mustard gas.
Pathology research international, 2011, 7. https://doi.org/ 10.4061/2011/659603

Gibson, L. M. (2003). Inter-relationships among sense of coherence, hope, and


spiritual perspective (inner resources) of African-American and European-
American breast cancer survivors. Applied Nursing Research, 16(4), 236–244.

Goodarzi, N. M. S., Farahnaz, R., & Abolfazl B. A.(2018). Prediction of


Depression, Anxiety and Stress in Familial Observers of Patients with Dementia
Based on Family Performance. Iranian Journal of Rehabilitation Research in
Nursing (IJRN), 4(2), 44–52. https://doi.org/10.21859/ ijrn-04027

Gutitrrez, M., Jose, CU., & Alejandra. (2007). Effectiveness of a psycho-


educational intervention for reducing burden in Latin American families of
patients with schizophrenia. Quality of Life Research, 16(5), 739–747.
https://doi.org/10.1007/s11136-007-9173-9

Heidari, A., Kachooie, A., Moghise, M., & Irani, A. (2009). The relationship
between depression and religious attitudes in students of Qom University of
Medical Sciences. Qom University of Medi- cal Sciences Journal, 3(3), 51–55.

Heydari, A., Meshkinyazd, A., & Soodmand, P. (2014). Mental illness stigma:
A concept analysis. Modern Care Journal, 11(3).
http://sid.bums.ac.ir/dspace/handle/bums/4916

Kamari, S., & Foladchang, M. (2016). Effectiveness of spirituality therapy


training based on positiv- ity on life expectancy and life satisfaction in
adolescents. Clinical Psychology and Counseling Research (Educational and
Psychological Studies), 6(1). https://www.sid.ir/fa/journal/ViewP
aper.aspx?id=305912

Karimirad, M. R., Seyedfatemi, N., Noghani, F., Amini, E., & Kamali, R. (2017).
Resilience of family caregivers of people with mental disorders in Tehran, Iran.
Iranian Journal of Nursing Research (IJNR), 13(1), 56–62.
https://doi.org/10.21859/ijnr-13018

Khayatan Mostafavi, S., Aghaei, A., & Golparvar, M. (2018). The effectiveness
of stress management based on iranian-islamic spiritual therapy on stress, anxiety

22
and depression in women with fibromy- algia. Journal of Health Psychology,
7(27), 62–80. https://www.sid.ir/en/journal/ViewPaper.aspx? id=745503

Kiani, J., Hajiuni, A., Gholizadeh, F., & Abbasi, F. (2016). Efficacy of cognitive-
behavioral therapy and hope therapy on quality of life, life expectancy and
resiliency in patients with thalassemia [Original article]. The Journal of Shahid
Sadoughi University of Medical Sciences, 27(4), 1482–1495. https://
doi.org/10.18502/ssu.v27i4.1357

Koenig, H. G. (2010). Spirituality and mental health. International Journal of


Applied Psychoanalytic Studies, 7(2), 116–122.

Kristjanson, L. J., & Aoun, S. (2004). Palliative care for families: Remembering
the hidden patients. The Canadian Journal of Psychiatry, 49(6), 359–365.

Larson, C. A. D. (2004). Spiritual, psychosocial, and physical correlates of well-


being across the breast cancer experience cancer experience. The University of
Arizona.

Lotfi Kashani, F., Mofid, B., & SarafrazMehr, S. (2013). Effectiveness of


spirituality therapy in decreas- ing anxiety, depression and distress of women
suffering from breast cancer. Thought and Behavior in Clinical Psychology, 2
(27), 27–42. https://jtbcp.riau.ac.ir/article_12.html

Lovibond, P. F., & Lovibond, S. H. (1995). The structure of negative emotional


states: Comparison of the depression anxiety stress scales (DASS) with the beck
depression and anxiety inventories. Behav- iour Research and Therapy, 33(3),
335–343.

McCullough, M. E., Emmons, R. A., & Tsang, J.-A., (2002). The grateful
disposition: A conceptual and empirical topography. Journal of Personality and
Social Psychology, 82(1), 112–127. https://doi. org/10.1037/0022-3514.82.1.112

Meraviglia, M. G. (2002). Prayer in people with cancer. Cancer Nursing, 25(4),


326–331.

Nakau, M., Imanishi, J., Imanishi, J., Watanabe, S., Imanishi, A., Baba, T., Hirai,
K., Ito, T., Chiba, W., & Morimoto, Y. (2013). Spiritual care of cancer patients
by integrated medicine in urban green space: A pilot study. Explore, 9(2), 87–90.
https://doi.org/10.1016/j.explore.2012.12.002

Noorbala, A., Damari, B., & Riazi Isfahani, S. (2014). Evaluation of mental
disorders incidence trend in Iran. Daneshvar Medicine, 21, 112.
https://www.sid.ir/en/journal/ViewPaper.aspx?id=444366

23
Omidvari, S. (2009). Spiritual health; concepts and challenges. Quranic
Interdisciplinary Studies Jour- nal, 1(1), 17–58.
https://www.sid.ir/fa/journal/ViewPaper.aspx?id=99443

Omranifard, V., Kheirabadi, G. H. R., Abtahi, S. M. M., & Kamali, M. (2007).


Obsessive compulsive disorder among outpatient referrals to dermatologic
clinics of Isfahan. The Horizon of Medical Sci- ences, 13(2), 52–56.
http://hms.gmu.ac.ir/article-1-166-en.html

Pahlavanzadeh, S., Heidari, F. G., Maghsudi, J., Ghazavi, Z., & Samandari, S.
(2010). The effects of family education program on the caregiver burden of
families of elderly with dementia disorders Iranian. Journal of Nursing and
Midwifery Research, 15(3), 102–108.

Poordad, S., & Momeni, K. (2019). Death anxiety and its relationship with social
support and gratitude in older adults Iranian. Journal of Ageing, 14(1), 26–39.
https://doi.org/10.32598/sija.13.10.320

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2008). Critical thinking in nursing practice (C. T.
Jackie Crisp, Ed. illus- trated ed., Vol. Ed 7th Edn.). Elsevier , 2008.

Rahmanian, M., Moein Samadani, M., & Oraki, M. (2017). Effect of group
spirituality therapy on hope of life and life style improvement of breath cancer
patients. Biannual Journal of AppliedCounseling, 7(1), 101–114.
https://doi.org/10.22055/jac.2017.22221.1471

Salehi, I., & Mosalman, M. (2015). Evaluation of the relationship between


religious attitude and depres- sion, anxiety and stress in students of Guilan
University.Religion and Health, 3(1), 57–64.

Salsman, J. M., Brown, T. L., Brechting, E. H., & Carlson, C. R. (2005). The link
between religion and spirituality and psychological adjustment: The mediating
role of optimism and social support. Per- sonality and Social Psychology
Bulletin, 31(4), 522–535.

Samani, S., & Joukar, B. (2007). A study on the reliability and validity of the
short form of the depres- sion anxiety stress scale (DASS-21). Journal of Social
Sciences and Humanities, Shiraz University, 26(52), 66–75.

Sargolzaee, M. R. (2000). The impact of religious activities on depression, anxiety,


and substance abuse. Paper presented at the International conference on the
impact of religion on mental health.

Seligman, M. E., Steen, T. A., Park, N., & Peterson, C. (2005). Positive
psychology progress: Empirical validation of interventions. American
Psychologist, 60(5), 410.

24
Sharif Ghaziani, Z., Ebadollahi Chanzanegh, H., Fallahi Kheshtmasjedi, M.,
Baghaie, M. (2015). Qual- ity of life and its associated factors among mental
patients families. Journal of Health Care, 17(2), 166–177.

Simoni, J. M., Martone, M. G., & Kerwin J. F. (2002). Spirituality and


psychological adaptation among women with HIV/AIDS: Implications for
counseling. Journal of Counseling Psychology, 49(2), 139.

Tarakeshwa, N., Pearce, M. J., & Sikkema, K. J. (2005). Development and


implementation of a spiritual coping group intervention for adults living with
HIV/AIDS: A pilot study. Mental Health, Religion and Culture, 8(3), 179–190.

Vaillant, G., Templeton, J., Ardelt, M., & Meyer , S. E. (2008). The natural history
of male mental health: Health and religious involvement. Social Science and
Medicine, 66(2), 221–231.

Veltman, A., Cameron , J. I., & Stewart, D. E. (2002). The experience of


providing care to relatives with chronic mental illness. The Journal of Nervous
and Mental Disease, 190(2), 108–114.

Watkins, P. C., Woodward, K., Stone, T., & Kolts, R. L. (2003). Gratitude and
happiness: Development of a measure of gratitude, and relationships with
subjective well-being. Social Behavior and Personal- ity: An International
Journal, 31(5), 431–451.

Watson, R., Modeste, N. N., Catolico, O., & Crouch, M. (1998). The relationship
between caregiver bur- den and self care deficits in former rehabilitation patients.
Rehabilitation Nursing, 23(5), 258–262.

West, W. (2000). Psychotherapy & spirituality: Crossing the line between


therapy and religion (S. S. Translated by: Sh. Shahidi, 2008. Tehran: Roshd.,
Trans.; Vol. first). Sage.

Wood, A. M., Maltby, J., Gillett, R., Linley, P. A., & Joseph, S. (2008). The role
of gratitude in the devel- opment of social support, stress, and depression: Two
longitudinal studies. Journal of Research in Personality, 42(4), 854–871.

Yaghubi, H., Karimi, M., Omidi, A., Mesbah, N., & Kahani Sh, A.-Q.-Q. M.
(2014). Prevalence of men- tal disorders and demographic factors that influence
the freshmen students of Tehran City Universi- ties of Medical Sciences. Journal
of Clinical Psychology, 6(2), 95–104. https://www.researchgate.
net/publication/312331831

25
Critical Appraisal
Ya Tidak TR

Judul makalah

1. Tidak terlalu panjang atau terlalu pendek √


2. Menggambarkan isi utama penelitian √

3. Cukup menarik √
4. Tanpa Singkatan, selain yang baku √

Pengarang & institusi


5. Nama-nama dituliskan sesuai dengan aturan jurnal √

Abstrak
6. Abstrak satu paragraf atau terstruktur √

7. Mencakup komponen IMRAD √

8. Secara keseluruhan informatif √


9. Tanpa singkatan, selain yang baku √
10.Kurang dari 250 kata √

Pendahuluan
11. Ringkas terdiri 2-3 paragraf √

12. Paragraf pertama mengemukakan √


alasandilakukan penelitian
13. Paragraf berikut menyatakan hipotesis atau tujuan penelitian √
14. Didukung oleh pustaka yang relevan √
15. Kurang dari 1 halaman √

Metode

16. Disebutkan desain, tempat, dan waktu penelitian √

17. Disebutkan populasi sumber (populasi terjangkau) √

18. Dijelaskan kriteria inklusi dan eksklusi √

19. Disebutkan cara pemilihan subjek (teknik sampling) √

26
20. Disebutkan perkiraan besar sampel dan alasannya √

21. Besar sampel dihitung dengan rumus yang sesuai √

22. Komponen-komponen rumus besar sampel masuk akal √

23. Observasi, pengukuran, serta intervensi dirinci sehingga √


oranglain dapat mengulanginya

24. Ditulis rujukan bila teknik pengukuran tidak dirinci √

25. Pengukuran dilakukan secara tersamar √

26. Dilakukan uji keandalan pengukuran (kappa) √

27. Definisi istilah dan variabel penting dikemukakan √

28. Ethical clearence diperoleh √

29. Persetujuan subjek diperoleh √

30. Disebutkan rencana analisis, batas kemaknaan, dan √


power penelitian

31. Disebutkan program komputer yang dipakai √

Hasil

32. Disertakan tabel karakteristik subjek penelitian √

33. Karakteristik subjek sebelum intervensi dideskripsi √

34. Tidak dilakukan uji hipotesis untuk kesetaraan pra-intervensi √

35. Disebutkan jumlah subjek yang diteliti √

36. Dijelaskan subjek yang dropout dengan alasannya √

37. Ketetapan numerik dijelaskan dengan benar √

38. Penulisan tabel dilakukan dengan tepat √

39. Tabel dan ilustrasi informatif dan memang diperlukan √

40. Tidak semua hasil didalam tabel disebutkan dalam hasil √

41. Semua outcome yang penting disebutkan dalam hasil √

42. Subjek yang dropout diikutkan dalam analisis √

43. Analisis dilakukan dengan uji yang sesuai √

44. Ditulis hasil uji statistika, degree of freedom, dan nilai P √

27
45. Tidak dilakukan analisis yang semula tidak direncanakan √

46. Disertakan interval kepercayaan √

47. Dalam hasil tidak disertakan komentar atau pendapat √

Diskusi

48. Semua hal yang relevan dibahas √

49. Tidak sering diulang hal yang dikemukakan pada hasil √

50. Dibahas keterbatasan penelitian dan dampaknya terhadap hasil √

51. Disebut penyimpangan protokol dan dampaknya terhadap hasil √

52. Diskusi dihubungkan dengan pertanyaan penelitian √

53. Dibahas hubungan hasil dengan teori/penelitian terdahulu √

54. Dibahas hubungan hasil dengan praktik klinis √

55. Efek samping dikemukakan dan dibahas √

56. Disebutkan hasil tambahan selama observasi √

57. Hasil tambahan tersebut tidak dianalisis secara statistika √

58. Disertakan simpulan utama penelitian √

59. Simpulan didasarkan pada data penelitian √

60. Simpulan tersebut sahih √

61. Disebutkan generalisasi hasil penelitian √

62. Disertakan saran penelitian selanjutnya √

Ucapan terima kasih

63. Ucapan terima kasih ditujukan pada orang yang tepat √

64. Ucapan terima kasih dinyatakan secara wajar √

Daftar pustaka

65. Daftar pustaka disusun sesuai dengan aturan jurnal √

66. Kesesuaian sitasi pada nas dan daftar pustaka √

Anda mungkin juga menyukai