Anda di halaman 1dari 28

JURNAL KEPERAWATAN JIWA HUBUNGAN PENGETAHUAN

KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN DALAM MENGHADAPI


ANGGOTA KELUARGA YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWA DI
RUMAH SAKIT JIWA MEDAN.

OLEH
MUHAMAD FAJAR RAMADHAN
20142011030

UNIVERSITAS YPIB MAJALENGKA


2022

1
ABSTRAK

Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan
pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri
sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan. Keluarga yang salah satu anggota keluarganya
mengalami gangguan jiwa perlu mempunyai pengetahuan tentang

gangguan jiwa. Oleh karena keluarga sering merasakan kecemasan dalam menghadapi anggota
keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan menggunakan desain deskriptif
korelasional. Instrumen dibuat dalam bentuk kuesioner dan dibagi dalam 2 bagian yaitu kuesioner
untuk mengukur pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa dan kuesioner untuk mengukur
tingkat kecemasan keluarga. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 32 keluarga dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Berdasarkan analisis statistik korelasi Spearman
diperoleh nilai koefisien korelasi (ρ)= - 0.460 dan nilai signifikan (p) = 0.008 untuk hubungan
pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, 0.460 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
sedang dan tanda negatif menunjukkan ketidaksearahan, ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
pengetahuan maka tingkat kecemasan semakin ringan. Terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa dengan p = 0.008 karena terletak di bawah dari 0.01. Dapat
disimpulkan bahwa perlu adanya peningkatan dan pengembangan asuhan keperawatan dalam
pemberian pendidikan kesehatan khususnya dalam keperawatan jiwa dan keperawatan komunitas.

2
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan
pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri
sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Pengertian seseorang tentang penyakit gangguan
jiwa berasal dari apa yang diyakini sebagai faktor penyebabnya yang berhubungan dengan
biopsikososial (Stuart & Sundeen, 1998).

Menurut hasil Studi Bank Dunia WHO menunjukkan bahwa beban yang ditimbulkan
gangguan jiwa sangat besar, di mana terjadi global burden of disease akibat masalah kesehatan
jiwa mencapai 8,1%. Angka ini lebih tinggi dari TBC (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung
(4,4%), dan malaria (2,6%) (Siswono, 2001).

Dengan melihat kondisi masalah kesehatan jiwa lebih besar angkanya dibandingkan
dengan masalah kesehatan lainnya, maka dalam laporan “Kesehatan mental: pemahaman baru,
harapan baru” oleh Brundtland (2001) melaporkan bahwa pendekatan kesehatan masyarakat
terutama keluarga dalam penanganan kesehatan mental memiliki peranan yang penting,
pemahaman keluarga menjadi hal utama dalam mendukung kesembuhan penderita gangguan jiwa
(Walujani, 2001).

Menurut Yip (2005) dalam penelitian yang dilakukannya di Cina terhadap keluarga yang
salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa, diperoleh bahwa 90% keikutsertaan
keluarg dalam pengobatan psikiatris dan rehabilitasi klien mampu mengembalikan kondisi klien
ke keadaan normal (Yip, K.S, 2005).

Berdasarkan survei pada beberapa orang dengan anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa diperoleh bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan keluarga tidak aktif dalam
memberikan perhatian dan pengobatan pada penderita gangguan jiwa (Biegel et al., 1995
dikutipdari Stuart & Laraia, 2001). Ada beberapamasalah yang teridentifikasi yang dialamioleh
keluarga yaitu meningkatnya stres dankecemasan keluarga, sesama keluarga saling menyalahkan,
kesulitan pemahaman(kurangnya pengetahuan keluarga) dalammenerima sakit yang diderita oleh
anggotakeluarganya yang mengalami gangguan jiwadan pengaturan sejumlah waktu dan
energykeluarga dalam menjaga serta merawatpenderita gangguan jiwa dan keuanganyang akan
dihabiskan pada penderitagangguan jiwa.

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha dalam


memberikan iklim yang kondusif  bagi anggota keluarganya. Keluarga selain dapat meningkatkan
dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarganya, juga dapat menjadi sumber problem
bagi anggota keluarga yang mengalami ketidakstabilan mental sebagai akibat minimnya
pengetahuan mengenai persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
3
Dengan melihat kondisi ini peneliti ingin melakukan pengkajian yang lebih lanjut tentang
seberapa dalam pengetahuan keluarga berpengaruh terhadap tingkat kecemasan keluarga dalam
menghadapi klien gangguan jiwa. Peneliti sebelumnya telah melakukan survei awal ke RS Jiwa
Propsu Medan dan di sana peneliti mendapatkan informasi bahwa belum ada peneliti lain yang
meneliti tentang penelitian ini sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti ingin mengetahui bagaimana hubungan
pengetahuan keluarga terhadap tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarganya yang
mengalami gangguan jiwa di RS Jiwa Propsu Medan.
Pertanyaan Penelitian
1.      Bagaimana pengetahuan keluarga mengenai gangguan jiwa?
2.      Bagaimana tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarganya yang
mengalami gangguan jiwa?
3.      Bagaimana hubungan pengetahuan keluarga terhadap tingkat kecemasan dalam menghadapi
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa?
Tujuan Penelitian
1.      Mengidentifikasi pengetahuan keluarga mengenai gangguan jiwa.
2.      Mengidentifikasi tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa.
3.      Mengidentifikasi hubungan pengetahuan keluarga klien gangguan jiwa terhadap tingkat
kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Manfaat Penelitian
1.      Praktik keperawatan
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan sebagai data dasar dalam melakukan
intervensi pada keluarga klien gangguan jiwa yang berkaitan dengan peningkatan kesembuhan
klien dan sebagai peningkatan motivasi terhadap perawat untuk melakukan kunjungan rumah.
2.      Penelitian keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang berharga bagi peneliti, sehingga
dapat menerapkan pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk penelitian yang akan datang
mengenai program perawatan klien gangguan jiwa beserta keluarganya.
3.      Pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di bagian keperawatan jiwa dan keperawatan komunitas dalam hal pemberian
asuhan keperawatan pada klien dan keluarga gangguan jiwa.

METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional yaitu untuk
mengidentifikasi pengetahuan dan tingkat kecemasan keluarga tentang gangguan jiwa serta

4
mengidentifikasi hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan.

Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi pada penelitian ini adalah keluarga inti yang salah satu anggota keluarganya
mengalami gangguan jiwa dan rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan.
Penentuan jumlah sampel menggunakan derajat ketepatan () yang besarnya 0.05
dan analisis kekuatan sebesar 80% serta effect size sebesar 50%, sehingga didapatkan sampel
sebanyak 32 orang (Polit & Hungler, 1995).
            Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan cara purposive sampling. Teknik
penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti (tujuan/masalah peneliti), sehingga sampel tersebut dapat mewakili
karakteristik populasi yang ada (Nursalam, 2003). Kriteria yang ditentukan untuk subyek
penelitian adalah keluarga inti yang salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dan
bersedia menjadi responden.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan. Alasan peneliti
memilih Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan sebagai tempat penelitian karena merupakan rumah
sakit jiwa pusat di Medan dan memiliki jumlah penderita gangguan jiwa dengan anggota
keluarganya relatif banyak sehingga dapat memenuhi kriteria sampel yang diinginkan.
Pertimbangan Etik Penelitian
Peneliti terlebih dahulu memberikan penjelasan kepada calon responden penelitian tentang
tujuan penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Kemudian peneliti menyerahkan langsung
lembar persetujuan penelitian kepada responden. Jika responden
bersedia diteliti maka terlebih dahulu harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden
menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya. Peneliti
menjelaskan cara pengisian kuesioner kepada responden agar responden mengerti untuk
mengisinya. Untuk menjaga kerahasian responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh responden. Lembar tersebut
hanya diberi nomor kode tertentu. Kerahasian informasi yang diberikan oleh responden dijamin
oleh peneliti (Brink & Wood, 1994).
Instrumen Penelitian
Kuesioner penelitian
Bagian instrumen pertama berisi pernyataan untuk mengidentifikasi pengetahuan keluarga
tentang gangguan jiwa dimodifikasi berdasarkan tinjauan
pustaka mengenai gangguan jiwa. Pengetahuan yang peneliti ukur hanya sampai tingkat
pengetahuan yang paling rendah yaitu tahap ‘tahu’ (know). Bagian ini terdiri dari 20 pernyataan

5
dengan jawaban “ya/tidak”, terbagi atas 10 pernyataan favourable (positif) pada pernyataan No.
1, 2, 4, 6, 7, 8, 10, 15, 18, dan No. 20 dengan jawaban “ya” diberi skor 1 dan jawaban “tidak”
diberi skor 0, kemudian 10 pernyataan unfavourable (negatif) pada pernyataan No. 3, 5, 9, 11, 12,
13, 14, 16, 17, dan No.19 dengan jawaban “ya” diberi skor 0 jawaban “tidak” diberi skor 1.
Bagian instrumen kedua berisi pernyataan untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan
keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Bagian ini terdiri
dari 12 pernyataan yang dimodifikasi dari model instrumen Spielberger et al. (1970) StateTrait
Anxiety Inventory (STAI) dengan pilihan jawaban “tidak pernah”, “kadangkadang”, “sering”, dan
“selalu/terusmenerus”. Skor tertinggi pada skala ini adalah 4 dan skor terendah adalah 1. Skor
pada skala ini adalah “terus-menerus” (TM) diberi skor 4, “sering” (S) diberi skor 3, “kadang-
kadang” (KK) diberi skor 2, dan “tidak pernah” (TP) diberi skor 1.
Reliabilitas dan validitas instrumen
Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen dilakukan uji reliabilitas
instrumen. Uji reliabilitas ini dilakukan sebelum pengumpulan data kepada 10 orang responden
yang memenuhi kriteria sampel kemudian peneliti menilai responsnya. Dari hasil uji Cronbach
Alpha pada akhir penelitian diperoleh untuk instrumen pengetahuan dan tingkat kecemasan
didapatkan untuk instumen pengetahuan nilai α = 0,719 dan untuk instrumen tingkat kecemasan
nilai α = 0,881, ini menunjukkan bahwa kedua instrumen reliabel. Uji validitas instrumen
dilakukan oleh ahli dalam Keperawatan Jiwa dari departemen Ilmu Keperawatan Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Teknik Pengumpulan Data
Pada tahap awal peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi
pendidikan (Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara),
kemudian permohonan izin yang telah diperoleh dikirimkan ke tempat penelitian (Rumah Sakit
Jiwa Propsu Medan). Setelah mendapat izin, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian.
Peneliti menentukan responden sesuai dengan kriteria yang telah dibuat sebelumnya. Apabila
peneliti menemukan calon responden yang memenuhi kriteria cukupbanyak maka calon
responden tersebutdipilih sesuai dengan keinginan peneliti.Selanjutnya peneliti menjelaskan
padacalon responden tersebut tentang tujuan,manfaat dan proses pengisian kuesioner,kemudian
calon responden yang bersediadiminta untuk menandatangani suratpersetujuan. Kemudian
responden dimintauntuk mengisi kuesioner yang diberikanoleh peneliti.
Analisis Data
Pengetahuan keluarga gangguan jiwa dibagi dalam 3 kategori, yaitu “baik” = 14-20,
“sedang” = 7-13, dan “buruk” = 0-6. Tingkat kecemasan keluarga gangguan jiwa dibagi dalam 4
kategori, yaitu “cemas ringan” = 1-12, “cemas sedang” = 13-25, “cemas berat” = 26 - 38, dan
“panik” = 39-48.

6
Data demografi disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan presentase serta data
usia dan penghasilan dalam bentuk mean. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi untuk melihat gambaran pengetahuan dan tingkat kecemasan keluarga dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Hubungan pengetahuan keluarga
dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan formula korelasi Spearman.
Nilai menginterpretasikan kekuatan hubungan. Jika nilai berada pada level 0.70–1.00
(baik plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan yang kuat, level 0.40-<0.70
(baik plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan yang sedang atau substansial,
level 0.20-<0.40 menunjukkan adanya derajat hubungan yang lemah dan level<0.20 berarti dapat
diabaikan.
Sedangkan untuk menginterpretasikan nilai signifikan (p) untuk uji 1 arah, jika nilai p
kurang dari atau sama dengan nilai (0.05) Jika nilai berada pada level 0.70–1.00 (baik
plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan yang kuat, level 0.40-<0.70 (baik
plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan yang sedang atau substansial, level
0.20-<0.40 menunjukkan adanya derajat hubungan yang lemah dan level<0.20 berarti dapat
diabaikan.
Sedangkan untuk menginterpretasikan nilai signifikan (p) untuk uji 1 arah, jika nilai p
kurang dari atau sama dengan nilai (0.05) berarti terdapat hubungan yang signifikan dan bila
nilai p lebih dari nilai (0.05) berarti terdapat hubungan yang tidak signifikan (Devore, 1986;
Sulaiman, 2003).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Karakteristik responden
Tabel 1 menunjukkan rata-rata usia responden adalah 38 tahun. Mayoritas responden adalah laki-
laki (53,1%), menikah (68,7%), beragama Islam (53,1%), suku Jawa (53,1%), dengan latar
belakang pendidikan SMU (34,4%). Responden yang bekerja paling banyak sebagai wiraswasta
sebanyak 18 orang (56,3%), tingkat penghasilan < Rp 774.000 (43,7%) dan responden umumnya
memiliki hubungan sebagai anak sebanyak 12 orang (37.5%).
Tabel 1 Gambaran data demografi keluarga
No Data demogarafi Jumlah presentase
1 Usia
25 – 35 tahun 13 40,6 %
36 – 46 tahun 12 37,5 %
47 – 56 tahun 7 21,9 %
Mean : 38.25
SD : 9.45
2 Jenis Kelamin
Laki – laki 17 53,1%
Perempuan 15 46,9%
7
3 Status perkawinan
Belum menikah 3 9,4%
Sudah menikah 22 68,7%
Janda 3 9,4%
Duda 4 12,5%
4 Agama
Islam 17 53,1%
Protestan 15 46,9%
5 Suku bangsa 17
Jawa 53,1%
15
Batak 46,9%
6 Pendidikan terakhir
SD 2 6,2%
SMP 5 15,6%
SMU 14 43,8%
Sarjana 11 34,4%
7 Pekerjaan
PNS 8 5,0%
Pegawai swasta 5 15,6%
Wiraswasta 18 56,3%
Lain-lain (privat) 1 3,1%
8 Penghasilan
< Rp. 774.000 14 43,7%
Rp.774.000–Rp.1.548.000 18 56,3%
Mean : 1.56
SD : 1.50
9 Ikatan hubungan
Anak 12 12 37,6 %
Orangtua 6 6 18,7 %
Saudara 8 8 25,0 %
Suami / isteri 6 6 18,7 %

Pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa


            Dari 32 keluarga inti yang menjadi responden, 19 orang responden (59,4%) memiliki
pengetahuan yang baik mengenai gangguan jiwa dan 13 orang responden (40,6%) yang memiliki
pengetahuan sedang mengenai gangguan jiwa.
Tabel 2. Gambaran pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Propinsi
Sumatera Utara, Medan
Baik Sedang Buruk
Pengetahuan 19 13 0
(59,4%) (40,6%) (0%)

Tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa.
Dari 32 keluarga inti yang menjadi responden, 15 responden (46.9%) yang mengalami
tingkat kecemasan ringan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa,
15 responden (46,9%) mengalami tingkat kecemasan sedang dan 2 responden (6,2%) mengalami
tingkat kecemasan berat.
Tabel 3. Gambaran tingkat kecemasan keluarga.
Tingkat kecemasan Ringan Sedang Berat Panic
8
15 15 2 0
(46,9%) (46,9) (6,2) (0%)

Analisis hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota
keluarga yang mengalami ganggun jiwa
Analisis statistik didapatkan nilai korelasi Spearman (ρ) sebesar -0.460. Ini berarti bahwa
terdapat hubungan yang sedang dan tidak searah antara pengetahuan keluarga dengan tingkat
kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang menghadapi gangguan jiwa. Dalam arti
semakin tinggi pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa maka semakin ringan tingkat
kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Dari
analisis statistik juga diperoleh nilai signifikan (p) 0.008. Nilai ini lebih kecil dari level of
significance (α) sebesar 0.01 dengan uji 2 tailed, ini berarti bahwa ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa.
Tabel 4. Hasil analisis korelasi pengetahuan dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara,
Medan
Variabe 1 Variabel 2 P p
Pengetahuan Tingkat kecemasan -0.460 0.008
keluarga tentang dalam mennghadapi
gangguan jiwa anggota keluarga
yang menghadapi
gangguan jiwa

Pembahasan
Pengetahuan keluarga mengenai gangguan jiwa
Berdasarkan jawaban 32 keluarga inti yang menjadi responden didapatkan bahwa 19 responden
(59,4%) memiliki pengetahuan yang baik dan 13 responden (40,16%) memiliki pengetahuan
sedang mengenai gangguan jiwa ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota
keluarganya rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah
memiliki pengetahuan yang hampir baik dan tidak ada yang memiliki pengetahuan buruk
mengenai gangguan jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan oleh
petugas kesehatan maupun diperoleh dari media informasi lainnya telah cukup efektif.
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usahandalam
memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya. Keluarga selain dapat meningkatkan
dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarganya, juga dapat menjadi sumber masalah
bagi anggota keluarga yang mengalami ketidakstabilan mental sebagai akibat minimnya
pengetahuan mengenai persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Berdasarkan penelitian Pearson (1993) di Cina, didapatkan hasil bahwa dari 150
koresponden anggota keluarga yang salah satu anggota keluarganya yang mengalami gangguan

9
jiwa, keluarga yang memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 78.3% dan selebihnya 21.7%
koresponden tidak peduli akan kondisi keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Setelah
dibandingkan antara kondisi anggota keluarga yang berpengetahuan baik dan yang tidak memiliki
pengetahuan baik/tidak peduli diketahui bagaimana perawatan terhadap anggota keluarganya
yang mengalami gangguan jiwa, di mana kondisi keluarga yang berpengetahuan baik lebih terjaga
dibandingkan pada keluarga yang tidak memiliki pengetahuan yang baik. Sehingga sangat
diperlukan bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan yang baik dalam menghadapi anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa
Berdasarkan jawaban 32 keluarga inti yang menjadi responden didapatkan
bahwa 15 responden (46,9%) memiliki tingkat kecemasan yang ringan dalam menghadapi
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, kemudian 15 responden (46,9%) memiliki
tingkat kecemasan sedang dan 2 responden (6,2%) memiliki tingkat kecemasan yang berat.
Kecemasan dapat dirasakan oleh individu ataupun sekelompok orang termasuk keluarga,
kecemasan meliputi keluarga dan mereka sangat terbebani dengan kondisi penderita. Bahkan
tidak sedikit keluarga yang sama sekali tidak mengetahui rencana apa yang harus mereka lakukan
untuk menghadapi masalah gangguan jiwa salah satu anggota keluarganya. Kecemasan akan
semakin meningkat tanpa pemahaman yang jernih mengenai masalah besar yang dihadapi
keluarga. Terkadang masalah ini tidak dapat dihadapi dan semakin membuat konflik di dalam
keluarga sehingga sering terjadi penolakan terhadap penderita gangguan jiwa (Brown & Bradley,
2002).
Dalam jurnal National Institue of Mental Health, Samuel Keith (1970)mengadakan
penelitian mengenai pengalaman yang dirasakan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga lebihbanyak merasakan kecemasan (58.6%)
dibandingkan keadaan keluarga yang marah (12.7%) bahkan ada yang menolak (28.7%) keadaan
anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Kecemasan dan berbagai pengalaman
lainnya yang dirasakan oleh keluarga merupakan hal yang wajar dalam menghadapi anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Hubungan pengetahuan dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa
Berdasarkan analisis diperoleh nilai
koefisien korelasi (ρ) = - 0.460 dan nilai signifikan p = 0.008 untuk hubungan pengetahuan
dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, 0.460 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sedang dan tanda negatif
menunjukkan ketidaksearahan, dalam arti bahwa semakin tinggi pengetahuan maka tingkat
kecemasan semakin ringan. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan

10
tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
dengan p = 0.008 di bawah dari 0.01 (Devore, 1986).
Berdasarkan penelitian dari badan National Mental Health Association/NMHA (2001),
diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai
gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak
akan pernah sembuh kembali. Namun faktanya, NMHA mengemukakan bahwa orang yang
mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya
(Foster, 2001). Tanpa adanya pemahaman yang jernih mengenai masalah gangguan jiwa yang
dihadapi keluarga akan dapat menimbulkan kecemasan dan hal ini didukung oleh adanya
penelitian yang dilakukan oleh Brown & Bradley (2002) pada keluarga yang memiliki anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan didapatkan bahwa kecemasan keluarga akan
semakin meningkat tanpa pengetahuan yang baik mengenai masalah gangguan jiwa yang
dihadapi keluarga

11
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian yang dilakukan terhadap 32 keluarga inti yang menjadi responden, yang salah
satu anggota keluarganya berobat jalan di Poliklinik Rumah SakitnJiwa Propinsi Sumatera Utara
Medan menggambarkan bahwa 59.4% responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai
gangguan jiwa, 40.6% responden memiliki pengetahuan yang sedang mengenai gangguan jiwa,
46.9% responden yang memiliki tingkat kecemasan ringan, 46.9% responden memiliki tingkat
kecemasan yang sedang. Sementara itu 46,2% responden memiliki tingkat kecemasan yang berat
dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan analisis
statistik dengan menggunakan formula korelasi Spearman diperoleh koefisien korelasi (ρ) = -
0.460 dan nilai signifikan p = 0.008 untuk hubungan pengetahuan dengan tingkat kecemasan
keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, 0.460
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sedang dan tanda negative menunjukkan
ketidaksearahan, dalam arti bahwa semakin tinggi pengetahuan maka tingkat kecemasan semakin
ringan. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan
keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan p = 0.008.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat
kecemasan dalam menghadapi
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki hubungan yang sedang dan
signifikan.
Saran
1.      Praktik keperawatan
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada anggota keluarga yang salah satu anggota
keluarganya mengalami gangguan jiwa, hendaknya perawat memperhatikan masalah pengetahuan
keluarga dalam merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dengan
memberikan pendidikan kesehatan yang dapat dimengerti oleh keluarga, Perawat juga diharapkan
perlu mengkaji secara komprehensif faktor–faktor dominan yang mendukung timbulnya
kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
2.      Pendidikan keperawatan
Pada penelitian ini didapatkan data bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dan tingkat
kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, sehingga perlu
diharapkan adanya peningkatan dan pengembangan asuhan keperawatan dalam pemberian
pendidikan kesehatan khususnya dalam Keperawatan Jiwa dan Keperawatan Komunitas.

12
3.      Penelitian keperawatan
Pada penelitian ini didapatkan data adanya hubungan yang sedang antara pengetahuan dengan
tingkat kecemasandalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, dan
diperoleh nilai reliabilitas untuk instrumen pengetahuan masih rendah sehingga diharapkan untuk
penelitian selanjutnya diperoleh nilai reliabilitas instrumen yang tinggi

13
TINGKAT SPIRITUALITAS BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT
DEPRESIPADALANSIA

OLEH:
MUHAMAD FAJAR RAMADHAN
20142011030

UNIVERSITAS YPIB MAJALENGKA


2022

14
ABSTRAK
Pertambahan umur pada lanjut usia akan menimbulkan berbagi masalah baik secara fisik,
sosial, dan perubahanpsikologi yang membawa dampak negatif bagi kehidupan lansia.
Gangguan mental seperti depresi menjadi salahsatu gangguan mental yang terjadi karena
kondisi hidup yang tidak sesuai harapan. Spiritualitas dapat digunakansebagai sumber koping
yang adaptif karena dengan terpenuhinya kebutuhan spirituaitas dapat menenangkan hatidi
dalam jiwa sehingga dapat mencegah depresi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungantingkat spiritualitas dengan tingkat depresi lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Unit Budi Luhur KasonganBantul Yogyakarta.Penelitian ini menggunakan desain
penelitian kuantitatif(non eksperiment). Rancanganpenelitian menggunakan deskriftif korelasi
dengan pendekatan cross sectional. Jumlah populasi sebanyak 80lansia di Balai Pelayanan
Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. Sampel
diambildenganteknikpurposivesamplingyaitusebanyak38lansia.Hasilujikendall-
taupadapenelitianinimenunjukkan hasil bahwa nilai koefisien korelasi sebesar -0,767 dan
signifikan sebesar 0,000 yaitu (P) < 0,1.Maka penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat spiritualitas
dengantingkatdepresipadalansiadiBalaiPelayananSosialTresnaWerdhaUnitBudiLuhurKasonga
nBantulYogyakarta. Terdapat hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat depresi
pada lansia di Balai
PelayananSosialTresnaWerdhaUnitBudiLuhurKasonganBantulYogyakarta.

Katakunci: depresi;lansia;spiritualitas

THE LEVEL OF SPIRITUALITY RELATES TO THE LEVEL OF DEPRESSION


INTHE ELDERLY

ABSTRACT
The aging of an Elderly will cause various problems in the form of physical, social and
psychological changeswhich brings a negative impact on the elderly’s live. Mental disorders
such as depression become one of themental disorders that occur due to living conditions that
are not as expected before. Spirituality can be used asan adaptive coping source, because
fulfilled spirituality needs in indivudals can calm the heart and soul that canbe prevent
someone from depression. The purpose of this study is to find out the Relationship between
Level
ofSpiritualityandTheLevelofDepressioninTheTresnaWerdhaSocialServiceCentreUnitBudiLuh
urKasongan Bantul Yogyakarta. This research uses a quantitative research designwith
acorrelational non-experimental research design with a cross sectional approach. Total
population of 80 elderly at the TresnaWerdha Social Service Centre Unit Budi Luhur
Kasongan Bantul Yogyakarta. Samples were taken by purposivesampling technique that is 38
elderly in total. Kendall-tau test results in this study indicate that the correlationvalue is -

15
0.767 and significant is 0.000, i.e. (P) <0.1. So this study shows that there is a significant
relationshipbetween Spirituality Level with the Depression Level of elderly at the Tresna
Werdha Social Service Centre UnitBudi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. There is a
significant relationship between Spirituality Level with theDepression Level of Elderly at the
Tresna Werdha Social Service Centre Unit Budi Luhur Kasongan BantulYogyakarta.

Keywords:depression;elderly;spirituality

PENDAHULUAN
Lansiaadalahseseorangyangmencapaiusiadiatas60tahun.Menuabukanlahsebuahpenyakit,
namun merupakan suatu proses yang berangsur-angsur dalam kehidupan
seseorangyangmenyebabkanperubahankumulatif,danmenurunnyasistemimunitasdalammengha
dapi rangsangan baik dari dalam maupun luar tubuh (Kholifah, 2016).
Berdasarkandataproyeksipenduduk,padatahun2017terdapat23,66jutajiwapenduduklansiadiInd
onesia(9,03%).Diprediksikan jumlahpenduduk lansia tahun 2020(27,08
juta),tahun2025(33,69juta),tahun2030(40,95juta)dantahun2035(48,19juta).Sementaradi

16
Indonesia,provinsiDaerahIstimewaYogyakartamerupakanprovinsidenganpresentasejumlahlans
iaterbesar yaitu13,81% (Pusat Data dan Informasi [Pusdatin], 2017).

Penuaan penduduk ini terlihat sebagai hasil dari program yang jalankan pemerintah
susuaidenganUndang-
Undangno13tahun1998yangisinyamenyatakanbahwapelaksanaanpembangunan nasional yang
bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkanPancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakatyang makin membaik dan
usia harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usiamakinbertambah[1].

Seiring bertambahnya usia, lansia akan mengalami perubahan pada tubuhnya. Perubahan
inidapatmenjadimasalahkesehatanpadalansiaapabilatidakdiperhatikan.Perubahan-
perubahanpadatubuhlansiayangberupaperubahanfisikdengangangguansistemkardiovaskuler,ga
ngguansistemmuskuluskeletal,gangguansistempernapasandanlainsebagainya. Selainperubahan
fisik ada pula perubahan psikososial dan perubahan psikologisjuga menjadimasalah kesehatan
padalansia[2].

Depresi adalah salah satu gangguan psikologis, dimana terjadi gangguan kondisi
emosional,motivasi, fungsi dan perilaku motorik, serta kognitif pada seseorang. Terdapat
sekitar 35 jutaorang mengalamidepresi, 65 jutaorang terkenabipolar, 21
jutaterkenaskizofreniadan 47juta orang mengidap demensia (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia [Kemenkes RI],2016; Kusumowardani & Puspitosari, 2014). Berdasarkan Pusat
Informasi Tidak Menular,lansia yang mengalami depresi sebesar 11,6%. Lansia berusia 55-64
tahun yang mengalamimasalahdepresisebesar7%,lansiaberusia65-
74tahunsebesar9,9%,danlansiausiadiatas
75tahunsebesar12%Mengetahuibahwadepresiadalahmasalahkesehatanyangmemberikan
dampak yang buruk, maka diperlukan adanya penanganan untuk depresi
dansalahsatupenanganandepresiadalahdenganmelaluiupayaspiritual.Berbagaihasilpenelitian
mengungkapkan bahwa tingkat keimanan seseorang sangat berkaitan dengan dayatahan
seseorang dalam menghadapi berbagai problema kehidupan yang merupakan
stressorpsikososial yang merupakan salah satu faktor pencetus depresi (Abidin, 2017; Livana
et al.,2018).

Spiritualitas merupakan salah satu faktor penting bagi individu untuk mencapai
keseimbanganyangdiperlukanuntukmemeliharakesehatandankesejahteraan,danberadaptasiden
ganpenyakit.Spiritualadalahsalahsatudari4unsurkesehatanmenurutWorldHealthOrganization
(WHO), oleh sebab itu spiritualitas tidak lepas dari kriteria kesehatan seorangindividu(Abidin,
2017;Potter et al., 2016). Berdasarkan penelitian yang dilakukan olehAprilissa et al., (2016),
tentang tingkat depresi pada lansia diPanti Sosial Tresna WerdhaBudi Sejahtera Banjarbaru
disimpulkan bahwa lansia dengan tingkat spiritualitas tinggi yangtidak mengalami depresi
sebanyak 4 responden (8,0%) dan yang depresi ringan sebanyak 33responden (66,0%),
sementara lansia dengan tingkat spiritualitas rendah mengalami depresisedangsebanyak
11responden (22,0%)dan depresi beratsebanyak 2responden (4,0%).

Berdasarkan dari latar belakang ada beberapa faktor pencetus terjadinya depresi pada
lansiadan depresi tersebut berdampak serius di kehidupan lansia. Salah satu upaya untuk
mengatasidepresi adalah dengan melakukan kegitan-kegiatan yang positif salah satunya
adalah dengankegiatan spiritual yang bermakna. Sebagai perawat, kita dapat melakukan
asuhan keperawatanspritualitas pada lansia untuk membantu mempertahankan serta
memperbesar semangat hiduplansia termasuk kesehatan mental lansia agar terhindar dari
gangguan mental dan
emosional.Untukitupenelititertarikmelakukanpenelitianyangbertujuanuntukmengetahuihubung
an
17
tingkat spiritualitas dengan tingkat depresi lansia khususnya di Panti Sosial Tresna
WerdhaYogyakarta.

METODE
Jenis penelitian iniadalah penelitian kuantitatif(non eksperiment). Rancangan
penelitianmenggunakandeskriftifkorelasidenganpendekatancross-
sectional.Populasidalampenelitian ini yaitu lansia sebanyak 80 orang di Balai Pelayanan
Sosial Tresna Werdha UnitBudiLuhurKasonganBantul Yogyakarta. Penelitian yang
dilaksanakan pada tanggal 23Oktober 2019. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini
menggunakan metode purposivesampling. Sampel dalam penelitian ini adalah lansia sebanyak
38 orang. Dalam penelitian inidata primer diperoleh dengan membagikan kuesioner kepada
responden. Sedangkan, datasekunder yang dikumpulkan adalah data dari dokumen atau
catatan mengenai lansia di
BalaiPSTWBudiLuhurKasonganBantulYogyakartadanbukupenunjangteori,jurnaldanliteratur
lain yang berhubungan dengan teori penelitian. Data dianalisa dengan metode
analisisbivariatgunamencarihubunganhipotesisduaarahdandataakandisajikandalambentuktabel
cross tabulation (tabel silang). Data yang telah dianalisis akan disajikan dalam bentuktabel
distribusi frekuensi serta penjelasan hasil analisa dalam bentuk narasi. Data yang
penelitigunakan berskala ordinal-ordinal, maka uji statistik yang akan digunakan adalah
Kendall TauTest.

HASIL
Tabel1.
KarakteristikResponden(n=38)
Karakteristik F (%)
Usia
60-74 Tahun (Elderly) 23 61
75 -90 Tahun (Old) 15 39
>90Tahun (Very Old) 0 0
JenisKelamin
Laki-laki 10 26
Perempuan 28 74
Pendidikan
Tidaksekolah 7 18
SD 22 58
SMP 8 21
SMA 1 3
StatusPernikahan
Belummenikah 2 5
Menikah 15 39
Duda/Janda 21 55
StatusKognitif
Normal 25 66
Probablegangguankognitif 13 34

Tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik responden penelitian di Balai Pelayanan


SosialTresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta berdasarkan usia
respondenyang masuk kategori 60-74 tahun (elderly) yaitu sebanyak 23 orang (61%),
berdasarkan jeniskelamin lebih banyak responden perempuan dengan jumlah 28 orang (74%).
18
BerdasarkantingkatpendidikansebagianbesarlansiamenempuhpendidikanSDyaitusebanyak22or
ang

19
(58%). Berdasarkan status pernikahan mayoritas lansia dengan status duda/janda sebanyak
21orang (55%). Kemudian status kognitif lansia paling banyak dengan status kognitif
normalsebanyak25 lansia(66%).

Tabel2.
TingkatSpiritualitas(n=38)
KategoriTingkatSpiritualitas F %
Rendah 7 18
Sedang 8 21
Tinggi 23 61

Tabel2tentangtingkatspiritualitaslansiayangmenjadirespondenpenelitiandiBalaiPelayananSosi
alTresnaWerdhaUnitBudiLuhurKasonganBantulYogyakartamenunjukkan bahwa responden
dengan tingkat spiritualitas rendah sebanyak 7 lansia (18%),lansia dengan tingkat spiritual
sedang 8 orang (21%), dan tingkat spiritualitas tinggi sebanyak23 orang(61%).

Tabel3.
TingkatDepresi Lansia (n=38)
KategoriDepresi F %
Normal 16 42
Ringan 14 37
Sedang 5 13
Berat 3 8

Tabel 3 tentang depresi lansia yang menjadi responden penelitian di Balai Pelayanan
SosialTresnaWerdhaUnitBudiLuhurKasonganBantulYogyakartamenunjukkanbahwaresponde
n yang tidak mengalami depresi atau normal sebanyak 16 orang (42%), lansia yangmengalami
depresi ringan sebanyak 14 orang (37%), lansia yang mengalami depresi
sedangsebanyak5orang(13%),danlansia yangmengalamidepresiberatsebanyak3orang(8%).

Tabel4.
Hasil Analisis Hubungan Tingkat Spiritualitas dengan Tingkat Depresi Lansia
(n=38)Variabel Koefisienkorelasi Nilaisignifikan
TingkatSpiritualitas
TingkatDepresi -0,767 0.000

Tabel 4 hasil uji kendall tau, didapatkan hasil bahwa koefisien korelasi sebesar -0,767
dansignifikan sebesar 0,000. Dimana jika interpretasi koefisien korelasi nya bernilai 0,76-
1,00makatingkathubungannyaadalahkuatatausempurna(Riyanto,2013).Hasilinimenunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara tingkat spiritualitasdengan tingkat depresipada lansia di Balai
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan
BantulYogyakartayangditandaidengan nilaisignifikan sebesar0,000<0,1.

Kemudian koefisien korelasi jika bernilai + (positif) maka berarti kedua variabel
tersebutmemilikihubungansearah,begitupulasebaliknyajikakoefisienkorelasinyabernilai–
(negatif) maka korelasi kedua variabel tersebut bersifat berlawanan. Pada tabel 4
didapatkanhasil sebesar -0,767 sehingga dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat
spiritualitas makatingkatdepresi padalansia semakin rendah ataunormal.

20
PEMBAHASAN
TingkatSpiritualitaspadaLansia

Penelitian ini didapatkan hasil bahwa jumlah lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna
WerdhaUnit BudiLuhurKasongan Bantul Yogyakarta memiliki tingkat spiritualitasyang
tinggisebanyak 23 responden dengan persentase 61%, responden dengan tingkat spiritualitas
sedangsebanyak 8 orang dengan presentase 21%, dan responden dengan tingkat spiritualitas
rendahsebanyak7orangdenganpresentase18%.Hasilinitidaklepasdarikeadaan,kegiatanspirituali
tas responden, dimana kita ketahui bahwa responden yang tinggal di Balai
PelayananSosialTresnaWerdhaUnitBudiLuhurdidukungdengankegiatankerohanianyangterstru
ktur sehingga lansia dapat belajar dan mengekpresikan spiritualitasnya.Spiritualitassebagai
sumber internal dalam diri manusia, spiritualitas juga merupakan sebuah kebutuhanbagi
manusia untuk menghadapi penyimpangan sosial, kultural, ansietas, ketakutan,
sekaratdankematian,keterasingansosialsertafilosofikehidupan.Beberapaindikatorkriteriakebutu
hanspiritualitasantaralainhubunganindividudengandirinyasendiri,hubungandenganoranglain,h
ubungan dengan kelompokdan hubungan denganTuhan[8].

Hasilyangdiperolehdaripenelitianinibahwasebagianbesarlansiamemilikitingkatspiritualitas
yang tinggi sebanyak 23 lansia (61%), hal ini dikarenakan Panti Sosial TresnaWerdha
memfasilitas lansia dengan kegiatan-kegiatan positif baik dalam segi fisik maupunmental.
Seperti halnya kegiatan kesenian dan keagamaan sangat bermanfaat bagi individuuntuk
memenuhi kebutuhan spiritualitasnya. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakanolehYusuf(2016),bahwaseseorangdikatakanterpenuhikesehatanspiritualnyaapabil
aseseorang tersebut memiliki indikator kesehatan spiritualitas diantaranya adalah
partisipasidalam kegiatan keagamaan dan berekpresi melalui seni, bereksprei dengan lagu dan
musik,dan berpartisipasi dalam kajian keagamaan. Kegiatan di panti seperti halnya perayaan
MaulidNabi,kajiandakwahseminggusekali,dendangria,danbelajarkeseniandaerahdapatmenumb
uhkan kekuatan spiritualitas dalam diri lansia. Dapat dikatakan bahwa
terpenuhinyakesehatanspiritualdapatmeningkatkan tingkatspiritualitasitu sendiri.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa sebagian besar lansia dengan tingkat
spiritualtinggi sebanyak 23 responden (61%). Dari 23 responden yang memiliki tingkat
spiritual tinggitersebut, terdapat 15 lansia pada rentang usia 60-74 tahun, dan 8 lansia pada
rentang usia 75-90 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Jalaluddin (2015) bahwa terdapat
hubungan yangsignifikan antara perkembangan spiritualitas dan tingkat usia. Dijelaskan
bahwa usia terkaiterat dengan pertumbuhan fisik (material) dan perkembangan spiritual (non-
material). DalamAl-Qur’an Surat Yasin ayat 68 “Dan barangsiapa yang Kami panjangkan
usianya niscayaKamikembalikandiakepadakejadian(nya).Makaapakah mereka
tidakmemikirkan?”. Kembali kepada kejadian pada ayat ayat diatas maksudnya adalah
menjadilemahdankurangakal.Penjelasanayatinimengisyaratkanbahwadalampertumbuhanfisikn
ya, manusia mengalami berbagai tahapan. Mulai dari kondisi yang lemah, menjadi kuatdan
kembali melemah. Dari berbagai tahapan pertumbuhan itu berlangsung proses
perubahanfisikyangmencapaitingkatkematangandanpuncakpertumbuhan.Sementaradarisegipsi
kologi,tingkatanspiritual juga mencapaipuncak perkembangan.

Dalam sebuah potongan hadis Qudsi “Allah SWT telah berfirman:“Apabila


hamba-Ku mencapai usia empat puluh tahun, Akumenyelamatkannya dari tiga
macam penyakit, yaitu: gila, lepra dan sopak(belang). Apabila mencapai usia lima
puluh tahun, Aku menghisab nyadengan hisab yang ringan. Apabila mencapai usia enam
puluh tahun, Aku membuatnya sukabertobat.
(HaditsRiwayatTirmidzi).Daripernyataanhaditsiniterlihat,bahwamunculnya

21
kecenderungan manusia untuk mulai “memantas diri” adalah pada usia 60 tahun.
Normalnyapadausiaini,manusiaterdoronguntukkembalikenilai-
nilaifitrahnyamelaluiupayamenyesuaikan diri kepada hakikat penciptaannya. Menjadikan diri
sebagai pengabdi Tuhan-nya, lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta di antaranya
melalui proses pertobatan.Maka dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa spiritualitas dan
perkembangan usia beradapada hubunganyangsearah[9].

Kecemasanadalahsalahsatudampakdariketidakseimbanganspiritualitas(spiritualitydisequilibriu
m),yangmerupakankekacauanjiwayangterjadiketikakepercayaanyangdipegang teguh
tergoncang hebat. Kondisi ini dapat terjadi pada lansia dengan kesehatanspiritualitas yang
rendah, oleh karenanya sering kali lansia yang menyadari dirinya menua dandi ujung
kehidupan, lansia yang mempunyai sakit kronis atau lansia yang menyadari dirinyatidak
produktif lagi akan merasa cemas. Namun bagi lansia yang kesehatan spiritualitasnyabaik
akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan mereka dan lebih siap menghadapi kematian[8].

HalinisesuaidenganpenelitianSari(2015),bahwaterdapathubunganantaratingkatspiritualitas
dengan kesiapan lansia menghadapi kematian. Lansia yang memiliki
persepsipositifterhadapkematian,makakecemasandalammenghadapikematianakansemakinrend
ah. Mereka berpendapat bahwa kematian adalah takdir Tuhan yang tidak dapat
dihindari.Selain merasa pasrah dan menganggap kematian adalah takdir Tuhan, kesiapan
lansia dalammenghadapi kematian juga dipengaruhi oleh tingkat spiritualiasnya. Hal ini
ditunjukkan darihasil penelitiannya bahwa dari 50 lansia yang siap menghadapi kematian, 43
diantaranyamemilikitingkat spiritualitasyangtinggi.

Hasil penelitian ini status kognitif responden mayoritas normal sebanyak 22 orang (66%)
dan13 orang sisanya (34%) adalah probable gangguan kognitif. Fungsi kognitif itu sendiri
adalahsuatuprosesyangmenjembataniseseorangdalamprosesbelajar,pikiran,perasaandantingkah
laku. Seiring bertambahnya usia, lansia akan mengalami penurunan fungsi kognitif,dan salah
satu penyebabnya adalah spiritualitas. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwastatus kognitif
lansia dipengaruhi oleh tingkat spiritualitas lansia tersebut. Halini sesuaidengan hasil
penelitian Lestari (2019) dan Syafrahmawati (2017) bahwa terdapat
hubunganyangbermaknaantaratingkat spiritualitasdanstatuskognitif padalansia.

Hasilpenelitianinimenunjukkanbahwastatuspernikahanrespondendenganstatusduda/janda
sebanyak 21 orang (55%), responden dengan status menikah sebanyak 15 orang(39%) dan
responden yang belum menikah ada 2 orang (5%). Hal ini sesuai dengan penelitianDewi
(2014) bahwa kehilangan pasangan atau tidak dapat berkumpul bersama keluarga atauteman
dekat akan terpisahdari ikatanspiritualdankehilanganfungsispiritualitas.Namunbagi lansia
yang memiliki keyakinan spiritualitas yang dibangun dengan baik akan membantulansia
menghadapi kenyataan. Salah satu kenyataan yang dihadapi lansia adalah menerimakematian
pasangan. Berdasarkan pernyataan tersebut juga sesuai dengan teori Yusuf (2016)bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi spiritualitas adalah kehilangan keluarga akibatkematian.
Namun individu dengan pondasi kesehatan spiritualitas (spirituality wellness) yangbaik pasti
bisa menghadapi masalahnya, menemukan rasa keharmonisan dan keseimbanganantara nilai,
tujuan, dan system keyakinan mereka dengan hubungan mereka dengan dirisendiridan
oranglain.

22
TingkatDepresipadaLansia
Tingkatan depresi diukur menggunakan skala pengukuran Geriatric Depression Scale
(GDS).PadapenelitianinidiketahuibahwalansiadiBalaiPelayananSosialTresnaWerdhaUnitBudi
Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta bahwa responden yang tidak mengalami depresiatau
tingkat depresi normal sebanyak 16 orang (42%), depresi ringan sebanyak 14 orang(37%),
depresi sedang sebanyak 5 orang (13%), dan responden dengan tingkat depresi
beratsebanyak3orang(8%).Banyakfaktoryangmenyebabkanlansiamengalamidepresidiantarany
a yaitu faktor biologis, faktor psikologis dan faktor sosial. Terjadinya depresi
padalansiamerupakanhasildariinteraksiberbagaifaktortersebut.Faktorsosialadalahberkurangnya
interaksisosial,kesepian,berkabung,kesedihandankemiskinan.Faktorpsikologis dapat berupa
rasa rendah diri, kurang rasa keakraban dan penderita penyakit fisik,sedangkan faktor biologis
yaitu hilangnya sejumlah neurotransmiter di otak, resiko genetikmaupunadanyapenyakit
fisik(Lestari, 2015).

Hasil penelitian ini menunjukkan 5 dari 38 responden (13%) mengalami depresi sedang dan
3dari 38 responden (8%) mengalami depresi berat, dalam wawancara lansia yang
mengalamidepresitersebutmengakubahwamerekajarangberinteraksidengantemandisekitarnya,
mereka juga terlihat menyendiri di pojok ruangan atau di kamar. Hal ini sesuai dengan
teoriLestari (2015) di atas bahwa kurang interaksi sosial dan kurangnya keakraban adalah
salahsatu faktor penyebab terjadinya depresi. Hal tersebut juga didukung dalam penelitian
yangdilakukan oleh Sari (2015) bahwa tingginya stressor dan peristiwa kehidupan yang
tidakmenyenangkandapatmenimbulkankemungkinanlanjutusiamengalamikecemasan,kesepian
, sampai pada tahap depresi, usia tua mengakibatkan daya tahan jasmani
maupunrohanipriaataupunwanitamenjadisangatberkurang,sedangkanketegangan-
keteganganpsikisoleh kecemasan-kecemasan ketuaanmenjadi lebih besar.

Pada penelitian ini pendidikan responden mayoritas SD sebanyak 22 orang (58%) dan
darihasilpenelitianini22dari38respondenyangmengalamidepresiberadapadarentangpendidikan
tidak bersekolah sampai dengan SMP. Berdasarkan hal tersebut bahwa pendidikandapat
mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutamadalam
memotivasi untuk sikap, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah
menerimainformasi,sehinggamakinbanyakpulapengetahuanyangdimiliki,sebaliknyasemakinre
ndah atau kurangnya pendidikan akan menghambat perkembangan sikap seseorang
terhadapnilai-nilaiyangbaru di perkenalkan.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan olehHerawati & Deharnita (2019)bahwa
terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian depresi dimana dari
81responden yang mengalami depresi terdapat 77 responden berada pada tingkat
pendidikanyang rendah sementara 4 responden yang mengalami depresi berpendidikan tinggi.
Selain itu,tingkatpendidikanrendahberkaitandengankejadiandepresi,baikpadalaki-
lakidanperempuan. Kurangnya kesempatan untuk bersekolah dan tidak adanya fasilitas
pendidikan
didaerahpedesaanberkontribusipadakejadiandepresi.Pendidikandapatmempengaruhiseseorang
termasuk jugaperilakunyaakan polahidup terutamadalam memotivasiuntuksikap,berperan
dalam pembangunan kesehatan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 22 lansia yang mengalami depresi, 18
lansiadiantaranya adalah perempuan sementara 4 lainnya adalah laki-laki. Menurut Fox,
Spencer, &Young (2010) bahwa seorang perempuan cenderung lebih mudah mengalami
depresi yaitusekitar dua kali lebih banyak. Hal ini disebabkan karena beberapa pengalaman
hidup yangberperanmeningkatkanresikodepresi,khususnyaataupalingtidaklebihseringdialami

23
perempuan.Halinimeliputiperubahanhormon,kelahirananak,stresakibatberusahamenyeimbang
kanpekerjaan di kantor dandirumah.

Hasil diatas sesuai dengan penelitian Sayidah et al., (2019) yang didapatkan hasil
bahwaresponden berjenis kelamin laki-laki yang tinggal di UPTD Pesanggrahan PMKS
Mojopahityaitu sebanyak 7 responden, terdapat 4 responden mengalami depresi ringan.
Sedangkanresponden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 10 responden, terdapat 6
respondenmengalami depresi ringan. Hal tersebut menunjukkan bahwa wanita lebih beresiko
mengalamidepresi dibandingkan laki-laki disebabkan salah satunya adanya perbedaan
keadaan hormonaldan keadaan fisiologis, bahwa laki-laki sangat didorong untuk mandiri,
masterful, dan asertif,sedangkan perempuan diharapkan lebih pasif, sensitif terhadap orang
lain dan mungkin lebihbanyaktergantungpadaoranglain.

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa 16 responden (42,1%) tingkat depresi lansia
adalahnormal, hasil analisis dari item pertanyaan pada kuesioner GDS bahwa lansia tersebut
puasdengan kehidupannya, merasa semangat setiap saat, tidak merasa bosan, sering
berinteraksisosialdenganlansialaindantidakmeninggalkankegiatan-
kegiatanyangmenyenangkanseperti senam pagi dan dendang ria. Lansia tersebut mengaku
semangat dalam mengikutisetiap kegiatan di Panti karena mereka menganggap semua
kegiatan yang mereka ikuti akanmemberikan dampak positif di kehidupannya. Abidin (2017)
menyatakan bahwa psikologisseseorang yang selalu positif dapat membangun semangat
hidup, bangkit dari keputusasaan,membangun rasapercayadiri, dan memilikikemampuan
untuk mengatasimasalah yangdihadapinya.

Hasil diatas juga sesuai dengan penelitian Munir (2018) didapatkan hasil bahwa
interaksisosial lansia berhubungan dengan kejadian depresi pada lansia, hasil dari
penelitiannya yaituinteraksi sosial lansia di kategori selalu berinteraksi sebanyak 13
responden dan kategoriberinteraksi sedang 15 responden sementara dari tingkat depresi lansia
terdapat 4
respondendengantingkatdeprsinormal,6respondendepresiringan.Hasilperhitunganmenunjukka
nada hubungan antara interaksi sosial dengantingkat depresi.

Kowel et al. (2016) yang meneliti pengaruh senam lansia terhadap derajat depresi pada
lansiadi Panti Werdha Senja Cerah Manado mendapatkan hasil bahwa sebelum dilakukan
intervensitingkat depresi lansia normal sebanyak 9 orang, depresi ringan 6 orang, depresi
sedang 2orang, dan depresi ringan 1 orang. Setelah dilakukan intervensi senam lansia selama
2 bulandidapatkan hasil yang signifikan dari tingkat depresi sebagian besar pada tingkat
normal 14orang (77,7%), 4 orang depresi ringan (22,2%), dan tidak terdapat lansia yang
mengalamidepresisedangmaupun berat.

HubunganantaraTingkat SpiritualitasdenganTingkat
DepresipadaLansiaBerdasarkantabel4hasilujikendalltau,didapatkanhasilbahwakoefisienkorel
asisebesar-
0,767dansignifikansebesar<0,01.Dimanajikainterpretasikoefisienkorelasinyabernilai0,76-
1,00makatingkathubungannyaadalahkuatatausempurna.Hasilinimenunjukkanbahwaterdapathu
bunganantaratingkatspiritualitasdengantingkatdepresipadalansiadiBalaiPelayananSosialTresna
WerdhaUnitBudiLuhurKasonganBantulYogyakartayangditandaidengannilaisignifikansebesar
0,000<0,01.Kemudiankoefisienkorelasijika bernilai
+
(positif)makaberartikeduavariabeltersebutmemilikihubungansearah,begitupulasebaliknyajikak
oefisienkorelasinyabernilai–(negatif)makakorelasikeduavariabeltersebut bersifat berlawanan.
Pada tabel 4 didapatkan hasil sebesar -0,767 sehingga
dapatdiartikanbahwasemakintinggitingkatspiritualitasmakatingkatdepresipadalansiasemakin
24
rendah ataunormal.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Handayani & Oktaviani (2018) bahwa dari
23orang responden dengan spiritualitas yang baik terdapat 14 responden dengan tingkat
depresinormal, sedangkan dari 29 orang responden dengan spiritualitas yang tidak baik,
terdapat 24responden dengan tingkat depresi ringan di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW)
Sabai NanAluih Sicincin Tahun 2017. Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna
antaraspiritualitasdengantingkatdepresi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
SabaiNanAluihSicincin tahun 2017.

Spiritualitasadalahkekuatanpositifdalamjiwayangmembantuseseorangmenemukanmaknadantu
juandalamhidupmerekadanlebihmenunjukkannilaipersonalnya.Nilaipersonal ini merefleksikan
hasrat untuk membentuk perbedaan dan membantu untuk membuatdunia lebih mermakna.
Kebutuhan dan kesehatan spiritualitas yang baik dimiliki seseorangakan dapat membuat
seseorang merasa tenang di dalam hati dan pikiran, terbebas dari distressspiritual dan
gangguan fungsi spiritual yang dapat menyebabkan gangguan kejiwaan sepertikecemasan,
ketakutan, kegoncangan hati dan jiwa, depresi, stress dan sebagainya. Selanjutnyamenurut
Abidin (2017) bahwasanya kegoncangan jiwa (depresi) dapat menimpa kepada siapasaja.

Orang yang depresi biasanya adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan mental
dalammengadapi segala macam tantangan, hambatan, kesulitan, cobaan atau ujian hidup yang
telahmelilitnya.Tanda-tandaorangyangsepertiiniadalahorangyangmemilikitingkatkepercayaan
(believe) yang lemah, yang mudah goyah, mereka tidak memiliki sandaran
danpeganganhiduppadakeyakinannya.Egonyatidakberfungsiuntukmengontroldanmengendalik
anpikirandanperasaannya.Ketidakmampuaninilahyangakanmembawadampak sangat negatif
bagi kehidupan, yaitu kehilangan fokus dalam memikirkan masa depanyang diinginkan
semula. Dengan mencermati dampak negatif tersebut, solusi yang terbaikguna membebaskan
klien dari depresi adalah berupa terapi fisiologis, psikologis,
sosiologisdanterapispiritual.Dalam Al-Qur’anSurat Ar-Ra’d(13) ayat 28yangberbunyi:
ۗ ُ‫ى‬Wُْ‫طم ِئ ُّنْالُل‬ ْ ُW‫ىب‬Wُ‫طم ِئ ُّن ُقل‬
َ Wَ‫َ ِب ِذِْكرت‬W‫هم ِذِْكر ۗ ا‬ َ Wَ‫ىا وت‬Wُْ‫لَّ ِْذي َنَامن‬Wَ‫ا‬
Yang artinya: “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram
denganmengingatAllah.Ingatlah,hanyadenganmengingatAllahhatimenjaditentram”.Ayatterseb
ut mengatakan bahwa hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram, pada ayatdiatas
diberikan penekanan dengan kata “ingatlah” diantara dua kalimat yang sama yaitu“dengan
mengingat Allah hati menjadi tentram”. Dalam konsep spiritualitas dan kesehatanspiritualitas
bahwasanya seseorang yang mempunyai kepercayaan (believe) kepada zat yangkekuatannya
melebihi dirinya sendiri (ke-Tuhan-an), maka seorang tersebut memiliki
dasarataupondasispiritualitasyangpositif,teguhpendirian,mempunyaipeganganhidupdanmakna
kehidupan, hati menjadi tentram.

SIMPULAN
Terdapat hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat depresi pada lansia di
25
BalaiPelayananSosialTresnaWerdhaUnitBudiLuhurKasonganBantulYogyakarta.Hasilpenelitia
ninidapatmenambahpengetahuanlansiauntukdapatmeningkatkantingkatspiritualitasdanmelaku
kanaktivitaskerohanianpositifdenganmengikutipengajiandankegiatan keagamaan lainnya
sehingga dapat mengurangi tingkat depresinya. Hasil
penelitianinijugadapatmenjadipendukungataudasaruntukpenelitianselanjutnya.Sehinggapenelit
ian ini dapat digunakan sebagai suatu informasi yang bermanfaat dan dapat
menambahilmupengetahuan.

26
DAFTARPUSTAKA
[1] S. N. Kholifah, “Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Gerontik,” Kementeri.
Kesehat.RI,vol. 4, no. 1, pp. 1–105, 2016.

[2] S.R.Dewi, BukuAjarKeperawatanGerontik.Deepublish,2015.

[3] A.KusumowardaniandA.Puspitosari,“HubunganAntaraTingkatDepresiLansiaDengan
Interaksi SosialLansia Di Desa Sobokerto Kecamatan Ngemplak Boyolali,”Interes.J.
Ilmu Kesehat., vol. 3, no. 2, 2014.

[4] Z. Abidin, “Upaya Terapi Depresi Secara Islami,” KOMUNIKA J. Dakwah dan
Komun.,vol.11, no. 1, pp. 73–86, 2017.

[5] P. H. Livana, Y. Susanti, L. E. Darwati, and R. Anggraeni, “Gambaran Tingkat


DepresiLansia,”NURSCOPE J.Keperawatan danPemikir. Ilm.,vol.4, no.4,pp. 80–
93,2018.

[6] P. A. Potter, A. G. Perry, P. Stockert, and A. Hall, Fundamentals of Nursing - E-


Book.ElsevierHealth Sciences, 2016.

[7] A. Aprilissa, S. Anastasia Sr, and S. Mulyani, “Hubungan Spiritualitas dengan


TingkatDepresipadaLansia,”J.KeperawatanSuaka Insa., vol.1,no.2,pp.1–7, 2016.

[8] A.Yusuf,KebutuhanSpiritual;KonsepdanAplikasidalamAsuhanKeperawatan.2016.

[9] J.Jalaluddin,“TingkatUsiadanPerkembanganSpiritualitassertaFaktoryangMelatarbelakangi
nya di Majelis Tamasya Rohani Riyadhul Jannah Palembang,” Intizar,vol.21, no. 2, pp.
165–183, 2015.

[10] G. Sari, “Hubungan Kesepian Dengan Depresi Pada Lansia Di Balai Perlindungan
SosialTresna Werdha Ciparay Kabupaten Bandung Tahun 2016,” vol. 53, no. 9, pp.
1689–1699,2015.

[11] D. I. Lestari, “Hubungan Spiritualitas dengan Fungsi Kognitif pada Lansia di


RumahPelayananLanjutUsiaPucangGadingSemarang.”UniversitasIslamSultanAgung,201
9.

[12] Syafrahmawati, “Hubungan Antara Tingkat Spiritual dengan Fungsi Kognitif Lansia
diWilayahPantiWerdhaPangestiLawang.”UniversityofMuhammadiyahMalang,2017.

[13]Y.I.Dewi,“GambaranSpiritualitas
LansiadiPantiSosialTresnaWerdhaKhusnulKhotimahPekanbaru.”Riau University, 2014.

[14] T. Lestari, “Kumpulan teori untuk kajian pustaka penelitian kesehatan,” Yogyakarta
NuhaMed., pp. 4–5, 2015.

[15] N. Herawati and D. Deharnita, “Hubungan karakteristik dengan kejadian depresi


padalansia,”J. Keperawatan Jiwa, vol. 7, no. 2, pp. 183–190, 2019.

[16] N. A. Sayidah, M. Sajidin, and R. N. Hidayati, “Perbedaan Tingkat Depresi pada


Lansiayang Tinggal Bersama Keluarga dengan Tinggal di Panti Werdha Mojopahit
KabupatenMojokerto,”2019.
27
[17] M. Munir, “Hubungan Depresi terhadap Interaksi Sosial Lansia di UPTD
Griya WerdhaJambanganSurabaya.”Universitas Merdeka, 2018.

[18] R. Kowel, H. I. S. Wungouw, and V. D. Doda, “Pengaruh senam lansia


terhadap derajatdepresi padalansia di panti werda,”eBiomedik,vol. 4, no.1,
2016.

[19] R. Handayani and E. Oktaviani, “Hubungan Spiritualitas Dengan Depresi


Pada Lansia DiPanti Sosial Tresna Werdha (Pstw) Sabai Nan Aluih
Sicincin,”J. Endur., vol. 3, no. 1,pp. 14–24, 2018.

28

Anda mungkin juga menyukai