Anda di halaman 1dari 12

Take Home Exam “Kemuhammadiyahan” 20 Juli 2018 N. Satria Abdi, S.H.,M.H.

Name : Galuh Andini


St. Numb. : 1500004102
Class :B
Semester : VI

Ujian Akhir Semester


1.
a. Makna Khalifah menurut para ahli berdasar ayat Surat Al-Baqarah/2 : 30

ِ ‫َو ِإ ْذ قَا َل َربُّكَ ل ِْل َمالَئِ َك ِة ِإنِي َجا ِعلُُُ فِي األ َ ْر‬
‫ض َخلِيفَةً قَالُوا أَتَجْ عَ ُل فِي َها‬

َ‫ِس َلكَ قَا َل ِإنِي أ َ ْعلَ ُم َما الَ ت َ ْعلَ ُمون‬


ُ ‫س ِب ُح ِب َح ْمدِكَ َونُقَد‬ ِ ُ‫َمن يُ ْف ِس ُد فِي َها َو َي ْس ِفك‬
َ ُ‫الد َمآ َء َونَ ْحنُ ن‬

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui".

TAFSIR MUFRADAT

Khalifah berarti pengganti, yaitu pengganti dari jenis makhluk yang lain, atau pengganti,
dalam arti makhluk yang diberi wewenang oleh Allah agar melaksanakan perintahNya di
muka bumi. Tasbih berarti menyucikan Allah dengan meniadakan sifat-sifat yang tidak layak
bagi Allah. Taqdis, berarti menyucikan Allah dengan menetapkan sifat-sifat kesempurnaan
bagi Allah. Al-Asma’ adalah bentuk jamak dari ism. Secara harfiah al-asma’ berarti ma bihi
yu’lam al-syay’, yakni sesuatu (kata/lambang) yang dengannya diketahui sesuatu
(benda/orang dan sebagainya). Al-inba’ berarti al-ikhbar, yaitu memberitakan atau
mengabarkan sesuatu. Perkataan al-inba’ secara khusus dipergunakan dalam arti
memberitakan sesuatu yang penting nilainya. Al-‘Alim berarti yang maha mengetahui segala
sesuatu. Al-Hakim berarti yang maha bijaksana dalam segala perbuatan-Nya, yang tidak
berbuat sesuatu kecuali di dalamnya terkandung hikmah yang besar nilainya. (Tafsir Al-
Maraghi).

TAFSIR IJMALI

Ayat tersebut di atas menjelaskan ketetapan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Yang dimaksud dengan khalifah ialah makhluk Allah yang mendapat
kepercayaan untuk menjalankan kehendak Allah dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya di
muka bumi. Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan itu Allah mengajarkan kepada manusia
ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan manusia mempunyai kemampuan mengatur,
menundukkan, dan memanfaatkan benda-benda ciptaan Allah di muka bumi sesuai dengan
maksud diciptakannya.

PENJELASAN

Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan ketetapanNya untuk menciptakan manusia


dan menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi. Allah SWT berfirman : “Inni ja’ilun fi
al-ardh khalifah.” (“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi).” Ketika hal itu disampaikan kepada para malaikat, para malaikat itu bertanya kepada
Tuhan : “Apakah Engkau akan menjadikan di muka bumi orang yang akan membuat
kerusakan dan menumpahkan darah? Sedangkan kami, para malaikat, adalah makhluk yang
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan memahasucikan Engkau? Para malaikat itu
bertanya mengapa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah, karena mereka mengira
bahwa manusia yang diciptakan Allah sebagai khalifah itu akan membuat kerusakan di muka
bumi dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka
sebelum terciptanya manusia di mana ada makhluk yang berlaku demikian atau bisa juga
berdasar asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat maka
pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih dan menyucikan Allah
(Tafsir Al-Misbah, I, hal. 139). Maka Allah berfirman menjawab pertanyaan malaikat itu
dengan firmanNya : “Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Artinya, di balik
ketetapan Allah menciptakan manusia sebagai khalifah itu ada hikmah yang tersembunyi.
Allah mengetahui hikmah itu sedangkan para malaikat tidak mengetahuinya.

Mohammad Quraish Shihab menjelaskan arti khalifah sebagai berikut : “Khalifah


pada mulanya berarti “yang menggantikan” atau “yang datang sesudah siapa yang datang
sebelumnya”. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti yang
menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-
ketetapan-Nya, bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan
sebagai Tuhan. Dengan pengangkatan itu Allah bermaksud menguji manusia dan
memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan
makhluk lain dalam menghuni bumi ini.” (Tafsir Al-Mishbah, I, hal. 140).

Perkataan khalifah itu sendiri disebut dua kali di dalam Al-Qur’an. Pertama dalam
Surat Al-Baqarah/2 : 30, yang telah dikutip di atas. Kedua dalam Surat Surat Shad/38 : 26,
yang artinya “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan.”

Syaikh Thabathaba’i berkata yang dimaksud khilafah adalah khilafah ‘an Allah, yakni
pengganti, dalam arti makhluk yang mendapat kepercayaan sebagai wakil Allah di muka
bumi untuk menjalankan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Fungsi
kekhalifahan ialah mengatur, menundukkan, dan memanfaatkan benda-benda ciptaan Allah
di muka bumi ini sesuai dengan maksud diciptakannya. Hal ini sesuai dengan makna yang
terkandung dalam ayat berikutnya “wa ‘allama Adam Al-Asma’ (“Dan Allah mengajarkan
kepada Adam nama-nama.)” Dalam ayat tersebut yang dimaksud dengan Adam bukanlah
syakhsiyyat Adam, bukan Adam sebagai pribadi, akan Adam dan keturunannya yaitu
manusia pada umumnya. Khilafah dalam ayat tersebut diperuntukkan bagi manusia pada
umumnya. Bahwa khilafah itu mengandung arti umum juga diperkuat dengan ayat Al-Qur’an
“idz ja’alakum khulafa’ min ba’di qawm Nuh” (Al-A’raf/7 : 69), “Tsumma ja’alnakum
khala’ifa fi al-ardh” (Yunus/10 : 14), “Wa yaj’alakum khulafa al-ardh” (Al-Naml/27 : 62).

Perkataan Al-Asma’, secara harfiah berarti “nama-nama”, yang dimaksud ialah al-
asyya’ al-musammayat (benda-benda yang diberi nama). Mengajarkan nama-nama artinya
mengajarkan pengetahuan tentang benda-benda, sifatnya, fungsinya, kegunaannya dan
sebagainya. Telah dikemukakan yang dimaksud dengan Adam bukanlah Adam sebagai
seorang manusia, akan tetapi manusia secara keseluruhannya, yaitu Nabi Adam dan
keturunannya, dari semenjak penciptaan sampai hari kiamat. Dengan demikian yang
dimaksud mengajarkan nama-nama kepada Adam yang dimaksud bukanlah mengajar dengan
komunikasi lisan, tetapi untuk memberikan pengertian bahwa pengetahuan manusia tentang
nama-nama itu meliputi seluruh nama-nama, merupakan pengetahuan yang berkembang dari
masa ke masa, yang digunakan untuk kemajuan kehidupan di dunia.

Faruq Ahmad Dasuqi dalam bukunya Istikhlaf Al-Insan fi Al-Ardh menjelaskan


bahwa di dalam khilafah itu terdapat lima unsur. Pertama, yang memberi wewenang. Kedua,
yang diberi wewenang. Ketiga, apa tugas yang dibebankan. Keempat, syarat kekhalifahan.
Kelima, kapan berlangsungnya masa kekhalifahan dan bagaimana pertanggungannya.
Penjelasannya adalah sebagai berikut. Pertama, yang memberi wewenang ialah Allah. Kedua,
yang diberi wewenang ialah manusia, yaitu Nabi Adam dan keturunannya. Ketiga, tugas yang
dibebankan ialah tugas kekhalifahan di muka bumi, yaitu memakmurkan kehidupan di muka
bumi, menjadikan benda-benda bumi bermanfaat bagi dirinya dan alam semesta pada
umumnya sesuai dengan maksud diciptakannya. Keempat, syarat melaksanakan kekhalifahan
ialah dengan ilmu dan dengan petunjuk agama. Kelima, masa kekhalifahan ialah semenjak
penciptaan sampai hari kiamat dan tanggung jawab atau hisabnya adalah di hari pembalasan.
Dengan demikian khilafah adalah hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia
dengan alam semesta. Hubungan manusia dengan Allah yang membebankan taklif
kekhalifahan adalah hubungan ketaatan, kepatuhan, menjalankan perintah dan meninggalkan
larangan, dengan kata lain merupakan hubungan yang bersifat ‘ubudiyah. Hubungan manusia
dengan alam semesta ialah hubungan manusia sebagai khalifah dengan benda-benda di muka
bumi agar dipelihara dan digunakan untuk kehidupan yang baik di muka bumi. Dengan kata
lain hubungan yang bersifat siyadah (kepemimpinan) antara pemimpin yang dipimpin.
Khilafah adalah ‘ubudiyah dan sekaligus siyadah, ‘ubudiyah dilihat dari segi manusia dalam
hubungannya dengan Allah dan siyadah dilihat dari segi manusia dalam hubungannya dengan
alam semesta.

Syaikh Al-Maraghi berkata bahwa Surat Al-Baqarah/3 : 30 tersebut di atas yaitu ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan manusia sebagai khalifah Allah di muka
bumi termasuk ayat mutasyabihat, yaitu ayat yang samar artinya. Dalam ayat tersebut
digambarkan ada dialog yang digambarkan dalam bentuk tanya jawab antara Allah dan
malaikat. Dialog tersebut sulit dipahami bagaimana hakikatnya. Para ulama berbeda pendapat
mengenai ayat tersebut. (1). Pendapat mutaqaddimin (para ulama pada zaman dahulu),
mereka bersikap tafwidh kepada Allah, yakni menyerahkan segala urusan yang berkaitan
dengan apa yang dimaksud dengan firmanNya kepada Allah. Dengan kata lain mereka
mengatakan bahwa bagaimana terjadinya dialog antara Allah dengan malaikat, hanyalah
Allah yang mengetahui. Kita hanya dapat memahami maksud ayat tersebut secara ijmali,
yaitu menjelaskan tentang keistimewaan manusia dan kedudukannya sebagai khalifah Allah
di muka bumi. (2). Pendapat muta’akhhirin, yaitu mereka berkata bahwa dialog antara Allah
dan para malaikat, yang digambarkan dalam ayat tersebut di atas dalam bentuk tanya jawab,
sesungguhnya merupakan kisah perumpamaan. Dengan perumpamaan tersebut dimaksud
untuk memberikan pemahaman tentang penciptaan manusia dan keistimewaan yang
diberikan oleh Allah kepadanya. Manusia adalah makhluk yang diberi oleh Allah daya
berfikir dan kebebasan berkehendak yang oleh karenanya, seperti diindikasi oleh para
malaikat, manusia cenderung berbuat kerusakan di muka bumi. Maka Allah SWT
memberikan kepada manusia ilmu pengetahuan, dengan pengetahuan yang dianugerahkan
Allah itu manusia dapat mengemban amanat Allah sebagai khalifahNya di muka bumi.
Demikian Syaikh Al-Maraghi menjelaskan di dalam Tafsirnya. (Tafsir Al-Maraghi, Juz, I,
hal. 78-79).

DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, I, hal. 138-149. Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizan, I, hal.
115-123. Tafsir Al-Maraghi, Juz I, hal. 77-85. Faruq Ahmad Dasuqi, Istikhlaf Al-Insan fi Al-
Ardh, Dar Al-Da’wah, Iskandariah, t.t. “Khalifah” dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, Penerbit
Lentera Hati, edisi 1997, hal. 206.

b. Hubungan ayat dengan urusan muamalah duniawiyah Muhammadiyah

Mua’malah : Aspek kemasyarakatan yang mengatur pegaulan hidup manusia diatas bumi ini,
baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan
lain sebagainya.

Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-
Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat
diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”

Adapun prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting antara lain:

1. Menganut prinsip mubah.


2. Harus dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada yang dipaksa.
3. Harus saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan untuk menarik mamfaat
dan menolak kemudharatan.
4. Harus sesuai dengan prinsip keadilan.

Setidak tidaknya ada delapan kodrat potensi yang diungkapkan dalam Al Baqarah (2): 30
Pertama, makhluk kebudayaan. Kodrat manusia sebagai makhluk kebudayaan merupakan
konsekuensi dari kedudukannya sebagai khalifah atau wakil Allah di bumi yang ditegaskan
dalam al Baqarah (2): 30. Di atas telah dijelaskan bahwa sebagai khalifah, ia harus
menciptakan dan mengembangkan sistem pengetahuan, sistem sosial dan sistem artifak. Ini
berarti kodrat itu berfungsi menjadi kemampuan manusia untuk menjalani hidup dengan
belajar, tidak hanya dengan insting. Menjalani hidup dengan belajar itu membuat manusia
bisa mengembangkan kebudayaan dari waktu ke waktu sehingga mencapai peradaban tinggi
seperti yang disaksikan sekarang.
Kedua, makhluk pengertian. Manusia memiliki kodrat ini karena ia memiliki indera, akal
dan ruh. Kodrat ini berupa kemampuan mengetahui, memahami, membuat konsep atau
sebutan dan membuat klasifikasi obyek sehingga manusia memiliki pengertian tentang semua
wujud. Kodrat ini dijelaskan dalam al Baqarah (2): 31Pengelolaan kodrat itu dengan baik
membuat manusia menjadi makhluk Allah yang paling mulia karena bisa memperoleh
semua kebaikan dan menolak semua keburukan yang dalam Al Baqarah (2): 34 digambarkan
dengan kesediaan malaikat dan penolakan Iblis bersujud kepada Adam. Dalam perspektif
filsafat, pengelolaan dengan baik itu adalah mengelola pengertian supaya berfungsi penuh
sehingga dapat: menjiwai kehidupan dan perbuatan manusia; mempersatukan manusia
dengan dunianya; mempersatukan manusia dengan sesamanya; mempersatukan manusia
dengan dirinya sendiri; dan membuat manusia menangkap transendensinya sehingga bisa
menyempurnakan dirinya dengan tuntutan transendensinya itu.
Ketiga, makhluk merdeka. Manusia menjadi makhluk merdeka karena memiliki kehendak
bebas yang membuatnya bisa memiliki pilihan dan menentukan nasibnya sendiri. Sadar atau
tidak, apapun yang ia lakukan atau menjadi apapun dia, sebenarnya merupakan pilihannya
sendiri, termasuk “pilihan” menerima paksaan ketika dipaksa orang lain. Karena melakukan
apapun atas kehendak bebasnya, maka dia diminta untuk memperpertanggungjawabkannya,
sehingga kehendak bebas itu ibaratnya pisa bermata dua baginya, indah tapi berat. Kehendak
bebas dalam ayat lain disebut amanat.
Keempat, makhluk sosial. Manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial yang tidak
dapat hidup sendirian. Dia hanya bisa hidup bersama dengan manusia yang lain dalam
kelompok keluarga dan masyarakat. Kodrat ini diungkapkan dengan perintah kepada Adam
dan Hawa untuk tinggal bersama di surga
Kelima, makhluk ekonomi. Manusia menurut kodratnya adalah makhluk ekonomi yang
harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya untuk mempertahankan eksistensinya. Kodrat ini
diungkapkan dengan perintah untuk makan dari seluruh sumber makanan yang ada di surga,
selain buah larangan (al Baqarah, 2: 23). Kebutuhan manusia sangat luas dan tidak terbatas
pada makanan. Apabila ayat itu hanya menyebutkan kebutuhan makan, maka itu tidak
dimaksudkan untuk membatasi, tapi untuk menunjukkan kodrat yang harus diperhatikan dan
dikelola dengan baik supaya eksistensinya tetap terjaga dan tidak punah.
Keenam, makhluk tata aturan. Manusia menurut kodratnya merupakan makhluk yang
membutuhkan tata aturan dalam hidupnya.Manusia tidak bisa hidup tanpa aturan dalam
kehidupan pribadi maupun kehidupan kelompok. Kodrat ini diungkapkan dalam larangan
kepada Adam dan Hawa untuk mendekati buah larangan. Berdasarkan pemahaman kodrat ini,
maka pohon larangan itu tidak menunjuk pada pohon tumbuh tumbuhan: gandum, zaitun dan
lain-lain, sebagaimana yang disebutkan beberapa mufasir, tapi pohon yang berhubungan
dengan tata aturan. Apabila tata aturan itu dibatasi pada hukum, maka pohon yang tidak boleh
didekati itu adalah pohon kejahatan, seperti yang dikemukakan Nurcholish Madjid moral dan
tata pergaulan, maka pohon larangan itu adalah pohon kejahatan, keburukan dan
ketidakpantasan.
Ketujuh, makhluk spiritual. Manusia menurut kodratnya merupakan makhluk spiritual
yang mampu menangkap adanya Wujud Adikodrati (Tuhan) dan memberi respon terhadap
keberadaanNya sesuai dengan kekaguman dan ketakutan yang dirasakannya. Kodrat ini
diungkapkan dengan ketaatan Adam menerima dan mengikuti perintah Allah untuk
menjelaskan konsep konsep wujud kepada para malaikat dan untuk tinggal bersama isterinya
di surga; dan dengan pertobatan yang dilakukannya setelah melakukan kesalahan yang
membuatnya terusir dari surga (al Baqarah [2]: 33, 35 dan 37). Di samping itu juga
diungkapkan dengan kesediaan manusia mengikuti petunjukNya (alBaqarah [2]: 38).
Kedelapan, makhluk konflik. Manusia menurut kodratnya merupakan makhluk yang
memiliki kepentingan sehingga terjadi benturan kepentingan antara satu orang dan satu
kelompok dengan orang dan kelompok yang lain. Dalam pandangan klasik kodrat ini
dipahami sebagai bagian dari wujud nafsu hewani karena kehidupan manusia dipahami
sebagai bagian dari animal kingdom.Namun ungkapan kodrat itu dalam al Baqarah (2): 36
tidak mendukung pandangan itu. Ayat ini memuat firman sangat indah. Setelah firman
“Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi lawan yang lain”, ada firman “Bagi kamu ada
tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” Ungkapan firman ini
menunjukkan bahwa konflik yang menjadi kodrat itu tidak untuk memusnahkan manusia, tapi
untuk membuat dia mapan dan senang dalam kehidupannya di bumi. Jadi konflik itu bukan
bagian dari animal kingdom,tapi bagian dari human kingdom.

c. Hubungan Muhammadiyah dengan Pancasila dan NKRI


Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata
dari Sanskerta. pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan
rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) UUD ‘45. Secara etimologis kata
”filsafat“ berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang berarti “cinta kearifan” kata
philosophia tersebut berasal dari kata“philos” (pilia, cinta) & “sophia” (kearifan).
Berdasarkan pengertian bahasa tersebut filsafat berarti juga cinta kearifan. Kata kearifan bisa
juga bermakna “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat dapat juga bermakna cinta
kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti
merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi
konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Seorang ahli pikir disebut
filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos. Pengetahuan bijaksana memberikan
kebenaran, orang, yang mencintai pengetahuan bijaksana, karena itu yang mencarinya adalah
oreang yang mencintai kebenaran. Tentang mencintai kebenaran adalah karakteristik dari
setiap filosof dari dahulu sampai sekarang. Di dalam mencari kebijaksanaan itu, filosof
mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya (merenung). Hasil filsafat (berpikir
sedalam-dalamnya) disebut filsafat atau falsafah. Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-
dalamnya diharapkan merupakan suatu yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya
mendekati kesempurnaan.
Pada dasarnya mayoritas muslim diIndonesia tidak menentang Pancasila sebab para
penyusunnya pun mayoritas adalah Muslim. Apabila dilihat asal atau “Ruh” Pancasila adalah
Piagam Jakarta. Piagam Jakarta inipun merupakan pemikiran cendekiawan Muslim pada
masa itu. Piagam jakarta ini sangat memfasilitasi keinginan umat Islam dalam berpegang
pada syariatnya, bahkan sebeulnya ia juga memfasilitasi umat lainnya. Tetapi, tidak sedikit
orang yang melupakan bahwa justru Piagam inilah yang dengan sangat tegas menyebut
kelima sila dalam Pancasila mendahului UUD 1945 itu sendiri. Seperti kata Sukarno Piagam
ini adalah hasil kompromis yang sebaik-baiknya (Adian Husaini, 2009: 17-18). Namun,
selalu saja ada yang salah paham dengan keinginan hakiki Islam ini. ada pihak-pihak yang
mengkampanyekan stigma bahwa umat Islam itu anti Pancasila. Juga, muncul berbagai
tuduhan lain yang sangat memojokkan umat Islam keutamaan Pancasila menurut Ahmad
Tafsir, adalah pada sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa: (Ahmad Tafsir, 1982:47-
53). Bila ketuhanan yang maha Esa adalah core Pancasila, maka turunnya (UUD
1945,UU,PP,SKM,JUKNIS) haruslah menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai core
sedangkan landasan HAM di Indonesia adalah Sila Kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab” konsep “adil” dan “beradab” pada Sila kedua itu seharusnya dipahami
sebagai Konsep yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Sebelum kedatangan Islam di
Indonesia, kata “adil” dan “adab” belum dikenal, sehingga untuk memahaminya seharusnya
dirujuk kepada makna-makna yang dipahami dalam konsep Islam, bukan pada Pandangan
dunia lainnya.
Pendiri Muhammadiyah (Raden Ngabehi Kiai Haji Ahmad Dahlan) mengatakan tentang
padangannya pada masalah kemanusiaan, hubungan antar bangsa, ilmu dan pokok-pokok
kitab suci Al-Qur’an yaitu “ Kebanyakan pemimpin-pemimpin belum menuju baik dan
enaknya segala manusia, baru memerlukan kaumnya golongan sendiri saja, kaumnya tiada
diperdulikan. Jika badannya sendiri sudah mendapat kesenangan, pada perasaannya sudah
berpahala, sudah sampai pada maksudnya......begitu juga sudah menjadi kebiasaan orang,
segan dan tiada mau menerima barang apa saja yang kelihatan baru, barang yang kelihatan
baru itu menjadikan celaka dan susah, meskipun sudah kenyataan bahwa orang yang
menjalani barang yang baru senang mendapat kesenangan dan kebahagiaan. Hal itu terkecuali
orang-orang yang memang bersungguh-sungguh berikhtiar buat gunanya orang banyak, dan
suka memikir dan merasakan dengan panjang dan dalam”. (Abdul Munir Mulkhan 2010:5
Maka dari Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) adalah Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan
sejalan dengan ajaran Islam. Sila-sila yang tercantum dalam Pancasila mulai Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia; esensinya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam dan dapat
diisi serta diaktualisasikan menuju kehidupan yang dicita-citakan umat Islam, yaitu Baldatun
Thayibatun Wa Rabbun, negeri yang baik dan dalam ampunan Allah swt.
Menurut Muhamamdiyah, Negara pancasila yang mengandung jiwa, pikiran dan cita-cita
luhur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diaktualisasikan
sebagai Baldatun Thayibatun Wa Rabbun,yang berperikehidupan maju, adil, makmur ,
bermartabat dan berdaulat dalam naungan ridha Allah swt. Selain itu Muhammadiyah
memiliki pandangan bahwa Negara Pancasila merupakan hasil consensus nasional (dar al-
‘ahdi) dan sebagai tempat persaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan
damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, serta
berdaulat dalam naungan ridha Allah swt. Pandangan kebangsaan tersebut sejalan dengan
cita-cita Islam tentang Negara idaman “Baldatun Thayibatun Wa Rabbun”.
Muhammadiyah juga menilai bahwa Pancasila itu Islami karena subtansi pada setiap sila-nya
selaras dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Dalam Pancasila terkandung ciri ke-
Islaman yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, hubungan individu dan
masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, keadilan dan kemakmuran. Sehingga umat
Islam bisa menjadi uswah hasanah dalam mewujudkan cita-cita Baldatun Thayibatun Wa
Rabbun. Sebagaimana terkandung dalam butir ke-lima Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah (MKCH) 1969, sebagai suatu kesyukuran serta wujud tanggungjawab
keagamaan dan kebangsaan, “Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia
yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber
kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan
Undang-undang Dasar (UUD) 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu Umat
Islam semestinya menjadikan Negara Pancasila sebagai Negara tempat membuktikan diri
dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna menuju kemajuan di
segala bidang kehidupan. Umat Islam harus ber-fastabiqul khairat dengan kreasi dan inovasi
terbaik. Muhammadiyah sebagai kekuatan strategis umat dan bangsa berkomitmen untuk
membangun Negara Pancasila dengan pandangan Islam yang berkemajuan.
Untuk itu Muhammadiyah berjuang di Negara Pancasila menuju Indonesia
Berkemajuan sesuai kepribadiannya yaitu : Pertama, Beramal dan berjuang untuk perdamaian
dan kesejahteraan. Kedua, Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah islamiyah.
Ketiga, Lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam. Keempat,
Bersifat keagaamaan dan kemasyarakatan. Kelima, Mengindahkan segala hukum, undang-
undang, peraturan serta dasar dan falsafah Negara yang sah. Keenam, Amar ma’ruf nahi
munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh yang baik. Ketujuh,Aktif dalam
perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai ajaran Islam.
Kedelapan, Bekerjasama dengan golongan Islam manapun dalam usaha menyiarkan dan
mengamalkan agama Islam, serta membela kepentingannya. Kesembilan, Membantu
pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun
negar amencapai masyarakat Islam sebenar-benarnya. Kesepuluh, Bersifat adil serta korektif
ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Selain itu Muhammadiyah memandang Pancasila sebagai sesuatu hal yang dapat
diteladani seperti kita lihat banyak gagasan-gagasan Kiai Haji Ahmad Dahlan yang
bersangkut pautkan dengan nilai-nilai Pancasila selain itu banyak pula sikap yang perlu kita
teruskan dari semua gagasan yang dicetuskan Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Sebagai asas bagi berbagai organisasi sosial, politik dan agama ini, maka
Muhammadiyah telah menorehkan sejarah baru dalam politik kebangsaan indonesia.
Pandangannya dalam menyikapi ke Indonesiaan adalah sama. Muhammadiyah sebagai
organisasi pergerakan islam terbesar di Indonesia ini lah yang turut memperjuangkan seribu
kemerdekaan indonesia dan mendesain dasar dasar negaranya berupa pancasila dan UUD
1945.Kedua, orientasi kemajuan bangsaan dan negara, suatu hal yang patut disyukuri bahwa
Muhammadiyah masih tetap bertahan menghadapi sejarah dan arus peradaban serta semakin
menampilkan kiprahnya dalam memajukan kehidupan bangsa menuju ke unggulan dan
kejayaan. Sepanjang perjalanan sejarahnya sudah banyak yang di sumbangkan kepada bangsa
indonesia melalui gerakan kecerdasan, peningkatan kualitas kesehatan, pemberdayaan
terhadap kehidupan ekonomi dalam masyarakat, selain tentu pencerahan dalam kehidupan
dalam beragama islam. Semua usaha itu di lakukan dengan semangat dan untuk kepentingan
dakwah islamiyah, yaitu mengajak dalam kebaikan dan keterbaikan.( Prof. Munir
Mulkhan)Namun, di samping itu Muhamadiyah perlu juga mengevaluasi dan
mengintrospeksi, karena Muhammadiyah belum menjadi faktor yang efektif dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam konteks itu, perlu di akui bahwa bangsa ini belum mampu bangkit
menuju kemajuan yang berarti. Prof. Munir Mulkhan menyebut, ada empat kolaborasi islam
dalam muhammadiyah berkaitan dengan dinamika kebangsaan sekaligus sebagai praksis
teologis ahmad dahlan yang di pahami oleh warga muhammadiyah yakni kelompok pertama,
adalah model Al-ikhlas yang mengamalkan ajaran keyakinan dan persis hasil fatwa dalam
himpunan putusan tarjih, dan mewarisi watak asli islam yang anti TBC. Kelompok kedua
model KHA. Dahlan. Kelompok ini tergolong juga kuritan namun lebih toleran terhadap
orang yang mempraktekan tbc (Tahayul, Bid’ah, Curafat) walaupun mereka tidak
melakukannya sendiri.
Pancasila menurut Muhammadiyah "Pancasila bukan agama, akan tetapi substansinya
mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Pancasila merupakan rahmat Allah untuk
bangsa Indonesia yang merdeka dan berkemajuan," .

2.
a. Tatacara bermasyarakat dalam Islam
Hidup Bermasyarakat adalah sebuah kepastian bagi manusia, karena kenyataan bahwa
manusia dilahirkan ditengah masyarakat, hidup dan matinya di tengah masyarakat. Oleh
karena itu perlu ada aturan yang mengatur hubungan dalam masyarakat. Tanpa adanya
aturan yang berlaku dalam masyarakat tidak akan bisa hidup baik dan sempurna.
Dasar masyarakat dalam ajaran Islam adalah Islam itu sendiri. Karena manusia
semuanya diperintahkan untuk menganutnya, dan diperintahkan mengetahui
kedudukannya dalam kehidupan ini dan mengetahui hubungan manusia dengan alam dan
sebab apa dia dijadikan. Islam mengarahkan pemikiran manusia, perbuatan dan tindak
tanduknya, dan yang menjadi dasar pegangannya dalam semua keadaan. Kalau manusia
dianggap sebagai makhluk sosial, maka Islam mengarahkan mereka dalam membina
masyarakat ini dan sistem Islamlah yang menjadi pilihannya.
Dengan kata lain, haruslah pembinaan didasarkan kepada Dienul Islam sehingga
setiap individu berbuat sesuai dengan ajaran Islam, baik dia sebagai individu maupun
sebagai masyarakat. Begitu juga masyarakatnya dijadikan suatu masyarakat yang diatur
oleh Islam yang menjadi kepercayaan masyarakatnya. Dengan demikian setiap orang yang
menganut Islam dan meyakininya, dapat menjadi anggota masyarakat Islam dan
berkewajiban mempertahankan serta berusaha untuk mencapai tujuannya.
Pengaruh ajaran Islam dalam memperbaiki hubungan individu-individu dalam
masyarakat antara lain :

 Terjalin Ikatan Keimanan

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara" (QS Al Hujurat (49), 10)
"Orang yang muslim itu adalah saaudara orang muslim yang lain" (HR.
Mutafaqun'alaih)

Islam menganggap setiap orang yang mengimani ajaran Islam adalah bersaudara.
Persaudaraan ini, berdasar firman Allah dan Hadits sebagai tersebut diatas adalah
persaudaraan yang diikat oleh keimanan yang sangat kokoh, dan dengan ikatan itulah akan
lahir perasaan-perasaan ingin selalu membantu dan menolong sesama saudaranya.
Ikatan keimanan dalam Islam tidak akan menimbulkan perkosaan orang yang bukan
Islam. Islam masih menerima orang-orang non-Islam menjadi anggota masyarakatnya dan
diberi jaminan dan perlindungan yang cukup. Sekalipun orang non- Islam tidak termasuk
dalam ikatan persaudaraan dalam agama, namun mereka tidak kehilangan hak
perlindungan dari kaum muslimin. Inilah keistimewaan ajaran Islam. Firman Allah :

"Janganlah kamu tertarik menjadi aniaya oleh karena benci kaum kafir kepadamu,
supaya kamu tidak berlaku adil, hendaklah kamu adil karena adil itu dekat kepada taqwa"
(QS Al-Maidah (5), 8)

"Tiada Allah melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang- orang yang
tidak memerangi kamu lantaran agamamu dan tidak pula mengusir kamu dari tanah air
kamu, sesungguhnya Allah mengasihi orang-ornaag yang berlaku adil" (QS Al-
Mumtahannah (60), 8)

Rasulullah bersabda :

"Barangsiapa yang mengganggu orang (yaitu orang bukan Islam dalam negara Islam)
sesungguhnya dia telah mengganggu aku" (Al- Hadits)

 Terhapusnya perasaan Kesukuan

"Bukan dari golongan kami, orang yang menyeru kepada kesukuan (Ashabiyah) dan
bukan pula dari golongan kami orang yang mati membelah kesukuan" (Al Hadits)
"Tinggalkan dia (yaitu Ashabiyah) karena adalah fitnah" (Al Hadits)

Yang dimaksud dengan kesukuan adalah bantu membantu baik dalam kebenaran
maupun dalam kebathilan karena adanya persamaan suku, yakni keturunan atau keluarga.
Semboyan Jahiliyah yang terkenal dalam masalah ini adalah "Tolonglah saudaramu baik
dianiaya maupun menganiaya".
Semboyan ini menyeru setiap orang selalu membantu saudarnya dalam keadaan apa
saja, dalam keadaan benar maupun dalam keadaan salah. Islam sangat keras menetang
semboyan Ashabiyah ini. Kemudian Islam membawa semboyannya : "Cegahlah
saudaramu yang berbuat aniaya (berlaku dhalim) dan bantulah saudaramu yang teraniaya".
Islam dalam menentang sistem Ashabiyah ini tidak hanya terbatas kepada kesukuan yang
didasarkan atas keturunan, bahkan meluas kepada segala macam kesukuan yang
bersumber dari yang lain.

 Taqwa kepada Allah adalah Dasar Kelebihan antara Manusia

"Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal". (QS Al-Hujurat (49), 13)

Dengan terhapusnya kesukuan maka terhapus pula fanatik kepada bangsa dan
keturunannya. Orang yang terlalu fanatik dalam suku bangsa tertentu misalnya, akan
menimbulkan perasaan bangga dan sombong, angkuh. Di sisi Allah orang paling mulia
adalah orang yang paling bertaqwa. Dengan demikian konsep berbangga diri, fanatik
kepada suku bangsa dan keturunannya sangat hina di hadapan Allah SWT.

b. Seorang muslim berinteraksi dengan non - muslim


Jika orang kafir tersebut adalah tetangga(mu), maka berbuat baiklah Anda kepadanya
dan janganlah Anda mengganggunya dalam bertetangga. Dan bersedekahlah kepadanya jika
ia adalah orang yang fakir, berilah hadiah dan nasehatilah ia dengan nasehat yang
bermanfaat.Karena hal ini merupakan perkara yang menyebabkan kecintaannya kepada
agama Islam dan masuknya ia kedalam Islam dan karena seorang tetangga itu memiliki hak
(atas tetangganya, pent.).Sesungguhnya ada beberapa perkara yang termasuk disyari’atkan
bagi seorang muslim dalam berinteraksi dengan non muslim, diantaranya adalah :Pertama,
berdakwah ilallah, yaitu seorang muslim mengajak non muslim untuk menyembah Allah dan
menjelaskan kepadanya hakekat Islam, jika memang hal itu memungkinkan baginya dan ia
memang memiliki ilmu (tentangnya). Karena hakekatnya ini adalah perbuatan baik yang
terbesar dan terpenting. Seorang muslim memberi petunjuk kepada orang-orang yang
senegara dengannya dan orang-orang nashara (kristen), yahudi ataupun kaum musyrik yang
lainnya yang tinggal satu daerah dengannya,Kedua, jika orang non muslim tersebut adalah
seorang kafir dzimmi atau musta`min atau mu’ahad, maka seorang muslim tidak boleh
menzhaliminya, tidak pada jiwa, harta maupun kehormatannya, karena ia menunaikan hak
kepada seorang muslim, maka tidak boleh seorang muslim menzhaliminya, (baik) tidak
(mezhaliminya) pada hartanya (misalnya) dengan tidak mencuri, tidak berkhianat dan tidak
menipu(nya). Tidak pula menzhaliminya pada badannya (misalnya) dengan tidak memukul
dan selainnya. Karena statusnya sebagai seorang kafir yang mu’ahad atau dzimmi di suatu
negeri atau musta`min yang (harus) dijaganya, Ketiga, seorang muslim tidak dilarang
berinteraksi dengan non muslim dalam masalah jual beli, sewa menyewa dan semisalnya,
Keempat, (adapun) tentang masalah salam, tidak boleh memulai mengucapkan salam
kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai