ِ َو ِإ ْذ قَا َل َربُّكَ ل ِْل َمالَئِ َك ِة ِإنِي َجا ِعلُُُ فِي األ َ ْر
ض َخلِيفَةً قَالُوا أَتَجْ عَ ُل فِي َها
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui".
TAFSIR MUFRADAT
Khalifah berarti pengganti, yaitu pengganti dari jenis makhluk yang lain, atau pengganti,
dalam arti makhluk yang diberi wewenang oleh Allah agar melaksanakan perintahNya di
muka bumi. Tasbih berarti menyucikan Allah dengan meniadakan sifat-sifat yang tidak layak
bagi Allah. Taqdis, berarti menyucikan Allah dengan menetapkan sifat-sifat kesempurnaan
bagi Allah. Al-Asma’ adalah bentuk jamak dari ism. Secara harfiah al-asma’ berarti ma bihi
yu’lam al-syay’, yakni sesuatu (kata/lambang) yang dengannya diketahui sesuatu
(benda/orang dan sebagainya). Al-inba’ berarti al-ikhbar, yaitu memberitakan atau
mengabarkan sesuatu. Perkataan al-inba’ secara khusus dipergunakan dalam arti
memberitakan sesuatu yang penting nilainya. Al-‘Alim berarti yang maha mengetahui segala
sesuatu. Al-Hakim berarti yang maha bijaksana dalam segala perbuatan-Nya, yang tidak
berbuat sesuatu kecuali di dalamnya terkandung hikmah yang besar nilainya. (Tafsir Al-
Maraghi).
TAFSIR IJMALI
Ayat tersebut di atas menjelaskan ketetapan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Yang dimaksud dengan khalifah ialah makhluk Allah yang mendapat
kepercayaan untuk menjalankan kehendak Allah dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya di
muka bumi. Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan itu Allah mengajarkan kepada manusia
ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan manusia mempunyai kemampuan mengatur,
menundukkan, dan memanfaatkan benda-benda ciptaan Allah di muka bumi sesuai dengan
maksud diciptakannya.
PENJELASAN
Perkataan khalifah itu sendiri disebut dua kali di dalam Al-Qur’an. Pertama dalam
Surat Al-Baqarah/2 : 30, yang telah dikutip di atas. Kedua dalam Surat Surat Shad/38 : 26,
yang artinya “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan.”
Syaikh Thabathaba’i berkata yang dimaksud khilafah adalah khilafah ‘an Allah, yakni
pengganti, dalam arti makhluk yang mendapat kepercayaan sebagai wakil Allah di muka
bumi untuk menjalankan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Fungsi
kekhalifahan ialah mengatur, menundukkan, dan memanfaatkan benda-benda ciptaan Allah
di muka bumi ini sesuai dengan maksud diciptakannya. Hal ini sesuai dengan makna yang
terkandung dalam ayat berikutnya “wa ‘allama Adam Al-Asma’ (“Dan Allah mengajarkan
kepada Adam nama-nama.)” Dalam ayat tersebut yang dimaksud dengan Adam bukanlah
syakhsiyyat Adam, bukan Adam sebagai pribadi, akan Adam dan keturunannya yaitu
manusia pada umumnya. Khilafah dalam ayat tersebut diperuntukkan bagi manusia pada
umumnya. Bahwa khilafah itu mengandung arti umum juga diperkuat dengan ayat Al-Qur’an
“idz ja’alakum khulafa’ min ba’di qawm Nuh” (Al-A’raf/7 : 69), “Tsumma ja’alnakum
khala’ifa fi al-ardh” (Yunus/10 : 14), “Wa yaj’alakum khulafa al-ardh” (Al-Naml/27 : 62).
Perkataan Al-Asma’, secara harfiah berarti “nama-nama”, yang dimaksud ialah al-
asyya’ al-musammayat (benda-benda yang diberi nama). Mengajarkan nama-nama artinya
mengajarkan pengetahuan tentang benda-benda, sifatnya, fungsinya, kegunaannya dan
sebagainya. Telah dikemukakan yang dimaksud dengan Adam bukanlah Adam sebagai
seorang manusia, akan tetapi manusia secara keseluruhannya, yaitu Nabi Adam dan
keturunannya, dari semenjak penciptaan sampai hari kiamat. Dengan demikian yang
dimaksud mengajarkan nama-nama kepada Adam yang dimaksud bukanlah mengajar dengan
komunikasi lisan, tetapi untuk memberikan pengertian bahwa pengetahuan manusia tentang
nama-nama itu meliputi seluruh nama-nama, merupakan pengetahuan yang berkembang dari
masa ke masa, yang digunakan untuk kemajuan kehidupan di dunia.
Syaikh Al-Maraghi berkata bahwa Surat Al-Baqarah/3 : 30 tersebut di atas yaitu ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan manusia sebagai khalifah Allah di muka
bumi termasuk ayat mutasyabihat, yaitu ayat yang samar artinya. Dalam ayat tersebut
digambarkan ada dialog yang digambarkan dalam bentuk tanya jawab antara Allah dan
malaikat. Dialog tersebut sulit dipahami bagaimana hakikatnya. Para ulama berbeda pendapat
mengenai ayat tersebut. (1). Pendapat mutaqaddimin (para ulama pada zaman dahulu),
mereka bersikap tafwidh kepada Allah, yakni menyerahkan segala urusan yang berkaitan
dengan apa yang dimaksud dengan firmanNya kepada Allah. Dengan kata lain mereka
mengatakan bahwa bagaimana terjadinya dialog antara Allah dengan malaikat, hanyalah
Allah yang mengetahui. Kita hanya dapat memahami maksud ayat tersebut secara ijmali,
yaitu menjelaskan tentang keistimewaan manusia dan kedudukannya sebagai khalifah Allah
di muka bumi. (2). Pendapat muta’akhhirin, yaitu mereka berkata bahwa dialog antara Allah
dan para malaikat, yang digambarkan dalam ayat tersebut di atas dalam bentuk tanya jawab,
sesungguhnya merupakan kisah perumpamaan. Dengan perumpamaan tersebut dimaksud
untuk memberikan pemahaman tentang penciptaan manusia dan keistimewaan yang
diberikan oleh Allah kepadanya. Manusia adalah makhluk yang diberi oleh Allah daya
berfikir dan kebebasan berkehendak yang oleh karenanya, seperti diindikasi oleh para
malaikat, manusia cenderung berbuat kerusakan di muka bumi. Maka Allah SWT
memberikan kepada manusia ilmu pengetahuan, dengan pengetahuan yang dianugerahkan
Allah itu manusia dapat mengemban amanat Allah sebagai khalifahNya di muka bumi.
Demikian Syaikh Al-Maraghi menjelaskan di dalam Tafsirnya. (Tafsir Al-Maraghi, Juz, I,
hal. 78-79).
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, I, hal. 138-149. Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizan, I, hal.
115-123. Tafsir Al-Maraghi, Juz I, hal. 77-85. Faruq Ahmad Dasuqi, Istikhlaf Al-Insan fi Al-
Ardh, Dar Al-Da’wah, Iskandariah, t.t. “Khalifah” dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, Penerbit
Lentera Hati, edisi 1997, hal. 206.
Mua’malah : Aspek kemasyarakatan yang mengatur pegaulan hidup manusia diatas bumi ini,
baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan
lain sebagainya.
Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-
Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat
diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”
Setidak tidaknya ada delapan kodrat potensi yang diungkapkan dalam Al Baqarah (2): 30
Pertama, makhluk kebudayaan. Kodrat manusia sebagai makhluk kebudayaan merupakan
konsekuensi dari kedudukannya sebagai khalifah atau wakil Allah di bumi yang ditegaskan
dalam al Baqarah (2): 30. Di atas telah dijelaskan bahwa sebagai khalifah, ia harus
menciptakan dan mengembangkan sistem pengetahuan, sistem sosial dan sistem artifak. Ini
berarti kodrat itu berfungsi menjadi kemampuan manusia untuk menjalani hidup dengan
belajar, tidak hanya dengan insting. Menjalani hidup dengan belajar itu membuat manusia
bisa mengembangkan kebudayaan dari waktu ke waktu sehingga mencapai peradaban tinggi
seperti yang disaksikan sekarang.
Kedua, makhluk pengertian. Manusia memiliki kodrat ini karena ia memiliki indera, akal
dan ruh. Kodrat ini berupa kemampuan mengetahui, memahami, membuat konsep atau
sebutan dan membuat klasifikasi obyek sehingga manusia memiliki pengertian tentang semua
wujud. Kodrat ini dijelaskan dalam al Baqarah (2): 31Pengelolaan kodrat itu dengan baik
membuat manusia menjadi makhluk Allah yang paling mulia karena bisa memperoleh
semua kebaikan dan menolak semua keburukan yang dalam Al Baqarah (2): 34 digambarkan
dengan kesediaan malaikat dan penolakan Iblis bersujud kepada Adam. Dalam perspektif
filsafat, pengelolaan dengan baik itu adalah mengelola pengertian supaya berfungsi penuh
sehingga dapat: menjiwai kehidupan dan perbuatan manusia; mempersatukan manusia
dengan dunianya; mempersatukan manusia dengan sesamanya; mempersatukan manusia
dengan dirinya sendiri; dan membuat manusia menangkap transendensinya sehingga bisa
menyempurnakan dirinya dengan tuntutan transendensinya itu.
Ketiga, makhluk merdeka. Manusia menjadi makhluk merdeka karena memiliki kehendak
bebas yang membuatnya bisa memiliki pilihan dan menentukan nasibnya sendiri. Sadar atau
tidak, apapun yang ia lakukan atau menjadi apapun dia, sebenarnya merupakan pilihannya
sendiri, termasuk “pilihan” menerima paksaan ketika dipaksa orang lain. Karena melakukan
apapun atas kehendak bebasnya, maka dia diminta untuk memperpertanggungjawabkannya,
sehingga kehendak bebas itu ibaratnya pisa bermata dua baginya, indah tapi berat. Kehendak
bebas dalam ayat lain disebut amanat.
Keempat, makhluk sosial. Manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial yang tidak
dapat hidup sendirian. Dia hanya bisa hidup bersama dengan manusia yang lain dalam
kelompok keluarga dan masyarakat. Kodrat ini diungkapkan dengan perintah kepada Adam
dan Hawa untuk tinggal bersama di surga
Kelima, makhluk ekonomi. Manusia menurut kodratnya adalah makhluk ekonomi yang
harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya untuk mempertahankan eksistensinya. Kodrat ini
diungkapkan dengan perintah untuk makan dari seluruh sumber makanan yang ada di surga,
selain buah larangan (al Baqarah, 2: 23). Kebutuhan manusia sangat luas dan tidak terbatas
pada makanan. Apabila ayat itu hanya menyebutkan kebutuhan makan, maka itu tidak
dimaksudkan untuk membatasi, tapi untuk menunjukkan kodrat yang harus diperhatikan dan
dikelola dengan baik supaya eksistensinya tetap terjaga dan tidak punah.
Keenam, makhluk tata aturan. Manusia menurut kodratnya merupakan makhluk yang
membutuhkan tata aturan dalam hidupnya.Manusia tidak bisa hidup tanpa aturan dalam
kehidupan pribadi maupun kehidupan kelompok. Kodrat ini diungkapkan dalam larangan
kepada Adam dan Hawa untuk mendekati buah larangan. Berdasarkan pemahaman kodrat ini,
maka pohon larangan itu tidak menunjuk pada pohon tumbuh tumbuhan: gandum, zaitun dan
lain-lain, sebagaimana yang disebutkan beberapa mufasir, tapi pohon yang berhubungan
dengan tata aturan. Apabila tata aturan itu dibatasi pada hukum, maka pohon yang tidak boleh
didekati itu adalah pohon kejahatan, seperti yang dikemukakan Nurcholish Madjid moral dan
tata pergaulan, maka pohon larangan itu adalah pohon kejahatan, keburukan dan
ketidakpantasan.
Ketujuh, makhluk spiritual. Manusia menurut kodratnya merupakan makhluk spiritual
yang mampu menangkap adanya Wujud Adikodrati (Tuhan) dan memberi respon terhadap
keberadaanNya sesuai dengan kekaguman dan ketakutan yang dirasakannya. Kodrat ini
diungkapkan dengan ketaatan Adam menerima dan mengikuti perintah Allah untuk
menjelaskan konsep konsep wujud kepada para malaikat dan untuk tinggal bersama isterinya
di surga; dan dengan pertobatan yang dilakukannya setelah melakukan kesalahan yang
membuatnya terusir dari surga (al Baqarah [2]: 33, 35 dan 37). Di samping itu juga
diungkapkan dengan kesediaan manusia mengikuti petunjukNya (alBaqarah [2]: 38).
Kedelapan, makhluk konflik. Manusia menurut kodratnya merupakan makhluk yang
memiliki kepentingan sehingga terjadi benturan kepentingan antara satu orang dan satu
kelompok dengan orang dan kelompok yang lain. Dalam pandangan klasik kodrat ini
dipahami sebagai bagian dari wujud nafsu hewani karena kehidupan manusia dipahami
sebagai bagian dari animal kingdom.Namun ungkapan kodrat itu dalam al Baqarah (2): 36
tidak mendukung pandangan itu. Ayat ini memuat firman sangat indah. Setelah firman
“Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi lawan yang lain”, ada firman “Bagi kamu ada
tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” Ungkapan firman ini
menunjukkan bahwa konflik yang menjadi kodrat itu tidak untuk memusnahkan manusia, tapi
untuk membuat dia mapan dan senang dalam kehidupannya di bumi. Jadi konflik itu bukan
bagian dari animal kingdom,tapi bagian dari human kingdom.
2.
a. Tatacara bermasyarakat dalam Islam
Hidup Bermasyarakat adalah sebuah kepastian bagi manusia, karena kenyataan bahwa
manusia dilahirkan ditengah masyarakat, hidup dan matinya di tengah masyarakat. Oleh
karena itu perlu ada aturan yang mengatur hubungan dalam masyarakat. Tanpa adanya
aturan yang berlaku dalam masyarakat tidak akan bisa hidup baik dan sempurna.
Dasar masyarakat dalam ajaran Islam adalah Islam itu sendiri. Karena manusia
semuanya diperintahkan untuk menganutnya, dan diperintahkan mengetahui
kedudukannya dalam kehidupan ini dan mengetahui hubungan manusia dengan alam dan
sebab apa dia dijadikan. Islam mengarahkan pemikiran manusia, perbuatan dan tindak
tanduknya, dan yang menjadi dasar pegangannya dalam semua keadaan. Kalau manusia
dianggap sebagai makhluk sosial, maka Islam mengarahkan mereka dalam membina
masyarakat ini dan sistem Islamlah yang menjadi pilihannya.
Dengan kata lain, haruslah pembinaan didasarkan kepada Dienul Islam sehingga
setiap individu berbuat sesuai dengan ajaran Islam, baik dia sebagai individu maupun
sebagai masyarakat. Begitu juga masyarakatnya dijadikan suatu masyarakat yang diatur
oleh Islam yang menjadi kepercayaan masyarakatnya. Dengan demikian setiap orang yang
menganut Islam dan meyakininya, dapat menjadi anggota masyarakat Islam dan
berkewajiban mempertahankan serta berusaha untuk mencapai tujuannya.
Pengaruh ajaran Islam dalam memperbaiki hubungan individu-individu dalam
masyarakat antara lain :
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara" (QS Al Hujurat (49), 10)
"Orang yang muslim itu adalah saaudara orang muslim yang lain" (HR.
Mutafaqun'alaih)
Islam menganggap setiap orang yang mengimani ajaran Islam adalah bersaudara.
Persaudaraan ini, berdasar firman Allah dan Hadits sebagai tersebut diatas adalah
persaudaraan yang diikat oleh keimanan yang sangat kokoh, dan dengan ikatan itulah akan
lahir perasaan-perasaan ingin selalu membantu dan menolong sesama saudaranya.
Ikatan keimanan dalam Islam tidak akan menimbulkan perkosaan orang yang bukan
Islam. Islam masih menerima orang-orang non-Islam menjadi anggota masyarakatnya dan
diberi jaminan dan perlindungan yang cukup. Sekalipun orang non- Islam tidak termasuk
dalam ikatan persaudaraan dalam agama, namun mereka tidak kehilangan hak
perlindungan dari kaum muslimin. Inilah keistimewaan ajaran Islam. Firman Allah :
"Janganlah kamu tertarik menjadi aniaya oleh karena benci kaum kafir kepadamu,
supaya kamu tidak berlaku adil, hendaklah kamu adil karena adil itu dekat kepada taqwa"
(QS Al-Maidah (5), 8)
"Tiada Allah melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang- orang yang
tidak memerangi kamu lantaran agamamu dan tidak pula mengusir kamu dari tanah air
kamu, sesungguhnya Allah mengasihi orang-ornaag yang berlaku adil" (QS Al-
Mumtahannah (60), 8)
Rasulullah bersabda :
"Barangsiapa yang mengganggu orang (yaitu orang bukan Islam dalam negara Islam)
sesungguhnya dia telah mengganggu aku" (Al- Hadits)
"Bukan dari golongan kami, orang yang menyeru kepada kesukuan (Ashabiyah) dan
bukan pula dari golongan kami orang yang mati membelah kesukuan" (Al Hadits)
"Tinggalkan dia (yaitu Ashabiyah) karena adalah fitnah" (Al Hadits)
Yang dimaksud dengan kesukuan adalah bantu membantu baik dalam kebenaran
maupun dalam kebathilan karena adanya persamaan suku, yakni keturunan atau keluarga.
Semboyan Jahiliyah yang terkenal dalam masalah ini adalah "Tolonglah saudaramu baik
dianiaya maupun menganiaya".
Semboyan ini menyeru setiap orang selalu membantu saudarnya dalam keadaan apa
saja, dalam keadaan benar maupun dalam keadaan salah. Islam sangat keras menetang
semboyan Ashabiyah ini. Kemudian Islam membawa semboyannya : "Cegahlah
saudaramu yang berbuat aniaya (berlaku dhalim) dan bantulah saudaramu yang teraniaya".
Islam dalam menentang sistem Ashabiyah ini tidak hanya terbatas kepada kesukuan yang
didasarkan atas keturunan, bahkan meluas kepada segala macam kesukuan yang
bersumber dari yang lain.
"Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal". (QS Al-Hujurat (49), 13)
Dengan terhapusnya kesukuan maka terhapus pula fanatik kepada bangsa dan
keturunannya. Orang yang terlalu fanatik dalam suku bangsa tertentu misalnya, akan
menimbulkan perasaan bangga dan sombong, angkuh. Di sisi Allah orang paling mulia
adalah orang yang paling bertaqwa. Dengan demikian konsep berbangga diri, fanatik
kepada suku bangsa dan keturunannya sangat hina di hadapan Allah SWT.