Anda di halaman 1dari 17

MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA DI ERA GLOBALISASI

MELALUI PENGUATAN PONDASI AGAMA

Oleh : Suci Ramadhani Putri (24.01)


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan karuninya
sehingga kita masih bisa menghirup indahnya din al-Islam yang dirahmati oleh
Allah Swt, Shalawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan
alam Nabi besar Muhmmad Saw yang telah membimbing kita dari era kejahilian
hingga era globalisasi ini.

Makalah ini disusun untuk memenuhi kewajiban sebagai peserta di MTQ


(Musabaqah Tilawatil Qur’an) Tingkat Kabupaten Lombok Utara. Sungguh
sebuah kebahagiaan tersendiri dapat menjadi bagian dari even yang hebat ini.
Karena dari even ini saya menyadari dapat membentuk banyak generasi-generasi
yang bermutu namun tetap menanamkan nilai-nilai islami.

Demikian yang dapat saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf.


Besar harapan kemudian jika para dewan hakam yang terhormat berkenan dengan
tulisan makalah ilmiah Al-Qur’an ini. Meskipun tentu saja saa sadari masih
banyak hal yang harus dibenahi.

Tanjung, 06 April 2019

Suci Ramadhanu Putri

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Ketahanan Keluarga......................................................................................3

B. Tantangan Ketahanan Keluarga di Era Globalisasi.......................................5

C. Membangun Keluarga Dengan Semangat Al-Qur’an di Era Globalisasi.....8

BAB III PENUTUP...............................................................................................13

A. Kesimpulan....................................................................................................13

B. Saran..............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga diyakini sebagai awal terbentuknya dinamika sosial di


tengah masyarakat. Kehadiran keluarga sebagai satu kesatuan, umumnya
pada sebuah keluarga rata- rata terdiri dari suami, istri dan anak. Keluaraga
adalah sistem institusi terkecil dalam sebuah lingkungan sosial masyarakat
yang kemudian menghadirkan pola hubungan interpersonal. Maka tidak
salah jika kemudian kita mengasumsikan keluarga memiliki posisi yang
penting dalam hierarki vertikal institusi di lingkungan sosial masyarakat,
melalui peran dan hubungannya sesama manusia (hablum minan nas).
Setiap keluarga memiliki coraknya sendiri, sehingga perlu kita
pahami secara dinamis dan terbuka. Setiap keluarga tentu mempunyai
standar kehidupan sendiri dalam menjalani perannya. Katakanlah itu
dalam hal pembagian peran dan pemahamannya tentang hakikat keluarga.
Selain itu, pengaruh perkembangan budaya dan zaman juga
mempengaruhi terhadap kehidupan keluarga. Ini terjadi karena institusi
keluarga tidak bergerak secara statis, namun senantiasa terus berkembang
mengikuti perkembangan zaman. Nilai-nilai yang dianut dalam sebuah
keluarga terus berkembang menyesuaikan dengan eranya. Sekarang kita
telah sampai pada era di mana ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang dengan sangat pesat menyaingi pertumbuhan dari manusia itu
sendiri. Era demikian kita kenal dengan sebutan era globalisasi.
Pada era globalisasi kebutuhan manusia menjadi terbarukan.
Inovasi-inovasi baru terus bermunculan. Misalnya di bidang komunikasi
dan transportasi. Produk-produk yang ditawarkan semakin canggih lantas
membuat manusia menjadi berlomba-lomba untuk memilikinya.
Namun kemudian manusia menjadi cenderung ingin yang bersifat
gampang, pragmatis. Mereka juga semakin konsumtif dan materialistik.
Pikiran di kuasai dengan dorongan untuk memenuhi tawaran-tawaran yang

1
menawan itu, sehingga sehari-hari menjadi sibuk bekerja untuk menambah
penghasilan. Hubungan antar anusia menjadi semakin renggang dan
formalistik.
Keharmonisan hubungan antar manusiapun menjadi renggang.
Meningkatkan permasalahan-permasalahan yang mengancam bagi
ketahanan institusi keluarga itu sendiri. Terbukti dengan meningkatnya
angka perceraian dan juga kekerasan yang disebabkan oleh era globalisasi.
Isu ketahanan keluarga menjadi perhatian pada Pertemuan
Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Jeddah, Arab Saudi yang bertujuan
untuk melakukan kaji ulang kebijakan, strategi, dan tantangan dalam isu
institusi keluarga dan pernikahan di Negara anggota OKI, serta
mengembangkan kebijakan dan rencana aksi untuk mempertahankan nilai
dan norma pernikahan dan institusi pernikahan sebagai inti upaya
pembangunan termasuk dalam pencapaian Sustainable Development
Goal’s (SDG’s).
Makalah ini disamping mengeksplorasi asumsi dasar mengenai
instansi keluarga di era globalisasi, juga akan mengkaji lebih lanjut tentang
konsep ketahanan keluarga dengan menggunakan sudut pandang sosial
dan agama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ketahanan keluarga?
2. Tantangan apa saja yang dihadapi oleh keluarga di era globalisasi?
3. Bagaimana keluarga menghadapi era globalisasi?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan ketahanan keluarga.
2. Mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi oleh keluarga di era
globalisasi.
3. Mengetahui bagaimana keluarga menghadapi era globalisasi.

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Ketahanan Keluarga
Keluarga dapat dipahami sebagai sebuah sistem. Sistem ini terjadi
akibat adanya komunikasi dua arah (suami-istri) dan komunikasi segala
arah bagi semua anggota keluarga (ayah, ibu dan anak)1. Maka, setiap
komponen keluarga berfungsi untuk saling mengarahkan, membina,
memberikan perhatian dan kasih sayang kepada setiap anggota keluarga.
Sedangkan ketahanan keluarga dapat dipahami sebagai kondisi
dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta
mendukung kemampuan fisik maupun materiil dan psikis mental spiritual
guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk
hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan
batin. Hal ini selaras dengan tujuan perkawinan dalam konsep islam yaitu
agar terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Dalam rangka membangun dan mensejahterakan institusi keluarga,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang
Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, disebutkan bahwa
keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang mempunyai peran
penting dalam pembangunan nasional, oleh karena itu perlu dibina dan
dikembangkan kualitasnya agar senantiasa dapat menjadi keluarga
sejahtera serta menjadi sumber daya manusia yang efektif bagi
pembangunan nasional.2
Manusia sebagai makhluk sosial atau yang menurut Aristoteles
seorang filsuf asal Yunani kuno menyebut menusia sebagai Zoon Politikon,
manusia dikodratkan hidup dalam kebersamaan dalam masyarakat.
Kehidupan dalamkebersamaan berarti adanya hubungan antara manusia
yang satu dengan manusia yang lainnya.Dalam hubungan sosial itu,
pastinya selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan jaringan/relasi
sosial (a web of sosial relationship) yang disebut sebagai masyarakat.

1
Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Bandung: ALFABETA, 2011), hlm. 143.
2
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.

3
Relasi tersebut menuntut cara berperilaku antara satu individu dengan
individu lainnya untuk mencapai suatu ketertiban.
Agar terciptanya hubungan timbal balik sebagaimana disebutkan di
atas maka harus dilakukan inovasi-inovasi untuk mewujudkannya. Salah
satunya yang dapat dilakukan adalah di bidang pendidikan.3 Pendidikan
tidak harus dilakukan dilakukan secara formal di lingkungan sekolah,
namun juga dapat dilakukan secara informal di lingkungan keluarga.
Keluarga adalah instansi terbaik untuk mendidik seseorang. Karena sejak
baru lahir, seorang anak yang akan dilihatnya pertama kali adalah
keluarga. Dan bahkan sejak dalam kandungan seorang anak sudah dapat
didik dan ditanamkan nilai-nilai ataupun norma-norma oleh orangtuanya.
Di dalam ajaran Islam, bahkan seorang ibuu sudah diharuskan untuk
membaca atau minimal mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an
jika ingin anak yang dikandungnya menjadi anak yang sholeh dan
sholehah. Anak-anak mengenal cara berkomunikasi, berbahasa,
berinteraksi dengan sesama. Hingga pada akhirnya, setiap anggota
keluarga siap secara intelektual, pribadi, sosial, spiritual dan fisik.4
Sejumlah masyarakat modern misalnya, telah memulainya dengan
menggunakan berbagai metode seperti yang marak dilansir oleh media
belakangan. Seluruh anggota keluarga ditanamkan suatu kesadaran untuk
melakukan pilihan antara nilai-nilai yang dikategorikan salah atau benar,
baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebiasan-kebiasaan itu dapat
dimulai dengan mempraktekkannya dalam kegiatan sehar-hari. Kemudian
berlanjut dengani iternalisasi nilai-nilai sebagaimana di atas, hingga
mendarah daging dalam kehidupan seluruh anggota keluarga.
Mengutip pendapat Immanuel Kant bahwa hukum moral mengikat
mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional.5 Pendapat yang
dilontarkan oleh Kant ini dapat diasumsikan sebagai bahwa moral

3
Mohamad Surya, Bina Keluarga, (Semarang: Aneka Ilmu, 2001), hlm. 12.
4
Ibid., hlm. 12.
5
Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K.
Abbott (New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949), hlm. 57.

4
menjadi bagian terpenting dalam pertumbuhan karakter manusia. Moral
sejatinya dapat menjadi garda terdepan dalam menyikapi segelumit
persoalan. Begitu juga dalam konsep Islam, Islam sangat menjunjung
akhlak di atas segalanya. Orang yang berilmu namun ia tidak berakhlak
maka ia akan merasa hampa. Kedudukan akhlak sebagai yang paling
utama di dalam Islam, hal ini terbukti dari sejarah perkembangan Islam itu
sendiri. Dimana pada saat Nabi Saw baru saja resmi diutus kepada Bangsa
Arab, yang di lakukan terlebih dahulu adalah meng-upgrade akhlak
daripada Bangsa Arab.
Institusi keluarga pun ditantang untuk siap menggempur setiap
perubahan yang datang. Tak jarang, dalam menjalani proses tersebut,
ketika keluarga tidak lagi memiliki ketahanan yang baik, tentu akan
mengalami disorientasi nilai, yakni kehilangan arah dalam menentukan
pilihan-pilihan hidup.
Di era globalisasi ini, ketahanan keluarga sangat dibutuhkan untuk
mewujudkan tujuan dari sebuah keluarga yaitu terciptanya keharmonisan
dan kebahagiaan atau sakinah mawaddah wa rahmah. Mobilitas era
globalisasi membuat beban dan fungsi keluarga menjadi lebih berat.
Sehingga tak sedikit dari keluarga-keluarga yang justru tergerus kalah
dengan arus mobilitas dari era globalisasi. Perilaku-perilaku
penyimpangan (devian) yang dilakukan oleh keluargapun tak ayal menjadi
tontonan yang lumrah oleh masyarakat sosial kita..
Penanaman nilai-nilai atau yang lebih familiar dengan sebutan
norma-norma.6 Tak ayal menjadi suatu keharusan. Penanaman ini, tidak
hanya yang bersifat duniawi semata, pendidikan agama yang diterapkan
dalam keluarga tetap menjadi pondasi utama.
B. Tantangan Ketahanan Keluarga di Era Globalisasi
Globalisasi menyangkut kesadaran bahwa dunia ini adalah satu
tempat milikbersama umat manusia. Karena itu, globalisasi yang
didefinisikan sebagai kesadaran yang tumbuh pada tingkat global bahwa

6
Herimanto dan winarmo, Ilmu sosial & budaya dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 132.

5
dunia ini adalah sebuah lingkungan yang terbangun secara berkelanjutan,
atau sebagai suatu proses sosial di mana hambatan-hambatan geografis
berkaitan dengan pengaturan-pengaturan sosial dan budayasemakin surut.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa secara nyata materialisme
memperlihatkan peranannya dalam pembentukan keteladanan pada
dewasa ini. Materialisme itu tidak terbatas pada kekayaan materil saja,
namun juga pada pencerminannya yang berupa atribut-atribut atau tanda-
tandanya. Tanda-tanda itutidak hanya tampak pada pakaian, pola
menghabiskan waktu luang, dan lainsebagainya, akan tetapi juga pada
frekuensi diadakannya upacara-upacara yang bertujuan menonjolkan
eksistensi sesuatu.7
Di Indonesia peranan lingkungan sosial tampaknya masih besar
apabila dibandingkan dengan peranan keluarga, terutama pada lapisan
menengah dan bawah. Bahkan dapatdikatakan, bahwa faktor-faktor
ekstenal lebih besar peranannya dalam pembentukan kepribadian
seseorang. Hal ini tidak saja berkaitan dengan pola hidup spritual, akan
tetapi juga aspek materilnya. Lingkungan sosial tersebut secara sederhana
dapat dibedakan antara lingkungan pendidikan formal, pekerjaan dan
tetangga. Berangkat dari sini maka dapat dibayangkan, dengan
kecanggihan alat komunikasi yang canggih sebagai produk modern
kebudayaan dari berbagai manca Negara dapat dengan mudah masuk ke
dalam aliran darah dan denyut nadi kebudayaan lokal yang tidak jarang
akan menggeser nilai-nilai moral dan agama yangtelah tertanam di
dalamnya. Budaya global yang didominasi oleh budaya Barat akan
diserap dengan mudah oleh masyarakat dunia. Budaya dalam suatu
masyarakat akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter
keluarga. Pengaruh ini meliputi perilaku, gaya hidup dan aspek-aspek lain.
Pengaruh dari era globalisasi yang paling terasa bagi masyarakat
kita adalah pada sektor komunikasi. Jika kita flashback mengingat kembali

7
Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan social, Terjemahan oleh Alimandan., (Jakarta:,
Prenada, 2004), hlm. 79.

6
perjalanan hidup dari manusia, terdapat era di mana manusia untuk saling
bertukar informasi saja membutuhkan waktu berhari- hari atau bahkan
berbulan-bulan. Kini, hal itu bahkan tidak pernah kita lakukan lagi karena
telah tergantikan dengan sebuah alat yang bernama smartphone. Yang di
dalamnya terdapat berbagai fitur komunikasi seperti WhatsApp, Facebook,
Instagram, Twitter dan masih banyak lagi.
Namun kecanggihan komunikasi ini tidak dibarengi dengan
benteng pemilahan terhadap mana hal yang baik dan mana hal buruk.
Akibatnya, era globalisasi yang semua bertujuan untuk kemajuan manusia
justru menjadi boomerang bagi manusia itu sendiri lantaran merosotnya
nilai-nilai atau norma-norma yang tertanam pada keluarga di Indonesia.
Berbagai kasus keretakan keluarga yang semakin meningkat
sebagiannya diakibatkan oleh penggunaan alat komunikasi dan dampak
sosial media yang tidak dimaafkan dengan semestinya. Tingkat perceraian
di indonesia semakin meningkat. Data BPS (Badan Pusat Statistik) pada
tahun 2015 terdapat 347.258 kasus.8 Penyebab utamanya adalah
perselingkungan sebagai dampak komunikasi via media sosial dan juga
KDRT. Hubungan seksual pada remaja dan anak-anak semakin merebak
yang juga berakibat pada peningkatan kasus KTD (Kehamilan Tidak
Dikehendaki), pernikahan usia dini, dan prostitusi anak dan remaja
Selain itu, dampak lain yang juga muncul akibat pengaruh era
globalisasi adalah kemudahan akses terhadap pornografi dan pornoaksi di
media sosial mendorong terjadinya kekerasan dan kejahatan seksual. Hal
ini terbukti dengan adanya produksi film porno di Indonesia yang
menjurus kepada kekerasan dan pemerkosaan, hampir menyamai Jepang.
Proses produksi biasanya hanya dilandasi oleh rasa coba-coba dan direkam
hanya menggunakan kamera handphone. Namun seiring dengan
bertambhanya minat pasar, bahkan ada situs-situs yang dengan senang hati
membeli setiap karya film-film porno abal-abal untuk kemudian
dipasarkan.

8
www.bps.go.id. Diakses pada 5 April 2019.

7
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi
memang memberikan banyak keuntungan bagi kemajuan manusia maupun
bagi keluarga secara khususnya, namun dampak negatifnya ternyata juga
banyak dan mengancam eksistensi kemanusiaan serta kesejahteraan
keluarga yang akan berdampak langsung pada ketanahan negara. Di era
sekarang ini, kebaikan bertabura di mana-mana, sebagaimana juga
kejahatan bertaburan di mana-mana.9 “Keluarga yang kuat akan
mewujudkan negara yang kuat. Sebaliknya, keluarga yang lemah akan
mewujudkan negara yang lemah pula”. Ucap istri dari Menteri Agama
Lukman Hakim sekaligus menjabat sebagai Penasihat Dharma Wanita
Persatuan Kementerian Agama Trisna Willy Lukman hakim Saifuddin.10
Oleh karena itu, Islam memandang era globalisasi sebagai ancaman
namun juga sekaligus sebagai tantangan. Islam adalah agama yang diridhai
oleh Allah Swt, Islam adalah agama rahmatan lil alami , dan Islam adalah
agama sepanjang zaman, kemudian menjadi PR tersendiri bagi umat Islam
untuk menuntaskan problem-problem yang timbul akibat era globalisasi.
C. Membangun Keluarga Dengan Semangat Al-Qur’an di Era Globalisasi
Ketika era globalisasi menggerus nilai-nilai ataupun norma-norma
moral pada diri manusia khususnya keluarga. Maka sudah saatnya manusia
sadar dan merekonstruksi diri agar dapat membentengi diri dari pengaruh-
pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh era globalisasi. Hal ini berfungsi
untuk menjaga ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga sebagaimana
disebut dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1994 kedudukannya
sebagai pilar pembangunan nasional. Untuk itu, umat Islam telah
dianugrahi kitab suci paling mulia yaitu Al-Qur’an untuk dijadikan
pedoman hidup. Untuk itu, maka hal yang dapat dilakukan untuk
membentengi diri dari arus mobilitas era globalisasi adalah dengan
membangun kembali keluarga dengan semangat Al-Qur’an.

9
Azizy, Ahmad Qodi, Melawan Globalisasi: Reinterprestasi Ajaran Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 39
10
www.kemenag.go.id. Diakses pada 05 April 2019.

8
Megembalikan fungsi Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hablum
minan nas khususnya keluarga. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam
sudah seharusnya direalisasikan dan menjadi pedoman dalam kehidupan
kita sehari-hari. Al-Qu’an memuat tentang bagaimana cara kita harus
berhubungan baik itu behubungan dengan Sang Maha Pencipta Allah Swt
(hablun minallah), hubungan kita dengan terhadap sesama manusia
hablun minannas), dan hubungan kita terhadap alam (hablun minal alam).
Maka tidak salah, jika kemudian Al-Qur’an disebut sebagai kitab Suci
yang ajarannya paling sempurna di dunia ini dan tidak ada yang bisa
menyamainya di dunia ini. Sebagaimana ungkapan seorang Napoleon
Bonaparte yang mengatakan bahwa “The Principle of Qur’an Can Lead
Man to Happiness” (Al-Qur’an merupakan satu-satunya prinsip yang bisa
membawa manusia kepada kebahagiaan). Fungsi dari Al-Qur’an tertuang
dalam Qs. Yunus ayat 57.

     


     
  
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.

Petunjuk yang terdapat di dalam Al-Qur’an mengenai tata cara


berkeluarga yang baik dan diridhai oleh Allah Swt yang dapat kita
realisasikan dalam kehidupan di tengah-tengah arus era globalisasi yang
kemudian dapat mewujudkan ketahanan keluarga.

Pertama, keluarga harus menjadi wadah berkembangnya nilai-nilai


agama. Keluarga harus dibangun di atas pondasi yang kokoh, sedangkan
tidak ada pondasi yang lebih kokoh untuk kehidupan bersama melebihi

9
nilai-nilai keagamaan. Karena itu, nilai-nilai tersebut harus menjadi
landasan sekaligus menjadi pupuk yang menyuburkan kelanjutan hidup
kekeluargaan.11

Melalui keluarga nilai-nilai agama mulai diteruskan kepada anak


cucu, karena kedua orang tua amat besar peranannya dalam pendidikan
anak.

‫يكلُل سمجوليجودييجولسيدسعلَي فه ج‬
.‫ فسأ سبيجواَ هي ييهسسوسداَنههه أسجو يينسسسسراَ نههه أسجوييسمججسساَنههه‬,‫طهرهة‬
َ‫سكسمثسهل اَجلبسههجيسمهة تسجنتهيج اَلبسههجيسمهة هسجل تسسراَ فهجيسهاَ همجنسججدسعسها‬

Artinya: Setiap anak dilahirkan atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana
pemisalan hewan yang dilahirkan oleh Hewan, apakah kalian
melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya? (Anaknya
lahir dalam keadaan telinganya tidak cacat, namun pemiliknyalah
kemudian yang memotong telinganya)

Kemudian Abu Hurairah Ra berkata, mengutip firman Allah Swt


Qs. Ar-Rum ayat 30.12

      


       
      
   
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
11
M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 137.
12
Shahih Bukhari, juz 2, (Beirut: Libanon: Darul Qutubilmiah), hlm. 458.

10
Kedua, keluarga harus selalu bisa menjadi tempat berlindung.
Seorang perempuan yang bersedia menikah dengan seorang laki-laki telah
menyatakan pula kesediannya untuk meninggalkan orang tua dan
saudaranya. Ketika itu dia yakin, bahwa bahtera rumah tangga yang akan
ia tempuh akan mampu memberikan perlindungan baginya. Sebagaimana
yang terdapat dalam Qs. Al-Baqarah ayat 187.

Ketiga, keluarga sebagai unit terkecil dalam sosial masyarakat


harus bisa memaksimalkan perananya kepada sosial masyarakat maupun
dalam pendidikan. Istri dan anak adalah salah satu bentuk cobaan yang
Allah Swt berikan kepada manusia. Namun, jika didik dan dijaga dengan
baik, maka sungguh mereka adalah apa yang paling manusia inginkan dari
dunia ini. Sebagaimana terdapat dalam Qs. Al-Kahfi ayat 46.

    


     
   
Artinya : Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh
adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan.

Begitu kompleks Islam mengatur setaip sendi


kehdiupan manusia. Kemudian hanya tinggal kembali
kepada manusia itu sendiri ingin menjadikannnya pedoman
atau tidak. Jika manusia memilih untuk masa bodoh dan
ikut tergerus dengan arus mobilisasi tentunya manusia
tidak akan lama lagi akan mengalami kepunahan. Namun
jika manusia memilih untuk sadar, kemudian berjuang dan
mengokohkan pondasi agamanya, tentu era globalisasi
akan berdampak sangat baik bagi manusia. Lantaran
manusianya bisa membedakan mana bagian dari

11
globalisasi yang baik, dan mana bagian dari globalisasi
yang buruk.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Era globalisasi tidak bisa manusia khususnya keluarga untuk
elakkan lagi tengah menjadi dilema bagi kehidupan. Jika manusia maupun
keluarga khususnya terus terpuruk dalam kedilemaan ini, maka nasib
Bangsa Indonesialah yang menjadi taruhannya. Keluarga adalah tempat
terbaik untuk mencetak generasi-generasi berintegritas dan berdaya saing,
namun jika orangtua saja terlena dengan mobilisasi pada era globalisasi
ini, bagaimana kemudian akan mencetak generasi-generasi yang
berintegritas dan berdaya saing? Oleh karena itu perlu kemudian gerakan
untuk kembali merevitalisasikan nilai-nilai agama dalama kehidupan sosail

12
masyarakat. “Keluarga yang kuat akan mewujudkan negara yang kuat.
Sebaliknya, keluarga yang lemah akan mewujudkan negara yang lemah
pula”.

B. Saran
Agar setiap komponen masyarakat sama-sama menyadari dampak
dari era globalisasi. Tidak semua yang dibawa oleh globalisai sesuai
dengan nilai-nilai ataupun norma-norma yang berlaku pada Bangsa
Indonesia khusunya. Era globalisasi harus bisa dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya, dengan mengambil hal yang positif saja. Terutama jangan
sampai ketahanan keluarga menjadi bayarannya. Karena ketahanan
keluarga adalah pilar dari ketahanan nasional. “

DAFTAR PUSTAKA

Azizy, Ahmad Qodi, 2004, Melawan Globalisasi: Reinterprestasi Ajaran Islam,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Herimanto dan winarmo, 2010, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, Jakarta: Bumi
Aksara.

Kant, 1949, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by


Thomas K. Abbott New York: The Bobbs-Merill Company.

M. Quraish Shihab, 2005. Perempuan, Jakarta: Lentera Hati.

Mohamad Surya, 2001, Bina Keluarga, Semarang: Aneka Ilmu.

13
Shahih Bukhari, juz 2, Beirut: Libanon: Darul Qutubilmiah.

Sofyan S. Willis, 2001. Konseling Keluarga, Bandung: ALFABETA.

Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan social, Terjemahan oleh Alimandan.,


Jakarta:, Prenada.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang


Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

www.bps.go.id. Diakses pada 5 April 2019.

www.kemenag.go.id. Diakses pada 05 April 2019.

14

Anda mungkin juga menyukai