Anda di halaman 1dari 28

Referat

TONSILITIS

Oleh:

Muhammad Aldo Giansyah, S.Ked 04054821820004

Sarah Qonitah, S.Ked 04054821820147

Pembimbing:

dr. Lisa Apri Yanti, Sp. T.H.T.K.L (K), FICS

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Tonsilitis

Oleh:

Muhammad Aldo Giansyah, S.Ked 04054821820004

Sarah Qonitah, S.Ked 04054821820147

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 9 Juli 2018 – 13 Agustus 2018.

Palembang, Juni 2018

Pembimbing,

dr. Lisa Apri Yanti, Sp. T.H.T.K.L (K), FICS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan YME atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Otitis
Media Efusi” untuk memenuhi tugas referatsebagai bagian dari sistem
pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan
THT-KL Universitas Sriwijaya.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Abla Ghanie, Sp.THT-KL (K), FICS selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan
baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini


yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran
bagi kita semua.

Palembang, Juli 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................2

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................32


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil
faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band
dinding faring atau Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2007). Menurut Reeves (2001)
tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.
Sedangkan, tonsilitis kronik secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi
pada tonsila palatina yang menetap lebih dari 3 bulan (Chan, 2009).
Tonsilitis merupakan penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di
Amerika Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis (Sadler, T.W. 2009).
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada
tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah
nasofaringitis akut (4,6%).
Tonsilitis akut dapat disebabkan oleh kuman streptococcus β hemolyticus,
streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh
virus (Mansjoer, 2000). Tonsilitis kronik disebabkan oleh serangan ulangan dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil.
Sebagai dokter umum, kompetensi yang harus dicapai dalam kasus tonsilitis
berdasarkan SKDI adalah kompetensi 4 yaitu lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri
dan tuntas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tonsil
2.1.1 Struktur dan Fungsi Tonsil
Tonsil merupakan massa yang berbentuk bulat dan berukuran kecil yang
terdiri atas jaringan limfoid yang dilapisi epitel respiratori. Tonsil dapat dibagi
menjadi tonsila palatina, tonsila lingualis, tonsila faringealis dan tonsila tubalis.
Tonsil faringealis terletak di nasofaring, sedangkan tonsila palatina, tonsila
lingualis dan tonsila tubalis terletak di orofaring. Nasofaring terletak di
belakang rongga hidung, di atas palatum molle sedangkan orofaring terletak di
belakang cavum oris dan terbentang dari palatum molle sampai pinggir atas
epiglotis.1,2

Gambar 1. Anatomi Tonsil


Sumber : Viswanatha, B. 2015. Tonsil and Adenoid Anatomy. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1899367-overview#showall pada 8 April 2018.
Tonsil mulai berkembang pada trimester pertama kehamilan. Tonsil
berasal dari lapisan endodermis, kantong faring kedua, dan lapisan mesodermis.
Lapisan endodermis dan kantong faring kedua berproliferasi membentuk tunas
tonsilaris yang padat yang kemudian disusupi oleh lapisan mesoderm. Bagian
sentral tunas tersebut kemudian mati dan membentuk kripta yang kemudian
diinfiltrasi oleh jaringan limfoid.2,3

Gambar 2. Embriologi Tonsil


Sumber : Sadler, T.W. 2009. Kepala dan Leher. Dalam : Sadler, T.W. 2009. Langman
Embriologi Kedokteran, Ed. 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tonsil akan terus bertumbuh dan bertambah besar setelah anak dilahirkan.
Pertumbuhan paling pesat terjadi setelah anak berusia 5 tahun. Ukuran tonsil
akan mencapai puncaknya saat anak tersebut mengalami pubertas. Tonsil
kemudian akan mengalami regresi seiring bertambahnya usia orang tersebut.
Tonsil ini sendiri merupakan bagian dari struktur yang disebut sebagai Cincin
Waldeyer.2
Tonsila palatina terletak di dalam fosa tonsilaris pada kedua sudut dinding
lateral orofaring. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing
tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsila palatina dibatasi oleh1,2 :
 Lateral – muskulus konstriktor faring superior
 Anterior – muskulus palatoglosus
 Posterior – muskulus palatofaringeus
 Superior – palatum mole
 Inferior – sepertiga posterior lidah dan tonsila lingualis

Tonsila palatina mendapatkan suplai darah dari arteri tonsilaris yang


merupakan cabang dari arteri facialis. Darah kemudian mengalir melalui vena
– vena yang menembus m. konstriktor faring superior dan kemudian bergabung
dengan vena palatina eksterna, vena faringeal dan vena fasialis. Pembuluh
limfatik pada tonsila palatina didrainase ke nodus jugulodigastrikus. Tonsila
palatina dipersarafi oleh nervus trigeminus dan glossofaringeus. Nervus
trigeminus mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang melewati
ganglion sfenopalatina yaitu nervus palatine. Sedangkan nervus
glossofaringeus selain mempersarafi bagian tonsil, juga dapat mempersarafi
lidah bagian belakang dan dinding faring.1,2

Tonsila lingualis merupakan kumpulan folikel limfe pada dasar lidah.


Bagian dasar dari orofaring dibentuk oleh segitiga posterior lidah (yang hampir
vertikal) dan celah antara lidah serta permukaan anterior epiglotis. Membran
mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irreguler, yang
disebabkan oleh adanya tonsil lingualis dibawahnya.1,2

Tonsila pharyngealis terletak di bagian atas nasofaring. Bagian atas


nasofaring dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis
occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila faringealis, terdapat
di dalam submukosa daerah ini. Tonsila faringealis disebut juga adenoid.
Adenoid yang telah berkembang sempurna memiliki bentuk seperti piramid
dengan dasar di atap posterior nasofaring dan apex mengarah ke septum nasi.1,2
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri
dari jaringan limfoid). Permukaan tonsil ditutupi epitel berlapis gepeng yang
juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Permukaan adenoid dilapisi oleh
epitel kolumner pseudostratified. Banyak limfanodulus terletak di bawah
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli
merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di
seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu
dan umumnya memperlihatkan pusat germinal. Lumen dalam kripta
mengandung sejumlah besar sel limfosit baik yang masih hidup maupun yang
sudah mengalami degenerasi bercampur dengan sel epitel.2,4

Gambar 3. Struktur Histologi Tonsil


Sumber : Slomianka, L. 2009. Blue Histology – Lymphoid Tissues II. Diakses
dari:
http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/corepages/Lymphoid2/lymph2.htm
pada 16 Juli 2018.

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang


mengandung sel limfosit berupa sel limfosit B, limfosit T, dan sel plasma. Pada
tonsil juga terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),
makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil berfungsi menangkap dan mengumpulkan bahan asing serta sebagai organ
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 4

2.2. Tonsilitis
2.2.1 Definisi
Tonsilitis diartikan sebagai peradangan pada tonsil yang ditandai
dengan peradangan tonsil, sakit tenggorok, gangguan menelan, dan
pembesaran jaringan kelenjar limfe. Peradangan biasanya meluas hingga ke
adenoid maupun tonsil lingual dan seringkali bersamaan dengan faringitis
yang dinamakan faringotonsilitis. Penyebaran infeksi dini ditransmisikan
melalui udara (air borne droplets), tangan, dan ciuman.

2.2.2 Epidemiologi
Hampir semua anak di Amerika Serikat pernah mengalami setidaknya
satu episode tonsilitis. Sebagian besar kasus tonsilitis terjadi pada anak-anak.
Akan tetapi, tonsilitis jarang ditemukan pada anak yang berumur kurang dari
2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh Streptokokus biasanya ditemukan
pada anak yang berusia 5-15 tahun. Sekitar 2.5%-10,9% anak-anak
merupakan karier dari patogen penyebab tonsilitis. Karier didefinisikan
sebagai keadaan dimana hasil kultur SBHGA positif tanpa disertai gejala dan
bukti respon imun antistreptokokus. Tidak ada perbedaan angka kejadian
tonsilitis akut berdasarkan suku dan jenis kelamin.5
Karakteristik penderita tonsilitis kronik hampir sama dengan tonsilitis
akut dimana penderita terbanyak berasal dari kelompok anak-anak, namun
dapat pula terjadi pada remaja dan dewasa muda. Di Inggris, tonsilitis rekuren
memiliki angka kejadian yang cukup tinggi, yakni mencapai 100 kejadian per
1000 populasi setiap tahunnya. Di Amerika Serikat, prevalensi tonsilitis
kronik adalah sebesar 2,1% dari total seluruh kunjungan ke klinik
kesehatan.10

2.2.3 Klasifikasi
2.2.3.1 Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada
tonsilla palatina, yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya
infeksi. Berdasarkan penyebabnya, tonsilitis akut dapat dibedakan menjadi
tonsilitis viral dan tonsilitis bakterialis.5,6
a. Tonsilitis viral
Menyerupai common cold yang disertai nyeri tenggorok. Penyebab
tersering virus Epstein Barr (EBV) dan disebut juga tonsilitis mononukleus
infeksiosa. Hemofilus influenza virus dapat menyebabkan tonsilitis akut
supuratif. Dapat pula disebabkan virus coxachie dimana ditemukan luka-
luka kecil pada palatum dan tonsil yang terasa sangat nyeri.
b. Tonsilitis Bakterial
Menyebabkan 15-30% kasus faringotonsilitis. Paling sering
disebabkan bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A. Streptokokus
viridan dan Streptokokus piogenes. Reaksi randang yang terjadi di tonsil
menyebakan keluarnya leukosit polimorfonuklear. Kumpulan leukosit,
bakteri yang mati, dan epital yang lepas membentuk detrirus. Detritus akan
mengisi kripti dan tampak berwarna kekuningan.
Detrirus berbentuk bercak pada tonsil disebut tonsilitis folikularis
dan bila bercak tersebut menyau membentuk alur, disebut tonsilitis
lakunaris. Bercak detritus tersebut dapat melebar memben
pseudomembran yang menutupi tonsil.

Patofisiologi Tonsilitis Akut


Kuman penyebab tonsilitis biasanya menyebar melalui udara atau
dapat pula masuk melalui mulut lewat makanan atau alat makan. Patogen
masuk ke tonsil melalui kripte – kripte tonsil. Fungsi tonsil sebagai
pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik yang melalui hidung
maupun mulut. Kuman yang masuk ditangkap dan dihancurkan oleh
makrofag yang merupakan sistem pertahanan nonspesifik.5,7
Adanya pajanan terhadap patogen mengakibatkan pelepasan sitokin-
sitokin proinflamasi seperti TNF-α, interleukin 1 dan interleukin-6. Adanya
sitokin proinflamasi akan mengakibatkan reaksi peradangan lokal pada
tonsil. Peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi pembuluh darah
mengakibatkan tonsil menjadi hiperemis. Pembengkakan pada tonsil pada
fase akut lebih disebabkan oleh edema akibat peningkatan permeabilitas
vaskuler yang dicetuskan oleh sitokin tersebut dan oleh proliferasi limfosit
yang terdapat di dalam tonsil. Demam disebabkan oleh peningkatan produksi
prostaglandin yang dipicu oleh pirogen eksogen berupa patogen, produk
metabolisme patogen dan toksin yang dilepaskan oleh patogen itu sendiri
maupun pirogen endogen berupa sitokin proinflamasi.5,7
Sitokin-sitokin proinflamasi tersebut kemudian akan mengakibatkan
rekrutmen leukosit polimorfonuklear ke daerah yang terinfeksi. Leukosit ini
memiliki peranan dalam membunuh patogen penyebab infeksi dan
membentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan lekosit, bakteri yang
mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil
dan tampak sebagai bercak putih kekuningan. Bentuk tonsilitis akut dengan
detritus yang jelas disebut sebagai tonsilitis folikularis. Bila bercak menjadu
satu membentuk alur maka terjadi tonsilitis lakunaris. Bila bercak melebar
lebih besar lagi, dapat terbentuk membran semu (pseudomembran).5,7

Diagnosis Tonsilitis Akut


Gejala tonsilitis viral menyerupai common cold yang disertai nyeri
tenggorokan. Tonsilitis secara umum ditandai dengan keluhan sistemik dan
keluhan lokal. Keluhan sistemik meliputi penurunan nafsu makan, badan
terasa lemas, demam, sakit pada sendi dan otot, pegal-pegal pada seluruh
tubuh, dan sakit kepala. Keluhan lokal meliputi rasa gatal pada tenggorokan,
nyeri tenggorokan, nyeri menelan, rasa mengganjal pada tenggorokan, hidung
tersumbat, mendengkur, batuk yang biasanya disertai dahak, dan bau mulut.5,6
Dari pemeriksaan dapat dijumpai5,6 :
a. Tonsil dapat membesar bervariasi.
b. Dapat terlihat pus kekuningan pada permukaan medial tonsil
c. Kripta melebar
d. Bila dilakukan penekanan pada kripta dapat keluar detritus
e. Warna kemerahan pada arkus anterior atau posterior bila dibanding
dengan mukosa faring,
f. Pembesaran KGB submandibula
Pembesaran tonsil dinyatakan sebagai berikut5,6 :
 T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior – uvula (<25%).
 T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai
½ jarak anterior – uvula (25%-50%).
 T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula
sampai ¾ jarak pilar anterior – uvula (50%-75%).
 T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai
uvula atau lebih (>75%).
Sumber : Diakses dari
https://sleepmedicineboardreview.wordpress.com/2011/10/25/ tonsil-
size-scoring/ pada 10 April 2018.

Gambar 4. Diagram Pembesaran Tonsil

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien tonsilitis
meliputi penatalaksanaan suportif dan medikamentosa. Penatalaksanaan
suportif meliputi istirahat yang cukup, pemberian obat kumur, dan minum
air yang cukup. Obat simptomatik yang dapat diberikan adalah obat
penurun panas seperti parasetamol. Dosis parasetamol untuk dewasa
adalah 500-1000 mg setiap 6 jam. Dosis parasetamol untuk anak-anak
adalah 10-15 mg/kgBB setiap 6 jam dengan dosis maksimal 6 gr per
hari.5,6,8
Antibiotik pada tonsilitis bakterial idealnya diberikan sesuai hasil
kultur dan uji sensitivitas. Penatalaksanaan empiris yang dapat diberikan
adalah antibiotik spektrum luas golongan penicilin atau sulfonamid. Untuk
tonsilitis bakteri, penisililin merupakan antibiotik lini pertama untuk
tonsilitis akut yang disebabkan bakteri Group A Streptococcus B
hemoliticus (SBHGA). Walaupun pada kultur SBHGA tidak dijumpai,
antibiotik tetap diperlukan untuk mengurangi gejala. Jika dalam 48 jam
gejala tidak berkurang atau dicurigai resisten terhadap penisilin, antibiotik
dilanjutkan dengan amoksisilin -asam klavulanat sampai 10 hari.5,6,8
Penicilin V diberikan dengan dosis 2 x 500 mg untuk dewasa atau
25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis untuk anak-anak selama 10
hari. Sulfometoksazol diberikan sebanyak 40 mg/kg BB setiap 12 jam
pada anak dan 800 mg setiap 12 jam pada dewasa selama minimal 5 hari.
Dosis amoksisilin adalah 3x500 mg untuk dewasa atau 50 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis untuk anak-anak selama 10 hari. Pada penderita yang
alergi terhadap penisilin, dapat diberikan eritromisin dengan dosis 500-
1000 mg setiap 6 jam untuk dewasa atau 30-50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 dosis untuk anak-anak selama 10 hari atau azitromisin sebanyak
1x500 mg untuk dewasa atau 12 mg/kgBB/hari 1x/hari untuk anak-anak
selama 10 hari.5,6,8 Pada tonsilitis viral yang berat dapat dipertimbangkan
pemberian antivirus.5,6,8
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar
dari satu penderita ke orang lain. Risiko penularan dapat diturunkan
dengan mencegah paparan dari penderíta tonsilitis. Gelas minuman dan
perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya
dicuci dengan menggunakan air yang mengalir dan sabun sebelum
digunakan kembali. Sikat gigi tidak digunakan bersama. Penggunaan
masker dapat membantu mencegah penyebaran patogen.5,6,8

Komplikasi
Tonsilitis akut mungkin terjadi secara berulang dan berkembang
menjadi tonsilitis kronik. Tonsilitis dapat pula menyebabkan penjalaran
patogen per kontinuatum ke ruang potensial di leher dalam mengakibatkan
abses peritonsil atau abses parafaring. Abses dapat berkembang beberapa
hari setelah infeksi akut. Penjalaran patogen melalui tuba eustachius dapat
mengakibatkan terjadinya otitis media dan mastoiditis. Penjalaran ke
hidung dapat mengakibatkan terjadinya rhinitis dan sinusitis. Penjalaran
ke saluran napas yang lebih bawah dapat mengakibatkan bronkitis dan
pneumonia. Penyebaran hematogen atau limfogen dapat menyebabkan
endokarditis, artritis, miositis, dan glomerulonefritis. Tonsil yang
membesar mungkin mengakibatkan gangguan tidur yang dikenal sebagai
obstructive sleep apnea.5,6

Prognosis
Prognosis pada pasien dengan tonsilitis akut adalah bonam.
Tonsilitis akut biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat
dan pengobatan yang adekuat. Perkembangan antibiotik yang maju
memungkinkan pengobatan kausatif dilakukan secara tepat.5

2.2.3.2 Tonsilitis Membranosa


A. Tonsilitis Difteri
Frekuensinya menurun seiring keberhasilan imunisasi aktif.
Disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman batang
Gram positif, yang ditransmisikan melalui droplet udara atau kontak kulit.
Tidak semua individu yang terinfeksi akan menjadi sakit, terkandung titer
anti toksin dalam darah seseorang (minimal 0,03 IU per ml darah). Paling
sering ditemukan pada anak-anak berusia 10 tahum (khusus nya anak
berusia 2-5 ahun) walaupun masih mungkin ditemukan pada orang
dewasa. Bakteri yang ada menghasilkan endotoksin khusus yang
menyebabkan nekrosis sel epitelial dan ulserasi.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi penyakit ini 1-5 hari. gejala klinis dapat dibagi
menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
 Gejala umum berupa damam subfebris, sakit kepala, penurunan nafsu
makan, tubuh melemah, nadi melambat, dan nyeri menelan. Dalam 2
jam gejala dapat memberat hingga malasie dan sakit kepala berat, dan
mual. Bila sejumlah banyak toksin masuk ke dalam aliran darah, pasien
dapat hingga pucat, nadi cepat, koma, hingga kematian.
 Gejala lokal berupa tonsil membengkak tertutup bercak putih keabu-
abuan kotor yang semakin meluas membentuk membran semu
(pseudomembran) yang dapat meluas hingga palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea, dan bronkus yang hingga dapat menyumbat
saluran napas. Awalnya pseudomembram yang terbentuk berwarna
putih keabu-abuan. Seiring waktu, pseudomembran yang terbentuk
berwarna abu-abu melekat erat, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Dalam perjalan penyakitnya akan teraba kelenjar getah
bening leher yang membesar sehingga menyerupai leher sapi atau
disebut Burgemeester’s hal (bull neck).
 Gejala toksik primer-endotoksin yang dihasilkan kuman hingga
merusak jaringan tubuh seperti jantung (miokaditis hingga
dekompensasio kordis), saraf kranial (kelumpuhan otot palatum dan
otot pernapasan), dan ginjal (albuminuria).

Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.
Pada pemeriksaan dengan cermin terkait pseudomembran berwarna
kuning abu-abuan yang menempel erat ke tonsil dan ketika diangkat
menimbulkan perdarahan. Diagnsos pasti didapatkan dari preparat kuman
yang diambil dari apusan dibawah membran semu.
Tatalaksana
 Awasi tanda-tanda obstruksi jalan napas atas.
 Tanpa menunggu hasil kultur, dapat diberikan antitoksin (APS) difteria
200-10.000 IU/kgBB injeksi intravena atau intramuskular (lakukan
skin test terlebih dahulu). 20.000-100.000 IU/kgBB.
 Antibiotik penisilin 300.000 IU/hari IM untuk BB <10 kg. 600.000
IU/hari untuk BB>10kg (selama 14 hari) atau eritromisin 25-50
mg/kgBB dibagi dalam 3 dsis selama 14 hari. oral/injeksi 40-50 mg/hari
dosis maksimal 2 g/hari selama 14 hari.
 Kortikosteroid1-2 mg/hari KgBB perhari.
 Obat simtomatik lainya seperti antipiretik.
 Trakeostomi bila sudah ada sumbatan jalan napas atas.
Komplikasi
 Perluasan hingga laring dan menyumbat jalan napas atas sehingga
diperlukan trakesotomi.
 Miokarditis.
 Nefritis dengan gambaran albuminuria pada urinalisis.
 Kelumpuhan otot palatum mole, otot akomodasi mata, otot faring
hingga laring yang menyebabkan kesulitan menelan.

B. Angina Plaut-Vincent (Stomatitis Ulser Membranosa)


Disebabkan oleh bakteri spirocheta atau treponema yang tampak
disfagia unilateral dengan napas berbau dan malaise. Pada umumnya,
penyebab utama dari angina plaut-vincent didapatkan dari penderita
dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.

Tanda dan gejala


Demam hingga 39oC, sakit kepala, kelemahan, nyeri mulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi yang mudah berdarah hingga gangguan
pencernaaan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan mulut berbau, kelenjar
getah bening submandibula yang membesar, mukosa mulut dan faring
hiperemis dengan ulkus pada tonsil palatina unilateral dan tertutup
membran putih keabuan. Dapat menyebar hingga ke uvula dinding faring,
gusi, dan proteus alveolaris.

Tatalaksana
Antibiotik spektrum luas (penisilin) selama 1 minggu. Kauter lokal
dengan 10% AgNo3 atau asam kronik 5% juga dapat dilakukan. Disertai
dengan obat kumur untuk memperbaiki higienitas mulut, vitamin C, dan
vitamin B kompleks.

2.2.3.3 Tonsilitis Kronik


Tonsilitis kronik didefinisikan sebagai peradangan kronik pada
tonsil sebagai lanjutan peradangan akut atau sub akut yang mengakibatkan
kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap
untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama pada tonsil dan
mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh
penderita mengalami penurunan (tonsilitis rekuren) dengan episode
serangan beberapa kali dalam 1 tahun.6,9

Etiologi
Secara umum, patogen penyebab tonsilitis kronik adalah sama
seperti tonsilitis akut. Bakteri penyebab tonsilitis akut yang paling sering
adalah bakteri gram positif, terutama Streptococcus β hemolyticus Group
A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup
B, C, Adenovirus, Epstein Barr, dan virus Herpes. Hasil penelitian di RSU
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado menunjukkan bahwa 40% bakteri
penyebab tonsilitis adalah Streptococcus sp. Kadang – kadang, bakteri
gram negatif dapat menjadi penyebab tonsilitis kronik.5,11
Patofisiologi
Tonsilitis kronis terjadi karena proses radang berulang yang timbul.
Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu waktu tonsil
tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari
tonsil berubah menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Duatu saat kuman
dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh, misalnya pada saat keadaan
umum tubuh menurun. Selain epitel mukosa tonsil, jaringan limfoid akan
terkikis juga, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut. Jaringan parut ini kemudian yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinis kripta ini tampak diisi
oleh detritus. Proses bejalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula. Faktor yang menjadi predisposisi tonsilitis kronik adalah
riwayat merokok, hygiene mulut kurang baik, daya tahan tubuh lemah dan
pengobatan tonsilitis akut yang inadekuat.7,10

Penegakkan Diagnosis
Manifestasi klinik tonsilitis kronik adalah sebagai berikut:
1. Keluhan sistemik :
a. penurunan nafsu makan
b. badan lemas
c. demam
d. sakit pada sendi dan otot
e. pegal-pegal pada seluruh tubuh
f. sakit kepala.
2. Keluhan lokal :
a. rasa gatal pada tenggorokan
b. nyeri tenggorokan berulang
c. nyeri menelan berulang
d. rasa mengganjal pada tenggorokan
e. hidung tersumbat
f. mendengkur
g. batuk yang biasanya disertai dahak
h. bau mulut.5,6
Dari pemeriksaan dapat dijumpai5,6 :
a. Tonsil hipertropi atau atropi.
b. Dapat terlihat pus kekuningan pada permukaan medial tonsil
c. Kripta melebar
d. Bila dilakukan penekanan pada kripta dapat keluar detritus
e. Warna kemerahan pada arkus anterior atau posterior bila dibanding
dengan
mukosa faring,
f. Pembesaran KGB submandibula

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus tonsilitis


akut adalah kultur dan uji sensitivitas. Biakan idealnya diambil dengan
aspirasi dari dalam tonsil, namun dapat pula diambil dari swab tenggorok.
Pemberian antibiotik sesuai dengan hasil uji sensitivitas dapat menurunkan
angka resistensi bakteri dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil.
Jaringan tonsil harus dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pada tonsilitis
kronik, dapat ditemui adanya hiperplasia pada jaringan tonsil diserai
infiltrasi limfosit, pusat nekrosis, dan area yang mengalami fibrosis.5,6

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis kronik pada prinsip meliputi
penatalaksanaan secara medikamentosa dan operatif. Penatalaksaan
medikamentosa sama seperti tonsilitis akut meliputi pemberian obat
kumur, analgetik-antipiretik seperti parasetamol, antiinflamasi dan
antibiotik sesuai hasil kultur (dapat diberikan antibiotik spektru luas
sambil menunggu hasil kultur).9
Penatalaksanaan operatif adalah tonsilektomi. Tonsilektomi adalah
prosedur operasi pengangkatan tonsil yang dilakukan dengan atau tanpa
adenoidektomi. Tonsilektomi dilakukan dengan mengangkat seluruh
tonsil dan kapsulnya dengan melakukan diseksi pada ruang peritonsil di
antara kapsul tonsil dan dinding fosa tonsil. Berdasarkan panduan oleh
American Academy of Otolaryngology & Head and Neck Surgery (AAO-
HNS) 2011, adapaun beberapa yang perlu diperhatikan dalam
mengindikasikan tonsilektomi adalah sebagai berikut.
1. Klinisi merekomendasikan tonsilektomi pada pasien dengan infeksi
tenggorok berulang dalam 1 tahun terakhir atau 5 episode tiap tahun
dalam 2 tahun berturut-turut, atau 3 episode tiap tahunnya dalam 3
tahun terakhir dengan catatan gambaran klinis suhu >38,3oC atau
limfadenopati servikal (KGB nyeri atau diameter >2 cm) atau eksudat
tonsil atau kultur positif untuk Streptokokus beta hemolitikus grup A.
2. Watchful waiting dilakukan untuk infeksi tenggrok berulang dengan
frekuensi kurang dari kriteria tonsilektomi di atas.
3. Perhatikan bagi anak-anak yang tidak memenuhi kriteria namun
termasuk dalam yang dipertimbangkan untuk tonsilektomi: alergi
terhadap multipel antibiotik, stomatitis, faringitis, dan adenitis atau
riwayat dengan abses peritonsilar.
4. Perhatikan pula pada anak-anak dengan gangguan tidur dan bernapas
yang lebih baik bila dilakukan tonsilektomi, apalagi bila terdapat
enuresis, retardasi pertumbuhan, dan performa sekolah yang menurun.
5. Kontraindikasi dilakukannya tonsilektomi berupa anemia akut, infeksi
akut, penyakit lainnya yang tidak terkontrol, dan perdarahan.

Pada penderita tonsilitis rekuren yang tidak mencapai kriteria untuk


menjalani tonsilektomi dilakukan watchful waiting selama 12 bulan bila
penderita tidak memiliki penyulit seperti alergi terhadap banyak antibiotik,
gejala berat, sindrom PFAPA (periodic fever, apthous stomatitis,
pharyngitis, and adenitis), dan abses peritonsiler, cor pulmoner, dan
obstruksi jalan napas. Pasien tonsilitis dengan penyulit namun tidak
mencapai kriteria tonsilektomi dapat dipertimbangkan untuk menjalani
tindakan tonsilektomi. Jaringan tonsil yang diangkat kemudian dilakukan
pemeriksaan histopatologi.9,12
Evaluasi outcome tonsilektomi berupa resiko obstruksi napas yang
dapat menyebabkan kematian, tidak ada perdarahan aktif dan terbentuk
bekuan darah, luka operasi tidak infeksi dan tidak ada dehidrasi. Pasien
dianjurkan diet dingin dan lunak selama 5 hari post operasi. Pemberian
antibiotik profilaksis berupa amoksisilin klavulanat dan analgetik seperti
parasetamol selama 3 hari post operasi.9

Komplikasi
Tonsilitis dapat pula menyebabkan penjalaran patogen per
kontinuatum ke ruang potensial di leher dalam mengakibatkan abses
peritonsil atau abses parafaring. Penjalaran patogen ke organ sekitar dapat
mengakibatkan terjadinya otitis media, mastoiditis, rhinitis, sinusitis,
bronkitis dan pneumonia. Penyebaran hematogen atau limfogen dapat
menyebabkan endokarditis, artritis, miositis, dan glomerulonefritis. Tonsil
yang membesar dapat mengakibatkan obstructive sleep apnea. Tonsilolith
atau kalkulus tonsil dapat ditemukan pada tonsilitis kronis bila kripta
diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu
tersebut dapat membesar secara bertahap. Tonsilolith lebih sering terjadi
pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman.5,6

Prognosis
Prognosis untuk pasien tonsilitis kronik adalah dubia ad bonam baik
ad vitam, ad functionam maupun ad sanationam. Angka keberhasilan
tonsilektomi cukup tinggi, dimana pendarahan post tonsilektomi hanya
sekitar 1,9% pada balita, 3% pada anak usia 5-15 tahun, dan 4,9% pada
anak diatas 15 tahun. Pendarahan biasanya terjadi dalam 6 jam post
operasi. Angka mortalitas tonsilektomi hanya sekitar 0,03%. Sekitar 3,2%
pasien dewasa yang menjalani tonsilektomi perlu menjalani reoperasi.
Angka ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien anak-anak
yang berkisar antara 0,5%-2,1%.1
BAB III
KESIMPULAN
Tonsilitis diartikan sebagai peradangan pada tonsil yang ditandai dengan
peradangan tonsil, sakit tenggorok, gangguan menelan, dan pembesaran jaringan
kelenjar limfe. Peradangan biasanya meluas hingga ke adenoid maupun tonsil
lingual dan seringkali bersamaan dengan faringitis yang dinamakan
faringotonsilitis. Penyebaran infeksi dini ditransmisikan melalui udara (air borne
droplets), tangan, dan ciuman. Tonsilitis dibagi menjadi tonsilitis akut,
membranosa dan kronik. Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang
terjadi pada tonsilla palatina, yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh
adanya infeksi. Berdasarkan penyebabnya, tonsilitis akut dapat dibedakan menjadi
tonsilitis viral dan tonsilitis bakterialis. Tonsilitis membranosa disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diphteriae dan bakteri spirochaeta atau treponema.
Kuman batang Gram positif seperti C. diphteriae, yang ditransmisikan melalui
droplet udara atau kontak kulit. Paling sering ditemukan pada anak-anak berusia 10
tahum (khusus nya anak berusia 2-5 ahun) walaupun masih mungkin ditemukan
pada orang dewasa. Pada umumnya, penyebab utama dari infeksi bakteri
spirochaeta atau treponema didapatkan dari penderita dengan hygiene mulut yang
kurang dan defisiensi vitamin C. Tonsilitis kronik didefinisikan sebagai peradangan
kronik pada tonsil sebagai lanjutan peradangan akut atau sub akut yang
mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Secara umum, patogen
penyebab tonsilitis kronik adalah sama seperti tonsilitis akut.
Gejala tonsilitis viral menyerupai common cold yang disertai nyeri
tenggorokan. Tonsilitis secara umum ditandai dengan keluhan sistemik dan keluhan
lokal. Keluhan sistemik meliputi penurunan nafsu makan, badan terasa lemas,
demam, sakit pada sendi dan otot, pegal-pegal pada seluruh tubuh, dan sakit kepala.
Keluhan lokal meliputi rasa gatal pada tenggorokan, nyeri tenggorokan, nyeri
menelan, rasa mengganjal pada tenggorokan, hidung tersumbat, mendengkur, batuk
yang biasanya disertai dahak, dan bau mulut. Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis. Pada pemeriksaan dengan cermin terkait
pseudomembran berwarna kuning abu-abuan yang menempel erat ke tonsil dan
ketika diangkat menimbulkan perdarahan. Diagnosis pasti didapatkan dari preparat
kuman yang diambil dari apusan dibawah membran semu. Manifestasi klinik
tonsilitis kronik dari keluhan sistemik bisa didapatkan penurunan nafsu makan,
badan lemas, demam, sakit pada sendi dan otot, pegal-pegal pada seluruh tubuh,
dan sakit kepala. Untuk keluhan lokal bisa didapatkan rasa gatal pada tenggorokan,
nyeri tenggorokan berulang, nyeri menelan berulang, rasa mengganjal pada
tenggorokan, hidung tersumbat, mendengkur, batuk yang biasanya disertai dahak,
dan bau mulut.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien tonsilitis akut meliputi
penatalaksanaan suportif dan medikamentosa. Penatalaksanaan suportif meliputi
istirahat yang cukup, pemberian obat kumur, dan minum air yang cukup. Obat
simptomatik yang dapat diberikan adalah obat penurun panas seperti parasetamol.
Dosis parasetamol untuk dewasa adalah 500-1000 mg setiap 6 jam. Dosis
parasetamol untuk anak-anak adalah 10-15 mg/kgBB setiap 6 jam dengan dosis
maksimal 6 gr per hari. Untuk tatalaksana tonsillitis membranosa, tanpa menunggu
hasil kultur, dapat diberikan antitoksin (APS) difteria 200-10.000 IU/kgBB injeksi
intravena atau intramuskular 20.000-100.000 IU/kgBB. Antibiotik penisilin
300.000 IU/hari IM untuk BB <10 kg. 600.000 IU/hari untuk BB>10kg (selama 14
hari) atau eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dsis selama 14 hari.
oral/injeksi 40-50 mg/hari dosis maksimal 2 g/hari selama 14 hari. Kortikosteroid1-
2 mg/hari KgBB perhari. Obat simtomatik lainya seperti antipiretik. Jika ada
ancaman sumbatan jalan napas atas, bisa dilakukan trakeostomi untuk mencegah
gagal napas. Penatalaksanaan tonsilitis kronik pada prinsip meliputi
penatalaksanaan secara medikamentosa dan operatif. Penatalaksaan
medikamentosa sama seperti tonsilitis akut meliputi pemberian obat kumur,
analgetik-antipiretik seperti parasetamol, antiinflamasi dan antibiotik sesuai hasil
kultur. Penatalaksanaan operatif adalah tonsilektomi. Tonsilektomi adalah prosedur
operasi pengangkatan tonsil yang dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi.
Tonsilektomi dilakukan dengan mengangkat seluruh tonsil dan kapsulnya dengan
melakukan diseksi pada ruang peritonsil di antara kapsul tonsil dan dinding fosa
tonsil.
Daftar Pustaka
1. Snell, R. 2006. Kepala dan Leher. Dalam : Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik
Snell Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. (Hal. 798, 866-867).
2. Viswanatha, B. 2015. Tonsil and Adenoid Anatomy. Diakses dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1899367-overview#showall pada 8 April
2018.
3. Sadler, T.W. 2009. Kepala dan Leher. Dalam : Sadler, T.W. 2009. Langman
Embriologi Kedokteran, Ed. 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. (Hal
303-333).
4. Junqueira, L.C. 2007. Sistem Imun dan Organ Limfoid. Junqueira, L.C. 2007.
Histologi Dasar Teks dan Atlas. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC (Hal.
251-278).
5. Shah,U. K. 2016. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/871977-overview#showall pada 8 April
2018.
6. Soepardi, E A dan Nurbaiti Iskandar, Jonny Bashiruddin, Restuti, R. D, Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorokan-Kepala Leher edisi 6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Price, S.A., Wilson, L.M.2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Ed. 6 Vol. 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Hardjosaputra, P, dkk. 2008. Data Obat di Indonesia edisi 11. Jakarta : PT.
Multipurna Jayaterbit.
9. Trimartani, dkk. 2015. Panduan Praktik Klinis, Panduan Praktik Klinis
Tindakan, Clinical Pathway di Bidang Telinga Hidung Tenggorok – Kepala
Leher. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher Indonesia.
10. Stephen, J., Schueler, M.D. dan Beckett, J. H. 2016. Tonsilitis. Diakses dari
http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/598/basics/epidemiology.html
pada 10 April 2018.
11. Sembiring, R.O. Porotu’o, J. dan Waworuntu, O. 2013. Identifikasi Bakteri dan
uji Kepekaan Terhadap Antibiotik pada Penderita Tonsilitis di Poliklinik THT-
KL BLU RSU. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode November 2012-
Januari 2013. Jurnal e-biomedik (eBM) Volume 1, nomor 2, Juli 2013 : 1053-
1057.
12. Handel, A. 2011. AAO-HNS Guidelines for Tonsiletomy in Children and
Adolescents. American Family Practician 2011 Sep 1, 84(5): 566-573.
13. Chen, M.M., Roman, S.A., Sosa, J.A., dan Judson, B.L. 2014. Safety of Adult
Tonsilectomy A population Level Analysis of 5968 Patients.. JAMA
Otolaryngology–Head & Neck Surgery Januari 2014; 140(3): 197-202.
14. Scully C, 2006. Clinical practice aphthous ulceration. N Engl J Med,
355(2):165−172
15. Lewis AO, Jordan CK, 2012. Oral Medicine. London: Manson Publising Ltd.
16. Greenberg MS, 2008.Ulcerative, vesicular and bullou slessions. In:Lynch
MA,Brigman VJ, Greenberg MS.Burket Oral Medicine: Diagnosis and
Treatment.8th ed.Hamilton, Bc: Deckent Inc. pp. 163−208
17. Cawson RA, Odell EW, 2008. Cawson's essentials of oral patologi and oral
medicine . 8th ed. Philadelphia: Elsevier.
18. Wray D, Lowe GDO, Dagg JH, Felix DH, Scully C, 2003. Oral Ulceration:
Textbook of general and oral medicine London: Churchill Livingstone

Anda mungkin juga menyukai